BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Contrast induced nephropathy (CIN) merupakan salah satu komplikasi serius akibat pemakaian zat kontras berbahan dasar iodium yang dipakai dalam tindakan radiologi. Contrast induced nephropathy didefinisikan sebagai suatu kejadian acute kidney injury (AKI) yang ditandai dengan peningkatan relatif atau absolut dari kadar kreatinin serum dibandingkan dengan nilai awal akibat paparan terhadap zat kontras yang digunakan dalam tindakan radiografi dengan catatan tidak ada riwayat gangguan renal sebelumnya (Wolak et al., 2013). Salah satu tindakan medis yang menggunakan zat kontras adalah percutaneous coronary intervention (PCI) pada pasien dengan infark miokard. Insidensi CIN sangat bervariasi, tergantung pada populasi pasien dan faktor risiko awalnya (McCullough, 2008). Kejadian CIN cukup rendah pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal yaitu berkisar antara 1-2% (Kellum et al., 2012), namun dengan adanya faktor risiko, angka kejadian CIN bisa meningkat mencapai 25-50% (Rudnick et al., 2008; Zhou dan Duan, 2013). Di Indonesia berdasar penelitian yang dilakukan oleh Ningrum dan Yuniadi (2009) menunjukkan bahwa di RS Jantung Harapan Kita, dari 312 pasien yang menjalani tindakan intervensi kardiologis menggunakan kontras, 25% mengalami CIN. Contrast induced nephropathy dihubungkan dengan peningkatan lama waktu
rawat inap di RS, gangguan fungsi ginjal yang menetap, dan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan MACCE (Major Adverse Cardiovascular and Cerebrovascular Events) (Wi et al., 2013). Gangguan fungsi ginjal sebelumnya, diabetes mellitus (DM), dan usia lanjut merupakan faktor risiko utama (Onuigbo dan Onuigbo, 2008; Jorgensen, 2013; Zhou dan Duan, 2013). Ketiga hal tersebut merupakan faktor risiko utama dikarenakan pada pasien ini telah mempunyai predileksi gangguan fungsi pada ginjal, sementara efek merusak dari zat kontras bekerja terutama pada fungsi ginjal (Toprak dan Cirit, 2006). Faktor risiko lainnya adalah pemakaian obat nefrotoksik, anemia, dan gangguan jantung dengan hemodinamik yang tidak stabil. Pemakaian obat pemblok RAAS seperti ACE Inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker masih menjadi faktor risiko CIN yang kontroversial. Hasil penelitian yang ada tidak konsisten, dan diperkirakan akibat patomekanisme CIN yang belum jelas dimana penurunan GFR merupakan salah satu penyebab, dan obat
pemblok
RAAS
mengganggu
mekanisme
umpan
balik
untuk
mempertahankan GFR normal. Sebab lainnya adalah faktor teknis penelitian seperti kecilnya jumlah sampel dan perbedaan populasi subyek penelitian (Kalyesubula et al., 2014). Walaupun desain zat kontras yang digunakan telah diperbaiki sehingga menjadi kurang toksik, dengan semakin meningkatnya penggunaan zat kontras dalam tindakan medis seperti PCI dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, dan semakin banyak kelompok pasien risiko tinggi maka kejadian CIN akan tetap
menjadi problem dalam praktek klinis (Nash et al., 2002; Mehran dan Nikolsky, 2006). Oleh karena itu, penelitian tentang CIN dihubungkan dengan faktor-faktor risiko yang ada seperti DM dan gangguan fungsi ginjal dan terutama faktor risiko kontroversial seperti pemakaian obat pemblok RAAS terutama pada pemakaian jangka panjang akan tetap menarik dilakukan. Penelitian semacam ini belum pernah dilakukan di Indonesia.
I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka secara rinci permasalahan dalam penelitian yang akan diajukan adalah: 1. Apakah ada beda angka kejadian CIN paska tindakan PCI pada subyek DM dengan gangguan fungsi ginjal ringan sedang yang menggunakan obat pemblok RAAS jangka panjang dengan yang tidak menggunakan obat pemblok RAAS jangka panjang di RS Jantung Harapan Kita? 2. Berapakah risiko relatif kejadian CIN pada subyek DM dengan gangguan fungsi ginjal ringan sedang yang menggunakan obat pemblok RAAS jangka panjang di RS Jantung Harapan Kita? 3. Apa saja prediktor CIN pada subyek DM dengan gangguan fungsi ginjal ringan sedang yang menggunakan obat pemblok RAAS jangka panjang di RS Jantung Harapan Kita?
I.3. Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan Umum: Mengetahui pengaruh penggunaan obat pemblok RAAS jangka panjang pada kejadian CIN pada subyek DM dengan gangguan fungsi ginjal yang menjalani tindakan PCI di RS Jantung Harapan Kita. I.3.2. Tujuan Khusus: 1. Mengetahui beda kejadian CIN paska tindakan PCI pada subyek DM dengan gangguan fungsi ginjal ringan sedang yang menggunakan obat pemblok RAAS jangka panjang dengan yang tidak menggunakan obat pemblok RAAS jangka panjang di RS Jantung Harapan Kita. 2. Mengetahui risiko relatif kejadian CIN pada subyek DM dengan gangguan fungsi ginjal ringan sedang yang menggunakan obat pemblok RAAS jangka panjang di RS Jantung Harapan Kita. 3. Mengetahui prediktor CIN pada subyek DM dengan gangguan fungsi ginjal ringan sedang yang menggunakan obat pemblok RAAS jangka panjang di RS Jantung Harapan Kita.
I.4. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengaruh pemakain obat pemblok RAAS terhadap kejadian CIN telah beberapa kali dilakukan di luar negeri: 1. Hölscher, et al. (2008) melakukan penelitian pada 412 pasien yang menjalani prosedur kateterisasi jantung elektif dengan kadar kreatinin serum kreatinin awal 115 μmol/L - 309 μmol/L (1.3 mg/dl - 3.5 mg/dl) dengan metode
prospective assessed data dari RCT DVD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian CIN banyak terjadi pada pasien yang mendapat terapi dengan ACE inhibitor (OR 6.16, 95% CI 2.01 to 18.93). 2. Umruddin, et al. (2012) melakukan penelitian pada 201 pasien menjalani prosedur kateterisasi jantung dengan metode retrospective case control study. Hasil penelitian menunjukkan pemakaian obat pemblok RAAS meningkatkan risiko CIN hingga 2x lipat (OR 2.68 (95% CI, 1.51-4.76). 3. Spatz et al. (2012) melakukan penelitian pada 178 pasien dengan CKD stage 3 atau 4 yang menjalani prosedur kateterisasi jantung dengan metode retrospective cross-sectional study. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian obat pemblok RAAS tidak mengalami peningkatan risiko CIN ACE I: OR 0.73 (95% CI, 0.31- 1.69), ARB: OR 0,46 (95% CI, 0.06 - 3.70). 4. Rosenstock et al. (2008) melakukan penelitian pada 220 pasien dengan CKD stage 3 atau 4 yang menjalani prosedur kateterisasi jantung dengan metode Randomized controlled trial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada beda bermakna antar kelompok dalam kejadian CIN (P=0,6). Penelitian sejenis pernah beberapa kali dilakukan di luar negeri, seperti penelitian yang dilakukan oleh Rosenstock et al. (2008). Namun, metode yang mereka gunakan adalah penelitian prospektif dan RCT. Penelitian ini menggunakan metode historical cohort, dengan tujuan untuk melihat efek penggunaan obat pemblok RAAS jangka panjang dengan kejadian CIN pada subyek pasien DM dengan gangguan fungsi ginjal. Selain itu, di Indonesia terutama di RS Jantung Harapan Kita, penelitian ini belum pernah dilakukan.
Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai insidensi CIN dihubungkan dengan obat pemblok RAAS dengan demografi pasien orang Indonesia.
I.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi dunia pendidikan dan teknologi kedokteran khususnya di Indonesia, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai pengaruh penggunaan obat pemblok RAAS jangka lama dengan kejadian CIN pada pasien DM dengan gangguan fungsi ginjal yang menjalani tindakan PCI. 2. Bagi bidang klinis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penggunaan kontrast dalam tindakan pemeriksaan radiologis khususnya PCI pada pasien yang menggunakan obat pemblok RAAS jangka lama.