Bab I Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Indonesia boleh berbangga ketika konflik yang berlangsung selama
hampir 30 tahun antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhasil diselesaikan dengan cara damai, yang ditandai dengan
penandatanganan
Nota
Kesepahaman
atau
Memorandum
of
Understanding (MoU) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki – Finlandia. Nota Kesepahaman ini populer dikenal dengan MoU Helsinki. 1 Salah satu pesan dari MoU Helsinki tersebut adalah penyusunan sebuah undang-undang baru bagi Aceh. Redaksinya adalah sebagai berikut: Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006 2. Melalui proses yang relatif panjang, kurang dari lima bulan, pada tanggal 11 Juli 2006 amanat MoU Helsinki tersebut berhasil diselesaikan dengan lahirnya 1
‘Kebanggaan’ Indonesia atas tercapainya MoU Helsinki mendapatkan apresiasi dari dunia. “Perdamaian Aceh jadi contoh yang baik bagi masyarakat global,” kata Mandela dalam suratnya. Dia memuji kedua belah pihak yang telah menunjukkan komitmen untuk menjaga perdamaian yang memang memerlukan proses panjang, kejujuran, kerja keras, kebersamaan dan toleransi. PM Badawi merasa optimis karena perdamaian di Aceh telah memberikan sinyal positif bagi masyarakat bisnis internasional. “Selat Malaka tidak lagi dianggap sebagai zona perang,” katanya. Lihat: Aceh Dalam Lembaran Baru– Majalah Berita Indonesia, 25 Agustus 2006 :
(diakses 9 Desember 2011). Bahkan, salah satu indikator pemberian Nobel Perdamaian Tahun 2008 kepada Martti Ahtisaari karena ia menjadi mediator dalam MoU Helsinki. MoU Helsinki dijadikan acuan oleh sejumlah negara dalam menyelesaikan konflik internal, khususnya konflik etnis politik. Banyak yang menaruh harapan besar terhadap kesuksesan perdamaian di Aceh.
2
MoU Helsinki.
1
2
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) 3. keterlambatan sekitar empat
Ada
bulan dari waktu yang disepakati dalam MoU
dengan realisasi lahirnya UU tersebut. Salah satu apresiasi yang diberikan terhadap UUPA ini adalah selama proses pembahasan saat masih berupa Rancangan Undang-Undang (RUU), dalam Panitia Khusus (Pansus) DPR, semua keputusan diambil secara musyawarah dan mufakat. Dalam prosesnya, pembentukan UUPA dianggap sebagai produk politik yang dicapai melalui kompromi dan kesepakatan politik berlandaskan pada semangat menciptakan perdamaian, membangun dan mensejahterakan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berlandaskan pada UUD 1945. Dari 71 Butir MoU Helsinki yang kemudian melahirkan 273 pasal UU PA, butir penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dalam MoU dan Pasal dalam UUPA tentang calon perseorangan menjadi pemicu konflik dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah tahun 2012.
3
Tentang proses pembentukan UU No 11 tahun 2006 ini bisa dibaca pada buku Pondasi Menuju Perdamaian Abadi. Catatan Pembahasan Pemerintahan Aceh. Penulis: Ferry Mursyidan Baldan, Penerbit Suara Bebas. Jakarta, 2007. Juga Buku Panduan Sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang berjudul: Catatan Untuk Memahami Undang-Undang omor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Menuju Era Baru Aceh. Diterbitkan oleh Satuan Kerja BRR Peningkatan Komitmen Persatuan Dan Kesatuan Nasional NAD-NIAS (PKPOLHUKAM) Agustus 2006. Dan buku karya Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai anggroe Endatu, Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Penerbit Suara Bebas, Jakarta, 2006.
3
Pada Pasal 1.2.2 MoU Helsinki secara eksplisit disebutkan: Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya. Pada UU PA Pasal 67 ayat 1: Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Pada UU PA Pasal 67 ayat 1: Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diajukan oleh : a. partai politik atau gabungan partai politik; b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal; c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau d. perseorangan. Pada UU PA Pasal 256 : Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan. Muculnya pasal yang mengatur tentang calon perseorangan dalam UUPA tersebut melalui proses yang sangat panjang. Setelah dicapainya MoU Helsinki pada 2005, Pemilu Kada di Aceh ditetapkan pada tahun 2006. Karena pasca-MoU telah diberikan amnesti kepada para eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka muncul pertanyaan bagaimana menyalurkan aspirasi politik mereka. Ketika itu disodorkan jalan melalui partai nasional, namun hal ini ditolak oleh pihak GAM. Maka muncullah alternatif calon perseorangan, karena partai lokal belum ada, dimana menurut MoU Helsinki, partai lokal baru dibentuk satu
4
setengah tahun setelah MoU, yakni pada tahun 2007. Inilah yang menyebabkan calon perseorangan dalam UUPA hanya diperbolehkan sekali saja yakni pada Pemilukada 2006 4. Dan pada Pemilu Kada pertama pasca-MoU yakni pada tanggal 11Desember 2006, meleset 8 bulan dari kesepatakan MoU Helsinki, pelaksanaannya relatif berjalan lancar. Hal ini disebabkan saat itu masih dalam suasana ‘bulan madu’ perdamaian. Hadirnya puluhan pemantau, baik lokal, nasional, maupun asing serta sorotan dunia internasional kepada demokrasi di Aceh menjadi penyebab lainnya sehingga semua pihak mampu menahan diri. Pada Pemilukada 2006 tersebut, Calon dari perseorangan, yakni Irwandi Yusuf/Muhammad Nazar menjadi pemenang dan menjadi gubernur dan wakil gubernur definitif 2006-2011. Setelah partai lokal terbentuk pada tahun 2008 sebagai buah dari MoU Helsinki dan UUPA, proses pemilihan anggota legislatif pada pemilu 9 April 2009, untuk provinsi dan kabupaten/kota di Aceh melibatkan enam partai lokal dan 38 partai nasional. Enam partai lokal yang terjun dalam Pileg 2009 di Aceh ialah: Partai Aceh (PA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Pada Pemilihan tersebut, untuk tingkat provinsi, Partai Aceh memenangi 1.007.173 suara atau 46,93%. Dari dari total 69 kursi yang diperebutkan, PA berhasil meraih 33 kursi.
4
M. Jusuf Kalla dalam diskusi dengan peneliti dalam rangka penyusunan buku Keeping The Trust For Peace, Kisah dan Kiat menumbuhkembangkan Damai di Aceh, Karya Farid Husain, Jakarta, 11-Oktober-2011.
5
Dalam persiapan pemilu kada 2011, tepatnya pada 20 Mei 2010, empat warga Aceh yakni Tami Anshar Mohd Nur, calon bupati/wakil bupati Kabupaten Pidie, Faurizal, calon bupati/wakil bupati Kabupaten Bireuen, Zainudin Salam, calon bupati/wakil bupati kabupaten Aceh Timur dan
Hasbi Baday, calon
bupati/wakil bupati Kabupaten Simeulue mengajukan permohonan gugatan judicial review Pasal 256 UUPA ke Mahkamah Konstitusi (MK) 5. Menurut mereka, pasal 256 UUPA dinilai telah menutup peluang bagi calon perseorangan pada Pilkada 2011 di Aceh, dan itu bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), ayat (3), Pasal 28 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pasal 256 UUPA telah dianggap menghilangkan makna demokrasi bahwa semua warga Negara berhak menjadi calon kepala daerah dalam Pemilukada di Aceh setelah Pilkada tahun 2006. Atas gugatan ini, pada 30 Desember 2010, MK mengabulkan dan membolehkan calon perseorangan ikut berlaga dalam Pemilu Kada Aceh 2011. Kutipan putusan MK bernomor 35/PUU-VIII/2010 tersebut: 5
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menegaskan, Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, mememutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Tentang hal ini bisa dibaca pada buku: Sengketa Kewenangan Antarlembaga egara, karangan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Bisa juga membaca makalah berjudul: Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RepubliK Indonesia, ditulis oleh Janedjri M. Gaffar. Surakarta, 17 Oktober 2009 pada situs (diakses 10 Desember 2011)
6
“Berdasarkan segala yang diuraikan di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
1.1.1
1.
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara RI Tahun 2006 Nomor 62 dan Tambahan Lembaga Negara RI Nomor 4633) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1) Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2);
3.
Menyatakan Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara RI Tahun 2006 Nomor 62 dan Tambahan Lembaga Negara RI Nomor 4633) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Pro-Kontra Calon Perseorangan Akibat keputusan ini telah tercipta ketegangan di Aceh diantara yang pro
maupun kontra terhadap keputusan MK. Tidak hanya pada tataran masyarakat atau kelas menengah, namun juga telah terjadi ketegangan antara eksekutif dalam hal ini Gubernur dan Komite Pemilihan Independen (KIP) Aceh di satu sisi yang mendukung keputusan MK, dengan mayoritas anggota legislatif (DPRA) yang didominasi Partai Aceh menolak. Akibat ketegangan antar lembaga ini, tidak hanya menyebabkan proses penetapan jadwal Pemilukada menjadi tertunda-tunda, namun juga mengancam demokrasi dan perdamaian di Aceh yang baru berusia enam tahun. Partai Aceh (PA) yang mendominasi kursi di legislatif mengumumkan tidak akan turut dalam
7
proses Pemilu Kada
6
. Ini tentu membawa implikasi terhadap banyak hal, baik
itu, proses penyenggaraan pemilu Kada, pengawasan dan pelaksaan pemerintahan jika pemerintahan baru yang terbentuk tidak didukung oleh lembaga legislatif, dan tentunya terhadap perdamaian Aceh yang tercipta melalui perjanjian dan MoU Helsinki 7. Bagi DPRA, MK dianggap telah melanggar MoU Helsinki dan UUPA dalam mengambil keputusan. Pada Pasal 269 ayat (3) UUPA disebutkan: Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA. Faktanya MK tidak melakukan konsultasi. DPRA juga akan menggugat putusan MK dengan alasan bahwa di dalam Pasal 18b UUD 1945 dijelaskan, negara mengakui daerah yang
6
Dalam konfrensi pers tanggal 7 Oktober 2011, Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf menyatakan pihaknya tak akan mendaftar Pemilukada 2011 jika tahapannya seperti yang dijalankan KIP sekarang ini. “"Jika Presiden memberi keputusan tidak jelas, maksudnya pilkada dilanjutkan sesuai tahapan KIP, maka PA tidak ikut dan mengundang pihak ketiga dari uni eropa untuk memfasilitasi hal ini," kata Muzakir Manaf . Lihat; (Diakses 25 Januari 2012)
7
Menurut Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Aceh, Ahmad Farhan Hamid, pemerintah tak bisa mengabaikan begitu saja ancaman Partai Aceh, partai politik lokal yang dibentuk mantan GAM dan sekarang menjadi mayoritas di DPR Aceh. "Saya mulai cemas. Membayangkan bagaimana pemerintahan di Aceh ke depan, ketika DPR Aceh tidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pilkada Aceh. Berarti DPR Aceh tak akan terlibat dalam pra pengambilan suara, paripurna penyampaian visi dan misi hingga tahapan pilkada lainnya," kata Farhan. Ia menambahkan, "Apa yang terjadi setelah pelantikan gubernur dan wakil gubernur, kalau sejak awal DPR Aceh tidak ikut terlibat pilkada. Padahal kita juga harus mengakui pentingnya DPR Aceh untuk membangun kebersamaan, mengisi perdamaian di Aceh dengan pembangunan damai saja tidak cukup, mesti ada keadilan di sana," kata Farhan. Lihat : Dulu DPR Aceh yang Menolak UUPA, dalam (Diakses 16 Desember 2011)
8
bersifat atau berstatus khusus yang diatur dengan UU. Kekhususan Aceh, diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 8. Disisi lain, atas keputusan MK nomor 35/PUU-VIII/2010 yang membolehkan calon perseorangan ikut dalam pemilukada di Aceh, Komisi Independen
Pemilihan
(KIP)
Aceh
sebagai
penyelenggara
pelaksanaan
Pemilukada mengakomodir Calon Perseorangan dalam Pemilukada dengan mengeluarkan Keputusan KIP Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tertanggal 12 Mei 2011 yang salah satu isinya adalah menetapkan tanggal 14-November-2011 sebagai hari pemungutan suara. Keputusan KIP ini dinilai oleh DPRA melanggar aturan karena menyelenggarakan pelaksanaan tahapan Pemilukada tidak berdasar pada Qanun (Peraturan Daerah) yang harusnya melalui institusi DPRA.
Panitia Khusus
(Pansus) DPRA dalam pertemuan lanjutan dengan KIP Provinsi Aceh, meminta KIP untuk mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan kembali calon perseorangan (independen) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 9.
8
Dalam pernyataan sikap Partai Aceh, Muzakkir Manaf mengatakan: “Kami merasakan sebuah upaya kesengajaan dan sistematis untuk menggiring kami ke dalam perdebatan Menyetujui atau Tidak menyetujui calon independen di Aceh. Bagi kami masalah utama bukanlah pada Ada atau Tidak adanya calon independen, yang menjadi masalah utama bagi kami adalah pencabutan salah satu pasal dalam UUPA oleh Mahkamah Konstitusi dengan tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai perwujudan lembaga yang mewakili rakyat Aceh.”
9
Adnan Beuransyah dari Partai Aceh mempertanyakan alasan KIP Aceh mengakomodir calon perseorangan dan meminta agar tahapan pemilihan yang telah ditetapkan KIP dibatalkan. Menurutnya, Aceh memiliki undang-undang yang lex-specialis dan penetapan pilkada wajib berpedoman pada qanun. Sementara KIP telah menetapkan tahapan pilkada tanpa menunggu lahirnya Qanun dan surat pemberitahuan dari DPRA menyangkut masa berakhir jabatan Gubernur Aceh. Anggota Pansus yang lain dari Partai Aceh, Ir. Jufri Hasanuddin meminta KIP untuk mengabaikan putusan Mahkamah
9
Penentuan tanggal 14 November 2011 sebagai hari pencoblosan didasarkan pada ketentuan undang-undang bahwa tahapan Pilkada digelar sekurang-kurangnya enam bulan sebelum hari pencoblosan atau delapan bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2007-2012 yang dijabat oleh Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar berakhir pada 8 Februari 2012. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan komitmen mengawal setiap proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Provinsi Aceh yang digelar pada 14 November 2011. "Kami akan mengawal Pilkada Aceh agar berjalan demokratis sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan," ujar anggota KPU Abdul Aziz 10. Atas hal tersebut, KIP telah menerima pencalonan kepala daerah dari jalur perseorangan. Termasuk didalamnya gubernur incumbent, Irwandi Yusuf mendaftar kembali sebagai calon gubernur
11
. Para calon dari jalur perorangan
dari berbagai kabupaten menggalang kekuatan untuk bersama-sama mendesak agar pilkada harus berjalan sesuai jadwal yang ditentukan KIP tersebut. Konstitusi yang memperbolehkan calon perseorangan maju dalam Pilkada di Aceh dengan merujuk pada fenomena apa yang terjadi di Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah dimana putusan MK tidak dieksekusi terkait dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Atas dasar itu, Jufri Hasanuddin meminta KIP untuk mengabaikan putusan MK, karena Aceh punya kekhususan seperti diatur dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA). Lihat: “Pansus DPRA Minta KIP Aceh Abaikan Putusan MK”. . (Diakses 10 Oktober 2011) 10
11
Sayfputri, Ella (ed), 2011, “KPU Kawal Pilkada Aceh”, Antaranews, 17 Juni. . (Diakses 10 Oktober 2011). Pencalonan kembali Irwandi sebagai Gubernur untuk yang kedua kalinya menjadi salah satu pemicu konflik di-internal Eks GAM. Tentang hal ini, International Crisis Group (ICG) membuat analisa tentang "GAM vs GAM". Lebih lengkap, silahkan buka: (Diakses 15 Oktober 2011).
10
1.1.2.
Polarisasi Kekuatan; pro vs kontra keputusan KIP Sepak terjang para bakal calon dari jalur perseoranga/independen yang
telah mendaftarkan diri ke KIP untuk ikut pilkada membuat gerah pimpinan partai politik yang "dimotori" Partai Aceh (33 kursi), Partai Demokrat (10 kursi) dan Partai Golkar (8 kursi). Ketiga partai ini memiliki kursi terbanyak di parlemen (DPRA)12 . Sejumlah partai "kecil" meski ada yang tidak memiliki kursi di DPRA juga ikut bergabung untuk menolak pilkada sesuai jadwal ditentukan KIP. Bahkan,
Partai
Aceh
sebagai
partai
lokal
pemenang
Pemilu
2009
menginstruksikan kadernya yang menjadi pimpinan daerah (bupati/wali kota) untuk menghentikan penyaluran dana pilkada 13. Sebanyak 16 partai politik (parpol) yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Parpol mengajukan surat permohonan kepada presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono agar menunda pilkada di Aceh. Jika tidak dikabulkan Presiden, maka parpol kemungkinan tidak akan mendaftarkan dari kubu mereka sebagai calon gubernur/wakil gubernur, maupun bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota. Menurut Juru Bicara Forum Silaturahmi Parpol Aceh, Mawardy Nurdin yang juga ketua Partai Demokrat Aceh kesepakatan meminta tunda pelaksanaan pilkada muncul dalam pertemuan silaturahmi lintas parpol Rabu (13/7/2011). Menurut Mawardy, keinginan tersebut bukan kemauan satu parpol saja. Juga tidak
12
Urutan perolehan kursi hasil pemilu legislatif 2009 bisa dilihat pada bab berikutnya.
13
Azhari, 2011, Menanti Solusi Damai Pilkada Aceh, LKBN ANTARA, 27 Juli. , (diakses 10 Desember 2011).
11
ada kaitannya dengan belum diakomodasinya calon perseorangan oleh DPRA dalam Qanun Pilkada yang telah disahkan 28 Juni lalu melalui Sidang Paripurna DPRA. Langkah ini diambil berdasarkan pendapat yang sama antara parpol yang sama-sama mengamati bahwa menjelang pilkada ini suhu politik di Aceh telah memanas. Jika suhu politik yang kian memanas itu tidak dikendalikan, lanjut Mawardy, maka menurut perkiraan pengurus parpol yang hadir dalam pertemuan tersebut, bisa menimbulkan konflik baru di tengah-tengah masyarakat Aceh. Maka salah satu jalan untuk menurunkan suhu politik yang telah memanas itu adalah dengan menunda pilkada. Dalam surat kepada presiden tersebut, pada poin b menyebutkan bahwa penetapan batas waktu pendaftaran calon dari parpol pada 5 Agustus 2011 yang telah ditetapkan KIP Aceh, dinilai parpol sebagai penetapan sepihak. Alasannya, karena belum ada persetujuan dari DPRA sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 66 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pertimbangan lainnya, Qanun Pilkada yang telah disahkan DPRA pada 28 Juni 2011 dalam sidang paripurna, belum diteken Gubernur Aceh, dengan dalih eksekutif belum sepakat dengan sebagian isi qanun tersebut. Kondisi itu telah membuat konflik regulasi dalam pelaksanaan pilkada. Menurut para pengurus parpol yang hadir dalam pertemuan itu, untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka pilkada perlu ditunda. Saran itu diterima dan disepakati oleh seluruh anggota forum 14.
14
Harismanto (ed), 2011, 16 Parpol Ancam Boikot Pemilukada di Aceh, koran Serambi edisi 16 Juli. 16 Partai yang dimaksud adalah: (1).Partai Aceh, (2) Partai Demokrat, (3). Partai Golongan Karya, (4) Partai Amanat Nasional, (5). Partai Persatuan Pembangunan, (6). Partai Keadilan Sejahtera, (7) PKPI, (8) Partai Kebangkitan Bangsa, (9), Partai Daulat
12
Selang tiga hari usai pernyataan Forum Silaturahmi Parpol, pada tanggal 18 Juli 2011, sebanyak 175 orang calon pimpinan daerah di Aceh dari dari jalur independen/perseorangan membuat pernyataan yang intinya menolak penundaan Pilkada dan mendukung pelaksanaan sesuai dengan tahapan yang ditetapkan oleh KIP. Berikut dua diantara enam pernyataan Persaudaraan Calon Perseorangan Seluruh Aceh: Kami calon perseorangan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota seluruh Aceh dengan ini mendeklarasikan dan menyatakan sikap: 1. Mendukung pelaksanaan Pemilukada sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan oleh KIP Aceh, secara demokratis, adil dan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
2. Mendukung sikap KPU, KIP Aceh, KIP kabupaten/kota yang telah melaksanakan tahapan Pemilukada sesuai dengan perundangundangan yang berlaku serta mengakomodir calon perseorangan sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi 15 1.1.3
Dari penolakan menjadi Penundaan Polarisasi antara kekuatan yang menolak dengan yang menyetujui calon
perseorangan menjadi berubah seiring dengan berbagai lobby dilakukan oleh masing-masing pihak. Dalam perkembangannya, terjadi perubahan terhadap Aceh, (10). Partai Patriot, (11). PDI-Perjuangan, (12) Partai Hati Nurani Rakyat, (13). Partai Bintang Reformasi, (14). Partai Pelopor, (15). Partai Gerakan Indonesia Raya, (16). Partai Pemuda Indonesia. Lihat: . (Diakses pada 12 Desember 2011). Dalam perkembangannya, terjadi ‘perpecahan’ dalam tubuh Forum Silatuhmi Parpol Aceh karena tidak ada konsistensi diantara anggota dimana pada akhrinya Partai Demokrat ikut mencalonkan sebagai kandidat Gubernur Aceh dari jalur partai walaupun Qanun tidak melaui DPRA.
15
Acehkita, 2011, Kesepakatan Duek Pakat Calon Independen. Aceh Kita, 18 Juli. (Diakses 12 Desember 2011)
13
tuntutan dari penolakan terhadap putusan MK tentang calon perseorangan menjadi penundaan jadwal Pilkada berdasarkan ketetapan yang dilakuka oleh KIP. Pemerintah pusat, melalui Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Desk Aceh, sebuah organ resmi dibawah kementerian Politik Hukum dan Keamanan
memberikan ultimatum jika dalam tempo dua minggu Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tidak juga menghasilkan qanun, maka aturan Pemilu Kada Aceh akan kembali menerapkan qanun Nomor 7 Tahun 2007 yang didukung oleh Pasal 123 UU Nomor 22 Tahun 2007. Tidak hanya untuk KIP, Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) juga berhak mengadakan pengawasan untuk memastikan Pemilu kada berjalan sesuai dengan aturan yang ada. Ketua FKK Desk Aceh Amiruddin Usman mengatakan keterlibatan Menkopulhukam dalam Pemilukada Aceh tidak mendukung siapa–siapa, tidak mendukung Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan pihak-pihak lain, mereka tugasnya hanya menetralisir politik saja. “Kita akan melibat semua kalangan dalam Pemilukada Aceh, tujuannya untuk Aceh juga,” lanjutnya. Amiruddin juga berharap di Aceh berjalan demokrasi dalam segala bidang, termasuk demokrasi yang tidak menggunakan kekerasan 16. Jika merujuk pada Pasal 236A Undang-undang No 32/2004 disebutkan, penundaan bisa dilakukan jika terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, atau gangguan lainnya. Pasal 236A menyebutkan:
16
Zuboidi, Hayatullah, 2011, FKK Desk Aceh: Dua Minggu DPRA Selesaikan Qanun Pilkada, The Globe Journal, 23 Juni. (diakses 12 Desember 2011).
14
“Dalam hal di suatu daerah pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya di seluruh atau sebagian wilayah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakibat pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, pemilihan ditunda yang ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Dalam konteks aturan sebagaimana dinyatakan diatas, tidak ada alasan Pilkada untuk ditunda. Namun, sebagai konsekuensi dari kekecewaan atas dikabulkannya calon perserorangan, DPRA yang di dominasi Partai Aceh membuat target agar Pilkada, kalaupun berlangsung dan tetap melibatkan calon perseorangan adalah dilakukan ketika Irwandi sudah tidak menjabat. Ini dilakukan dengan cara menunda pengajuan Rancangan Qanun sehingga jadwal bisa bergeser sesuai target mereka. 17 Dalam perkembangannya, wacana politik yang terjadi bukan lagi membicarakan tentang ada atau tidaknya Calon Perseorangan, namun fokus pada waktu pelaksanaan Pilkada; ditunda atau sesuai jadwal yang ditentukan oleh KIP.
17
Mengingat masa jabatan Gubernur Aceh berakhir pada 8 Februari 2012, maka KIP Aceh membuat tahapan Pemilukada mulai 17 Juni 2011. Seharusnya tahapan itu disertai dengan surat ketua DPRA yang memberitahukan tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur. KIP Aceh sebenarnya sudah meminta DPR Aceh untuk mengirimkan surat ini. “Sudah tiga kali kami mengirim surat kepada DPR Aceh untuk membicarakan masalah surat tersebut. Tapi mereka tidak menggubris. DPR Aceh terus berupaya menunda-nunda Pemilukada ini tanpa alasan hukum yang jelas. Kami tidak mau mengambil risiko, makanya kami terpaksa jalan sendiri meski tidak mendapat dukungan dari DPR Aceh,” ujar Ilhan Syahputra, Wakil Ketua KIP Aceh. “Kita ingin ada pelaksana tugas Gubernur Aceh untuk sementara,” kata Adnan Beuransyah, Ketua Komisi A yang berasal dari Partai Aceh. Dengan demikian dalam pertarungan Pemilukada Aceh 2012 tidak ada kandidat incumbent.
15
Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang menyertai proses tarik-menarik jadwal Pilkada. 1.
Jalur Hukum. Berbagai pihak mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Konsitusi dengan sejumlah dasar hukum yang menyertai. Ada yang di tolak, namun ada juga yang dikabulkan sehingga ada ketetapan hukum dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh.
2.
Jalur 'egosiasi. Sejumlah pihak, baik yang pro maupun yang kontra terhadap calon perseorangan atau terhadap penentuan jadwal Pilkada melakukan negosiasi dengan berbagai stakeholder, di pusat, maupun di Aceh. ‘Permainan’ lobby dalam upaya negosiasi ini, ada yang tercium media, ada yang tidak. Ada yang terlihat hasilnya, namun ada juga yang gagal. 18
3.
Jalur Kekerasan. Sejumlah aksi kekerasan yang terjadi di Aceh selama periode 2011 hingga Januari 2012, awalnya oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kemenko Polhukam dan Polri dinilai tidak ada hubungannya dengan Pemilu Kada. Namun, pada akhirnya Presiden SBY dan Menko Polhukam menegaskan bahwa kekerasan yang terjadi di Aceh ada hubungannya dengan Pilkada.
18
Beberapa Fenomena yang terlihat dari hasil lobby adalah, terkuaknya ‘komitmen’ atau kesepakatan tertulis antara Partai Aceh dengan Dirjen Otda Kemendagri yang menjamin bahwa Pilkada akan di tunda. Namun, sampai batas waktu yang ditentukan, komitmen tersebut tidak terbukti. Selain itu, yang dianggap fenomenal adalah, perubahan sikap Partai Aceh yang awalnya memboikot dan menolak Pilkada, namun pada akhirnya meminta peluang pendaftaran Pilkada dibuka kembali. Atas hal itu, jalur hukum dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan akhirnya pada 20 Januari 2012, Partai Aceh secara resmi mendaftarkan diri ikut dalam Pilkada.
16
Ketiga hal ini saling terkait. Sudah lima kali dilakukan penundaan atau pergeseran jadwal Pilkada. 1. 10 Oktober 2011 (belum ada dasar hukum berupa keputusan KIP) 2. 14 November 2011 (Keputusan KIP Nomor 1 tahun 2011). 3. 24 Desember 2011. (Keputusan KIP nomor 17 tahun 2011) 4. 16 Februari 2012 (Keputusan KIP Nomor 26 Tahun 2011) 5. 9 April 2012 (Keputusan KIP Nomor 31 Tahun 2012) Walaupun tiga faktor diatas saling terkait, dalam penelitian ini, faktor kedua, yakni jalur negosiasi yang akan dijadikan fokus penelitian ini.
1.2.
Rumusan Masalah Dari fenomena diatas, ada beberapa rumusan masalah yang akan menjadi
objek penelitian dalam Tesis ini. 1.
Bagaimana proses negosiasi sehingga Partai Aceh yang menentang keputusan MK tentang calon perseorangan berubah menjadi menerima?
2.
Siapa aktor
yang terlibat dan bagaimana perannya dalam proses
negosiasi tersebut ? 3.
Apa yang menjadi tawar-menawar antar pihak dalam proses negosiasi tersebut ?
1.3.
Tujuan Penelitian Seperti halnya disebutkan dalam rumusan masalah diatas,
penelitian ini adalah untuk:
tujuan
17
1. Mengetahui tentang proses negosiasi baik secara formal maupun informal dalam menyelesaikan masalah, khususnya tentang polemik calon perseorangan, pada Pilkada Aceh. 2. Mengetahui aktor baik yang muncul di media dan berada di lingkaran pemerintahan,
maupun
yang
tersembunyi
dan
bukan
dari
pemerintahan serta peran yang dilakukan oleh aktor tersebut dalam memberikan kontribusi penyelesaian konflik Pilkada Aceh. 3. Mengetahui posisi tawar-menawar antara mereka yang berkonflik dalam mencapai kesepakatan.
1.4. 1.4.1
Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori Proses 'egosiasi dan Penyelesaian Perselisihan Mencermati proses Pilkada Aceh yang pada akhirnya bisa didapat jalan
keluarnya, merupakan sebuah fakta bahwa negosiasi atau pendekatan jalur diluar hukum menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan yang ada.
Secara
terminologi negosiasi didefenisikan sebagai: The process where interested parties resolve dispute, agree upon courses of action, bargain for individual or collective adventage, and/or attempt to craft outcomes which serve their mutual interests. Atau sebuah proses perundingan dua pihak yang bertikai baik sifatnya individual maupun kolektif untuk mencari solusi penyelesaian bersama yang saling menguntungkan. Tentunya masih banyak definisi lain terkait dengan negosiasi, namun hampir semuanya berujung pada sebuah definisi yang sama yakni: proses yang menggabungkan sudut pandang yang berbeda untuk menghasilkan sebuah
18
kesepakatan. Didalamnya terjadi tawar menawar dan usulan dalam memecahkan permasalahan. Dalam kaitan ini, negosiasi yang relevan dengan apa yang terjadi pada fenomena Pilkada Aceh adalah teori Back Channel egotiation (BC). Walaupun teori ini lebih tepat digunakan dalam hal hubungan internasional atau proses antar negara, namun jika ditelusuri kaitan anatar Back Channel Negotiation dengan proses penyelesaian sengketa pilkada Aceh menjadi sangat relevan dan tepat untuk dijadikan pisau analisa. Anthony Wanis-St. John mendefiniskan Back-channel negosiasi (BCNs) adalah sebuah proses negosiasi yang tidak biasa, dilakukan secara rahasia antara pihak yang bersengketa dan beroperasi secara paralel dilakukan secara rahasia antara pihak yang bersengketa. 19 BCN dapat digambarkan sebagai "pasar gelap" proses negosiasi, yang memberikan ruang negosiasi terpisah dimana perundingan berlangsung secara tersembunyi. Disini Anthony Wanis memberikan contoh bahwa sebagian pertemuan dan kesepakatan yang ditandatangani antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) telah dicapai dengan menggunakan BCN, disamping beberapa negosiasi yang juga dilakukan dikombinasikan dengan sistem terbuka. Lantas siapa back-channel negosiator? Anthony Wanis-St. John menjelaskan dalam perundingan internasional, terutama yang terkait dengan perang dan perdamaian, back-channel negosiator-nya cenderung seorang individu 19
St. John, Anthony Wanis, 2006, “In Theory Back-Channel Negotiation: International Bargaining in the Shadows” Negotiation Journal, April, hal 119 (diakses 20 September 2012).
19
yang relatif dengan para pengambil keputusan level atas. ‘otoritas’ dalam mengeksplorasi
Mereka memiliki
berbagai pilihan serta mampu berkomitmen
dalam sebuah kesepakatan. Seorang perunding back-channel bisa seorang pribadi atau individu yang memiliki akses eksklusif kepada presiden atau perdana menteri. Negosiator BCN terkadang tanpa status resmi, namun dapat memanfaatkan hubungan yang erat dengan para pengambil keputusan resmi dan mendapatkan status resmi. Para negosiator back-channel lebih sering berhasil dalam mencapai kesepakatan dibandingkan negosiator front channel menunjukkan bahwa back channel yang lebih praktis, sementara front channel lebih teoritis.20 Disamping
proses
dengan
menggunakan
metode
back
channel
negotiation, metode ADR (Alternative Dispute Resolution) pada penyelesaian pilkada
Aceh
juga
sangat
relevan.
Sesaat
setelah
MK
mengabulkan
diperbolehkannya calon perseorangan ikut dalam Pilkada, maka yang terjadi adalah ‘sengketa regulasi’ dari masing-masing kekuatan, antara yang Pro dan yang Kontra karena adanya perbedaan pendapat atau ketidaksesuaian. Dalam sejarahnya, bentuk penyelesaian sengketa yang dipergunakan banyak
berorientasi
pada
bagaimana
memperoleh
kemenangan
(seperti
peperangan, perkelahian bahkan lembaga pengadilan). Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para pihak cenderung berupaya mempergunakan berbagai cara untuk mendapatkannya, sekalipun melalui cara-cara melawan hukum. Akibatnya, apabila salah satu pihak memperoleh kemenangan tidak jarang hubungan diantara pihak-pihak yang bersengketa menjadi buruk, bahkan berubah 20
Ibid, hal 120-122
20
menjadi permusuhan.Dalam perkembangannya, bentuk penyelesaian berubah melalui cara kompromi. Cara ini dianggap lebih elegan, karena tidak ada yang merasa dikalahkan/dirugikan. Usaha-usaha untuk menemukan bentuk penyelesaian sengketa alternatif ini terjadi pada saat Warren Burger (mantan Chief Justice) diundang pada suatu konferensi yaitu Roscoe Pound Conference on the Causes of Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice (Pound Conference) di Saint Paul, Minnesota. Para akademisi, pengamat hukum, serta pengacara yang menaruh perhatian pada masalah sengketa/konflik berkumpul bersama pada konferensi tersebut. Beberapa makalah yang disampaikan pada saat konferensi, akhirnya disusun menjadi suatu pengertian dasar (basic understanding) tentang penyelesaian sengketa. Beberapa tahun berikutnya, penyelesaian sengketa alternatif atau ADR (Alternative Dispute Resolution) mulai diterapkan secara sistematis. Hakim seringkali memerintahkan kepada para pihak untuk ikut berpartisipasi dalam suatu persidangan. Peraturan di pengadilan senantiasa mensyaratkan para pihak untuk menyelesaikan kasus-kasus tertentu (seperti: malpraktek) melalui arbitrase, bahkan di beberapa pengadilan, pihak-pihak disyaratkan untuk mencoba terlebih dahulu menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui cara mediasi sebelum menempuh jalur pengadilan 21.
21
Nolan-Haley, Jacqueline M, (1992), Alternative Dispute Resolution in a utshell, West Publishing Co, St. Paul, Minnesota, USA 1992, hlm. 4-4 dikutip dari (diakses 26 Januari 2012).
21
Munculnya mediasi secara resmi dilatarbelakangi adanya realitas sosial dimana pengadilan sebagai satu satu lembaga penyelesaian perkara dipandang belum mampu menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik terhadap lembaga peradilan disebabkan banyak faktor, antara lain penyelesaian jalur litigasi pada umumnya lambat (waste of time), pemeriksaan sangat formal (folrmalistic), sangat teknis (technically), dan perkara yang masuk pengadilan sudah overloaded. Disamping itu keputusan pengadilan selalu diakhiri dengan menang dan kalah, sehingga kepastian hukum dipandang merugikan salah satu pihak berperkara. Hal ini berbeda jika penyelesaian perkara melalui jalur mediasi, dimana kemauan para pihak dapat terpenuhi meskipun tidak sepenuhnya. Penyelesaian ini mengkedepankan kepentingan dua pihak sehingga putusannya bersifat win-win solution. Negosiasi dan mediasi merupakan salah satu diantara Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif. Dalam upaya melalukan negosiasi dan mediasi, diawali dengan proses lobby. Lobby dinilai sebagai pembuka jalan dalam proses negosiasi. Dalam pandangan David P. Barash dan Charles P. Webel, negosiasi dianggap membantu menyelesaikan konflik dimana pihak-pihak yang bertikai mencari penyelesaian bagi perbedaan mereka. Untuk itu, agar membuahkan hasil, maka negosiasi harus dipandang sebagai non-zero-sum solution, yakni solusi tanpa kalah-menang, dimana keberhasilan di satu sisi, tidak harus diimbangi
22
dengan kekalahan di sisi yang lain. Begitu pun sebaliknya. Dengan demikian yang dicapai adalah win-win solution. 22 Dalam kajian yang lain, IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) menyebutkan bahwa ada empat elemen kunci dalam proses negosiasi. 1. Kebuntuan yang dilihat bersama. Negosiasi biasanya cenderung terjadi kalau kedua belah pihak melihat kebuntuan dengan cara yang sama, yang sering disebut sebagai “skakmat yang menyakitkan”. 2. Menangkap “Peluang Kesempatan”. Kehadiran kebuntuan saja, saat itu, tidak cukup. Ia juga bisa menghasilkan jendela kesempatan, waktu yang “matang” untuk penyelesaian, akan tetapi waktu yang matang harus dikenali, ditangkap dan digunakan. Konflik yang sedang berlangsung harus secara konstan dievaluasi dan diamati untuk meyakinkan “jendelajendela kesempatan” tidak hilang. 3. Pentingnya kepercayaan. Musuh tidak perlu jadi kawan. Tetapi negosiasi memang membutuhkan usaha kooperatif yang minimal. 4. Fleksibilitas. Proses negosiasi perlu tetap fleksibel. Terlalu banyak prakondisi akan menjadi hambatan bagi dialog.23 Guna memecah kebuntuan, IDEA memberikan beberapa teknik atau solusi. Diantaranya adalah dengan cara: Pertama, Membangun koalisi, yakni 22
23
Barash, D.P. dan Webel, C.P, 2002, Peace and Conflict Studies, London, SAGE Publications hal 283
Haris, P dan Reilly, B (Ed), 2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk egosiator, Judul Asli Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for egotiators, Stockholm, Swedia, International IDEA hal 68.
23
membangun sebuah koalisi komitmen yang kuat antara semua pihak yang menganggap negosiasi penting. Kedua, Gunakan cara-cara tidak resmi yang dapat melengkapi dan kadang kala menggantikan sementara cara-cara resmi. Semakin banyak terdapat jalur tidak resmi, semakin mudah melanjutkan diskusi mengenai masalah yang dalam forum resmi tidak dapat dinegosiasikan secara terbuka. Ketiga, Subkelompok, Ketika halangan tertentu memacetkan negosiasi, subkelompok atau sub-komite dapat membicarakan masalah tersebut secara lebih terbuka, di luar formalitas. Keempat, Mediasi ulang-alik, yakni Diskusi antara pimpinan sidang atau mediator dengan masing-masing pihak secara bergantian, sehingga memungkinkan proses penjelasan posisi tiap-tiap pihak mengenai masalah tertentu, mengkomunikasikannya secara akurat, dan mendefinisikan keinginan dan harapan tiap pihak mengenai masalah tersebut. 24 Dari sisi waktu dan peran, negosiasi bisa terjadi pada 3 tahapan. Pertama, diawal ketika konflik mulai menjadi isu. Kedua, ketika negosiasi menawarkan solusi dan atau resolusi. Dan ketiga, ketika terjadi krisis, atau ketika tahapan satu dan kedua gagal. Menurut Marjorie Corman Aaron seperti dikutip oleh Arbono Lasmahadi, dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain : 24
Ibit hal 106
24
1.
Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi ?
2.
Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan ?
3.
Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, beberapa konsep
penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu : 1. BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement) = Pilihan terbaik dari hasil sebuah negosiasi. 2. WATNA (Worst Alternative to a Negotiated Agreement) = Pilihan terburuk dari hasil sebuah negosiasi. 3. ZOPA (Zone of Possible Agreement) = Zona dimana pihak-pihak yang berunding dapat merumuskan kesepakatan. 4. MLATNA (Most Likely Achievement to a Negotiated Agreement) = Hasil tertinggi yang dapat diperoleh dari sebuah negosiasi. Mediasi merupakan salah satu alat yang sangat penting dalam proses penyelesaian perselesihan. Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat; keputusannya hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan.
25
Pada fenomena konflik Pilkada di Aceh yang menjadi penelitian ini, walaupun pada akhirnya proses pelaksanaan pilkada melalui jalur hukum, yakni keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar dan pijakan Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh dalam menjalankan penyelenggaraan Pilkada, namun, proses negosiasi dan mediasi dilaksanakan sedemikian rupa. Sehingga dicapai sebuah hasil kompromi yang win-win solution.
1.4.2
'egosiasi pada era ‘post-conflict’ Kesepakatan Damai atau Nota Kesepahaman Perdamaian atau dikenal
dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak yang bertikai bukan berati segalanya selesai. Benar bahwa MoU dijadikan momentum berakhirnya konflik, namun MoU hanya sebagai pintu gerbang menuju perdamaian yang ‘sebenarnya’. Masih ada tugas yang sangat berat pada masa pasca MoU (postconflict peacebuilding)25. Bisa jadi benar apa yang diungkapkan oleh seorang ahli strategi militer dari zaman Presia, Carl Philip Gottfried von Clausewitz bahwa To secure peace is to prepare for war. Perang dan damai merupakan pasangan abadi dari sebuah keping mata uang. Keberadaan yang satu menyiratkan keberadaan yang lain di sisi 25
. Anggoro, Kusnanto, 2009, Pengantar pada jurnal, POST-COFLICT PEACEBUILDIG, Naskah Akademik untuk Penyusunan Manual. Editor T Hari Prihatono, Jakarta, ProPatria Institute, hal 4. (diakses 22 Agustus 2010). Dalam penelitian ini istilah yang akan digunakan adalah post-conflict peacebuilding. Namun dalam beberapa redaksional lain menggunakan istilah Pasca-Konflik. Atribusi “post-konflik” pada istilah “post-conflict peacebuilding” baru muncul pada akhir 1990-an. Sebelum itu, tahapan setelah dicapainya persetujuan damai disebut secara luas sebagai “peacebuilding”, yang bersama dengan peacemaking (peace enforcement) dan peacekeeping, merupakan bagian penting dari strategi resolusi konflik.
26
sebaliknya. Sebuah perdamaian meski dianggap bagai jembatan emas menuju kebahagiaan, mesti diwaspadai akan kerapuhannya yang dapat berbalik menjadi pertikaian yang berdarah-darah.26 Dengan mengutip sejumlah sumber, Rizal Sukma melansir sebuah kenyataan
yang
kerap
mengganggu
bagi
mereka
yang
terlibat
dan
bertanggungjawab atas penyelenggaraan post-conflict peacebuilding. Menurut Rizal, fakta menyebutkan bahwa sekitar 50 persen konflik yang telah diselesaikan secara politik, terulang kembali dalam kurun waktu sepuluh tahun. Sementara itu, berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sekitar 30 persen konflik kembali terjadi dalam kurun waktu lima tahun. Doyle dan Sambanis bahkan menemukan bahwa untuk periode 1945-1999, sekitar 30 persen konflik kembali terjadi hanya dalam kurun waktu dua tahun. Data demikian menunjukkan bahwa berakhirnya
sebuah
konflik
tidak
secara
otomatis
melahirkan
sebuah
perdamaian.27 Dalam kajian lain, bahaya yang lebih besar mengancam jika perjanjian yang telah dicapai tidak dapat dipertahankan, daripada jika ia tidak pernah dicapai sama
sekali.
Konsekuensi
kegagalan
mungkin
menyebabkan
hilangnya
26
LIPI Press, 2006, Editorial Jurnal; “Ambiguitas Perdamaian”, Pusat Penelitian Politik, Year Book 2006, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, LIPI Press, Jakarta, Hal v
27
Sukma, Rizal, 2009, “Stabilisasi dan Pemulihan Pasca Konflik” dalam POST-COFLICT PEACEBUILDIG, Naskah Akademik untuk Penyusunan Manual, Editor T Hari Prihatono, Jakarta, ProPatria Institute, hal 57.
27
kepercayaan dan saling menyalahkan antar pihak-pihak yang ada. Kondisi seperti ini akan mengacaubalaukan seluruh proses (implementasi). 28 Ancaman kembalinya konflik kekerasan merupakan hantu yang amat menakutkan. Dalam berbagai kajian disebutkan bahwa kembalinya konflik kekerasan (conflict reemergence, conflict relapse) membawa konsekuensi yang kerap kali tak tertanggungkan. Selain konsekuensi fisik, misalnya jatuhnya korban yang tidak perlu, kembalinya konflik dipastikan memperkeruh suasana, menghapus kesalingpercayaan, dan kian mengguratkan luka yang semakin dalam. Akumulasi dari sejunlah persoalan itu menyebabkan konflik seringkali memasuki ruang baru yang lebih menjauhkan tujuan-tujuan perdamaian jangka panjang. 29 Ted Robert Gurr menegaskan bahwa kesepakatan damai biasanya mampu meredam konflik bersenjata, namun pertikaian dapat terus berlangsung selama waktu implementasi kesepakatan atau sampai beberapa tahun setelah itu. Konflik bersenjata dapat terus berlangsung dan berkepanjangan bahkan setelah kesepakatan damai ditandatangani. 30
28
Carlos Santiso, Peter Harris, dan David Bloomfield, 2000, “Memelihara Perjanjian Perdamaian”, dalam Peter Harris dan Ben Reilly (Ed), op cit, Hal 347. Dalam kajian IDEA ada beberapa contoh yang dikemukakan. Misalnya di Anggola dimana konsekuensi dari kegagalan Persetujuan Bicesse, ketika Jonas Savimbi menolak untuk menerima hasil pemilihan umum pertama pasca-konflik pada tahun 1992 dan mengumumkan perang sebagai usaha untuk memperoleh kekuasaan dengan kekuatan senjata, menyebabkan kematian 300.000 penduduk. Contoh lain di Rwanda pada tahun 1994, dimana ekstrimis Hutu menolak perjanjian damai Arusha; konsekuensinya adalah pembantaian massal sekitar satu juta penduduk Rwanda.
29
Kusnanto Anggoro, op cit, hal 6
30
Gurr, Ted Robert, 2000, The Challenge of Resolving Ethnonational Conflicts, dalam Peoples versus States, Minorities at Risk in the ew Century, Washington, D.C, United States Intitute Of Peace Press, hal 197. Ada sejumlah contoh yang dikemukakan oleh Gurr. Kelompok Basque di Spanyol, misalnya. Mereka telah memperoleh perluasan wilayah otonomi regional, namun separatis ETA tetap melanjutkan aksi teror mereka dalam
28
Dalam penelitian itu Gurr berkesimpulan konflik bersenjata bisa berlangsung dan kembali terjadi pada 13 dari 30 negara yang mengalami konflik dimana para tokoh/pihak yang bertikai menganggap mereka telah mencapai kesepahaman. Resiko adanya pemberontakan baru akan semakin serius bilamana kesepakatan/perjanjian damai
yang baru dicapai tidak secara penuh
diimplementasi. 31 Dalam studinya, Dan Smith mengidentifikasikan empat penyebab utama pengulangan konflik. Pertama, konflik terulang kembali karena tidaknya adanya kesungguhan dari pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik. Kedua, karena adanya kekecewaan dari salah satu atau lebih pihak yang bertikai ketika apa yang diharapkannya dari perdamaian tidak tercapai. Misalnya, ada pihak yang bersedia menandatangani penghentian konflik bersenjata karena yakin akan menang dalam pemilu. Namun, ketika harapan itu tidak terwujud, maka pihak tersebut akan kembali memulai konflik bersenjata. Alasan ketiga adalah perpecahan internal dalam salah satu kelompok yang bertikai, yang kemudian melahirkan kelompok sempalan, yang terus melanjutkan konflik bersenjata.
tuntutan untuk merdeka secara penuh sampai dengan tahun 1998. Di akhir tahun 1999, dalam penelitian Gurr tersebut ditemukan 4 dari 30 negara mengalami konflik dikarenakan adanya kelompok yang memberontak yang menolak implementasi kesepakatan (MoU), seperti di Palestina dan kelompok militan pro Indonesia di Timor Leste. Di sejumlah negara lainnya, konflik senjata masih terus terjadi bahkan sampai 10 (sepuluh) tahun tercapainya kesepahaman atau perjanjian damai. Konflik di Philipina Selatan, misalnya. Disana ada kelompok pergerakan yang memberontak menuntut adanya implementasi secara penuh terhadap kesepakatan damai di tahun 1996 yang sebetulnya telah disepakati oleh kebanyakan masyarakat muslim di Mindinao. Contoh lain di Sudan, kesepakatan yang dicapai mampu berlangsung damai selama 1 dekade, namun, selanjutnya terjadi pemberontakan baru. 31
Ibid hal 203.
29
Alasan keempat adalah tidak tertanganinya penyebab utama konflik yang bersifat struktural, seperti ketidakadilan dan kemiskinan. 32 Ukuran keberhasilan masa post-conflict masih menjadi perdebatan diantara para pengamat. Praktek internasional yang hanya memberi waktu sekitar 2-3 tahun kerapkali dianggap tidak cukup untuk membuahkan perubahan sosial politik yang kondusif untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Roland 33
Paris menyarankan ”dua kali siklus pemilihan umum”, atau antara 8-10 tahun.
Dalam analisis Kusnanto Anggoro, tak ada rentang waktu pasti tentang hal ini, kecuali untuk sekedar ancangan dalam menyusun program-program kerja. Kurun waktu 3-7 tahun adalah periode yang ditetapkan sebagai masa yang cukup memadai untuk menyelanggarakan post-conflict peacebuilding karena sejumlah alasan. Pertama, pengalaman dari proses resolusi konflik kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa periode tersebut merupakan periode yang paling rawan terhadap kemungkinan terjadinya kembali konflik kekerasan (conflict relapse). Kedua, dari segi dinamika politik, tahun ke-3 dan tahun ke-7 merupakan median dari dua siklus pemerintahan yang berurutan; sehingga memburuknya suasana, kalau terjadi, seharusnya dapat diantisipasi dengan
berbagai
kebijakan
politik.
Pilihan
apakah
rejim
postconflict
peacebuilding akan lebih mengedepankan pendekatan keamanan atau pendekatan politik harus ditetapkan melalui proses itu. 34
32
Rizal Sukma, op cit, hal 57
33
Kusnanto Anggoro, op cit, hal 7
34
Ibid hal 8
30
Sejumlah analisa yang dikemukakan diatas sangat relevan dengan apa yang terjadi di Aceh saat ini. Baik tentang rentannya konflik berulang pasca-MoU terjadinya konflik di internal Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maupun prediksi waktu munculnya konflik, yakni satu kali putaran pemilu, atau sekitar 6 (enam) tahun.
Perang ‘statement’ antara dua kubu yang pro dan kontra calon
perseorangan, antara daerah (Aceh) dan pusat, munculnya gerakan adu kekuatan berupa penggalangan massa,
ancaman menginternasionalisasi konflik dengan
mengadukan ke Uni Eropa, bahkan munculnya korban jiwa menjadi indikator jelas bahwa konflik (baru) terjadi kembali. Contoh ‘perang statement’ tersebut adalah mantan GAM mengatakan bahwa untuk kesekian kalinya pemerintah pusat melakukan kebohongan (seperti halnya pada konflik-konflik sebelumnya yang terjadi di Aceh- pra Gerakan Aceh Merdeka 1976) dan tidak berkomitmen terhadap kesepakatan damai MoU Helsinki. Disisi lain, pemerintah pusat menganggap DPRA (yang didominasi oleh mantan GAM) tidak menghormati konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mencermati siklus konfik yang rentan terjadi di wilayah bekas konflik, maka dibutuhkan proses negosiasi jika diantara pihak-pihak yang terlibat dalam mengisi perdamaian masih terjadi perbedaan yang berujung pada munculnya konflik baru. Pendekatan negosiasi secara tertutup dan rahasia menjadi salah satu solusinya.
31
1.4.3
'egosiasi dan Kekerasan Kekerasan baik yang terjadi secara nyata maupun sebagai sebuah
ancaman menjadikan alat yang efektif untuk mendatangkan kepatuhan. Pesan yang terkandung dalam di dalam ancaman berisi informasi yang lebih banyak mengenai konsekuensi yang akan terjadi
35
. Dengan kata lain, munculnya
kekerasan dan ancaman sebagai bagian dari bargaining dalam melakukan negosiasi. Mengutip pendapat Pilar dan Aggestam & J nsson, Kristine Hoglund mengatakan bahwa berakhirnya perang dapat dilihat sebagai proses tawarmenawar. Ada tiga hal yang dikemukakan oleh Hoglund tentang kekerasan dan negosiasi. Pertama, insiden kekerasan dapat mempengaruhi proses negosiasi. Tindakan kekerasan dapat menyebabkan salah satu pihak untuk menarik atau melanjutkan mendukung negosiasi. Misalnya, pada Juni 1992, Kongres Nasional Afrika (ANC) memutuskan hubungan resmi dengan pemerintah dalam menanggapi pembantaian ANC-pendukung di Boipatong di selatan Transvaal. Akibatnya, pembicaraan di Afrika Selatan hanya bisa dilanjutkan setelah keterlibatan PBB dan kekerasan tambahan. Kedua, kekerasan dapat mempengaruhi pihak yang sedang bernegosiasi. Bom yang meledak di kota Omagh, Co Tyrone, Irlandia Utara pada tanggal 15 Agustus 1998 dimana kelompok IRA mengakui bertanggung jawab atas serangan tersebut, memberikan ilustrasi contoh ketika kedua belah pihak bereaksi terhadap insiden kekerasan. Bom tersebut menewaskan 29 orang dari kedua komunitas. 35
Pruitt, D.G. dan Rubbin, J.Z, 2004, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal 122123.
32
Akibatnya kedua belah pihak bergabung untuk mengutuk serangan itu. Selain itu, Pemerintah Inggris dan Irlandia menanggapi pemboman tersebut sebagai langkah bersama untuk melawan terorisme. Ketiga, kekerasan dapat mempengaruhi keterlibatan aktor eksternal untuk negosiasi. Meskipun aktor eksternal mungkin tidak terlalu berpengaruh, namun pengaruh mereka secara tidak langsung dapat melemahkan atau memperkuat proses perdamaian dengan menarik atau meningkatkan dukungan untuk negosiasi36. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kekerasan didefiniskan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam kompleksitas motivasi manusia, Menurut T. Robert Gurr, seorang pakar resolusi konflik mengatakan bahwa para neurofisiologis menemukan dua sistem hasrat (appetitive system) besar sebagai pembentuk motivasi yang terjadi pada manusia. Pertama stimulasi yang menghasilkan perasaan gembira, kepuasan, dan cinta. Kedua, stimulasi yang menghasilkan sensasi kecemasan, teror, depresi, dan kemarahan. Perasaan-perasaan ini mewarnai persepsi manusia dan mendorong tindakan-tindakannya.
Frustasi yang dialami manusia kemungkinan akan
menimbulkan tindakan agresi. Hubungan frustasi-agresi menyebabkan terjadinya 36
Kristine Hoglund , 2001, “VIOLENCE — CATALYST OR OBSTACLE TO CONFLICT RESOLUTION? SEVEN PROPOSITIONS CONCERNING THE EFFECT OF VIOLENCE ON PEACE NEGOTIATIONS” , (diakses 3 Oktober 2012).
33
dinamika psikologis untuk hubungan antara intensitas deprivasi dan potensi bagi kekerasan kolektif. Deprivasi relatif (relative deprivation) menurut Gurr adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan ketegangan yang terjadi akibat suatu kesenjangan antara yang harus menjadi (ought) dan yang menjadi (is) dalam kepuasan nilai kolektif, dan yang mendorong manusia untuk melakukan kekerasan37. Dengan kata lain Gurr hendak mengatakan bahwa penyebab utama terjadinya kekerasan adalah karena ketidakpuasan. Sementara Johan Galtung menyimpulkan bahwa kekerasan adalah segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang
untuk
mengaktualisasikan
potensinya
secara
wajar.
Galtung
menambahkan bahwa penghalang itu adalah sesuatu yang dapat dihindarkan. Dengan kata lain, kekerasan dapat dihindarkan kalau penghalang itu disingkirkan38. Lebih detail lagi Johan Galtung (1981), mengelompokkan kekerasan menjadi empat bagian. 1.4.3.1 Kekerasan langsung (direct violence): Tindakan yang menyerang secara fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Dengan kata lain, kekerasan yang terjadi berupa kontak langsung antara pelaku
37
Thomas Susanto (ed), 2002, Teori-Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia dan Universitas Kristen Petra, hal. 64 dan 65.
38
Galtung, Johan, 1980, The True Worlds: A Transnational Perspective, New York, The Free Press, Hal 67, dikutip dari Bambang Suswanto, Sunyoto Usman, dan Lambang Trijono, dalam “Kerusuhan Sosial: Kasus Pemilihan Kepala Desa Sirau Purbalingga”. Program Studi Ketahanan Nasional Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Jurnal Sosiohumanika, nomer 3, Volume XIII, Tahun 2000. Hal, 546. (diakses 3 Februari 2012).
34
dan korban. Kekerasan ini meliputi pemusnahan etnis, kejahatan perang, pengusiran paksa, serta perkosaan dan penganiayaan. Kekerasan langsung mengancam HAM, khususnya hak untuk hidup. 1.4.3.2 Kekerasan tak langsung (indirect violence); Tindakan yang membahayakan manusia, bahkan sampai membunuh, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakat atau institusi) yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan tersebut. Dalam arti kekerasan yang terjadi melalui sebuah mendium, tidak secara langsung mengenai korban baik secara fisik maupun psikologis. Ada dua jenis kekerasan tak langsung. 1.
Kekerasan karena kelalaian (violence by ommision)
Yakni
kekerasan yang menyebabkan seseorang dalam bahaya dan tidak ada orang yang menolongnya. Jenis kekerasan ini meliputi kekerasan sosial (misalnya distribusi makanan yang tidak merata) dan ’kekerasan bisu’ (misalnya kelaparan). 2.
Kekerasan perantara (mediated violence). Yakni kekerasan yang merupakan hasil dari intervensi manusia secara sengaja terhadap lingkungan alam atau sosial yang membawa pengaruh secara tidak langsung pada manusia lain. Salah satu bentuk kekerasan mengganggu
perantara dan
yaitu ecocide (tindak perusakan
lingkungan
penghancuran, alam
karena
35
mengganggu kesehatan, menyebabkan manusia menderita dan sengsara. 1.4.3.3 Kekerasan mengekang
represif;
Kekerasan
kebebasan
hak-hak
yang
dilakukan
seseorang,
yang
dengan meliputi
pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk hidup dan hak untuk dilindungi dari kecelakaan. Kekerasan represif terkait dengan tiga hak dasar, yaitu hak sipil, hak politik dan hak sosial. 1.4.3.4 Kekerasan alienatif; Kekerasan yang mengakibatkan seseorang terasingkan dengan lingkungannya. Mencakup pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional, budaya atau intelektual. Jenis kekerasan ini penting untuk menegaskan bahwa keberadaan manusia juga membutuhkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan non-materi. Salah satu bentuk kekerasan ini adalah ethnocide, yaitu kebijakan atau tindakan yang betul-betul mengubah kondisi material atau sosial menjadi di bawah satu identitas kultural kelompok tertentu. 39 Analisa lain tentang kekerasan adalah dari Don R. Bowen dan Louis H. Masotti. Menurutnya kekerasan sipil (civil violence) adalah suatu kekerasan yang bertujuan untuk melakukan perlawanan secara langsung terhadap orang-orang, barang-barang yang merupakan simbol-simbol dari politik pemerintahan sipil.
39
Nugroho, Amar Benni, 2011, (diakses 8 Januari 2012).
36
Ada dua hal yang menjadi penyebab kekerasan sipil ini. Pertama, perasaan tidak puas antara apa yang diperoleh dengan apa yang dicita-citakan atau apa yang diharapkan tidak sesuai. Dengan kata lain, ada jarak atau perbedaan antara kenyataan dengan keinginan. Kedua,
adanya konflik kelompok yang
merupakan hasil dari perjuangan kelompok dalam masyarakat, sehingga menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Seperti etnis, ras, agama, pembagian wilayah, kepemimpinan dan sebagainya. Sikap saling menyerang satu sama lain merupakan cermin perbedaan sosial yang menimbulkan kekerasan sipil. Dengan adanya konflik antar kelompok, maka kekerasan menjadi semakin meningkat. Dan Penyebab yang mendasar kekerasan sipil adalah adanya pemerintahan yang kehilangan legitimasi. Kalaupun legitimasi itu masih ada, maka kekerasan sipil yang ada berupa kerusuhan sosial. Untuk menyelesaikan kekerasan sipil ini, pemerintah harus memiliki kapasitas sistem yang berhubungan dengan kemampuan untuk merespon kekerasan sipil ini dengan kekuatan melakukan perubahan 40.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada dua aspek. Pertama; dari sisi waktu, rentang
penelitian ini adalah 30 Desember 2010 sampai dengan 7 Maret 2012 atau 434 hari. Hal ini didasarkan pada waktu dikabulkannya calon perseorangan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 30 Desember 2010 hingga 7 Maret
40
Suswanto, Bambang (ett al), op cit, hal 548-549
37
2012 sebagai keputusan resmi KIP menetapkan pasangan dari Partai Aceh ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah Aceh 2012. Kedua; dari sisi cakupan, walaupun hasil keputusan MK dan Keputusan KIP berlaku untuk pemilihan kepala daerah untuk propinsi dan kabupaten kota/kota se Aceh, namun penelitian ini dibatasi hanya untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh.
1.6
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis dan metode deskriptif kualitatif yang
bertujuan menggambarkan realitas sosial yang kompleks dengan menerapkan konsep-konsep teori yang telah dikembangkan oleh ilmuwan sosial. 41 Dilihat dari segi pengumpulan data, penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian lapangan (field research) yang dilakukan dengan mengamati secara langsung terhadap gejala sosial yang diteliti dengan teknik sampel bertujuan (purposive sampel) dengan cara wawancara, dan mengkaji data sekunder berupa literatur seperti buku, makalah atau dokumen. Dalam penelitian ini teknik validitas data yang digunakan adalah teknik triangulasi. Teknik ini merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
41
Vrendeberght, 1979, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT Gramedia hal 34.
38
1.7
Kerangka Penulisan Bab I: Pendahuluan 1.1. Latar belakang 1.2. Rumusan masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori 1.5. Ruang Lingkup Penelitian 1.6. Metode penelitian Bab II: Kilas Balik Perdamaian Aceh 2.1. Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh 2.2. Pemilu Kada Aceh pertama pada masa Damai (2006) 2.3. Lahirnya Partai-Partai Lokal 2.4. Pemilihan Umum Legislatif & Presiden Tahun 2009 di Aceh Bab III: Urgensi Partisipasi Politik Partai Aceh pada Pilkada 2012 Bab IV: Dinamika 434 Hari : Dari Keputusan MK hinggaKeputusan KIP Menetapkan PA Ikut Pilkada Aceh 4.1 Setelah Partai Aceh Umumkan Calonnya 4.2 Konflik KIP dan Gubernur versus DPRA 4.3 Jakarta Turun Tangan 4.4 Tuntutan Hukum 4.5 Negosiasi 4.6 Dinamika Politik yang Begitu Cepat 4.7 Partai Aceh Akhirnya Mendaftar dan Lolos 4.8 Faktor Kekerasan yang Mengiringi 4.9 Institusi yang Terlibat
39
Bab V: Proses 'egosiasi Pilkada Aceh. - Proses Perubahan Sikap PA Pada Pilkada Aceh 2012 5.1 Masalah Internal 5.2 Negosiasi Formal 5.3 Negosiasi Informal 5.4 Jalur Hukum dan Fenomena Kekerasan BabVI: Penutup 5.1
“Insight” dan “Lessons Learned”
5.2
Up Date Pilkada Aceh
5.3
Rekomendasi
Daftar Pustaka Lampiran-Lampiran