1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Juni 2013, gelar budaya tari digelar Kraton Yogyakarta. Gelar budaya itu
berlangsung selama dua malam dengan menampilkan Srimpi Pandelori Jebeng, Golek Asmarandana Bawaraga, Beksa Guntur Segara, dan Wayang Wong gaya Yogyakarta. Di bawah naungan Kawedanan Hageng Poenokawan (KHP) Kridha Mardawa1, saya bersama banyak penari dan pengrawit2 dari beberapa generasi terlibat, dan ketika itu didaulat menarikan tari Srimpi Pandelori Jebeng bersama tiga orang penari lainnya. Saat berias, salah satu penari bertanya pada pemucal (guru tari) model dan pilihan warna rias untuk pentas. Malam itu, pemucal memutuskan untuk srimpi menggunakan “rias jahitan” dengan bedak warna kuning, sedangkan untuk golek, rias cantik dengan eye-shadow menyesuaikan warna baju atau sesuai kesepakatan para penari agar seragam. Bagi penari, pertanyaan soal penggunaan warna bedak, pemilihan warna eye-shadow, ataupun pemakaian rouge adalah pertanyaan biasa jelang mementaskan tari untuk kraton. Biasanya pemucal yang bertugas menunggu para penari akan memutuskan rias seperti apa dan warna apa yang seharusnya dipakai.
1
KHP Kridha Mardawa merupakan organisasi resmi kesenian di kraton yang bertugas melaksanakan acara kesenian seperti iringan gamelan, beksan (tarian) dan menangani pentas rutin (lihat Kuswarsantyo dalam Jurnal Seni Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1996: 87) 2
Pengrawit adalah sebutan bagi para musisi yang memainkan instrumen gamelan dalam suatu kelompok kerawitan.
Penari memang merias wajah sendiri dan itu bukan hal yang luar biasa. Penari terbiasa –atau barangkali diharuskan untuk dapat, merias diri masing-masing. Lebih-lebih jika kemudian harus menari di luar kraton. Cerita di atas adalah cerita penari di jaman sekarang. Apa yang saya alami berbeda dengan pengalaman lain yang pernah diceritakan kepada saya oleh Sutanti, seorang penari klasik di tahun 30an3. Sutanti mengalami 3 jaman di dalam karier kepenariannya4. Menurut ceritanya, selalu ada abdi dalem perias khusus yang didatangkan dari kraton untuk merias para penari ketika ia menarikan tari kraton seperti bedhaya dan srimpi di Kridha Beksa Wirama5. Abdi dalem perias itu disebut Nyi Lurah Aci. Nyi Lurah Aci ini masih dihadirkan untuk merias bahkan ketika tari kraton telah boleh diajarkan di luar kraton. Pasca Indonesia merdeka, institusi tari mulai banyak bermunculan dan mengajarkan tarian kraton6. Banyak penari yang sudah bisa merias dirinya sendiri, termasuk Sutanti. Apa yang dialami Sutanti dengan
3
Sutanti, adalah penari yang terlibat pada misi kesenian Indonesia pertama tahun 1954 ke Cina. Ia menari sejak berusia 12 tahun dengan belajar tari klasik di Kridha Beksa Wirama, sekolah tari yang didirikan oleh para pangeran kraton Yogyakarta (lihat Lindsay dalam Ahli Waris Budaya Dunia, 2011: 221). 4
Wawancara dengan Sutanti. Tanggal 25 Oktober 2013.
5
Organisasi tari gaya Yogyakarta di luar kraton yang didirikan oleh penari putera Sultan Hamengkubuwana VII, Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejakusuma beserta 12 pakar pertunjukan kraton lainnya pada tahun 1918. Kridha Beksa Wirama berhasil mensosialisasikan tari Jawa gaya Yogyakarta keluar tembok kraton dan memulai transformasi dari suatu tradisi yang pada dasarnya lisan menjadi tradisi tertulis (lihat Hughes –Freelance dalam Komunitas Yang Mewujud: Tradisi Tari dan Perubahan di Jawa, 2009: 77, lebih jauh lihat Kota Yogyakarta 1956, 141-142). 6
Istilah “klasik” atau “tradisi” dipakai untuk mengacu pada bentuk-bentuk kesenian Jawa seperti wayang wong, tari atau musik gamelan. Yang dimaksudkan tarian kraton di sini adalah suatu bentuk tarian yang bertalian dengan istana dan kaum aristokrat di Jawa tengah khususnya Yogyakarta.
2
yang saya alami menunjukkan dua perubahan di dalam rias tari. Pertama, posisi Nyi Lurah Aci sebagai abdi dalem perias menghilang dan digantikan oleh pemucal di jaman sekarang. Kedua, penari sekarang harus bisa merias sendiri. Bagaimana rias penari kraton menjadi tidak lagi dikendalikan kraton melalui abdi dalem perias seperti Nyi Lurah Aci? Apakah mode tata rias yang baru ini ber-relasi dengan peristiwa tari yang „keluar‟ dari kraton? Bagaimana bisa penari sekarang terbiasa untuk merias sendiri? Anehnya, rias dalam tari kraton sangat jarang dikupas, dibandingkan penelitian mengenai institusi tari, teknik maupun bentuk tari, padahal dalam tari Jawa – khususnya gaya Yogyakarta, rias sebagaimana teknik dan koreografi tari menjadi salah satu pertunjukan visual yang dipertontonkan dalam tari, begitu pula adanya konsep pandengan, polatan, dan pasemon7, dimana ketiganya berfokus pada visualisasi wajah saat menari. Hasil penelitian Hughes mengatakan, bahwa menari bahkan bukan sekedar bentuk visual, tetapi melibatkan juga hirarki indera, dan setiap bentuk tari kraton Jawa akan memakai beberapa atau semua unsur seperti ruang arsitektural, penari, aktor penari, sinden/gerong, penabuh gamelan, koreografi, musik gamelan, tembang, kostum, tata-rias, kandha (teks yang dinyanyikan oleh seorang dhalang), dialog atau antawacana atau pocapan, sajen bunga, dupa, dan penonton (Hughes, 2009: 53).
7
Pandengan atau pandangan mata merupakan persyaratan paling penting untuk mengisi penjiwaan dan menghasilkan ekspresi muka. Pandengan yang tajem bisa mewujudkan polatan yang sengsem, gembira, marah, dan sebagainya. Polatan hanya terbatas pada air muka, sementara pasemon tidak hanya terbatas pada air muka melainkan bisa berkesan pada perwatakan yang menyeluruh. Semuanya ini terkait dengan falsafah dalam Joged Mataram. Lihat Masa Gemilang dan Memudar Wayang Wong Gaya Yogyakarta, wawancara dengan Pangeran Suryobrongto oleh Soedarsono, lihat juga B.P.H Suryobrongto, Tari Klasik Gaya Yogyakarta (Yogyakarta: Museum Kraton Yogyakarta, 1976), p. 8.
3
Sedikitnya pembahasan rias dalam tari kraton tidak diimbangi dengan perubahan rias pada tari kraton yang sesungguhnya tergolong radikal, artinya jika dahulu rias tidak mencolok dan terbatas instrumennya, maka sekarang, penari mudah memakai material rias yang beraneka merk dan gradasi warna. Sebuah perubahan yang radikal biasanya akan dibarengi dengan „ketegangan‟. Namun dengan sedikitnya pembahasan perubahan rias tari kraton, perubahan ini rupanya berjalan „biasa-biasa saja‟ atau dianggap normal. Contoh praktik yang berubah secara radikal adalah pemakaian rouge pada penari srimpi. Dokumentasi foto tari srimpi di kraton sebelum tahun 45 menunjukkan bahwa srimpi tidak menggunakan pemerah pipi atau rouge. Apa yang terjadi sekarang adalah, seringkali penari srimpi atau bahkan juga bedhaya menyapukan rouge tipis-tipis di pipinya, dengan alasan –meminjam alasan dari seorang penari, “supaya tidak terlihat pucat kalau kena lampu”. Mengapa seorang penari sekarang menghindari „wajah yang pucat‟ ketika pentas, sementara penari sebelum jaman kemerdekaan seakan tidak peduli dengan itu? Sejak kapan para penari kraton mengenali adanya kemungkinan wajah yang pucat terkena cahaya lampu? Bagaimana tubuh penari diatur melalui wacana rias dalam sejarahnya? Tubuh penari menjadi penting dibicarakan dalam penelitian ini. Tubuh, menurut Foucault (1977 lihat juga O‟Farrel. 2005; 130) mempunyai arti yang beragam, salah satunya adalah tubuh sebagai sebuah alat untuk mengontrol perilaku dan eksistensi seseorang. Dalam metafora Foucauldian, tubuh adalah „penjara bagi jiwa‟ (the body as prison of the „soul‟). Penelitian ini mengasumsikan diskontinuitas rias penari kraton yang dianggap „normal‟ tersebut
4
didasarkan atas penggunaan tubuh sebagai alat „menormalisasi‟ perubahanperubahan, termasuk perubahan tata rias penari kraton. Diskontinuitas rias dalam tari kraton yang melibatkan tubuh penari bisa jadi membutuhkan perubahan banyak pengetahuan (knowledge) misalnya; pengetahuan mengenai tubuh penari, pengetahuan mengenai institusi tarinya, pengetahuan tentang ruang pentasnya, atau pengetahuan yang mendefinisikan wajah, objek rias, sebagai wajah yang berbeda. Penelitian ini sendiri mengambil perspektif cultural studies, dimana gagasan utamanya adalah sebuah praktik budaya merupakan konstruk dari banyak makna dan representasi yang digenerasikan dari praktik penandaan manusia, konteks dimana peristiwa itu terjadi, dengan perhatian pada relasi kuasa dan efek politis yang inheren dalam praktik budaya tersebut (Barker. 2000; 43 ). Tubuh penari, dalam penelitian ini, dimengerti sebagai objek wacana rias, wacana tari dan banyak wacana lainnya. Pendeknya tubuh dilihat sebagai “stylized and performed by the workings of culture” (Barker.2000; 15) Harapan dari penelitian ini adalah dapat membuka sebuah pertanyaan penting yang mungkin diabaikan banyak kajian tari ketika mereka seringkali membahas estetika, bentuk, makna dan fungsi tari kraton; apakah tari kraton, sebagai bagian tari tradisi, masih merupakan sebuah praktik budaya „tradisi‟ atau tak lebih merupakan „pertunjukan modern yang dilabeli „tradisi‟? Ketika berhadapan dengan masa lalu rias tari kraton dalam kerja awal penelitian ini, saya melihat ada problem lain dari sejarah tari itu sendiri. Sebagian besar data „masa lalu‟ baru didiskursifkan pada saat „sekarang‟. Misalnya, data
5
mengenai HB I, yang diyakini sebagai fakta pada tahun HB I berkuasa, pada dasarnya muncul pada saat HB IX. Keyakinan itu tak bisa dikonfirmasi sebagai data pada masa HB I, melainkan hanya berdasar „keyakinan‟. Saya berhadapan dengan apa yang dinamakan Foucault sebagai „history of the present‟, dimana sejarah pada dasarnya selalu disusun berdasar perspektif „masa kini‟. Lindsay (1991: 88), dalam konteks sejarah wayang wong, memperingatkan bahwa “Kita tidak boleh menyimpulkan bahwa kombinasi ini selalu sama atau bahwa ciri-ciri yang ternyata menentukan wayang wong punya arti penting yang sama dalam konteks dan waktu yang berbeda-beda”. Hughes (2008: 51) lebih gamblang mengemukakan bahwa sebenarnya para pelaku sejarah tari kraton Yogyakarta sedang „memproduksi kenangan dan menyusun sejarah‟; Cara kerja ketidakpastian dalam produksi repertoar kraton masih ditutupi oleh cerita-cerita asli, namun banyak dari repertoar pada akhir abad ke duapuluh tidak bisa langsung dikenali seratus tahun sebelumnya…masingmasing jenis peristiwa pementasan dibangun di atas serangkaian acuan kepada teks dan praktik yang ada. Bagaimanapun juga, meskipun masingmasing peristiwa menurut dugaan mengulangi peristiwa sebelumnya, tidak pernah ada dua pementasan yang identik. Bahkan yang tertua dari bentuk konvensional yang masih bertahan hidup telah dipraktikkan dengan infleksi berbeda-beda sepanjang masa, dan masing-masing sultan membuat penyesuaian, atau tambahan kepada repertoar itu. Fakta di atas menjadi semacam rambu atau „disclaimer‟ bagi penelitian ini, bahwa apa yang diwacanakan sebagai „masa lalu‟ belum tentu merupakan fakta masa lalu. Hal itu sekaligus semakin mengukuhkan pada „diskontinuitas‟, sebagai istilah pada perubahan dalam rias tari.
6
1.2
Rumusan Masalah Rias, sebagaimana teknik dan koreografi, merupakan tontonan visual yang
penting dalam pertunjukan tari kraton. Meski demikian, pembahasan mengenai tata rias tari kraton tidak banyak jumlahnya. Kalaupun ada, seringkali tulisan tersebut tidak menyejarah, atau kebanyakan ditulis masa setelah abad 20 yang membayangkan masa lalu sebelum masa abad 20 itu. Perubahan dalam rias tari kraton dilihat tampak wajar, normal, alamiah, dan kemudian diterima begitu saja, tanpa dilihat kembali apakah perubahan rias tersebut merupakan produk dari sistem pengetahuan yang sama atau tidak dan yang terpenting melibatkan kuasa yang bagaimana. Penelitian ini mengasumsikan bahwa diskontinuitas rias penari kraton yang dianggap normal menggunakan tubuh sebagai alat untuk menormalisasi perubahan-perubahan. Diskontinuitas rias tari kraton yang melibatkan tubuh penari itu membutuhkan banyak pengetahuan. Oleh karenanya, penelitian ini mencoba untuk memahami rias dalam tari sebagai sebuah fenomena keseharian yang tidak netral dimana ia melibatkan banyak pengetahuan/kuasa mengenai rias, yang kemudian membuka rumusan pertanyaaan dalam penelitian ini tentang bagaimana konstruksi tubuh penari kraton Yogyakarta melalui rias tari. 1.3
Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana pengetahuan dan praktik disipilin rias dalam tari kraton Yogyakarta sebelum kedatangan rias modern? 2. Bagaimana diskontinuitas pengetahuan rias tari kraton Yogyakarta dalam wacana rias modern?
7
3. Bagaimana
tubuh
penari
kraton
Yogyakarta
sebagai
subjek
pendisiplinan kraton dan sebagai arena kontestasi dari wacana rias tari kraton lama dan wacana rias modern? 1.4
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk; 1) mendeskripsikan pengetahuan
dan praktik disipilin rias dalam tari kraton Yogyakarta sebelum kedatangan rias modern; 2) menganalisis diskontinuitas pengetahuan rias tari kraton Yogyakarta melalui wacana rias modern; 3) menganalisis tubuh penari kraton Yogyakarta sebagai subjek pendisiplinan kraton dan sebagai arena kontestasi dari wacana rias tari kraton lama dan wacana rias modern. 1.5
Tinjauan Pustaka Karya penelitian mengenai rias di dalam tari tidak banyak ditemukan,
terlebih buku mengenai sejarah rias di indonesia. Begitu pula buku-buku yang dapat dijadikan referensi bagi penelitian tersebut. Barangkali salah satu tugas penelitian ini adalah untuk turut menyumbang referensi bagi penelitian di bidang ini. Beberapa buku-buku mengenai tata rias cenderung mengarah pada teknik berias atau bagaimana mengaplikasikan make up pada wajah. Tanpa bermaksud mengecilkan karya buku yang berbau teknis, buku-buku dengan genre yang demikian tetap dijadikan referensi dalam penelitian ini sebagai pengetahuan yang dikenali saat ini. Sebuah tulisan yang berbicara tentang pendisiplinan tubuh lewat tata rias pernah dituliskan oleh Kris Budiman (2000) dengan judul “Tata Rias Pendisiplinan Tubuh Perempuan” dalam buku Feminis Laki-laki dalam Wacana 8
Gender. Tulisan ini merupakan sebuah analisis pada teks tata rias wajah yang ditulis oleh Ny. Endang Widjanarko Puspoyo yang terbit pada tahun 1994. Budiman menuliskan bahwa kebutuhan merias diri bagi perempuan untuk memenuhi kebutuhan menjadi „cantik‟ bukanlah sesuatu yang terberi, melainkan terbentuk karena konstruk sosial. Konstruk tersebut membuat perempuan merasa bahwa tubuhnya tidak pernah sempurna, sehingga merasa perlu mempraktekkan sendiri pendisiplinan terhadap tubuhnya melalui peralatan kosmetika. Hal ini dilakukan demi mengubah penampilan dan mendapatkan tubuh ideal yang feminin. Apa yang ditulis oleh Budiman, sesungguhnya beririsan dengan penelitian yang hendak saya lakukan, yaitu pada persoalan praktik pendisiplian tubuh via rias, dan penggunaan konsep Michel Foucault dalam analisisnya. Perbedaannya, praktik disiplin tubuh via rias pada penelitian saya tidak dikhususkan hanya pada perempuan, melainkan mengambil objek para penari kraton baik laki-laki maupun perempuan dengan menyertakan pengetahuan yang mengada lewat diskursus untuk mengiringi perubahan yang terjadi dalam rias. Penelitian yang lain, tesis terbaru dari Indah Wenerda (2014) berjudul Pendisiplinan dan Pengawasan Tubuh Melalui Tata Rias Wajah Bagi Pekerja Perempuan yang juga membicarakan mengenai disiplin tubuh lewat rias pada Karyawan Telkomsel. Tidak jauh berbeda dengan tulisan Budiman, Wenerda menganalisis mengenai tata rias wajah yang digunakan sebagai sebuah mekanisme baru yang diterapkan ke dalam lingkungan kerja, dimana pekerjaan sebagai seorang Customer Service Telkomsel sama sekali tidak berkaitan dengan penjualan produk-produk kecantikan seperti kosmetik. Untuk melihat bagaimana
9
praktik tersebut berjalan, Wenerda juga menggunakan Discipline and Punish, sebuah konsep pendisiplinan tubuh dan pengawasan dari Foucault. Meskipun sama-sama mengambil rias sebagai objek penelitian dan mengusung konsep dari Foucault, ada perbedaan antara penelitian yang saya lakukan dengan yang telah dilakukan oleh Wenerda. Selain objek penelitian saya yang menyasar pada penari kraton, dalam hal metode analisis yang dipilih juga berbeda. Selain hal tersebut, dalam penelitian saya, saya berusaha menyertakan rias dalam ruang sejarah lokal untuk melihat bagaimana diskursus mengenai rias berjalan sebagai “regulated statement” dimana seseorang melihat, memikirkan dan membicarakannya kemudian dalam konteks lokal, sedangkan penelitian Wenerda lebih memilih menceritakan sekelumit sejarah rias dunia. Buku karya Didik Nini Thowok (2012) yang berjudul Stage Make Up: Teater, Tari, dan Film
merupakan buku rias di Indonesia yang mengupas
mengenai stage make up atau rias panggung di dalam teater, tari, dan film. Di dalam buku ini, Didik tidak sedang berbicara mengenai sejarah rias panggung dan perubahannya ataupun permasalahan yang muncul di dalam rias panggung. Sekilas saja di halaman awal, Didik menyinggung mengenai awal-awal kecintaannya dalam bidang rias dan busana. Seterusnya, Didik lebih banyak mengulas tentang bagaimana teknik dalam rias cantik, rias karakter, cara penggunaan kuas dan peralatan rias, serta referensi bahan yang dapat digunakan di dalam rias panggung. Di dalam buku ini, informasi yang dapat dianggap cukup membantu sebagai data, justru didapatkan dari pengantar yang disampaikan oleh Prof. Dr. R. M. Soedarsono. Prof. Dr. R.M. Soedarsono adalah seorang
10
bangsawan Jawa, penari, sejarawan, mantan Rektor ISI Yogyakarta, dan pernah menjadi dosen tata rias dan busana di tahun 1971 di Akademi Seni Tari Yogyakarta, sebelum bergabung dengan ISI Yogyakarta. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peran Prof. Dr. R. M. Soedarsono di dalam mengenalkan pengetahuan mengenai teknik make up barat dianggap cukup penting. Prof. Dr. R.M Soedarsono adalah seorang dosen yang membawa dan mengenalkan rias panggung di seni pertunjukan terutama seni tari, salah satunya dengan memakai buku Stage Make up karya Richard Corson, sebagai bahan ajar bagi mata kuliah tata rias dan busana di seni pertunjukan. Buku Richard Corson (1967), yang berjudul Stage Make up, sering kali dijadikan referensi dalam penelitian mengenai make up dan teknik berias. Buku ini berisikan foto-foto, gambar, dan diagram untuk menjelaskan bagaimana langkah-langkah, prinsip-prinsip dan teknik penggunaan make up
panggung
untuk berbagai tempat pertunjukan. Corson dalam bukunya juga menuliskan sekilas mengenai sejarah pemakaian make up di Barat, dari jaman kuno, abad pertengahan, sampai dengan abad ke- 20. Selain itu, beberapa hal seperti pentingnya analisis karakter di dalam mengaplikasikan make up, physiognomy dan facial anatomy, sampai dengan lighting untuk make up juga tidak luput dari sasaran pembahasannya. Buku Stage Make Up dianggap memiliki informasi yang cukup lengkap mengenai make up, sehingga bagi para pelaku seni pertunjukan di Indonesia terutama teater dan tari, buku ini seringkali menjadi bahan rujukan andalan dalam membuat tulisan mengenai teknik rias. Hal ini menjadi penting terkait dengan pengetahuan rias yang muncul kemudian di dalam rias tari kraton,
11
dalam hal ini tari klasik gaya Yogyakarta. Dalam tari klasik gaya Yogyakarta sebelumnya, barangkali belum dikenali pengetahuan rias seperti yang dituliskan Corson. Selain dari tulisan Corson, adalah buku yang ditulis oleh Felicia HughesFreeland (2008) dalam karyanya yang berjudul Embodied Communities: Dance Traditions and Change in Java, yang kemudian diterbitkan dan diterjemahkan oleh Gadjah Mada Press dengan judul Komunitas Yang Mewujud: Tradisi Tari dan Perubahan di Jawa (2008). Hughes-Freeland memfokuskan kajiannya pada apa yang disebutnya sebagai „tari klasik‟ di Jawa. Dalam analisanya, tari Jawa bukan kelanjutan “alami” dari suatu tradisi sebelumnya, melainkan selama ini direkonstruksi dalam suatu cara modern yang sadar diri yang digarap oleh ide komunitas politik, dalam hal ini berkaitan dengan berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada tahun 1755, serta ketika Kraton Yogyakarta menjadi bagian dari Propinsi di Indonesia. Apa yang ditemukan dan disampaikan Hughes-Freeland pada salah satu bab dalam bukunya tersebut, pada dasarnya dapat menjadi salah satu data yang dapat dimunculkan dalam penelitian ini. Hughes-Freeland secara sekilas menyampaikan mengenai bagaimana rias yang muncul pada salah satu repertoar tari klasik di kraton pada masa kini, serta bagaimana pertunjukan di kraton sekarang telah berhasil menggaet beberapa sponsor-sponsor yang salah satunya adalah sponsor dari produk kosmetik. Buku yang juga penting sebagai referensi dalam penelitian ini adalah buku berjudul Klasik Kitsch Kontemporer: Sebuah Studi Tentang Seni Pertunjukan
12
Jawa yang ditulis oleh Jennifer Lindsay (1991). Melalui bukunya, Lindsay menyuguhkan tulisan tentang perkembangan dan pergeseran bentuk dan gaya dalam wayang wong dan karawitan, serta usaha untuk menghidupkannya kembali. Selain itu, bagaimana pandangan para pemikir seni terhadap pemahaman tradisi dan kontemporer juga diulas dalam buku ini. Buku ini menyumbang beberapa data dalam penelitian saya, dan membantu untuk melihat bagaimana pendapat para ahli Belanda di masa lalu yang secara tidak langsung mempengaruhi cara pandang para seniman Indonesia tentang seni tradisi, klasik, dan kontemporer. Tulisan tentang bagaimana wayang wong Yogyakarta telah berubah dari masa lalu dan kemudian diletakkan dalam konteks persepsi sekarang memiliki kesamaan cara pandang yang sama dengan penelitian yang saya tulis, dimana dalam penelitian saya tentang rias tari kraton ini mengambil perspektif history of the present dari Foucault. Referensi yang lain adalah sebuah laporan penelitian yang dilakukan oleh Ben Suharto bersama Erlina Pantja Sulistijaningtijas dan Bernadeta Sri Hanjati (1997) yang berjudul Paes Ageng dan Beksa Bedhaya: Sebuah Kajian Estetika Dalam Makna yang Berlapis Ganda. Dalam penelitian ini dipaparkan mengenai perubahan di dalam bentuk atau model tata rias dan busana pada tari bedhaya di kraton Yogyakarta. Laporan penelitian yang ditulis oleh Suharto dan kawankawan, juga menjadi penting bagi apa yang ingin saya kaji dalam penelitian ini, karena di dalam karya ini terdapat kesamaan objek penelitiannya, yaitu mengenai rias penari. Mengingat bedhaya merupakan salah satu genre tari putri di kraton Yogyakarta, maka ketika ingin mengkaji mengenai perubahan rias penari di
13
kraton Yogyakarta, tata rias dalam bedhaya menjadi salah satu data yang dapat diikutsertakan di dalam penelitian. Meskipun terdapat kesamaan data yang ditemukan dalam karya penelitian ini, cara mengidentifikasi perubahan yang terjadi berbeda. Suharto (et all) menunjukkan beberapa perubahan rias dalam tari bedhaya dengan mendeskripsikan hubungan antara paes ageng dengan tari bedhaya di kraton Yogyakarta juga hubungan paes ageng dengan kualitas kepenarian. Sementara penelitian ini berusaha mengidentifikasi perubahan dengan melihat bagaimana perubahan pada diskursus rias pada penari di kraton sehingga membentuk pengetahuan dan tubuh yang berbeda di setiap jamannya. Selanjutnya adalah buku yang berjudul Busana Kebesaran Dalam Perkawinan Adat Kraton Yogyakarta dari Jaman ke Jaman oleh Kusniati Mochtar (1988). Karya dari Mochtar tidak dapat diabaikan sebagai salah satu referensi di dalam penelitian ini, meskipun di dalamnya tidak dibahas mengenai bagaimana tata rias di dalam tari. Dalam buku tersebut diulas bagaimana bentuk dan simbol riasan paes, sehingga diperlukan dalam penelitian saya untuk melihat bagaimana rias paes yang sering digunakan pada salah satu genre tari putri di kraton Yogyakarta, bedhaya. Tata rias di dalam bedhaya sering diwacanakan menggunakan rias paes ageng yang menjadikan mereka (para penari) seperti pengantin agung sembilan jumlahnya (Suharto (et all), 1997:13 ). Oleh karena itulah, buku ini mampu membantu untuk mengetahui bagaimana rias pengantin putri di kraton Yogyakarta beserta penjelasan mengenai simbol-simbol yang dilekatkan di dalam setiap riasannya.
14
1.6
Landasan Teori Penelitian ini berupaya untuk membongkar perubahan diskursus rias tari
yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar dengan melihat pengetahuan (knowledge) dan tubuh penari di kraton Yogyakarta. Hal yang dapat dilakukan untuk membongkar diskursus ini adalah dengan menggunakan pemikiran dan konsep-konsep dari Michel Foucault yang relevan dengan penelitian ini yakni; pengetahuan, tubuh dan disiplin.
1.6.1 Pengetahuan Rias Tari Yang Selalu Historis Cara seseorang melihat rias tari dipengaruhi oleh banyak pengetahuan. Foucault, seorang tokoh poststrukturalis dalam filsafat Perancis, adalah salah satu yang memperkenalkan konsep pengetahuan ini. Melalui karyanya, Foucault mencoba untuk mengidentifikasi kondisi sejarah dan aturan-aturan yang menentukan pembentukan wacana, serta operasi kuasa dan pengetahuan dalam praktek sosial. Menurutnya, pengetahuan diproduksi melalui bahasa dengan memberikan makna pada objek material dan praktek sosial yang biasa disebut praktek diskursif. Dalam Archaeology of Knowledge, Foucault (1972; 201) mengemukakan bahwa pengetahuan adalah yang membuat orang dapat berbicara sekaligus menentukan posisi; (karena) ia merupakan sebuah medan koordinasi dan subordinasi
pernyataan-pernyataan;
dan
kemudian
didefinisikan
oleh
kemungkinan penggunaan dan kecocokannya dalam sebuah wacana. Jadi pengetahuan (savoir) tidaklah tetap. Ia bukanlah sebuah hal yang merupakan
15
produk intelegensia manusia, melainkan selalu bersifat historis (lihat O‟Farrel. ; 142). Kebenaran dan pengetahuan dengan demikian tidaklah netral, universal, dan objektif. Mereka adalah produk dari manusia, yang secara khusus terkait dengan ruang dan waktu tertentu (Barker, 2004: 163). Ketika pengetahuan bersifat historis, relasi kuasa dan pengetahuan menjadi tidak dapat terpisahkan. Bahasa menjadi alat untuk mengungkapkan kekuasaan, dan disinilah kuasa mendapatkan “kebenaran” melalui pernyataan-pernyataan ilmiah. Mills (2003; 69) menulis : “knowledge is not dispassionate but rather an integral part of struggles over power, but it also draws attention to the way that, in producing knowledge, one is also making a claim for power”. Sementara itu, pengetahuan yang dianggap netral atau „objektif‟, sebenarnya adalah sebuah strategi kuasa. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan ia datang dari subyek tertentu (Haryatmoko, 2003: 225). Bagi Foucault, ada hubungan antara kuasa dengan pengetahuan. Pengetahuan sering dituliskan menyatu dengan kuasa yang dipisahkan dengan garis miring. Hal ini dikarenakan, di dalam setiap kehendak untuk mengetahui sesuatu, selalu ada juga kehendak kuasa. Setiap pengetahuan mengandung kuasa, begitu pula sebaliknya, di dalam kuasa ada pengetahuan. Kendall dan Wickham (1999) lebih lanjut berkomentar, bahwa perbedaan keduanya adalah pada masalah fleksibilitas dan stratifikasi. Jika pengetahuan dapat dikategorikan, distratifikasikan, maka kuasa tidak seperti pengetahuan, dan sangat cair : “...power mobilises non-stratified matter and function, it local and unstable, and is flexible. Knowledge is stratified, archivesed and rigidly
16
segmented. Power is strategiv, but is anonymous. The strategies of power are mute and blind, precesly because the avoid the form of knowledge, the sayable and visible “ (Kendall & Wickham, 1999: 52). Konsep mengenai wacana juga dianggap penting untuk memahami kuasa dan pengetahuan Foucault. Konsep ini penting, karena konstruksi wacana, akan mendefinisikan dan menghasilkan objek pengetahuan dengan cara yang dimengerti. Disini pengetahuan sebagai wacana adalah produk dari pernyataan yang digabungkan dan diatur oleh subjek kuasa, dan tergantung pada kondisi historis tertentu (Barker, 2004: 163). “ The concept of discourse is important to Foucault‟s understanding of power/knowledge since discourse constructs, defines and produces the objects of knowledge in an intelligible way while excluding other forms of reasoning as unintelligible. Here knowledge as discourse is a product of the way statements are combined and regulated, that is, subject to power, under particular and determinate historical conditions. Thus power forms and defines a distinct field of knowledge/ objects constituted by a particular set of concepts. This ordered domain of language delimits a specific „regime of truth‟ (that is, what counts as truth) ” (Barker, 2004: 163). Dalam penelitian ini, bagaimana pengetahuan rias tari keraton dilihat sebagai akumulasi dari wacana-wacana mengenai rias tari dan tari kraton. Wacana tersebut membentuk pengetahuan rias tari baik di „masa sekarang‟ dan „masa lalu‟. Ketika pengetahuan dan kuasa tidak dapat dipisahkan, maka pengetahuan tersebut ditimbulkan oleh kuasa tertentu yang sangat cair dan lokal. Kuasa/pengetahuan terhadap rias tari, teori tentang rias, teknologi rias menentukan kemudian bagaimana rias tari kraton didefinisikan dan dipahami. Misalnya perubahan rias tari kraton yang dianggap „sudah sewajarnya‟ atau „kemajuan‟ adalah contoh bekerjanya banyak pengetahuan. Ketika, perubahan rias
17
tari kraton disebut „kemajuan‟ misalnya, yang terjadi hanyalah sebuah pergeseran instrumen yang dipakai untuk menanamkan kekuasaan yang dalam hal ini dianggap sebagai „pengetahuan‟. Atau barangkali pengetahuan/kuasa yang kemudian dapat membuat orang menganggap teknologi baru rias kraton sebagai „kemajuan‟. 1.6.2 Tubuh Penari dan Kontestasi Wacana di Dalamnya Tubuh penari
dikonstruksi melalui wacana-wacana yang membentuk
sebuah sistem pengetahuan. Wacana make up modern, wacana anatomi wajah untuk mengkoreksi wajah atau menonjolkan kelebihan wajah, terakumulasi dan terinstitusikan sebagai „kebenaran‟ melalui institusi-institusi pendidikan modern. Selain hal tersebut, untuk menjadi sebuah sistem pengetahuan yang menubuh, wacana rias melibatkan adanya pengawasan yang detail terhadap hal-hal kecil sampai dengan ekspresi atau karakter yang harus dimunculkan dari tubuh seseorang. Dalam Discipline and Punish (1977), Foucault menyampaikan terminologi “Docile Bodies” atau tubuh-tubuh yang patuh (submissif). Tubuh tidak bisa dilepaskan dari suatu teknik-teknik pembentukan tubuh tertentu yang di dalamnya ditanamkan kekuasaan pada setiap individu-individu. Barker (2004) menyatakan: “... a good deal of Foucault‟s writing has been concerned with the „disciplinary‟ character of modern institutions, practices and discourses that have produced what he called „docile bodies‟ that could be subjected, used and transformed...” (Barker, 2004: 15). Penggunaan konsep tubuh ketimbang konsep „individu‟ dalam gagasan Foucauldian, dilihat Sara Mills, sebagai sesuatu hal yang penting. Individu dalam
18
gagasan Foucault dilihat hanya sebagai „sebuah efek‟ ketimbang sebuah hal yang „esensial‟. Gary Wickham menulis; „the notion of bodies as the target of power is part of Foucault‟s attempt to avoid the liberal conception of individuals as unconstrained creative essences‟ (Wickham 1986: 155 dalam op.cit ; 82). Dengan kata lain, tubuh penari merupakan subyek dari banyak pengetahuan rias tari. Tubuh, dalam kacamata Foucault, adalah sebuah situs dimana wacanawacana tampil dan tubuh menjadi sebuah medan dimana wacana-wacana tersebut saling berkontestasi (Mills. 2003; 81). Tubuh adalah entitas historis dan kultural yang berarti sebuah tubuh dilihat, diperlakukan dan dialami secara berbeda tergantung pada konteks sosial dan periode sejarah. Berarti, tubuh selalu berubah dan tidak pernah merupakan sesuatu yang alamiah, melainkan dimediasikan melalui ragam konstruksi sosial (ibid; 83). Ketika tubuh adalah situs wacana maka ia erat kaitannya dengan kuasa (power). Kuasa merupakan sebuah rezim yang dapat melakukan kontrol terhadap tubuh dan mampu mengkonstruksi tubuh untuk menjadi berguna dan patuh. Foucault menunjukkan bahwa tubuh tidak bisa dilepaskan dari teknik-teknik pembentukan tubuh tertentu, yang melalui individunya ditanamkan kekuasaan. Ada kekuasaan yang bekerja di dalam tubuh yang menjadi semacam kekuatan mekanis dalam semua faktor masyarakat. Dalam Discipline and Punish, lebih jauh, Foucault menyatakan: “... the power exercised on the body is concieved not as a property, but as a strategy, that its effects of domination are attributted not to “appropriation”, but to dispositions, monoevres, tactics, techniques, functioning...” (Foucault, 1977: 26).
19
Tubuh menurut Foucault dikenai disiplin yakni (1981h: 191 dalam O‟Farrel. : 102) sebuah teknologi yang bertujuan untuk “terus membuat seseorang di bawah pengawasan, bagaimana mengkontrol tata-caranya, tindakannya, kemampuannya,
bagaimana
meningkatkan
performanya,
meningkatkan
kapasitasnya, bagaimana membuat seseorang itu terus berguna”8. Mekanisme disiplin terdiri dari 1) pengaturan ruang; 2)pengorganisasian aktivitas; 3)pengawasan
(Surveillance);
4)prinsip
normalisasi,
dan;
5)
pengujian
(eksaminasi) yang dapat merupakan kombinasi dari pengawasan dan normalisasi. Lebih jauh, menurut Foucault ada seperangkat teknik yang mampu memfasilitasi operasi dari mekanisme kuasa ini. O‟Farrel telah menghimpun pemikiran Foucault ini ke dalam beberapa kategori. Pertama, pengaturan ruang. Foucault menyebut ruang diorganisasi dalam sebuah cara khusus, dimulai dengan prinsip „enclosure‟ dimana artinya adalah ketika seseorang dikunci dalam sebuah ruang institusional, misalnya para kriminal ke dalam penjara (O‟Farrel, 2005: 103). Kedua, pengorganisasian aktivitas. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, teknik penyusunan jadwal waktu (timetable) dimana sekelompok orang dapat menjalankan secara bersama-sama sebuah tujuan dalam satu waktu, di sekolah atau pabrik. Kedua, bentuk-bentuk aktivitas sebuah kelompok diorganisasikan; dimana orang dilatih untuk menampilkan gerakan yang sama di saat yang sama seperti me-resitasi pelajaran sekolah bersama. Ketiga, metode pelatihan tubuh dan tindakannya disempurnakan misalnya di 8
„how to keep someone under surveillance, how to control his conduct, his behaviour, his aptitudes, how to improve his performance, multiply his capacities, how to put him where he is most useful: that is discipline in my sense‟ (1981h: 191)
20
sebuah sekolah kanak-kanak diajarkan untuk membuka pena dengan cara yang tepat 9. Ketiga, prinsip pengawasan (surveillance). Prinsip ini berkenaan dengan efektivitas pandangan (gaze), dimana terdapat sebuah pandangan yang terus mengawasi setiap orang. Prinsip ini sebenarnya berkenaan dengan pencegahan orang agar tidak bertindak „salah‟ dan tidak berniat untuk berbuat salah. Foucault (1977h: 154 mod dalam ibid 104) menulis; “There is no need for weapons, physical violence, material constraints. Just a gaze. An inspecting gaze, a gaze which each person feelingits weight will end up by interiorising to the point of observing himself” Keempat, prinsip normalisasi. Teknik ini muncul pada abad 18, dimana seluruh tindak kriminal menjadi sebuah tindak kriminal yang berhadapan dengan keseluruhan tubuh sosial, hingga kriminalitas menjadi „musuh masyarakat‟. Ide ini akhirnya menumbuhkan gagasan mengenai „individu yang berbahaya‟. Hanya seorang yang „sakit‟ atau „seorang yang tidak rasional‟ dapat melawan keseluruhan tubuh social
10
. Dalam hal tata rias kraton, normalisasi ini
didefinisikan pada mana yang pakem dan yang tidak. Pakem di sini berarti pula kraton, dimana riasan yang tidak sesuai dengan pakem artinya bukan kraton. Kelima, pengujian (eksaminasi). Pengujian adalah teknik yang efektif dan dijalankan oleh sekolah, rumah sakit dan asylum. Foucault berpendapat bahwa pengujian dapat merupakan kombinasi dari pengawasan dan normalisasi dan otomatis menjadikan orang menjadi objek kuasa/pengetahuan. Melalui pengujian, 9
ibid ibid
10
21
individu diminta untuk mereproduksi tipe-tipe pengetahuan tertentu dan perilaku. Tindakan individu kemudian dapat diukur, dan dimasukkan ke „bank data‟ dimana ia dibandingkan dengan yang lain. Dengan perbandingan, seorang individu kemudian dapat dikategorikan, menjadi sebuah „kasus istimewa‟ dan menjadi objek pengetahuan (psikologi, sosiologi dsb) untuk memperluas pengetahuan (ibid; 105) Meski demikian, kuasa selalu hadir bersama resistensi. Operasi kuasa yang ditanamkan lewat tubuh membuka ruang negosiasi sebagai bentuk respon dari subyek yang menjadi target dari regulasi. Dalam tari kraton, rias menjadi salah satu “teknologi tubuh” bagi penari kraton dimana di dalamnya berlangsung negosiasi secara terus menerus. Terkadang, alih-alih mendorong ketaatan, teknologi tubuh tersebut malah membuka ruang penolakan sebagai bentuk negosiasi atas tubuh yang dipatuhkan. Dalam penelitian ini, negosiasi ini terjadi terutama efek dari kontestasi antara pengetahuan rias lama dan rias modern. Konsep tubuh Foucault digunakan dalam penelitian ini untuk membongkar bagaimana tubuh penari dikonstruksi melalui wacana rias. Terminologi mengenai tubuh yang patuh ini sebenarnya digunakan Foucault ketika menguraikan suatu sistem di penjara. Meskipun begitu, konsep tubuh yang patuh ini dapat juga direlevansikan dengan wacana sosial, seperti misalnya wacana rias dan tari untuk mengendalikan tubuh penari di kraton. Tubuh penari, dalam penelitian ini, dimengerti sebagai objek wacana rias, sebagai sebuah medan kontestasi wacana rias lama dan wacana rias modern.
22
1.6.3 Masa Lalu Tari Kraton Sebagai ‘Sejarah Masa Kini’ Dalam latar belakang telah dikemukakan bahwa ada problem dalam sejarah tari dimana menurut Hughes (2008; 51) para pelaku sejarah tari kraton Yogyakarta sedang „memproduksi kenangan dan menyusun sejarah‟. Konsep ini saya perlukan dalam penelitian ini, ketika data-data mengenai wacana dalam tari pada masa lalu sebagian besar baru dituliskan oleh penulis setelah abad 20. Sebagai contoh wacana mengenai konsep greged, sengguh, ora mingkuh sebagai falsafah Joged Mataram dalam tari klasik gaya Yogyakarta. Falsafah ini sesungguhnya baru dituliskan secara institusional ketika GBPH Suryobrongto menafsir kembali dan kemudian mengemukakan dalam ceramah-ceramahnya. Meski beliau menyebutkan asal falsafah tersebut bersumber dalam Babad Prayud (Giyanti Pungkasan), namun dalam Babad Prayud sendiri tidak menyampaikan secara gamblang dengan penjelasan terperinci mengenai apa yang disebut dengan Beksa Mataram11. Seperti halnya yang terjadi dalam sejarah tari, wacana rias dalam tari kraton pada masa lalu seringkali diwariskan secara lisan dan turun temurun. Dokumentasi mengenai rias baru muncul pada masa HB VII, ketika dokumentasi foto hadir dan mampu merekam bagaimana bentuk rias pada masa itu. Masa sebelum HB VII, oleh banyak penulis yang menuliskan rias dianggap sama dengan yang tergambarkan dalam foto-foto tersebut. Kebenaran mengenai hal ini kemudian tidak bisa dikonfirmasi kembali sebagai data yang memang muncul di masanya, dan hanya dapat didasarkan pada „keyakinan‟ akan pembayangan para penulis terhadap masa lalu. Itulah sebabnya, dalam berhadapan
11
Lebih jauh lihat Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta dalam Wibowo (ed) (1981) hal. 88-93.
23
dengan sejarah yang demikian; dimana masa lalu pada dasarnya adalah masa kini atau „sejarah masa kini‟, konsep history of the present Foucaut saya tampilkan. Sejarah Foucauldian berarti sejarah masa kini (history of the present). Terdapat dua alasan mengenai sejarah masa kini tersebut. Alasan pertama, dalam sejarah tidak ada wilayah yang secara intrinsik sangat penting selain hanya wilayah-wilayah kepentingan material. Wilayah kepentingan material membuat sejarawan selalu terpaku pada kepentingan masa kini ketika menuliskan sejarah. (Lechte. 2001, 178). Alasan pertama ini berarti bersifat niscaya, dalam arti, pelaku sejarah selalu melakukan kegiatan interpretasi, terhadap masa lalu dengan tidak bisa melepaskan masa sekarang. Alasan kedua, bahwa pembagian masa lalu dan masa kini, terjadi hanya bila pengertian tentang „sebab‟ diberi kesempatan untuk mendominasi akibat (material). Kasarnya, kita memikirkan kejadian dengan logika kausalitas (dialektis). Masa lalu dan masa kini, juga akan terjadi jika kesinambungan dibolehkan mengatasi ketidaksinambungan yang muncul dalam tataran praktek (Lechte. 2001, 178). Alasan kedua ini menunjuk pada kegiatan proyeksi pada diri pelaku sejarah. Setiap sejarah pada dasarnya adalah sejarah baru, dimana masa lalu akan memiliki makna baru dalam terang peristiwa baru. Setiap peristiwa masa lalu ketika diungkapkan oleh seseorang yang ada di jaman sekarang, dianggap sebagai hasil interpretasi dari seseorang yang terkait dengan konteksnya sekarang. Dengan begitu sejarah dilihat sebagai interpretasi dari seseorang tersebut.
24
Dengan kata lain, menurut Smith, sejarah bagi Foucauldian bukanlah apapun kecuali rangkaian pergulatan kuasa-kuasa, interpretasi atas interpretasi. Ketimbang mengidentifikasi proses evolusi dan kontinuitas sehingga kita dapat mendeteksi makna, progress/kemajuan, dan sebab, sejarah Foucauldian diarahkan untuk menunjuk; ketidakterhubungan (disjunction) misalnya pergantian episteme secara cepat dan radikal; dan kearbiteran misalnya mode dan fashion dalam perawatan medis (Smith. 2001, 127).
1.7 1.7.1
Metodologi Penelitian Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka atau
penelitian literatur. Data-data yang digali melalui studi pustaka adalah data-data yang berupa teks dan gambar-gambar tentang sejarah rias dalam tari kraton, meskipun tidak semua teks yang berhubungan dengan rias tersebut akan saya masukkan ke dalam analisis, melainkan hanya teks-teks yang sifatnya monumental dan dianggap mampu menyusun formasi diskursif dalam pengetahuan rias tari kraton. Data ini saya perlukan untuk melihat bagaimana diskontinuitas pengetahuan (knowledge) tata rias penari di kraton Yogyakarta. Selain data tersebut, untuk melihat bagaimana wacana rias populer berjalan dalam penelitian ini maka digunakan sumber data lain yang didapatkan dari koran/surat kabar dan majalah yang membicarakan tentang rias. Penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara. Ada dua tujuan wawancara dalam penelitian ini. Pertama wawancara dilakukan untuk menggali
25
data dari pelaku sejarah; kedua untuk memeriksa ketubuhan penari di masa sekarang; bagaimana penari kraton melakukan kegiatan menari di kraton. Beberapa narasumber dalam penelitian ini adalah ; 1. Penari kraton Yogyakarta. Penari yang diwawancarai selama penelitian berjumlah dua putra dan tiga putri di kraton Yogyakarta. Informan dipilih berdasar keikutsertaannya dalam kegiatan pementasan tari untuk kraton 2. Pemucal (guru tari) kraton. Pemucal yang diwawancarai selama penelitian berjumlah tiga orang pemucal. 3. Penari sanggar tari klasik gaya Yogyakarta sekarang. Penari sanggar yang diwawancarai dalam penelitian ini bejumlah tiga orang. Mereka dipilih berdasar pengalaman mereka ikut dalam latihan dan pementasan tari di sanggar-sanggar tersebut. 4. Pengajar tata rias dan busana di ASTI (nama sebelum berubah menjadi ISI). Tujuan wawancara adalah untuk mencari data sejarah bagaimana pengajaran tata rias dilakukan di ASTI dahulu oleh karenanya informan yang dipilih adalah yang terlibat dalam pelaksanaan pengajaran tata rias pada saat itu. 5. Penari Kridha Beksa Wirama (KBW) tahun 1930. Tujuan wawancara adalah untuk mencari data sejarah bagaimana narasi sanggar tari pada saat sanggar tari itu berdiri.
26
1.7.2
Metode Analisis Data Data-data yang telah diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan
menggunakan kerangka teori yang ditetapkan sebagai pisau analisis untuk menemukan jawaban dari permasalahan. Penelitian ini memakai analisis wacana Foucault sebagai metode analisis data. Pilihan terhadap metode analisis data yang demikian dikarenakan konsep yang menjadi tema dalam penelitian ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Foucault, yaitu mengenai body dan knowledge/power. Dengan menggunakan metode Foucault, maka penelitian ini hendak melihat bagaimana suatu kuasa bekerja dalam wacana-wacana untuk menyampaikan pengetahuan
tentang
kebenaran
dengan
menggunakan
sejarah
sebagai
lapangannya. Terlebih ketika tubuh dalam penelitian ini dipahami sebagai hasil dari konstruksi sosial melalui wacana, maka penelusuran yang sifatnya historis menjadi penting. Untuk itulah, penelitian ini memilih menggunakan metode analisis wacana Foucault sebagai metode penelitannya. Dalam pandangan Foucault, sejarah merupakan sebuah kumpulan wacanawacana
yang
mengalami
retakan-retakan
dan
diskontinu.
Foucault
memperkenalkan suatu bentuk metode penelitian untuk menganalisis sejarah pengetahuan yang dinamakan archeology. Dengan berusaha menyingkap wilayah formasi diskursif, archeology sangat akrab dan selalu berasosiasi dengan istilahistilah seperti, “historical a priori”, “implicit knowledge”, atau “unconscious of knowledge”. Dalam Flyyn (2005) dan O‟Farrel (2005), arkeologi merupakan analisis pada wacana atau formasi wacana dengan tujuan menggambarkan
27
bentuk-bentuk episteme atau bisa dikatakan merupakan sejarah pengetahuan. Sementara itu, Foucault (dalam Gavinn Kendall and Gary Wickham 1999: 24) menyatakan bahwa, “... archeology describes discourses as practices specified in the element of the archive (1972: 131), the archives being “the general system of the formation and transformation of statements” (1972: 130). Gavinn Kendall and Gary Wickham (1999) secara jelas juga menyebutkan bahwa analisis wacana Foucaltian merupakan sebuah analisis kesejarahan. Analisis wacana ini memiliki dua prinsip utama, yaitu non interpretive dan non anthropological. Non-interpretive disini maksudnya adalah, bahwa analisis wacana Foucauldian, tidak akan menganggap sesuatu sebagai “beyond” atau mencari “deeper meanings”, sehingga analisisnya hanya akan dianalisis pada level permukaan. Sedangkan yang dimaksud dengan non-anthropological adalah, analisis wacana ini akan lebih memfokuskan pada statement dan visibilitas serta menolak penyelidikan terhadap author. Dalam penelitian ini, langkah awal dari penelitian arkeologis yang saya lakukan sebagaimana yang disampaikan oleh Kendall dan Wickham (1999: 42) adalah
mengidentifikasi
wacana
sebagai
serangkaian
pernyataan
yang
diorganisasikan secara sistematis dan teratur. Langkah-langkah analisis arkeologis selanjutnya, yaitu; 1) Mengidentifikasi
bagaimana
aturan-aturan
ketika
sebuah
pernyataan dibuat
28
2) Mengidentifikasi aturan-aturan terhadap apa yang boleh dikatakan dan yang tidak 3) Mengidentifikasi aturan-aturan yang membentuk ruang-ruang baru ketika pernyataan baru dibuat 4) Mengidentifikasi aturan yang membuat praktek material dan diskursif dapat berlangsung pada waktu yang bersamaan.
1.8
Sistematika Penulisan Rancangan sistematika penulisan yang mungkin akan dilaksanakan di dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bab I Pendahuluan, yang di dalamnya dipaparkan latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,
tinjauan
pustaka,
landasan
teori,
metodologi
penelitian dan sistematika penulisan. 2. Bab II akan mendeskripsikan pengetahuan dan praktik disipilin rias dalam tari kraton Yogyakarta sebelum kedatangan rias modern. Saya akan membahas bentuk rias penari di masa lalu, bahan rias di masa lalu, dan bagaimana disiplin rias masa lalu melalui sesaji dalam rias, posisi perias dan konsep cantik dalam rias penari. Namun gambaran ini tak berarti murni „masa lalu‟, melainkan pembayangan-pembayangan masa sekarang akan memori „masa lalu‟.
29
3. Bab III membahas diskontinuitas pengetahuan rias tari kraton melalui wacana-wacana rias modern. Saya akan fokus pada tiga domain utama wacana rias yang muncul dalam kesejarahan tari setelah tari tidak lagi hanya milik kraton ; pertama wacana rias tari di sanggar tari; kedua, wacana rias tari di sekolah tari – utamanya Akademi Seni Tari Indonesia, dan; ketiga, wacana rias populer yaitu rias sehari-hari yang muncul bersama kapitalisasi rias secara umum dengan berdirinya perusahaan kosmetik dan salon-salon kecantikan 4. Bab IV membahas tentang bagaimana tubuh penari didefinisikan dalam wacana rias tari sekarang. Tujuan bab ini adalah untuk memahami tubuh sebagai medan wacana, sebagai arena kontestasi dari wacana rias tari lama dan wacana rias modern. Saya akan membahas bagaimana ketubuhan penari dibentuk lewat
latihan
minggu
sebagai
pengaturan
ruang
dan
pengorganisasian aktivitas tubuh penari kraton; ketiadaan perias dan kemampuan merias mandiri penari kraton sebagai disiplin; posisi guru sebagai pengawas penari yang ditambah dengan penonton. 5. Bab V akan dipaparkan simpulan dan saran/diskusi mengenai hasil penelitian.
30