BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah Hak WNI Keturunan Tionghoa untuk Memiliki Tanah di Yogyakarta Yth. Moderator, Saya Thomas Andrianto, Lahir di Tugu Mulyo Lubuk Linggau Sumatera Selatan, 21 Maret 1982. Dalam perjalanan hidup saya, saya memutuskan untuk menetap di Ngayogyakarta Hadiningrat, di mana di sini saya sekarang bermukim dan mengusahakan kemampuan saya untuk mendapatkan sedikit rezeki. Untuk mendukung keputusan saya ini, dan apabila saya berkeluarga nanti, sudah tentu saya membutuhkan tempat tinggal. Dengan berkat yang ada, dalam waktu dekat ini saya berencana untuk membeli sepetak tanah di wilayah Sleman. Tapi, ada teman saya yang memberitahu tentang Surat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) No. K. 898/1/A/1975 ini. Yang saya tanyakan, apakah masih berlaku surat tersebut? Apa saja yang harus saya lakukan untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) sepenuhnya? Secara saya yang notabene tidak bisa memilih di keluarga mana saya mau dilahirkan. Bagaimana dengan Undang-undang No. 29/1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial? UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, segala produk perundang-undangan yang diskriminatif sebenarnya tidak berlaku lagi dan batal demi hukum? UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan dan UU RI No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis? Apakah Undang Undang yang saya sebutkan bisa menjadi dasar saya untuk memiliki sepetak tanah di Yogyakarta tercinta? Lebih kuat mana dasar hukum nya? Surat Gubernur DIY No. K.898/1/A/1975 atau Undang-Undang tersebut di atas? Atas pencerahan dan masukannya saya ucapkan banyak terima kasih1. Ilustrasi diatas menunjukkan adanya perilaku eksklusi pertanahan yang dilakukan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Etnis Tionghoa. Berkenaan dengan
1
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fa0a5a5e0f60/masalah-hak-wni-keturunan-tionghoa-untukmemiliki-tanah-di-yogyakarta. Diakses pada tanggal 4/6/2013, pukul 15:39 WIB.
eksklusi melalui kebijaksanaan Pemerintah DIY yang tertuang dalam Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. K./898/I/A/75, sampai sekarang seorang WNI non pribumi yang memerlukan tanah belum diberikan hak milik atas tanah. Dalam hal ini, apabila ada seorang WNI non pribumi membeli tanah milik rakyat, terlebih dahulu harus melalui pelepasan hak. Setelah tanah tersebut kembali menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah DIY, barulah yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mendapatkan sesuatu hak, yang biasanya akan diberi dengan Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB). Surat instruksi ini memunculkan permasalahan dikalangan Etnis Tionghoa. Etnis yang sering disebut sebagai WNI Non pribumi di atas adalah orang-orang dari bangsa lain yang disahkan oleh undang-undang sebagai Warga Negara. Dalam Undang-undang administrasi kependudukan No. 23 Tahun 2006 saat ini sudah menghilangkan sebutan WNI Non pribumi. Dengan jelas pada pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia. Secara lugas undang-undang administrasi kependudukan menghilangkan penggunaan kalimat WNI Non pribumi di dalamnya, yang mana cenderung mendiskriminasikan orangorang keturunan bangsa lain yang sudah diakui kewarga negaraannya di Indonesia. Pada ayat 4 menjelaskan orang asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia. Dengan demikian secara administrasi kependudukan sudah tidak ada lagi diskriminasi terhadap WNI keturunan bangsa lain. Yogyakarta merupakan barometer daerah yang multikutur sering sekali diidentikkan dengan Indonesia mini, dimana berbagai etnis, agama, kebudayaan dari berbagai daerah ada di Yogyakarta. Ketua Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 2
kota Yogyakarta, Henry Kuncoroyekti menjelaskan bahwa beragamnya kultur yang berkembang di kota Yogyakarta, tidak lepas dari kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota budaya yang memberikan ruang pertemuan budaya bagi anak-anak bangsa dari berbagai penjuru nusantara yang datang untuk menimba ilmu dan di sisi lain, pola pikir dan sifat masyarakat kota Yogyakarta yang relatif bersifat terbuka terhadap masuknya budaya lain, pandangan, maupun orang luar, memberikan peluang untuk tumbuh kembangnya kebudayaan dari etnis lain dan juga pandangan dari berbagai aliran, idelogi, politik, kepercayaan dan juga agama untuk saling berinteraksi dan membangun hubungan yang harmonis2. Namun demikian, ternyata diskriminasi melalui eksklusi hak atas tanah masih dirasakan Warga Negara Indonesia dari keturunan bangsa lain, khususnya Etnis Tionghoa yang berada di Yogyakarta. Diskriminasi hak atas tanah ini merupakan tindakan legal formal dan non formal yang dilakukan lembaga pemerintah daerah dan lembaga tradisional (Keraton Kasultanan Yogyakarta). Adapun aturan legal formal yang dimaksud adalah Surat Instruksi Gubernur DIY No. K./898/I/A/75 dan paugeran keraton yang melarang kepemilikan tanah oleh WNI dari bangsa lain. Sedangkan hukum non formal merupakan paugeran (aturan non formal yang berlaku di keraton Yogyakarta) yang mengatur pertanahan di Yogyakarta. Pada dasarnya Surat instruki Gubernur DIY No. K./898/I/A/75 memiliki maksud dan tujuan mengatur bahwa WNI Non pribumi tidak diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah dan hanya memiliki hak guna bangunan di Yogyakarta, serta di dalamnya mengatur bagaimana seharusnya mekanisme agar WNI Non pribumi mendapatkan akses tanah sebagai Hak Guna Bangunan. Aturan non formal yang dimiliki keraton kasultanan
2
http://dprd-jogjakota.go.id/index.php/berita-dan-artikel/artikel/membangun-yogyakarta-sebagai-kotamultikultural. Diakses pada tanggal 26/06/2013. Pukul 21:30 WIB.
3
Yogyakarta yang sering disebut paugeran juga tidak memperbolehkan tanah di Yogyakarta dimiliki oleh WNI Non pribumi atau dengan kata lain orang asing dilarang memiliki tanah di wilayah keraton. Meskipun paugeran bukan merupakan aturan tertulis tetapi sampai saat ini eksistensi dan legitimasi paugeran masih ada. Dalam penelitian ini melihat bagaimana Etnis Tionghoa dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta dan mendapatkan akses tanah. Menjadi menarik bahwasanya kondisi hukum pertanahan di Yogyakarta yang cenderung tidak memihak terhadap Etnis Tionghoa, namun mereka masih saja dapat bertahan di wilayah Yogyakarta. Penelitian ini akan berupaya mencari tahu bagaimana perjuangan Etnis Tionghoa dalam mendapatkan akses tanah di Yogyakarta. Mengingat kebijakan di Yogyakarta yang masih ada diskriminasi melalui eksklusi terhadap Etnis Tionghoa terkait hak atas tanah untuk tempat tinggal maupun tempat usaha di Yogyakarta. Disisi lain tanah merupakan kebutuhan primer bagi seseorang untuk dapat hidup dan tinggal di bumi manapun, begitu juga Etnis Tionghoa. Semakin lama jumlah penduduk Etnis Tionghoa akan semakin bertambah dan kebutuhan akan tanah pasti akan selalu di upayakan agar dapat tinggal di Yogyakarta. Menjadi menarik pastinya melihat upaya Etnis Tionghoa dalam merespon kebijakan eksklusi yang diberlakukan di Yogyakarta terkait eksklusi kebijakan akses tanah. Tidak cukup itu, bagaimana strategi yang digunakan Etnis Tionghoa untuk mendapatkan akses tanah dari masyarakat pribumi menjadi sorotan utama dalam penelitian ini, mengingat begitu sulitnya Etnis Tionghoa dalam mendapatkan tanah di Yogyakarta dengan adanya kebijakan surat instruksi dari Kepala Daerah Yogyakarta dan Paugeran Keraton Yogyakarta yang tidak memperkenankan Etnis Tionghoa tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah di Yogyakarta.
4
Kebijakan eksklusi yang mendiskriminasi terkait pertanahan pada dasarnya tidak dapat lepas dari adanya institusi keraton Yogyakarta. Dimana terdapat aturan tradisional yang masih memiliki legitimasi dari masyarakat untuk tetap dijalankan. Aturan tersebut adalah paugeran. Dimana aturan tradisional tersebut terdapat larangan orang asing, termasuk orang Cina (Widodo, 2000 : 66). Aturan tradisional tersebut dipertegas dengan Surat Instruksi Gubernur DIY No. K. 898/1/A/1975. Surat instruksi dari pemerintah DIY ini menjadi memperkuat aturan tradisional yang ada (Paugeran). Dengan demikian semakin memantabkan bahwa Etnis Tionghoa dilarang memiliki tanah di Yogyakarta. Disisi lain terkait dengan kepemilikan tanah, kita merujuk pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”).Dalam Pasal 9 UUPA disebutkan: I. Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2. II. Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Dengan adanya dua landasan hukum terkait kepemilikan tanah yang berlaku di Yogyakarta ini memungkinkan adanya usaha dari Etnis Tionghoa dalam mengupayakan hak kepemilikan tanah di Yogyakarta. Namun demikian, tidak semudah membalikkan telapak tangan meskipun memiliki dasar hukum yang cukup kuat untuk memiliki tanah sebagai Warga Negara Indonesia, mengingat masih ada aturan tradisional (paugeran) yang juga memiliki legitimasi yang kuat di masyarakat Yogyakarta. B. Rumusan Masalah “Penelitian ini hendak menjawab bagaimana Respons penduduk Etnis Tionghoa Yogyakarta dalam menghadapi eksklusi kebijakan terkait dengan status kepemilikan tanah 5
di Yogyakarta melalui Surat Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor. K. 898/I/A/1975?”
C. Tujuan Penelitian Melihat latar belakang diberlakukannya Surat Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K. 898/I/A/1975 dan dampak secara yuridis masih diberlakukannya Surat Instruksi tersebut. Mengetahui lebih mendalam upaya-upaya yang dilakukan Etnis Tionghoa dalam menghadapi kebijakan eksklusi yang mengakibatkan Etnis Tionghoa tidak dapat memiliki Sertifikat Hak Milik Tanah di Yogyakata.
D. Kerangka Teori a. Eksklusi Alo Liliweri (2005: 148) Menjelaskan yang dimaksud eksklusi adalah kebijakan publik negara melalui kebijakan imigrasi yang melarang atau mempersulit izin masuk bagi sekelompok etnik ke wilayah suatu negara. Derek Hall. Philip Hirsch. Tania Murray Li. (2011: 4-5) menjelaskan Istilah eksklusi secara luas dipakai dalam studi-studi soal akses tanah dan cenderung untuk punya dua karakteristik Pertama, secara empiris, eksklusi itu kemudian dilihat sebagai kondisi di mana masyarakat luas itu kekurangan akses atas tanah karena penguasaan yang masif oleh privat atau kemudian masyarakat miskin rentan dipisahkan dari tanah mereka atas nama kekuatan-kekuatan yang berkuasa, 6
kemudian secara normatif eksklusi itu dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan merupakan sebagai kebalikan dari inklusi. Kerangka ini kemudian mengandaikan ada yang lemah dan ada yang kuat, sesuatu yang harus dipertentangkan. Derek Hall. Philip Hirsch. Tania Murray Li juga melakukan analisis dari studi pendekatan eksklusi dalam buku „Power Of Exclusion: Land Dilemmas In Southeast Asia’ didasarkan pada observasi bahwa akses dan penggunaan tanah mensyaratkan eksklusi atas beberapa hal bahkan masyarakat yang paling miskin tidak dapat menggunakan tanah tanpa jaminan bahwa orang lain tidak akan merampas lahan mereka atau mengambil hasil panennya. Berangkat dari asumsi bahwa eksklusi itu adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dan bahwa semua perspektif politik dari hubungan atas tanah dari yang paling konservatif sampai yang paling radikal mengambil beberapa tipe dari eksklusi menjadi positif, studi ini fokus pada perubahan cara melihat bagaimana kelompok sosial yang berbeda memperoleh atau kehilangan akses atas tanah di era 1990an dan 2000an dan implikasi dari eksklusi terhadap relasi sosial pedesaan. Eksklusi bukan merupakan suatu proses yang acak, dia dibentuk oleh relasi kuasa. Di banyak desa di Asia Tenggara dan di manapun, eksklusi atas tanah dapat dipahami sebagai interaksi antara regulasi paksaan (force) pasar dan legitimasi. Regulasi seringkali namun tidak secara eksklusif diasosiasikan oleh negara dan instrument hukum, mensetting aturan berkaitan dengan akses atas tanah dan kondisi-kondisi tatagunanya. Force (tekanan) bisa berupa kekerasan ataupun ancaman kekerasan baik yang dilakukan oleh aktor negara maupun non negara. Pasar juga menjadi kekuatan eksklusi karena dia membatasi akses melalui harga dan penciptan insentif-insentif untuk menempatkan klaim atas tanah yang lebih 7
terindividualisasi. Legitimasi membangun basis moral bagi klaim eksklusif dan memastikan regulasi pasar dan paksaan sebagai basis eksklusi yang secara sosial dan politik diterima. Ini adalah kekuatan dari eksklusi. Eksklusi menurut Tania salah satu penulis dalam buku power of exclusion : land dilemmas in southeast asia (2011 :7-8) menjelaskan : Eksklusi itu mencegah orang untuk mendapatkan manfaat atas sesuatu, secara lebih sepesifik adalah tanah. 1. Cara dimana akses terhadap lahan yang sudah ada dipertahankan oleh eksklusi itu dari pengguna potensial lainnya. 2. Orang yang sudah punya akses itu kehilangan akses atas tanah. 3. Orang yang memang tidak punya akses itu dicegah dari upaya untuk mendapatkan akses itu.
b. Respons Respons memiliki arti tanggapan, reaksi dan jawaban. Dengan melihat kasus eksklusi pertanahan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Etnis Tionghoa, saya mencoba melihat berbagai respons yang dilakukan Etnis Tionghoa untuk menghadapi eksklusi pertanahan tersebut dengan klasifikasi respons secara resistensi dan adaptasi sebagai berikut. a) Resistensi Dijelaskan dalam kamus kata kerja „resist‟ arti dalam bahasa Indonesia menentang atau melawan. Sedangkan Resistence memiliki arti perlawanan. sebagaimana tertera di dalam kamus: „ mengusahakan sekuat tenaga untuk menahan atau membalas kekuatan atau efek dari …‟ jika disandingkan dengan 8
eksklusi pertanahan di Yogyakarta, maka resistensi di sini dapat diartikan sebagai upaya sekuat tenaga oleh minoritas untuk menahan dan membalas kekuatan eksklusi. Menurut James Scott (2000 : 382) Perlawanan kelas memuat tindakantindakan apapun yang dilakukan kaum yang kalah, yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (misalnya: sewa, pajak, gengsi) yang dibuat oleh kelas atas (tuan tanah, petani kaya, negara) berhadapan dengan kaum yang kalah itu. Definisi di atas jika diterapkan ke dalam tema di atas akan memposisikan Etnis Tionghoa sebagai kaum subordinan (kaum yang kalah/minoritas) menolak diterapkannya eksklusi. James Scott (2000: 382) juga menyampaikan bahwa perlawanan berfokus pada basis hubungan antar-kelas dan pertarungan antar kelas; berlaku baik sebagai tindakan perlawanan perorangan maupun perlawanan kolektif; juga bentuk-bentuk perlawanan ideologi yang menantang definisi situasi yang dominan dan menuntut berbagai standar keadilan dan kewajaran. Akhirnya, perlawanan berfokus pada maksud ketimbang konsekuensi, sehingga diakui bahwa banyak aksi perlawanan mungkin gagal mencapai hasil yang dimaksud. Berdasarkan sifatnya, perlawanan ada yang dilakukan secara sembunyi atau terselubung (hidden resistence) namun ada juga yang nyata sebagaimana fungsi konflik ada yang terbuka (manifest) dan ada pula yang bersifat latent atau tertutup (Merton dalam Sulistyaningsih, 2013: 26). Dengan mengkombinasikan perspektif-perspektif yang tumpang tindih ini, hasilnya semacam dikotomi antara perlawanan yang sesungguhnya di satu pihak, dan aksi kecil-kecilan, incidental atau bahkan sebagai gejala sekunder suatu aksi kejahatan, dipihak lain. Perlawanan real, begitu argumentasinya, 9
bersifat (a) organik, sistematis dan kooperatif, (b) berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri (c) tidak berkonsekuensi revolusioner, dan/atau (d) mencangkup gagasan atau maksud-maksud yang meniadakan basis dominasi itu sendiri. Berlawanan dengan itu, kegiatan kecil-kecilan incidental atau yang bersifat gejala kejahatan sekunder adalah (a) tidak teratur, tidak sistematik dan terjadi secara individual (b) bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri (c) tidak berkonsekuensi revolusioner, dan/atau (d) menyiratkan dalam maksud atau arti mereka, akomodasi terhadap system dominasi (Scott, 2000: 385-386). b) Adaptasi Alo Liliweri (2005: 140) menjelaskan Adaptasi adalah proses menyesuaikan nilai, norma dan pola-pola perilaku antara dua budaya atau lebih. Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan. Penyesuaian berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan keinginan pribadi (Gerungan, 1991: 55). Adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan hidup. Salah satu dari syarat tersebut adalah syarat sosial di mana manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keteraturan untuk tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaan (Suparlan, 1993: 2). Beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial Soerjono Sukanto (2000: 34) yaitu: 1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan 2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan 3. Proses perubahan untuk penyesuaian dengan situasi yang berubah 4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan 10
5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem 6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.
E. Definisi Konseptual 1. Eksklusi adalah kebijakan public negara atau instrumen lain yang memiliki kekuasaan (power) untuk melarang atau mempersulit izin dalam penggunaan lahan atau akses tanah terhadap sekelompok masyarakat atau sekelompok etnis sehingga sekelompok masyarakat tersebut kehilangan akses tanah. Proses ini memiliki legitimasi dengan membangun basis moral, sehingga secara sosial dan politik dapat diterima. Bahkan dalam menjalankannya berlaku sebuah tekanan atau penggunaan kekerasan dapat dilakukan. 2. Respons adalah
tanggapan, reaksi dan jawaban yang dilakukan dalam
menghadapi eksklusi a. Resistensi
adalah
perlawanan,
perlawanan
merupakan
proses
mengusahakan sekuat tenaga untuk menahan atau membalas kekuatan atau efek dari lawan. Perlawanan terjadi di dalam hubungan antar kelas, baik perlawanan perorangan atau perlawanan kolektif kaum lemah terhadap kaum dominan. b. Adaptasi adalah proses menyesuaikan nilai, norma dan pola-pola perilaku antara dua budaya atau lebih terhadap lingkungan. Penyesuaian dapat berarti menyesuaikan diri dengan lingkungan atau sebaliknya menyesuaikan lingkungan dengan keinginan keadaan pribadi.
11
F. Definisi Operasional Untuk menelaah respons Etnis Minoritas atas eksklusi pertanahan di Yogyakarta dengan metode penelitian kualitatif studi kasus, dalam konteks operasional peneliti akan melakukan penelaahan itu melalui serangkaian indikator berikut:
Melihat istrumen yang digunakan untuk melakukan eksklusi pertanahan di Yogyakarta
Menelaah bagaimana istrumen ekslusi tersebut dijalankan di Yogyakarta.
Melihat siapa saja aktor yang terlibat terhadap terjadinya proses eksklusi pertanahan di Yogyakarta.
Melihat lebih jauh apa motif terjadinya dan dampak atas eksklusi pertanahan di Yogyakarta.
Melihat upaya Etnis Tionghoa merespon kebijakan eksklusi pertanahan di Yogyakarta.
Menganalisi bentuk-bentuk respons yang dilakukan Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan di Yogyakarta.
Melihat respon resistensi apa saja yang dilakukan Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan di Yogyakarta.
Melihat respon adaptasi apa saja yang dilakukan Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan di Yogyakarta.
12
G. Metodologi Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi studi kasus. Studi kasus lebih di kehendaki untuk melacak peristiwa-peristiwa kontemporer, bila peristiwaperistiwa yang bersangkutan tidak dapat dimanipulasi (Yin, 2003:12). Pemilihan penggunaan metode studi kasus didasarkan pada Peristiwa yang muncul di daerah Yogyakarta, yang mana Etnis Tionghoa mendapat perlakuan eksklusi dari pemerintah daerah istimewa Yogyakarta dan pemerintah tradisional (Keraton) terkait akses pertanahan di Yogyakarta. Selain itu memilih menggunakan jenis metodologi study kasus karena peneliti mencoba menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif mengenai situasi sosial di lingkungan Etnis Tionghoa Yogyakarta dalam menghadapi perlakuan diskriminasi melalui eksklusi yang dialami dalam hal pertanahan. Metode penelitian kualitatif dengan jenis studi kasus dipilih peneliti karena studi kasus mampu menguraikan dan menjelaskan secara komprehansif mengenai berbagai aspek seseorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau situasi sosial (Mulyana, 2010: 201). Melihat rumusan masalah dari penelitian yang didasarkan pada pertanyaan bagaimana, juga menjadi alasan tersendiri dalam pemilihan metodologi studi kasus. Mengingan bahwa studi kasus Nampak bilamana pertanyaan “Bagaimana” atau “Mengapa” akan diarahkan ke serangkaian peristiwa kontemporer, di mana penelitinya hanya memiliki peluang yang kecil sekali atau tak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut (Yin, 2003: 13).
13
b. Metode Pengumpulan Data Dalam pelaksanaan pengumpulan data dengan metode studi kasus, bukti atau data dapat dapat berasal dari enam sumber, yaitu: dokumen, rekaman arsip, wawancara, pengamatan langsung, observasi partisipan, dan perangkatperangkat fisik (Yin, 2003:101). Meskipun demikian, peneliti akan cenderung menggunakan wawancara dan dokumen. Peneliti memilih menggunakan wawancara open-ended, dimana peneliti dapat bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa di samping opini mereka mengenai peristiwa yang (Yin, 2003: 108). Mengingat kasus eksklusi pertanahan dirasakan cukup banyak individu Etnis Tionghoa yang ada di Yogyakarta, peneliti memilih wawancara open-ended agar dapat membuka seluas-luasnya bagaimana diskriminasi melalui eksklusi pertanahan yang terjadi dan bagaimana strategi yang digunakan untuk merespon eksklusi pertanahan yang dihadapinya. Selain itu responden dapat memberi informasi-informasi yang sangat penting untuk membuka fakta yang lebih dalam. Keberhasilan pencarian data menggunakan wawancara dalam studi kasus ada pada responden yang akan diwawancarai. Informan-informan kunci seringkali sangat penting bagi keberhasilan studi kasus (Yin, 2003: 109). Untuk itu peneliti mencoba memetakan responden yang dianggap penting sebagai kunci informasi yang akan di wawancarai. Beberapa responden yang akan di wawancarai dalam penelitian ini, sebagai berikut:
14
1. Perwakilan dari Etnis Tionghoa: Pimpinan Paguyuban Etnis Tionghoa, Beberapa Etnis Tionghoa di Yogyakarta, Tokoh Etnis Tionghoa Yogyakarta. 2. Perwakilan dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta: Gubernur DIY, Kepala Badan Pertanahan Nasional. 3. Perwakilan dari Keraton Kasultanan Yogyakarta: GBPH Prabukusumo. Kepala Pengurus Paugeran Keraton. Selain pengumpulan data dengan wawancara, sangat tidak menutup kemungkinan pencarian data dalam penelitian ini melalui dokumen, rekaman arsip, dan studi pustaka.
c. Metode Analisis Data Dalam melakukan analisis data penelitian ini akan menggunakan strategi umum yang mendasarkan pada proposisi teoritis. Di mana tujuan dan desain asal dari studi kasus diperkirakan berdasar atas proposisi semacam itu, yang selanjutnya mencerminkan pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, dan pemahaman-pemahaman
baru
(Yin,
2003:
136).
Proposisi-proposisi
mempermudah dalam pengumpulan data dan karenanya member prioritas pada strategi analisis yang relevan nantinya. Adapun bentuk analisa yang akan peneliti gunakan adalah bentuk penjodohan pola. Dimana logika pola penjodohan adalah dengan cara membandingkan pola yang didasarkan atas empiris dengan pola yang diprediksi (atau dengan beberapa prediksi alternatif). Jika ini ada persamaan, maka 15
hasilnya dapat menguatkan validitas internal studi kasus penelitian ini. Dengan demikian analisis dilakukan dengan membandingkan kecocokan antara data yang diperoleh dari responden satu dengan responden yang lainnya. Tidak menutup kemungkinan penjodohan data yang didapat dari wawancara dengan dokumen atau rekaman arsip maupun studi pustaka.
H. Metode Pelaporan Penelitian Laporan penelitian ini dilakukan secara tertulis secara deskriptif, dimana akan menceritakan bagaimana terjadinya eksklusi pertanahan terhadap orang asing khusunya Etnis Tionghoa, dampak eksklusi, sampai pada bagaimana Etnis Tionghoa merespon dan strategi apa yang dilakukan Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan tersebut. Data tertulis secara deskriptif yang akan disajikan
kemungkinan
dibantu
dengan
data
foto-toto
yang
kemudian
diinterpretasikan dan menjadi data yang lebih valid. Adapun jenis laporan penulisan yang akan dipakai menggunakan versi multi kasus dari kasus tunggal klasik. Jenis laporan multi kasus ini akan berisi multi narasi, biasanya disajikan sebagai bab atau bagian yang terpisah, mengenai masing-masing kasus secara tunggal (Yin, 2003: 178). Dengan demikian kasus eksklusi pertanahan di Yogyakarta menjadi kasus tunggal klasik yang kemudian melihat turunan kasus menjadi multi kasus sebagaimana ditulis dengan masing-masing bab seperti sejarah terjadinya eksklusi pertanahan, dampak eksklusi, dan respons Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan di Yogyakarta.
16