1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Industri media di era globalisasi saat ini dirasakan semakin pesat perkembangannya, salah satunya yaitu media elektronik televisi. Televisi merupakan sarana komunikasi massa. Televisi juga dapat diartikan sebagai alat komunikasi jarak jauh yang menggunakan media audio (pendengaran), dan visual (penglihatan) baik itu monokrom (hitam-putih) maupun berwarna. Globalisasi informasi media massa melahirkan suatu efek sosial yang bermuatan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya. Proses globalisasi tersebut membuat arus informasi menyebar ke seluruh dunia, salah satunya adalah melalui program televisi. Di Indonesia pesatnya industri pertelevisian juga dipengaruhi kebutuhan masyarakat akan informasi dan juga hiburan. Hal ini yang menjadikan peluang tersendiri bagi dunia pertelevisian di Indonesia untuk membuktikan bahwa media elektronik televisi mampu menayangkan informasi yang mendidik, menghibur, serta dapat menjadi sebuah ladang bisnis yang sangat menguntungkan khususnya bagi para pemilik media. Televisi hadir dalam kehidupan kita dengan dampak yang sangat besar. Tidak bisa kita pungkiri bahwa fungsi yang dijalankannya amat berpengaruh dalam kehidupan kita sebagai makhluk sosial. Satu dari beberapa fungsi televisi yang tanpa disadari hadir dalam kehidupan kita yaitu menyebarkan nilai-nilai.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
Efek sosial yang bisa memuat unsur-unsur perubahan nilai sosial dan budaya dalam masyarakat bisa juga terjadi akibat masyarakat ataupun audiens televisi, cenderung meng’iya’kan setiap nilai baru yang ditawarkan media televisi. Manusia cenderung menjadi konsumen budaya massa yang aktif. Hal ini mengakibatkan polapola kehidupan rutinitas manusia sebelum muncul televisi menjadi berubah, bahkan secara total. Televisi
menjadi
panutan
baru
(new
religion)
buat
masyarakat
dan
mentransformasikan bentuk kebudayaan yang sudah ada maupun yang baru, dimana menduduki posisi sentral dalam produksi dan reproduksi budaya promosi yang terfokus pada pemakaian citra visual untuk menciptakan merk dengan nilai tambahn atau tanda komoditas. Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan juga menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Saat ini program yang ditayangkan semata-mata lebih mengedepankan daya tarik tersendiri. Pergeseran tema budaya yang disajikan dan juga teknik pengemasan menjadikan program tersebut berubah drastis dibandingkan pada awal kemunculannya. Bukan hanya tema peliputan dan teknik pengemasan, tapi juga gaya pembawa acara maupun pengisi acara di dalamnya, serta petanda-petanda yang diperlihatkan di layar kaca kepada penonton luas. Budaya dalam arti luas merupakan seluruh seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar (Kontjaraningrat, 2002).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
Budaya menjadi suatu pola karena terjadi berulang-ulang, berakar, terpola, sehingga sulit untuk berubah dan membutuhkan penyesuaian untuk masuk kedalam masyarakat. Budaya tidak hanya bersifat abstrak, seperti nilai dan pemikiran, namun juga bisa berbentuk objek material. Televisi dan bahasa bisa dipandang sebagai hasil dari kebudayaan. Bila berbicara mengenai budaya, satu dari sekian banyak budaya asli yang ada di Indonesia yaitu wayang. Wayang adalah kebudayaan tertua dan asli dari Indonesia yang adiluhur dan sarat dengan kandungan nilai falsafah dan merupakan peninggalan asli milik bangsa Indonesia. Wayang berasal dari kata “Wayangan” yang memiliki makna sebuah penggambaran wujud tokoh serta cerita agar bisa tergambar dengan jelas dalam batin si penggambar karena wujud aslinya telah hilang. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah seni budaya akan selalu berubah dan berkembang mengikuti perubahan zaman. Wayang yang ada saat ini berbeda dengan wayang yang ada di masa lalu dan bisa jadi juga wayang di masa depan akan berubah sesuai zamannya. Namun perubahan seni budaya wayang ini tetap tidak berpengaruh pada jati dirinya yang telah tertanam dalam sejarah wayang itu sendiri karena wayang telah memiliki landasan utama yang sangat kokoh. Landasan utama itu terdiri dari tiga, yaitu adalah sifat Hamot: kemampuan dan keterbukaan budaya ini untuk menerima pengaruh dan masukan dari dalam maupun luar, Hamong: kemampuan untuk menyaring unsur-unsur baru tersebut sesuai dengan nilai-nilai wayang yang ada, dan Hamemangkat: kemampuan mengangkat suatu nilai menjadi nilai baru yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
sesuai dengan nilai-nilai wayang sehingga menyebabkannya memiliki daya tahan serta daya kembang wayang yang mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.1 NET TV (News and Entertainment Television) merupakan satu dari sekian stasiun televisi swasta di Indonesia yang cukup menarik perhatian publik. Televisi yang baru mengudara pada tahun 2013 ini hadir cukup berbeda dengan televisi swasta lainnya. Stasiun televisi yang memiliki positioning “Televisi Masa Kini” ini menayangkan program hiburan maupun news dengan penyajian, kemasan. maupun konten yang segar bila dibandingkan dengan televisi lainnya. Baik materi acara, pengisi acara, presenter, studio, tata kamera, serta aspek pendukung lainnya, ditampilkan kepada publik secara menarik dan terkesan segar. Kesan televisi yang ditargetkan untuk penonton dari kalangan menengah ke atas pun cukup terasa pada apa yang ditampilkan oleh NET, meskipun pada kenyataannya penontonnya datang dari berbagai kalangan dan status sosial. Banyak program hiburan menarik yang ditayangkan oleh NET. Satu dari beberapa program hiburan tersebut yang tampil cukup berbeda dan menyita perhatian adalah program “Bukan Sekedar Wayang”. “Bukan Sekedar Wayang” atau BSW adalah sebuah program hiburan yang mengangkat kesenian wayang golek dengan tokoh Cepot, Sule dan beberapa karakter lain sebagai pembawa cerita. Tokoh Cepot yang sudah tidak asing lagi di dunia http://www.utiket.com/id/weblog/208/sejarah_wayang_di_indonesia.html, diakses pada tanggal 1 Oktober 2015 pukul 10.55WIB. 1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
perwayangan dibawakan langsung oleh Dadan Sunandar Sunarya yang merupakan putra (Alm.) Asep Sunandar Sunarya, seorang maestro dalang Indonesia, dan wayang Sule yang dimainkan langsung oleh Sule, seorang komedian yang ternyata memiliki talenta lain menjadi seorang dalang. Dalam setiap episodenya,” Bukan Sekedar Wayang” menampilkan sebuah alur cerita yang mengandung nilai-nilai sosial dan edukasi, namun dikemas dalam bentuk komedi khas wayang. Selain itu, “Bukan Sekedar Wayang” juga menampilkan beberapa variasi konten di program tersebut, seperti sketsa, tips, ramalan, dan lainlain. Kehadiran beberapa figur tokoh terkenal dalam bentuk wayang seperti Michael Jackson, Rhoma Irama, Superman, dan AA Gym, juga membuat acara ini semakin menarik untuk ditonton.2 Bila melihat konsep dari program ini, “Bukan Sekedar Wayang” juga seharusnya dapat menjadi tayangan yang menginspirasi tentang kesahajaan, kesederhanaan, kearifan lokal, dan keunikan masyarakat tradisional Indonesia, sekaligus menjadi sarana maupun wadah untuk tetap melestarikan bentuk kebudayaan Indonesia, dalam hal ini wayang, khususnya kepada generasi muda yang ada saat ini. Dalam ekonomi politik (komunikasi), komodifikasi didefinisikan oleh Vincent Mosco (2009) sebagai proses perubahan nilai guna menjadi nilai tukar. Lukacs, Baran dan Davis, maupun Mosco, sama-sama menekankan adanya perubahan nilai guna
http://www.netmedia.co.id/program/439/Bukan-Sekedar-Wayang, diakses pada tanggal 1 Oktober 2015 pukul 11.00 WIB. 2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
menjadi nilai tukar3. Lukacs, Baran dan Davis, mengidentifikasi keberadaan komodifikasi sebagai kegiatan produksi dan distribusi, khususnya komoditas yang lebih mempertimbangkan daya tarik, agar bisa dipuja oleh sebanyak-banyaknya. Kegiatan tersebut saat ini tidak membutuhkan lagi pertimbangan konteks sosial, selain aktualisasi tanpa henti di areal pasar bebas. Dengan kata lain, muara komodifikasi adalah manfaat bisnis. Dalam konteks industri komunikasi, Mosco menunjukkan tiga aspek dalam konsentrasi komodifikasi, yakni isi media, khalayak, dan pekerja. Komodifikasi juga tidak luput dilakukan oleh televisi saat ini. Televisi cocok dengan sistem kapitalis dunia dengan menyediakan dukungan ideologis bagi kapitalisme, serta sebagai kendaraan bagi pemasaran korporat, memanipulasi penonton dan menjadikan mereka sebagai pemasang iklan. Praktek komodifikasi menurut Mosco (2009: 134) pada media televisi ditandai dengan diubahnya konten media menjadi komoditas untuk mendapatkan profit. Salah satu strategi dalam pencapaian tersebut ialah memproduksi program televisi yang sesuai dengan selera pasar sehingga dapat menaikkan rating dan share. Rating dan share menjadi alat untuk menilai kontent (teks ataupun produk media) apakah ia layak dijual. Kelayakan ini ditandai dengan seberapa banyak pemasang
Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication. London:Sage Publication. 2009 (hal.129). 3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
iklan yang mampu ditarik dalam setiap penayangan program tertentu. Selain itu, rating dan share juga menjadi data dalam mengkomodifikasi audience. Data audience yang ada menjadi pijakan bagi para pemasang iklan untuk memasarkan produknya di program tayangan tertentu atau tidak. Menurut Morissan (2009:342), rating dan share menjadi hal yang sangat penting bagi pengelola stasiun penyiaran komersial, termasuk pada televisi, pengiklan (advertisers) selalu mencari program siaran yang paling banyak memiliki penonton. Di sisi lain, hal ini disebut sebagai komodifikasi khalayak (audience commodification) karena khalayak dijual kepada pengiklan untuk mendapatkan keuntungan.4 Semua ini dilakukan demi bertahan dalam persaingan yang sangat ketat pada saat ini. Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat merasakan adanya pergeseran terhadap media televisi yang menjadikan program-program acara saat ini mulai beralih fungsi dari awal kemunculannya. Salah satunya terdapat di stasiun televisi NET TV pada program hiburan, “Bukan Sekedar Wayang”. Peneliti merasakan adanya sebuah upaya atau strategi komodifikasi yang dilakukan, dengan tujuan untuk memenuhi target dan daya tarik penonton, serta lebih memfokuskan pada rating dan share, yang pada saat ini menjadi kiblat utama pelaku industri penyiaran dalam eksistensinya. “Bukan Sekedar Wayang” selain hadir sebagai program untuk menghibur, seharusnya juga dapat menjadi tayangan yang menginspirasi tentang
Halim, Syaiful. Postkomodifikasi Media: Analisis Media Televisi dengan Teori Kritis dan Cultural Studies. Yogyakarta: Jalansutra.2013. 4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
kesahajaan, kesederhanaan, kearifan lokal, keunikan masyarakat tradisional Indonesia, dan yang terpenting melestarikan kebudayaan tradisional negara ini dari apa yang disajikan di dalamnya. Namun saat ini, “Bukan Sekedar Wayang” lebih banyak menampilkan sisi kehidupan sosial budaya masyarakat modern atau kota besar. Hal ini merupakan suatu strategi komodifikasi yang dilakukan oleh televisi, dalam kasus ini yaitu NET TV. Pada penelitian ini, peneliti tertarik mengambil program “Bukan Sekedar Wayang” sebagai subjek penelitian karena program tersebut merupakan program hiburan di televisi yang mengangkat dan menggunakan tema budaya Indonesia . Namun, seiring dengan berjalannya waktu, program tersebut dirasakan lebih banyak serta condong menyuguhkan tema-tema tentang masyarakat modern atau kota. Selain itu, peneliti juga melihat adanya upaya penggunaan simbol, ikon, maupun bahasa pada program “Bukan Sekedar Wayang”, tentunya dengan maksud dan tujuan tertentu di di dalamnya. Peneliti beranggapan ada model dikotomis, yaitu penandapetanda. Seperti yang dikemukakan oleh Roland Barthes bahwa dalam kehidupan sosial budaya, penanda adalah “ ekspresi ” tanda, sedangkan petanda adalah “ isi”.5 Program “Bukan Sekedar Wayang” dijadikan suatu komoditas, karena isi dan makna dari program tersebut mengalami ketidakautentikan, berbeda dari budaya wayang yang sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena media berorientasi pada
5
Hoed, Benny H. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu (hal. 13).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
kepentingan bisnisnya sehingga program seni budaya yang diproduksi tidak lagi didasarkan pada kualitas ataupun keautentikan, tetapi diubah menurut selera pasar. Atas dasar itulah peneliti ingin membuktikannya melalui penelitian ini. 1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana komodifikasi tema budaya dalam program “Bukan Sekedar Wayang” di NET TV ?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana proses komodifikasi tema budaya dalam program “Bukan Sekedar Wayang” di NET TV.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
Secara akademis, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pengembangan wawasan ilmu komunikasi khususnya pemahaman tentang Komodifikasi Tema Budaya dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dan paradigma teori kritis serta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
metode studi kasus. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya studi-studi ilmu komunikasi khususnya broadcasting.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang tayangan yang bermanfaat serta mendidik bagi para praktisi dunia penyiaran media televisi di Indonesia.
2. Untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang tayangan yang bermutu dan bermanfaat untuk masyarakat, serta agar dapat memberikan masukan atau penawaran kepada masyarakat agar dapat lebih selektif dalam memilih tayangan-tayangan yang bermanfaat khususnya pada tayangan yang menampikan unsur kebudayaan dan tentunya yang lebih mengedepankan konten atau isi dari program, bukan sekedar hanya memfokuskan pada rating dan share. Serta agar lebih bisa memahami konten media massa saat ini, khususnya pesan dalam program-program di stasiun televisi, yang dibingkai dengan perspektif komodifikasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/