BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Studi ini berusaha untuk menguak bagaimana survivor 1 1965 berjuang dengan ingatan pembantaian dalam kehidupan sehari-hari. Politik sehari-hari merupakan lokus dimana kuasa tampak secara laten (Scott,1990) sehingga pemahaman tentang bagaimana perjuangan pada level infrapolitik dapat menunjukan resistensi yang selama ini dibungkam. Infrapolitik membantu kita membingkai pembacaan terhadap perlawanan sehari-hari dari kaum tertindas seperti dikembangkan oleh James Scott.2 Studi ini penting untuk dilakukan karena, pertama, dalam khasanah studi ilmu politik Indonesia, perlawanan sehari-hari kaum yang kalah merupakan topik yang jarang, untuk tidak mengatakan langka, diteliti. Dalam penelusuran yang saya lakukan terhadap literatur-literatur politik Indonesia, saya menemukan bahwa hanya dalam momen-momen tertentu kemunculan rakyat kebanyakan ini, yang
1
Survivor dimaknai sebagai penyintas. Dalam khasanah ilmu sosial di Indonesia, kata penyintas disadur dari asal kata sintas, yang berarti terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya (kbbi.web.id/sintas). Pada awalnya, penyintas digunakan untuk menyebut mereka yang bertahan hidup dari bencana alam. Belakangan, kata ini meluas penggunaannya guna menyebut korban 1965. Kata korban identik dengan diskursus hak asasi manusia (HAM) yang menjadi landasan utamanya. Dalam penelitian ini, survivor digunakan sebagai sebuah kategori yang berusaha keluar dari perdebatan victim and victimization (korban dan proses menjadi korban) yang muncul sebagai pembahasan seputar peristiwa 1965. Ulasan tentang korban dalam HAM, lihat Van Boven, Theo, Tentang Mereka yang menjadi Korban: Kajian terhadap Hak Korban atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta:ELSAM, 2001 (naskah asli: Study Concerning The Right to Restitution, Compensation and Rehabilitasion for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms, Special Rapporteur;Commission on Human Rights, Economic and Social Council, United Nations, 2 Juli 1993) http://www.law.duke.edu/journals/lcp/articles/lcp59dFall1996p283.htm. Penyebutan penyintas sebagai survivor peristiwa 1965, lihat misalnya Putu Oka Sukanta, Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ‘65-’66, Jakarta: Lembaga Kreativitas Kemanusian, 2011 2 Infrapolitik akan dijelaskan lebih jauh pada bagian selanjutnya dari naskah ini.
sering kali disebut sambil lalu, muncul dan mengambil peran penting. 3 Kedua, saya menemukan bahwa konsep survivor ini berjalan beriringan dengan bagaimana sejarah republik ini dibentuk. Ketiga, berdasarkan temuan ini juga saya melihat kecenderungan penelitian yang meletakan struktur kekuasaan dalam hubungan sang dominan – yang didominasi. Dalam sejarah perjalanan Republik, satu episode gelap yang masih menjadi perdebatan hingga hari ini adalah Gerakan Satu Oktober. Sejak malam berlangsungnya pembunuhan terhadap jendral-jendral angkatan darat, hingga saat ini telah banyak laporan-laporan yang ditulis guna menjelaskan peristiwa ini. 4 Dalam laporan-laporan resmi, peristiwa Gerakan 30 September adalah upaya untuk menyelamatkan pemerintahan resmi Soekarno dengan menangkap dan menculik jendral-jendral angkatan darat. Bagi Soeharto, yang pada waktu itu diangkat menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ketujuh jendral ini merupakan pahlawan revolusi. Dengan segera, Soeharto
3
Mengenai topik ini, lihat misalnya kajian Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani 1888 Kondisi, jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya: Sebuah Studi Kasus tentang Gerakan Sosial di Indonesia, Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan Pustaka Jaya, 1984. Dalam karyanya ini, Sartono menguraikan bahwa kategori petani bukanlah suatu kategori tunggal. Ia menunjukan bagaimana pemberontakan melibatkan berbagai kelas-kelas masyarakat. Bandingkan dengan kajian Benedict Anderson, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. (Judul asli, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1994-1946, Ithaca, New York:Cornel University Press, 1972). Anderson berargumen bahwa kemerdekaan Indonesia tidak semata-mata diprakarsai oleh elite, melainkan juga melibatkan perubahan sosial yang diprakarsai oleh pemuda. James T. Siegel membandingkan logika kemunculan rakyat pada periode Soekarno dan Soeharto. James T. Siegel, Penjahat Gaya (Orde) Baru Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, Yogyakarta: LKIS, 2000. 4 Untuk menyebut beberapa diantaranya, lihat, Benedict Anderson dan Ruth T. McVey, A Preliminary Analysis of October 1 1965 Coup in Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, 1971; Geoffrey Robinson, Sisi Gelap Pulau Dewata:Sejarah Kekerasan Politik, Yogyakarta:LKIS, 2006 (judul asli The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, Cornell:Cornell University Press, 1995); Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), Jakarta:KPG, 2000; dan paling akhir, John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto,Jakarta:Insitut Sejarah SosiaI Indonesia dan Hasta Mitra, 2008 (Judul asli: Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’etat in Indonesia, Madison: The University of Wisconsin Press, 2006)
2
menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia, partai resmi berhaluan komunis terbesar selain Rusia dan Cina, bertanggung jawab atas gerakan ini. Kemudian, gerakan penumpasan PKI menjadi kampanye paling berdarah dimana anggota dan simpatisan PKI dipenjara, disiksa, bahkan dibunuh tanpa dibawa ke pangadilan. Seluruh rangkaian peristiwa ini berlangsung dalam tahun 1965. Geoffrey Robinson (2006) mencatat pembunuhan paling ganas berlangsung di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Tapi dalam proporsi penduduk yang terbunuh, kiranya Bali adalah provinsi yang paling celaka. Antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80.000 ribu orang atau sekitar 5% penduduk yang berjumlah kurang dari 2 juta jiwa, ditembak, ditikam, ditebas, atau dikepruk sampai mati (Robinson, 2006; 417). Sebagian menjadi tahanan politik tanpa pengadilan. Mereka yang selamat akhirnya dilepaskan dari penjara, hanya untuk hidup dalam teror. Mereka diberi tanda pengenal dengan label khusus dan tanpa ada kepastian sumber penghidupan. Dengan kata lain, negara lepas tangan dari tanggung jawab terhadap mereka. Tidak hanya diawasi dan didatangi agen negara secara teratur, kewajiban melapor ke instansi militer terdekat juga diharuskan. Selama Orde Baru berkuasa, kaum ini adalah subaltern, meminjam istilah Antonio Gramsci, yang menempati posisi terbawah dalam hierarki kekuasaan yang ada, tanpa kekuasaan untuk berbicara (Suryawan, 2007). Kehidupan setelah keluar dari penjara, ditengah Rezim yang represif, tentu merupakan suatu bentuk perjuangan yang luar biasa. Ketika rezim Orba runtuh pun, usaha-usaha untuk merehabilitasi hak-hak kewarganegaraan mereka
3
menemui jalan buntu. Padahal 50 tahun telah berlalu semenjak pembantaian 1965 berlangsung. Ironisnya, setelah rezim pembantai ini runtuh, ancaman dari orangorang yang kalah ini masih menjadi basis legitimasi bagi penegakan kekuasaan negara. TAP MPRS no. 23 tahun 1966 belum dicabut hingga hari ini. Ironis karena paska 1998, ‘bahaya laten komunis’ masih dikampanyekan sebagai ancaman bagi tegaknya stabilitas dalam negeri. Dalam apel siaga angkatan darat, upacara resmi, pidato, dan praktik lainnya, ancaman komunisme diletakan vis a vis dengan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita dapat memahami perjuangan yang mereka lakukan melalui pembacaan hidden transcript. Konsep ini memungkinkan kita membongkar kuasa dominan, dan melihat perlawanan yang dilakukan oleh kaum subordinat (Scott, 1990). Tawaran ini menempatkan pembacaan terhadap orang-orang yang kalah, sehingga perhatian tidak semata-mata diberikan kepada rezim kuasa, sebagaimana umumnya kajian kuasa. Kasus Bali menjadi penting sebab skala pembantaian yang terjadi begitu besar. Jika kita menghitung rasio penduduk Bali, maka satu dari dua belas orang Bali hilang tidak kembali (Santikarma, 2003). Bagaimana mungkin, suatu rezim yang dibangun dengan sejarah kekerasan yang begitu masif, tidak mengakui pembantaian yang berlangsung. Karena itu, penelitian ini berfokus terhadap kehadiran survivor. Lebih spesifik lagi, penelitian ini menawarkan suatu pembacaan hidden transcript, suatu konsep yang dikembangkan oleh James Scott, guna menguak bagaimana para survivor ini bertahan, dan jika situasi memungkinkan, melakukan perlawanan terhadap rezim.
4
B. Rumusan Masalah Penelitian Bagaimanakah strategi keluarga survivor 1965 bertahan hidup dengan ingatan kekerasan dalam kehidupan sehari-harinya di Bali?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini berusaha menjelaskan resistensi kaum yang kalah, lebih spesifik untuk melihat kehadiran kuasa melalui survivor pembantaian 1965.
D. Literatur Review Ingatan dan Sejarah Kekerasan di Bali Bali merupakan salah satu wilayah yang didatangi oleh Resimen Parakomando Angkatan Darat, yang dikomandani oleh Sarwo Edhie Wibowo pada akhir tahun 1965. Studi Geoffrey Robinson mencatat dengan detail bagaimana sejarah kekerasan di Bali merupakan suatu yang melekat dalam kebudayaan masyarakat Bali. Ia melihat konteks ekonomi politik kekerasan dalam masyarakat Bali yang selama ini menjadi narasi minor dalam korpus literatur tentang Bali. Studinya menunjukan konteks pembantaian merupakan operasi politik yang dilakukan secara sistematis demi perebutan kekuasaan. Aktor-aktor yang terlibat aktif membunuh demi memenuhi ambisi politik. Dengan menekankan analisa kesejarahan, Robinson berusaha melihat kontestasi kekuasaan yang berujung pada tumpahnya darah orang-orang yang dicurigai sebagai anggota dan simpatisan PKI.
5
Walaupun Robinson berhasil memberikan konteks sejarah pembantaian yang berlangsung di Bali, namun perhatiannya luput dalam menjelaskan bagaimana paska pembantaian para survivor kembali ke kehidupannya. Hal ini lah yang menjadi fokus penelitian yang dilakukan oleh Degung Santikarma dan Leslie Dwyer.5 Degung dan Leslie berusaha menerjemahkan pengalaman subjek korban pembantaian dalam kontestasi kekuasaan 1965 melalui kerangka kebudayaan. Riset etnografi yang dilakukannya selama empat tahun mendeskripsikan pengalaman keseharian korban 1965. Degung dan Leslie menelusuri pula berbagai diskursus yang muncul belakangan, utamanya paska runtuhnya rezim Soeharto. Ketakutan masih ada, sedangkan usaha pengungkapan suara-suara korban amatlah minim. Dalam konteks inilah, diskursus universal, seperti hak-hak asasi manusia, dan trauma, menjadi titik tolak dalam kajian-kajian terbaru tentang genosida di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Usaha yang dilakukan Degung dan Leslie termasuk mengklaim kembali sejarah masa lalu yang senyap, yang tidak menemui artikulasinya dalam kerangka yang ditawarkan oleh rezim dominan. Melalui observasi partisipatif dan wawancara mendalam, kehadiran narasi kekerasan tak dapat dipungkiri lagi, bahkan dalam ruang yang paling private. Kehidupan dalam desa, keluarga, bahkan dalam tingkatan individu diwarnai oleh teror ketakutan atas rezim. Hal ini dipastikan
5 Lihat artikel Leslie dan Degung dalam karya-karyanya, Leslie Dwyer dan Degung Santikarma, “Speaking from the Shadows:Memory and Mass Violence in Bali,” dalam Be´atrice Pouligny, Simon Chesterman and Albrecht Schnabel (eds), After Mass Crime: Rebuilding State and Communities, Tokyo: United Nations University Press, 2007. Juga oleh penulis yang sama, “When the World Turned to Chaos1965 and It’s Aftermath in BaliIndonesia,”dalamRobert Gellately dan Ben Kiernan (eds), The Specter of Genocide Mass Murders in Historical Perspective, Cambridge: Cambridge University Press, 2003
6
oleh berbagai aparatus rezim yang hingga kini masih dirasakan kehadirannya. Citra dan persepsi menjadi senjata bagi Rezim guna memuluskan kontrol atas kebenaran. Pembunuhan yang terjadi dalam kurun waktu 1965 tentu menyisakan berbagai pertanyaan. Lebih dari itu, menelusuri berbagai diskursus yang muncul belakangan membantu dalam melihat konteks pembantaian. Karenanya menjadi penting memeriksa berbagai kondisi yang memungkinan pembantaian, dan bagaimana diskursus tersebut bekerja. Strategi penelusuran ini berusaha menyingkap pula bagaimana pembantaian dilihat dalam konteks sehari-sehari yang kental unsur budaya didalamnya. Perhatian Degung dan Leslie tentang bagaimana cara kerja rezim yang begitu total menjadikan seolah-olah tidak ada ruang bicara yang tersisa bagi para survivor. I Ngurah Suryawan menawarkan suatu pendekatan etnografi yang terinspirasi oleh kajian Gayatri Spivak. 6 Dalam penelitian yang ia lakukan, usaha untuk menyuarakan para survivor, dalam bukunya ia disebut subaltern, dilakukan dengan meminta para survivor untuk mengingat kembali pengalaman mereka di masa lalu. Usaha yang dilakukan Ngurah merintis jalan guna mendengarkan kembali suara-suara senyap dari masa lalu. Akan tetapi, pemahaman ini tidaklah cukup, karena tidak menggambarkan bagaimana setelah bergulat dengan masa lalu, para survivor kembali ke kehidupan normalnya pada masa kini. Penelitian-penelitian politik terhadap survivor 1965 seringkali luput membaca bagaimana kuasa hadir terhadap survivor. Ketika mendapat perhatian pun, ulasannya seringkali terbatas dalam perspektif dominan. Oleh karenanya, para
6I Ngurah Suryawan, Kesaksian Airmata: Kisah-kisah Memecah Senyap, Denpasar: Pustaka Larasan, 2007
7
survivor ini menjadi objek yang pasif. Padahal, dalam sistem dominasi ini, jika kita mau menggali lebih jauh, terdapat perlawanan yang mereka lakukan. Apa yang ditawarkan oleh penelitian diatas membuka jalan guna mengkaji kehadiran survivor. Inisiatif yang dilakukan para peneliti yang concern ini perlu diapresiasi. Meskipun aspek kuasa tidaklah menjadi pokok perhatiannya, penelitian yang dilakukan Degung dan Leslie meresonansi, meski secara sepintas, kehadiran kuasa
dalam kehidupan sehari-hari survivor. Usaha yang dilakukan oleh
penelitian ini adalah melihat lebih lanjut aspek kuasa pada kehidupan sehari-hari survivor.
E. Kerangka Teori Bagian ini berusaha menguraikan perdebatan tentang konsep kuasa dalam ilmu politik. Sebelum kita masuk guna menjelaskan bagaimana perlawanan survivor dalam kehidupan sehari-hari, perlu terlebih dahulu menjelaskan bagaimana kekuasaan bekerja, dan bagaimana sistem dominasi terbentuk. Kemudian uraian konsep kuasa ini juga memberikan pintu masuk guna menjelaskan relasi kuasa yang tidak semata-mata melihat kekuasaan dari sudut pandang sang dominan – yang didominasi. E.1. Mencari Perspektif: Untaian Perspektif Ilmu Sosial tentang Kuasa7 Dalam memahami politik sehari-hari pemahaman atas konsep kuasa merupakan kunci. Pendekatan pluralis tradisional memahami kekuasaan terutama dalam hal 7Jonathan Gaventa (2003) menyarikan secara ringkas dan lengkap perdebatan mengenai konsep kuasa setelah Lukes. Diskusi tentang konsep-konsep kuasa ini merupakan ulasan saya terhadap karyanya.
8
siapa yang berpartisipasi, siapa yang diuntungkan dan siapa yang menang dalam pengambilan keputusan tentang isu-isu kunci (Dahl, 1961). Pendekatan ini menjadi problematis ketika harus menjawab bagaimana pada masyarakat yang menganut mekanisme demokrasi, rakyat yang mengalami ketidakadilan memilih untuk tidak protes dalam mekanisme yang sudah disediakan (Gaventa, 1980; vi). Disini dapat kita lihat, fenomena kebungkaman dipisahkan dari studi tentang kekuasaan. Pendekatan pluralis diserang oleh sebuah pandangan kedua yang berpendapat kekuasaan bekerja untuk membatasi pihak yang tidak memegang kuasa melalui 'mobilisasi bias' yang mencegah isu dan aktor-aktor tertentu dari mendapatkan akses ke proses pengambilan keputusan. Pandangan kedua telah dilanjutkan oleh pandangan ketiga yang menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya dapat membatasi tindakan atas kesenjangan, juga dapat berfungsi untuk membentuk konsepsi pihak yang tidak memegang kuasa tentang sifat dan tingkat ketimpangannya sendiri. Dalam bukunya, Steven Lukes (1974) mengambarkan 'dimensi ketiga' kekuasaan, yang ia klaim 'menawarkan prospek serius sosiologis, dan bukan hanya eksplanasi bagaimana sistem politik mencegah tuntutan dari menjadi isu politik atau bahkan dari yang dibuat ' (Gaventa, 1980; 38). E.1.1. Kuasa sebagai Diskursus Pendekatan berbeda dalam melihat konsep kuasa ditawarkan oleh Michel Foucault. Sebelum melakukan pembacaan atas Foucault, ada baiknya terlebih dahulu mengklarifikasi posisi teoritisnya atas agensi dan status subjek (subjecthood). Pertama, berbeda dengan pandangan terdahulu tentang kuasa,
9
Foucault memandang kekuasaan tidaklah dimiliki oleh individu, kelas tertentu, dan institusi. Kekuasaan dipandang tersebar dan tanpa subjek, sebagai elemen yang luas dari strategi tanpa individu rujukan. Daripada dipandang memegang kuasa, subjek dikonstitusi secara diskursif melalui kuasa. Tindakan subjek berkontribusi atas operasi kuasa. Kedua, kuasa dipandang ada dan muncul dalam setiap relasi sosial, sehingga operasi kuasa tidaklah bertitik tolak dari norma, akan tetapi secara konstan hadir: Power is everywhere: not because it embraces everything, but because it comes from everywhere... Power is not an institution, nor a structure, nor a possesion. It is the name we give to a complex strategiec situation in a particular society. (Foucault, History of Sexuality, hal 93). Ketiga, kuasa tidak selalu represif, melarang, negatif, atau eksklusif (walaupun ia bisa juga merupakan semuanya). Kuasa adalah positif: We must cease one and for all to describe the effects of power in negative terms: it excludes, it represses, it censors, it abstracts, it masks, it conceals. In fact power produces; it produces reality; it produces domains of objects and rituals of truth. The individual and the knowledge that may be gained of him belong to this productio. (Foucault, Dicipline and Punish, hal. 194) Bio-power merujuk kepada tipe kekuasaan yang tersebar melalui masyarakat yang dalam hal ini produktif. Ia beroperasi melalui teknik pendisiplinan, pembentukan tatanan, tata urutan, memunculkan, dan menundukan pengetahuan.
Dalam
Dicipline and Punish, bentuk kuasa pendisiplinan ini dikontraskan dengan kuasa berdaulat (sovereign power) pada periode sebelumnya, dimana kuasa negara dan monarki ditegakan melalui penyiksaan atau eksekusi pada tubuh yang berani melawan.
10
Kuasa, dalam pandangan Foucault, tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan, dimana dalam term Foucauldian, Power/Knowledge: No body of knowledge can be formed without a system of communications, records, accumulation and displacement which is in itself a form of power and which is linked, in its existence and functioning, to the other forms of power. Conversely, no power can be exercised without the extraction, appropriation, distribution or retention of knowledge. On this level, there is not knowledge on one side and society on the other, or science and the state, but only the fundamental forms of knowledge/power. (Foucault, dalam Sheridan 1980: 283)
Diskursus merupakan hal yang esensial dalam operasi kuasa, sebagaimana ia merupakan sarana yang memungkinkan pengetahuan dan subjek didirikan. Tapi ia juga hal yang esensial bagi perlawanan: Discourses are not once and for all subservient to power or raised up against it… We must make allowances for the complex and unstable process whereby a discourse can be both an instrument and an effect of power, but also a hindrance, a stumbling point of resistance and a starting point for an opposing strategy. Discourse transmits and produces power; it reinforces it, but also undermines and exposes it, renders it fragile and makes it possible to thwart. (Foucault, History of Sexuality p.100-1) Sebagaimana diskursus ada dalam masyarakat dan kuasa ada di mana-mana, begitu pula resistensi bisa berlangsung dalam banyak titik, dalam rangka menghindari, menggulingkan, atau menetang strategi-strategi kekuasaan. Penting untuk memahami bahwa kuasa tidaklah intensional, intensi individu dipandang tidak memiliki pengaruh dalam teori kuasa ini. Meskipun, individu atau institusi mungkin gagal dalam upaya mereka sendiri, mereka bisa jadi bagian kesuksesan dari strategi kuasa yang lebih luas. Contohnya adalah penjara. Penjara gagal dalam mencegah kriminal, tapi mampu menundukannya dalam skala yang lebih
11
kecil. Didalam tradisi ini, natur kuasa yang tersebar melampaui dua kutub kuat/lemah. Hal ini justru dapat membantu kita memahami kuasa tidak hanya berlaku pada yang lemah, akan tetapi juga sebagai konsep yang lebih luas. Pembagian antara struktur dan agensi juga menghilang, dimana keduanya dikonstitusikan oleh dan melalui kuasa. Sebagaimana kita dapat memahami agensi, epistemes, diskursus, dan bahkan tubuh dibentuk melalui kuasa, konsep tanpa agen ini mempersulit kita dalam aplikasi praktisnya untuk memahami kuasa. Pertanyaan tentang 'kesadaran palsu' juga tidak memainkan peran utama: semua kesadaran secara efektif ' palsu' sejauh ini disusun oleh kekuasaan, tetapi pengertian tentang 'kebenaran' atau 'benar kesadaran 'juga efek kekuasaan. Namun, seperti dibahas di bawah ini, diskursus kuasa yang menghasilkan agen dan identitas dapat dihubungkan ke ide hegemoni dan dominasi. E.1.2. Kuasa sebagai Kapasitas Transformatif Teori Strukturasi Anthony Gidden (1984) adalah upaya untuk mengintegrasikan analisa struktural ala marxist dan tradisi sosiologi yang lebih condong terhadap agensi. Ia memperkenalkan konsep dualitas struktur (the duality of structure) untuk menunjukan bahwa struktur, sebagai aturan dan resources, merupakan prakondisi dan hasil tak terelakan dari agensi masyarakat (Baert 1998: 104 dalam Gaventa, 2003). Masyarakat bebas dalam bertindak, akan tetapi tindakannya bersumber dan mereproduksi struktur kekuasaan melalui tindakan-tindakan mereka.
12
Giddens (1979) menggambarkan kuasa sebagai kapasitas transformatif, dimana kuasa dilihat dalam tindakan para agennya, dan juga sebagai dominasi, yang merupakan fokus dari kuasa sebagai kualitas struktural. Kapasitas transformatif merujuk pada kemampuan untuk terlibat mengintervensi dalam rangkaian peristiwa. dalam hal ini, seluruh tindakan melibatkan penggunaan kuasa: Action depends on the capability of the individual to ‘make a difference’ to a preexisting state of affairs or course of events. An agent ceases to be such if he or she loses the capability to ‘make a difference’, that is, to exercise some sort of power. (Giddens, 1984: 14). Akan tetapi norma sosial yang jadi acuan aksi seseorang, dan juga resources yang menjadi sumber bagi tindakan aktor tidak setara atau didistribusikan dengan adil, sehingga memungkinkan dominasi sistem yang lebih dalam. Konsep resouces memiliki makna spesifiknya disini: Resources (focused via signification and legitimation) are structured properties of social systems, drawn upon and reproduced by knowledgeable agents in the course of interaction. … Resources are media through which power is exercised, as a routine element of the instantiation of conduct in social reproduction. (Giddens, 1984 : 15-6) Pendekatan agensi Giddens juga menyiratkan kemungkinan perlawanan, karena kekuasaan muncul oleh tindakan ketimbang relasi histroris yang tak terelakan. Giddens menyebut hal ini sebagai dialektika kontrol pada sistem sosial, dimana: We should not conceive of the structures of domination built into social institutions as in some way grinding out ‘docile bodies’ who behave like automata suggested by objectivist social science. Power within social systems … presumes regularized relations of autonomy and dependence between actors or collectivities in contexts of social interaction. But all forms of dependence offer some resources whereby those who are subordinate can influence the activities of their superiors. (Giddens, 1984: 16)
13
Sebagian teori ini berangkat dari kritik atas Lukes dan posisi Giddens yang menolak hubungan antara kuasa dan kepentingan: People are not always inclined to act in accordance with their own interests. … The concept of interest … has nothing logically to do with that of power; although substantively, in the actual enactment of social life, the phenomena to which they refer have a great deal to do with one another. (Giddens, 1979: 90) Akan tetapi, mengikuti Lukes, Giddens berusaha juga untuk melampaui pemisahan antara gagasan kuasa yang volunteristik dan struktural (Gidden, 1979,:91). Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menerapkan apa yang disebutnya sebagai dualitas struktur (the duality of structure), yang mensyaratkan: if the resouces which the existence of domination implies and the exercise of power draws upon, are seen to be at the same tune structural components of social systems Berdasarkan uraian diatas, beberapa poin menjadi problem ketika berusaha menerapkan teori Giddens ini. Galtung (2003) mencatat, Giddens gagal dalam menjelaskan konsepsi kuasa sebagaimana ditawarkan oleh Foucault. Meskipun Giddens mengakui bahwa kuasa bersifat positif, tapi ia tidak menawarkan pendekatan teoritik apapun guna menjelaskan kuasa diskursus atau pun kuasa yang tersebar, produktif, dan tanpa agensi ini. Kelihatannya, konsepsi kuasa Giddens masih menitik beratkan pada agensi, dan upayanya untuk melampaui perdebatan struktur-agen ini tidak seefektif seperti apa yang ia paparkan. E.1.3. Kuasa sebagai Kapital Gaventa menguraikan beberapa gagasan utama dalam pemikiran Bourdieu yang berkaitan dengan kuasa. Habitus adalah seperangkat kebiasaan dan makna yang diperoleh oleh orang-orang melalui sosialisasi. Bourdieu secara umum
14
mendefinisikannya sebagai ‘a system of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed towards acting as structuring structres’ dan ‘the durably installed generative principle of regulated improvisations’ (Bourdieu, dalam Gaventa,2003). Gledhill mempermudah pemahaman kita atas konsep ini, ia menjelaskan dengan sebuah analogi: Social agents are imbued with dispositions to think and act in certain ways by the action of historical social forces. They are like musicians whose improvisation are neither predictable in advance, a product of conscious intent, nor simply a realisation of a structure which already exists in the unconscious. … According to this theory, systems of domination will be reproduced over time because the way the actors understand their world, the cognitive and meaning structures of the habitus, has been shaped by the relations of domination which produce those ‘structured structures’. The collective practices produced by the habitus in turn reproduce the historical conditions which shaped those cognitive and meaning structures in the first place. (Gledhill, 2000: 139) Berkaitan dengan gagasan habitus, berikutnya adalah gagasannya atas doxa yang mengacu pada kombinasi dari apa yang disebutnya sebagai diskursus orthodox dan heterodox. Doxa adalah apa yang sama diantara dua diskursus tersebut, domain gagasan sosial yang diterima begitu saja dimana diskursus orthodox dan heterodox berada pada posisi setara. Doxa, dalam bentuk asumsi yang diterima begitu saja, tanpa penolakan, merupakan sebuah sumber dan manifestasi dari kuasa. Bourdieu juga menawarkan konsep field guna menjelaskan arena sosial yang menjadi lokasi dimana konflik dan perebutan kekuasan berlangsung, dimana ‘kapital’ yang spesifik (ekonomi, kultural, sosial, simbolik, dsb) dipertaruhkan dan beberapa bentuk habitus atau watak tertentu lebih cocok untuk sukses. Pemahaman ini membantu kita untuk menjelaskan bagaimana aktor menjadi kuat
15
dalam field tertentu, akan tetapi lemah dalam hal lainnya, meskipun kapital dapat di transfer dari satu field ke field lainnya. Pada bidang seni dan kultural,
‘kapital’ kultural menyediakan sarana untuk
dominasi dan hierarki non-ekonomis, seperti layaknya kelas membedakan dirinya melalui selera. Bentuk ‘kapital’ yang lain bekerja dengan cara yang sama. Menurut Bourdieu, kuasa simbolik adalah: ... is a power of "worldmaking." "World-making" consists, according to Nelson Goodman (1978), "in separating and reuniting, often in the same operation," in carrying out a decomposition, an analysis, and a composition, a synthesis, often by the use of labels. Social classifications, as is the case in archaic societies where they often work through dualist oppositions (masculine/feminine, highllow, stronglweak, etc.), organize the perception of the social world and, under certain conditions, can really organize the world itself (Bourdieu, 1989: 22)
E.2. Kuasa dalam Politik Sehari-hari Kajian Michel De Certeau dapat dilihat sebagai kritik terhadap Foucault. Sementara Foucault menyatakan bahwa kuasa selalu mengandaikan resistensi, ia tidak menjelaskan poin ini lebih lanjut. Inilah yang dinyatakan oleh de Certeau: If it is true that the grid of ‘discipline’ is everywhere becoming clearer and more extensive, it is all the more urgent to discover how an entire society resists being reduced to it, what popular procedures (also ‘miniscule’ and quotidian) manipulate the mechanisms of discipline and conform to them only to evade them, and finally, what ‘ways of operating’ form the counterpart, on the consumer’s (or dominee’s) side, of the mute processes that organise the establishment of socio-economic order. (De Certeau: xiv) De Certeau menjelaskan konsepnya yaitu strategi dan taktik sebagai dua hal yang berjarak. Strategi, dalam uraiannya, adalah “those forces of power that seek to
16
make ‘proper’, to discipline, to organise, or to make rational.” Sedangkan taktik adalah “modes of resistance to strategies, and methods to evade them.” Keduanya merupakan konsep kunci dalam memahami perlawanan sehari-sehari sebagaimana yang ia paparkan. Salah taktik yang ia tawarkan ia sebut ‘la perruque’ yang mana secara umum dapat kita jelaskan sebagai buang waktu (time-wasting) atau mogok. Bentuk lain dari kehidupan sehari-hari yang resisten terhadap bentuk-bentuk strategi ini antara lain berjalan keliling kota, dan berbelanja. Dalam dua kegiatan ini, kita akan menemukan diri kita dalam tempat-tempat yang membatasi kita, misalnya lewat jaringan jalanan dan gang-gang pertokoan, dimana keduanya dibangun berdasarkan strategi rasionalitas. Akan tetapi, kita dapat menciptakan ‘trajektori’ kita sendiri yang menolak ‘strategi’ ini guna menentukan arah atau perilaku kita. Sehingga, ‘the weak must continually turn to their own ends forces alien to them’ (ibid: xix). E.3. Infrapolitik: Bentuk Perlawanan Sehari-hari James C. Scott mengembangkan suatu teori yang dia rintis sejak penelitiannya di Kedah.8 Terinspirasi oleh kajian De Certeau, Scott berusaha menjelaskan relasi kelas yang berlangsung dalam satu wilayah pedesaan, dimana mayoritas penduduknya adalah petani. Deskripsi awalnya adalah sebagai berikut: “... Ketika kaum miskin secara simbolis meruntuhkan status yang diklaim oleh kaum kaya dengan menciptakan julukan-julukan dengan gunjingan yang merusak, dengan memboikot kenduri-kenduri orang kaya, dengan mengecam keserakahan dan kekikiran mereka sebagai penyebab keadaan dewasa ini, orang miskin sekaligus menyatakan klaim mereka sendiri akan status. Bahkan ketika, sebagaimana sering terjadi, suatu keluarga miskin mengadakan kenduri yang sesungguhnya terlalu berat bagi mereka, ini 8Hasil penelitiannya ini tertuang dalam James C. Scott, Senjatanya Orang-orang Kalah: Bentuk-bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani, Jakarta: YOI, 2000
17
merupakan pertanda kecil namun sangat berarti sebab mencerminkan kebulatan tekad mereka untuk tidak menerima marjinalisasi budaya yang diimplikasikan oleh pendapatan mereka yang sangat kecil. Dalam arti inilah, maka perang kata-kata, pertarungan ideologi di Sedaka, merupakan bagian dari “perlawanan sehari-hari.” Penolakan untuk menerima definisi situasi yang dipaksakan dari atas serta penolakan untuk memaafkan merjinalisasi ritual dan sosial mereka sendiri, sekalipun tidak cukup, tetap diperlukan untuk terus melanjutkan perlawanan demi suatu kehidupan yang bermartabat.” 9 Scott juga menunjukan pentingnya melihat perlawanan dari sudut pandang petani. Kepentingan diri yang bertujuan untuk bertahanan hidup, bagi ia dan keluarganya, merupakan aspek penting dalam melihat perlawanan petani. Scott menyatakan, “Kita perlu berasumsi tak lebih dari suatu keinginan yang masuk akal pada pihak keluarga petani untuk melangsungkan kehidupan – memastikan keamanan fisik, memastikan pasokan makanan, menjamin pendapatan keuangan yang diperlukan – untuk mengidentifikasi sumber perlawanannya terhadap tuntutan-tuntutan kolektor pajak, tuan tanah, dan majikan. Mengabaikan unsur-unsur kepentingan diri sendiri dalam perlawanan petani sama dengan mengabaikan konteks yang sudah tentu, bukan hanya untuk petani, tetapi lebih banyak untuk politik kelas yang lebih tinggi. Justru fusi atau peleburan kepentingan diri dengan perlawanan inilah yang merupakan tenaga vital yang menghidupkan perlawanan kaum tani dan kaum proletar.”10 Scott memberikan contoh dalam guna memperjelas poinnya: “Waktu seorang petani menyembunyikan sebagian dari panennya untuk menghindari pembayaran pajak, ia sekaligus mengisi perut dan menolak memberi padinya kepada negara. Jika seorang serdadu lari dari ketentaraan karena makanannya buruk, ia menjaga diri maupun menolak jadi umpan peluru demi negara.” Scott menjelaskan pula bahwasannya bentuk-bentuk perlawanan ini membentuk pola-pola tertentu, dimana: “Jika aksi demikian demikian jarang terjadi dan terpisah-pisah, maka terlihat tak menarik; akan tetapi saat pada saat aksi ini menjadi pola yang konsisten (sekalipun tidak terkoordinasi, boro-boro diorganisir) kita 9Ibid.
hal.318-319 389
10Ibid.
18
berurusan dengan perlawanan. Watak intriksiknya, dan dalam arti tertentu, ‘kecantikan’ dari banyak perlawanan petani adalah bahwa ia sering menghasilkan keuntungan-keuntungan konkrit dan langsung, sementara pada waktu yang sama tidak memberikan sumber daya kepada kelas penyerobot, dan bahwa nyatanya hanya diperlukan sedikit pengorganisasian saja. Sifat keras kepala muncul langsung dari fakta bahwa ia berakar kuat dalam perjuangan material bersama, yang dialami oleh suatu kelas.”11 Tujuan utama dari sebagian besar perlawanan, tulis Scott, bukanlah untuk langsung menjatuhkan atau mengubah suatu sistem dominasi, melainkan untuk bertahan hidup – hari ini, minggu ini, musim ini – di dalam sistem itu. Tujuan umum para petani, sebagaimana dikatakan dengan tepat oleh Hobsbawm, adalah mengikuti sistem dengan cara sedemikian rupa sehingga sesedikit mungkin merugikan.12 Salah satu pertanyaan kunci yang perlu diajukan pada setiap sistem dominasi, adalah seberapa jauhkah ia berhasil memaksa kelas yang mereka kuasai menempuh strategi-strategi untuk survival, berupa mengemislah pada tetangga anda. Kombinasi-kombinasi tertentu dari atomisasi, teror, penindasan, dan kebutuhan materi yang mendesak, memang mungkin akan mencapai impian puncak akhir dominasi, yaitu: memaksa kelas-kelas yang kalah itu saling memanfaatkan. Scott sampai pada kesimpulannya yang tajam tentang perlawanan sehari-hari ini: “Bila kita mengizinkan hanya strategi-strategi survival yang menolak atau mengurangi klaim-klaim dari kelas yang mengambil untuk diri sendiri, dapat dinamakan perlawanan, kita dihadapkan pada suatu deret jangkuan luas aksi-aksi untuk dipertimbangkan. Keragaman mereka menyembunyikan kontinuitas besar. Kontinuitas itu terdapat dalam sejarah upaya-upaya tekun para penghasil komoditas kecil-kecilan yang relatif otonom, untuk membela kepentingan-kepentingan fisik dan material 11Ibid.hal. 12Ibid.
389-390 hal. 396
19
fundamental mereka. Pada waktu dan tempat berbeda-beda, mereka semua telah membela diri terhadap praktek-praktek kerja rodi, perpajakan, serta wamil, dari negara tradisional, terhadap negara kolonial, terhadap seragam-seragam kapitalisme (misalnya sewa, bunga, proletarisasi, mekanisasi), terhadap negara kapitalis modern dan, harus ditambahkan, juga terhadap berbagai negara yang mengaku diri sebagai negara sosialis.” 13
Konsepsi tentang perlawanan sehari-hari ini ia elaborasi dalam studinya lebih lanjut. 14 Jika konteks perlawanan sehari-hari pada awalnya digunakan untuk menjelaskan bagaimana perlawanan mengambil bentuk dalam relasi kuasa pada masyarakat pedesaan, maka hidden transcript berusaha menjangkau lebih jauh perlawanan kaum tertindas. Konsep hidden transcript secara umum dapat dinyatakan sebagai berikut: “I shall use the term hidden transcript to characterize discourse that takes place offstage, beyond direct observation by powerholders. The hidden transcript is thus derivative in the sense that it consist of those offstage speeches, gestures, and practices that confirm, contradict, or inflect what appears in the public transcript . . . Public transcript is a shorthand of describing the open interaction between subordinates and those who who dominate.”15 Dalam menjelaskan kerangka hidden transcript ini, perlu diperhatikan performa dari aktor-aktor, kondisi yang memungkinkan mereka untuk menemui ekspresinya dalam publik atau tidak, dan relasi apa yang dimilikinya berhadapan dengan public transcript. Secara jelas Scott menguraikan kondisi-kondisi yang menyelimuti konsep hidden transcript. “Three characteristics of hidden transcript, however, merit clarification beforehand. First, the hidden transcript is specific to a given social site and to particular set of actors. A second and vital aspect of the hidden transcript that has not been sufficiently emphasized is that it does not contain only speech acts but a whole range of practices. Finally, it is clear 13Ibid.
hal. 397 C. Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcript, New Haven London: Yale University Press, 1990 15Ibid. hal. 6. 14James
20
that the frontier between the public and the hidden transcripts is a zone of constant struggle between dominant and subordinate – not a solid wall. The capacity of dominant group to prevail – though never totally – in defining and constituting what counts as the public transcript and what as offstage is, as we shall see, no small measures of their power. The unremitting struggle over such boundaries is perhaps the most vital arena for ordinary conflict, for everyday forms of class struggle.”16 Status ingatan melalui pengalaman para survivor menjadi penting dalam hidden transcript. Retorika dan kebijakan rezim dapat kita lihat dalam kerangka public transcrip. Realitas sehari-hari menjadi wilayah pertarungan kuasa. Pertarungan antara publik transcript yang membangun realitasnya, dan hidden transcript yang menegasikannya. Penjelajahan yang dilakukan dalam menyusuri wilayah pertarungan kuasa ini adalah keseharian. Tabel 1. Dominasi and Resistensi menurut James C. Scott17 Material Status Ideological Domination Domination Domination Practices of Appropriation of Humiliation, Justification by grain, taxes, labor, disprivilage, ruling group for Domination insults, assaults slavery, serfdom, etc on dignity caste, privilege Forms of public declared resistant
Petitions, demonstration, boycotts, strikes, land invasions, and open revolts
Forms of disguised, low profile, undisclosed resistance, INFRAPOLITICS
Everyday forms of resistance, e.g. poaching, squating, desertion, evasion, footdragging Direct Resistance by Disguised Resisters, e.g.
16Ibid. 17Ibid.
hal. 14 hal. 198
21
Public assertion of worth by gesture, dress, speech, and/or open desecration of status symbols of the dominant
Public counter ideologies propagating equality, revolution, or negating the ruling ideology
Hidden transcript Development of of anger, dissident aggresion, and subcultures e.g. , disguised millenial discourses of religions, slave dignity e.g. , “hush-arbors,” rituals of folk religion, aggresion, tales myths of social of revenge, use of banditry and class
masked approproations, threats, anonymous threats
carnival symbolism, gossip, rumour, creation of autonomous social space for assertion of dignity
heroes, worldupside-down imagery, myths of the “good” king or the time before the “Norman Yoke”
Dalam penelitian ini, penjelasan Scott dapat digunakan untuk melihat bagaimana dalam suatu rezim yang dominan, selalu terdapat situs sosial dimana hidden transcript berlangsung. Ini membantu kita dalam menjelaskan situasi dimana kuasa sang dominan demikian ganasnya. Misalnya, bagaimana kita menjelaskan hidden transcript survivor ketika berada dalam pembuangan. Bahkan ketika sudah bebas pun, kuasa rezim masih demikian kuatnya, sehingga hidden transcript memungkinkan kita untuk menelisik jauh perlawanan yang dilakukan. Dalam konteks perubahan rezim, konsep publik transcript dan hidden transcript juga menemukan signifikansinya. Konsep ini menawarkan suatu keluwesan dalam melihat situasi dominasi yang berubah sehingga menyebabkan bentuk perlawanan berbeda. Ketika kita secara hati-hati menggunakan konsep ini, bentuk perlawanan yang paling halus pun dapat kita dengar gaungnya. Ini berkaitan dengan bentuk-bentuk perlawanan yang dapat kita bayangkan. Kesadaran atas ketertundukan, dan penolakan atas kekuasaan ini, merupakan ruang yang terus berubah. Batas-batas dari sejauh mana publik transcript berlaku, dan bagaimana hidden transcript selalu muncul karenanya menjadi wilayah yang menjadi fokus kajian ini.
22
F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan studi kasus. Dengan memusatkan perhatian pada keluarga survivor, penelitian ini menggali pengalaman dari dalam. Aspek pengalaman inilah yang menjadi kunci memahami survivor dalam suatu sistem yang terbatas. Sebagai sebuah kategori subjek, survivor memiliki kekhasannya sendiri dalam mengartikulasikan pengalaman yang dilaluinya. Berdasarkan asumsi ini, maka dibutuhkan strategi narasi guna mendapatkan gambaran umum. Studi kasus dipilih karena membuka kemungkinan lebih jauh untuk memberikan pemahaman kita, yang dalam penelitian ini adalah strategi kuasa dan perlawanan atasnya, dalam konteks spesifik dimana ia hadir. F.1. Teknik Pengumpulan Data Di dalam penelitian ini, pengumpulan catatan lapangan dilakukan dengan observasi partisipatif. 18 Hal ini dilakukan guna menyelami konstruk keseharian para survivor. Selain itu, saya juga melakukan wawancara semi terstruktur. Selain membuka ruang partisipasi, wawancara semi terstrukur juga tidak membebani subjek. Dengan membiarkan pembicaraan mengalir, meminimalisir intervensi, semata-mata memposisikan diri sebagai pendengar dan pencatat, untuk kemudian membagi pengalaman perlawanan yang dilakukan oleh survivor. Di Denpasar, kawan-kawan taman 65 adalah salah satu komunitas di Bali yang bergerak dalam isu rekonsiliasi korban di akar rumput. Kegiatan mereka berfokus kepada diskusi, dimana keluarga survivor dilibatkan. Mereka lebih memilih untuk 18 Dalam batas-batas tertentu, penelitian ini terinspirasi dari metode thick description. Clifford Geertz menguraikan thick description sebagai strategi penulisan yang memungkinan kita menginterpretasikan kebudayaan. Artefak kebudayaan ditempatkan dalam sistem tanda-tanda, yang kemudian membimbing kita guna menguraikan makna kebudayaan yang kita teliti.
23
menyebut taman 65 sebagai komunitas. Saya mewawancarai mereka pada bulan November 2013, ketika saya minta kesediaannya untuk mencantumkan nama mereka dalam rangka penelitian saya, salah seorang menyatakan keberatan. Alasan yang ia kemukakan saat itu terkait dengan isu yang mereka angkat. Bergerak dan menjalin kerja bersama dengan survivor di seluruh Bali, isu pembunuhan massal 1965 masih menjadi isu yang sensitif. Penilaian ini mereka kemukakan berdasarkan refleksi atas kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan, sejak 2005. Salah seorang penggiat menyatakan bahwa upaya wawancara terhadap survivor ini dia lakukan bahkan sebelum komunitas taman 65 terbentuk, yaitu sekitar tahun 2002. Di Klungkung, Keluarga besar IKP dan keluarga besar NS. Wawancara semi struktur dilakukan guna menggali pengalamannya setelah kematian anggota keluarga, kemudian upaya yang ia lakukan untuk bertahan hidup. Secara ekonomi, pilihan-pilihan yang tersedia baginya tentu terbatas. Kondisi-kondisi sosial dan politik disekitarnya dilihat dalam memberikan konteks ruang hidup yang dijalaninya. Saya mewawancarai keluarga besar IKP dan NS sejak November 2013 hingga Februari 2014. Selain hasil wawancara, keluarga besar IKP juga berkenan memberikan saya sebuah buku harian mendiang IKP, yang berisi tulisan-tulisan beliau, sejak 1955 hingga 1965. Kronologis peristiwa saya peroleh berdasarkan hasil pembacaan saya terhadap buku harian ini. Anggota-anggota keluarga IKP dan INS yang saya wawancarai, memiliki pendapat yang berbeda ketika saya tanyakan perihal kesediaan untuk namanya saya cantumkan dalam penelitian ini. Setelah melalui
24
diskusi yang panjang, demi keamanan, dan pertimbangan-pertimbangan lainnya, hanya inisial yang saya sebutkan dalam penelitian ini. Selain dua hal yang saya sebutkan diatas, telaah atas literatur terdahulu, seperti buku-buku, laporan penelitian, artikel ilmiah, dan laporan profil desa saya perlakukan sebagai sumber data. Sumber-sumber ini menyediakan informasi dan melengkapi kerja lapangan yang saya lakukan. F.2. Teknik Analisa Data Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam penelitian ini adalah adalah menjelaskan konteks sistem dominasi yang berlaku. Saya menguraikan terlebih dahulu konteks ini, beserta perubahan-perubahan yang berlangsung. Data-data dikumpulkan melalui telaah literatur, dan hasil wawancara semi terstruktur yang dilakukan dengan keluarga survivor. Setelah menguraikan konteks dominasi rezim, perhatian dialihkan kemudian kepada bagaimana perlawanan-perlawanan ini mengambil bentuknya. Kita hanya bisa menjelaskan perlawanan sehari-hari ini dengan mendudukannya dalam konteks sistem dominasi yang sesuai. Guna membangun sketsa rezim dominasi dan bentuk perlawanan yang mungkin dilakukan, selain sumber primer seperti hasil wawancara, penggunaan sumber sekunder seperti laporan-laporan penelitian terdahulu akan sangat membantu. Kemudian biografi dan testimoni juga dapat membantu menjelaskan keadaan ini. Untuk memahami ingatan kekerasan survivor 1965, saya melakukan wawancara semi terstruktur dengan keluarga survivor di desa Dawan Kaler. Pada awalnya, saya diterima sebagai tamu dalam rumah keluarga ini. Seiring berjalannya waktu, 25
saya dipersilakan untuk terlibat lebih jauh dalam kegiatan-kegiatan keluarga. Dalam satu kasus, seluruh anggota keluarga ada dan terlibat dalam diskusi saya mengenai masa lalu keluarga ini. Kali lain, saya juga mewawancarai, secara terpisah, individu-individu dalam keluarga. Pada prosesnya, saya berusaha mengkonfirmasi, dan membandingkan hasil-hasil wawancara ini, kepada narasumber-narasumber lain, utamanya garis luar keluarga yang juga mengetahui peristiwa ini. Hal ini dilakukan guna menjaga konsistensi dari data yang diperoleh melalui kerja lapangan ini. Catatan lapangan yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisa mengunakan pendekatan kontruktivis-interpretivis. Penelitian ini beranggapan bahwa realitas merupakan konstruksi sosial, dimana terdapat saling pengaruh antara berbagai kontruksi makna. Hubungan saling pengaruh antara superodinat – subordinat ini dalam hal bagaimana kuasa hadir, dibangun dalam kehidupan sehari-hari. Refleksi terhadap kehidupan sehari-hari ini terutama mencari bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari yang dilakukan survivor.
G. Sistematika Penulisan Bab pertama merupakan pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan, teori, metode dan sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini. Bab kedua akan menjelaskan konteks sosial politik yang membentuk survivor. Konteks yang menyediakan ruang kemunculan survivor dalam dalam sejarah politik, utamanya setelah berdirinya rezim Orde Baru. Bab tiga menjelaskan memori kekerasan 1965 pada keluarga survivor. Bab
26
empat menjelaskan publik transcript dan hidden transcript. Hal ini meliputi seluruh bahasa, praktik, institusi dan lembaga yang mendominasi survivor. Kemudian, akan dijelaskan juga perlawanan yang dilakukan dalam konteks yang spesifik. Bab lima berisi kesimpulan dan refleksi lebih jauh yang mungkin ditarik dalam hidden transcript survivor 1965.
27