BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan globalisasi saat ini telah membawa bangsa Indonesia dalam free market dan free competition. Dengan adanya free market dan free competition serta untuk memperlancar dan menyehatkannya, maka bangsabangsa di dunia menyusun multinational agreement dengan tujuan mewujudkan ekonomi yang mampu mendukung perkembangan perdagangan internasional yang bebas. Dengan adanya perkembangan kegiatan ekonomi dan bisnis, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute) antar pihak yang terlibat. 5 Suatu sengketa muncul diantara para pihak sejak salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban tersebut, tentunya menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Adanya kerugian ini tentunya dapat menimbulkan sengketa diantara para pihak. Dapat terjadi salah satu pihak berargumen prestasi yang seharunya dipenuhi tidak dapat dijalankan di sebabkan adanya faktor yang tidak terduga atau dengan berbagai macam alasan lainnya. Argumen ini tentunya tidak dapat diterima oleh pihak lainnnya yang menderita kerugian dan tetap memaksakan pihak yang tidak menjalankan kewajibannya untuk sesegera mungkin melaksanakan kewajibannya. Adanya paksaan tentu tidak begitu saja diterima oleh salah satu pihak sehingga keadaan ini kemudian berubah menjadi sengketa diantara para pihak karena masingmasing pihak menganggap dirinya yang benar dan pihak lainnya yang bersalah. 6 Suatu sengketa dapat terjadi dengan berdasarkan hubungan hukum diantara para pihak dan dapat juga terjadi tidak berdasarkan adanya hubungan hukum diantara para pihak. Sengketa yang terjadi dengan tidak berdasarkan
5
Suyud Margono, 2004, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 12 6 M. Husseyn Umar, 1995, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, Jakarta.
2
adanya hubungan hukum diantara para pihak disebabkan oleh adanya perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum tentu dapat menimbulkan sengketa yang disebabkan adanya kerugian yang diderita salah satu pihak. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mendefinisikan perbuatan melawan hukum yaitu tiap perbuatan melanggar hukum dan membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena salahnya untuk mengganti kerugian tersebut. 7 Para pihak dalam membuat kontrak atau perjanjian diberi kebebasan untuk memilih baik hukum maupun forum penyelesaian bila terjadi sengketa. Mengenai tempat atau forum penyelesaian sengketa para pihak diberi kebebasan untuk memilih forum pengadilan atau forum diluar pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terdapat didalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata). Proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama adalah melalui proses litigasi di pengadilan. Lembaga pengadilan sebagai peradilan umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya 8dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan yang masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. 9 Proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di pengadilan. cenderung menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak reponsif, time consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum. 10 Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum
7
Ibid Erman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, PT. Tatanusa, Jakarta, hlm. 115 9 Lihat Rachmadi Usman, 2002, Hukum Arbitrase Nasional, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 11 10 Frans Hendra Winarta, 2013, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9 8
3
remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil. 11 Oleh karena beberapa kekurangan itu, sebagian orang cenderung lebih memilih penyelesaian sengketa diluar pengadilan diantaranya Arbitrase. Dalam penyelesaian sengketa melalui Arbitrase, prinsip pengambilan keputusan didasarkan pada kepatutan dan keadilan. Hal ini yang juga membedakan arbitrsae dengan lembaga pengadilan yang dalam memeriksa, mengadili dan memberikan putusannya lebih didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku (what is the law). Keadaan demikian ini membawa konsekuensi pada diri pribadi para pihak. Artinya, pemberian putusan yang didasarkan pada hukum semata akan menghasilkan pihak yang kalah dan menang (win-lose). Sementara itu pemutusan yang didasarkan pada prinsip keadilan dan kepatutan serta dengan melihat pada kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa akan menghasilkan putusan yang bersifat win-win solution. 12 Pilihan forum arbitrase baru berkembang di Indonesia setelah adanya pemerintahan Hindia Belanda. Perkembangan pilihan forum ini diawali dengan dikeluarkannya peraturan didalam Hukum Acara Perdata atau Reglement op de Rechtsvordering/Rv Pasal 615 sampai dengan Pasal 651, didalam HIR (HIR /Het Herziene Indonesisch Reglement)/Reglemen Indonesia yang diperbaharui Pasal 377
dan Pasal 705 Berita Acara untuk Luar Jawa dan Madura (Reglement op de Buitengewesten/RGB). 13 Ditahun
1999,
Pemerintah
Negara
Republik
Indonesia
dibawah
Pemerintahan Presiden BJ Habibie telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan perdagangan internasional. 14 11
Suyud Margono, Loc.cit. Suleman Batubara, Orinton Purba, 2013, Arbitrase Internasional, Penyelesaian Sengketa Investasi Asing, Melalui ICSID, UNCITRAL, dan SIAC, Raih Asa Sukses, Depok, hlm. 25 13 Mutiara Hikmah, 2008, Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, volume 5, nomor 2, Januari, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, hlm. 320-321. 14 Suyud Margono, Op.cit., hlm. 114 12
4
Pasal 82 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa pada saat undang-undang baru ini mulai berlaku, semua peraturan tentang arbitrase yang lama yang termaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglement op de (Burgerlijke) Rechtsvordering atau disingkat dengan nama Rv, di Indonesia ini, dan juga Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbarui (HIR) serta Pasal 705 Berita Acara untuk luar Jawa dan Madura (Reglement op de Buitengewesten yang disingkat dengan nama RBg) dinyatakan tidak berlaku. 15 Undang-undang tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa diluar forum pengadilan, dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat diantara para pihak, dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak. Suatu forum yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa. 16 Hal ini dikarenakan dalam litigasi dihadapan pengadilan terjadi pertikaian dan pertarungan tanpa ada bantuan dari pihak lain untuk mencapai suatu permufakatan sedangkan didalam arbitrase kita lihat para pihak berargumentasi dihadapan pihak ketiga yang akan memberikan putusan sebagai hakim partikulir. 17 Berdasarkan Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara terpisah oleh para pihak yang bersengketa. 18Sebagai konsekuensinya, maka bersifat sukarela dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya yang bersengketa. Walaupun demikian, sebagai bentuk perjanjian kesepakatan yang
15
Gunawan Widjaja dan Michael Adrian, 2008, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Peran Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Oleh Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.2 16 Gunawan Widjaja, 2001, Seri Hukum Bisnis, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 99. 17 Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase (Kearah Hukum Arbitrase Indonesia Yang Baru, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.12 18 Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 Tahun 1999, LN.No.138 Tahun 1999, TLN. No.3872
5
telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum di luar pengadilan harus ditaati oleh para pihak. 19 Peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Sedangkan arbitrase selain tidak mengenal struktur kelembagaan yang berjenjang semacam pengadilan, arbitrase juga bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, 20melainkan lembaga volunteer yang dipilih dan ditunjuk berdasar kesepakatan para pihak apabila mereka menghendaki penyelesaian persengketaan yang timbul diantara mereka diputus oleh seorang atau beberapa orang arbiter yang akan bertindak sebagai pemutus yang tidak memihak. Namun meskipun yang bertindak menyelesaikan persengketaan terdiri dari arbiter yang dipilih dan ditunjuk para pihak, putusan yang dijatuhkan bersifat final dan binding (tingkat terakhir dan mengikat) kepada mereka. 21 Ditinjau dari segi penunjukan arbiter yang akan duduk menjalankan fungsi dan kewenangan arbitrase, memperlihatkan kedudukan dan keberadaannya tiada lain daripada badan swasta atau privat. Arbitrase bukan badan kekuasaan peradilan (judicial power) resmi yang sengaja didirikan oleh kekuasaan negara berdasarkan konstitusi ketatanegaraan dari negara yang bersangkutan. Oleh karena arbitrase bukan badan peradilan resmi, menyebabkan lazimnya disebut sebagai “juru pisah persengketaan”. Seolah-olah dalam menjalankan fungsi dan kewenangan memutus sengketa, bukan mengadili, tapi lebih mirip menyelesaikan perselisihan. 22 Proses Arbitrase tidak akan dapat berjalan dengan sempurna jika tidak didukung atau dibantu oleh Badan Peradilan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mencantumkan peranan pengadilan di Indonesia untuk memperkuat proses 19
Rahayu Hartini, 2009, Penyelesaikan Sengketa Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana, Jakarta, hlm.2 20 Erman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan, PT. Tatanusa, Jakarta, hlm. 115 21 M. Yahya Harahap, 1991, Arbitrase :Ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre For The Settlement of Investment Disputes (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1991, Pustaka Kartini, Jakarta, hlm. 123 22 M. Yahya Harahap, 2006, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 83
6
arbitrase sejak awal sampai dengan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut. Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Ayat (2) Pasal ini menyatakan, Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan didalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. 23 Campur tangan pengadilan dalam hal-hal tertentu tersebut adalah diperkenankan
sepanjang
tindakan
tersebut
untuk
memperlancar
proses
arbitrase, 24dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase, 25kemudian pada saat pelaksanaan putusan arbitrase, dan apabila putusan arbitrase telah diambil berdasarkan salah satu hal-hal berikut ini: pertama, putusan tidak sesuai dengan perjanjian, kedua, putusan dijatuhkan berdasarkan dokumen palsu, ketiga, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan pihak lawan; keempat, putusan diambil dari hasil tipu muslihat (Pasal 70). 26 Dengan demikian, peranan pengadilan dalam keseluruhan proses arbitrase menunjukkan bahwa pengadilan hanya menunjang proses arbitrase tersebut, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip independensi dari arbitrase itu sendiri. 27 Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa apabila terdapat suatu sengketa yang terdapat klausul arbitrase dan para pihak membawanya ke Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Negeri harus secara jabatan (ambtshalve) menyatakan diri tidak berwenang. Jadi tidak perlu pihak tergugat mengajukan
23
Erman Rajagukguk, 2000, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, hlm. 9 24 Ibid, hlm. 30 25 Erman Rajagukguk, Loc.cit. 26 Ibid, hlm. 30 27 Gunawan Widjaja dan Michael Adrian, Op.cit.,hlm.3
7
suatu eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan. Pengadilan atas inisiatif sendiri pun karena jabatan dapat menyatakan tidak berwenang. 28 Dengan demikian, pengadilan tidak berwenang untuk mencampuri suatu sengketa bilamana dicantumkan sebuah klausula arbitrase dalam suatu kontrak. Tujuan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan menjadi sia-sia manakala pengadilan masih bersedia memeriksa sengketa yang sejak semula disepakati diselesaikan melalui arbitrase. Bilamana salah satu pihak sudah terlanjur menyerahkan sengketanya ke pengadilan, maka pengadilan negeri berdasarkan permohonan pihak lain harus menolaknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 diatas. Penyelesaian sengketa sendiri dapat dimulai setiap saat. Mulai dari saat sengketa itu timbul sampai pada saat sebelum arbiter memberikan keputusannya. Dengan adanya ketentuan Pasal tersebut, kompetensi absolute arbitrase lahir ketika para pihak membuat perjanjian dengan tegas bahwa mereka menyelesaikan perselisihan mereka melalui forum arbitrase, sehingga, pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut, 29 Berkaitan dengan hal diatas, berikut ini terdapat putusan peradilan umum yang menggambarkan tentang kompetensi hakim pengadilan negeri dalam kaitannya dengan klausula arbitrase. Putusan ini adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 862 K/Pdt/2013 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 10/Pdt.G/2010/PNJktPst. Dalam kasus antara Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dkk (Para Penggugat) melawan PT. Berkah Karya Bersama dan PT. Sarana Rekatama Dinamika (Para Tergugat) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, didalam eksepsinya PT. Berkah Karya Bersama menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kompetensi absolute karena perkara tersebut merupakan sengketa pelaksanaan Investment Agreement yang mengandung klausula arbitrase yang tegas 30. Pada Putusan Sela di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara lain disebutkan hakim menolak eksepsi kompetensi 28
Sudargo Gautama, 1999, Undang-Undang Arbitrase Baru, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, hlm. 15 29 Ridwan Khairandy, Kompetensi Absolut Dalam Penyelesaian Sengketa di Perusahaan Joint Venture, Jurnal Hukum Bisnis, volume 26 nomor 4 tahun 2007, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hlm. 45 30 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862K/Pdt/2013,hlm.15
8
absolute dari PT. Berkah Karya Bersama dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara tersebut 31 kemudian pada tingkat banding,
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
Pusat
dengan
Putusan
Nomor
629/Pdt/2011/PT DKI telah membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut. 32Selanjutnya Ny.Siti Hardiyanti Rukmana dkk (Pemohon kasasi) mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dengan menyatakan keberatan dan tidak sependapat dengan pertimbangan-pertimbangan hukum dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 629/Pdt/2011/PT DKI karena telah salah menerapkan hukum dan melanggar hukum dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut. 33Berdasarkan permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana
dkk.
Dalam
pertimbangannya
Mahkamah
Agung
menyatakan bahwa alasan-alasan kasasi dapat dibenarkan, Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah salah menerapkan hukum. Mahkamah Agung memutuskan
membatalkan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
Nomor
629/Pdt/2011/PT DKI. Dengan demikian dalam kasus sengketa antara Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dkk (Pemohon Kasasi) melawan PT. Berkah Karya Bersama dan PT. Sarana Rekatama Dinamika (Termohon Kasasi), Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah dikuatkan dalam Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dalam putusan Nomor 862K/Pdt/2013. Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan kasasi dari Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dkk, meskipun adanya klausul Arbitrase yang menyatakan untuk penyelesaian sengketanya diselesaikan melalui BANI. Selanjutnya PT. Berkah Karya Bersama mengajukan permohonan arbitrase ke BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) terhadap Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dkk dengan dalil Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dkk (Para Termohon) telah wanprestasi dengan mengingkari dalam Investment Agreement tertanggal 23 31
Ibid.,hlm.77 Ibid, hlm.80 33 Ibid, hlm. 82 32
9
Agustus 2002 dan Supplemental Agreement tertanggal 7 Februari 2003. Kemudian didalam Invesment Agreement telah diatur dan disepakati oleh Para Pihak bahwa segala sengketa yang timbul akan diselesaikan melalui arbitrase, hal ini sebagaimana diatur dalam kesepakatan diantara Para Pihak dalam ketentuan Pasal 13.2-13.4 Investment Agreement. 34Atas permohonan tersebut BANI dalam putusan BANI nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 mengabulkan permohonan dari PT. Berkah Karya Bersama. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mengkaji lebih lanjut kewenangan peradilan umum dalam memeriksa dan memutus sengketa yang terdapat klausul arbitrase dalam putusan Mahkamah Agung serta perbedaan antara putusan Mahkamah Agung dan Putusan Badan Arbitrase Nasional (BANI) berkaitan dengan kepemilikan saham di PT. CTPI.
B. Rumusan Permasalahan Penelitian Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang masalah penelitian tersebut diatas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah Mahkamah Agung memiliki kewenangan dalam memutus suatu perkara dimana dalam perkara tersebut sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya? 2. Mengapa Putusan Mahkamah Agung dengan Putusan BANI berbeda berkaitan dengan kepemilikan saham di PT. CTPI?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengkaji kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus suatu perkara dimana dalam perkara tersebut sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya 2. Untuk mengkaji perbedaan antara putusan Mahkamah Agung dan Putusan BANI berkaitan dengan kepemilikan saham di PT. CTPI 34
Putusan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013, hlm. 6
10
D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang teoritis maupun praktis, yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus sengketa yang terdapat klausul arbitrase. b. Memperkaya khasanah dan koleksi hasil penelitian dalam ilmu hukum yang dapat bermanfaat bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini secara praktis dapat dijadikan sebagai sarana bagi Penulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus sengketa yang terdapat klausul arbitrase beserta perbedaan antara Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berkaitan dengan kepemilikan saham PT.CTPI b. Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan masukan bagi para hakim berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus sengketa yang terdapat klausul arbitrase. c. Dalam bidang praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para praktisi hukum dan para pencari keadilan dalam rangka menemukan kepastian hukum dibidang arbitrase.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran data sekunder, belum pernah ditemukan penelitian sebelumnya dengan judul seperti ini, namun demikian terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang topiknya mirip dengan penelitian ini yaitu:
11
1. Penelitian yang dilakukan oleh Thio Yonatan (2011) 35 dengan judul Sengketa Kepemilikan Saham Berdasarkan Keabsahan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas (PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia). Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Permasalahan yang dikaji dalam penelitiannya yaitu tentang 1) Bagaimanakah kedudukan hukum Surat Kuasa mutlak yang tidak dapat dicabut kembali dihubungkan dengan adanya perjanjian induk (Surat Kuasa yang tidak berdiri sendiri) dan tanpa adanya perjanjian induk (Surat Kuasa yang berdiri sendiri)?, 2) Bagaimanakah keabsahan dari RUPS tanggal 18 Maret 2005 yang dilaksanakan berdasarkan Surat Kuasa Mutlak tersebut?, 3) Bagaimanakah akibat hukum dari dibatalkannya salah satu akta tersebut terhadap perseroan atau terhadap pemegang saham yang dinyatakan sah sebagai pemegang saham yang berhak mengadakan RUPS? Dari hasil penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa: Kuasa mutlak bukanlah suatu istilah hukum, akan tetapi istilah tersebut yang digunakan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret 1982 tentang larangan penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah. Menurut instruksi tersebut, Kuasa Mutlak memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu: a. Obyek dari kuasa tersebut adalah hak atas tanah; b. Kuasa yang mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali; c. Kuasa tersebut merupakan pemindahan hak atas tanah, karena isinya memberikan kewenangan kepada Penerima Kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanah serta melakukan segala perbuatan yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya. Kuasa Mutlak dilarang, dikarenakan Kuasa Mutlak tujuannya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak secara terselubung, diluar prosedur yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga kausanya 35
Thio Yonatan, 2011, Sengketa Kepemilikan Saham Berdasarkan Keabsahan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas (PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia),Tesis Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Depok.
12
terlarang (Pasal 39 huruf d PP No. 24 Tahun 1997), dan karena itu menjadi batal demi hukum. Kuasa Mutlak mengandung kausa yang terlarang yang substansi kuasa tersebut yang terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1335 jo 1337 BW. Sejak Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 penggunaan istilah Kuasa Mutlak yang dimaksud, tidak pernah dipergunakan lagi. Kuasa Mutlak yang obyeknya tanah akan berakhir karena 2 (dua) alasan: a. Kuasa tersebut telah selesai dilaksanakan b. Jangka waktu kuasa habis Investment Agreement adalah bukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Investment Agreement adalah suatu perikatan yang obyeknya bukan tanah. Dikarenakan obyeknya bukan hak atas tanah, dimana bukan untuk melindungi pembeli hak atas tanah yang beritikad baik. Maka Surat Kuasa tanggal 3 Juni 2003 dapat dicabut, dengan alasan: a. Sepanjang Pemberi Kuasa menghendakinya dan untuk itu ada alasan untuk mencabutnya; b. Pasal 1797 BW, Penerima Kuasa tidak dapat melakukan tindakan yang diluar dari apa yang telah diberikan. Perbedaan penelitan yang dilakukan dalam tesis ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Thio Yonatan (2011) adalah pokok permasalahan yang diteliti. Permasalahan dalam tesis ini adalah 1) Apakah Mahkamah Agung memiliki kewenangan dalam memutus suatu perkara dimana dalam perkara tersebut sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya? 2) Mengapa Putusan Mahkamah Agung dengan Putusan BANI berbeda berkaitan dengan kepemilikan saham di PT. CTPI?
2. Penelitian yang dilakukan oleh Jufri (2009) dengan judul Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisa Hukum Islam terhadap Kewenangan Peradilan Agama, Peradilan Umum dan Badan Arbitrase Nasional). Tesis, Magister Hukum, Universitas Gadjah Mada.
13
Permasalahan yang dikaji dalam penelitiannya yaitu tentang: 361) Bagaimanakah kewenangan Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase?, 2) Bagaimana kewenangan Peradilan Agama, Peradilan Umum & Dewan Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa
perbankan syariah
ditinjau dari Hukum Islam?, 3) Bagaimana kaitan penentuan klausula perjanjian perbankan syariah dengan azas kebebasan berkontrak menurut Hukum Islam? Dari
hasil
penelitiannya
diperoleh
kesimpulan
bahwa:
1)
Kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah pada Peradilan Agama. Hal ini didasarkan kepada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah (Nomor 4) dan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). 2) Kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah kewenangan Peradilan Agama dan Badan Arbitrase Syariah Nasional, yang dalam melaksanakan tugas penyelesaian sengketa perbankan syariah menggunakan Hukum Islam sebagai landasan hukum formil dan materilnya, sesuai dengan landasan filosofis dan prinsip perbankan syariah, 3) Penentuan klausula penyelesaian sengketa dalam perjanjian oleh perbankan syariah baik yang bersifat tertulis atau bersifat baku, memberikan jaminan perlindungan sesuai konsep kebebasan berkontrak
dalam
Hukum
Islam
yang
bertujuan
melindungi:
1).
Kepentingan-kepentingan individual (fardiyah), 2). Kolektif (Ijtimiyah), 3). 36
Jufri, 2009, Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisa Hukum Islam terhadap Kewenangan Peradilan Agama, Peradilan Umum dan Badan Arbitrase Nasional), Tesis, Magister Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14
Kepentingan negara (dusturiyah) serta 4). Agama (diniyah) yang akan menuntun kepada keselarasan atau keseimbangan dan keserasian untuk menghasilkan kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Perbedaan penelitan yang dilakukan dalam tesis ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Jufri (2009) adalah pokok permasalahan yang diteliti. Permasalahan dalam tesis ini adalah 1) Apakah Mahkamah Agung memiliki kewenangan dalam memutus suatu perkara dimana dalam perkara tersebut sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya? 2) Mengapa Putusan Mahkamah Agung dengan Putusan BANI berbeda berkaitan dengan kepemilikan saham di PT. CTPI