1
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan salah satu bahan makanan yang hampir sempurna karena mengndung gizi yang lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh, yaitu kalori, protein, zat besi (Fe), vitamin B kompleks, vitamin A dan B dan asam sukinat (Soeparno, 2009). Kebutuhan daging sapi sangat tinggi, maka Rumah Potong Hewan memiliki peran penting dalam penyediaan daging di pasar untuk konsumsi. Untuk memperoleh kualitas daging yang memiliki kriteria ASUH (Aman Sehat Utuh Halal) maka harus diterapkan system pengawasan terhadap hewan melalui pemeriksaan antemortem dan postmortemserta sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pemotongan ternak sapi. RPH merupakan aspek penting dalam penyedian daging yang ASUH bagi konsumsi masyarakat. Menurut Badan Standarisasi Nasional (1999), Rumah Pemotongan Hewan adalah kompleks bangunan dengan disain dan kontruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higienis tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Rumah potong hewan secara garis besar mempunyai bangunan utama dan bangunan pendukung. Bangunan utama merupakan yang secara langsung menangani hewan potong dari proses pengistirahatan hewan potong sampai proses pembagian karkas dan siap untuk dipasarkan, sedangkan bangunan pendukung
2
merupkan kantor adminitrasi yang mempunyai tugas untuk mendata hewan yang masuk dan karkas yang diedarkan. Bangunan utama RPH terdiri dari daerah kotor dan bersih. Daerah kotor terdiri dari tempat pemotongan hewan, tempat penyelesaian pemotongan hewan, ruang untuk jeroan, ruang postmortem. Sedangkan daerah bersih terdiri dari tempat penimbangan karkas, tempat keluar karkas, ruang pelayuan, ruang pembekuan, ruang pembagian karkas dan ruang pengemasan daging. Daerah bersih dan kotor dipisahkan dengan tujuan untuk menjaga kualitas produk daging agar tetap higienis, karena ini juga mempengaruhi kesehatan konsumen. Higiene daging tak lepas dari beberapa faktor diantaranya perlakuan hewan sebelum dipotong sampai selesai proses pemotongan dan proses pembagian karkas untuk siap dipasarkan. Semua peralatan yang digunakan selama proses pemotongan hewan harus steril dan kendaraan pengangkut daging hasil RPH harus memenuhi syarat yang berlaku, hal ini bertujuan untuk menjaga daging tetap higienis sampai di tangan konsumen. Rumusan Masalah Bagaimanakah prosespemotongan ternak sapi dan penanganan karkas di RPH Giwangan Kota Yogyakarta?
3
Tujuan Tujuan penulisankarya tulis ini adalahuntuk mengetahuidan mempelajari proses pemotongan hewan yang dilakukan di RPH Giwangan Kota Yogyakarta sehingga menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) untuk diedarkan dan dikonsumsi masyarakat. Manfaat Manfaat penulisan karya tulis ini guna memberikan informasi kepada masyarakat mengenai proses pemotongan sapi yang baik dan benar sehingga menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) untuk dikonsumsi masyarakat.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Sesuai dengan Badan Standarisasi Nasional (1999) Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan kontruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higienis tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Rumah potong hewan (RPH) merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan: 1) pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama), 2) Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (antemortem inspection) dan pemeriksaan karkas dan jeroan (Postmortem Inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia, 3) pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan antemortem dan periksaan postmortem guna pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menulardan zoonosis di daerah asal hewan. Persyaratan Rumah Potong Hewan (RPH) Persyaratan sarana rumah pemotongan hewan sesuai Badan Standarisasi Nasional (1999) antara lain; sarana jalan yang baik menuju rumah pemotongan hewan yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging, sumber air yang cukup, sumber tenaga listrik yang cukup. Kompleks
5
rumah pemotongan hewan juga harus dipagar sedemikian rupa sehinga dapat mencegah keluar masuknya orang yang tidak berkepentingan dan hewan lain selain hewan potong. Pintu masuk hewan potong hendaknya harus terpisah dengan pintu keluar daging. Lokasi RPH harus sesuai dengan rencana umum tata ruang dan rencana detail tata ruang wilayah, yaitu berada di tengah kota, letak lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak berada di dekat industri logamatau kimia, tidak berada diwilayah rawan banjir (Departemen Pertanian, 2010). Persyaratan bangunan dan tata letak RPH yaitu; (1) Kompleks rumah pemotongan yang di dalamnya terdapat; (a) bangunan utama; (b) kandang penampung dan istirahat hewan; (c) kandang isolasi; (d) kantor administrasi dan kantor dokter hewan; (e) tempat istirahat karyawan, kantin, dan mushola; (f) tempat penyimpanan barang pribadi (g) kamar mandi dan WC; (h) sarana penanganan limbah; (i) insenator; (j) tempat pakir; (k) rumah jaga; (l) gardu listrik; (m) menara air (Badan Standarisasi Nasional, 1999).Rumah pemotongan hewan seharusnya dilengkapi dengan ruang pendingin atau ruang pelayuan, ruang pembeku, ruang pembagian karkas, laboratorium, dan sistem saluran pembuangan limbah cair. Bangunan utama RPH terdiri dari; (1) daerah kotor; (a) tempat pemingsanan, tempat pemotongan, dan tempat pengeluaran darah; (b)tempat penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat kaki sampai tarsus dan karpus, pengulitan, pengeluaran isi dada dan perut); (c) ruang jeroan; (d) ruang untuk kulit; (e) tempat pemeriksaan postmortem; (2) daerah bersih; (a)
6
tempat penimbangan karkas; (b) tempat keluar karkas; (c) ruang pelayuan (Badan Standarisasi Nasional, 1999). Tata ruang RPH juga harus memenuhi persyaratan;(a)dibuat searah dengan alur proses serta memiliki ruang yang cukup sehingga seluruh kegiatan pemotongan hewan dapat berjalan baik dan higienis; (b) besar ruangan disesuaikan dengan kapasitas pemotongan; (c) adanya pemisahan yang jelas secara fisik antara daerah bersih dengan daerah kotor; (d) daerah pemotongan dan pengeluaran darah harus dibuat agar darah dapat tertampung; (e) lantai dibuat dari bahan kedap air, tidak korosif, tidak licin, tida tosik, mudah dibersihkan, permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak ada celah; (f) sudut pertemuan antara dinding dan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari 75 mm; (g) sudut pertemuan antara dinding dan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari sekitar 25 mm. Ruang pemotongan harus dilengkapi dengan sistem rel dan alatpenggantung karkas yang dibuat khusus dan disesuaikan dengan alur proses untuk mempermudah proses pemotongan dan menjaga agar karkas tidak menyentuh lantai dan dinding. Dinding pada tempat pemotongan dan pengerjaan karkas memiliki tinggi minimum 3 meter. Ruang untuk jeroan harus dilengkapi dengan sarana peralatan untuk pengeluaran isi jeroan, pencucian, jeroan dan dilengkapi alat penggantung hati, paru, limpa, dan jantung. Ruang untuk kepala dan kaki harus dilengkapi dengan sarana/peralatan untuk mencuci dan alat penggantung kepala. Ruang untuk kulit harus dilengkapi dengan sarana/peralatan untuk mencuci dan membersihkan ruang serta peralatan(Badan Standarisasi Nasional, 1999).
7
Peralatan yang digunakan harus dibuat sesederhana mungkin dan mudah dibersihkan. Selain itu peralatan di RPH juga harus tidak mudah berkarat (Sanjaya, 2007). Seluruh perlengkapan pendukung dan penunjang di Rumah Potong Hewan harus terbuat dari bahan yang mudah didesinfeksi dan mudah dirawat. Alat yang bersentuhan dengan daging tidak bersifat toksik, dilengkapi dengan rel dan alat penggantng karkas dan dilengkapi peralatan khusus karyawan (Departemen Pertanian, 2010).
Di dalam bangunan utama harus dilengkapi
dengan system rel (railing system) dan penggantung karkas yang didesain khusus dan disesuaikan dengan alur proses untuk mempermudah proses pemotongaan dan menjaga agar karkas tidak menyentuh lantai dan dinding. Sarana untuk mencuci tangan harus didisain sedemikian rupa agar tidak menyentuh kran air setelah mencuci tangan, dilengkapi dengan sabun dan pengering tangan seperti kain lap yang senantiasa diganti, kertas tissue atau pengering mekanik (hand drier). Sarana untuk mencuci tangan disediakan disetiap tahap proses pemotongan dan diletakan ditempat yang mudah dijangkau, di tempat penurunan ternak hidup, kantor adminitrasi dan kantor dokter hewan, ruang istirahat pegawai dan/atau kantin serta kamar mandi/WC (Badan Standarisasi Nasional, 1999). Persyaratan karyawan dan perusahaan,karyawan harus sehat dan diperiksa kesehatannya minimal sekali setahun, karyawan mendapat pelatihan tentang higiene dan mutu. Petugas pemeriksa harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan pemeriksaan antemortem dan postmortem serta pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat veteriner (Departemen Pertanian, 2010).
8
Pada sistem saluran pembuangan limbah cair harus cukup besar, dibuat agar aliran limbah mengalir dengan lancar, terbuat dari bahan yang mudah dirawat, dan dibersihkan, kedap air agar tidak mencemari tanah, mudah diawasi dan dijaga agar tidak menjadi sarang tikus atau rodentia lainya. Sistem saluran pembuangan limbah cair harus tertutup agar tidak menimbulkan bau (Badan Standarisasi Nasional, 1999). Penanganan Hewan Potong Penanganan hewan untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik, yaitu (1) ternak tidak diperlakukan secara kasar sehingga ternak tidak mengalami stress; (2)penyembelihan dan pengeluaran darah harus dilakukan secepat dan sesempurna mungkin; (3) kerusakan karkas harus minimal dan cara pemotongan harus dilakukan secara higienis, ekonomis, dan aman bagi para pekerja RPH (Swatland, 1984). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihanternak adalah ternak harus sehat berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan atau mantri hewan yang berwenang. Yang dimaksud sehat yaitu; tidak dalam keadaan lelah atau setelah dipekerjakan; tidak produktif, tidak dipergunakan sebagai bibit, dan ternak yang disembelih dalam keadaan darurat (Soeparno, 2009).Ternak yang disembelih dalam keadaan darurat adalah ternak yang mengalami kecelakaan, ternak yang mengalami luka parah tapi masih hidup dan diperkirakan akan mati apabila tidak disembelih, ternak yang menderita sakit dan hampir mati, dan ternak yang disembelih untiuk hajat tertenu (Soeparno, 2005).
9
Sebelum dipotong hewan harus diistirahatkan minimal 12jam, dipuasakan, dan hanya boleh diberi air minum. Hal ini bermanfaat bagi pengeluaran isi perut dengan maksimal. Ternak harus diistirahatkan selama 12-24 jam, tergantung pada iklim, jarak antara asal ternak dengan rumah potong, cara transportasi, kondisi kesehatan dan daya tahan ternak karena; (1) agar ternak tidak mengalami stres (2) agar saat disembelih darah yang keluar dapat sebanyak mungkin (3) agar cukup tersedia energi, sehingga proses kekauan karkas (rigormortis) berjalan sempurna(Soeparno, 2005). Pengistirahatan ternak dapat dilakukan dengan pemuasaan atau tanpa pemuasaan. Pengistirahatan dengan pemuasaan akan memperoleh berat tubuh kosong (BTK = bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kandung kencing dan isi saluran empedu) dan mempermudah penyembelihan bagi ternak yang agresif dan liar, sedangkan pengistirahatan tanpa pemuasaan akan mengakibatkan darah keluar semaksimal mungkin karena sapi lebih kuat meronta, mengejang, atau berkontraksi (Soeparno, 2005). Perubahan-perubahan kondisi tubuh hewan potong disebabkan karena hewan itu berjalan sampai ke rumah pemotongan ataupun naik kendaraan. Perubahan-perubahan tersebut dapat berupa kehilangan bobot badan, luka-luka atau lecet karena jatuh, atau kalau hewan itu diangkut dengan kereta api atau truk bisa terjadi kesukaran bernafas karena ventilasi tidak cukup. Pengandangan (di rumah pemotongan hewan) itu sendiri banyak pengaruhnya terhadap tingkat terjadinya lecet atau luka dan direkomendasikan agar hewan-hewan yang paling rentan untuk memperoleh penderitaan tersebut (sifatnya liar) hendaknya
10
menempatkan kandang yang paling sepi di rumah pemotongan hewan(Budhiarta, 2004). Hampir semua kasus kerusakan urat daging yang diakibatkan oleh luka lecet yang cukup luas menyebabkan terbebasnya enzim kedalam aliran darah (Lawrie, 1995). PemeriksaanAntemortem Hewanpotong yang akan disembelihdilakukan pemeriksaanantemortem. MenurutDepartemen Pertanian (2010), pemeriksaan antemortem (ante-mortem inspection) adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong sebelum disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa yang berwenang. Pemeriksaan antemortem bertujuan untuk menentukan apakah hewan menunjukanadanya penyakit atau kelainan-kelainan yang berpengaruh pada mutu daging, apakah ada gejala yang menunjukam indikasi terhadap organ-organ tertentu atau bagian-bagianya yang memerlukan penelitian adanya gejala penyakit menular/zoonosis. Pemeriksaan antemortem meliputi: (1) sikap jalan, posisi tubuh tegak, pengelihatan atau pandangan, bugar atau tidaknya; (2) kulit; (3) rongga mulut, rongga hidung, kebasahan hidung, selaput lendir, mata, vagina dan ambing; (4) suhu badan. Pemeriksaan hewan sebelum disembelih adalah sangat penting. Pemeriksaan ini memerlukan fasilitas yang cukup. Hewan yang hendak diperiksa ditempatkan pada kandang yang cukup terang dan hewan tersebut dapat bergerak dengan bebas dan pemeriksa dapat mengamati hewan waktu istirahat dan waktu
bergerak.
Prinsip
umum
dalam
pemeriksaan
antemortem
yaitu
membedakan antara hewan yang normal dan yang tidak normal. Pemeriksan
11
dilakukan pada saat istirahat, diperiksa mengenai keadaan umum dari tiap-tiap individu terutama pada pernafasanya(Budiharta, 2004). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan antemortem adalah : (1) jenis kelamin dari masing-masing hewan; mencari kelainan atau gejala penyakit misalnya gangguan pergerakan seperti picang, lumpuh, atau lemah pada calf diarrhea; (2) keadaan gizi hewan; (3) cara berdiri dan gerak hewan; (4) permuaan kulit; (5) alat pencernaan; (6) alat kelamin diamati terhadap adanya eksudat yang akan menunjukan adanya vaginitis ataupun endometritis; (7) organ respirasi. Lubang hidung diamati apakah ada eksudat atau tidak, kemudian diamati cara hewan bernafas apakah tipe torakal atau abdominal, kecepatan pernafasan, dan ada tidaknya gejala batuk.Pemeriksaan antemortem dilakukan pada hari yang sama dengan pemotongan. Pemeriksaan dilakukan saat hewan diam, dan saat hewan dalam keadaan bergerak dari dua sisi, sebelah kanan dan kiri hewan diamati terhadap kemungkinanadanya kelainan-kelainan. Keadaan yg dijumpai pada pemeriksaan antemortemkemudian disimpulkan bahwa hewan dalam keadaah normal ataupun abnormal. Bila kondisi hewan dijumpai dalam keadaan abnormal, maka dilihat apakah keadaan itu merupakan kondisi lokal atau akan mempengaruhi pemeriksaan antemortem (Sanjaya, 2007). Keputusan-keputusan
pemeriksaan
antemortemmenurut
Departemen
Pertanian(1992) adalah : (1) hewan potong diijinkan dipotong tanpa syarat, apabila dalam pemeriksaan antemortem ternyata bahwa hewan potong tersebut sehat; (2) hewan potong diijinkan dipotong dengan syarat, apabila dalam pemeriksaan antemortem ternyata bahwa hewan potong tersebut menderita atau
12
menujukan
gejala
penyakit
coryza
gangraenosa
bovum,
haemorhagic
septicaemia; piroplasmosis; surra; influenza; fraktura; abses; epithelimia; actinomycosis;etinobacillosis; (3) ditunda untuk dipotong, pada keadaan-keadaan: hewan yang lelah, pemeriksaan belum yakin, bahwa hewan yang bersangkutan adalah sehat, oleh karena harus selalu dibawah pengawasan dan pemeriksaan. Dalam hal ini hewan harus disendirikan; (4) hewan potong ditolak untuk disembelih dan kemudian dimusnahkan menurut ketentuan yang berlaku di rumah potong hewan atau tempat pemotongan atau tempat lain yang ditunjukan, apabila dalam pemeriksaan antemortem ternyata bahwa hewan potong tersebut menderita atau menunjukan geala penyakit: ingus jahat (malleus); anemia contagiosa equorum; rinderpest; variola ovine; pestis bovina; blue tongue akut; tetanus; radangpaha;
gangrean;
emphysematosa;
busung
gawat;
sacharomycosis;
mycotoksicosis baik akut maupun khronis; collibacillosis; apthae epizootic; botulismus; listeriosis; toxsoplasmosis akut. Pelaksanaan Pemotongan Ternak Sapi Setelah sapi lolos pada pemeriksaan antemortem oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk, melalui proses registrasi dan dinyatakan memenuhi syarat, maka sapi siap dibawa masuk ke ruang persiapan penyembelihan untuk melalui proses penyembelihan (Badan Standarisasi Nasional, 1999). Pada dasarnya ada dua teknik pemotongan pada ternak, yaitu: 1) teknik pemotongan secara langsung, dan 2) teknik pemotongan tidak langsung. Pemotongan langsung dilakukan setelah hewan dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memotong arteri karotis dan vena jugularis serta trakea dan oesofagus.
13
Pemotongan ternak secara tidak langsung yaitu, ternak dipotong setelah pemingsanan dan setelah ternak benar-benar pingsan. Maksud pemingsanan ialah: 1) memudahkan pelaksanaan penyembelihan ternak, 2) agar tidak tersiksa dan terhindar dan terhindar dari resiko perlakuan kasar, dan 3) agar kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik (Soeparno, 2005). Ternak yang sudah dinyatakan sehat oleh dokter hewan atau petugas yang berwenang serta sudah diistirahatan dibawa ke ruang pemotongan dan disiram dengan air dingin dengan maksud agar ternak menjadi bersih dan agar terjadi kontraksi perifer (faso kontraksi) sehingga darah dibagian tepi tubuh menuju ke bagian dalam tubuh, dan pada waktu disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin serta memudahkan pengulitan. Kemudian ternak disembelih oleh kaum/modin, yang menghadap kiblat, sehingga kepala ternak ada disebelah selatan dan ekor menghadap ke utara. Juru sembelih harus seorang muslim, dengan membaca basmallah, menggunakan pisau yang tajam, penyembelihan dilakukan dengan satu gerakan. Dengan gerakan tersebut diputuskan jalan nafas (trakea),jalan makan (oesophagus), dua urat nadi (arteri dan vena).Penyembelihan harus tidak terlalu lama atau ternak harus cepat mati, sehingga tidak tersiksa terlalu lama. Setelah bagian kulit, otot, arteri karotis, vena jugularis, trakhea dan esophagus terpotong.Untuk memastikan bahwa ternak benar-benar mati dilakukan tiga macam uji coba; (1) reflek mata, dilakukan terhadap pelupuk mata apakah masih bergerak atau tidak (2) reflek kaki, dilakukan dengan memukul persendian kaki atau memijit sela-sela kuku (3) reflek ekor, dilakukan dengan membengkokan ekor, apabila tidak ada gerakan berarti ternak sudah mati(Soeparno, 2009).
14
Setelah penyembelihan ternak benar-benar mati, maka dilakukan proses penyiapan karkas; (1) dipisahkan kepala dari tubuh ternak, (2) dilakukan pengulitan kepala, (3) keempat kaki dipisahkan pada bagian persendian tulang kanon, (4) dilakukan pengulitan tubuh. Pengulitan dapat dilakukan dengan tiga cara; (a) pengulitan dengan digantung, (b) pengulitan di lantai, (c) pengulitan dengan menggunakan mesin. Setiap masing-masing cara mempunyai kelebihan dan kekurangan, kelebihan pengulitan dengan cara digantung adalah kulit dan karkas tidak kotor sedangkan kerugianya adalah memerlukan alat khusus dan hanya dapat dikerjakan oleh dua orang. Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian perut (abdomen). Kemudian irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam kaki. Selanjutnya kulit dipisahkan mulai dari ventral ke arah punggung tubuh. (5) Rongga dada dibuka dengan gergaji, tepat melalui ventral tengah tulang dada atau sternum. (6) Rongga abdomen dibuka dengan irisan sepanjang ventral tengah, kemudian penis atau saluran ambing serta lemak ruang abdominal yang sudah lepas dipisahkan. (7) Bonggol pelvik dibelah dan kedua bagian tulang pelvik dipisahkan. (8) Dibuat irisan disekitar anus dan tutup dengan kantung plastik. (9) Ekor dikuliti. (10) Esophagus dipisahkan dari trakhea. (11) kandung kencing, intestinum, mesentrium, rumen, lambung, hati dikeluarkan. Setelah diafragma dipotong pluck dipisahkan yaitu; jantung, paru-paru, dan trakhea. (12) karkas dipisahkan menjadi dua bagian kiri dan kanan dengan cara memotong melalui garis tengah punggung. (13) Karkas ditimbang untuk memperoleh berat segar(Swatland, 1984).
15
Penyelesaian Pemotongan Menurut Departemen Pertanian (1992), tentang pemtongan hewan potong dan
penanganan
daging
serta
ikutanya
menyebutkan
bahwa
setelah
hewanpotongdisembelihtidak bergerak dan darahnya berhenti mengalir, dilakukan penyelesaian penyembelihan dimulai dari kepala sampai batas tulang leher satu dan kaki mulai dari tarsus atau karpus dipisahkan dari badan kemudian hewan digantung, dikuliti, isi perut dan dada dikeluarkan, karkas dibelah memanjang dengan ujung leher masih terpaut. Proses peyelesaian pemotongan terdiri dari proses pengulitan, eviserasi, pembagian karkas. Proses pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada bagian perut. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam kaki, dan kulit dipisahkan mulai dari ventral kearah punggung tubuh dan diakhiri dengan pemotongan ekor. Pengulitan dapat dilakukan dilantai, digantung dan menggunakan mesin (Soeparno, 2005). Setelah pengulitan dilakukan eviserasi, yaitu proses mengeluarkan organ pencernaan (rumen, intestinum, hati, empedu) dan isi rongga dada (jantung, oesofagus, paru, trachea). Tahap eveserasi dilaksanakan dengan membuka dada dengan gergaji melalui ventral tengah tengah tulang dada, rongga abdominal dibuka dengan membuat sayatan sepanjang ventral tengah abdominal, memisahkan penis atau jaringan ambing dan lemak abdominal, belah bonggol pelvic dan pisahkan kedua tulang pelvic, buat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantung plastik, pisahkan oesophagus dengan trakea, keluarkan vesica urinaria dan uterus jika ada, keluarkan organ perut yang terdiri dari intestinum, mesenterium, rumen dan
16
bagian lain dari lambung serta hati empedu, diafragma dibuka dan dikeluarkan organ dada yang terdiri dari jantung, paru-paru dan trachea. Proses Eviserasi dilanjutkan dengan pemeriksaan organ dada dan karkas untuk mengetahui karkas diterima atau ditolak untuk dikonsumsi manusia (Soeparno, 2005) Potongan karkas pada sapi potongan primal karkas sapi dari potongan setengah dibagi lagi menjadi potongan seperempat, yang meliputi potongan seperempat bagian depan yang terdiri dari bahu (chuck) termasuk leher, rusuk, paha depan, dada yang terbagi menjadi dua yaitu dada depan (brisket) dan dada belakang (plate). Bagian seperempat belakang yang terdiri dari paha (round), dan paha atas (rump), loin yang terdiri dari shortloin dan sirloin, flank beserta ginjal dan lemak yang menyelimutinya. Pemisahan pada karkas bagian depan dan seperempat belakang dilakukan diantara rusuk 12 dan 13 (rusuk terahir diikutkan pada seperempat belakang). Cara pemotongan primal karkas adalah sebagai berikut : hitung tujuh vertebral central kearah depan (posisi karkas tergantung kebawah), dari perhubungan sacralumar. Potong tegak lurus vertebral columndengan gergaji. Pisahkan bagian seperempat depan dengan pemotongan melalui otot-otot intercostals dan abdominal mengikuti bentuk melengkung dari rusuk ke-12, pisahkan bagian bahu dari rusuk dengan memotong tegak lurus melalui vertebral column dan otot-otot intercostalis atau antara rusuk ke-5 dan ke6. Pisahkan rusuk dari dada belakang dengan membuat potongan anterior ke posterior. Pisahkan bahu dari dada depan dengan memotong tegak lurus rusuk ke5, kira-kira arah proksimal terhadap tulang siku (olecranon). Paha depan juga dapat dipisahkan (Soeparno, 2005).
17
Cara pemotongan primal karkas seperempat belakang diawali dengan memisahkan lemak dekat pubis dan bagian posterior otot abdominal. Pisahkan flank dengan memotong dari ujung distal tensor fascilata, anterior dari rectus femoris kearah rusuk ke-13, (kira-kira 20 cm dari vertebral column). Pisahkan bagian paha dari paha atas dengan memotong melalui bagian distal terhadap ichium kira-kira berjarak 1 cm, sampai bagian kepala dari femur (Soeparno, 2005). Paha atas dipisah dari sirloin dengan potongan melewati antara vertebral sacral ke-4 dan ke-5 dan berakhir pada bagian ventral terhadap acetabulum pelvis. Sirloin dipisahkan dari shortloin dengan suatu potongan tegak lurus terhadap vertebral columndan melalui vertebral lumbarantara lumbar ke-5 dan ke-6 (Soeparno, 2005). Pemeriksaan Postmortem Pemeriksaan postmortem dilakukan setelah sapi dikuliti atau proses skinning. Kepala dilihat dan diteliti dari luar. Lidah diihat, diraba, dan dipijitdan apabila ada kelainan disayat dan dilepaskan. Mukosa mulut dan rongga kerongkongan dilihat. Esofagus disayat dan dibuka serta diamati tutup otot yang luas. Pulmo dan paru diamati, diraba, dan dipencet. Dilakukan jugaberbagai sayatan dalam dan sejajar pada pulmo. Trakhea dibuka
dengan sayatan
memanjang dan diteruskan ke bronkus. Pada jantung dilakukan pengamatan dan perabaan. Jantung dibuka bagian kanan dan kiri dengan dua sayatan sejajar pada septum jantung. Hati diamati, diraba, dipijat dan disayat. Pada ginjal dilakukan pemeriksaan, jika perlu dibagi dua. Diperiksa mukosa/serosa dada dan perut, diafragma, columna vertebralis, pelvis, sternum, persendian, jaringan otot,
18
jaringan lemak, dankaki bawah. Pada lambung, usus, dan mesenterium dilakukan pemeriksaan pengamatan, perabaan, dan penyayatan. Pada darah dilakukan pemeriksaan warna, bahan-bahan asing, dan koagulasi (Budiharta, 2004). Pemeriksaan postmortem dilakukan dengan urutan sebagai berikut: (1) pemeriksaan kepala dan lidah. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat selaput lendir palatum durum, bibir, pipi, kelenjar pertahanan (lymphoglandulae) Ln. Axillaris, dan Ln. mandibularis, serta tonsil dengan jalan menekan lidah ke bawah, kedua sisi M. Masseter diiris untuk melihat kemungkinan adanya Cysticercus bovis; (2) pemeriksaan paru-paru. Paru-paru digantung kemudian dilihat kemungkinan perubahan warna karena paru-paru, yang sehat berwarna terang. Pemeriksaan lymphoglandulae dengan cara meraba dan dilihat6 kemungkinan adanya sarang-sarangtuberkulosis,cacing abses, ataupun tumor; (3) pemeriksaan jantung.Seperti pemeriksaan pada organ lain, pemeriksaan dimulai dengan inspeksi kemungkinan adanya perubahan warna; (4) pemeriksaan alat pencernaan. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat adanya kebengkakan, kebasahan, ataupun perubahan warna menjadi merah. Kelainan yang sering dijumpai adalah terlihatnya sarang-sarang tuberkulosis dan kemungkinan infeksi anthrax yang ditandai dengan berubahnya konsistensi kelenjar pertahanan sperti gelatin; (5) pemeriksaan esophagus. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat kemungkinan
cysticercosis
ataupun
sarcosporidi;
(6)
pemeriksaan
hati.
Pemeriksaan hati dilakukan dengan melihat adanya pembendungan dan sarangsarang cacing. Kemungkinan lain jika dijumpai benjolan adalah sarang-sarang tuberkulosis; (7) pemeriksaan limpa. Pemeriksaan dilakukan dengan mengetahui
19
adanya kebengkakan oleh gangguan sirkulasi, dan kelainan penyakit menular seperti pada infeksi colibacillosis, salmonellosis dankebengkakan karena infeksi anthrax; (8) pemeriksaan bagian luar karkas. Dilakukan dengan melihat adanya perubahan warna pada karkas yaitu karkas berubah menjadi kekuningan atau hemoragi; (9) pemeriksaan bagian dalam karkas. Dilakukan dengan melihat adanya peadangan, misalnya warna merah kotor ataupun warna belang yang dapat disebabkan oleh radang paha dan sebagainya; (10) pemeriksaan jaringan otot. Pemeriksaan dilakuka dengan memperhatikan adanya perubahan warna, konsistensi, dan bau dari karkas. Karkas normal akan berwarna cokelat, padat, tidak berair dan beraroma khas daging (aromatis). Degenerasi daging karena demam pada jaringan otot akan dijumpai kelainan berupa stenosis, blood splashing, abses bekas penyuntikan, ataupun actynobacillosis. Perubahan yang lain adalah jaringan otot tidak merata atau belang,merah kelabu, cokelat pucat, dan warna jaringan menjadi suram; (11) kelainan karkas yang disebabkan oleh gangguan fisiologis. Emaciatio adalah gangguan fisiologis yang ditandai dengan kekurusan yang harus dibedakan dengan cachexia, malnutrisi kronis, dan kekurusan. Pada asphysia (hewan tercekik) pada karkas di jumpai hypermia generalis dan pembendungan organ; (12) keadaan lainya yang sering dijumpai pada karkas dan organ. Kondisi memar pada karkas biasanya ditandai dengan kemrahan pada lymphonodula (Sanjaya, 2007). Keputusan pemeriksaan postmortemmenurut Departemen Pertanian (1992) adalah: (1) daging dapat diedarkan untuk konsumsi jika daging sehat, aman, utuh, dan halal yang berasal dari hewan yang sehat atau daging dari hewan yang
20
menderita
mastitis,
hernia,
fraktur,
ephitemia,
abces,
actinomycosis,
actinobacillosis; (2) daging dapat diedarkan untuk dikonsumsi dengan syarat sebelum peredaran harus diberi perlakuan khusus yaitu daging dari hewan penderita trichinellosis ringan dan cysticercosis ringan daging dimasak, brucellosis daging dilayukan minimal 24 jam, dan tuberkulosis dengan daging direbus; (3) daging dapat diedarkan untuk konsumsi dengan syarat selama peredaran dibawah pengawasan petugas pemeriksaan dengan daging yang mengalami perubahan warna, bau, konsistensi abnormal, septichemia, cahcexia, hydrops, dan oedema; (4) daging dilarang dikonsumsi jika berbahaya bagi manusia yang berasal dari hewan berpenyakit. Tetanus, radang paha, botilismus, collibacillosis, toxoplasmosis akut, listeriois, busung gawat, ingus jahat (malleus), anemia cotgiosa equorum, rabies, rinderpest, pleuroneumonia, cotagiosa bovum, variola ovine, dan blue tongue akut. Penanganan Karkas dan Daging Sapi Pelayuan adalah penanganan karkas atau daging segar postmortem yang secararelatif belum mengalami kerusakan microbial dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu diatas titik beku karkas atau daging (-1,5 ˚C). Selama pelayuan terjadi peningkatan keempukan dan flavor daging. Pelayuan lebih lama 24 jam atau sejak terjadinya kekakuan daging atau rigormortis dapat disebut pematangan (Soeparno, 2005).Pelayuan sering disebut angin, conditioning, dan hanging. Chilling (Penyimpanan dingin pada suhu -4˚C-1˚C) dapat dilakukan selama 24 jam pelayuan (Soeparno, 2011). Daging sebelum diedarkan harus dilayukan selama sekurang-kurangnya 8 jam
21
dengan cara menggantungkannya di dalam ruang pelayuan yang sejuk, cukup ventilasi, terpelihara baik dan higienis, ruang mempunyai fasilitas pendingin dengan suhu ruang – 4 ˚C sampai + 4 ˚C, kelembaban relatif 85-90% dengan kecepatan udara 1 sampai 4 meter per detik suhu ruang dapat menjamin agar suhu bagian dalam daging maksimum +8 ˚C, suhu ruang dapat menjamin agar suhu bagian dalam jeroan maksimum +4 ˚C (Departemen Pertanian, 1992). Proses pelayuan atau pematangan karkas sapi dapat dilakukan selama periode waktu antara 15-40 hari, karena adanya lapisan lemak yang tebal yang menutup dan melindungi karkas dari kontaminasi mikrobia. Karkas yang tidak cukup mengandung lemak eksternal tidak dapat dilayukan dalam waktu yang lama, karena lebih mudah diserang mikroorganisme (Soeparno, 2009). Proses penyimpanan daging dapat dilakukan dengan proses refrigerasi dan penyimpanan beku. 1) Refrigerasi, penyimpanan karkas atau daging pada temperature dingin, meskipun dalam waktu yang singkat diperlukan untuk mengurangi kontaminasi atau mengendalikan kerusakan dan perkembangan mikroorganisme.
Kemungkinan
kerusakan
daging
atau
karkas
selama
penyimpanan dingin dapat diperkecil dengan carapenyimpanan karkas dalam bentuk yang belum dipotong-potong. Penyimpanan daging dingin sebaiknya dibatasi dalam waktu yang relative singkat, karena adanya perubahan-perubahan kerusakan yang mningkat sesuai dengan lama waktu penyimpanan (Soeparno, 2005), 2) penyimpanan beku, pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging. Proses pembekuan tidak berpengaruh pada sifat
22
kualitatif maupun organoleptik termasuk warna, flavor. Perubahan kualitas daging beku sangat minimal pada temperature -18 ˚C (Soeparno, 2005). Distribusi Daging Menurut Departemen Pertanian (1992) tentang pemotongan hewan potong dan penanganan daging beserta hasil ikutannya, alat trasportasi harus terbuat dari bahan anti karat, berlanti licin, sudut pertemuan dinding dan lantai melengkung, mudah dibersihkan, dilengkapi alat gantung atau kait yang cukup dan lampu penerangan serta tidak dibuka selama perjalanan. Kendaraan pengangkut daging harus memenuhi persyaratan : (1) Boks kendaraan untuk mengangkut daging harus tertutup, (2) lapisan dalam boks pada kendaraan harus terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan desinfeksi, mudah dirawat serta mempunyai sifat insulasi yang baik, (3) boks dilengkapi dengan alat pendingain yang dapat mempertahankan suhu bagian dalam karkas +7 ˚C dan suhu bagian dalam jeroan +3 ˚C, (4) suhu ruangan dalam boks pengangkut daging beku maksimal – 18 ˚C, (5) bagian dalam boks dilengkapi dengn penggantung karkas, (6) kendaraan pengangkut babi harus terpisah dari bagian yang lain (Badan Standarisasi Nasional, 1999). Higiene Daging Definisi daging menurut Badan Standarisasi Nasional (2008) tentang mutu daging dan karkas, daging merupakan bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku. Daging segar adalah daging yang baru
23
disembelih tanpa mengalami perlakuan apapun. Daging segardingin adalah daging yang mengalami proses pendinginan setelah pemotongan sehingga suhu bagian dalam daging 0 – 7 ˚C. Daging beku adalah daging yang mengalami proses pembekuan pada suhu dibawah -150 ˚ C. Rumah Potong Hewan (RPH) dan Unit Penanganan Daging (UPD) harus dilengkapi dengan fasilitas higiene-sanitasi yang dapat memastikan bahwa caraproduksi karkas, daging, dan jeroan dapatditerapkan dengan baik dan konsisten.Fasilitas higiene-sanitasi sebagaimana harus mampu menjamin bahwa proses pembersihan dan sanitasi bangunan,lingkungan produksi, peralatan, dan baju kerja karyawan dapat diterapkansecara efektif. Pada setiap pintu masuk bangunan utama, harus memiliki fasilitas untukmencuci sepatu boot yang dilengkapi dengan sikat sepatu, dan fasilitasuntuk mensucihamakan sepatu boot yang dilengkapi desinfektan (footdipping). RPH dan/atau UPD harus memiliki fasilitas cuci tangan yang dilengkapi dengan air hangat, sabun dan desinfektan serta didisain tidak dioperasikan menggunakan tangan atau tidak kontak langsung dengan telapak tangan. Fasilitas cuci tangan harus dilengkapi dengan fasilitas pengering tangan, apabila menggunakan tisue maka harus disediakan tempat sampah bertutup dan tidak dioperasikan dengan tangan. Untuk mensucihamakan pisau dan peralatan yang digunakan, harus memiliki air bertemperatur tidak kurang dari 82 ˚C yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih, atau metoda sterilisasi lain yang efektif (Departemen Pertanian, 2010). Higiene personal harus diterapkan pada setiap RPH dan/atau UPD. Seluruh
pekerja
yang
menangani
karkas,
daging,
dan/atau
jeroan
24
harusmenerapkan praktek higiene meliputi: a) pekerja yang menangani daging harus dalam kondisi sehat, terutamadari penyakit pernafasan dan penyakit menular seperti TBC, hepatitis a, tipus. b)harusmenggunakan alat pelindung diri (hair net, sepatu bot dan pakaian kerja. c) selalu mencuci tangan menggunakan sabun dan/atau sanitaiser sebelumdan sesudah menangani produk dan setelah keluar dari toilet. d) tidak melakukan tindakan yang dapat mengkontaminasi produk (bersin,merokok, meludah, dll) di dalam bangunan utama rumah potong (Departemen Pertanian, 2010).
25
BAB III MATERI DAN METODE Materi Materi yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir ini dengan cara pengambilan data sekunder yang berupa data fasilitas dan proses pemotongan di RPH Giwangan Kota Yogyakarta yang dilaksanakan saat Praktek kerja Lapangan (PKL) periode 22 Februari sampai dengan 24 April 2016. Kegiatan yang dilakukan meliputi: Proses unloading sapi, proses pengistirahatan sapi, Pemeriksaan antemortem, pemotongan hewan, proses penyelesaian pemotongan, pemeriksaan postmortem dan distribusi daging. Metode Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah dengan caramelakukan observasi, wawancara, dan praktek langsung di lapangan.
26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dari kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang bertempat di Rumah Potong Hewan (RPH) Giwangan Kota Yogyakarta, berdasarkan hasil pengamatan langsung kondisi di lapangan, lokasi RPH sangat strategis karena dekat dengan jalan raya sehingga akses transportasi keluar masuk RPH sangat mudah dan sesuai dengan Badan Standarisasi Nasional (1999), yaitu RPH harus mempunyai persyaratansarana jalan yang baik menuju rumah pemotongan hewan yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging. Lokasi RPH juga jauh dari industry logam atau kimia, tidak berada diwilayah rawan banjir sudah sesuai Departemen Pertanian (2010). Di RPH Giwangan juga terdapat beberapa bangunan penunjang yaitu bangunan utama, kandang penampung dan istirahat hewan, kandang iolasi,kantor administrasi dan kantor dokter hewan, tempat istirahat karyawan, kantin, dan mushola, tempat penyimpanan barang pribadi, kamar mandi dan WC, sarana penanganan limbah, insenator, tempat pakir, rumah jaga, menara air, bangunan penunjang ini sudah sesuai dengan Badan Standarisasi Nasional (1999). Pada bangunanutama RPH Giwangan terdapat area kotor dan area bersih yaitu area kotor terdiri dari tempat pemotongan, dan tempat pengeluaran darah, tempat penyelesaian proses penyembelihan (pemisahan kepala, keempat kaki sampai tarsus dan karpus, pengulitan, pengeluaran isi dada dan perut), ruang jeroan, tempat pemeriksaan postmortem dan daerah bersih terdiri dari tempat
27
penimbangan karkas, tempat keluar karkas, ruang pelayuan. Hal ini sudah sesuai dengan Badan Standarisasi Nasional (1999). Namun di RPH Giwangan ruang pelayuan sama sekali tidak digunakan sebagaimana fungsinya karena permintaan dari para jagal, hal ini jelas tidak sesuai dengan Badan Standarisasi Nasional (1999), yaitu daging sebelum diedarkan harus dilayukan selama sekurangkurangnya 8 jam dengan cara menggantungkannya di dalam ruang pelayuan yang sejuk, cukup ventilasi, terpelihara baik dan higienis. Proses penanganan hewan potong di RPH Giwangan Kota Yogyakarta tersaji dalam Gambar 1. Penanganan hewan potong di RPH Giwangan Kota Yogyakarta Pasar Hewan atau Kandang Ternak
RPH Giwangan Kandang Istirahat Disembelih Dengan Syarat/Tanpa Syarat
Pemeriksaan Antemortem
Ditolak Disembelih/ Ditunda Disembelih
Kandang Isolasi
Penyembelihan Hewan
Proses Penyelesaian Penyembelihan
Pemberian Stempel Daging
Pemeriksaan Postmortem
Daging tidak dapat diedarkan
Daging dapat diedarkan
Isolasi/Afkir
Parting
Distribusi
Gambar 1.Skema penanganan hewan potong
28
Hewan yang telah tiba langsung di tempatkan di kandang istirahat dan dIperiksa surat jalan dan surat keterangan kesehatan hewan. Proses unloading (penurunan) sapi yang dilakukan di RPH Giwangan sudah cukup baik serta fasilitas unloading sapi di RPH Giwangan sudah baik yang tersaji dalam Gambar 2. Sapi yang baru datang kemudian diturunkan dari truk pengangkut secara hatihati serta tetap diperhatikan agar sapi tidak terpeleset dan tidak diperlakukan secara kasar sudah sesuai dengan Swatland (1984).
Gambar 2. Penurunan ternak sapi
Proses pengistirahatan hewan potongdilakukan di kandang istirahat yang telah disediakan di RPH. Tujuan dari peristirahatan ternak adalah : 1) agar ternak tidak stress, 2) agar pada saat disembelih darah keluar sebanyak mungkin, 3) agar cukup tersedia energy (Soeparno, 2005). Hewan potong dipuasakan selama 12-24 jam dengan tujuan untuk memperoleh berat tubuh kosongyang maksimal dan mempermudah proses penyembelihan hewan potong. Pengistirahatan hewan potong di RPH Giwangan tersaji dalam Gambar 3.Prosesnya sudah memenuhi syaratyaituhewan dipuasakan dan di tempatkan di kandang istirahat selama 12-24 jam sebelum dilakukan pemotongan, kecuali pemotongan siang yang tidak
29
dilakukan proses pengistirahatan yang seharusnya dilakukan. Dilanjutkan dengan pemeriksaan antemortem.
Gambar 3. Hewan diistirahatkan
Pemeriksaan antemortem bertujuan untuk menentukan hewan potong apakah terindikasi kelainan-kelainan pada tubuh hewan potong yang akan mempengaruhi pada mutu daging, di RPH Giwangan pemeriksaan antemortem meliputikondisi tubuh hewan potong, sikap jalan, penglihatan atau pandangan mata, kulit, rongga mulut, rongga hidung, selaput lendir mata, pemeriksaan kebuntingan, vagina, ambing, suhu badan. Hal ini sudah sesuai dengan Budhiarta (2004) dan Sanjaya (2007). Namun pada pemotongan siang tidak dilakukan pemeriksaanantemortemyang seharusnya dilakukan untuk menentukan apakah hewan menunjukan adanya penyakit atau kelainan-kelainan yang berpengaruh pada mutu daging, apakah ada gejala yang menunjukam indikasi terhadap organorgan tertentu ataubagian-bagianya yang memerlukan penelitian adanya gejala penyakit menular/zoonosis.Keputusan antemortemmenurut Departemen Pertanian (1992) yaitu : hewan potong diizinkan dipotong tanpa syarat, hewan potong diizinkan dipotong dengan syarat, hewan potong ditunda untuk dipotong, hewan
30
potong ditolak untuk dipotong. Pemeriksaan antemortem yang dilakukan di RPH Giwangan sudah baik tersaji dalam Gambar 4. Setiap hewan potong yang akan dipotong dilakukan proses pemeriksaan antemortem kecuali pemotongan siang, apabila terdapat hewan potong yang mengalami kelainan akan ditunda penyembelihannya dan ditempatkan di kandang isolasi, hewan potong yang diketahui bunting tidak akan dilakukan pemotongan dan kemudian ditempatkan di kandang isolasi atau dikembikan kepada jagal dan mengganti dengan ternak yang lain.
Gambar 4. Pemeriksaan antemortem
Hewan yang lolos dari pemeriksaanantemortemselanjutnya akan digiring ke tempat penyembelihan. Pada dasarnya ada dua teknik penyembelihan yaitu secara langsung dan tidak langsung (Soeparno, 2005). Proses penyembelihan hewan potong di RPH Giwangan secara langsung dan sesuai Soeparno (2005), yang tersaji dalam Gambar 5.Yaituhewan potong direbahkan di tempat penyembelihan dengan menghadap kiblat yaitu kepala di utara dan kaki di selatan, menurut Soeparno (2009),yaitu menghadap kiblat, sehingga kepala ternak ada
31
disebelah selatan dan ekor menghadap ke utara. Kemudian disembelih oleh juru sembelih halal,dengan membaca basmallah, menggunakan pisau yang tajam, penyembelihan dilakukan dengan satu gerakan pada bagian leher. Dengan gerakan tersebut diputuskan jalan nafas (trakea), jalan makan (oesophagus), dua urat nadi (arteri dan vena). Hewan potong dipastikan telah mati dengan melihat reflek kaki atau mata, setelah dipastikan mati maka kepala dipotong dan dipisahkan dari tubuh.
Gambar 5. Proses pemotongan
Rumah Ptong Hewan (RPH) Giwangan kota Yogyakarta merupakan pengahsil daging yang biasanya diedarkan di wilayah Yogyakarta. Terutama di pasar besar misal di Pasar Beringharjo, Pasar Pathuk, Pasar Gamping, Pasar Godean. Selain di pasarkan di pasar pasar tersebut, daging hasil RPH juga dipasarkan di beberapa depot, antara lain Depot Gedongkuning, Depot Dongkelan, Depot Kauman dan Depot Jagalan.Berdasarkan data yang diambil, jumlah ternak sapi yang dipotong tersaji pada Tabel 1. Pada bulan Januari 2016 RPH Giwangan melakukan pemotongan sebanyak 447 ekor, setiap hari rata-rata 14 ekor sapi yang dipotong dan menghasilkan karkas 71432 kg. Sedangkan pada
32
bulan Februari 2016 jumlah ternak yang dipotong sebanyak 420 ekor, setiap hari memotong rata-rata 14 ekor sapidan menghasilkan karkas seberat 65442 kg.
Tabel 1. Jumlah ternak yang dipotong dan karkas yang dihasilkan No
Bulan
Jumlah Ternak
Rata-rata per hari
Berat Karkas
1
Januari
447 ekor
14 ekor
71432 kg
2
Februari
420 ekor
14 ekor
65442 kg
Setelah selesai proses pemotongan maka dilanjutkan dengan proses penyelesaian penyembelihan yang tersaji dalam Gambar 6. Proses penyelesaian penyembelihan yang dliakukan sudah baik dan sesuai sesuai Soeparno (2005), yaitu proses pengulitan dan eviserasi. Pada dasarnya proses pengulitan ada dua teknik yaitu pengulitan di lantai dan pengulitan digantung menggunakan mesin. Proses pengulitan yang dilakukan di RPH Giwangan dilakukan dilantai dan menggunakan pisau tajam, pengulitan dimulai dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian perut kemudian dilanjutkan pengulitan di bagian kaki, setelah itu digantung dengan hanger dan kulit dipisahkan dari ventral kearah punggung tubuh. Dilanjutkan dengan proses eviserasi, yaitu mengeluarkan organ pencernaan beruparumen, intestinum, hati, empedudan isi rongga dada yaitu jantung, oesofagus, paru, trachea. Dilakukan dengan membuka dada dengan kapak pada ventral tengah tengah tulang dada, rongga abdominal dibuka dengan membuat sayatan sepanjang ventral tengah abdominal, memisahkan penis atau jaringan ambing dan lemak abdominal,
33
sebelum organ perut dikeluarkan pisahkan oesophagus dan trakea pada bagian ujung oesophagus diikat dengan tali rafia yangbertujuan agar isi organ pencernaan tidak keluar dan mengotori lantai dan karkas. Mengeluarkan vesica urinaria dan uterus jika ada. Mengeluarkan organ perut yang terdiri dari intestinum, mesenterium, rumen dan bagian lain dari lambung serta hati empedu. Kemudian jeroan ditangani di ruang jeron biasanya dilakukan pengeluran kotoran dan pencucian. Setelah dicuci rumen direndam dengan bubuk kapur agar rumen cepat bersih.Diafragma dibuka dan dikeluarkan organ dada yang terdiri dari jantung, paru-paru dan trachea. Kemudian organ yang dikeluarkan dilakukan pemeriksaan postmortem.
Gambar 6. Proses pengulitan
Pemeriksaan postmortem bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya abnormalitas pada organ dalam hewan potong, untuk menjamin bahwa proses pemotongan dilakukan dengan baik serta untuk menjamin kualitas dan keamanan daging. Pemeriksaan daging harus dilakukan seefisien dan secepat mungkin untuk mengetahui apakah daging dapat diedarkan ke masyarakat mengingat adanya penularan penyakit (Sanjaya, 2007). Pemeriksaan postmortem yang dilakukan di
34
RPH Giwangan sudah berjalan baik dan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, tersaji dalam Gambar 7. Pemeriksaan yangterperinci dilakukan yaitu memeriksa organ hati, paru-paru dan jantung, dilakukan dengan cara inspeksi, incise, palpasi. Pada pemeriksaan organ hati dilakukan dengan cara hati disayat menggunakan pisau dan dilihat ada atau tidaknya cacing Fasciola dan sarang tuberculosis, jika diketahui terdapat cacing maka akan dipisahkan dan tidak dipasarkan. Hati yang mengandungFasciola hepatica tidak menular ke manusia, tetapi penolakan dilakukan karena adanya cacing ini akan menyebabkan hati keras dan berkapur, konsumen tidak akan menerima sebagai bahan pangan layak konsumsi. Pemeriksaan jantung dilakukan seperti pemeriksaan pada organ lain, pemeriksaandengan inspeksi untuk melihatan kemungkinan adanya perubahan warna. Pemeriksaan paru-paru dilakukan dengan carainspeksi, palpasi untuk kemungkinan sarang – sarangtuberculosis dan incisebila perlu. Paru – paru sehat bewarna terang dan krepitasi bila ditekan dengan kedua tangan.
Gambar 7. Pemeriksaan postmortem
Setelah selesai proses pemeriksaan postmortem, dilanjutkan dengan pemberian cap legalitas pada karkas.Ini dimaksudkan sebagai syarat bahwa karkas
35
layak dan aman untuk dipasarkan serta aman untuk dikonsumsi masyarakat atau daging dengan kriteria Aman, Sehat, Utuh, Halal (ASUH). Kemudian dilanjutkan dengan penimbangan karkas, dilakukan dengan cara karkas digantung ditimbang dengan timbangan elektrik dilakkan juga pencatatan berat karkas.
Gambar 8. Pengecapan dan Penimbangan RPH Giwangan tidak melakukan proses pelayuan yang seharusnya dilakukansekurang-kurangnya 8 jam dengan cara menggantungkannya di dalam ruang pelayuan yang sejuk, cukup ventilasi, terpelihara baik dan higienis di suhu ruang – 4 ˚C sampai + 4 ˚C (Departemen Pertanian, 1992), dikarenakan pesanan konsumen maka proses selanjutnya adalah partingdaging. Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor setelah pemotongan, meliputi metode pelayuan, pH karkas dan daging, metode penyimpanan dan preservasi (Soeparno, 2005).Parting daging dilakukan pada daerah bersih dimana pencemaran biologik, kimiawi dan fisik masih rendah, dengan tujuan agar daging tetap dalam kondisi baik dan tetap higienis serta untuk mempertahankan kualitas baik dari daging yang dihasilkan. Di RPH Giwangan proses parting daging dilakukan di ruang Unit Penanganan Daging (UPD) yang tersaji dalam Gambar 9. UPD dilengkapi dengan
36
peralatan-peralatan yang sudah sesuai dengan syarat yang berlaku seperti meja stainless steel. Daging yang telah dipotong sesuai pesanan kemudian ditempatkan pada bak stainless steel, dipisahkan antara daging dengan jeroan. Setelah selesai proses parting, kemudian daging di tempatkan di kendaraan pengangkut daging untuk dipasarkan.
Gambar 9. Parting daging
Higiene Daging Daging hasil RPH Giwangan dipasarkan di wilayah Yogyakarta. Penanganan daging dilakukan di ruang Unit Penanganan Daging (UPD), di ruang tersebut daging hasil pemotongan kemudian akan di parting untuk mempermudah dalam proses pengangkutan daging ke pasar dan depot daging. Proses penanganan daging di RPH Giwangan sudah sesuai dengan persyaratan yang berlaku, peralatan yang digunakan dalam penanganan daging juga sudah memenuhi syarat agar daging tetap baik dan higienis sampai di pasar. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam higiene daging, antara lain higiene karyawan, higiene peralatan dan higiene ruang penanganan daging. Persyaratan personal para pekerja
37
dan petugas pemeriksa daging di RPH Giwangan sudah dilaksanakan cukup baik. Para pekerja dan petugas pemeriksa daging diberlakukan pemeriksaan kesehatan setiap setahun sekali. Setiap pegawai yang menangani daging secara langsung harus sehat dan bersih serta harus menjalani pemeriksaan rutin kesehatan setiap tahun nya. Jika dinyatakan tidak memenuhi syarat sehat maka pekerja tidak diperbolehkan bekerja (Gracey, 1999). Pakaian yang digunakan dalam proses penanganan daging juga sudah sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu memakai Alat Pelindung Diri (APD) berupa sepatu boot celemek, namun masih ada beberapa petugas yang tidak menggunakan celemek bahkan merokok, tersaji dalam Gambar 10. Hal ini tidak sesuai dengan Departemen Pertanian (2010), yaitu petugas harus menggunakan alat pelindung diri (hair net, sepatu bot dan pakaian kerja) dan tidak melakukan tindakan yang dapat mengkontaminasi produk (bersin, merokok, meludah, dll) di dalam bangunan utama rumah potong. Ini menunjukan kurangnya pengawasan dan eduksai terhadap petugas.
Gambar 10. Petugas tanpa Alat Pelindung Diri (APD)
38
Setelah dan sebelum menangani daging petugas harus mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, hal ini bertujuan agar tangan sterill begitu juga dengan daging yang dihasilkan. Persyaratan peralatan di RPH Giwangan sudah memenuhi syarat yang berlaku. Peralatan yang digunakan antara lain pisau, kampak dan pengasah pisau. Setiap pekerja umumnya memiliki lebih dari satu pisau, pisau yang digunakan untuk memotong hewan potong tidak digunakan dalam proses parting daging ini dimaksudkan untuk menjaga daging agar tetap higienis. Sebelum menyembelih biasanya para juru sembelih merendam pisau mereka di tempat khusus yang berisi air panas dengan suhu ± 85 ˚C , menurut Departemen Pertanian (2010), suhu yang baik untuk mensucihkan atau sterilisasi adalah 82 ˚C, hal ini bertujuan agar pisau tetap steril. Setelah itu baru diasah dengan pengasah pisau agar ketajaman pisau saat digunakan untuk menyembelih tetap terjaga, tersaji dalam Gambar 11. Sesudah menyembelih pisau dicuci di air mengalir dan direndam kembali dengan air panas di tempat sterilisasi pisau agar agen kontaminan tidak hidup di pisau yang digunakan untuk menyembelih. Pisau yang digunakan untuk menguliti juga dilakukan penanganan yang sama.
Gambar 11. Wastafel dan alat sterilisasi pisau
39
Peralatan yang digunakan di RPH Giwangan juga dilengkapi dengan meja stainless steel yang berfungsi untuk alas parting daging tersaji dalam Gambar 12. Meja stainless steelsangat praktis digunakan karena mudah dipindahkan dan mudah dibersihkan, selain itu meja stainless steeltidak mudah korosif hal ini sesuai dengan Sanjaya (2007), yaitu peralatan yang digunakan harus dibuat sesederhana mungkin dan mudah dibersihkan. Selain itu peralatan di RPH juga harus tidak mudah berkarat.Bak stainless steeldigunakan sebagai wadah daging, serta mempermudah saat memindahkan daging, jeroan ke ruang penanganan setelah dilakukan pemeriksaan postmortem serta mempermudah untuk membawa kekendaraanpengangkut daging saat akan didistribusikan, tersaji dalam Gambar 13.
Gambar 12. Meja stainless steel
Gambar 13. Bak stainless steel
Penanganan daging ditempatkan pada satu ruangan khusus, bertujuan untuk menjaga daging agar tetap baik dan higienis, di RPH Giwangan terdapat satu ruangan yang khusus digunakan untuk proses penanganan daging yaitu ruang Unit Penanganan Daging (UPD) tersaji dalam Gambar 14. UPD biasanya
40
digunakan untuk parting daging meja yang digunakan adalah meja semen yang dilapisi dengan keramik dan meja stainless steel. Setelah proses parting maka UPD harus dibersihkan secara menyeluruh dengan air mengalir dan menggunakan detergen digosok dengan plastikatau bekas karung.
Gambar 14. Ruang Unit Penanganan Daging (UPD)
Kendaraan pengangkut daging harus memenuhi persyaratan : (1) Boks kendaraan untuk mengangkut daging harus tertutup, (2) lapisan dalam boks pada kendaraan harus terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan desinfeksi, mudah dirawat serta mempunyai sifat insulasi yang baik, (3) boks dilengkapi dengan alat pendingain yang dapat mempertahankan suhu bagian dalam karkas +7 ˚C dan suhu bagian dalam jeroan +3 ˚C, (4) suhu ruangan dalam boks pengangkut daging beku maksimal – 18 ˚C (Badan Standarisasi Nasional, 1999). Daging hasil RPH diangkut dengan mobil boks tertutup, orang ataupun benda lain tidak diizinkan masuk ke dalam dari kendaraan. Di RPH Giwangan dilengkapi dengan fasilitas kendaraan pengangkut daging, kendaraan ini dilengkapi juga dengan pendingin sesuai dengan (=Badan Standarisasi Nasional (1999), namun pendingin tidak digunakan dikarenakan
41
distribusi daging hasil RPH Giwangan tidak terlalu jauh jaraknya. Daging hasil RPH Giwangan diedarkan di Pasar Beringharjo,Pathuk, Gamping,Godean, Depot Gedongkuning, Depot Dongkelan, Depot Kauman dan Depot Jagalan.
Gambar 15. Mobil angkut daging
Jeroan dan hasil sampingan diangkut dengan wadah dan atau alat angkut yang terpisah dengan alat angkut karkas/daging (Soeparno, 2005).
Di RPH
Giwangan hasil sampingan berupa kulit ikut dijual, biasanya sudah ada pemesan. Setelah pengulitan biasanya petugas membersihkan sisa daging yang masih tertinggal. Setelah itu kulit diikat dan ditimbang tersaji dalam Gambar 16. Kulit biasanya dibawa menggunakan motor atau mobil bak terbuka.
Gambar 16. Penimbangan kulit
42
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Penanganan Hewan Potong di RPH Giwangan sudah baik dan sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Higiene Daging di RPH Giwangan sudah baik dan sesuai, namun masih ada beberapa proses yang belum sesuai dengan persyaratan yang berlaku yaitu proses pelayuan daging,pemeriksaan antemortem pada pemotongan siang dan masih ada petugas yang tidak memakai clemek.
Saran Rumah Potong Hewan (RPH) Giwangan merupakan penyedia daging di wilyah Yogyakata, sebaiknya melaksanakan proses-proses penanganan hewan potong dan daging dengan lebih baik lagi, proses pelayuan sebaiknya dilakukan karena dengan proses pelayuan kualitas daging yang dihasilkan akan menjadi lebih baik, pemeriksaan antemortem pada pemotongan siang. Serta petugas yang menangani daging sebaiknya menggunakan pakaian yang telah dianjurkan yaitu memakai celemek, ini bertujuan untuk meminimalkan kontaminasi terhadap daging dan agar mendapatkan daging yang ASUH.
43
DAFTAR PUSTAKA BadanStandarisasi Nasional.1999. Standar Nasional Indonesia Rumah Pemotongan Hewan 01-6549-1999. BadanStandarisasi Nasional.2008.StandarNasional indonesiaMutu Karkasdan Daging Sapi SNI 3932: 2008. Budiharta, S. 2004. Penyembelihan, Pemeriksaan Pramerta, dan Pemeriksaan Pascamerta pada Ternak Potong. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Departemen Pertanian. 1992. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413 tahun 1992 Tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya. Departemen Pertanian. Departemen Pertanian. 2010. Peraturan Mentri pertanian No. 13/ permentan /OT.140/1/2010 Tentang persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit penanganan Daging (Meat Cutting Plane). Departemen Pertanian. Gracey, J., Collins, D.S., dan Huey R., 1999. Meat Hygiene 10thEditon. W.B. Saunders Company LTD, New York. Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging Edisi Kelima. UI Press, Jakarta. Sanjaya, A.W; Sudarwanto, M; Soejoedono, R.R; Purnawarman, T; Lukman, D.W; Latif, H. 2007. Higiene Pangan. IPB Press, Bogor. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Soeparno;Rihastuti, R.A; Indraatiningsih, S. 2011.Teknologi Hasil Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Swatland, HJ. 1984. Structure andDevelopment of meat animals. Prentice-Hall inc, Englewood Cliff, New Jersey.