BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Memperhatikan konteks nasional mengenai bentuk negara yang ada,
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.508 1 pulau dengan luas wilayah perairan laut lebih dari 75 % dan panjang garis pantai mencapai 81.000 km. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara berkelanjutan merupakan bagian penting dalam strategi pembangunan untuk meningkatkan daya saing nasional. 2 Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km2 dan luas perairan laut kurang lebih 7,9 juta km2. Sebanyak 22 persen dari total penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir. Ini berarti bahwa daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan, budidaya perikanan (aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan sebagainya. Seperti diketahui bahwa secara biologis wilayah pesisir merupakan lingkungan bahari yang paling produktif dengan sumber daya maritim utamanya 1
Pada beberapa buku yang membahas masalah kelautan seperti Mochtar kusumaatmaja dalam bukunya Hukum Laut Internasional menyatakan jumlah pulau-pulau Indonesia 13.000 pulau, Rokhman Dahuri dalam bukunya Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia menyatakan 17.000 dan Mukhtasor dalam bukunya Pencemaran Pesisir dan Laut menyatakan 17.500 pulau, sedangkan Melda Kamil dalam bukunya, Hukum Internasional Hukum yang Hidup, menuliskan 17.504 pulau. Namun berdasarkan penelitian terakhir tentang pemukhtahiran data terbaru total jumlah pulau dan yang dipertegas dalam penjelasan undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia menjelaskan bahwa “dalam wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang 17.508 pulau yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”, sehingga disini penulis menggunakan jumlah 17.508 pulau sebagai sebagai dasar dalam menyatakan jumlah seluruh pulau besar dan kecil yang ada di Indonesia. 2 Mukhtasor, Pencemaran Pesisir dan Laut, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2007), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea grass beds), estuaria, daerah pasang surut dan laut lepas serta sumber daya yang tak dapat diperbaharui lainnya seperti minyak bumi dan gas alam. 3 Wilayah pesisir sebagai sebuah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut 4 dan pulau kecil 5 sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya 6 mestilah dikelola secara berkelanjutan sebagai bagian penting dalam strategi pembangunan untuk meningkatkan daya saing nasional, dalam usaha pengelolaan pesisir dan laut, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik Indonesia tahun 2001 mengidentifikasi tiga persoalan pokok, yaitu : (1) persoalan sosial ekonomi, (2) persoalan kelembagaan, (3) persoalan fisik 7 dan (4) persoalan hukum akibat konflik kewenangan dan kepemilikan wilayah pesisir dan laut serta ketidakpastian/ tumpang tindih pengaturan di bidang hukum 8 . Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
3
Asrul Pramudya, Kajian Pengelolaan Daratan Pesisir Berbasis Zonasi di Provinsi Jambi, (Semarang : Tesis Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil Universitas Diponegoro, 2008), hal. 1-2. 4 Pasal 1 Angka 2, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWPPK). 5 Definisi pulau kecil ini juga ditemui dalam pasal 121 ayat 2 KHL, dimana pulau didefinisikan sebagai massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul diatas air pasang. Sedangkan definisi dari UNESCO (1991) menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas area kuarang dari 2000 km². 6 Pasal 1 Angka 3, UUPWPPK. 7 Mukhtasor, Loc. Cit. 8 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 9 untuk itulah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UUPWPPK) sebagai sebuah lex specialis dalam pengelolaan dan perlindungan wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Selain UUPWPPK tersebut terdapat juga peraturan perundang-undangan lainnya yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau kecil yang nantinya akan dibahas pada bab selanjutnya. Isu-isu pokok utama di kawasan pantai adalah pertumbuhan penduduk yang cukup pesat yang cenderung tinggal dan beraktivitas di kawasan pantai. Sebagai tempat yang strategis pantai dimanfaatkan untuk berbagai hal berupa eksploitasi sumber daya perikanan, kehutanan, minyak, gas, tambang dan air tanah dan lain-lain. Pantai sebagai daerah wisata, konservasi dan proteksi biodiversiti. Pantai digunakan pula sebagai tempat perkembangan dan peningkatan infrastruktur antara lain berupa transportasi, pelabuhan, bandara yang kesemuanya untuk memenuhi peningkatan penduduk. 10 Adapun isu lainnya yang berkenaan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil adalah mengenai adanya pembagian kewenangan daerah di wilayah laut dan pesisir pasca dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
9 10
Penjelasan I.Umum, 1. Dasar Pemikiran, UUPWPPK. Asrul Pramudya, Op.Cit., hal. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Daerah,
meliputi pembagian kewenangan pesisir dan laut yang
meliputi 11 : 1. Perairan kepulauan dalam kewenangan provinsi 2. Perairan kepulauan dalam kewenangan kabupaten/kota. 3. sedangkan perairan kepulauan lintas provinsi dan kawasan strategis nasional tertentu merupakan kewenangan pusat 12 Daerah yang memiliki wilayah laut diberi kewenangan mengelola sumber daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundangundangan 13 sehingga daerah juga berhak melakukan pembangunan sampai dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati dan non hayati di sepanjang pesisir pantai sampai ke wilayah laut mereka. Namun dengan adanya pemberian wewenang ini juga akan membawa suatu konsekuensi negatif terhadap wilayah pesisir dan laut nasional akan menderita kerusakan fisik dalam skala yang parah. Kerusakan itu termasuk di antaranya adalah abrasi dan sedimentasi pantai, berkurangnya produksi ikan akibat overfishing (penangkapan ikan berlebihan) di beberapa lokasi perairan laut, kerusakan ekosistem terumbu karang dan hutan bakau, serta kerusakan kualitas air laut akibat pencemaran pesisir dan laut. 14 Termasuk diantaranya isu administrasi, hukum seperti otonomi daerah, peningkatan PAD 11
Pasal 18 angka 4, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 50 angka 1, UU PWPPK. 13 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal. 436. 14 Mukhtasor, Op.Cit., hal. 2-3. 12
Universitas Sumatera Utara
(Pendapatan Asli Daerah), konflik-konflik daerah dan sektoral merupakan persoalan yang harus dipecahkan bersama melalui manajemen kawasan pantai terpadu. 15 Perubahan atau perkembangan kualitas lingkungan hidup juga dapat terjadi tanpa campur tangan melalui kegiatan pembangunan. Artinya secara alamiah atau tanpa intervensi manusia, kualitas lingkungan juga dapat berubah. Terjadinya peristiwa alam, seperti longsor dan banjir akan menyebabkan perubahan kualitas lingkungan. Apakah perubahan ini dapat pulih atau tidak, bergantung pada daya lenting lingkungan itu sendiri. 16 Namun kerusakan dan pencemaran lingkungan makin dipercepat karena meningkatnya aktivitas manusia dan sifat manusia yang serakah. 17 Guna melindungi lingkungan wilayah laut yang meliputi wilayah pesisir, perairan dan pulau kecil dari berbagai bentuk pencemaran dan perusakan akibat pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, di sinilah penulis melihat perlunya ada penelitian yang mengkaji sejauhmanakah peraturan perundang-undangan juga memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai potensi pencemaran dan perusakan terhadap wilayah pesisir, perairan dan pulau kecil akibat pengelolaan wilayah berdasarkan kewenangan daerah.
15
Asrul Pramudya, Op.Cit., hal. 3. K.E.S. Manik, Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta : Djambatan, 2003 ), hlm. 41. 17 Idem., hal. 54. 16
Universitas Sumatera Utara
B.
Permasalahan Berdasarkan uraian-uraian diatas maka permasalahan yang di kemukakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil? 2. Bagaimanakah
batasan
pengertian
ruang
lingkup,
ekosistem
dan
pencemaran/perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut peraturan perundang-undangan? 3. Bagaimanakah kewenangan pemerintah terhadap wilayah pesisir dan pulaupulau kecil menurut peraturan perundang-undangan?
C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang akan di capai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui inventarisasi peraturan perundang-undangan yang ada menurut hukum internasional sampai kepada hukum nasional secara. 2. Untuk mengetahui batasan pengertian menurut beberapa peraturan perundang-undangan tentang ruang lingkup, berbagai jenis ekosistem pembentuk pesisir dan pulau kecil, sumber daya pesisir dan pulau kecil sampai kepada berbagai definisi pencemaran dan/atau perusakan, sumber
Universitas Sumatera Utara
penyebab pencemaran dan/atau perusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 3. Untuk mengetahui berbagai kewenangan pemerintah, pemerintah daerah, serta kabupaten/kota dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah dan undangundang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai lex specialis beserta kewenangan menurut peraturan pelaksana dibawahnya.
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kegunaan
tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Secara Teoritis Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang
ilmu hukum bagi kalangan akademisi untuk mengetahui perlindungan hukum wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut UUPWPPPK dan peraturan pelaksana dibawahnya. 2.
Secara Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat
penegak hukum mulai dari pembuat undang-undang (DPR/DPRD) dan pemerintah (Kabupaten/kota, Propinsi dan Pusat) sebagai eksekutif agar mempunyai perspektif yang sama dalam perlindungan dan pengelolaan wilayah laut dan pesisir serta pulau.
Universitas Sumatera Utara
Dan memberikan pencerahan secara normatif terhadap kalangan akademisi dan masyarakat pada umumnya.
E.
Keaslian Penelitian Bahwa berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di
perpustakaan Univeritas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang ”Perlindungan Hukum Terhadap Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditinjau Dari Kewenangan Daerah” belum pernah dilakukan baik dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Sehingga diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan pencerahan dalam bidang pengembangan hukum lingkungan dan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada khususnya. Jadi penelitian ini adalah benar-benar asli karena telah sesuai dengan asasasas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas segala kritikan dan masukan yang sifatnya membangun guna penyempurnaan hasil penelitian.
Universitas Sumatera Utara
F.
Kerangka Teori dan Konsepsional
1.
Kerangka Teori Menurut Kaelan M.S. landasan teori suatu penelitian adalah merupakan dasa-
dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan relisasi pelaksanaan penelitian18 . Ditinjau dari latar belakang masalah yang telah dikemukaan di awal tulisan, maka landasan teori utama (Grand Theory) yang digunakan dalam kajian ini adalah teori “Negara Hukum Kesejahteraan / welfare state”. Untuk mendukung teori utama (grand theory) ini digunakan teori “Hukum Pembangunan” dari Mochtar Kusumaatmadja sebagai middle range theory, sedangkan untuk applied theory menggunakan teori 19 “Negara Kepulauan” sebagai kerangka pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Berikut penjelasan dari teori tersebut : a.
Teori Negara Hukum Kesejahteraan / welfare state Menurut Otje Salman dan Anton F. Susanto, pada dasarnya Negara kita sudah
menganut paham Negara Hukum Kesejahteraan / welfare state, sebagai mana yang terdapat pada alinea pembukaan UUD 1945 alinea ke empat. 20
18
Kaelan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigama Bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta : Paradigma, 2005), hal. 239. 19 Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktifitas Industri Nasional (Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi), (Bandung : Alumni, 2008), hal. 24. 20 Otje Salman S. dan Anton F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), (Bandung, Refika Aditama, 2004), hal. 156-157.
Universitas Sumatera Utara
Alinea IV Undang-Undang Dasar 1945 yaitu : “......... Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...........”
Selain itu Pancasila dalam sila-silanya juga mengatur bagaimana Negara memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga sebagai landasan idiil dan landasan konstitusional, maka segenap kegiatan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mestilah bertujuan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dan masyarakat pesisir terutama masyarakat nelayan. Dalam Negara modern dewasa ini yang dikenal dengan istilah “Welfare State“ atau Negara Kesejahteraan, mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bertindak menyelesaikan segala aspek/ persoalan yang menyangkut kehidupan warga negaranya, walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya. Atas dasar ini maka pemerintah ddiberikan kebebasan untuk dapat melakukan/ bertindak dengan suatu inisiatif sendiri untuk menyelesaikan segala persoalan atau permasalahan guna kepentingan umum. Kebebasan untuk dapat bertindak sendiri atas inisiatif sendiri itu disebut dengan istilah “Freis Ermessen”. 21
21
Bewa Ragawino, Hukum Administrasi Negara, (Bandung : Fak. Ilmu Sosial dan Politik Unpad, 2006), hal. 37. Masih dalam buku yang sama hal. 39-40, Secara bahasa Freies Ermessen, Frei
Universitas Sumatera Utara
Konsep Negara hukum dipelopori oleh Immanuel Kant. Tujuan negara menurut Kant, ialah menegakkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan warganya. Rakyat tidak usah tunduk pada undang-undang yang tidak lebih dulu mendapat persetujuan dari rakyat sendiri dan bahwa rakyat dan pemerintah bersama-sama merupakan subjek hukum dan bahwa hidup rakyat sebagai manusia dalam negara, bukanlah karena kemurahan hati pemerintah tapi adalah berdasarkan hak-hak kekuatan sendiri. 22 Kant membentangkan suatu teori tentang negara hukum dalam arti sempit (rechts staat in enge zin). Teorinya menjadi dasar kenegaraan bagi ekonomi liberal (merdeka) yang dilakukan diseluruh dunia Barat selama abad ke-19 23 sampai sekarang. Meskipun negara Indonesia juga merupakan negara hukum 24 namun tentu saja dalam konsep negara hukum yang dianut adalah negara hukum berdasarkan Pancasila 25 dan UUD 1945 yang secara khusus mengenai perekonomian tercantum pada Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial dalam Pasal artinya : bebas, merdeka, tidak terikat Ermessen : menilai, memperimbangkan sesuatu. Artinya kepada Administrasi Negara diberikan kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri melakukan perbuatanperbuatan guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak dengan cepat guna kepentingan umum/ kesejahteraan umum. Jadi Freies Ermessen bertujuan untuk kesejahteraan umum yang merupakan keputusan administrasi Negara untuk tercapainya suatu tujuan/ sasaran dan berbeda dengan keputusan hakim yang bertujuan menyelesaikan suatu sengketa sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pemberian Freies Ermessen kepada administrasi Negara untuk kesejahteraan umum, tapi dalam kerangka Negara hukum. Freies Ermessen ini tidak boleh digunakan tanpa batas dan tidak boleh disalahgunakan, untuk itu unsure-unsur Freies Ermessen adalah : 1. Dilakukan untuk kepentingan umum/ kesejahteraan umum, 2. Dilakukan atas inisiatif administrasi Negara itu sendiri, 3. Untuk menyelesaikan masalah konkrit dengan cepat yang timbul secara tibatiba, 4. Tindakan itu dimungkinkan oleh hukum, Contoh : Polisi lalu lintas menyelesaikan masalah kemacetan lalu lintas dengan mengalihkan/ mengatur kendaraan melanggar rambu lalu lintas. 22 Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung, Mandar Maju, 2007), hal. 49. 23 Idem., hal. 50. 24 Pasal 1 ayat 3, UUD 1945. 25 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1985), hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
33 UUD 1945 inilah yang akan membedakan konsep perekonomian bangsa kita dengan konsep perekonomian negara liberal yang dimaksudkan oleh Kant.
b.
Teori Hukum Pembangunan Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia maka salah
satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan masyarakat adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, S.H., LL.M. Ada beberapa argumentasi krusial mengapa Teori Hukum Pembangunan tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut26 : Pertama, Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap
26
Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. (Sebuah Kajian Deskriftif Analitis), diunduh dari : http://www.pn-pandeglang.go.id/ attachments/125_kajian%20deskriptif%20analitis%20teori%20hukum%20pembangunan.pdf, terakhir diakses pada Rabu 23/2/2011, pukul 11.45 wib, hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi). Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang. Meskipun teori Mochtar berdasarkan teori Roscoe Pound yaitu ”law as a tool social engeneering” namun terdapat perbedaan filosofi yang sangat mendalam dari pengertian menurut keduanya. Sebagai penganut aliran Pragmatic Legal Realism, Pound memberi artian konsep hukumnya adalah bahwa hukum dapat berperan sebagai ”alat” pembaharuan masyarakat. 27 Lain halnya dengan Mochtar, ia lebih memberikan pengertian mengenai konsep hukumnya bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. 28 Menurut Mochtar, terdapat hubungan erat antara hukum dengan kekuasaan, bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. 29 Sehingga hukum dan kekuasaan mestilah sejalan dan searah, sebagai penganut paham positivisme 30 , menurut John Austin, hukum itu merupakan
27
Otje Salman, Op.Cit, hal. 14. Idem., hal. 6. 29 Idem., hal.8. 30 Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang, sehingga tidak ada hukum di luar undang-undang. Di Indonesia penagruh pemikiran ini sangat jelas dalam Pasal 15 Algemene Bepalingen van Wetgeving (antara lain dalam bahasa Indonesia); ”Terkecuali penyimpanganpenyimpangan yang ditentukan bagi orang-orang Indonesia dan mereka yang dipersamakan dengan 28
Universitas Sumatera Utara
perintah dari pengusa, dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Bahwa hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, perintah yang dilakukan oleh makhluk yang berpikir yang memegang dan mempunyi kekuasaan. 31 Bila dikaitkan dengan konsep menjalankan perintah penguasa tersebut, pada dasarnya tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tapi dalam hidup bersama ia mempunyai tanggungjawab menciptakan hidup bersama yang tertip, dan untuk menciptakan hidup bersama yang tertip itulah perlu pedoman-pedoman objektif yang harus dipatuhi bersama pula. Pedoman inilah yang disebut dengan ”hukum”. Menurut Hans Kelsen, sumber pedoman-pedoman objektif tersebut bersumber dari grundnorm (norma dasar). Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara)32 . Dengan menggunakan ajaran Stufenbautheori, ia berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah hierarkis dari hukum di mana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber dari ketentuan hukum yang lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan yang lebih
orang-orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali jika undang-undang menentukan”. Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 56. Selain itu lihat juga isi Pasal 1 ayat 1 KUHP ”nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” tidak ada hukuman tanpa undang-undang. 31 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 58. 32 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Ruang dan Generasi, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hal. 127.
Universitas Sumatera Utara
tinggi. 33 Sebagai contoh, dapat di lihat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 angka 1, yang menetapkan hirarki dan tata urutan peraturan perundang-undangan adalah : a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
d.
Peraturan Presiden;
e.
Peraturan Daerah, meliputi 34 : 1.
Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
2.
Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
3.
Peraturan
Desa/peraturan
yang
setingkat,
dibuat
oleh
badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Seluruh sistem perundang-undangan mempunyai suatu struktur piramida (mulai dari yang abstrak yakni grundnorm sampai yang konkret seperti undangundang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya). Jadi menurut Kelsen, cara
33
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Op.Cit, hal. 61. Pasal 7 angka 2, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 34
Universitas Sumatera Utara
mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah dengan mengeceknya melalui logika stufenbau itu, dan grundnorm menjadi batu uji utama. 35 Sebagai pilar utama negara hukum, maka menganut yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundangundangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundangundangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangundangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu : atribusi, delegasi, mandat. 36 Telah disebutkan bahwa asas legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan
kenegaraan
dan
pemerintahan.
Dengan
kata
lain,
setiap
penyelanggaraan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yakni ”Het vermogen tot het verrichten van paalde rechtshandelingen” kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. 37 Azas-azas yang mesti dipatuhi dan dijalankan dalam pelaksanaan undangundang baik secara vertikal maupun horizontal 38 , dalam rangka pelaksanaan konsep stufenbautheori diatas, maka perraturan-peraturan negara di dalam keberlakuannya berpedomen pada asas-asas perundang-undangan. Asas dapat diartikan sebagai aksioma yang memberi jalan pemecahannya jika sesuatu aturan diperlakukan atau 35
Bernard L. Tanya dkk, Op.Cit, hal. 128. Idem, hal. 103-104. 37 Idem, hal. 100-101. 38 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 234. 36
Universitas Sumatera Utara
aturan yang mana harus diperlakukan bila terjadi bentrokan beberapa aturan dalam pelaksananya 39 . Asas-asas dimaksud antara lain : 1.
Asas Lex speciali derogat legi generali; Bahwa undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-
undang yang bersifat umum, di mana pembuat undang-undang itu sama.40 2.
Asas Lex posteriore lex priori; Yaitu apabila undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-
undang yang berlaku terdahulu, di mana hal yang diatur oleh kedua undang-undang tersebut mengenai suatu hal yang tertentu walau dalam makna dan tujuan berbeda atau bertentangan sekalipun. 41 3.
Lex superior derogat legi inferiori 42 Merupakan asas dimana peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan
peraturan yang lebih rendah. Peranan
hukum
dalam
pembangunan
nasional,
menurut
Mochtar
Kusumaatmadja adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur 43 . Pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka, karena kita
39
Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 197. 40 Ibid. 41 Idem, hal.198. 42 Yuliandri, Loc.Cit. 43 Mochtar Kusumaadmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis), (Bandung : Alumni, 2002), hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya. 44
c.
Teori Negara Kepulauan Konsep negara Kepulauan pada dasarnya sudah jauh lebih dahulu lahir
sebelum adanya pengesahan mengenai konsep ini oleh PBB. Negara kepulauan Indonesia yang oleh bangsa Indoensia sendiri desebut dengan istilah khusus Nusantara, karena Indonesia ini berwujud suatu bentangan perairan (lautan) yang didalamnya tersesak banyak gugusan pulau-pulau besar dan kecil yang menjadi satu kesatuan justru karena adanya perairan tersebut. Memang bangsa Indonesia dalam memberikan nama tanah tumpah darahnya (tanah kelahirannya) menggunakan kata tanah air, yang merupakan satu peristilahan sebagai pengganti kata benda yaitu kepulauan Indonesia. 45 Pengukuhan secara politik mengenai nusantara sebagai sebuah pandangan politik mengenai cara pandang seluruh tanah air adalah satu kesatuan dikenal dengan istilah konsep wawasan nusantara yang lahir pada tanggal 13 Desember 1957, yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda 1957 karena dibuat waktu pemerintahan dengan Perdana Menteri Ir. Djuanda. 46
44
Ibid. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya dalam UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hal. 10. 46 Idem., hal. 28. 45
Universitas Sumatera Utara
Dengan lahirnya konsep wawasan nusantara tersebut, maka pemanfaatan dan pengelolaan khusus bidang kelautan, mau tidak mau mesti menjadi prioritas mengingat kondisi Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan sebagai mana yang dinyatakan dalam Deklarasi Juanda yang merupakan cikal bakal lahirnya konsep baru yang diterima masyarakat dunia sebagai Negara Kepulauan. Konsep kepulauan itu sendiri mulai berkembang sejak abad ke-19 dalam hukum Internasional. Pada abad ini masalah yang timbul mengenai konsepsi kepulauan ialah bagaimana mempersatukan dan mengelompokkan gugusan pulau kecil dan batu-batu karang yang terdapat di lepas pantai agar dapat ditentukan negara mana yang menguasainya. 47 Terwujudnya Konvensi tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982), merupakan hal yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, karena dalam Konvensi ini ketentuan-ketentuan mengenai negara kepulauan yang telah diperjuangkan selama 25 tahun yaitu sejak Konferensi PBB tentang Hukum Laut I (1958). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsepsi negara kepulauan telah mendapat pengakuan internasional. Sebagai anggota masyarakat internasional, Indonesia memerlukan pengakuan terhadap konsepsi yang merubah status perairan dan dasar laut kepulauan Indonesia yang sebelumnya merupakan laut lepas menjadi perairan dan dasar laut yang berada di bawah kedaulatan Indonesia bagi kepantingan internasional. Dengan adanya pengakuan ini kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia
47
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, (Jakarta : Diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri edisi Terbatas, 1986), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan konsep kepulauan menjadi terjamin dan dihormati oleh masyarakat internasional. 48 Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima dan
diakui
masyarakat
internasional.
Perjuangan
tersebut
akhirnya
telah
menghasilkan pengaku-an masyarakat internasional secara universal (semesta) yaitu dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. 49 atau yang dikenal dengan United Nations Convention Law of the Sea 1982 / UNCLOS 1982. Ketentuan Internasional ini telah kita ratifikasi menjadi Undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Salah satu unsur utama didalam definisi ”archipelago” ini adalah kata-kata ”which are so closely inter-related” sehingga semua itu merupakan ”an intrisic geographical, economic and political entity”. Dengan definisi ini, maka unsur kesatuan harus ada dengan jelas, yaitu kesatuan geografis, ekonomis dan politis. Suatu gugusan pulau yang walaupun berdekatan satu sama lain, belum tentu akan menjadi kepulauan jika gugusan tersebut tidak merupakan suatu kesatuan politis dan ekonomis; sebaliknya suatu gugusan atau gugusan-gugusan pulau merupakan suatu 48 49
Idem., hal. 97. Penjelasan, Bagian I. Umum,Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
keatuan ekonomi dan politis tetapi terletak terlalu jauh antara yang satu dengan yang lainnya, tidak ”so closely inter-related” juga tidak akan menjadi archipelago. Dengan demikian, maka salah satu kunci utama untuk menjadikan suatu gugusan pulau-pulau sebagai ”archipelago” adalah bentuknya yang merupakan suatu ”group” dan adanya unsur ”so closely inter-related”. Sedangkan unsur ”sejarah”, adalah unsur yang tidak perlu ada, tetapi jika ada dapat memperkuat unsur kesatuan tersebut. 50 Negara kepulauan menurut UNCLOS 1982 berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan itu sendiri mengandung artian sebagai suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. 51 Menimbang bentuk negaranya yang terdiri dari pulau-pulau, maka suatu negara
kepulauan
dapat
menarik
garis
pangkal
lurus
kepulauan
yang
menghuibungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang-karang terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah
50 51
Badan Penelitian dan........, Op.Cit, hal. 47. Pasal 46, Konvensi Hukum Laut Tahun 1982.
Universitas Sumatera Utara
daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu. 52 Kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. 53 Penentuan daerah kedaulatan dan hak berdaulat suatu negara atas sumber daya alam yang mereka miliki tidak lepas dari betapa pentingnya penentuan garis pangkal sebagai penentuan batas elevasi surut pantai suatu negara, bila garis elevasi surut pantai sudah diketahui maka barulah garis pangkal ditentukan. Suatu elevasi surut adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu evaluasi surut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka garis air surut pada elevasi demikian dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut teritorial. 54 Ada 3 (tiga) tipe garis pangkal menurut Unclos 1982 yaitu garis pangkal biasa /normal, garis pangkal lurus / straight, and garis pangkal kepulauan / straight
52
Pasal 47 angka 1, KHL 1982. Pasal 49 angka 1 dan 2, KHL 1982. 54 Pasal 13, KHL 1982. 53
Universitas Sumatera Utara
archipelagic. 55 Kegunaan garis pangkal inilah yang nantinya akan digunakan secara umum oleh setiap negara guna menentukan dasar penarikan garis teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekslusif sampai dengan landas kontinen. Sedangkan secara khusus dengan adanya penetuan garis pangkal inilah nantinya akan dapat ditentukan tapal batas wilayah provinsi dan/atau kabupaten kota terhadap penentuan batas wilayah laut mereka. Penentuan batas laut suatu daerah provinsi dan/atau kota nantinya juga akan menggunakan tatacara sebagaimana yang telah diatur dalam TALOS (A Manual on Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of The Sea-1982), dimana batas wilayah laut terdiri atas beberapa teori teknik kelautan 56 , namun yang umum digunakan adalah dengan menggunakan teori the equidistance line 57 atau yang dikenal juga dengan istilah median line/ garis tengah.
55
A Manual on Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of The Sea1982 (TALOS), Special Publication No. 51 4th ed – March 2006 Published by the International Hydrographic Bureau Monaco, Chapter 4-2 Baseline. (petunjuk teknis mengenai hukum laut ini juga dikenal dengan istilah TALOS) Adapun definisi dari setiap garis pangkal tersebut, menurut UNCLOS yang diratifikasi dan digunakan sebagai dasar peristilahan yang nantinya diterjemahkan secara resmi pada isi pasal dalam undang-undang nasional yang mengatur masalah laut adalah : The normal baseline is the basic element from which the territorial sea and other maritime zones are determined. It is defined as the low water line along the coast, as marked on large-scale charts of the coastal state (Article 5). Straight baselines are defined by straight lines that join points on the coastline which have been selected according to the criteria listed in Article 7. They delineate internal waters from territorial seas and other maritime zones. Straight archipelagic baselines define the periphery on an island group by joining the outermost islands with a succession of straight lines constructed in accordance with Article 47. 56 Idem, Chapter 6 mengenai Bilateral Boundaries, disebutkan terdapat beberapa teknik penentuan batas delimitasi laut yaitu : The Equidistance, Thalweg, Arbitrary Lines, Prolongation of land Boundaries, enclaving, dan pengembangan dari teori equidistance lainnya. 57 UNCLOS, Op.Cit., artikel 15 menyebutnya sebagai equidistance line demikian juga dengan TALOS sedangkan untuk beberapa buku yang membahas mengenai delimitasi juga menyebutkan sebagai median line / garis tengah.
Universitas Sumatera Utara
2.
Kerangka Konsepsional Untuk menyatukan persepsi dalam pembacaan dan pemahaman penulisan
antara pembaca dan penulis maka dipandang perlu untuk memberikan beberapa kerangka konsepsi yang meliputi : 1.
Wilayah Pesisir, sebagai daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. 58
2.
Perairan Pesisir, sebagai wilayah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. 59
3.
Pulau Kecil, adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. 60
4.
Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. 61
5.
Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. 62
6.
Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa mem-perhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. 63
58
Pasal 1 angka 2 UUPWPPK. Pasal 1 angka 3 UUPWPPPK. 60 Pasal 1 angka 7 UUPWPPPK. 61 Pasal 3 angka 1, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 62 Pasal 3angka 2, Undang-Undang Perairan Indonesia. 59
Universitas Sumatera Utara
7.
Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indo-nesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup. 64
8.
Garis pangkal lurus kepulauan adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia 65
9.
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 66
10.
Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan Orang sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
11.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya
63 64 65 66
Pasal 3angka 3, Undang-Undang Perairan Indonesia. Pasal 3angka 4, Undang-Undang Perairan Indonesia. Pasal 5 angka 3, Undang-Undang Perairan Indonesia. Pasal 1 angka 2,Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Universitas Sumatera Utara
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 67
G.
Metodologi Penelitian
1.
Tipe, Pendekatan dan Jenis Penelitian a.
Tipe Penelitian
Tipe penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian doktrinal (doctrinal research), menurut Terry Hutchinson dalam Peter Mahmud Marzuki 68 tipe ini adalah: “research which provides a systematic exposition of the rules governing a particular legal category, analyses the relatinship between rules, explain areas of difficulty and, perhaps, predicts future development” Lain lagi menurut Amirudin dan Zainal tipe penelitian doktrinal ini diartikan sebagai suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.69 b.
Pendekatan Penelitian
Guna memecahkan permasalahan hukum yang ada dalam penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan
67
Pasal 1 Ayat 1, Bab I. Umum dalam Angka 3 mengenai Ruang Lingkup, UUPWPPK. Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 32. 69 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Graffiti, 2006), hal. 118. 68
Universitas Sumatera Utara
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 70 c.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dimana menurut Soerjono Soekamto penelitian hukum normatif adalah penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. 71
2.
Sumber Data dan Bahan Hukum Jenis data dari sudut sumbernya dan kekuatan mengikatnya secara umum
dibagi atas dua bentuk 72 . Khusus dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan sumber data sekunder yang diperoleh melalui bahan pustaka, yang dapat dibagi lagi atas beberapa bahan hukum 73 : a.
Bahan Hukum Primer Merupakan bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari berbagai peraturan
perundang-undangan baik tertulis maupun tidak tertulis. Khusus penelitian ini terdiri dari berbagai peraturan mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Tap MPR, Undangundang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor
70
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 93. Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 13. 72 Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2008), hal. 51., jenis data dapat dibagi atas 2 (dua) yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat (data empiris) dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (data sekunder). 73 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2008), hal. 51. 71
Universitas Sumatera Utara
27 tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau, Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup, Undang-undang no. 6 tahun 1996 tentang Perairan Nasional dan berbagai peraturan pelaksana dari UUPWPPPK. b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum ini merupakan data yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer seperti RUU, hasil karya kalangan hukum seperti jurnal, buku, diktat, laporan penelitian, dll. c.
Bahan Hukum Tersier 74 Bahan yang memberikan bahan yang akan membantu memberikan petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti ensiklopedi, indeks kumulatif, kamus, peta termasuk buku-buku dan tulisan-tulisan pengarang diluar bidang hukum.
74
Khusus mengenai penggolongan data sekunder ini terdapat perbedaan antara Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Penelitian Hukum dan Zainuddin Ali dalam bukunya Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2010) dengan Soejono Soekanto dalam buku Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 2008), dan Bambang Sunggono dalam buku Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar). Dimana menurut pendapat Soejono Soekanto dan Bambang Sunggono data sekunder dapat dibagi menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagaimana yang telah dijadikan rujukan penulis dalam penelitian ini. Namun, bila merujuk pendapat Peter Mahmud Marzuki dan Zainuddin Ali, sumber penelitian hukum terdiri atas :: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 2. Bahan hukum sekunder, semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnaljurnal hukum, serta berbagai sumber hukum tertulis lainnya. 3. Bahan non hukum, dalam hal ini dapat juga berupa bahan-bahan yang tidak berkaitan dengan hukum tetapi dapat menambah wawasan penulis dalam memperkaya dan memperluas wawasan peneliti dalam melakukan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui inventarisasi berbagai peraturan perundang-undangan, penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.
4.
Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
dokumen berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, jurnal hukum, tulisan lepas, artikel, kamus, peta dan berbagai tulisan lainnya termasuk bahan non hukum yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
5.
Analisis Data Setelah semua data terkumpul maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan
menganalisis data. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh, sistematis dengan
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data akan diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif. 75 Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dikumpulkan dan diedit dengan mengelompokkan, menyusun secara sistematis, dan analisis secara kualitatif selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir deduktif ke induktif. 76
75
M. Syamsudin, Opersionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007),
hal. 133. 76
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 114-115.
Universitas Sumatera Utara