BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berbicara tentang pelacuran bukanlah merupakan sesuatu yang asing. Pelacuran, sebagai suatu fenomena sosial, sudah ada sejak adanya manusia. Oleh karena itu, perkembangan pelacuran akan terus berkembang mengikuti perkembangan manusia. Secara etimologis pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau prostauree yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, percabulan. Sedangkan prostitute adalah pelacur atau sundal yang dikenal pula dengan istilah WTS (wanita tuna susila). Sementara orang berkata bahwa kata itu berasal dari prostitusi yang berarti menyerahkan diri dengan terang-terangan kepada perzinahan. 2 Pelacuran merupakan gejala sosial yang berintikan perzinahan dengan motif ekonomis, bahwa pelaku-pelakunya bisa keduanya telah kawin, atau salah satu pihak, atau keduanya belum kawin atau telah bercerai. Prostitusi merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti mucikari atau germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek
2
Made Darma Wade, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 99
1 Universitas Sumatera Utara
2
pelacuran. Ketidaktegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya. Sebagai suatu fenomena sosial, pelacuran selain dibenci juga disenangi oleh masyarakat. Dengan kata lain, pelacuran masih dibutuhkan oleh para lelaki hidung belang. Sebab itu tidaklah mengherankan bila bisnis pelacuran baik yang terang-terangan maupun yang terselubung telah merebak demikian luas. Di kotakota besar, tempat-tempat wisata, bisnis maksiat ini tumbuh dengan subur. Pelacuran merupakan salah satu penyakit sosial, atau lebih popular disebut patologi sosial (social pathology). Jika diteliti sebab terjadinya patologi sosial ini, maka dapat dikembalikan psychological tension. Secara psikologis manusia memiliki nafsu-nafsu yang merupakan kekuatan sosial. Dalam kehidupan sosial kita melihat dinamik yang dapat menggabungkan dan merenggangkan hubungan antara anggota masyarakat. Jika manusia hendak hidup wajar harus dapat memenuhi hasrat dan nafsu tadi. Seandainya keinginan-keinginan tadi tidak dapat dipenuhi, maka hal ini dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan batin. Jika ketegangan-ketegangan ini meluas dalam masyarakat, maka terjadilah ketegangan sosial. Bila ketegangan ini tidak segera dipecahkan dapat berkembang menjadi penyakit sosial. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Gillin, sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
3
“Patologi sosial ialah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga dapat membahayakan kehidupan kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota-anggotanya dengan akibat bahwa pengikatan sosial patah sama sekali”. 3 Prostitusi tetap eksis hingga sekarang dan bahkan semakin canggih metode yang digunakan. Kini Negara yang memiliki teknologi di bidang informasi dan komunikasi dipastikan dapat menjadi Negara yang maju apabila Negara tersebut dapat mengolah, memanfaatkan media tersebut secara bijak dan bertanggung jawab. Tetapi apa yang akan terjadi apabila sebuah Negara yang memiliki media ini tidak dapat memanfaatkan dan mengolahnya dengan bijak dan bertanggung jawab. Maka perkembangan tersebut bak pisau bermata dua, perkembangan media interaksi berbasis internet juga memiliki sisi negatif apabila Negara tersebut tidak dapat mengolah dan memanfaatkannya dengan baik. 4 Pada hari ini, ketika hampir seluruh perguruan tinggi berlomba-lomba memasang jaringan internet dari provider yang menjual ruang-ruang web dan fasilitas browsing tanpa berlangganan, bank-bank dan hotel mulai berlomba membuka web-web mereka, dan berbagai usaha lain ikut memasang iklan di internet, maka perusahaan-perusahaan teknologi informasi (IT) dunia mulai merambah pasar Indonesia, maka sebenarnya masyarakat kita sedang berlenggang menuju pintu gerbang informasi dunia.
3 3
Khoe Soe Khiam, Sendi-sendi sosiologi, Ganaco NV, Bandung, 1963, hal. 127 Dewi Bunga, Prostitusi Cyber, Udayana University Press, Denpasar, 2012, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
4
Pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu, penguasaan teknologi ini benar-benar dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, dunia pendidikan, jaringan informasi, manajemen, sekuritas, dan sebagainya. Namun pada kelompok masyarakat luas, terutama remaja, jaringan internet lebih banyak digunakan untuk hiburan dan pergaulan, dan ternyata itu sangat digemari oleh remaja-remaja kita, karena ternyata begitu banyak netter yang mengakses gambar-gambar erotik dan porno dari situs-situs seks yang ada di internet. Seiring dengan semakin merambahnya penggunaan internet di Indonesia, aktivitas prostitusi cyber juga mengalami perkembangan. Para pelaku mulai menggunakan situs-situs jejaring sosial seperti facebook untuk melancarkan aksinya. Facebook yang awalnya digunakan untuk pertemanan, kini digunakan untuk memasarkan transaksi seks. Istilah bisa pakai atau “bispak”, cowok panggilan, cewek panggilan dan sejenisnya merupakan istilah yang dikenal dalam dunia maya khususnya prostitusi cyber untuk menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan menawarkan jasa seks. 5 Sisi negatif lain dari perkembangan ini adalah munculnya cyber crime atau kejahatan komputer yang berdampak pula pada hukum nasional yang telah ada, sehingga dirasa diperlukannya penyesuaian hukum yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan tesebut. Di Indonesia, tingkat penyalahgunaan jaringan internet juga tinggi hal ini dapat dilihat dari peneberitaan surat kabar Kompas yang berjudul Cyber Media pada tanggal 19/3/2002 menulis bahwa berdasarkan AC Nielsen 2001
5
URL:http://media.kompasiana.com/group/new-media/2010/04/14/bisnis-menjanjikanprostitusi-dalam-facebook/, diakses tanggal 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB
Universitas Sumatera Utara
5
Indonesia ternyata menempati posisi ke enam terbesar di dunia atau ke empat di Asia dalam tindak kejahatan di internet.
Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Cyber crime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini. Dengan memperhatikan dampak negatif dari perkembangan cyber crime ini maka seyogyanya melakukan antisipasi terhadap upaya penanggulangan cyber crime ini. 6 Keresahan akan aktivitas negatif di cyber space sangat dirasakan oleh masyarakat. Apalagi dengan beberapa pemberitaan di media massa tentang adanya prostitusi cyber. Kejahatan prostitusi cyber di Indonesia pertama kali terungkap pada bulan Mei 2003 dimana pada waktu itu Satuan Reskrimsus cyber crime Polda Metro Jaya berhasil menangkap mucikari cyber. Pelakunya adalah sepasang suami istri, Ramdoni alias Rino dan Yanti Sari alias Bela. Prostitusi cyber ini adalah modus baru yakni dengan menawarkan wanita melalui sebuah alamat web. Pemilik web ini memajang foto-foto wanita tersebut dengan busana minim yang siap melayani customer. Para peminat hanya cukup menghubungi nomor handphone para mucikari tersebut yang ditampilkan di halaman web, kemudian mucikari inilah yang mengantarkan pesanan ke kamar hotel atau ke apartemen sesuai dengan keinginan pelanggan. 7
6
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara:Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 1-2 7 Sutarman, Cyber crime modus operandi dan penanggulangannya, Laksbang PRESSIndo, Yogyakarta, 2007, hal. 67
Universitas Sumatera Utara
6
Cara yang dipakai mucikari untuk merekrut para penyedia jasa ini sangat beragam, tetapi biasanya mucikari ini merekrut atau mencari gadis belia yang berpenampilan menarik untuk dijadikan anak buahnya melalui layanan chating dan sejenisnya yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi trend di kalangan anak muda. Setelah mucikari berhasil merayu para gadis belia untuk menjadi anak asuhannya, mereka biasanya akan langsung ditawarkan lewat website yang dikelola mucikari tersebut. Untuk bisa berkencan dengan gadis-gadis muda ini, pada umumnya calon penyewa harus mendaftarkan diri dulu pada website dimana gadis-gadis tersebut dipamerkan. Calon penyewa akan mengisi formulir yang berisi nama, alamat, nomor telepon dan lainya. Setelah pendaftaran selesai calon penyewa bisa langsung memilih gadis mana yang akan dikencani, lalu calon penyewa bisa mulai bernegosiasi harga. Setelah semua proses pendaftaran atau pemesanan selesai gadis pesanan akan diantarkan ke tempat yang telah disepakati. 8 Aktivitas prostitusi cyber sangat meresahkan para netter dan para orang tua, apalagi aktivitas ini cenderung menjadikan anak-anak sebagai objek eksploitasi seksual. Laporan UNICEF menyebutkan, ada sekitar 2.000.000 anak di seluruh dunia yang dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya. Industri perdagangan anak ini ternyata meraup keuntungan hingga 12 miliar dolar per tahunnya (ILO). Di Indonesia sekalipun banyak gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18
6
URL: http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/1851387-prostitusi-diinternet, diakses 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB 8 URL: http:// id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/1851387-prostitusi-diinternet, diakses 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB
Universitas Sumatera Utara
7
tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000 - 70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun. 9 Jika sebelumnya para hidung belang mengenal istilah "Gang Dolly", salah satu nama yang merujuk ke satu kata, "Prostitusi alias pelacuran", bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu ke depan komunitas Cewe Bayaran Indonesia dan Asia, akan menjadi nama baru yang digunakan jika para hidung belang yang ingin menggunakan jasa pelayanan seksual. Bedanya, “CeweBisyar.com” bukanlah suatu tempat yang bisa ditemui layaknya orang bertandang ke "Gang Dolly" atau "Sarkem", melainkan hanyalah sebuah situs yang menjadi media informasi online antara hidung belang dengan pelacur. Nama situs CeweBisyar.com dengan tagline "Komunitas Cewe Bayaran Indonesia dan Asia" dalam pekan terakhir menjadi perbincangan. Situs Prostitusi Online ini menawarkan "kopdar" alias kopi darat pesta seks yang di adakan di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan lainnya. Lokasinya di private room hotel bintang lima ternama. Lokasi detailnya akan diberitahu setelah menjadi platinum member. 10 Dari paparan tersebut tampak adanya dilema dalam penanganan terhadap pelacuran, khususnya kajian mengenai kebijakan penegakan hukum terhadap tindak pidana prostitusi cyber. Oleh sebab itu pada kesempatan ini saya mencoba
9
Unicef, tanpa tahun edisi, “Lembar Fakta Tentang Eksploitasi Seks Komersil dan Perdagangan Anak, Serial Online, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL http://www.unicef.org/indonesia/id/Factsheet_CSEC_trafficking_Indonesia_Bahasa_Indonesia.pd f, diakses tanggal 13 Mei 2013, Pukul 15.30 WIB 10 http://www.kabar24.com/index.php/Heboh-Keberadaan-www.CeweBisyar.com-SitusProstitusi Online- di- Indonesia, diakses tanggal 13 Mei 2013, Pukul 15.35 WIB
Universitas Sumatera Utara
8
untuk mengangkat topik Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka merasa perlu dilakukan sebuah pembahasan yang membahas mengenai cara pengaturan serta penanggulangan cyber crime, terutama mengenai kejahatan prostitusi secara online lebih mendalam, dengan menggunakan perundangundangan Negara Republik Indonesia yang mempunyai keterkaitan dengan tindak pidana prostitusi secara online. Untuk membatasi pokok kajian yang akan dibahas dalam penulisan ini, maka permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana prostitusi melalui media online? 2. Bagaimana upaya non penal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana prostitusi melalui media online di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan Tujuan dan manfaat penulisan skripsi ini adalah : 1. Mengetahui
dan
menganalisis
penegakan
hukum
melalui
pengaturan hukum terhadap tindak pidana prostitusi melalui media online dalam hukum pidana positif Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
9
2. Mengetahui bagaimana bentuk kebijakan hukum pidana yang dapat diterapkan dalam hukum positif Indonesia dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui media online. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Sebagai sumbangan pemikiran pengembangan dan informasi bidang ilmu hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana di bidang teknologi informasi sehubungan dalam hal bagaimana pengaturan hukum pidana dan kebijakan hukum pidana positif di Indonesia dalam melakukan upaya represif maupun preventif terhadap penanggulangan cyber crime, khususnya mengenai tindak pidana prostitusi melalui media online. 2. Manfaat Praktis a. Untuk memahami salah
satu
kejahatan mayantara (cyber crime) sebagai
dampak
negatif dari
perkembangan
teknologi
globalisasi dewasa ini. b. Untuk mengetahui apakah pengaturan hukum pidana positif di Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui media online telah tepat pemberlakuannya. c. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang tepat dilakukan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana prostitusi melalui media online.
Universitas Sumatera Utara
10
D. Keaslian Penelitian Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka penulis menuangkannya dalam judul skripsi yang berjudul : “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online” Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Departemen Hukum Pidana mengenai keaslian judul penulisan skripsi ini. Dengan demikian dilihat dari permasalahan dan tujuan penulisan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari hasil orang lain.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Prostitusi di Indonesia Pelacuran identik dengan kata dalam Bahasa Latin prostitution, diartikan sebagai perilaku yang terang-terangan menyerahkan diri
kepada perzinahan.
Sementara itu, perzinahan diartikan sebagai perbuatan percintaan sampai bersetubuh antara seseorang yang telah berkeluarga (baik isteri maupun suami) dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya. Ada beberapa pendapat atau
Universitas Sumatera Utara
11
rumusan tentang pelacuran (prostitusi) menurut pendapat para sarjana, antara lain sebagai berikut: 11 1. W.A BONGER, prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksuil sebagai mata pencaharian. Unsur esensil dalam pelacuran adalah motif ekonomis, tanpa motif ini bukan pelacuran. 2. IWAN BLOCH, memberi batasan pelacuran sebagai suatu bentuk tertentu dari hubungan kelamin di luar perkawinan dengan pola tertentu, yakni kepada siapapun secara terbuka dan hamper selalu dengan pembayaran, baik untuk hubungan badan maupun kegiatan seks lainnya yang memberikan kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan. 3.
COMMENGE, prostitusi adalah suatu perbuatan dimana seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh pembayaran dari laki-laki yang datang membayarnya dan wanita tersebut tidak ada mata pencaharian nafkah lain dalam hidupnya, kecuali yang diperoleh dengan melakukan hubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang.
4. PAULUS MOEDIKDO MOELJONO, pelacuran adalah penyerahan badan wanita dengan menerima bayaran kepada orang banyak guna pemuasan nafsu seksuil orang itu. 5. WAROUW, prostitusi adalah mempergunakan badan sendiri sebagai alat pemuas seksuil untuk orang lain dengan mencapai keuntungan. 11
B Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, 1981,
hal. 35
Universitas Sumatera Utara
12
6. BUDISOESETYO, pelacuran adalah pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk perbuatan kelamin. Keberadaan pelacuran ini juga menunjukkan adanya suatu perubahan dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti diketahui, praktik pelacuran pada masa lalu mempergunakan fasilitas yang relatif sederhana, sedangkan saat ini mereka memanfaatkan sarana seperti handphone, blackberry, pager, dan media sosial. Bahkan bila dilihat lebih luas menunjukkan adanya suatu keterkaitan tidak hanya bersifat ekonomi, namun menyangkut juga permasalahan sosial dan budaya. Pemikiran di atas menunjukkan bahwa komunitas pelacuran seperti yang terjadi di Sarkem,Yogyakarta berada pada era masyarakat global. 12 Prostitusi adalah realitas yang nyata ditengah-tengah kehidupan manusia yang berbudaya dan selalu hadir untuk mewarnai generasi kehidupan setiap bangsa yang ada. Perkembangan pelacuran di Indonesia, tampaknya mempunyai ciri khas tersendiri. Belum lagi adanya perhatian terhadap para pelacur sehingga mereka mempunyai istilah/diberi nama yang sewaktu-waktu bisa diperbaharui. Prostitusi menurut James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Topo Santoso merupakan “The offering of sexual relations for monetary or other gain” (penawaran hubungan seksual untuk memperoleh uang atau keuntungan lainnya). Jadi prostitusi adalah seks untuk pencaharian, terkandung beberapa tujuan yang ingin diperoleh, biasanya berupa uang. Termasuk didalamnya bukan saja persetubuhan tetapi juga setiap bentuk hubungan seksual dengan orang lain untuk mendapat bayaran. Dalam prostitusi terlibat tiga komponen penting yakni pelacur 12
Mudjijono, Sarkem:Reproduksi Sosial Pelacuran, Gadjah Mada University Press
hal.15-22
Universitas Sumatera Utara
13
(prostitute), mucikari atau germo (pimp) dan pelanggannya (client) yang dapat dilakukan secara kovensional maupun melalui dunia maya. 13 Hugh D. Barlow sebagaimana yang dikutip Topo Santoso dalam bukunya yang berjudul “Seksualitas dan Hukum Pidana” mengidentifikasi cara-cara praktik prostitusi dengan menstratifikasi praktek prostitusi tersebut yakni: 14 a. Golongan yang paling rendah yaitu para pelacur jalanan (the street walkers atau street hookers). Tempat praktiknya adalah di jalan-jalan, lorong-lorong atau taman kota. Mereka adalah yang terendah dalam hal penerimaan order dibanding pelacur lainnya. b. Para pelacur yang bekerja di rumah-rumah bordil (biasa disebut dengan borderloss, cathouses, atau whorehouses). Mereka bekerja di rumah-rumah bordil yang dijalankan (meski tidak selalu dimiliki) oleh para mucikari yang kemungkinan pernah berprofesi juga yang sama. c.
Posisi tertinggi adalah mereka yang disebut sebagai gadis panggilan (call girl). Mereka memiliki metode operasi yang sedikit berbeda. Gadis panggilan yang sudah mapan akan selalu menjaga para pelanggannya dengan servis khusus. Rahasia mereka pun relatif lebih terjaga sebab untuk berhubungan dengan mereka sering harus menggunakan referensi khusus, yang biasanya adalah orang-orang terpercaya.
13 14
Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997, hal. 134 Ibid
Universitas Sumatera Utara
14
2. Pengertian Tindak Pidana Prostitusi Online a. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu untuk feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan
arti dari strafbaar feit. Adami Chazawi telah
menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut: 15 1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundangundangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UndangUndang No.6 Tahun 1982 jo. Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi,
dan
perundang-undangan
lainnya.
Ahli
hukum
yang
menggunakan istilah ini, misalnya seperti Prof.Dr.Wirjono Prodjodikuro, S.H dalam bukunya Tindak-tindak Pidana Tertentu. Menurut beliau, 15
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hal. 67
Universitas Sumatera Utara
15
tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana; 2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: R.Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana”, H.J van Schravendijk dalam buku “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”, A.Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk UndangUndang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS 1950 [ Pasal 14 ayat (1)]; 3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E.Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana dalam bukunya “Hukum Pidana I”. A.Zainal Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I”. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana; 4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H.Tirtaatmidjaja yang berjudul “Pokok-Pokok Hukum Pidana”; 5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam bukunya “Ringkasan tentang Hukum Pidana”. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”;
Universitas Sumatera Utara
16
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk UndangUndang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3); 7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku “Azas-azas Hukum Pidana”;
Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak. Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana 16. Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana:
16
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP baru), Kencana, Jakarta, 2008, hal.80
Universitas Sumatera Utara
17
1) E.Utrecht Menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana hanya sebagian dapat dijadikan unsure-unsur mutlak suatu tindak pidana yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggungjawab. 2) Pompe Perkataan “strafbaar feit” itu secara teoretis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Secara teoretis setiap pelanggaran norma atau setiap normo-vertreding itu harus merupakan suatu perilaku atau gedraging yang telah dengan sengaja ataupun telah tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, yang di dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum atau “in strijd met het recht” atau bersifat “wederrechtelijk”. 3) Simons “Strafbaar feit” itu sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Menurut Simons, sifatnya yang melawan hukum seperti dimaksud di atas itu timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut adalah bertentangan dengan sesuatu peraturan dari undang-undang, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti yang tersendiri seperti halnya dengan unsur-unsur yang lain. Di dalam beberapa rumusan delik, undang-undang telah mensyaratkan secara tegas bahwa tindakan dari pelakunya itu harus bersifat wederrechtelijke. Apabila sesuatu tindakan itu telah dilakukan dalam keadaan dimana undang-undang sendiri telah menentukan akibat hukumnya yakni bahwa pelakunya tidak dapat dihukum, maka jelaslah bahwa sifat wederrechtelijke dari tindakannya itu telah ditiadakan oleh
Universitas Sumatera Utara
18
undang-undang dan dengan sendirinya orang juga tidak dapat berbicara mengenai adanya suatu strafbaar feit. 17 4) Hazewinkel-Suringa “Strafbaar feit” sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana itu harus ada unsurunsur yaitu: (1) perbuatan (manusia), (2) memenuhi rumusan dalam undangundang (syarat formil), (3) bersifat melawan hukum (syarat materiil). Sehubungan dengan unsur-unsur tindak pidana tersebut, menurut Simons, ada dua unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif yaitu berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan, serta akibat keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur subjektif yaitu berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekenings vatbaar) dari pelaku. 18 Jadi, berdasarkan doktrin-doktrin tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana itu terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. 1. Unsur Subjektif Yaitu unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku. Asas hukum pidana yang menyatakan bahwa “ tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan ” (actus 17
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.185 18 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 209
Universitas Sumatera Utara
19
non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkanoleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence/culpa). Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan yang menyangkut mengenai kesengajaan ini, yang menyatakan: 19 “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki (willens) dan diketahui (wetens)”. Dengan singkat dapat disebut bahwa kesengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan orang yang mengetahui. Setidak-tidaknya kesengajaan itu ada dua, yakni kesengajaan berupa kehendak, dan kesengajaan berupa pengetahuan (yang diketahui). Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah: 20 “Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.” Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu: 1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk) Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), 19 20
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 171 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.
13
Universitas Sumatera Utara
20
menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan/atau juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil). Misalnya: untuk maksud membunuh, maka dengan sebilah pisau ditikamnya korban sampai mati. Disini perbuatan menikam itu dikehendaki, demikian juga kematian akibat tikaman itu juga ia kehendaki. 2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) Yaitu kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu.
Apabila
perbuatan
tertentu
yang
disadarinya
pasti
menimbulkan akibat yang tidak dituju itu, dilakukannya juga, maka disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian. Misalnya: A bermaksud membunuh B dengan menggunakan sebuah pistol, sedangkan B berada di balik sebuah kaca. Sebelum menggunakan senjatanya, disadarinya bahwa dengan tembakan yang dilakukannya akan berakibat pecahnya kaca itu. Kesadaran akan pecahnya kaca ini adalah kesengajaan sebagai kepastian. 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidshewustjizn) disebut juga dengan dolus eventualis Yaitu kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko untuk melakukan perbuatan itu. Misalnya: Arrest Kue Hoornse ( 19 Juni 1911)
Universitas Sumatera Utara
21
Di kota Hoorn, seorang berkehendak membunuh orang yang dibencinya dengan cara mengirimkan kue tar yang di dalamnya telah diisi racun yang mematikan. Setelah kue itu dikirim dan diterima oleh musuhnya itu, ternyata kue tidak dimakan oleh yang dituju, melainkan dimakan oleh istrinya, dan matilah sang istri. HR dalam putusannya menyatakan bahwa pengirim kue telah melakukan: (a) pembunuhan berencana terhadap istri; dan (b) percobaan pembunuhan terhadap suami. 21 Unsur kedua dari kesalahan (schuld) adalah kealpaan (culpa). Bila kesengajaan adalah dikehendaki, maka kealpaan adalah tidak dikehendaki. Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, sehingga sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan kealpaan pun lebih ringan. Menurut Simons kealpaan adalah: 22 “Umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.” 2. Unsur Objektif Sebagaimana di bagian muka telah diterangkan bahwa di dalam rumusan tindak pidana selalu dirumuskan unsur tingkah laku atau perbuatan. Keduaduanya menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan menjadi unsur esensialia atau mutlak tindak pidana. Unsur objektif ini berasal dari luar diri pelaku, terdiri atas: 1. Perbuatan manusia, berupa: a. Act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif;
21 22
Moeljatno, Op.Cit, hal. 176 Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
22
b. Omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negatif, seperti mendiamkan atau membiarkan. 2. Akibat (result) perbuatan manusia Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya. 3. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah Semua unsur tindak pidana yang telah diuraikan tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, dapat menyebabkan terdakwa dibebaskan dari pengadilan.
b. Kejahatan Mayantara (Cybercrime) Mengingat kejahatan merupakan gejala sosial, maka Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan, pemahaman terhadap kejahatan harus didasarkan pada konsep kejahatan sebagai penyakit individual (the personal disease), gejala patologi individu atau manusia (a human or individually pathological phenomenon), yang kemudian diseimbangkan dengan konsepsi kejahatan sebagai penyakit sosial (a socially pathological phenomenon). 23 Begitu pula dalam penanggulangan kejahatan seyogyanya didasarkan pada hasil studi interdisipliner.
23
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.169
Universitas Sumatera Utara
23
Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, telah muncul beberapa kejahatan yang mempunyai karakteristik yang sama sekali baru. Kejahatan tersebut adalah kejahatan yang timbul sebagai akibat penyalahgunaan jaringan internet, yang membentuk cyber space (ruang siber). Kejahatan ini (cyber crime) sering dipersepsikan sebagai kejahatan yang dilakukan dalam ruang atau wilayah siber. Pada perkembangannya internet ternyata membawa sisi negatif, dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi atau tidak terpikirkan akan terjadi. Sebuah teori menyatakan, crime is product of society its self, yang secara sederhana dapat diartikan bahwa masyarakat itu sendirilah yang menghasilkan kejahatan. Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet ini sering disebut dengan cyber crime. 24 Dari pengertian ini tampak bahwa cyber crime mencakup semua jenis kejahatan beserta modus operandinya yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi internet. The US Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai: 25 “Any illegal act requiring knowledge of computer for its perpetration, investigation, or prosecution”, artinya “setiap perbuatan melanggar hukum
yang
memerlukan
pengetahuan
tentang
komputer
untuk
menangani, menyelidiki dan menuntutnya.”
23
Ari Juliano Gema, Cyber crime: Sebuah Fenomena di Dunia Maya, dapat dijumpai dalam situs internet: http//www.theceli.com/dokumen/jurnal/ajo/a002.shtml diakses tanggal 11 April 2013, pukul 17.00 WIB 25 Ibid
Universitas Sumatera Utara
24
Indra Safitri mengemukakan kejahatan dunia maya adalah: 26 “Jenis kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sebuah teknologi informasi tanpa batas serta memiliki karakteristik yang kuat dengan sebuah rekayasa teknologi yang mengandalkan kepada tingkat keamanan yang tinggi dan kredibilitas dari sebuah informasi yang disampaikan dan diakses oleh pelanggan internet.” Dalam laporan Kongres PBB X/2000 dinyatakan: 27 “Cyber crime atau computer-related crime, mencakup keseluruhan bentukbentuk baru dari kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisonal yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer.”
Muladi dalam bukunya yang ditulis bersama Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Hukum Pidana” memandang cyber crime dengan pendekatan computer crime (kejahatan komputer). Namun demikian, cyber crime sesungguhnya berbeda dengan computer crime. 28 Walaupun begitu, sesungguhnya memang ada upaya untuk memperluas pengertian komputer agar dapat melingkupi segala kejahatan di internet dengan
26
Indra Safitri, Tindak Pidana di Dunia Cyber, 1999, Insider,Legal Journal From IndonesianCapital&InvestmentMarket,situsinternet:http//business.fourtunecity.com/buffet/842/art1 80199_tindak pidana.html, diakses tanggal 10 Mei 2013, Pukul 13.45 WIB 27 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 259 28 Agus Raharjo, Op.Cit, hal. 228
Universitas Sumatera Utara
25
peralatan apapun, seperti pengertian komputer dalam The Proposed West Virginia Computer Crimes Act; “An electronic, magnetic, optical, electrochemical or other high speed data processing device performing logical, arithmetic, or storage functions, and includes any data storage facility or communications facility directly related to or operating in conjunction with such device, but such term does not include an automated typewriter or type-setter, a portable hand-held calculator, or other similar device.” Terjemahannya: Peralatan pemerosesan data listrik, magnetik, optic, elektro kimia, atau peralatan kecepatan tinggi lainnya dalam melakukan logika aritmatika, atau fungsi penyimpanan dan memasukkan beberapa fasilitas penyimpanan data atau fasilitas komunikasi yang secara langsung berhubungan dengan operasi tersebut dalam konjungsi dengan peralatan tersebut tidak memasukkan mesin ketik otomatis atau tipe-setter, sebuah kalkulator tangan atau peralatan serupa lainnya. Pendapat yang mengidentikkan cyber crime dengan computer crime dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan pemaknaan komputer yang diperluas seperti pengertian tersebut di atas. Belum ada kesepakatan mengenai definisi tentang cyber crime atau kejahatan dunia siber, sebagaimana yang dikatakan oleh Muladi, “ Sampai saat ini belum ada definisi yang seragam tentang cyber crime baik nasional maupun global. 29 Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Agus Raharjo, bahwa istilah cyber crime sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat bahkan tidak ada pengakuan internasional mengenai istilah baku, tetapi ada yang menyamakan istilah cyber crime dengan computer crime. Barda Nawawi Arief menggunakan istilah “tindak pidana mayantara” untuk menyebut cyber crime. Beliau mengatakan, dengan istilah “tindak pidana
29
http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/24/nas13.htm, diakses tanggal 11 April 2013, pukul 16.45 WIB
Universitas Sumatera Utara
26
mayantara” dimaksudkan identik dengan tindak pidana di ruang siber (cyber space) atau yang biasa juga dikenal dengan istilah “cyber crime”. Cyber space (ruang siber) itu bersifat global, artinya tidak terikat pada yurisdiksi nasional suatu negara. Hal ini dikarenakan bahwa cyber space ini tercipta oleh adanya jaringan internet. 30 Internet itu merupakan medium komunikasi elektronik global yang merupakan perwujudan dari gabungan semua jaringan komputer yang ada di dunia (gigantic network), otomatis keberadaannya dimiliki oleh setiap orang atau pihak-pihak yang membangunnya secara personal, namun pada saat pengoperasiannya dan pemanfaatannya adalah merupakan kepentingan global. Kaitan antara cyber crime dengan computer crime dapat disimpulkan bahwa cyber crime termasuk bagian dari computer crime. Singkatnya cyber crime bisa disebut juga sebagai computer crime. Dalam perspektif ini bisa dipahami bila cyber crime diidentikkan dengan computer crime. Tapi dalam perkembangannya identifikasi ini tidak relevan lagi karena pelaku tidak harus menggunakan komputer sebagai alat dalam aksinya. 31 Cyber crime merupakan gejala sosial (social phenomenon) yang sudah mengarah pada ranah hukum pidana, yaitu berupa kejahatan (crime). Cyber crime bukan hanya dianggap sebagai permasalahan individual, atau lokal, atau nasional, atau regional, melainkan sudah menjadi permasalahan global. Setiap negara mestinya peduli untuk menanggulangi kejahatan teknologi tinggi tersebut (high-
30 31
Agus Raharjo, Op.Cit, hal. 91 Ari Juliano Gema, Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
27
tech crime), baik melalui kebijakan non-hukum pidana (nonpenal policy) maupun kebijakan hukum pidana (penal policy). 32
c. Tindak Pidana Prostitusi Online (Cyber) Berbagai
delik
kesusilaan
yang
dikemukakan
dalam
kejahatan
konvensional seperti yang tertuang dalam KUHP, dapat juga terjadi di ruang maya (cyber space), terutama yang berkaitan dengan masalah pornografi, mucikari/calo, pelanggaran
kesusilaan/percabulan/perbuatan
tidak
senonoh/zina.
Semakin
maraknya pelanggaran kesusilaan di dunia cyber ini, terlihat dengan munculnya berbagai istilah seperti: cyber pornography (khususnya child pornography), online pornography, cyber-sex, cyber sexer, cyber lover, cyber romance, cyber affair, on-line romance, sex on-line, cyber sex addicts. Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan dan mendapat perhatian berbagai kalangan adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan. Jenis cyber crime di bidang kesusilaan yang sedang diungkapkan adalah cyber pornography (khususnya child pornography) dan cyber sex. Pelanggaran kesusilaan termasuk di dalamnya cyberporn dan prostitusi dengan menggunakan sarana elektronik atau internet. Prostitusi merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan laki-
32
Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hal. 39
Universitas Sumatera Utara
28
laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek pelacuran. Prostitusi cyber berasal dari dua kata yang masing-masing dapat berdiri sendiri yakni prostitusi dan cyber. Prostitusi adalah istilah yang sama dengan pelacuran. Pelacuran menurut Soerjono Soekanto dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah. Istilah prostitusi cyber menggambarkan tempat dimana aktivitas ini dilakukan. Cyber adalah istilah yang digunakan orang untuk menyatakan sesuatu yang berhubungan dengan internet atau dunia maya. Budi Rahardjo menyatakan bahwa kata cyber berasal dari kata cybernetics, merupakan suatu bidang ilmu yang merupakan perpaduan antara robotik, matematika, elektro dan psikologi yang dikembangkan oleh Norbert Wiener di tahun 1948. 33 Salah satu aplikasi dari cybernetics adalah di bidang pengendalian (robot) dari jarak jauh. Dalam hal ini tentunya yang diinginkan adalah sebuah kendali yang betul-betul sempurna (perfect control). Karenanya sedikit mengherankan jika kata “cyberspace” yang berasal dari kata “cyber” tidak dapat dikendalikan. Cyber space dapat diatur, meskipun pengaturannya membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan cara yang digunakan untuk mengatur dunia maya. Prostitusi cyber adalah kegiatan menawarkan jasa pelayanan seksual melalui dunia maya. Melihat stratifikasi praktik prostitusi sebagaimana yang 33
Budi Rahardjo, 2003, “Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia”, Serial Online, available from : URL: http://www.budi.insan.co.id, diakses tanggal 15 Mei 2013, pukul 13.30 WIB
Universitas Sumatera Utara
29
dikemukakan di atas sebelumnya, maka prostitusi cyber berada pada praktik prostitusi dengan posisi tertinggi dimana pelacur dapat dipesan melalui media cyber. Prostitusi cyber merupakan bagian dari cyber crime yang menjadi sisi gelap dari aktivitas di dunia maya. Barda Nawawi Arief bahkan dengan tegas menggolongkannya sebagai cyber crime di bidang kesusilaan atau secara sederhana diistilahkan dengan cyber sex. Lebih lanjut beliau dengan mengutip pendapat dari Peter Davif Goldberg mengatakan bahwa cyber sex adalah penggunaan internet untuk tujuan-tujuan seksual (the use of the internet for sexual purposes). Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh David Greenflied yang mengatakan bahwa cyber sex adalah menggunakan komputer untuk setiap bentuk ekspresi atau kepuasan seksual (using the computer for any form of sexual expression or gratification). Dikemukakan juga olehnya, bahwa cyber sex dapat dipandang sebagai kepuasan/kegembiraan maya (virtual gratification), dan suatu bentuk dari keintiman (a new type of intimacy). Patut dicatat juga bahwa hubungan intim atau keintiman (intimacy) itu dapat juga mengandung arti hubungan seksual atau perzinahan. Ini berarti cyber sex merupakan bentuk baru dari perzinahan. Dengan demikian prostitusi cyber merupakan aktivitas prostitusi yang dilakukan melalui media internet dengan sistem operasi di cyber space. 34 Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi (bisnis gelap) yang sangat menguntungkan, maka yang akan terjadi persaingan antara para pemain dalam bisnis pelacuran tersebut untuk merebut pasar. Apabila
34
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, 2006, hal.179
Universitas Sumatera Utara
30
persaingan telah mewarnai bisnis pelacuran, yang terjadi adalah usaha setiap pemain bisnis pelacuran dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari para pesaingnya. Untuk bisnis pelacuran, baik tidaknya pelayanan ditentukan oleh umur yang relatif muda, warna kulit, status, kecantikan dan kebangsaan dari setiap wanita yang ditawarkan dalam bisnis pelacuran tersebut. Tentulah tidak mudah untuk mendapatkan pelayanan yang baik tersebut, mengingat tidak semua wanita mau bekerja dalam bisnis pelacuran. Untuk mengatasi permasalahan ini para pebisnis yang bergelut dalam bisnis pelacuran cenderung mengambil jalan pintas dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu. Semakin berkembangnya teknologi menyebabkan semakin merebaknya bisnis prostitusi karena dapat memanfaatkan sarana internet dalam bertransaksi dan penawaran prostitusi. Konsumen dapat dengan mudah memilih melalui gambar-gambar dan foto-foto bahkan tanpa busana atau dengan pakaian minim yang tersedia dalam jaringan situs internet antara lain pebisnis prostitusi menggunakan sarana Facebook. Oleh sebab itu, pemerintah membentuk UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 karena semakin maraknya prostitusi melalui jaringan Facebook. Bahkan anak-anak remaja semakin banyak yang terjerat dalam kasus prostitusi melalui situs online internet. Pelacuran via internet kini menjadi trend bisnis prostitusi. Pengelola bisnis prostitusi ini memanfaatkan domain gratis sebagai wadah memasarkan “hot produk-nya”. Namun walaupun telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 belum berlaku efektif dalam menjerat dan menanggulangi bisnis
Universitas Sumatera Utara
31
prostitusi melalui online karena akses situs Facebook melalui chatingnya tidak dapat dikontrol dan kurangnya perhatian juga dari Facebook sendiri guna mengontrol para pengguna situsnya. Ada banyak akun Facebook yang menawarkan dan memasang foto-foto gadis lengkap dengan data diri dan info kontak yang bisa setiap saat kita hubungi baik lewat HP maupun email dan secara jelas melakukan penawaran terhadap dirinya, bahwa memang dia adalah seorang wanita penghibur yang bisa di kontak kapan saja asalkan sesuai harga kesepakatan. Hal ini jelas merupakan satu bentuk prostitusi yang memanfaatkan jasa
jejaring
sosial
Facebook
yang
disalah
gunakan
secara
tidak
bertanggungjawab. Maraknya praktik prostitusi di dunia maya mendapat perhatian serius dari aparat kepolisian. Jumlah website yang menyediakan konten pornografi meningkat hingga 70 persen. Pornografi juga masih menjadi konsumsi tertinggi bagi para pengakses internet. Bahkan, 12 persen situs di dunia mengandung pornografi Beberapa akun jejaring sosial, termasuk Facebook. Setiap harinya sebanyak 266 situs porno baru muncul dan diperkirakan ada 372 juta halaman website pornografi, sebanyak 25 persen pengguna memanfaatkan search engine untuk mencari halaman pornografi. 35
35
http://www.antaranews.com/berita/1267024044/internet-sehat-kurangipenyalahgunaan jejaring-sosial, diakses tanggal 11 April 2013, Pukul 16.45 WIB
Universitas Sumatera Utara
32
3.
Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan 1
Upaya Penal (Penal Policy) Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa
Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa juga disebut politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum. 36 Menurut Sudarto dalam bukunya Hukum dan Hukum Pidana menyatakan bahwa: “Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam dikemukakan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai apa yang dicita-citakan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”.37 Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah: “Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih 36
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal. 65 37 Barda Nawawi Arief, Op.Cit,2008, hal. 19
Universitas Sumatera Utara
33
baik dan untuk member pedoman tidak hanya kepada pembuat undangundang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.”
Masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematikdogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif; bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminil dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan : 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi bahwa kebijakan kriminal merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Ini berarti pemecahan masalah-masalah tersebut di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang ditetapkan. Kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial itulah kiranya Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang
Universitas Sumatera Utara
34
pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan halhal yang pada intinya sebagai berikut: a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang secara merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum pidana adalah perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian kepada masyarakat. Perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana. c. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana dengan sanksi negatif berupa pidana, perlu disertai perhitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan dicapai (cost-benefit principle). d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai kelampauan beban tugas (overbelasting) yang mana akan mengakibatkan efek dari peraturan itu akan menjadi berkurang.
Universitas Sumatera Utara
35
Sudarto mengemukakan 3 lingkup pengertian kebijakan kriminal yakni: 38 a. Dalam pengertian sempit, yaitu keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana; b. Dalam pengertian luas, yaitu keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan kepolisian; dan c. Dalam pengertian sangat luas, yaitu keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat. Pada dasarnya penal policy lebih menekankan pada tindakan represif (pemberantasan)
setelah
terjadinya
suatu
tindak
pidana.
Oleh
karena
penanggulangan kejahatan melalui upaya penal adalah penerapan hukum pidana, maka dasarnya tidak lain adalah apa yang diatur dalam KUHP, khususnya Pasal 10 KUHP yang mengatur jenis-jenis pidana. Disamping itu, penggunaan sanksi pidana dapat juga dilakukan melalui peraturan perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di dalamnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 KUHP. 39 Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui 3 (tiga) tahap yaitu: 40 1. Tahap Formulasi (Kebijakan Legislatif) 2. Tahap Aplikasi (Kebijakan Yudikatif) 3. Tahap Eksekusi (Kebijakan Eksekutif) Ad.1. Tahap formulasi (Kebijakan Legislatif) yaitu tahap perencanaan atau perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap ini merupakan 38
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 113-114 M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.28 40 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2005, hal. 22 39
Universitas Sumatera Utara
36
tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan proses fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana, serta yang menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Kesalahan pada tahap formulasi merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap aplikasi dan tahap eksekusi dalam kebijakan hukum pidana. Ad.2. Tahap Aplikasi yaitu tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundangundangan pidana yang telah dilanggar. Ad.3. Tahap Eksekusi yaitu tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Penal policy pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undangundang (kebijakan legislatif), penjatuhan pidana (kebijakan yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). Dengan kata lain, penal policy menyangkut masalah kebijakan penegakan hukum yang termasuk ke dalam bidang kebijakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat. Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam 3 (tiga) kerangka yaitu struktur, substansi, dan kultur. Hal tersebut penting agar pihak yang berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak pada kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek), sehingga
Universitas Sumatera Utara
37
tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan merugikan masyarakat sendiri. Operasionalisasi kebijakan penal meliputi kriminalisasi, dekriminalisasi, penalisasi dan depenalisasi. Penegakan hukum pidana tersebut sangat tergantung pada perkembangan politik hukum, politik kriminal, dan politik sosial. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak hanya memperhatikan hukum yang otonom, melainkan memperhatikan juga masalah kemasyarakatan dan ilmu perilaku sosial. 41 Penerapan hukum pidana, perlu dilakukan dengan berbagai usaha untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana baik dari segi kriminalisasi, dekriminalisasi, maupun perbaikan sarana dan prasarana sistem, peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan peningkatan peran serta masyarakat dalam sistem peradilan pidana. 42 Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan pada fungsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Ali Wisnubroto mengungkapkan bahwa kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan tindakan: 43 1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana; 41
Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 52 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie Center, Jakarta, 2002, hal. 182 43 Ali Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999, hal. 12 42
Universitas Sumatera Utara
38
2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat; 3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana; 4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar Masalah sentral dalam kebijakan hukum pidana adalah masalah mengenai perbuatan apa yang seharusnya terjadi tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada si pelanggar. Hal ini berarti bahwa kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi dan penalisasi, karena itu penggunaannya harus berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). 2
Upaya Non-Penal (Non-Penal Policy) G.Peter Hoefnagels mengatakan upaya penanggulangan kejahatan dapat
ditempuh dengan: a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan c. Mempengaruhi
pandangan
masyarakat
mengenai
kejahatan
dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media). Upaya penanggulangan kejahatan di atas secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (bukan/di luar hukum pidana). Dalam pembagian G.P Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang
Universitas Sumatera Utara
39
disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya nonpenal. Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhkembangkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisikondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula oleh berbagai hasil dari Kongres PBB tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime Prevention Strategis, antara lain: 1
Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people).
2
Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
40
kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and condition giving rise to crime). 3
Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan di berbagai negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk (the main causes of crime in many countries are social inequality, ratial and national discrimination, low standar of living, unemployment and illiteracy among broad section of the population).
Di dalam Resolusi Kongres ke-6 PBB ini, dihimbau kepada semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan, diskriminasi rasial dan nasional serta berbagai macam bentuk ketimpangan sosial. Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang The Prevention Crime and the Treatment of Offenders yang berlangsung di Havana Cuba, menekankan pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, sebagai berikut: 44
44
Ibid
Universitas Sumatera Utara
41
1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok; 2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpanganketimpangan sosial; 3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan; 6. Menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga; 7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya; 8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; 9. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; 10. Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik, dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai Kongres PBB (mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bahwa pembangunan itu sendiri dapat bersifat “kriminogen” apabila pembangunan itu: a. Tidak direncanakan secara rasional (it was not rationally planned); atau direncanakan
secara
timpang,
tidak
memadai/
tidak
seimbang
(unbalanced/inadequately planned);
Universitas Sumatera Utara
42
b. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral (disregarded cultural and moral values); dan c. Tidak
mencakup
strategi
perlindungan
masyarakat
yang
menyeluruh/integral (did not include integrated social defence strategies). Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat. Menurut Hoefnagels, pendekatan non penal adalah: “Pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat (community planning mental health), kesehatan mental masyarakat secara nasional (national mental heath), kesejahteraan anak dan pekerja sosial (social worker and child welfare), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administrative & civil law)”. Tingginya arus urbanisasi di perkotaan menyebabkan lapangan pekerjaan menjadi semakin sempit. Sementara tuntutan kehidupan menjadi sesuatu yang mutlak harus dipenuhi. Pada akhirnya tuntutan di bidang perekonomian dalam kehidupan sering menjadi faktor yang berkorelasi dengan terjadinya kejahatan. Program pencegahan yang dapat dilakukan antara lain berupa: 45 1. 2. 3. 4. 5.
Memperluas kesempatan kerja bagi para pemuda; Memperluas kesempatan kerja bagi pelaku dan mantan pelaku kejahatan; Menghilangkan penghalang bagi mantan pelaku kejahatan untuk bekerja; Menciptakan program tenaga kerja publik; Usaha menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan masyarakat di areal yang miskin. 45
Ibid
Universitas Sumatera Utara
43
6. Dukungan terhadap usaha kecil. Kegiatan rekreasi juga dapat menjadi upaya pencegahan kejahatan. Rekreasi adalah sesuatu yang sudah mentradisi bagi semua orang. Rekreasi dapat memulihkan kembali kelelahan baik fisik maupun psikis seseorang dari aktivitas pekerjaannya. Dalam konteks ini, rekreasi menjadi alternatif kegiatan positif daripada melakukan kejahatan, terutama bagi anak-anak muda. Hal ini dinyatakan lebih lanjut oleh Chamelin: “Because recreation activities have a strong appeal for young people, delinquency is less likely to flourish in those community where opportunities for whole some recreation are abundant and attractive, as opposed to cities or neighbourhoods where adequate facilities are lacking. Simpli put, young people angaged in recreation activities on the playground cannot at the same time be robbing a bank, breaking into a home or perpetrating some other crime.” Aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja), serta masyarakat luas pada umumnya. Penggarapan masalah “mental health”, “national mental health”, dan “child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels di atas sebagai salah satu jalur “prevention (of crime) without punishment” (jalur non-penal). Sudarto pernah juga mengemukakan, bahwa “kegiatan Karang Taruna, kegiatan Pramuka dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama” merupakan upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan. 46
46
Sudarto, Op.Cit, hal. 144
Universitas Sumatera Utara
44
Penggarapan masalah kesehatan jiwa/rohani sebagai bagian integral dari strategi penanggulangan kesehatan, juga menjadi pusat perhatian Kongres PBB. Dalam pertimbangan Resolusi No.3 Kongres ke-6 Tahun 1980, mengenai “Effective Measures to Prevent Crime” antara lain, dinyatakan: 47 1. Bahwa pencegahan kejahatan bergantung pada pribadi manusia itu sendiri (that crime prevention is dependent on man himself); 2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada usaha membangkitkan/menaikkan semangat atau jiwa manusia dan usaha memperkuat kembali keyakinan akan kemampuannya untuk berbuat baik (that crime prevention strategies should be based on exalting the spirit of man and reinforcing his faith in his ability to do good); Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, Resolusi tersebut kemudian menyatakan: “Meminta Sekjen PBB agar memusatkan usaha-usaha pencegahan kejahatan pada usaha memperkuat kembali keyakinan/kepercayaan manusia akan kemampuannya untuk mengikuti jalan kebenaran/kebaikan”; “(Request the Secretary-General to focus his efforts in crime prevention on reinforcing man’s faith in his ability to follow the path of good)” Resolusi di atas jelas terlihat betapa penting dan strategisnya peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan. Dengan pendidikan dan penyuluhan agama yang efektif, tidak hanya diharapkan terbinanya pribadi manusia yang sehat jiwa/rohaninya tetapi juga terbinanya keluarga yang sehat dan lingkungan sosial yang sehat.
47
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 45
Universitas Sumatera Utara
45
Pembinaan dan penggarapan kesehatan jiwa masyarakat memang tidak berarti semata-mata kesehatan rohani/mental, tetapi juga kesehatan budaya dan nilai-nilai pandangan hidup kemasyarakatan. Pendidikan keagamaan terhadap seseorang merupakan upaya yang massif untuk mereduksi terjadi kejahatan. Dalam konteks ini adalah bagaimana menciptakan komunitas masyarakat yang religious sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing sehingga dapat mendorong anggota masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Selain itu juga, lembaga-lembaga keagamaan mempunyai landasan yang kuat untuk melibatkan para anggota perkumpulannya yang tersebar di seluruh belahan dunia untuk melakukan kegiatan penanggulangan kejahatan bekerjasama dengan pihak-pihak terkait. Secara khusus, komunitas religius ini dapat melakukan: 1. Pendataan dan pendaftaran bagi komunitas-komunitas keagamaan untuk berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan; 2. Mendorong lembaga-lembaga keagamaan untuk menginformasikan di daerah masing-masing tentang permasalahan kejahatan; 3. Mendata lembaga-lembaga keagamaan yang mendukung upaya penanggulangan kejahatan; 4. Membuka fasilitas-fasilitas rumah ibadah untuk keperluan program penanggulangan kejahatan; 5. Mempromosikan partisipasi kelompok-kelompok keagamaan dalam sistem peradilan pidana. Upaya selanjutnya adalah usaha mereduksi peluang seseorang untuk melakukan
kejahatan
melalui
pengawasan
dan
mendesain
lingkungan
(environmental design) fisik tempat tinggal, seperti alat-alat pengamanan (security hardware), lampu-lampu jalan (street lighting), pengawasan (surveillance) dan desain gedung (building design). Desain lingkungan ini harus terstruktur sehingga seseorang akan berpikir ulang untuk melakukan kejahatan karena perbuatannya
Universitas Sumatera Utara
46
akan cepat teridentifikasi dan kemungkinan besar dapat ditangkap. Strategi yang dilakukan berupa: 48 1. Penguatan pada target kejahatan (target hardening) yang meliputi penguncian pada steer mobil (steering column locks on cars) dan kamera anti perampokan di bank (anti- robbery screen in banks) serta lain-lain. 2. Mengontrol akses terhadap kejahatan (controlling access to crime target), meliputi pemagaran sekeliling perumahan untuk mencegah tindakan perusakan. 3. Membelokkan para pelaku dari target (deflecting offenders from targets), meliputi memisahkan fans pada pertandingan bola kaki. 4. Mengontrol fasilitas untuk terjadinya kejahatan (controlling crime facilitators), misalnya pasfoto di kartu kredit, password di mobile phone. 5. Pemeriksaan di tempat masuk dan tempat keluar dan tempat keluar (screening entrances and exits), misalnya pemeriksaan bagasi di bandara. 6. Pengawasan secara formal (formal surveillance), misalnya penggunaan kamera pengawas di jalan raya dan lampu lalu lintas, alarm perampokan. 7. Pengawasan oleh pegawai (surveillance by employees), misalnya tempat pembayaran dan lokasi parkir yang dapat dilihat oleh pegawai dan penggunaan kamera pengawas. 8. Pengawasan alami (natural surveillance), misalnya pembangunan ruang aman dan tata ruang lingkungan, membangun lampu penerangan jalan, dan pengawasan tempat tinggal penduduk. Situational Crime Prevention seperti di atas dapat bekerja baik secara reaktif terhadap persoalan yang timbul oleh kejahatan, maupun bersifat antisipasi melalui analisis pengaruh yang ditimbulkan oleh kejahatan dan untuk pembuatan kebijakan penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu strategi penanggulangan kejahatan melalui Situational Crime Prevention merupakan kerja yang dapat dilakukan secara lokal, nasional dan bahkan internasional yang membutuhkan keterlibatan seluruh sektor meliputi instansi pemerintah, swasta, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Situational Crime Prevention (SCP) juga dapat dilakukan melalui pengamanan secara swadaya masyarakat, misalnya melakukan ronda, siskamling di lingkungan tempat tinggal, 48
Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal.62
Universitas Sumatera Utara
47
atau bagi orang-orang tertentu dapat mempekerjakan penjaga khusus di tempat tinggal mereka (satpam). Tim Hope mengatakan bahwa pencegahan kejahatan oleh masyarakat (community crime prevention) mengarah kepada tindakan-tindakan yang diharapkan dapat merubah kondisi sosial yang mendukung terjadinya kejahatan di kediaman masyarakat. Fokus perhatiannya dikosentrasikan pada kemampuan institusi sosial lokal untuk mengurangi angka kejahatan. Institusi lokal ini mewadahi anggota masyarakat dalam suatu komunitas untuk bekerjasama secara sungguh-sungguh, memberikan bimbingan dan mengatur etika berperilaku, khususnya bagi anak-anak muda. Program-program dari community crime prevention ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 49 1. Community organization, tipe ini ditujukan membangun sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada kerjasama dalam penanggulangan kejahatan. Kerjasama ini juga dibina melalui sekolah-sekolah lokal, tempat-tempat ibadah . Program ini juga menyediakan sarana yang efektif bagi anak-anak muda untuk bersosialisasi dalam suatu pergaulan yang positif; 2. Community defence, program pada tipe ini ditujukan untuk mencegah terjadinya viktimisasi melalui pencegahan terhadap pelaku kejahatan. Strategi yang digunakan adalah pencegahan kejahatan melalui mendesain lingkungan (crime prevention through environmental design/CPTED), defensible space measures, dan organisasi pengawasan masyarakat melalui neighbourhood watch. 3. Order-maintenance, pendekatan ini dilakukan untuk mengontrol pengrusakan sarana fisik, ancaman terhadap kehidupan bertetangga dan perilaku kasar di jalanan. 4. Risk-based program, merupakan program yang menggunakan pendekatan untuk mencari faktor-faktor yang beresiko dan menyediakan upaya pencegahan khusus bagi mereka. Program ini meliputi pendekatan terhadap seseorang yang kemungkinan menjadi target korban kejahatan dan strategi ditujukan untuk melindungi korban dan pencegahan supaya tidak terjadi pengulangan menjadi korban (repeat victimization).
49
Ibid, hal.64
Universitas Sumatera Utara
48
5. Community development, strategi yang digunakan adalah membangun kembali tatanan kehidupan sosial, fisik dan perekonomian lingkungan tempat tinggal. 6. Structural change, tujuan yang ingin dicapai hampir sama dengan community development, yaitu strategi yang dibangun adalah perubahan yang utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi terjadinya kejahatan. Pendekatan yang dilakukan berupa penerapan kebijakan di level makro pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan, perumahan yang layak, pendidikan, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan serta pelayanan sosial.
Sehubungan dengan hal ini, sangatlah tepat strategi yang digariskan oleh Kongres PBB bahwa “The Over All Organization Of Society Should Be Conceived As Anti Criminogenic”. Disamping upaya-upaya non-penal dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula upaya non-penal itu digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai potensi efekpreventif. Sumber lain itu misalnya, media pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah “techno-prevention”) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini, Sudarto pernah mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dan kontrol dari polisi yang dilakukan secara kontiniu termasuk upaya non-penal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya non-penal yang perlu diefektifkan. Perlunya sarana non-penal diintensifkan dan diefektifkan, disamping beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas, juga karena masih diragukannya
Universitas Sumatera Utara
49
atau dipermasalahkannya efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal.
F. Metode Penelitian Adapun metode penelitian hukum yang digunakan oleh penulis dalam mengerjakan skripsi ini meliputi: 1.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial yang menjadi pokok permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan peraturan hukum pidana positif yang berlaku. Suatu penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang tindak pidana prostitusi melalui media online, pengaturan hukum atau gejalagejala lainnya.
2. Jenis dan Sumber Data Penelitian hukum yang bersifat normatif selalu menitikberatkan pada sumber data sekunder. Data sekunder pada penelitian diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini, bersumber dari data sekunder sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu badan hukum yang mengikat, seperti peraturan perundang-undangan di luar KUHP yang berkaitan dengan permasalahan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana prostitusi melalui media online, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor
Universitas Sumatera Utara
50
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak , Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Manusia. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti makalah-makalah hukum tindak pidana prostitusi melalui media online, jurnal hukum yang berkaitan dengan prostitusi online, pendapat dari para ahli hukum pidana dan lain-lain. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Inggris-Indonesia dan Kamus Hukum. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian pada dasarnya tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian. Berdasarkan ruang lingkup, tujuan dan pendekatan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan.
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas dalam bentuk sistematika yaitu sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Merupakan pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang penulisan skripsi yang berjudul “Kebijakan Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara
51
Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online”, perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, serta metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II
PENGATURAN HUKUM
PIDANA TERHADAP
TINDAK
PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE Pada bagian ini akan memberikan uraian pengaturan hukum pidana positif yang berkaitan dengan tindak pidana prostitusi melalui media online, baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Konsep KUHP terbaru maupun yang diatur di luar KUHP, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik, UndangUndang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Manusia BAB III
UPAYA
NON-PENAL
TERHADAP
TINDAK
PIDANA
PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE Pada bagian ini akan membahas mengenai bagaimana upaya nonpenal dalam penanggulangan tindak pidana prostitusi online yang tepat dalam mencegah tindak pidana tersebut. BAB IV
PENUTUP Pada akhir penulisan skripsi ini berisi kesimpulan mengenai keseluruhan bab yang telah dibahas sebelumnya dan pemberian
Universitas Sumatera Utara
52
saran-saran dari pemikiran penulis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara