BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang dengan kepadatan penduduk yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penduduk di Indonesia meningkat sebesar 7% dari tahun 2010 hingga tahun 2015, dengan jumlah penduduk 238.158 ribu jiwa di tahun 2010 dan 255.461 ribu jiwa di tahun 2015.1 Dengan peningkatan jumlah penduduk tersebut berdampak pula pada peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum masyarakat yaitu infrastruktur. Pengadaan infrastruktur membutuhkan dana yang sangat besar, sehingga jika hanya dibebankan oleh pemerintah melalui dana APBN maupun APBD tentunya tidak akan mampu tercukupi. 2 Data Kebutuhan Estimasi Kebutuhan Investasi Infrastruktur oleh Bappenas, menyebutkan bahwa total biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur kurang lebih hanya 31% saja yang mampu dibiayai oleh pemerintah melalui APBN, sementara sisanya yaitu kurang lebih 69% direncanakan diperoleh dari sumber lain di luar APBN.3 Melihat keterbatasan pemerintah dalam penyediaan dana melalui APBN untuk pembangunan
1
https://www.bps.go.id/index.php, diakses tanggal 20 Februari 2015 pukul 9.45
2
http://www.kppu.go.id/id/blog/2010/07/kerjasama-pemerintah-dan-swasta-pada-sektorinfrastruktur/, diakses tanggal 27 Februari 2015 pukul 10.00 3
Ibid.
1
2
infrastruktur maka dituntut adanya model atau pola baru sebagai alternatif pembiayaan proyek pembangunan. Pemerintah Daerah yang notabene mengandalakan APBD sebagai sumber pembiayaan ternyata juga mengalami keterbatasan sumber-sumber pembiayaan. Hal ini dirasa wajar karena walaupun sudah ditetapkan kebijakan otonomi daerah yang mewajibkan daerah mencari dana sendiri untuk pembiayaan kepentingan daerah masingmasing namun salah satu sumber APBD sebagian besar juga berasal dari pemerintah pusat sehingga apabila ada daerah yang tidak bisa mencari dana sendiri maka sangat bergantung kepada pemerintah pusat.4 Berdasarkan fakta di atas, maka diperlukan partisipasi swasta sehingga pendanaan untuk pembangunan infrastruktur dapat dipenuhi melalui kerjasama antara pemerintah dan swasta. Dewasa ini terdapat beberapa pola-pola partisipasi swasta dalam hal pembiayaan proyek infrastruktur. Pola-pola yang terdapat dalam praktik antara lain seperti BOT (Build Operate Transfer), BTO (Build Transfer Operate) BROT (Build Rent Operate Transfer), KSO (Kerjasama Operasional atau Joint Operation).5 Salah satu pola yang memungkinkan pihak swasta berpartisipasi dalam pembiayaan proyek infrastruktur adalah pengadaaan proyek pemerintah dengan sistem BOT (Build Operate Transfer). Dalam praktiknya dewasa ini proyek-proyek pembangunan infrastruktur
4
Ibid. Gedhe Abdhi Prabawa, 2014, Kajian Hukum Terhadap Perjanjian Build Operate And Transfer (BOT) Untuk Melindungi Hak Milik Atas Tanah Dalam Rangka Menunjang Sektor Pariwisata, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 2 5
3
seperti jalan tol, bangunan, jaringan telekomunikasi tetap dapat direalisasikan walaupun terdapat keterbatasan sumber dana oleh pemerintah. BOT adalah sebuah kontrak atau perjanjian antara pemilik proyek (pemerintah) dengan pihak lain sebagai operator atau pelaksana proyek.6 Dalam hal ini pemilik proyek memberikan hak kepada operator atau pelaksana untuk membangun sebuah sarana dan prasarana (umum) serta mengoperasikannya untuk selama jangka waktu tertentu dan mengambil seluruh atau sebagian keuntungan dan pada akhir masa kontrak harus mengembalikan proyek tersebut pada pemilik proyek.7 Apabila berjalan sesuai dengan rencana maka pada akhir masa kontrak, atau pada saat proyek tersebut harus dikembalikan pada pemerintah maka kontraktor telah dapat mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan ditambah dengan sejumlah keuntungan yang diharapkan dari proyek tersebut.8 Obyek BOT diantaranya adalah bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan yang merupakan komponen utama tersebut disebut sebagai bangunan komersial dan bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka waktu relatif lama, untuk tujuan yaitu pembangunan prasarana umum, pembangunan property, dan pembangunan prasarana produksi. BOT (Build
Operate Transfer) dapat
menjadi
salah satu
pilihan
yang
menguntungkan bagi pemerintah dalam pengadaan proyek infrastruktur yang membutuhkan partisipasi swasta. Kelebihan model BOT ini diantaranya
6
Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur dengan Model BOT (Build Operate Transfer),Genta Press, Yogyakarta.hlm. 15 7 Ibid. 8 Ibid.
4
adalah bagi publik tentunya akan mendapatkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat, hak penguasaan bagi pelaksana proyek tinggi terhadap infrastruktur yang dibangunnya, dan bagi pemiliki proyek yakni dapat mengurangi beban penggunaan dana APBN atau APBD atau pinjaman luar negeri dan juga secara finansial menguntungkan karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk melakukan studi kelayakan, dan lain sebagainya. Perjanjian BOT sekilas menawarkan solusi pendanaan bagi pemerintah, namun dalam pelaksanaannya ternyata BOT merupakan perjanjian yang cukup kompleks dan memiliki berbagai risiko dalam pelaksanaannya. Proyek Build, Operate, and Transfer (BOT) Pada umumnya melibatkan dana yang sangat besar. BOT juga rentan dengan beberapa risiko layaknya sebuah proyek pada umumnya, Risiko tersebut dapat timbul dari berbagai aspek. Risiko-risiko tersebut misalnya: risiko konstruksi, risiko biaya yang ternyata melebihi estimasi semula, risiko politik, risiko musibah, risiko tidak diperolehnya bahan baku yang sangat dibutuhkan untuk proyek. Risiko tersebut memang mungkin terjadi mengingat perjanjian BOT merupakan perjanjian yang kompleks dan memerlukan dana yang besar. Selain risiko diatas sebuah perjanjian juga tidak lepas dari kemungkinan adanya wanprestasi. Wanprestasi dalam perjanjian BOT (Build Operate Transfer) mempunyai kemungkinan yang sangat besar untuk terjadi karena dilihat dari prestasi para pihak yang cukup kompleks. Wanprestasi dapat terjadi apabila kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang awalnya tidak diperhitungkan secara matang.
5
Perjanjian dengan sistem BOT(Build Operate Transfer) juga pernah dilaksanakan di Yogyakarta. Pada tahun 1995 Pemerintah Kota Yogyakarta berencana membangun sebuah terminal bus tipe A di daerah Giwangan, Yogyakarta. Pembangunan Terminal bus ini bertujuan untuk menggantikan terminal bus yang awalnya berada di terminal Umbulharjo. Terminal bus Umbulharjo kondisinya sudah kurang memadai untuk menampung kendaraan dan penumpang sehingga mengganggu kelancaran aktivitas terminal tersebut. Pembangunan terminal bus tipe A yang lebih luas dengan fasilitas yang memadai dianggap solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut sehingga lahirlah keinginan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk membangun terminal bus tipe A di daerah Giwangan. Pembangunan terminal itu bukan tanpa masalah. Pada saat itu Pemerintah Kota Yogyakarta sepertinya mengalami keterbatasan dalam pembiayaan untuk merealisasikan proyek tersebut karena kemampuan keuangan yang bersumber dari APBD sangat terbatas dan harus terbagi dengan sektor lain.9 Keterbatasan dana tersebut menyebabkan Pemerintah Kota Yogykarta perlu menjalin kemitraan dengan badan usaha swasta karena tidak mungkin hanya mengandalakan APBD saja.10 Peran serta pihak swasta dirasa sangat diperlukan karena dalam pembangunan infrastruktur tidak hanya menemui hambatan mengenai keterbatasan pembiayaan namun juga keterbatasan sumber daya manusia 9
Wawancara dengan Bapak Heribertus Soedjatmiko, S.IP., pegawai pada Kantor Pemerintah Kota Yogyakarta Bagian Perekonomian, Pengembangan, Pendapatan Asli Daerah dan Kerjasama pada 12 Februari 2015 10 Ibid.
6
seperti tenaga ahli dan kemampuan manajemen. Pemerintah kota Yogyakarta kemudian mengadakan suatu bentuk kerjasama dengan Badan Usaha Swasta, Dasar hukum yang menjadi landasan kebijakan tersebut adalah UndangUndang omor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Bab IX Pasal 87 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa: 1. Beberapa Daerah dapat mengadakan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. 2. Daerah dapat membentuk Badan Kerjasama Antar Daerah 3. Daerah dapat mengdakan kerjasama dengan badan lain yang diatur dengan keputusan bersama 4. Keputusan bersama dan atau kerjasama, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
merupakan
upaya
pemberdayaan
masyarakat
dalam
pembangunan perkotaan. Pemerintah Kota Yogyakarta kemudian mengadakan lelang tender untuk mencari investor yang dapat mengatasi permasalahan dana tersebut, namun hingga tahun 1998 belum ada investor yang serius untuk mendanai proyek tersebut.11 Pada tahun 2002 Pemerintah Kota Yogyakarta mengadakan pelelangan umum Kerjasama Pemerintah dan Swasta pengelolaan Terminal Giwangan. PT. Perwita Karya akhirnya menjadi pemenang dalam proses lelang tender tersebut. Tahapan selanjutnya setelah resmi memenangkan tender dan melengkapi syarat administrasi adalah negosiasi antara Pemerintah
11
Ibid
7
Kota Yogyakarta dengan PT. Perwita Karya. Negosiasi antara kedua belah pihak tersebut akhirnya menghasilkan kespakatan Public Private Partnership (P3) atau Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) untuk pembangunan Terminal penumpang tipe A Giwangan di Yogyakarta menggunakan model BOT selama 30 tahun dengan rincian waktu 2 tahun sebagai masa pembangunan dan 28 tahun masa konsesi.12 Kesepakatan tersebut tertuang dalam Perjanjian BOT (Build Operate Tranfer) Pemerintah Yogyakarta dengan PT. Perwita Karya mengenai Pembangunan dan Pengelolaan Terminal Penumpang Tipe A Giwangan Kota Yogyakarta. Kebijakan pemilihan kerjasama dengan sistem Build Operate Transfer ini berdasarkan alasan pemerintah Kota Yogyakarta yang sesuai dengan tujuan BOT yaitu pembangunan tanpa mengeluarkan dana. Pemilihan sistem kerjasama ini dikarenakan Pemerintah Kota Yogyakarta pada saat itu kesulitan dana untuk membangun terminal penumpang tipe A di Giwangan.13 Dalam Perjanjian tersebut disetujui bahwa PT. Perwita Karya akan membangun terminal bus Giwangan di atas tanah seluas 5 hektar dengan spesifikasi terminal tipe A dengan fasilitas utama terminal (lintasan bus dan angkutan, kantor Dinas Perhubungan dan kantor pengelola, pool bus, dan lapangan parkir bus) serta fasilitas penunjang (toilet, musholla, tempat istirahat awak bus, parkir pengunjung, dan SPBU).14 PT. Perwita Karya dengan segala perhitungannya
12
Ibid. Ibid. 14 Pasal 3 Perjanjian Kerjasama antara pemerintah Kota Yogyakarta dengan PT. Perwita Karya tentang Pembangunan dan Pengelolaan Terminal Penumpang Tipe A di Giwangan Kota Yogyakarta 13
8
merasa akan mampu menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu dan akan mendapatkan kembali dana yang dikeluarkannya beserta keuntungannya. Perjanjian kerjasama Pembangunan dan Pengelolaan Terminal Penumpang Tipe A Giwangan Kota Yogyakarta tersebut sekilas telah mengatur substansi yang mencerminkan unsur-unsur perjanjian Build Operate Transfer yaitu tahap pembangunan, pengelolaan dan penyerahan. Perjanjian tersebut juga mengatur mengenai hal-hal lain yang dianggap perlu dicantumkan seperti sanksi, wanprestasi, kontribusi dan masih banyak lagi. Perjanjian tersebut sekilas cukup lengkap untuk menjadi pedoman pelaksanaan perjanjian , namun nyatanya dalam pelaksanaan perjanjian tersebut timbul beberapa masalah yang sulit ditemukan penyelesaiaannya. Berdasarkan alasan tersebut penulis tertarik membahas konstruksi Perjanjian Build Operate Transfer Terminal Penumpang Tipe A Giwangan antara Pemerintah Kota Yogyakarta dan PT. Perwita Karya dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan dan teori yang terkait dengan perjanjian Build Operate Transfer dengan judul Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Build Operate Transfer Terminal Penumpang Tipe A Giwangan antara Pemerintah Kota Yogyakarta dan PT. Perwita Karya
9
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas permasalahan yang menjadi fokus penulis dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konstruksi yuridis Perjanjian Kerjasama antara pemerintah Kota Yogyakarta dengan PT. Perwita Karya tentang Pembangunan dan Pengelolaan Terminal Penumpang Tipe A di Giwangan Kota Yogyakarta ? 2. Apakah substansi Perjanjian Build Operate Transfer dalam Perjanjian Kerjasama antara pemerintah Kota Yogyakarta dengan PT. Perwita Karya tentang Pembangunan dan Pengelolaan Terminal Penumpang Tipe A di Giwangan Kota Yogyakarta sudah sesuai dengan Perjanjian Build Operate Transfer yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan dan doktrin ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, Penulis menemukan
tujuan
penelitian hukum ini yang dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1. Tujuan Subjektif Memperoleh data untuk menjawab masalah-masalah yang diangkat untuk menyempurnakan penelitian ini dalam rangka penyusunan Penulisan Hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2. Tujuan Objektif Tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai beriku :
10
a. Untuk mengetahui konstruksi yuridis perjanjian Build Operate Transfer Terminal Penumpang Tipe A Giwangan antara pemerintah Kota Yogyakarta dan PT. Perwita Karya b. Untuk mengetahui implikasi Peraturan perundang-undangan dan doktrin mengenai perjanjian Build Operate Transfer dalam perjanjian Build Operate Transfer Terminal Penumpang Tipe A Giwangan. D. Keaslian Penelitian Sepanjang Pengetahuan penulis berdasarkan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Universitas Gadjah Mada dan juga melalui penelusuran jurnal online pernah ada penulisan hukum yang mengangkat topik mengenai perjanjian Build Operate Transfer, Penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. “PEMENUHAN PEMERINTAH
PEMBAYARAN KOTA
KEPADA
YOGYAKARTA
INVESTOR
AKIBAT
OLEH
PUTUSNYA
PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH DENGAN STUDI KASUS PADA TERMINAL GIWANGAN YOGYAKARTA” Ditulis oleh Mareta Dinda Kesuma pada tahun 2015. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini cara pemenuhan pembayaran kembali biaya yang telah dikeluarkan oleh investor ketika suatu Perjanjian Bangun Guna Serah dinyatakan putus dan untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan atas hak tagih pihak ketiga terhadap kredit yang diberikan kepada PT. Perwita Karya ketika tidak dapat melunasi piutang setelah Perjanjian Bangun Guna Serah dinyatakan
11
putus. Hasil penelitian ini adalah perjanjian Bangun Guna Serah antara Pemerintah Kota Yogyakarta dan PT. Perwita Karya dinyatakan putus karena PT. Perwita Karya wanprestasi yaitu tidak melaksanakan pembangunan pusat perbelanjaan sebagaimana yang dicantumkan dalam perjanjian. Bersamaan dengan putusnya perjanjian tersebut, diadakan penghitungan terhadap aset dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh PT. Perwita Karya. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi pembayaran atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh PT. Perwita Karya berdasarkan hasil tim penilai independen yang telah menghitung aset-aset PT. Perwita Karya tersebut. 2. “TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN BOT (BUILD OPERATE AND TRANSFER) DI ATAS TANAH HAK PENGELOLAAN (STUDI KASUS PASAR SENTRA ANTASARI DI KOTA BANJARMASIN)” Ditulis oleh Moelina Goenardi pada tahun 2013. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah membahas mengenai konstruksi yuridis perjanjian dengan sistem BOT dalam peremajaan pasar Sentra Antasari yang disepakati antara Pemerintah Kota Banjarmasin dengan PT. Giri Jaladhi Wana, dan mengetahui substansi perjanjian BOT tersebut dalam rangka perlindungan hukum bagi pihak ketiga. Hasil penelitia ini menunjukkan (1) Konstruksi hukum perjanjian kerjasama sistem BOT dalam pembangunan kembali Pasar Sentra Antasari antara Pemerintah Kota Banjarmasin dengan PT. Giri Jaladhi Wana pada Perjanjian tersebut yang dasarnya mengacu pada prinsip kebebasan
12
berkontrak dapat dilihat pada pemilihan bentuk kontrak, dengan siapa membuat kontrak, isi perjanjian, dan pilihan kedudukan hukum yang umum dan tetap dalam kaitan dengan perjanjian dan segala akibat hukumnya. Perjanjian tersebut tidak banyak mengatur mengenai pihak ketiga, padahal pihak ketiga baik pedagang maupun pihak lain yang berminat atas toko atau kios dimaksud seharusnya diatur pula hak dan kewajibannya secara memadai. Pihak ketiga hanya diberikan perlindungan hukum yaitu dengan memberikan hak sewa selama 25 tahun kepada pihak pembeli atau penyewa dari PT Giri Jaladhi Wana. 3. “KEDUDUKAN INVESTOR PEMENANG LELANG TERHADAP OBJEK BUILD OPERATE TRANSFER (BOT) YANG DIPAILITKAN (STUDI KASUS PADA PANGRANGO PLAZA BOGOR)” Ditulis oleh T. Parangmono pada tahun 2015. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini mengenai status pemenang lelang dan pihak yang dipailitkan terhadap objek BOT dan untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh pemenang lelang dalam mendapatkan haknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan investor pemenang lelang terhadap Objek Build Operate Transfer (BOT) atau Perjanjian Bangun Serah yang dipailitkan berdasarkan kenyataan yang ada PT. Girimulya Perkasa Jaya adalah pemenang lelang dari aset perjanjian BOT antara pemerintah kota Bogor dengan PT. Bogor Internusa Plaza. Status pemenang lelang dan pihak yang dipailitkan terhadap objek BOT pada kasus ini PT. Bogor Internusa Plaza dipailitkan oleh Hakim Pengadilan
13
Niaga
Jakarta
Pusat
32/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST.
dengan Atas
nomor alasan
putusan
ketidakmampuan
melunasi utang-utangnya kepada kreditur sehingga aset obyek perjanjian kerjasama BOT dilelang oleh pemerintah Kota Bogor dan dimenangkan oleh PT. Girimulya Perkasa Jaya. Kendala yang dihadapi oleh pemenang lelang dalam mendapatkan haknya ada pada pendapat yang dikeluarkan oleh kemendagri bahwa menurut Pasal 41 ayat (6) Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 perjanjian BOT hanya dilaksanakan maksimal 30 tahun. Permasalahn yang diangkat dalam ketiga judul tersebut memiliki perbedaan dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis. Berdasarkan analisis singkat yang dilakukan terhadap penelitian diatas terdapat perbedaan yang mendasar yang dapat dilihat pada : 1. Objek Penelitian Objek yang diteliti yaitu Perjanjian Build Operate Transfer Terminal Penumpang Tipe A Giwangan antara pemerintah Kota Yogyakarta dan PT. Perwita Karya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai Konstruksi perjanjian Build Operate Transfer Terminal Penumpang Tipe A Giwangan antara pemerintah Kota Yogyakarta dan PT. Perwita Karya dan kesesuaian substansi perjanjian tersebut dengan Peraturan Perundang-undangan dan teori mengenai perjanjian Build Operate Transfer
14
2. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian dalam penulisan hukum ini dilaksanakan di Pemerintah Kota Yogyakarta khususnya di Dinas Perhubungan dan Bagian Perekonomian, Pengembangan, Pendapatan Asli Daerah dan Kerjasama Serta di PT.Perwita Karya yang menangani langsung proyek Build Operate Transfer Terminal Penumpang Tipe A Giwangan. 3. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang diangkat oleh penulis yaitu mengenai konstruksi yuridis Perjanjian Kerjasama antara pemerintah Kota Yogyakarta dengan PT. Perwita Karya tentang Pembangunan dan Pengelolaan Terminal Penumpang Tipe A di Giwangan Kota Yogyakarta dan kesesuaian substansi perjanjian tersebut dengan Peraturan Perundang-undangan dan doktrin mengenai perjanjian Build Operate Transfer. Berdasarkan perbedaan yang telah disebutkan diatas dapat membuktikan bahwa dalam penulisan hukum ini tidak terdapat plagiasi walaupun tema yang diangkat sama yaitu mengenai perjanjian Build Operate Transfer. E. Manfaat Penelitian Penulis mengaharapkan hasil penelitian melalui penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengaplikasikan teori yang telah diperoleh dari bangku perkuliahan dan menambah pengetahuan penulis dalam bidang Hukum Perdata khususnya terkait Perjanjian Build Operate
15
Transfer, serta merupkan saraan penulis dalam melakukan penulisan hukum sebagai syarat meperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan bermanfaat dan memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu hukum khususnya pada hukum perdata serta dapat memberi saran dan masukan bagi pemerintah dalam
mengambil
upayaupaya untuk mengatur dan mengawasi perjanjian Build Operate and Transfer agar lebih memberikan kepastian hukum dan melindungi para pihak dalam perjanjian tersebut. 3. Manfaat bagi masyarakat Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan atau informasi terkait perjanjian Build Operate Transfer kepada masyarakat sehingga masyarakat mengerti cara untuk mengaplikasikan perjanjian ini dan terlindungi kepentingannya. 4. Bagi ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dan menambah khasanah ilmu hukum dalam sistem perjanjian di Indonesia, khususnya perjanjian Build Operate Transfer.