BAB 1 PENDAHULUAN A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia untuk penderita tuberkulosis terbanyak setelah India, Nigeria dan Pakistan (WHO, 2014). Isoniazid masih menjadi agen terapi tuberkulosis lini pertama khususnya di Indonesia. Pemejanan isoniazid dalam jangka waktu yang lama diketahui dapat menginduksi terjadinya Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE) dan toksisitas darah yang merupakan suatu kelainan autoimun pada subjek. DILE mempunyai ciri mirip dengan idiopathic systemic lupus erythematosus (SLE). Parameter khusus yang membedakan DILE dengan SLE adalah terdapatnya abnormalitas pada profil darah seperti rendahnya sel darah putih (leukopenia), anemia normokromik normositik, rendahnya jumlah hitung platelet, serta tingginya angka laju enap darah (Pretel dkk., 2014). Toksisitas darah yang berhubungan dengan autoimun terinduksi akibat pemakaian isoniazid adalah anemia hemolitik dan trombositopenia. Banyak kasus kematian yang terjadi akibat efek samping penggunaan agen terapi tuberkulosis dengan dosis tinggi dan waktu yang relatif lama yaitu 3-6 bulan. Oleh karena itu, diperlukan suatu solusi untuk mencegah terjadinya efek samping isoniazid ini. Salah satu solusi alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mengeksplorasi substansi pendamping terapi dari bahan alam.
1
2
Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) diketahui mempunyai efek imunosupresan dari beberapa penelitian yang telah dilaporkan. Subekti dkk. (2005) melaporkan bahwa ekstrak etanol buah mengkudu (EEBM) memperlihatkan efek imunosupresan yang lebih dominan dibandingkan dengan efek imunostimulannya pada terapi mencit yang telah diinfeksi dengan Toxopasma gondii galur RH. Okamoto (2012) melaporkan bahwa terapi psoriasis, suatu penyakit autoimun, dengan menggunakan methotrexate dan serbuk buah mengkudu sebagai ko-terapi memperlihatkan efek perbaikan terhadap inflamasi yang terjadi pada kulit subjek. Efek perbaikan ini diduga berasal dari efek imunosupresan serbuk buah mengkudu. Sasmito dkk. (2015) melaporkan bahwa fraksi polisakarida buah mengkudu yang menggunakan etanol di dalam pemisahannya memperlihatkan efek imunnosupresan pada kokemoterapi doxorubicin. Berdasarkan dari beberapa penelitian yang telah dilaporkan di atas, perlu dievaluasi lebih lanjut apakah ekstrak etanol buah mengkudu mempunyai aktivitas menurunkan efek samping autoimun terinduksi akibat terapi isoniazid khususnya pada parameter toksisitas dan abnormalitas yang terjadi pada darah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengembangan koterapi isoniazid serta pengembangan obat lupus alami. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
3
1. Apakah ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dapat mempengaruhi profil mikroskopik darah yang mencakup jumlah eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit, dan platelet pada tikus betina galur Wistar yang telah diinduksi isoniazid? 2. Berapa dosis kombinasi ekstrak etanol buah mengkudu yang dapat memberikan efek perbaikan terhadap efek samping isoniazid? 3. Tujuan Penelitian Tujuan dari dilakukan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui efek ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) terhadap profil mikroskopik darah yang mencakup jumlah eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit, dan platelet pada tikus betina galur Wistar yang telah diinduksi isoniazid. 2. Mengetahui dosis kombinasi ekstrak etanol buah mengkudu yang dapat memberikan efek perbaikan terhadap efek samping isoniazid. 4. Pentingnya Penelitian a. Bagi Mahasiswa Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah ide kreatif dan inovatif mahasiswa di dalam mengeksplorasi kekayaan bahan alam khususnya yang terdapat di Indonesia sebagai substansi pendamping terapi-terapi yang mempunyai efek samping tinggi serta diharapkan melalui penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi untuk waktu ke depan khususnya di dalam bidang kesehatan. b. Bagi Masyarakat
4
Melalui penelitian ini diharapkan bahwa masyarakat mendapatkan informasi tambahan dan keyakinan mengenai keistimewaan buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) yang berpotensi untuk mengurangi efek samping selama menjalani terapi tuberkulosis menggunakan isoniazid. c. Bagi Pemerintah Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru dan bahan pertimbangan bagi kebijakan pemerintah di dalam memanfaatkan buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) sebagai substansi pendamping terapi tuberkulosis khususnya yang menggunakan isoniazid sebagai lini pertama terapi. B. Tinjauan Pustaka 1. Isoniazid Isoniazid (INH), suatu senyawa organik yang disintesis pada tahun 1912, merupakan salah satu agen anti-tuberkulosis yang paling efektif di dalam pengobatan tuberkulosis. Isoniazid sebagai agen terapi tuberkulosis ditemukan pertama kali oleh seorang ilmuwan Switzerland yaitu Hoffman-La Roche pada tahun 1951 (Aronson, 2006; Brennan dan Young, 2008; Wexler dkk., 2014) Isoniazid merupakan suatu pro-drug yang dapat teraktivasi dengan hadirnya enzim catalase-peroxidase hemoprotein, KatG. Dalam mekanisme aksi isoniazid, isoniazid akan menginhibisi enzim InhA, suatu nicotinamide adenine dinuceotide (NADH)-specific enoyl-acyl carrier protein (ACP) reductase, yang merupakan enzim yang berperan di dalam proses sintesis asam lemak pada
5
Mycobacterium (Brennan dan Young, 2008). Struktur isoniazid dan mekanisme aksinya pada Mycobacterium dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Struktur molekul isoniazid
Gambar 2. Mekanisme aksi isoniazid (Palmer dkk., 2015) Isoniazid dapat menghambat sintesis asam mikolat (mycolic acid), suatu asam lemak rantai panjang, yang merupakan komponen esensial di dalam pembentukan dinding sel Mycobacterium. Pada sel Mycobacterium, isoniazid akan teraktivasi oleh enzim KatG menjadi spesies radikal. Spesies radikal ini akan bereaksi dengan NAD + kemudian akan menghambat InhA, suatu enoyl-CoA reductase yang berperan di dalam sintesis asam mikolat.
Isoniazid bersifat bakterisidal terhadap organisme dengan
genus
Mycobacterium, secara spesifik terhadap Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium kansasii. Sifat bakterisidal ini berlangsung pada waktu Mycobacterium di dalam proses pembelahan dengan kecepatan yang sangat tinggi, akan tetapi isoniazid akan berubah menjadi
6
bakteriostatik jikalau Mycobacterium bertumbuh dengan kecepatan yang lambat. Isoniazid sangat spesifik di dalam aksinya, isoniazid hanya aktif terhadap golongan Mycobacterium tertentu saja dan tidak efektif terhadap golongan mikroorganisme lain. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa aspek yang tidak biasa di dalam metabolisme Mycobacterium, seperti yang terjadi pada Mycobacterium tuberculosis yang ditemukan terdapatnya aktivitas enzim KatG yang sangat tinggi yang merupakan enzim pengaktivasi isoniazid serta mekanisme drug efflux isoniazid yang tidak sempurna (Brennan dan Young, 2008). Hingga saat ini, penggunaan isoniazid sebagai obat lini pertama di dalam prevensi dan pengobatan tuberkulosis masih menjadi prioritas. Disamping itu, penggunaan isoniazid seringkali dikombinasikan dengan agen anti-tuberkulosis lainnya seperti
rifampicin,
pyrazinamide, dan
ethambutol.
Isoniazid
dimetabolisme secara dominan di dalam hati. Proses asetilasi akan terjadi di dalam hati sehingga mentransformasi isoniazid menjadi acetyl-isoniazid melalui kerja enzim N-acetyltransferase 2 (NAT-2), kemudian dilanjutkan dengan proses hidrolisis menjadi acetyl-hydrazine dan akan mengalami proses oksidasi oleh cytochrome P4502EI (CYP2EI) menjadi metabolit intermediet yang bersifat hepatotoksik (Nelson dkk., 1976). Selain jalur metabolisme yang menghasilkan metabolit toksik yang telah disebutkan di atas, terdapat jalur lain yaitu proses hidrolisis langsung molekul isoniazid menjadi hydrazine, suatu hepatotoksin yang poten. Enzim NAT-2 juga berperan di dalam mengkonversi acetyl-hydrazine menjadi diacetyl-hydrazine sehingga dapat mencegah
7
konversi acetyl-hydrazine menjadi komponen toksik (Nelson dkk., 1976; Mitchell dkk., 1976; Woodward dan Timbrell, 1984). Selain NAT-2, terdapat juga enzim Glutatione S-transferase (GST), suatu enzim detoksifikasi fase II, yang akan mengkonjugasi metabolit toksik yang dihasilkan oleh CYP2EI dengan glutathione sehingga proses eliminasi metabolit dari tubuh dapat dengan mudah dilakukan dan dapat mengurangi efek toksik (Sodhi dkk., 1996). Proses metabolisme ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Isoniazid
NAT-2 asetilasi
Acetyl-Isoniazid
hidrolisis
hidrolisis
Hydrazine (hepatotoksik)
CYP2E1
NAT-2 asetilasi
Acetyl-hydrazine
Hepatotoksin oksidasi
NAT-2
asetilasi
Diacetyl-Hydrazine (nontoksik)
GST
konjugasi
Eksresi
Gambar 3. Jalur metabolisme isoniazid (Teixeira dkk., 2013) N-acetyltransferase 2 (NAT-2); cytochrome P4502EI (CYP2EI); Glutatione S-transferase
(GST). Proses biotransformasi isoniazid menjadi acetyl-isoniazid dan acetylhydrazine dipengaruhi oleh enzim NAT-2. Terdapat populasi tertentu yang memiliki kecepatan asetilasi yang berbeda-beda. Kecepatan asetilasi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi genetik setiap individu. Sekitar 50% populasi penduduk berkulit gelap dan berkulit putih merupakan slow acetylators (SA) dan 85% dari populasi Eskimos dan Asia merupakan fast acetylators (FA).
8
Individu SA dikarakterisasi dengan jumlah enzim NAT-2 yang sedikit (Brennan dan Young, 2008). Oleh karena itu, terapi menggunakan isoniazid juga menimbulkan berbagai permasalahan pada pasien yang sensitif terhadap obat ini karena kecepatan biotransformasi yang tidak sama sehingga seringkali terjadi toksisitas dan efek samping yang tidak diinginkan hingga proses terapi tuberkulosis yang gagal. 2. Efek Samping Isoniazid Efek samping yang disebabkan oleh isoniazid diketahui berhubungan dengan dosis penggunaan. Satu sampai dua persen efek samping akan muncul pada penggunaan dosis terapi rendah (3-5mg/kg/hari) dan sekitar 15 persen pada 10 mg/kg/hari (Goldman dan Braman, 1972). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan isoniazid adalah peripheral neuropathy, hepatotoksik, efek samping pada system syaraf pusat (dysarthria, seizure, dan dysphobia), Drug-Induced Lupus erythematosus (DILE), reaksi hipersensitivitas, hemolitik anemia, artralgia, dan trombositopenia. Efek samping ini dapat disebabkan oleh kondisi hati individu yang sudah tidak berfungsi dengan baik (dalam keadaan sakit) dan/atau genetik SA yang berpengaruh di dalam metabolisme isoniazid. Kekurangan nutrisi, penggunaan alkohol, dan defisiensi piridoksin juga dapat menyebabkan toksisitas isoniazid (Aronson, 2006; Brennan dan Young, 2008; Wexler dkk., 2014). Penulis hanya akan memfokuskan pembahasan pada efek samping yang termanifestasi pada darah serta berhubungan dengan imunitas. 3. Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE) DILE merupakan suatu kelainan autoimun yang disebabkan oleh induksi obat-
9
obatan tertentu yang mempunyai ciri klinis, histologis, dan imunologis mirip dengan idiopathic systemic lupus erythematosus (SLE), akan tetapi gejala autoimunitas ini akan segera mereda dengan pemberhentian obat-obatan yang sedang diberikan (Marzano dkk., 2014; Pretel dkk., 2014; Katz dan Goddard, 2010). Penyakit autoimun yang dilaporkan pertama kali pada tahun 1945 akibat terapi sulfadiazine (Hoffman, 1945) ini memiliki berbagai istilah selain DILE, diantaranya: Drug-Induced Lupus, Drug-Related Lupus, Lupus Like Syndrome, Lupus
Erythematosus
Medicamentosus
(Pramatarov,
1998).
Insidensi
terjadinya DILE telah meningkat dengan signifikan selama 10 tahun terakhir ini dan lebih dari 90 jenis obat diimplikasikan sebagai penyebab DILE, diantaranya adalah hydralazine, procainamide, quinidine, chlorpromazine, dan isoniazid sebagaimana yang paling banyak dilaporkan di dalam literatur (Pretel dkk., 2014; Rubin, 2005). Insidensi terjadinya DILE di Amerika Serikat dari sejumlah laporan terbaru diperkirakan terdapat 15.000-30.000 kasus baru tiap tahunnya di mana jumlah ini mencapai 10%-15% dari total kasus idiopathic SLE yang terjadi setiap tahunnya (Hess, 1988; Pretel dkk., 2014). Pada kasus idiopathic SLE, penderita wanita melebihi pria, sedangkan pada kasus DILE, penderita wanita dan pria mempunyai proporsi yang sama. Subjek yang terjangkit DILE cenderung merupakan subjek golongan manula dikarenakan banyaknya obat-obatan yang dikonsumsi pada usia ini. Prevalensi terjadinya DILE pada ras kulit putih 6 kali lebih besar dibandingkan dengan ras kulit hitam (Borches dkk., 2007; Dubois, 1969).
10
Etiologi dan mekanisme patofiologis terjadinya DILE masih menjadi salah satu topik yang menarik di dalam pencariannya karena belum tercapainya pemahaman yang komprehensif terhadap kelainan ini. DILE kemungkinan disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor yang terdapat di dalam obat-obatan itu sendiri dan lingkungan yang ada di dalam subjek (faktor genetik). Pasien yang memiliki riwayat keluarga SLE serta dengan status slow acetylator lebih mudah terinduksi DILE (Woosley dkk., 1978). Faktor biotransformasi obat juga berperan penting di dalam menginduksi terjadinya DILE (Rubin dan Krezt-Rommel, 1999; Jiang dkk., 1994). Selain hati, agen biotransformasi obat yang penting adalah neutrofil karena penyebarannya yang cukup luas di dalam tubuh. Isoniazid merupakan salah satu jenis obat yang dapat dimetabolisme oleh neutrofil teraktivasi di dalam sirkulasi.
Gambar 4. Biotransformasi oleh neutrofil yang teraktivasi (Rubin & Curnutte, 1989)
Nuetrofil akan teraktivasi dengan adanya proses opsonisasi terhadap partikel asing, hal ini kemudian akan menstimulasi enzyme NADPH oxidase menghasilkan anion superoxide (O2-) di dalam lingkungan ekstraseluler. Anion
11
superoxide (O2-) secara spontan akan berubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2), kemudian akan terjadi degranulasi yang diikuti dengan pelepasan myeloperoxidase (MPO). Obat-obatan yang memiliki struktur gugus fungsional yang cocok akan mengalami transfer elektron dengan intermediet H2O2-MPO secara langsung, akibatnya gugus fungsi tersebut akan menerima atom oksigen yang berasal dari H2O2 dan membentuk senyawa baru. Senyawa baru (metabolit) dari hasil biotransformasi ini dapat membentuk kompleks stabil terhadap self-macromolecule yang ada di dalam tubuh atau secara langsung menstimulasi limfosit sehingga menginisisasi perubahan yang signifikan pada sistem imun tubuh. Terbentuknya metabolit-metabolit reaktif yang mempunyai karateristik sama ini diyakini sebagai penjelasan terhadap fenomena obatobatan yang mempunyai sifat kimia dan farmakologis yang berbeda tetapi dapat menginduksi kelainan autoimunitas yang sama. Standar dan kriteria dianogsis DILE masih terus berkembang di dalam penetapannya. DILE didefinisikan sebagai suatu kelainan yang menyerupai SLE yang berkembang ketika suatu obat diberikan secara berkelanjutan setidaknya selama satu bulan dan gejala ini akan mereda pada saat terapi dihentikan. Gejala DILE hampir menyerupai seperti gejala idiopathic SLE, secara umum DILE menyebabkan demam, nyeri pada otot dan sendi, serta serositis pada pasien. Gambaran klinis ini juga diikuti dengan adanya karakteristik pemeriksaan laboratorium spesifik yaitu terdeteksinya antinuclear antibodies (ANA) dan antihistone antibodies (AHA). Oleh karena kemiripannya dengan SLE baik dalam kriteria klinis, serologik, dan histologi,
12
maka DILE dan idiopathic SLE sangat sulit dibedakan di dalam proses diagnosisnya. Beberapa serum marker spesifik terutama pada saat keadaan pasien kembali normal ketika terapi diberhentikan menjadi landasan penting di dalam diagnosis DILE. Kriteria standar diagnosis yang telah dikembangkan untuk mengacu pada pendeteksi sistemik DILE yang ditetapkan sampai saat ini adalah sebagai berikut: 1. Berlangsungnya terapi obat minimal 1 bulan. 2. Tidak adanya riwayat SLE sebelum terapi dimulai. 3. Munculnya gejala-gejala seperti demam, artritis, malaise, dan nyeri otot setelah terapi obat tersebut. 4. Hasil pengujian yang positif terhadap AHA (khususnya antibodi IgG terhadap [H2A-H2B]-DNA complex dan anti-single-stranded DNA antibodies) (Shen dkk., 1998). 5. Hasil pengujian negatif terhadap anti-extractable nuclear antigen antibodies. 6. Hasil pengujian mikroskopik darah yang abnormal seperti rendahnya sel darah putih, anemia normokromik normositik, rendahnya jumlah hitung platelet, serta tingginya angka laju enap darah. Parameter mikroskopik darah ini spesifik terhadap sistemik DILE dan jarang ditemukan pada idiopathic SLE (Pretel dkk., 2014). Penanganan pasien yang mengalami DILE pada umumnya cukup dengan penghentian obat-obatan yang menginduksinya, sedangkan untuk terapi farmakologis pada umumnya tidak perlu diberikan, terkecuali pada kasus-kasus
13
DILE yang sudah sampai pada tahap parah, terapi yang dapat diberikan adalah berupa pemberian kortikosteroid sebagai imunosupresan (Chatham dan Kimberly, 2001). 4. Toksisitas Darah Selain DILE, efek samping isoniazid lainnya yang termanifestasi pada darah adalah hematotoksik isoniazid (toksisitas pada darah). Hematotoksik isoniazid dapat berupa agranulositosis (Ferguson, 1952; Varadi dan Kelleher, 1953), trombositopenia (Yakar dkk., 2013), hemolitik anemia (Robinonson dan Foadi, 1969), sideroblastic anemia (Aronson, 2006), pure red cell aplasia (Johnsson dan Lommi, 1990; Veale dkk., 1992; Marseglia dan Locatelli, 1998), methemoglobinemia dan eosinofilia (Goldman dan Braman, 1972). Efek samping hematotoksik di atas khususnya hemolitik anemia dan trombositopenia juga dipengaruhi oleh autoimunitas yang terjadi pada subjek saat penggunaan isoniazid (Wexler dkk., 2014). 5. Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Kata “Mengkudu” berasal dari Bahasa Melayu (Malaysia) yang merujuk pada buah dari tanaman Morinda citrifolia L. (Rubiaceae). Selain istilah “mengkudu” juga terdapat berbagai istilah yang berbeda-beda terhadap buah ini, seperti: Indian mulberry; nuna; ach pada suku Indian, nhau di Asia Tenggara, painkiller bush di Carribean, dan Cheese fruit di Australia. (Morton, 1992; Nelson, 2001; Ross, 2001; Wang dkk., 2002). Buah mengkudu di Indonesia juga disebut dengan berbagai nama yang berbeda di setiap daerah seperti buah noni, eodu, mengkudu, bengkudu (Sumatera), kudu, cengkudu,
14
kemudu, pace (Jawa), wangkudu, manakudu, bakulu (Nusa tenggara) dan di Kalimantan dikenal dengan nama mangkudu, wangkudu, dan labanan (Wijayakusuma dkk., 1996). Buah mengkudu berasal dari daratan Asia Tenggara-Australia dan banyak dibudidayakan di Polinesia, India, Kepulauan Karibia, dan Amerika Selatan (Dixon, 1999; Ross, 2001). Penggunaan mengkudu sebagai bahan makanan dan bahan pengobatan diyakini telah berlangsung sejak 2000 tahun yang lalu oleh bangsa Polinesia. (Dixon, 1999; McClatchey, 2002). Hingga saat ini buah mengkudu diklaim dapat mencegah serta menyembuhkan berbagai penyakit. Buah mengkudu diketahui dapat berfungsi sebagai stimulansia sistem imun, pengobatan infeksi bakteri; virus; parasit; dan jamur, serta mencegah pembentukan dan proliferasi tumor (Dixon, 1999). Jus buah mengkudu juga diyakini dapat berperan sebagai agen anti-inflamasi, sedangkan uji klinis yang telah berlangsung menunjukkan bahwa buah mengkudu dapat meringankan penyakit degeneratif seperti artritis dan diabetes (Blanco dkk., 2006). Walaupun bagian lain dari tanaman ini seperti daun, bunga, kulit, dan akar juga mempunyai aktivitas, namun penggunaannya lebih banyak di dalam bentuk jus buah mengkudu (Dixon, 1999; McClatchey, 2002). Tanaman mengkudu merupakan tanaman semak atau berpohon kecil yang memiliki tinggi sekitar 3-10 m, kulit kasar, bercabang banyak, dan tumbuh agak membengkok. Mengkudu memiliki bentuk daun bulat telur lebar sampai berbentuk elips, berujung runcing, pangkal menyempit, tepi rata dan bertulang menyirip dengan panjang 5-17 cm dan lebar 10-40 cm, berwarna hijau tua,
15
letaknya berhadapan dengan tangkai yang pendek, tebal dan mengkilap (Blanco dkk., 2006; Wijayakusuma dkk., 1996). Buah mengkudu berbentuk bulat lonjong, berdaging, panjang 3-10 cm, lebar 3-6 cm, berwarna hijau cerahkekuningan dengan permukaan yang timbul berbenjol-benjol, keras, berdaging lunak dan berair. Warna buah sangat beragam tergantung pada waktu panennya. Jika buah telah masak, buah akan berwarna kuning pucat atau kuning kotor, berbau busuk, dan terdapat banyak biji keras segitiga dengan warna coklat kehitaman di dalamnya (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991; Dalimartha, 2006). Gambar buah mengkudu dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5: Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) (www.manfaatbuah.asia)
Hierarki Taxonomi mengkudu (Morinda citrifolia L.) menurut Integrated Taxonomy Information System (ITIS) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Viridiplantae
Infrakingdom
: Streptophyta
Superdivisi
: Embryophyta
Divisi
: Tracheophyta
16
Subdivisi
: Spermatophytina
Kelas
: Magnoliopsida
Superorder
: Gentianales
Family
: Rubiaceae
Genus
: Morinda L.
Spesies
: Morinda citrifolia L.
(http://www.itis.gov/) Diketahui bahwa terdapat sekitar 200 senyawa fitokimia yang terkandung di dalam buah mengkudu yang mencakup senyawa fenolik, karbohidrat, asam organik, alhohol, alkaloid, vitamin, precursor, lignin, protein, antrakinon, mineral, ester, karotenoid, sterol, asam lemak, dan glikosida (Wang dan Su, 2001; Singh, 2012). Senyawa fenolik yang banyak dilaporkan adalah antrakinon (damnnacanthal, morindone, morindin), aucubin, asperuloside, dan scopoletin (Wang dan Su, 2001), sedangkan senyawa asam organik utamanya adalah kaproik dan asam kaprilik; serta xeronine yang merupakan senyawa alkaloid (Heinicke, 1985). Damnacanthal diketahui mempunyai aktivitas sebagai antikarsinogenik. Scopoletin mempunyai efek analgesik yang baik dan dapat mengontrol level serotonin di dalam tubuh (Levand dan Larson, 1979), serta sebagai senyawa antimikroba (Duncan, 1998) dan efek anti-hipertensi. Selain itu, sekitar 100 senyawa volatil juga telah diidentifikasi pada buah mengkudu yang masak, yaitu mencakup golongan senyawa ester asam lemak, monoterpene, dan asam lemak rantai pendek. Asam oktanoik, asam heksanoik, 3-metil-3-buten-1-ol, metil oktanoat, metil dekanoat, 2-heptanon, dan (E)-6dodeceno-Ɣ-lakton merupakan komponen senyawa volatil yang paling banyak ditemukan pada buah mengkudu (Sang dkk., 2001; Farine dkk., 1996).
17
Beberapa penelitian yang telah dilaporkan menunjukkan bahwa buah mengkudu mempunyai berbagai aktivitas sebagai imunomodulator. Hirazumi dan Furuzawa (1999) melaporkan bahwa polisakarida buah mengkudu dapat menghambat pertumbuhan tumor terhadap kultur kanker paru-paru teradaptasi dengan cara mengaktivasi sistem imun dari tubuh inang sehingga menstimulasi pelepasan beberapa mediator dari sel-sel efektor murine, seperti TNF-α, interleukin 1-betha (IL-1β), IL-10, IL-12, interferon gamma (IFN-γ) dan nitrit oksida (NO), tetapi tidak berpengaruh terhadap IL-2 dan IL-4. Pemberian air minum yang mengandung 10% jus mengkudu kepada hewan uji dilaporkan bahwa pada hari ketujuh subjek mengalami perbesaran kelenjar timus dengan berat 1,7 kali dibandingkan kelompok kontrol sehingga jus mengkudu disimpulkan berpotensi sebagai imunostimulator (Wang, 2002). Sasmito dkk. (2004) melaporkan bahwa jus buah mengkudu dengan kadar 0,625% juga dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit dalam kultur yang diberi vaksin hepatitis A. Palu dkk. (2008) melaporkan bahwa buah mengkudu dapat memodulasi sistem imun melalui aktivasi reseptor CB2 dan mensupresi sitokin-sitokin interferon-Ɣ (INF-Ɣ). Untuk efek imunosupresan buah mengkudu, Subekti dkk. (2005) melaporkan bahwa ekstrak etanol buah mengkudu memperlihatkan efek imunosupresan dalam terapi Toxoplasma gondii galur RH. Okamoto (2012) melaporkan bahwa terapi psoriasis berjalan sangat baik dengan kombinasi methotrexate dan serbuk buah mengkudu. Hal ini menunjukkan bahwa buah mengkudu mempunyai potensi aktivitas sebagai imunosupresor terhadap psoriasis yang merupakan suatu penyakit autoimun. Sasmito dkk. (2015)
18
melaporkan bahwa fraksi polisakarida buah mengkudu yang menggunakan etanol di dalam pemisahannya memperlihatkan efek imunnosupresan pada kokemoterapi doxorubicin. 6. Ekstrak Etanol Buah Mengkudu Pembuatan ekstrak etanol buah mengkudu menggunakan metode ekstraksi maserasi. Ekstraksi merupakan proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair tertentu sehingga keduanya dapat terpisah. Dalam proses ekstraksi, pemilihan pelarut sangat penting diperhatikan sesuai dengan golongan senyawa yang terkandung di dalam simplisia, misalnya: minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, terpenoid, steroid, dan lain-lain. Setiap senyawa aktif ini mempunyai polaritas yang berbeda-beda sehingga dibutuhkan juga profil polaritas pelarut yang tepat dalam proses ekstraksinya. Menurut Dit-Jen POM dalam Inventaris Tanaman Obat Indonesia tahun 2000, ekstraksi dapat dibedakan menjadi dua metode, yaitu cara dingin dan cara panas. Cara dingin dikelompokkan lagi menjadi menjadi maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas dibedakan menjadi refluks, sokletasi, digesti, infudasi, dan dekok. Penelitian ini menggunakan metode ekstraksi maserasi yang sesuai dengan acuan publikasi yang telah dilaporkan (Nagalingam dkk., 2012). Maserasi merupakan proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut diikuti dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan (suhu kamar). Dalam proses maserasi ini, cairan penyari akan menembus dinding sel menuju rongga sel simplisia. Dalam rongga sel simplisia terdapat zat aktif yang
19
hendak disari, sedangkan di dalam larutan penyari tidak mengandung zat aktif, akibatnya terdapat perbedaan konsentrasi diantara dua kompartemen ini sehingga akan terjadi proses difusi dan pendesakan zat aktif dari kompartemen dengan konsentrasi tinggi menuju kompartemen dengan konsentrasi rendah. Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan beberapa faktor. Dalam buku Sediaan Galenika yang diterbitkan Depertemen Kesehatan RI pada tahun 1996 menyebutkan bahwa kriteria penyari yang ideal adalah sebagai berikut: 1. Murah dan mudah diperoleh. 2. Stabil secara fisika dan kimia. 3. Bereaksi netral. 4. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar. 5. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki. 6. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat. 7. Diperbolehkan oleh aturan. Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) menetapkan cairan penyari yang diperbolehkan adalah air, etanol, etanol-air, atau eter. Sesuai standar Farmakope Indonesia, maka penyarian dengan pelarut metanol dieliminasi di dalam pemilihannya. Penggunaan air sebagai penyari mempunyai beberapa kerugian yaitu bersifat tidak selektif, dapat ditumbuhi kapang dan kuman, cepat rusak, diperlukan waktu yang lama untuk pengeringan. Selain itu, air juga dapat melarutkan enzim dan dapat mempercepat proses hidrolisis. Dengan hadirnya enzim dapat menyebabkan reaksi enzimatis sehingga mengakibatkan penurunan mutu ekstrak. Oleh karena itu, cairan penyari yang digunakan
20
didalam penelitian ini adalah etanol. Pertimbangan penggunaan etanol sebagai penyari adalah etanol lebih bersifat selektif di dalam proses ekstraksi karena sifatnya yang semi-polar, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam konsentrasi etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, dapat bercampur dengan air dengan segala perbandingan, dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit (Anonim, 1996). 7. Hematologi Perkembangan ilmu medis menunjukkan bahwa darah mempunyai fungsi yang sangat penting baik di dalam fisiologis maupun diagnosis patologi. Hippocrates, bapak ilmu kedokteran, mengatakan bahwa darah termasuk salah satu dari 4 elemen penting penyusun cairan tubuh. Jikalau terjadi ketidakseimbangan pada elemen-elemen ini, maka akan terjadi kelainan di dalam tubuh atau mengalami sakit. Intervensi pengobatan yang melibatkan penggunaan darah telah dipraktikkan oleh bangsa Mesir sejak 2500 SM. Hematologi berasal dari bahasa Gerika, yaitu Haima yang berarti darah dan Logos yang berarti ilmu. Hematologi merupakan salah satu bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai darah. Hematologi berfokus pada pembelajaran karakteristik sel-sel darah yang mencakup konsentrasi, struktur, dan fungsi sel-sel darah di dalam tubuh; prekursor pembentukan sel darah pada sumsum tulang (bone marrow); kimia darah baik di dalam plasma atau serum; serta fungsi platelet dan protein yang terlibat di dalam mekanisme koagulasi. Perubahan
hematologi
secara
kualitatif
dan
kuantitatif
dapat
menggambarkan kondisi fisiologis individu. Kondisi sel darah memiliki peran
21
yang penting dalam diagnosis dan prognosis suatu penyakit. Sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), trombosit (platelet), hematokrit, dan hemoglobin merupakan parameter yang umum digunakan untuk screening terjadinya toksisitas darah. Screening toksisitas darah sangat penting dilakukan untuk menentukan apakah adanya efek samping yang disebabkan oleh penggunaan suatu obat, bahan-bahan alam, atau menifestasi dari abnormalitas fisiologis tubuh (Hadijah, 2008). Sel darah merah atau eristrosit diproduksi dalam sumsum tulang dan berfungsi untuk mentransport oksigen ke jaringan-jaringan di dalam tubuh. Eritrosit dapat mengalami penurunan dan peningkatan dalam jumlahnya. Penurunan jumlah eritrosit dapat disebabkan oleh induksi obat-obatan tertentu, sedangkan peningkatan jumlah eritrosit yang diikuti dengan peningkatan jumlah hemogloblin dan hematokrit disebut polycythemia atau erythrocytosis. Hemoglobin (HGB) merupakan suatu komponen di dalam eritrosit yang berperan sebagai alat transportasi O2 dan CO2 di dalam tubuh. Hemoglobin tersusun dari 4 molekul protein globulin yang terkoneksi satu sama lainnya. Hemoglobin pada individu dewasa tersusun dari 2 rantai alfa-globulin dan 2 rantai beta-globulin, sedangkan pada bayi hemoglobinnya tersusun dari 2 rantai alfa-globulin dan 2 rantai gama-globulin. Rantai beta-globulin tidak umum ditemukan pada usia bayi, tetapi dengan seiring berkembangnya bayi dan bertambahnya umur, rantai gama akan digantikan oleh rantai beta globulin. Setiap rantai gobulin mengandung struktur sentral yaitu molekul heme.
22
Bersama dengan molekul heme, besi (Fe) akan terikat pada protein globulin. Besi (Fe) inilah yang bertanggung jawab di dalam mengikat O2 dan CO2. Hematokrit (HCT) disebut juga Packed Cell Volume (PCV) dan Erythrocyte Volume Fraction (EVF) merupakan persentase sel darah merah terhadap volume darah total. Hematokrit berasal dari Bahasa Gerika, yaitu haima yang berarti darah dan kntes yang berarti memisahkan. Nilai hematokrit selalu dikaitkan dengan jumlah hemoglobin. Pada saat terjadi penurunan nilai hematokrit umumnya akan diikuti dengan penurunan jumlah hemoglobin sehingga kedua parameter ini dijadikan dasar di dalam mendiagnosis anemia. Leukosit (WBC) merupakan jumlah leukosit/sel darah putih yang berada di dalam darah. Fungsi utama leukosit adalah untuk mencegah dan melawan infeksi yang terjadi di dalam tubuh. Leukosit dapat mengalami penurunan atau peningkatan jumlah hitungnya. Penurunan jumlah leukosit (leukopenia) dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti penggunaan obat tertentu yang dapat menekan produksi leukosit di sumsum tulang, infeksi virus, dan stress. Penurunan leukosit yang signifikan harus segara diberi perhatian karena dapat melemahkan imunitas tubuh sehingga tubuh menjadi rentan terserang infeksi, sedangkan peningkatan jumlah leukosit (leukocytosis) dapat disebabkan oleh manifestasi penyakit leukemia atau respon terhadap infeksi yang sedang berlangsung. Platelet (PLT) atau trombosit merupakan suatu fragmen seluler yang diperlukan di dalam proses koagulasi atau pembekuan darah (Fischbah, 2003). Ketika terjadi trauma pada suatu jaringan, platelet akan segara teraktivasi dan
23
bermigrasi menuju ke daerah trauma tersebut. Pada daerah trauma ini, platelet akan menjadi benang-benang fibrin untuk menutupi luka dan menghentikan pendarahan yang sedang terjadi. Platelet dapat mengalami penurunan maupun peningkatan akibat kondisi patologis tertentu. Penurunan jumlah platelet (thrombocytopenia) dapat terjadi pada subjek yang sedang tertinfeksi HIV atau penggunaan obat-obatan tertentu, sedangkan peningkatan jumlah platelet (thrombocytosis) dapat mengindikasikan adanya jaringan yang rusak. C. Landasan Teori Dari beberapa tinjauan pustaka yang telah diuraikan, diketahui bahwa ekstrak etanol buah mengkudu berpotensi sebagai agen imunosupresan dan dapat membantu di dalam mengurangi efek samping terapi isoniazid dosis tinggi dalam jangka waktu terapi yang lama, yaitu berupa DILE dan toksisitas pada darah yang termanifestasi dalam bentuk anemia (penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin, dan nilai hematokrit), leukositopenia (penurunan jumlah leukosit), dan trombositopenia (penurunan jumlah platelet). Efek samping ini merupakan manifestasi dari kelainan autoimunitas yang terinduksi. D. Hipotesis Ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) dapat mempengaruhi profil jumlah eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit dan platelet pada tikus Wistar betina yang telah diinduksi isoniazid.