1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Perkembangan penjualan kendaraan bermotor di Indonesia sampai dengan bulan April 2014 seperti dilansir oleh data Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia mencatat, jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2013 mencapai 104,211 juta unit, naik 11 % dari tahun sebelumnya (2012) yang cuma 94,299 juta unit."Dari jumlah itu, populasi terbanyak masih disumbang oleh sepeda motor dengan jumlah 86,253 juta unit di seluruh Indonesia, naik 11 persen dari tahun sebelumnya 77,755 juta unit," kontribusi penjualan terbesar ke dua disumbang oleh penjualan mobil penumpang dengan 10,54 juta unit, juga naik 11 persen dari tahun sebelumnya 9,524 juta unit. Populasi mobil barang (truk, pikap, dan lainnya) tercatat 5,156 juta unit, naik 9 persen dari 4,723 juta unit.1 Menurut Ketua Gaikindo Sudirman Maman Rusdi menjelaskan, tingginya penjualan mobil di Juli lalu terutama karena ada momentum Lebaran. "Penjualan pada Juni dan Juli jauh lebih besar dibandingkan ratarata lima bulan pertama 2012. Meski kebijakan kenaikan Down Payment sudah berlaku sejak pertengahan juni lalu, penjualan mobil pada Juli masih tinggi karena ada momentum Lebaran," kata dia pada acara buka puasa di Jakarta, hari kamis tanggal 2 Agustus 2014 malam.Ia menjelaskan, pada Juli 2012, Toyota membukukan penjualan tertinggi sebanyak 36.353 unit, disusul Daihatsu 13.444 unit dan Suzuki 13.233 unit. Permintaan menjelang Lebaran biasanya naik dari bulan-bulan biasa, terutama untuk mobil penumpang (passanger car)2.
1
Tribunnews, Selasa, Jumat 05 Desember 2014, “Jumlah Kendaraan di Indonesia capai 104.211 juta Unit” 2 Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, Jumat 05 Desember 2014, “Penjulan Mobil Cetak Rekor Tertinggi”
1
2
Pesatnya penjualan kendaraan bermotor secara transparan bisa diamati lebih karena konsumen semakin dipermudah dengan uang muka
yang
ringan dan sistem pembelian melalui kredit dengan iming-iming angsuran dan bunga yang ringan. Secara harafiah istilah kredit dapat diartikan adanya penyerahan barang, jasa atau uang oleh salah satu pihak (pemberi pinjaman) atas dasar kepercayaan kepada pihak lain (penerima kredit) dengan kesepakatan berupa janji pembayaran pada tanggal dan waktu tertentu dari penerima kredit kepada pemberi kredit yang dituangkan dalam sebuah perjanjian. Dalam hukum perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak. Klausula dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen tidak mencerminkan asas kebebasan dalam proses pembuatan perjanjiannya. Kondisi ini berakibat kedudukan Lembaga Pembiayaan/kreditor lebih kuat dari dari pada kedudukan debitor/konsumen. Klausula baku yang tercantum dalam perjanjian pembiayaan sebagian besar merugikan konsumen, hal ini nampak antara lain pada klausula yang mengatur cidera janji dalam eksekusi objek perjanjian pembiayaan konsumen, letak dan bentuk penempatan klausula baku dalam perjanjian pembiayaan konsumen penempatannya tidak sesuai aturan dan dengan memakai huruf yang kecil, sehingga agak sulit dibaca. Terlebih adanya pencantuman klausula eksonerasi pada perjanjian baku janjian pembiayaan konsumen akan mengakibatkan semakin lemahnya kedudukan konsumen diperbandingkan dengan kedudukan dari Lembaga Pembiayaan. Kondisi ini masih terus terjadi, padahal secara jelas dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menerapkan larangan terhadap hal tersebut. Dari berbagai jenis kredit yang disalurkan kepada penerima kredit salah satunya yaitu kredit konsumtif. Kredit konsumtif bisa diartikan dengan kredit yang praktis digunakan untuk kebutuhan konsumsi secara pribadi sehingga dalam pemberian kredit tersebut tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan, seperti halnya pemberian fasilitas kredit untuk
3
memperoleh sesuatu, seperti mobil, motor, rumah dan berbagai barang konsumsi. Fasilitas pembiayaan ini murni atas dasar tingkat penghasilan debitor dan analisnya sangat sederhana karena hanya berdasarkan repayment capacity yang bersumber dari penghasilan debitor.Semakin besar repayment capacity seorang debitor maka semakin besar pula fasilitas kredit konsumsi yang dapat diterimanya. Praktek pemberian kredit ini cenderung dinilai lebih aman, karenanya banyak berkembang lembaga di luar perbankan yang aktif dalam bisnis pemberian kredit konsumtif melalui bentuk usaha lembaga pembiayaan. Pengertian tentang Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal yang melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit. Pelaksanaan dalam hal pemberian kredit konsumtif tetap mengikut praktek pemberian kredit pada umumnya yaitu dilakukan melaui suatu perjanjian dan dalam perjanjian tersebut didalamnya meliputi perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang dan diikuti dengan perjanjian tambahan berupa perjanjian pemberian jaminan dari pihak debitor. Oleh bank sebagai penjaminan objek yang dijaminkan maka akan dibakukan dalam bentuk akta penjaminan baik dalam bentuk penjaminan dengan fidusia ataupun penjaminan dengan Hak Tanggungan. Peristilahan atau terminologi hukum di Indonesia, dikenal ada 2 (dua) bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Dalam praktek jaminan yang paling sering digunakan adalah jaminan kebendaan, salah satunya dengan jaminan fidusia. Lembaga jaminan tersebut merupakan lembaga jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak yang tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan dan telah banyak digunakan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Jaminan fidusia ini tidak hanya berkembang di Inodonesia, beberapa negara lain juga mengenal dan mepergunakan lembaga fidusia sebagai
4
pranata jaminan dalam pemberian kredit-nya. Misalnya saja di Brazil, dimana untuk jaminan kredit atas perjanjian penjualan real estate juga mempergunakan lembaga jaminan fidusia.3 Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan : 1.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
2.
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Sebelum terbitnya undang-undang, jaminan fidusia merupakan hak
jaminan yang lahir berdasarkan yurisprudensi. Lahirnya jaminan fidusia harus diperjanjikan terlebih dahulu antara Lembaga Pembiayaan selaku kreditor dengan nasabah selaku debitor. Ditinjau dari segi yuridis pengikatan
jaminan
diperbandingkan
fidusia
dengan
lebih
ketentuan
bersifat mengenai
khusus, jaminan
sebagaimana yang
lahir
berdasarkan undang-undang seperti diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang –Undang Hukum Perdata. Fungsi yuridis Pengikatan benda jaminan fidusia dalam akta jaminan fidusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian kredit. Secara empirik persoalan utama dalam jaminan fidusia adalah sering terjadinya cidera janji dari seorang debitor. Sebab menurut hukum perjanjian apabila debitor tidak memenuhi isi perjanjian atau tidak melakukan hal-hal yang telah diperjanjikan, maka debitor tersebut telah cidera janji dengan segala akibat hukumnya. Ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dijelaskan bahwa bila terjadi masalah atas jaminan fidusia yaitu suatu keadaan yang menimbulkan sebuah cidera janji dari seorang 3
Biro Hukum Levy & SalomaoAdvogados, Brazilian Real Estate Law Aims To Stimulate Markets, Inter-American Trade Report - January 23, 1998, Volume 5 Nomor 2, Halaman 1
5
debitor, maka menurut Pasal 15 ayat (3) diatur : “Apabila debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri”. Ini dikarenakan salah satu ciri jaminan fidusia adalah kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya yaitu apabila pihak pemberi fidusia cidera janji. Bentuk cidera janji (wanprestasi) tersebut dapat berupa tidak dipenuhinya prestasi, baik berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian tambahan, perjanjian fidusia maupun perjanjian jaminan lainnya. Debitor yang menjual objek jaminan dalam hal ini kendaraan bermotor adalah salah satu bentuk wanprestasi apabila kendaraan bermotor yang seharusnya digunakan sesuai kebutuhan dan fungsinya tidak dijaga dan dirawat dengan baik sesuai dengan kewajiban debitor selaku pemberi fidusia. Pada prinsipnya debitor tidak mempunyai kewenangan untuk mengalihkan atau menjual objek jaminan fidusia dalam hal ini kendaraan bermotor kepada pihak ketiga, karena telah terjadi penyerahan hak milik secara fidusia dari debitor kepada kreditor, sehingga kedudukan debitur adalah sebagai peminjam pakai atau peminjam pengganti atas benda jaminan fidusia yang hak miliknya telah dialihkan berdasarkan kepercayaan kepada kreditor. Sesuai ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dijelaskan, bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris. Masih terkait dengan pembebanan beban benda jaminan fidusia dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1), ditegaskan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Sesuai isi Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1) di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembebanan terhadap jaminan fidusia adalah menjadi mutlak dilakukan dalam bentuk akte notaris dan terdaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai langkah perlindungan kepentingan yang diberikan kepada kreditor. Didalam praktek perjanjian kredit dengan jaminan fidusia seringkali terjadi objek jaminan fidusia oleh debitor sudah dialihkan kepada pihak ke
6
tiga sebelum/sesudah pendaftaran dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia yang berakibat kerugian bagi kreditor. Dari hasil penelitian awal yang dilakukan di beberapa lembaga pembiayaan di Klaten selama kurun waktu tahun 2014 angka penjualan kendaraan bermotor mencapai 19.000 (Sembilan belas ribu) unit kendaraan bermotor. Dari besaran angka tersebut ada beberapa permasalahan timbul yaitu masalah pengalihan objek jaminan kepada pihak ketiga oleh debitor. Berdasarkan pada uraian ini, maka akan dilakukan pembahasan terkait dengan tentang langkah penyelesaian beserta hambatan-hambatan yang dilakukan oleh kreditor dan bagi debitor yang telah menjual benda jaminan fidusia kepada pihak ketiga. B. Perumusan Masalah Rumusan masalah itu merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data bentuk-bentuk rumusan masalah penelitian ini berdasarkan penelitian menurut tingkat eksplanasi.4 Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang akan diajukan dalam penelitian tesis ini adalah: 1.
Bagaimana langkah-langkah penyelesaian sengketa oleh kreditor apabila debitor menjual kendaraan bermotor yang dijaminkan dengan fidusia pada pihak ketiga?
2.
Apa hambatan-hambatan dalam penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh kreditor apabila debitor menjual kendaraan bermotor yang dijaminkan dengan fidusia pada pihak ketiga?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Tujuan Objektif. a.) Untuk megkaji dan mengetahui langkah-langkah penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh lembaga pembiayaan sebagai kreditor
3
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: CV. Alfabeta,Hal. 56
7
terhadap barang jaminan yang telah dijual oleh debitor kepada pihak ketiga yang terjadi di wilayah Klaten. b.) Untuk mengkaji dan mengetahui hambatan-hambatan penyelesaian sengketa yang ditempuh oleh lembaga pembiayaan sebagai kreditor terhadap barang jaminan fidusia yang telah dijual oleh debitor kepada pihak ketiga yang terjadi di wilayah Klaten. 2. Tujuan Subjektif a). Untuk menambah pengetahuan peneliti terhadap penerapan aturan aturan lain terkait dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia b) Untuk melengkapi syarat-syarat akademis guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. 1. Manfaat Teoritis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penulisanpenulisan hukum selanjutnya. b) Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat menambah referensi dan literatur dalam penyelesaian perjanjian kredit dengan jaminan fidusia.. 2. Manfaat Praktis a) Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi pihak lembaga pembiayaan, agar dapat melayani debitor/nasabah dengan lebih baik dan mendapatkan kualitas kredit yang produktif dalam menyelamatkan kredit macet. b) Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi lembaga pembiayaan dalam mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam menyelesaikan sengketa yang ditempuh oleh lembaga
8
pembiayaan sebagai kreditor terhadap barang jaminan yang telah dijual oleh debitor kepada pihak ketiga.
E. Sistematika Penulisan Hasil penelitian yang telah diperoleh dan dianalisa, kemudian disusun dalam suatu laporan penelitian dengan sistematika penulisan sebagai berikut; BAB I.
PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang uraian latar belakang yang menjadi alasan penulisan penelitian ini, tentang rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II. LANDASAN TEORI Bab ini berisi uraian tentang pengertian, unsur-unsur, syarat sahnya dan berakhirnya perjanjian, tentang jaminan fidusia dalam penerbitan kredit, eksekusi objek jaminan fidusia, unsur-unsur pemberian kredit konsumtif, teori penerapan hukum, penelitian yang relevan serta kerangka berfikir. BAB III. METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang pengertian metode penelitian, Lokasi penelitian, jenis penelitian, sifat penelitian, jenis data, Sumber data, teknik Pengumpulan data, teknik analisis data BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai langkah-langkah serta hambatan-hambatan penyelesaian sengketa oleh kreditor apabila debitor menjual kendaraan bermotor yang dijaminkan dengan fidusia pada pihak ketiga BAB V. PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian berikut solusi dari permasalahan ,implikasi serta saran-saran yang dianggap perlu guna mengatasi permasalahan yang ditemukan pada saat penelitian.