BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes spp. betina yang membawa virus dengue yang termasuk dalam golongan Flavivirus. Di dunia telah ditemukan 5 serotipe virus dengue, yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5. Badan
Kesehatan
Dunia
(World
Health
Organization=
WHO)
mengatakan wabah DBD sekarang telah menjadi ancaman utama bagi kesehatan masyarakat global. Lebih dari 2,5 miliar penduduk dunia berisiko terkena penyakit demam berdarah, dengan mayoritas atau 70% populasi hidup di kawasan Asia Pasifik. Dibandingkan wilayah lain, negara-negara Asia Tenggara paling serius terkena dampak DBD, potensi penyebaran DBD di negara Asia Tenggara disebabkan banyak wisatawan keluar masuk dari satu negara ke negara lain (Depkes, 2007). Penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Menurut Kemenkes RI (2014), Indonesia menempati peringkat pertama dalam jumlah kasus DBD di Asia Tenggara dengan lebih dari 90.000 kasus pada tahun 2013. Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968 dan sejak saat itu penyakit ini menyebar luas di seluruh Indonesia. Selama 45 tahun terakhir, sejak tahun 1968 sampai 2013, DBD telah menyebar di 33 provinsi dan 436 kabupaten/ kota dari
1
497 kabupaten/ kota (88%). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk (Kemenkes RI, 2014). Peningkatan kasus DBD terjadi setiap tahun dan seringkali berulang di wilayah yang sama serta secara nasional berulang setiap 5 tahun (Suroso, 2004). Pada tahun 2013, DIY masuk dalam urutan ketiga, provinsi dengan IR DBD tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 95, 99 per 100.000 penduduk, di bawah Bali dan DKI Jakarta (Kemenkes RI, 2014). Menurut Dinkes DIY (2014), Incident Rate (IR) DBD di DIY sempat mengalami peningkatan tajam pada tahun 2010 (148,5/ 100.000 penduduk). Angka ini menurun drastis pada tahun 2011 (28,8/ 100.000 penduduk), tetapi pada tahun 2012 angka IR kembali meningkat 27,5/ 100.000. Tahun 2013, DIY kembali mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB), nilai IR DBD meningkat tajam menjadi 90,70/ 100.000 penduduk, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan IR nasional (18/ 100.000 penduduk). Tingkat kematian penyakit atau Case Fatality Rate (CFR) DBD pada tahun 2013 adalah 0,51%, angka ini belum sesuai dengan Renstra DIY (0,22%), namun masih lebih rendah dibandingkan CFR tingkat nasional (0,89%) (Dinkes DIY, 2014). Jumlah kasus DBD DIY pada tahun 2011 dilaporkan sebanyak 985 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 5 kasus. Tahun 2012 dilaporkan sebanyak 971 kasus dengan CFR sebesar 0,21. Adapun tahun 2013, dilaporkan sebanyak 3.298 kasus dengan kematian sebanyak 18 kasus.
2
Tabel 1. Distribusi IR dan CFR DIY tahun 2013 No
Kabupaten/ Kota
IR (per 100.000)
CFR (%)
1.
Yogyakarta
235,44
0,55
2.
Bantul
116,95
0,75
3.
Kulon Progo
34,97
0,00
4.
Gunung Kidul
47,68
0,31
5.
Sleman
63,76
0,29
90,70
0,51
Jumlah DIY
(Dinkes DIY, 2014) Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah kasus DBD paling banyak terdapat di Kota Yogyakarta dan paling sedikit ditemukan di Kabupaten Kulon Progo. Meskipun begitu, CFR DBD paling tinggi ditemukan di Kabupaten Bantul dan paling rendah di Kabupaten Kulon Progo. Tingginya prevalensi penyakit DBD tidak terlepas dari masih tingginya faktor resiko penularan di masyarakat seperti ABJ yang masih di bawah 95% yaitu sebesar 91,81 pada tahun 2012 (Dinkes DIY, 2014). Berdasar data Dinas Kesehatan Kota Yogya, tahun 2013 jumlah penderita DBD di Kota Yogyakarta mencapai 915 kasus, 5 orang diantaranya meninggal dunia. Dibandingkan tahun lalu, jumlah ini mengalami peningkatan (Pemkot Yogyakarta, 2013). Sampai akhir Desember 2014, Kecamatan Umbulharjo masih menjadi wilayah endemik DBD. Pada tahun 2013, jumlah kasusnya mencapai 195 kasus, 1 diantaranya meninggal, dengan IR sebesar 25,7, dengan kasus DBD tertinggi terdapat di Kelurahan Sorosutan dengan 67 penderita. Kelurahan Sorosutan terdiri atas 17 RW dengan nilai rata-rata ABJ sebesar 89,94% (Dinkes Kota Yogyakarta, 2013). Pada tahun 2014, jumlah kasus DBD di Sorosutan
3
menurun dengan hanya terdapat 17 kasus, sedangkan untuk tahun 2015, sampai dengan bulan April ini tercatat sebanyak 14 kasus DBD dengan nilai ABJ sebesar 92,31% (Puskesmas Umbulharjo, 2015). Di Kabupaten Kulon Progo, tahun 2012 terdapat 50 kasus DBD tanpa kematian dengan nilai IR sebesar 10,24 dan CFR 0%. Puskesmas yang paling banyak kasusnya adalah di wilayah puskesmas Sentolo 1 sebanyak 9 kasus. Sampai dengan tahun 2012 terdapat daerah endemis sebanyak 19 desa, daerah sporadis sebanyak 64 desa, daerah potensial atau bebas sebanyak 5 desa. Ada penurunan desa endemis dan kenaikan desa sporadis serta desa bebas dari tahun sebelumnya (Dinkes Kab.Kulon Progo, 2013). Pada tahun 2013, kasus DBD di Kabupaten Kulon Progo mengalami peningkatan yaitu 144 kasus dan 1 kasus kematian, dengan nilai IR sebesar 29,50 dan CFR sebesar 0,69%. Puskesmas Wates memiliki jumlah kasus penderita DBD paling tinggi yaitu 36 orang. Dari bulan Januari-Agustus 2014, jumlah kasus DBD di Kulon Progo mencapai 84 kasus dengan 2 kasus meninggal dunia dengan nilai ABJ sebesar 83%. Kecamatan Wates dan Pengasih masih merupakan daerah endemis DBD di Kabupaten Kulon Progo. Kecamatan Temon memiliki 3 kelurahan atau daerah potensial atau bebas (non endemis) DBD. Sejak tahun 2009-2013, Kelurahan Janten di wilayah Kecamatan Temon merupakan daerah potensial atau bebas DBD di Kabupaten Kulon Progo (Sie P2M Dinkes Kab.Kulon Progo, 2014). Usaha untuk menanggulangi DBD telah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan penyemprotan atau pengasapan menggunakan insektisida berbahan aktif
4
organofosfat (malation) untuk membasmi nyamuk Aedes spp. serta dengan serbuk abate yang berbahan aktif temefos untuk membunuh jentik atau larva nyamuk di tempat perkembangbiakannya. Apabila nyamuk vektor masih terus ada, meskipun sudah dilakukan pengasapan dan penyebaran bubuk insektisida, tentunya resiko penyebaran DBD masih tinggi dan semakin menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Ketidakberhasilan pengendalian terhadap vektor DBD dapat dilihat dari kemungkinan perkembangan sifat keresistenan atau resistensi pada populasi nyamuk Aedes spp. terhadap jenis insektisida yang dianjurkan (Untung, 2005). Di Indonesia, insektisida golongan organofosfat telah digunakan sejak tahun 1970-an, sedangkan di Kota Yogyakarta baru mulai digunakan pada tahun 1980-an. Tahun 2011- 2014 di Kecamatan Umbulharjo khususnya Kelurahan Sorosutan, digunakan insektisida golongan piretroid sintetik yaitu Cynoff. Insektisida organofosfat (malation) digunakan sebagai bahan aktif untuk fogging mulai tahun 2015 (Dinkes Kota Yogyakarta, 2015). Di Kulon Progo, organofosfat digunakan sejak tahun 1990-an, tetapi tahun 2001-2009 digunakan insektisida golongan piretroid sintetik. Malation digunakan kembali pada tahun 2010-2012, sedangkan untuk tahun 2013-2014 digunakan insektisida golongan piretroid dengan bahan aktif lamda-sihalotrin (Dinkes Kab.Kulon Progo, 2014). Insektisida kimia masih banyak digunakan di dunia, tak ketinggalan pula di Indonesia seperti pada sektor kesehatan dan pertanian. Peningkatan jumlah dan keragaman jenis serangga yang tidak peka dapat menunjukkan fenomena resistensi terhadap satu atau beberapa jenis insektisida. Pada setiap jenis
5
organisme termasuk serangga seperti Aedes spp. memiliki kemampuan untuk mengembangkan populasi yang resisten terhadap insektisida. Proses resistensi ini tidak terjadi dalam waktu singkat tetapi berlangsung selama beberapa generasi yang diakibatkan adanya paparan insektisida yang berlebihan dan terus-menerus (Untung, 2005). Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah peningkatan dan penyebaran penyakit DBD, tetapi usaha tersebut belum memperoleh hasil yang memuaskan. Kasus masih terjadi setiap tahunnya dan bahkan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian vektor penyakit DBD belum berhasil dengan baik (Wuryadi, 1992). Ada beberapa mekanisme resistensi serangga, salah satunya yaitu adanya peningkatan aktivitas enzim esterase non-spesifik. Isoenzim esterase non-spesifik telah banyak dipelajari dan dapat digunakan sebagai indikator perbedaan geografis dan pada beberapa spesies serangga berkaitan dengan mekanisme terjadinya resistensi terhadap suatu insektisida (Marvdashti, 1985). Penelitian menggunakan metode elektroforesis telah banyak digunakan guna mengetahui pola enzim esterase non-spesifik pada suatu serangga terutama nyamuk. Menurut Lee et al. (1992), tingkat resistensi suatu serangga terhadap insektisida berkaitan dengan intensitas atau ketebalan pita esterase non-spesifik yang diperoleh dengan elektroforesis. Hasil elektroforesis menunjukkan adanya pola pita elektroforetik yang berbeda-beda. Dengan adanya latar belakang seperti dikemukakan di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui profil isoenzim esterase non-spesifik pada nyamuk Aedes
6
spp. sebagai vektor dengue yang berasal dari daerah endemis dan non endemis di DIY, dalam hubungannya dengan mekanisme dan tingkat resistensi nyamuk tersebut terhadap insektisida yang biasa digunakan untuk pengendaliannya.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana status resistensi nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis (Kelurahan Sorosutan) dan non endemis DBD (Kelurahan Janten) terhadap insektisida organofosfat? 2. Bagaimana aktivitas enzim esterase non-spesifik pada nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis dan non endemis DBD? 3. Bagaimana profil pita isoenzim esterase non-spesifik pada nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis dan non endemis DBD?
I.3. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui status resistensi
nyamuk Aedes spp. yang berasal dari daerah endemis dan non endemis DBD terhadap insektisida golongan organofosfat. 2.
Tujuan khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
7
a. Mengetahui status resistensi nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis (Kelurahan Sorosutan) dan daerah non endemis DBD (Kelurahan Janten) terhadap insektisida organofosfat b. Mengetahui aktivitas enzim esterase non-spesifik pada nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis dan non endemis DBD c. Mengetahui profil pita isoenzim esterase non-spesifik pada nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis dan non endemis DBD
I.4. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya adalah: 1. Status Entomologis Vektor Dengue di Kelurahan Sorosutan sebagai Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue di Kota Yogyakarta (Damayanti, 2013). Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan adalah pada penelitian ini membahas tentang status entomologis dan infeksi transovarial virus dengue pada nyamuk Ae. aegypti, serta tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku responden. 2. Uji Resistensi Sipermetrin pada Ae. aegypti dari Daerah Endemis dan Non Endemis Deman Berdarah Dengue (Suryati, 2009). Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan adalah subyek pada penelitian ini adalah nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari daerah endemis DBD Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta dan non endemis DBD Dusun Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon, Progo, serta insektisida yang digunakan adalah sipermetrin.
8
3. Profil isoenzim esterase non-spesifik Ae. aegypti dari beberapa daerah endemis DBD di Yogyakarta dengan metode elektroforesis (Nahyani, 2006). Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan adalah subyek pada penelitian ini adalah nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari Terban, Pogung, Klitren dan Ngampilan. 4. Keanekaragaman genetik Ae. albopictus Skuse (Diptera: Culicidae), Vektor Dengue dan Responnya terhadap Malation dan Temefos (Mulyaningsih, 2004). Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan adalah subyek pada penelitian ini adalah nyamuk Ae. albopictus yang berasal dari Yogyakarta, Padang, Banjar, dan Papua. Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan subyek nyamuk Aedes spp. dari daerah endemis DBD yaitu Kelurahan Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta serta daerah non endemis DBD yaitu Kelurahan Janten, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Metode yang digunakan yaitu uji resistensi terhadap insektisida organofosfat dengan metode hayati (bioassay) serta biokemis (microplate assay) dan untuk mengetahui profil isoenzim esterase non-spesifik dengan metode elektroforesis.
I.5. Manfaat Penelitian 1. Dinas Kesehatan a. Sebagai bahan masukan yang dapat dipergunakan untuk pengusulan perencanaan dan evaluasi program pengendalian vektor DBD di Kelurahan
9
Sorosutan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta dan Kelurahan Janten, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. b. Pemantauan dan perencanaan penanggulangan DBD di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2015, khususnya seleksi dalam penggunaan insektisida golongan organofosfat. 2. Bagi peneliti, merupakan tambahan wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang berarti terutama dalam bidang Entomologi.
10