BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Yogyakarta termasuk dalam salah satu kota ternyaman dihuni di Indonesia. Terbukti dari survey yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) saat ini Jogja mendapatkan peringkat ke 4 sebagai Indonesia Most Livable City Index.1 Bahkan pada tahun 2013 kota inilah yang menjadi peringkat pertama dengan indikator tata ruang lingkungan, transportasi, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, infrastruktur, ekonomi, keamanan, dan kondisi sosial. Wakil Mentri Pekerjaan Umum, Herman Dardak juga mengatakan bahwa salah satu indikatornya juga adalah faktor kemacetan lalu lintas.2 Kenyamanan Yogyakarta nyatanya berdampak pada ramainya pendatang baik itu wisatawan, pekerja, pelajar maupun mahasiswa. Selain itu Jogja merupakan kota wisata, budaya, dan pendidikan yang tentunya menarik warga luar Jogja untuk tinggal di kota ini. Kondisi ini tentunya memperburuk keadaan yang ada. Tidak hanya lahan yang semakin sempit akibat terus dibangunnya mall, hotel, rumah penduduk, maupun perumahan, tapi juga kepadatan pengguna jalan raya dan berdampak pada 1
Max Oroh. 2015. Balikpapan Peringkat Pertama dari 7 Kota Ternyaman di Indonesia. http://kabarkaltim.co.id/2015/08/08/balikpapan-peringkat-pertama-dari-7-kota-ternyaman-diindonesia/ diakses 26 Oktober 2015 2 Astama Izqi Winata. 2014. Ikatan Ahli Perencana Indonesia: Jogja Kota Ternyaman Se-Indonesia. http://jogjadaily.com/2014/07/ikatan-ahli-perencana-indonesia-jogja-kota-ternyaman-se-indonesia/ diakses 26 Oktober 2015
kemacetan lalu lintas. Kemerosotan rangking dari peringkat 1 pada tahun 2013 dan menjadi peringkat 4 di tahun 2015 tidak dipungkiri karena salah satu faktor yaitu semakin tingginya angka penduduk yang mempengaruhi banyaknya penggunaan kendaraan bermotor dan menyebabkan masalah kemacetan lalu lintas serta mengurangi kenyamanan yang ada. Salah satu kawasan yang setiap hari mengalami kemacetan adalah Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta. Jalan seluas 5 meter ini merupakan salah satu jalur penting di jantung Kota Yogyakarta.3 Sehingga daerah ini penuh sesak oleh kendaraan yang melewatinya. Jalan ini berada di wilayah Kelurahan Terban dimana terdapat banyak pertokoan, pedagang kaki lima, parkir, dan sekolah di seluruh sisi jalan. Mulai dari SMA, supermarket, toko busana, toko elektronik, warung internet, toko sepatu, tempat makan, toko olahraga lengkap berjejer di arena ini. Toko-toko tersebut mayoritas tidak memiliki lahan khusus parkir yang memadai. Terlihat dari banyaknya kendaraan roda dua maupun empat yang diparkirkan di bahu jalan. Hal ini tentunya menambah kemacetan lalu lintas yang ada. Wacana pemberlakuan jalan satu arah di Jalan C. Simanjuntak Yogyakarta akhirnya muncul pada tahun 2011.4 Namun kebijakan tersebut baru dapat terealisasikan pada 25 Agustus 2014. Beberapa kali pemerintah melakukan 3
Yores, dkk. 2013. Perancangan Kota Jl. C Simanjuntak. https://www.academia.edu/8714611/Perkot_Fix_Presentasi diakses pada 29 Oktober 2015 4 Esa. 2013. Konsep Jalan C Simanjuntak jadi Searah Butuh Sosialisasi Panjang. http://jogja.tribunnews.com/2013/03/14/konsep-jalan-c-simanjuntak-jadi-searah-butuh-sosialiasipanjang diakses pada 29 Oktober 2015
pertemuan dengan warga Kelurahan Terban demi mendapatkan persetujuan karena jalan yang ada masih merupakan wilayah mereka. Pemerintah juga membuat kebijakan mengenai parkir untuk toko disepanjang jalan tersebut yaitu parkir di bahu jalan hanya diperbolehkan disisi Timur. Walaupun pada kenyataannya masih banyak yang menggunakan bahu jalan sisi Barat untuk parkir kendaraan roda empat. Penerapan kebijakan jalan satu arah di Jalan C. Simanjuntak Yogyakarta melibatkan banyak pihak di dalamnya yaitu Pemerintah Kota Yogyakartaselaku pemangku kekuasaan, masyarakat yang berada di wilayah Kelurahan Terban, dan Swasta dalam kasus ini adalah pemilik toko disepanjang jalan tersebut. Hubungan atau relasi yang ada antar aktor tersebut baik pemerintah dengan masyarakat, pemerintah dengan swasta, ataupun swasta dengan masyarakat menjadikan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut dapat terealisasikan. Karena suatu kebijakan tidak dapat langsung diterapkan tanpa adanya persetujuan dari pihak-pihak yang terdampak. Tiap aktor memiliki kepentingan masing-masing sehingga bukan menjadi hal baru ada pihak yang awalnya tidak setuju dengan wacana ini. Penelitian ini menarik karena masalah mengenai kebijakan jalan satu arah sebagai suatu pemecahan masalah kemacetan merupakan masalah publik yang memuat banyak kepentingan dan relasi di dalamnya. Baik itu pemerintah, swasta, maupun masyarakat sekitar. Oleh karena itu peneliti ingin mengangkat permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul “Relasi Antar Aktor dalam Pemberlakuan Kebijakan Jalan Satu Arah: Studi Mengenai Relasi dan Kepentingan Antara
Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat Terban dalam Pemberlakuan Jalan Satu Arah di Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta” Adanya penelitian ini peneliti berharap dapat memberikan analisis mendalam mengenai relasi dan kepentingan yang terjalin karena adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam kasus ini kebijakan pemberlakuan jalan satu arah di Jalan C. Simanjuntak Yogyakarta. Diharapkan pula penelitian ini nantinya akan menambah khazanah pengetahuan mengenai ilmu politik. Selain itu, memperkaya karya penelitian sosial khususnya dalam bidang politik.
B. Rumusan Masalah Dengan latar belakang diatas, maka pertanyaan penelitian yang akan dijawab pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana relasi kuasa antara negara, swasta, dan masyarakat dalam pemberlakuan jalan satu arah di Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta? 2. Bagaimana
cara
pemerintah
selaku
pemangku
kekuasaan
dalam
merealisasikan kebijakan jalan satu arah di Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini tentunya bertujuan untuk mengetahui bagaimana relasi kuasa antara pemerintah, swasta, dan masyarakat yang ada dalam pemberlakuan jalan satu arah di Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta. Selain itu untuk juga mengetahui bagaimana cara pemerintah selaku pemangku kekuasaan menyelesaikan masalah publik yaitu kejenuhan jalan. D. Manfaat Penelitian 1. Mampu memberikan penjelasan bagaimana relasi yang terjadi antara negara, swasta, dan masyarakat dalam pemberlakuan jalan satu arah di Jalan C. Simanjuntak Yogyakarta. 2. Mengetahui berbagai macam kepentingan yang ada dalam pemberlakuan jalan satu arah di Jalan C. Simanjuntak Yogyakarta. 3. Mampu menjelaskan berbagai aktor yang terlibat dalam terlaksananya pemberlakuan jalan satu arah di Jalan C. Simanjuntak Yogyakarta. 4. Mampu menjabarkan tahapan-tahapan yang dilakukan pemerintah dalam merealisasikan kebijakannya tersebut. 5. Menambah khazanah kajian politik dari sudut kebijakan publik dan relasi kuasa.
E. Review Literatur Review literatur merupakan tahapan penting yang perlu dilakukan karena untuk menunjukkan adanya penelitian sebelumnya oleh orang lain yang serupa ataupun mirip terkait dengan relasi antar aktor dalam keberlangsungan suatu kebijakan maupun kegiatan tertentu. Diperlukan juga untuk mengetahui bahwa penelitian yang dilakukan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Atau kata lain tidak mengulang yang sudah ada dan ada unsur kebaruan di dalamnya. Pada bagian ini memuat teori, temuan, dan fokus kajian dari tiap penelitian. Dalam penelitian kali ini, ditemukan beberapa sumber berupa skripsi dan thesis yang memiliki kesamaan tema besar dengan penilitian yang peneliti angkat. 1. Penelitian pertama yaitu skripsi dari Chandra Puspitasari Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM tahun 2007. Penelitian tersebut berjudul “Relasi Tiga Aktor dalam Pengelolaan Parkir di Malioboro: Studi Tentang Relasi Kepentingan antara Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat dalam Pengelolaan Parkir di Malioboro”. Dalam penelitian tersebut , bentuk dan relasi antara tiga aktor yang ada dijabarkan menggunakan Teori Governance. Dimulai dari sudut pandang terminologinya, dari segi fungsionalnya, dan konsep relasi yang ada itu sendiri. Fokus kajiannya adalah bagaimana menjelaskan peran pemerintah dalam mengatur perizinan yang ada khususnya mengenai masalah perparkiran di kawasan Malioboro. Dijabarkan pula bahwa pemerintah justru mendapatkan
stigma yang kurang baik atau kata lain kurang dipercaya oleh masyarakat dalam mengelola parkir yang ada. 2. Penelitian kedua yaitu skripsi dari Rendy Riananda Jurusan Sosiologi UGM tahun 2014 yang berjudul “JASA PELAYANAN PARKIR: Studi tentang Relasi Antar Aktor dalam Pengelolaan Jasa Pelayanan Parkir di Kawasan Belanja dan Hiburan Seturan, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Skripsi tersebut membahas mengenai bentuk dan pola interaksi serta relasi sosial yang terjadi antara para juru parkir dengan pemilik lahan usaha dan memberikan lahan parkir dengan menggunakan paradigma definisi sosial dan teori intetaksionisme simbolik. Fokus kajiannya adalah memperlihatkan peran aktor yang menggunakan jasa pelayanan serta
penyelesaian masalah oleh
penyedia jasa pelayanan dalam relasi sosial yang terjadi di dalamnya. 3. Penelitian ketiga yaitu thesis dari Muhammad Anshori Jurusan Ilmu Politik UGM 2011 yang berjudul “Politik Pengelolaan Hak Bersama” yang membahas mengenai dinamika relasi kuasa dalam pengelolaan perkebunan karet rakyat melalui lembaga kesejahteraan desa di Desa Kemuja Kecamatan Mendo Barat Kabupaten
Bangka.
Thesis
tersebut
menggunakan
konsep
mekanisme
pengelolaan sumberdaya kepemilikan bersama dan relasi struktur kekuasaan. Fokus kajian penelitiannya lebih menitikberatkan pada proses dan mekanisme pengelolaan sumberdaya, siapa saja aktor yang berperan, dan analisa mengenai pola relasi kuasa dalam pengelolaan tersebut.
4. Penelitian keempat yaitu disertasi dari Pahada Hidayat Program Studi Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada 2015 yang berjudul “Kontestasi dan Relasi Kuasa dalam Pemberdayaan Masyarakat di Daerah: Studi Kasus pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Tulang Bawang Barat”. Disertasi tersebut menggunakan kerangka teori kontestasi, konsep relasi kuada, dan juga konsep ruang publik. Fokus kajiannya adalah mengenai konstruksi pembangunan oleh negara melalui program PNPM, bentuk-bentuk tegangan dan negosisasi antara masyarakat dan pemerintah, dan dinamika kultur lokal dalam merespon perubahan sosial sebagai dampak dari program pembangunan yang ada. 5. Penelitian kelima yaitu skripsi dari Adninda Gusnia Putri Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada 2014 yang berjudul “Pola Relasi Kuasa Antara Negara, NGO, dan Masyarakat dalam Proses Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) untuk Mengatasi Masalah Kemiskinan: Studi Posdaya Delima, Gemawang, Sinduadi, Mlati, Sleman”, skripsi ini menggunakan kerangka teori yaitu kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, dan pola relasi NGO terhadap negara. Fokus kajian penelitiannya yaitu mengenai bagaimana strategi pemberdayaan yang dilakukan oleh Posdaya Delima dalam mengentaskan kemiskinan dan juga pola reasi kuasa yang terbangun antara negara, NGO, dan masyarakat. 6. Penelitian keenam yaitu thesis dari Reni Shintasari Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada 2013 yang berjudul “Studi Relasi
Pemerintah Desa, Perusahaan, Masyarakat Desa Ponggok terkait CSR PT TI Aqua Danone”. Thesis ini menggunakan teori governance, CSR, dan patronase. Fokus penelitiannya adalah mengenai relasi antara perusahaan, pemerintah desa, dan masyarakat pada penganggaran CSR PT TIA Danone Klaten di Desa Ponggok dan juga dampak CSR tersebut terhadap aktor lain yang terkait. 7. Penelitian ketujuh adalah skripsi dari Dhienda Viola Dewinta Jurusan Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada 2015 yang berjudul “Relasi Antar Aktor Pemerintah Kota Yogyakarta dengan Masyarakat & PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) dalam Keterkaitannya dengan Fenomena Pembangunan Hotel di Kota Yogyakarta”. Fokus kajiannya adalah mengenai pola relasi Pemerintah Kota Yogyakarta dengan aktor lain terkait dengan fenomena dan pembangunan hotel. Penelitian ini menggunakan konsep relasi antara state dan society, kemitraan, dan teori konflik. 8. Penelitian kedelapan adalah thesis dari Yoga Suharman Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada 2015 yang berjudul “Relasi KekuasaanPengetahuan dalam Wacana Global War On Terror”. Fokus kajiannya adalah mengenai bentuk relasi kekuasaan yang ada dalam wacana perang melawan terorisme global dan mekanismenya. Penelitian ini menggunakan teori kekuasaan modern. Penelitian-penelitian tersebut memiliki kesamaan tema besar yaitu mengenai relasi kuasa antar aktor. Penelitian yang peneliti lakukan kali ini memuat
beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya tersebut. Pertama adalah fokus kajian yang diteliti yaitu mengenai relasi kuasa dalam pemberlakuan kebijakan jalan satu arah di Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta. Kedua adalah segi teori yang digunakan, peneliti menggunakan teori kebijakan publik dan konsep relasi kuasa. Ketiga adalah pembahasan adalah mengenai relasi kuasa yang termuat antar tiga aktor yaitu pemerintah Kota Yogyakarta (state) , masyarakat Kelurahan Terban (society), dan swasta atau pemilik usaha di sepanjang Jalan C. Simanjuntak (private sector). Pemberlakuan jalan satu arah yang baru dilaksanakan Agustus 2014 lalu. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini up to date dengan realitas saat ini. F.
Kerangka Teori
F.1. Kebijakan Publik F.1.1. Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan publik dapat dipahami sebagai kebijakan yang dibuat oleh badan-badan pemerintah dan atau para aktor politik, bertujuan untuk menyelesaikan masalah publik. Lingkup dari studi ini sangat luas relasi mencakup berbagai sektor baik itu politik, hukum, pendidikan, pertanian, keamanan, luar negri, dan lain sebagainya. Namun yang akan menjadi fokus kali ini adalah kebijakan publik pada lingkup politik yang bersifat regional/ lokal. Pakar ilmu politik Richard Rose berpendapat bahwa kebijakan publik dapat dipahami sebagai serangkaian kegiatan-kegiatan yang sedikit banyak berhubungan
beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan dari pada sebagai suatu keputusan tersendiri5. Kebijakan publik menurut Thomas Dye adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do)6. Definisi tersebut memiliki makna bahwa kebijakan yang dibuat oleh badan pemerintah bukan organisasi swasta dan menyangkut pada pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. Atau kata lain, kebijakan tidak hanya dipandang dari segi apa yang sudah dilakukan pemerintah. James E. Anderson mendefinisikan bahwa kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah.7 Walaupun disadari bahwa kebijakan-kebijakan yang ada dapat dipengaruhi oleh faktor dan aktor di luar pemerintahan. Seperti pada pandangan David Easton
ketika pemerintah
membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat. Karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya. Ditegaskan pula oleh Harrold Laswell dan Abraham Kaplan yang berpendapat bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat.8
5
Richard Rose dalam Budi Winarno. 1989. Teori Kebijaksanaan Publik. PAU Studi Sosial Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas (Bank Dunia XVII). Hlm. 3. 6 Thomas Dye dalam Budi Winarno. Ibid., hlm. 2. 7 Dalam AG. Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 2. 8 Ibid., hlm. 3
Menurut
pandangan
dari
John
Dewey
kebijakan
publik
lebih
menitikberatkan pada publik dan masalah-masalah di dalamnya. Membahas mengenai bagaimana isu-isu dan persoalan yang muncul ke permukaan disusun dan didefinisikan. Lalu bagaimana semua itu diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Selain itu, kebijakan publik juga merupakan studi tentang bagaimana dan apa dampak dari tindakan aktif yang dilakukan maupun pasif dari pemerintah. 9 Secara generik terdapat empat jenis kebijakan publik. Pertama, kebijakan formal adalah keputusan-keputusan yang dikodifikasikan secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku. Kebijakan formal dikelompokkan menjadi tiga yaitu perundang-undangan (UU, PP, Perda), hukum (Pidana, Perdata, Agama, Khusus), dan regulasi (PP, PerPres, PerMen, PerKaDa). Kedua, kebiasaan umum lembaga publik yang telah diterima bersama (konvensi). Ketiga, pernyataan pejabat publik dalam forum publik. Keempat, perilaku kebijakan publik.10 Kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai, norma, maupun praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila bertentangan maka akan menyebabkan konflik atau chaos saat diimplementasikan. Oleh sebab itu kebijakan yang nantinya dikeluarkan harus mampu mengakomodasi nilai, norma, dan praktika
9
Syahrin Naihasy. 2006. Kebijakan Publik. Yogyakarta: Mida Pustaka. Hlm. 18-19 Riant Nugroho. 2014. Metode Penelitian Kebijakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 8-9.
10
yang hidup dan berkembang di masyarakat. Terdapat tiga manfaat penting dalam studi kebijakan publik:11 1) Pengembangan ilmu pengetahuan Pengertian manfaat ini adalah ilmuwan dapat menempatkan kebijakan publik sebagai variabel terpengaruh (dependent variable) maupun sebaliknya yaitu variablel pengaruhnya (independent variable). Berarti bahwa studi ini berusaha mencari variabel-variabel yang dapat memengaruhi isi dari kebijakan publik, ataupun sebaliknya sehingga berupaya mengidentifikasi apa dampak dari kebijakan yang ada. 2) Membantu para praktisi dalam memecahkan masalah-masalah publik Dengan mempelajari kebijakan publik para praktisi akan memiliki dasar teoritis tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang baik dan memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan publik. Sehingga kedepannya akan muncul kebijakan publik yang lebih berkualitas yang dapat menopang tujuan pembangunan. 3) Berguna untuk tujuan politik Suatu kebijakan publik yang dibuat melalui proses yang benar dengan dukungan teori yang memadai memiliki posisi yang kuat terhadap kritik dari lawan-lawan politik. Kebijakan publik tersebut dapat meyakinkan kepada lawan-lawan politik
11
Ibid., hlm. 4,5.
yang tadinya kurang setuju. Kebijakan seperti itulah yang tidak akan dicabut hanya karena alasan kepentingan sesaat dari lawan-lawan politik. Terdapat enam kriteria yang harus diperhatikan saat mengambil kebijakan publik yaitu sebagai berikut:12 1) Efektifitas (effectiveness), yang menguku apakah suatu alternatif sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan atau tidak. 2) Efisiensi (efficiency), yang selalu menjadi tolok ukur adalah dalam bidang ekonomi/ keuangan. 3) Cukup (Adequacy), adalah kriteria yang berkaitan dengan variasi antar sumberdaya dan tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut: a. Pencapaian sasaran tertentu dengan biaya tertentu b. Pencapaian salah satu di antara banyak sasaran dengan biaya tetap c. Pencapaian tujuan tertentu dengan biaya yang dapat berubah d. Pencapaian salah satu di antara banyak sasaran dengan biaya yang dapat berubah 4) Adil (Equity), adalah untuk mengukur suatu strategi kebijakan yang berhubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan di antara berbagai pihak dalam masyarakat.
12
Syahrin Naihasy, op. cit. Hlm. 36-37
5) Terjawab (Responsiveness), merupakan sebuah strategi kebijakan yang dapat memenuhi suatu komunitas/ golongan/ masyarakat atau masalah tertentu dalam masyarakat. 6) Tepat (Appropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria di atas yang saling mendukung ataupun ada kriteria yang sesuai akan tetapi tidak untuk kriteria yang lain namun pada akhirnya harus dilakukan dalam rangka terwujudnya suatu kebijakan pilihan terakhir. F.1.2. Pendekatan dan Kerangka Kerja dalam Studi Kebijakan Publik Hughes memaparkan studi kebijakan bahwa terdapat dua pendekatan dalam studi kebijakan publik, yaitu13: 1) Analisis kebijakan (policy analysis) Pendekatan ini lebih terfokus pada studi pembuatan keputusan (decision making) dan penetapan kebijakan dengan menggunakan model-model statistik. 2) Kebijakan publik politik (political public policy). Pada pendekatan ini lebih menekankan pada hasil dan outcome dari kebijakan publik dari pada penggunaan data statistik. Kerangka kebijakan publik ditentukan oleh beberapa variabel: 14
13 14
Ibid., hlm. 5. Ibid., hlm. 7.
1) Tujuan yang hendak dicapai: mencakup kompleksitas tujuan yang hendak dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit mencapai kinerja kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin sederhana, maka semakin mudah untuk mencapainya. 2) Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan: suatu kebijakan yang mengandung berbagai variasi nilai akan jauh lebih sulit untuk dicapai dibandingkan dengan suatu kebijakan yang hanya mengejar satu nilai. 3) Sumber daya yang mendukung kebijakan: kinerja suatu kebijakan akan ditentukan oleh sumberdaya finansial, material, dan insfrastruktur lainnya. 4) Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan: kualitas dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kualitas para aktor yang terlibat dalam proses penetapan kebijakan. Kualitas tersebut akan ditentukan dari tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya. 5) Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya: kinerja dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, dan politik tempat kebijakan tersebut diimplementasikan. 6) Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan: strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan akan memengaruhi kinerja dari suatu
kebijakan. Strategi yang digunakan dapat bersifat top-down approach atau buttom-up approach, otoriter atau demokratis. F.1.3. Proses dan Tahapan Kebijakan Publik Proses analisis kebijakan publik dapat dikatakan sebagai serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktifitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas yang lebih bersifat intelektual yaitu perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut: 15
GAMBAR 1 (Proses Kebijakan Publik Menurut William N Dunn)
15
Ibid., hlm. 8,9.
TAHAPAN Perumusan masalah
KARAKTERISTIK Memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah Forecasting (peramalan) Memberikan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari diterapkannya alternatif kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan. Rekomendasi kebijakan Memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif, dan merekomendasikan alternatif kebijakan yang memberikan manfaat bersih paling tinggi. Monitoring kebijakan Memberikan informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan termasuk kendala-kendalanya. Evaluasi kebijakan Memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil dari suatu kebijakan Tabel 1 Tahap Analisis Kebijakan (Aktifitas Intelektual) TAHAPAN Penyusunan agenda (agenda setting)
Formulasi kebijakan (policy formulation)
Adopsi/ legitimasi kebijakan
KARAKTERISTIK Merupakan suatu proses dimana masalah publik bisa mendapatkan perhatian dari pemerintah atau tidak Merupakan proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah. Tujuannya adalah untuk mengetahui masalah apa yang harus dipecahkan Merupakan langkah lanjut setelah formulasi kebijakan. Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintah. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah adalah sah
Implementasi implementation)
kebijakan
(policy Merupakan proses melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil yang diinginkan dengan baik Penilaian kebaikan/ kebijakan Merupakan proses untuk menilai hasil atau kinerja kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan. Tabel 2 Tahap analisis kebijakan yang lebih bersifat politis: F.2. Konsep Relasi Kuasa dalam Teori Governance Dalam konteks governance pola relasi kekuasaan ditandai dengan hadirnya masyarakat (institusi atau komunitas), pemerintah (pusat dan daerah), dan pasar (pelaku bisnis interprenuer). Pemerintah bukan satu-satunya aktor yang berperan penuh atau memiliki kekuasaan secara mutlak. Relasi pada dasarnya merupakan bentuk konkret hubungan yang terbentuk karena adanya interaksi dari unsur dua pihak atau lebih. Pihak-pihak yang terlibat tersebut memiliki kepentingan dan tujuan masing-masing. Pemerintah dengan menggunakan teori governance dalam membangun relasi diharapkan mampu mengurangi adanya konflik akibat benturan kepentingan yang ada. Karena suatu kebijakan akan dapat terlaksana dengan lebih baik apabila dalam proses implementasinya melibatkan aktor-aktor lain selain pemerintah. Aktor tersebut adalah swasta/private sector dan masyarakat. Perlu adanya ruang sinergi atau kerjasama yang ada antara pemerintah dengan masyarakat dan swasta. Ruang ini harus tetap dibuka untuk menjamin bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh masingmasing pihak bisa lebih optimal. Sehingga tidak adanya pihak yang merasa dirugikan.
Manfaat baikpun diperoleh oleh semuanya akibat hubungan baik yang terjalin di dalamnya. Konsep relasi dapat dilihat secara lebih jelas pada bagan berikut:
STATE
PRIVATE SECTOR
SOCIETY
Gambar 2 Konsep Relasi Antar Aktor Keterangan: : Relasi
: Aktor/ wilayah/ sektor
F.2.1. Relasi antara Negara dengan Masyarakat Pola yang terbentuk antara pemerintah dengan masyarakat adalah sebagai berikut:16 1) Pola Otoritarian
16
Tim Penyusun S2 PLOD. 2004. Mengelola Dinamika Politik dan Sumberdaya Daerah. Yogyakarta: Global Media. Hlm. 50.
Pola otoritarian menempatkan posisi pemerintah pada tempat tertinggi sedangkan masyarakat berada di posisi subordinatif. Negara mendominasi proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan. Masyarakat dikondisikan pada posisi pasif dan perannya nyaris terpinggirkan. Dinamika dalam proses pengambilan keputusan yang ada lebih merupakan refleksi dari kompetisi kepentingan antar sejumlah aktor pemerintah. 2) Pola Hubungan Transisional Pada pola ini sosok dominan dari pemerintah atau negara sudah mulai mencair dan muncul partisipasi masyarakat. Peran masyarakat serta sektor lainnya masih dibatasi oleh pemerintah dalam proses perumusan kebijakan politik. Pola hubungan transisional diwarnai oleh ketegangan, konflik, bahkan perlawanan dari masyarakat karena produk politik yang ada hanya menguntungkan pemerintah. 3) Pola Hubungan Demokratis Pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat secara politik posisinya setara. Pemerintah tidak lagi melakukan dominasi. Pemerintah dan masyarakat sama-sama diikat oleh satu aturan main untuk saling mengisi dan mendorong serta ada interaksi timbal balik dalam proses pengambilan kebijakan dan implementasi kebijakan. Pola-pola di atas menunjukkan bentuk relasi dari posisi , sedangkan untuk model hubungan yang dibentuk dari dua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat dapat
dilihat pada model-model hubungan sinergis. Model hubungan sinergis tersebut yang dapat terbentuk dari relasi pemerintah (state) dengan masyarakat (society): 17 4) Model Kemitraan (partnership) Model ini terdapat dasar yaitu kepercayaan satu sama lain dan kesetaraan. Sehingga masyarakat sipil, masyarakat ekonomi, dan masyarakat politik bersama dengan pemerintah dapat bekerja sama. 5) Model Reprositas-Kritis Hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dilakukan dengan cara keduanya saling mempelajari posisi masing-masing dari keduanya. Selain itu juga saling menerima dan memberi dukungan. 6) Model Akomodasionis Baik dari pemerintah maupun masyarakat saling melakukan politik akomodasi.
17
Ibid., hlm. 57
F.2.2. Relasi antara Negara dengan Swasta/ Privat Sector Variasi bentuk relasi antara negara (state) dengan sektor swasta/privat (private sector) dapat dibedakan kedalam 3 hal yaitu:18 1) Tingkat alokasi resiko antara pemerintah dengan swasta. 2) Tingkat kebutuhan tenaga ahli pada masing-masing pihak. 3) Implikasi potensial terhadap tingkat pembayaran. Pemerintah memerlukan kerjasama dengan pihak swasta dalam melakukan pembangunan atau pembenahan baik dalam bentuk tanggung jawab dan jangka waktu. Terdapat lima bentuk kerjasama antara sektor pemerintah (state) dengan sektor swasta/privat (private sector), yaitu sebagai berikut: 19 1) Kontrak Pelayanan (Service Control) Merupakan bentuk kerjasama dimana mitra swasta diberi tanggung jawab melaksanakan pelayanan jasa untuk suatu jenis pelayanan tertentu dalam suatu jangka waktu tertentu. 2) Kontrak Kelola (Management Contract) Merupakan bentuk kerjasama dimana mitra swasta diberi tanggung jawab untuk mengelola prasarana/sarana milik pemerintah (yang dikontrakkan adalah jabatan dalam suatu organisasi/management saja). 18 19
Ibid., hlm. 17. Ibid.
3) Kontrak Sewa (Leased Contract) Merupakan bentuk kerjasama dimana mitra swasta menyewakan ke pemerintah suatu fasilitas infrastruktur tertentu dalam suatu jangka waktu tertentu untuk kemudian dioperasikan dan dipelihara. 4) Kontrak Bangun (Rehabilitasi) Merupakan hubungan dimana mitra swasta bertanggung jawab dalam membangun proyek infrastruktur, dan tahap selanjutnya ditentukan oleh persetujuan dari kedua belah pihak. 5) Kontrak Konsesi (Consession Contract) Merupakan bentuk kerjasama dimana mitra swasta diberi tanggung jawab menyediakan jasa pengelolaan atas sebagian atau seluruh sistem infrastruktur tertentu, termasuk pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas. Serta pemberian layanan kepada masyarakat dan penyediaan modal kerjanya.
F.2.3 Relasi antara Masyarakat (society) dengan Swasta/ Privat Sector Dalam governance, peran masyarakat dilibatkan dalam bidang sosial, politik, maupun ekonomi. Pemberian kesempatan oleh negara dan swasta semakin terwujud dengan adanya ruang untuk bergerak yang sering disebut dengan civil society. Pola dan bentuk relasi antara masyarakat dengan swasta adalah sebagai berikut: 20 1) Partisipasi
:Terdapat pemberian kesempatan atau ruang dari satu
pihak ke pihak yang lain untuk saling melakukan relasi. 2) Aktualisasi
:Dalam
relasi
terdapat
usaha-usaha
untuk
mensosialisasikan ide-ide atau usaha menunjukkan keberadaan. 3) Konflik
:Relasi memuat benturan nilai dan kepentingan.
4) Korporasi
:Relasi berbentuk kerjasama untuk tujuan ekonomi atau
bisnis. Biasanya berangkat dari persamaan kepentingan sosial ekonomi atau perasaan senasib. 5) Transaksi
:Dalam relasi terdapat pertukaran jual beli yang saling
menguntungkan secara materiil ataupun ekonomi.
20
Sunyoto Usman. 2006. Malioboro. Yogyakarta: PT Mitra Tata Persada. Hlm. 61
G. Definisi Konseptual 1) Relasi Relasi adalah hubungan atau banyak hubungan baik hubungan antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Hubungan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia oleh W.J.S Poerwardarminta berarti berurusan langsung dengan, berkaitan dengan, mengadakan kontak dengan, berkenaan dengan, atau pertalian.21 2) Kepentingan Kepentingan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti keperluan, kebutuhan, interes. Kepentingan lebih ditekankan pada perilaku atau dorongan seseorang untuk melakukan hal tertentu berkaitan dengan hal yang menguntungkan dirinya atau menjadi kebutuhannya. 3) Aktor Aktor dapat diartikan sebagai individu atau kelompok yang mempengaruhi terjadinya suatu kejadian atau keputusan tertentu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia aktor memiliki arti orang yang berperan dalam suatu kejadian penting. 4) Kebijakan publik
21
W.J.S. Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh badan-badan pemerintah dan atau para aktor politik, bertujuan untuk menyelesaikan masalah publik. H. Definisi Operasional 1) Relasi antar aktor Relasi tidak dapat dilepaskan dari adanya kerangka keseluruhan yang terbagi dalam unsur-unsur sebagai berikut:22 a) Tujuan/ nilai yang dibela: Mengidentifikasi apakah terdapat tujuan atau nilai yang dipegang oleh para aktor secara individu, kelompok, atau lembaga. b) Adanya aturan main: Mencoba mengungkap fakta apakah ada aturan main (rule of the game) dalam pengelolaan relasi. Jika ada, apakah berbentuk tertulis/perundang-undangan atau tidak tertulis dan bagaimana mekanisme bekerjanya aturan main tersebut. c) Komitmen moral/etos: Komitmen moral menyangkut pada konsistensi aktor yang terlibat. Dapat diwujudkan berupa tekad dan etiket, serta integritas individu dalam kelompok atau lembaga. d) Kepemimpinan: Lebih cenderung mengidentifikasi pada hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Melihat adakah pola ketergantungan atau kemandirian dari bawahan pada pemimpin dalam setiap sektor yang terlibat.
22
Tim Penyusun Program S2. Op.cit. hlm. 80.
e) Organisasi sebagai wadah operasional: Mengidentifikasi pelibatan organisasi baik organisasi masyarakat atau politik dalam pembentukan relasi. f) Sarana dan prasarana: Mengidentifikasi apa saja sarana dan prasarana yang dipakai dalam pembentukan relasi, misalnya saja penggunaan uang sebagai sarana untuk memperkuat kekuasaan yang ada, atau dengan sarana wewenang untuk membentuk dan mengelola relasi. 2) Unsur-unsur dalam kebijakan publik23 Terdapat dua perspektif, yaitu perspektif proses kebijakan dan struktur kebijakan. Dari perspektif proses kebijkan tahapannya adalah identifikasi masalah, tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Sedangkan perspektif struktur kebijakan yaitu sebagai berikut: a) Tujuan kebijakan. Kebijakan yang baik dan terarah harus memiliki tujuan yang baik pula. Sekurang-kurangnya memenuhi empat kriteria sebagai berikut yaitu apa yang diinginkan untuk dicapai, bersifat rasionak atau realistis, merupakan sesuatu yang jelas (clear), dan berorientasi ke depan (future oriented). b) Unsur kedua adalah masalah yang merupakan unsur yang sangat penting dalam kebijakan. Apabila terdapat kesalahan dalam menentukan masalah dapat menimbulkan kegagalan dalam proses kebijakan.
23
Syahrin Naihasy. 2006. Kebijakan Publik Menggapai Masyarakat Madani. Yogyakarta: Mida Pustaka. Hlm. 32-36
c) Unsur ketiga adalah tuntutan (demand). Seperti halnya partisipasi pada umumnya yaitu adanya tuntutan. d) Unsur keempat adalah dampak (outcomes). Dalam bidang sosial dan politik dapat terjadi pula multiplier effects baik positif maupun negatif. e) Unsur kelima adalah sarana (policy instrumen). Suatu kebijakan dapat dilaksanakan dengan menggunakan sarana antara lain berupa kekuasaan, insentif, pengembangan kemampuan, simbolis, dan perubahan kebijakan itu sendiri.
I. Metode Penelitian I.1. Jenis Penelitian Metodologi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial. Menurut Bogdan dan Bikien studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu. Ary, Jacobs, dan Razavieh menjelaskan bahwa pada studi kasus hendaknya peneliti berusaha untuk menguji unit atau individu secara mendalam.24
24
Sotirios Sarantakos. 1993. Social Research. Australia: Machmillan Education Australia PTY LTD. Hlm. 263.
Robert K. Yin mengatakan bahwa studi kasus merupakan cerita yang unik dan menarik. Dapat berfokus pada suatu individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi, ataupun kejadian disekitar kita. Hal yang dikaji dalam studi kasus ialah penjelasan mengenai mengapa sesuatu yang menarik tersebut dapat terjadi, bagaimanakah implementasi/penerapannya, dan apa yang dihasilkan dari sesuatu yang menarik tersebut.25 Mengetahui relasi kuasa antar aktor dalam pemberlakuan jalan satu arah diJalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta, sekaligus bagaimana tahapan yang dilakuan dalam proses merealisasikan kebijakan sangat cocok menggunakan metode studi kasus yang termasuk dalam jenis penelitian dengan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan studi kasus maka dapat menggali secara mendalam mengenai hubungan dan tahapan yang termuat di dalamnya. Sehingga kasus yang dipaparkan akan terjawab secara rinci dan jelas. I.2. Jenis dan Sumber Data Peneliti menggunakan dua jenis data, yaitu: 1) Sumber primer Sumber primer adalah sumber data utama yang dijadikan sebagai pusat informasi data terpenting dan yang didapatkan langsung dari sumber data. Sumber
25
Robert K. Yin. 2003. Case Study Research (Design and Methodes, 3rd ed). London: Sage Publication. Hlm. 12
data ini dapat diperoleh dengan pengamatan langsung (observasi) maupun wawancara dan biasanya bersifat subyektif karena berasal dari sudut pandang narasumber. Sumber primer penelitiaan ini diperoleh melalui hasil wawancara dengan Lurah Terban Yogyakarta Rochwan Nugraheni, Ketua RW setempat Immanuel Triono Widadi, pemilik toko Karita busana muslim sekaligus mantan Walikota Yogyakarta periode 2001-2006 dan 2006-2011 Herry Zudianto, asisten general manajer Margaria Group Muslim Yudhianto, pimpinan Karita Jogja Layliana, petugas parkir Budi, Ketua Bidang LLA (lalu lintas, angkutan, dan pengendalian operasional) Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta Golkari Made Yulianto, Sie manajemen dan rekayasa lalu lintas Zandaru, dan ketua paguyuban ASTER (agawe santosaning terban) Ahmad Badrowi. 2) Sumber sekunder Sumber data sekunder merupakan sumber data yang dijadikan pelengkap atau pendukung informasi bagi data sumber primer. Data sekunder ini didapatkan dari berbagai dokumen, peraturan walikota, studi pustaka, dan literatur yang berkaitan dengan relasi antar aktor dalam pemberlakuan suatu kebijakan. Sumber sekunder yang di dapat adalah peta wilayah Kelurahan Terban Yogyakarta dan Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2015 tentang manajemen dan rekayasa lalu lintas di Kawasan Terban. Selain itu adalah literatur yang di dapat dari hasil pencarian di perpustakaan, skripsi dan tesis sejenis, dan internet.
I.3. Teknik Pengumpulan Data Peneliti menggunakan tiga metode pengumpulan data untuk menjelaskan fenomena yang terjadi yaitu dengan metode wawancara, metode observasi, dan pengumpulan data sekunder. Alasan menggunakan ketiga metode tersebut adalah agar fakta yang terdapat di lapangan dapat dipaparkan secara rinci dan diperoleh validitas data. Penjabaran ketiga metode tersebut sebagai berikut: 1) Wawancara mendalam Mantja mendefinisikan wawancara mendalam mencakup dua proses dasar, yaitu
mengembangkan
hubungan
baik
(rapport)
dan
mengejar
perolehan
informasi.26Wawancara pada penelitian kualitatif merupakan pembicaraan yang memiliki tujuan dan didahului dengan beberapa pertanyaan informal. Peneliti berusaha melakukan wawancara mendalam kepada informan yang berkompeten dan berkaitan dengan penelitian ini. Melalui teknik ini, peneliti berharap data atau informasi yang didapatkan tersebut dapat tergali secara komprehensif karena berasal dari sumber yang bersangkutan. Wawancara dengan surat penelitian dilakukan setelah penulis dan narasumber membuat janji. Wawancara berlangsung selama 1-1,5 jam dan direkam dengan menggunakan recorder handphone. Wawancara mendalam dilakukan kepada narasumber yang telah disebutkan dalam sumber primer. Pertama dilakukan 26
Dalam Imam Gunawan. 2014. METODE PENELITIAN KUALITATIF: Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 167
wawancara kepada Pak Budi pada tanggal 4 Desember 2015 di loby bank yang merupakan petugas parkir Panin Bank dan warga asli Terban. Beliau merupakan teman ayah penulis, sehingga narasumber terbuka dalam menjawab pertanyaan. Kedua, kepada Pak Lurah Terban Rochwan Nugraheni pada 18 Desember 2015. Wawancara dengan Pak Rochwan merupakan wawancara yang memakan waktu paling lama dari narasumber lain karena bercerita dari sisi pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pak Rochwan merekomendasikan untuk langsung menjumpai Dinas Perhubungan untuk mendapatkan informasi yang pasti terkait dengan kebijakan jalan satu arah. Tidak hanya itu, penulis diberikan sumber sekunder berupa peta wilayah Kelurahan Terban. Ketiga, dilakukan wawancara kepada Ketua Bidang LLA (lalu lintas, angkutan, dan pengendalian operasional) Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta Pak Golkari Made Yulianto pada 22 Desember 2015. Penulis mengalami hambatan saat melakukan wawancara dengan narasumber tersebut, sebab beliau belum menduduki jabatannya saat ini sewaktu proses jalan satu arah tersebut ada. Sehingga beliau banyak melewatkan beberapa pertanyaan penting. Keempat, diarahkan untuk wawancara dengan Pak Zandaru (sie manajemen dan rekayasa lalu lintas) karena beliau yang tahu betul bagaimana wacana awal rekayasa lalu lintas di Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta. Dari sinilah penulis mendapatkan jawaban yang jelas dan rinci. Selanjutnya diberikan sumber sekunder berupa Peraturan Walikota nomor 25
tahun 2015 tentang manajemen dan rekayasa lalu lintas di kawasan Terban untuk memudahkan penulis memahami regulasi yang telah dibuat pemerintah. Kelima, wawancara mendalam dilakukan dengan salah satu tokoh masyarakat Terban dan merupakan Ketua RW 02 Pak Immanuel Triono Widadi yang gang kampungnya paling terdampak akibat pemberlakuan kebijakan jalan satu arah Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta. Wawancara dilakukan pada 5 Januari 2016 di keidaman beliau. Narasumber sangat terbuka dan mampu memaparkan fakta yang terjadi di lapangan secara jelas. Kesulitan penulis adalah karena suara narasumber yang cukup lirih dan gang kampung yang sangat ramai dilalui motor sehingga proses perekaman suara menggunakan recorder cukup sulit didengar ulang. Ditambah lagi dengan adanya pengamen dan membuyarkan konsentrasi Pak Tri. Keenam, wawancara dengan Pak Yudhianto (Asisten General Manajer Margaria Group Muslim Grup) dan Mbak Lailyana (Pimpinan Karita Jogja) di kantor pusat Margaria Group pada tanggal 19 Januari 2015. Kedua narasumber menjawab pertanyaan penulis dengan bergantian dan saling melengkapi. Kesulitan penulis adalah tidak adanya pemberitahuan sebelumnya bahwa kedua narasumber ini yang akan dimintai informasi, karena surat izin penelitian langsung diterima oleh Pak Herry Zudianto dan beliau menyanggupinya. Barulah apabila ada pertanyaan yang belum bisa terjawab secara maksimal, Pak Herry yang akan melengkapi karena kesibukan. Sehingga penulis membuat beberapa pertanyaan tambahan terkait hal ini.
Ketujuh, barulah wawancara dilakukan dengan Mantan Walikota dua periode Herry Zudianto yang juga merupakan pemilik toko busana muslim Karita di Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta. Wawancara dilakukan pada hari dan tempat yang sama dengan wawancara sebelumnya. Hambatan yang diperoleh adalah waktu yang terbatas, dan pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan yang belum terjawab oleh narasumber sebelumnya. Kedekatan dengan beliau juga kurang terbangun akibat benturan waktu. Berbeda dengan wawancara sebelumnya dengan staff beliau yang penuh dengan canda tawa, karena kelonggaran waktu yang ada. Kedelapan, wawancara mendalam pada tanggal 23 februari 2016 dengan salah satu tokoh masyarakat yang merupakan Ketua Paguyubna ASTER (Agawe Santosaning Terban) Pak Ahmad Badrowi yang menangani masalah perparkiran di Mirota Campus Yogyakarta. Wawancara dilakukan di kediaman beliau di Blimbingsari. Kesulitan dari wawancara ini adalah beliau hanya menguasai materi perparkiran di Mirota Campus saja, karena parkir di bagian lain bukan merupakan cakupan ASTER. Dan tidak ada paguyuban parkir seperti di parkir depan Galeria Mall ataupun Parkir Malioboro. Terakhir, penulis melakukan wawancara dengan pedagang angkringan bernama Pak Rahmat di sebelah sisi barat jalan. Hal yang digali adalah mengenai permasalahan pendapatan pasca diberlakukannya jalan satu arah di wilayah tersebut. Wawancara dilakukan di warung beliau.
Peneliti juga berusaha untuk membangun kepercayaan kepada para informan agar tidak segan untuk memberikan informasi yang memadai sehingga data yang didapatkan lengkap dan jelas. Berkenaan dengan ruang lingkup masalah penelitian maka wawancara dilakukan terhadap aktor-aktor yang terlibat dan terdampak dalam pemberlakuan jalan satu arah di Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta. Kesulitan secara umum yang dijumpai oleh penulis adalah narasumber ketika menjawab kadang melenceng terlalu jauh dari pertanyaan yang diajukan. Sehingga perlu lebih dari satu kali untuk menanyakan beberapa pertanyaan penting. Tempat yang dipergunakan untuk wawancara juga beberapa tidak kondusif seperti banyak suara kendaraan berlalu lalang sehingga mengganggu proses wawancara. Walaupun sudah adanya rekaman yang diambil oleh penulis, namun hasil rekaman menjadi tidak begitu jelas. Dalam menyasatinya, penulis tidak hanya merekam namun juga mencatat poin-poin penting yang diutarakan oleh narasumber. 2) Observasi Poerwandari berpendapat bahwa observasi merupakan metode yang paling dasar dan paling tua, karena dengan cara-cara tertentu kita selalu terlibat dalam proses mengamati.27 Observasi diarahkan pada suatu kegiatan mencatat fenomena yang muncul, memerhatikan secara akurat, dan memperhatikan mengenai hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Penggunaan teknik ini diarahkan pada berbagai
27
Ibid. hlm. 143
gejala secara visual yang terjadi di lapangan yang merupakan data penting dalam penelitian. Observasi dilakukan penulis dengan mengamati keadaan Jalan Cornel Simanjuntak Yogyakarta dimulai dari keadaan jalan satu arah, gang-gang kampung yang ada, dan kondisi parkir. Tidak luput pengamatan mengenai kondisi toko yang berkaitan dengan jumlah pengujung yang datang. Dilakukan pula pencataan bangunan dan jalan yang ada di sepanjang jalan ini mulai dari utara hingga selatan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang pasti dan nyata kondisi lapangan. 3) Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen, peraturan walikota, literatur, dan studi pustaka yang terkait dengan relasi antar aktor dalam pemberlakuan suatu kebijakan. Data yang diperoleh dari teknik ini dipergunakan untuk melengkapi sekaligus mempertajam dalam analisis yang lebih lanjut. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari narasumber wawancara mendalam yang memiliki dokumen terkait dengan penelitian yang di angkat. Selain itu penulis menggunakan buku yang ada di perpustakaan, milik pribadi, dan internet sebagai pelengkap dan memperkuat hasil penelitian. Sumber sekunder menjadi data yang cukup penting karena mampu melengkapi sumber data primer yang belum lengkap.
I.4. Teknik Analisa Data Teknik analisa data merupakan tahapan yang dilakukan setelah tahap pengumpulan data. Analisa data merupakan kegiatan mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan mengategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus masalah yang akan dijawab. Teknik ini sangat penting dilakukan agar data yang didapat mampu diolah dengan baik dan menghasilkan temuan penelitian. Peneliti mengelompokkan data-data yang sudah terkumpul berdasar sumber data yaitu wawancara mendalam, observasi, dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi yang nantinya akan dirangkai dan dianalisis. Data sekunder juga digunakan sebagai data pelengkap. Kemudian tiap data disusun dan dirangkai satu sama lain sehingga teratur dengan baik. Selanjutnya akan ditarik kesimpulan dari data yang sudah rapi tersebut. Dengan demikian maka penelitian ini akan menjadi penelitian yang baik dan mudah dicerna oleh para pembaca.
J. Sistematika Penulisan 1. Bab I: Pendahuluan Bab pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, review literatur, kerangka teori, definisi konseptual, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab 2: Kewilayahan dan Aktor yang Terlibat dalam Pemberlakuan Jalan Satu Arah Cornel Simanjuntak Yogyakarta Bab ini berisikan mengenai kondisi kewilayahan Jalan Cornel Simanjuntak. Termasuk peta jalan dan bangunan yang berada di wilayah tersebut. Penerapan jalan satu arah juga dijelaskan secara umum. Selain itu memuat peta aktor yang terlibat dalam pemberlakuan kebijakan jalan satu arah. 3. Bab 3: Kewilayahan dan Aktor yang Terlibat Bab ini menjelaskan mengenai relasi kuasa antar aktor dan peta kuasa di dalamnya. Baik relasi antara pemerintah dengan masyarakat, pemerintah dengan swasta, maupun swasta dengan masyarakat. Bab ini juga membahas mengenai relasi yang terbangun sebenarnya menyangkut relasi kuasa formal dan relasi kuasa ekonomi yang terjadi akibat kepentingan-kepentingan aktor yang ada dalam pemberlakuan jalan satu arah Cornel Simanjuntak Yogyakarta.
4. Bab 4: Penerapan Kebijakan Jalan Satu Arah Cornel Simanjuntak Yogyakarta Bab ini membahas mengenai tahapan-tahapan kebijakan jalan satu arah. Dimulai dari pemerintah melakukan pendekatan kepada forum lalu lintas, tokoh masyarakat, masyarakat, dan swasta. Tidak hanya itu, dijelaskan pula cara-cara yang ditempuh oleh pemerintah dalam menyelesaikan hambatan yang ada di lapangan terkait dengan permasalahan yang ada. 5. Bab 5: Penutup Bab ini berisi kesimpulan dari bab-bab yang dibahas sebelumnya dan merupakan intisari dari penelitian ini. Selain itu, saran oleh peneliti juga dituangkan di dalam bab ini.