HIDUP PENUH WARNA Dheean Reean
R
uben boleh berbangga hati, artikelnya mengenai profil Tantri bisa menjadi pemenang lomba. Tapi adakah yang tahu, bagaimana sulitnya problema hidup yang tengah dialami Tantri? Cewek-cewek kelas tiga fisik dua asyik membicarakan makhluk yang semangat latihan basket di depan kelas mereka. Tantri yang tengah sibuk dengan hitungan fisika mekanika sedikit terganggu juga. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Jika Bu Dahlia tidak mengajar, anak-anak yang lain lebih senang bercanda, bermain kartu atau kabur ke kantin. Tantri mengalihkan pandangannya keluar. Kelas tiga fisik satu tengah olahraga . Cowok yang heboh dibicarakan teman-temannya tak lain adalah Ruben, ketua mading yang simpatik keren dan ramah. Tidak heran kalau dia termasuk cowok idola di SMA Kusuma Bangsa. Banyak cewek-cewek yang mengharapkan bisa menjadi pacarnya. Tantri menekuni kembali pekerjaannya. Dia
tidak termasuk salah satu cewek-cewek itu. Mana ada tampang? keluhnya dalam hati. Rambutnya dipotong cepak. Bukan dia tomboy, tapi dia memang mempunyai masalah dengan rambutnya yang selalu rontok dan tipis. Tubuhnya yang mungil dan kurus, bukan karena kurang gizi, tapi keadaanlah yang memaksa dia bekerja menjadi pelayan di sebuah kafe kecil sepulang sekolah. Sepulang dia bekerja dia baru bisa belajar. Kemudian membantu Ibu menjahit sampai tengah malam. Karena kurang istirahat tubuhnya makin kurus. Belum lagi konsentrasi belajar yang semakin serius untuk menghadapi ujian akhir nanti. “Tri, kamu nyumbang cerpen lagi untuk wakilin kelas kita ya, ?” Dion, ketua kelasnya, mengganggu kesibukkannya. “Nggak bisa, yon. Maaf, saya nggak punya waktu.” “Kalau bukan kamu siapa lagi? Aku nggak enak sama Ruben nih! Masak cuma kelas kita yang nggak bisa nyumbang untuk mading minggu ini.”
Tantri menggigit-gigit pensilnya tanpa sadar. Dia jadi tak enak hati juga. Takut nanti Dion menuduh dia sudah tidak mau membuat cerpen lagi. Padahal bukan karena itu tapi kapan dia mempunyai waktu untuk membuat cerpen. Sekarang saja sejak Awi sakitsakitan, sisa waktu-nya digunakan untuk menggantikan kerja Ibunya membereskan jahitan yang belum selesai. “Sungguh, Yon, bukannya saya nggak mau. Tapi saya nggak sempat. Untuk minggu ini gimana kalau Wedha aja yang buat kartun? Minggu depan saya janji deh!” “Kamu pasti punya stok cerpen, kan? Udah deh kamu pakai aja salah satunya,” Dion manatap penuh harap. “Nggg, masih coret-coretan, masih berupa draft...” Tantri menunduk, menatap buku tulisnya yang lecek kehujanan kemarin. “Gimana kalau nannti sore aku ambil? biar nanti malam aku ketik. Soalnya, besok cerpen itu harus ada di meja redaksi.” “Tapi...” seketika Tantri panik. Dion bakal ke rumahnya dan dia akan tahu segala-galanya. Padahal selama ini dia sudah mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya. Bukan dia malu tapi dia takut temannya akan sulit menerima dia lagi sebagai temannya. SMA Kusuma Bangsa sudah terkenal sekolah yang paling bergengsi di kotanya. Sudah terkenal para muridnya serba kaya, pintar dan borju. Sebetulnya Tantri lebih suka memilih sekolah di negeri tapi pamannya yang punya saham di Yayasan Kusuma Bangsa memasukkan dia di sekolah itu. Karena segalanya sudah ditanggung pamannya, Ibunya menurut saja karena yang penting Tantri bisa sekolah dengan baik. “Gimana, Tri?” tanya Dion membuyarkan lamunannya. “Kamu pasti Nggak tahu rumah saya deh. Lagipula cerpen saya masih coret-coret, kamu mana bisa baca? Lebih baik kamu pakai saja kartunnya Wedha,” pintanya dengan wajah panik. Dion memandangnya serius. Entah seperti ada sesuatu yang disembunyikan Tantri. Sudah lama sebetulnya dia ingin berteman dekat dengan gadis itu tapi sepertinya Tantri tidak memerlukan kehadirannya. Tantri terlalu serius belajar. Waktunya betul-betul dipakai untuk belajar. Jauh berbeda dengan cewekcewek lainnya. Lihat saja! Tidak ada guru, bukannya dia ikut membicarakan Ruben tapi malah asyik menghitung pr fisika yang
ngejelimet itu. “Oke, tapi minggu besok cerpen kamu harus jadi lho !” lama-lama Dion tidak tega juga. Dilihatnya Tantri tersenyum manis dan mengangguk kuat-kuat. * Bubar sekolah dia buru-buru pulang. Kalau telat sedikit saja, Bu Mien pemilik kafe itu suka marah-marah. Katanya sih disiplin. Tantri terpaksa menurut saja. Statusnya kan cuma pelayan. Untunglah dia datang tepat pada waktunya. Setelah mengganti baju sekolahnya dengan seragam pelayan kafe, Tantri mengenakan celemeknya. Sebetulnya dia lelah sekali siang ini. Semalam dia harus bergadang karena harus menyelesaikan pesanan jahitan yang harus selesai hari ini juga. Sementara ibunya sibuk meladeni Awi yang merengek terus meminta perhatiannya. “Jangan melamun dong, Tri. Tuh, meja nomor tiga pesan pizza, coca cola dan sandwich isis sosis. Antarkan cepat!” perintah Mbak Lila yang baru datang dari depan. Dengan sigap Tantri melaksanakan perintah mbak Lila, kepala pelayan di kafe itu. Diangkatnya pizza yang sudah matang, diiris-irisnya seperdelapan bagian. Diisinya sandwich yang sudah diolesi margarin dengan sosis yang sudah digoreng, salad dan tomat. Kemudian diisinya dua gels ukuran sedang coca cola. Dibawa semua pesanan itu ke depan. Tiba-tiba langkahnya menjadi kaku ketika dilihatnya meja nomor tiga. Ya ampun… itu kan Dion dan Kishi! Dengan gemetar Tantri maju juga. Mencoba tersenyum dan menghidangkan makanan seperti biasanya. “Tantri, kok di sini?” tanya Dion dengan wajah terheran-heran. “Saya kerja di sini” jawabnya berusaha tenang. Mulut Kishi ternganga. Perubahan wajahnya terlihat jelas. Dia tidak membayangkan mempunyai teman sekelas jadi pelayan kafe. Seperti tidak kenal, Kishi melahap pizzanya. Tantri segera berlalu karena seorang ibu muda di sudut ruangan sudah tak sabar memanggilnya. Tantri bisa menduga kalau besok pagi kelasnya heboh dengan kata-kata Kishi yang menyakitkan serta tatapan sinis teman-teman ceweknya. Yang cowok kelihatnnya tidak begitu peduli. “Shi, berhenti! Kamu jangan menghina Tantri karena dia bekerja menjadi pelayan kafe. Seharusnya kamu malu, Tantri sudah lebih mandiri dari kita semua. Dia bisa nyari uang sendiri dengan bekerja.
Sedangkan kita? Ugh, paling-paling cuma bisa menghabiskan kartu debit dengan hal-hal yang tidak guna. Shopping, nonton, makan, nongkrong di kafe..” “Kamu membela dia, Yon?” Kishi kelihatan hampir kalap. Matanya yang bagus melotot ke arah Dion yang berdiri di depan pintu. “Ya. Lalu kenapa?” Dion dengan tenang balik bertanya. “Kita putus, Yon! Putus!” dengan geram Kishi keluar dari kelas. “Terserah,” Dion keluar juga dari kelas dengan wajah kesal. Tapi memilih arah yang berlawanan. Tantri berusaha mengejar Dion. Tantri tidak ingin gara-gara Dion hanya membelanya, hubungan mereka berantakan. “Yon, tunggu!” kejarnya. Dion menghentikan langakahnya dan ditunggunya gadis mungil itu berlari ke arahnya. “Tidak seharusnya kamu membela saya, Yon. Hanya gara-gara saya hubungan kamu dan Kishi jadi begitu. Yon, saya minta maaf....” “Apa-apaan sih kamu, Tri? Itu bukan salah kamu kok. Malah Kishi yang sudah keterlaluan. Hanya karena kamu kerja di kafe saja dia sudah begitu heboh. Padahal apa salahnya kamu kerja? Di luar negeri anak seusia kita sudah bisa kerja part time sepulang sekolah dan mereka tidak malu tapi kenapa di sini jadi aneh?” Dion geleng-geleng kepala tidak mengerti. “Iklim budaya kita berbeda dangan mereka, Yon. Kita masih malu kalau cuma kerja jadi pelayan. Itu yang menyebabkan pengangguran semakin bertambah,” lanjut Tantri dengan suaranya yang terdengar lembut dan tenang. Tanpa sadar Dion memperhatikan wajah manis itu dengan kagum. Mungkin karena keadaanlah yang membuat Tantri setenang itu. Dion kagum dan ingin sekali berteman dekat dengan gadis itu. “Hai, Yon!” sapa sebuah suara tiba-tiba. Serempak mereka menoleh. Sosok laki-laki jangkung dengan wajah simpatik dan keren tersenyum manis. Ruben, bisik Tantri dalam hati. “Ben, ini Tantri yang suka bikin cerpen. Kenalan dulu deh.” Ruben menyambut perkenalan itu dengan ramah. Sikapnya biasa saja ketika dilihatnya penampilan Tantri yang sederhana. Berbeda sekali dengan cewek-cewek lain yang sok borju. “Aku suka cerpen-cerpen kamu. Gimana kalau aku tawarin kamu jadi pengurus mading,” Ruben tersenyum. Keren. Tantri memandangnya terpana.
Pantas saja banyak cewek yang ngefans berat. “Saya tidak bisa,” Tantri melirik Dion. “Tantri bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe. Dia sudah tak punya waktu lagi,” Dion ikut menjelaskan. “Oya? kafe yang mana?” tanya Ruben tertarik. “Di basement Deli Plaza,” jawab Tantri gugup begitu tatapan Ruben menyergap. “Ooo,” tanggapan Ruben hanya itu. Kemudian dia dan Dion asyik bercakap-cakap seputar mading dan basket. Tantri pamit dan segera menuju kelasnya. * Hujan turun tanpa permisi. Tantri menetap langit dengan gelisah. Padahal lima menit lagi dia harus sudah sampai di kafe. Kalau tidak Mbak Lila pasti marah-marah. Dia ingin nekat berhujan-hujanan naik bis. Tapi bis yang ditunggu tidak juga muncul. Mana dia lupa membawa payung. Tantri makin gelisah. Makin tidak sabar. “Hai, Tri, nunggu bis yah?” sebuah suara dari dalam mobil Starlet yang berhenti tepat di depannya. Tantri menoleh. Ruben tengah memamerkan senyum manisnya. “Mau ikut?” tawaran manis. Tantri melirik jam tangan tuanya bingung. Tiga menit lagi… aduh, bingungnya! Tantri tidak sempat mikir apaapa lagi. Dia bergegas naik ke mobil Ruben bukan karena mumpung cowok itu mengajaknya tapi dia tidak ingin melihat wajah Mbak Lila yang menakutkan jika sedang marah. “Terima kasih, Ben,” Tantri bergegas turun. Ruben bukannya pergi malah ikut-ikutan turun. Tantri menghentikan langkahnya dan
bengong. “Aku lapar, boleh dong makan di kafemu,” katanya ringan. Tantri tidak bisa bicara apa-apa lagi. Dia berjalan cepat menuju kitchen cafe. “Dari mana saja sih kamu, kok telat?” suara Mbak Lila yang judes menyambutnya. “Maaf, Mbak, hujan,” jawab Tantri singkat. Dia melirik jam dinding dapur mencoba sabar. Cuma telat beberapa menit saja Mbak Lila marah-marah seperti itu. Apalagi jika dia bolos kerja. Tantri bergegas ke depan. Dilihatnya Ruben duduk di sudut kafe. Tanpa sadar Tantri memandangnya dari kejauhan. Rambut cepak Ruben yang terlihat basah seperti itu membuat Ruben bertambah keren dan gagah. “Pesan apa, Ben?” tanya Tantri dengan kertas pesanan dan pulpen di tangan. “Burger, pizza, Coca cola dan es krim cokelat, ada kan?” Tantri geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa Ruben memesan makanan sebanyak itu sedangkan badannya masih saja proposional. Tiga jam Tantri bolak-balik menerima, menyiapkan dan membawakan pesanan tersebut sementara Ruben belum mau pulang juga. Dia masih saja di sudut kafe tekun dengan buku-bukunya. “Kok belum pulang, Ben ?” tanya Tantri juga akhirnya. Penasaran. Setelah dilihatnya pengunjung mulai agak sepi dan Mbak Lila sudah pulang. Dia merasa bebas kini. “Mau lihat kamu kerja. Lagipula aku minta kamu ajarin kimia organik,” jawabnya dengan senyum termanis. “Kamu tidak akan usir aku, kan? aku pesan cappucino deh, krimnya sedikit saja, Tri.” Tantri hanya mengangguk. Dia tidak tahu bagaimana caranya agar Ruben mau pulang. Lagipula Ruben punya hak untuk berlama-lama di kafe seperti layaknya pengunjung lain. Kalau tidak sibuk Tantri datang ke mejanya untuk menerangkan kimia organik. Ruben mengangguk-angguk puas. Dia senang dengan cara Tantri menerangkan kimia organik. Jelas tidak berbelit-belit. “Harusnya kamu yang jadi guru kimia-nya, Tri. Bukan Pak Kun yang tidak bisa mengajar....” “Huss, kasian Pak Kun. Dia kan baru lulus IKIP kemarin mungkin kesulitan cara mengajar,” tutur Tantri lembut seraya mengambil cangkir yang telah kosong dari meja Ruben. Sampai jam lima Ruben masih di kafe. Tantri melepaskan celemek dan mengganti seragam
pelayannya dengan baju sekolahnya kembali. Dia keluar menemui Ruben. “Ben, kamu tidak ingat pulang, sudah jam berapa nih ?” “Lho, kan nunggu kamu selesai tugas. Aki ingin mengantarmu pulang,” suaranya masih terdengar ringan. Tantri menatap wajah Ruben seraya gelenggeleng kepala bingung. “Tidak usah, Ben. Aku biasa naik bus kok. Kamu pulang saja deh....” “Lho, kita kan bisa sama-sama. Kamu juga sudah mau pulang, kan?” Tantri tidak bisa berkata apaapa lagi. Dia lelah menghadapi tingkah Ruben yang aneh hari ini. Dibiarkan Ruben yang membukakan pintu mobil untuknya. Sungguh, Tantri tidak ingin berpikir macam-macam. Fisiknya sudah lelah terkuras untuk sekolah dan kerja. “Thank’s Ben. Lain kali kamu tak usah serepot ini.” Suaranya baru terdengar tegas. “Aku tidak repot kok. Aku malah senang karena kamu sudah membantu menjelaskan kimia organik. Thank’s juga ya, Tri!” Ruben melambaikan tangannya. Tantri masuk ke gang rumahnya tanpa ingin melepas kepergian Ruben lebih lama. * “Sudah berapa lama kamu kerja di sini ?” tanya Ruben begitu datang pada Minggu sore. Penampilannya terlihat keren dengan kaus polo putih dan jins. Tidak heran kalu sekelompok ABG yang duduk di tengah kafe memandanng Ruben sambil bisik-bisik dan tertawa riuh. Tantri hanya geleng-geleng kepala. Tantri mencatat secangkir kopi krim hangat dan pie strawberry di kertas pesanan di meja lain dengan bingung. Baru kali ini Ruben menanyakan banyak hal tentang pekerjaannya. “Kamu jangan mikir yang tidak-tidak, Tri. Aku hanya sekedar bertanya, apa tidak boleh?” Tanpa curiga Tantri menggeleng. “Bagaimana kamu bisa kerja di sini ?” lagi-lagi Ruben melontarkan pertanyaan ketika Tantri datang membawakan pesanannya. Tanpa terasa Tantri menjawab pertanyaan-pertanyaan Ruben. Sampai selesai waktu tugas, Ruben juga yang mengantarkannya pulang. * “Nih, kejutan buat lo!” Kishi tiba-tiba melempar koran sekolah edisi terbaru ke atas meja Tantri.
Setengah bingung, Tantri mengambil koran itu. Sesaat kemudian wajahnya pucat. Masyaallah, Ruben tega memuat kisahnya sebagai pelayan di kafe itu! Di halaman depan itu ada foto Tantri yang masih mengenakan seragam pelayan. Tantri tak mengerti bagaimana Ruben bisa memotretnya secara diam-diam. “Puas lo sekarang ya?” Kishi meliriknya tajam. Tantri tak berkata apa-apa. Dirobeknya koran itu dengan gemetar. Tantri tak menyangka Ruben yang disangkanya baik tega membuatnya malu seperti ini. “Lo kira pelayan kaya lo bisa menarik perhatian Ruben? Jangan mimpi lo!” kata-kata itu menusuk harga dirinya tapi Tantri mencoba berkepala dingin dan menerimanya dengan tabah. Dia pura-pura tak mendengar. Lalu duduk di bangkunya seraya sibuk mengeluarkan buku-buku dan alat-alat tulisnya dari tas ransel bututnya. “Tri, Dion berkelahi dengan Ruben di lapangan basket!” teriak Yosi yang baru datang. Tantri mengikuti Yosi ke lapangan basket. Gadis itu melihat Dion berkelahi dengan Ruben. Keduanya tidak mau saling mengalah. Sampai akhirnya Pak Gio, guru olahraga meleraikannya. Tantri mengobati wajah Dion yang terluka di UKS. “Seharusnya kau tak perlu membelaku, Yon,”tutur Tantri tenang. “Aku tidak rela Ruben menghinamu, Tri. Apa salahnya kau bekerja sebagai pelayan kafe.” “Mereka tidak sama cara berpikirnya denganmu, Yon. Sudahlah. Aku tidak peduli lagi,” Tantri menunduk. Dion memandang wajah lembut Tantri dengan rasa iba. Tiba-tiba saja dia ingin melindungi gadis itu. Ingin memberi apa saja asal gadis
yang di hadapannya bahagia. * Tak sengaja Tantri melihat sosok jangkung yang berdiri di depan kelas tiga fisik satu. Tantri menghindar, memutar, lewat jalan lain. Tapi sosok itu mengejar dan pelan menarik tangannya. “Tri, aku mau bicara.” “Maaf, saya buru-buru tugas piket,” dengan pelan juga Tantri mengibas tangan Ruben. Lalu pergi. Tapi Ruben masih terus membututinya hingga masuk ke kelasnya. “Ben, saya minta. Mumpung masih sepi lebih baik kamu keluar.” “Tri, biar aku jelaskan...” “Ben, jangan ganggu Tantri!” keduanya menoleh. Tantri melihat Dion sudah berdiri di depan pintu kelas. “Yon, aku hanya ingin meminta maaf,” suara Ruben terbata-bata. “Maksudku baik kok. Sungguh. Aku hanya mengangkat kisah Tantri sebagai gambaran bagaimana susahnya dia mencari uang untuk membantu meringankan beban keluarganya. Kau tahu, Yon, itu menimbulkan rasa simpatiku hingga aku tertarik unutk menjadikannya profil di koran kita bulan ini....” “Tapi kau tidak meminta izin Tantri sebelumnya kan?” “Aku takut Tantri menolaknya....” “Kau memang pengecut! Kau pikir kau sudah hebat apa” Dion menunjukkan kepalan tangannya. Tantri menggeleng. Menyuruh agar Dion tenang. Ruben tanpa berkata-kata lagi pergi. Sebelum perkelahian itu meletus lagi. “Saya pikir mungkin maksud Ruben baik. Dia hanya ingin menulis, memberi gambaran remaja yang baik menurut dia, agar yang lain bisa menilai masih ada anak seperti saya yang harus bekerja pontang-panting membantu meringankan beban Ibu.,” suara Tantri tersendat-sendat. Dion mengangkat wajah Tantri seraya menggeleng. “Tapi bagaiman tanggapan anak-anak yang lain. Mereka malah mencemoohkan kamu, Tri. Karena mereka selalu hidup berkecukupan atau mungkin berlebihan. Mereka mana mau mengerti kesulitanmu, Tri.” “Tapi toh maksud Ruben tetap baik. Walau dia tidak berharap hasilnya seperti itu. Tapi saya rasa dia telah mencoba.” Dion memandangnya lurus. Dengan pandangan kagum yang terlihat jelas.
“Kau berjiwa besar, Tri. Aku salut!” Tantri hanya melemparkan senyumannya. Walau terasa pahit. Karena dia sadar, keadaanlah yang membuat dia menerima semuanya dengan lapang dada. * Tidak ada yang tahu bagaiman sulitnya problem keluarga Tantri ketika usai mereka melaksanakan ulangan umum semester lima. Walau Ruben boleh berbangga hati artikel mengenai profil Tantri menjadi juara kedua penulisan artikel majalah sekolah se-SMA. Tapi di tengah kebahagiaan seperti itu, Tantri justru menerima kesulitan terbesar dalam hidupnya. Pun ketika anak-anak kelas tiga fisik dua dengan dada berdebar menunggu hasil rapot mereka. Tidak ada yang tahu bagaimana cemasnya Tantri memikirkan Awi, saudara satu-satunya yang terkena penyakit hepatitis. Awi memang harus dirawat di rumah sakit. Untuk itu diperlukan banyak biaya. Ibu Tantri tidak sanggup membayar biaya rumah sakit yang terlalu tinggi. Tabungan Tantri hasil bekerja menjadi pelayan di kafe amat sangat tidak mencukupi. Tantri pasrah jika jiwa Awi tak tertolong karena mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Pamannya tak mau menolong mereka lagi karena hasutan istrinya yang memang dari dulu tidak menyukai mereka. Bapak Tantri telah meninggal ketika Awi baru lahir beberapa bulan. Bapaknya seorang perantau dari tanah Jawa yanga ingin mencari pengalaman di Sumatera Utara ini. Tak lama kemudian adiknya menyusul tapi kehidupan mereka jauh berbeda. Ketika Bu Dahlia mengumumkan nilai tertinggi di kelas tiga fisik dua, Tantri tak tampil di depan kelas. “Mengapa Tantri tak datang?” tanya Bu Dahlia cemas. “Ada yang tahu rumah Tantri? Bagaimana Dion, kamu tahu?” Dengan lesu Dion menggeleng. “Tapi rasanya ada anak kelas lain mengetahui rumah Tantri. Dia Ruben, Bu.” * Berita itu tersebar ketika semua kelas larut dalam kegembiraan Class-Meeting. Adik Tantri meninggal! Bu Dahlia, Pak Kun, Pak Gio, Ruben, Dion, Kishi Yosi dan perwakialan Osis melayat ke rumahnya. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau kehidupan Tantri amat sederhana. Pelan-pelan penyesalan menyelimuti batin Ki-
shi kala dia melihat tatapan kosong Tantri dan Ibunya. Juga kondisi rumah mereka yang amat menyedihkan. Tanpa ragu lagi Dion menarik tubuh ringkih ke dalam pelukannya. Di dadanya yang bidang, Tantri menangis tersedu-sedu. “Saya hanya punya Ibu, Yon. Saya tak punya siapa-siapa lagi” “Huss, jangan gitu. Kamu masih punya kawan-kawan,” Dion membelai rambut Tantri penuh perasaan. ”Dan.. kamu masih punya aku.” Tantri tak menanggapi apa-apa. Pikirannya masih kacau. Diterimanya semua jabatan tangan para tetanggga yang melayat dengan perasaan hampa. “Tri, maafkan aku,” Kishi datang memeluknya. Tantri hanya mengangguk. Diterimanya pelukan Kishi dengan hangat. “Tri, kamu juara satu, selamat!” Bu Dahlia menggenggam tangannya erat. Seperti memberi kekuatan. Tantri mengangguk seraya melihat nilai-nilainya. Giliran terakhir, Ruben mendekatinya sambil mengulurkan tangan. “Tri, semoga kamu tabah menerima cobaan ini. Aku yakin kamu kuat karena kamu gadis paling tabah yang kukenal. Kamu mau kan menerimaku menjadi temanmu kembali, kan?” Tanpa ragu Tantri mengangguk. Ruben memandangnya denngan tarikan napas lega. Bapak dan Awi telah meninggalkannya dan kini dia hanya memiliki Ibu, satu-satu miliknya yang amat berharga di dunia ini. Tapi Tantri tahu, dia memiliki sahabat-sahabat yang akan mewarnai hari-harinya esok. Karena tanpa mereka, hidupnya tak akan berwarna. ***