BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau kelompok
masyarakat
untuk
bekerja
sama
dan
mengidentifikasi
diri
(Kridalaksana, 1983: 17), dengan demikian bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, serta komunikasi bernilai mutlak dalam hidup berdampingan individu dengan individu, kelompok dengan individu, maupun kelompok dengan kelompok. Dewasa ini, seperti yang kita sadari bahwa bangsa Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak ragam bahasa daerah, hampir di seluruh provinsi yang ada di Indonesia memiliki bahasa daerah atau biasa disebut bahasa ibu. Menurut Banta dalam bukunya Marsono berjudul Morfologi Bahasa Indonesia dan Nusantara menyatakan bahwa keadaan kebahasaan di Indonesia, di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, terdapat tidak kurang dari 418 bahasa daerah yang ada di Indonesia1 (Marsono, 2011:1). Bahasa-bahasa itu merupakan identitas masing-masing suku. Di antara bahasa-bahasa tersebut yang memiliki jumlah penutur terbanyak adalah bahasa Jawa (Kencana, 1999:3). Berangkat dari alasan tersebut, dengan berbagai komposisi yang dibandingkan dari berbagai sumber, maka jelaslah objek yang dikaji dalam penulisan ini adalah bahasa daerah, yakni bahasa Jawa dan Bima. Berdasarkan 1
Jumlah bahasa-bahasa Nusantara secara pasti sampai sekarang menurut para ahli belum ada kesepakatan, ada yang menyatakan 200 buah, 418 buah, 500 buah, dan bahkan ada yang menyatakan 700 buah.
1
2
rumpun kedua bahasa tersebut sama, yakni rumpun Austronesia maka diharapkan fono-leksikal dalam kedua bahasa Jawa dan bahasa Bima dapat dikaji melalui pengkajian
secara
komparatif.
Adapun
pengertian
komparatif
adalah
membandingkan unsur-unsur kebahasaan dari dua bahasa atau lebih dalam satu kerabat (Marsono, 2011:6). Bahasa Jawa dan bahasa Bima merupakan bahasa ibu yang memiliki pengertian, yakni bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya (Kridalaksana, 1983:19). Alasan peneliti mengambil kedua bahasa tersebut sebagai objek kajian karena bahasa Bima dan bahasa Jawa memiliki kemiripan, bukan hanya memiliki status yang sama sebagai bahasa ibu, tapi memiliki kemiripan juga dalam bentuk fono-leksikal, contoh:
Bahasa Jawa
Bahasa Bima
Makna
/jaran/ [jaran] /ↄmah/ [ↄmah] /lawaŋ/ [lawaŋ] /watu/ [watu] /padasan/ [padasan]
/jara/ [jaraɁ] /uma/ [umaɁ] /lawa/ [lawaɁ] /wadu/ [waduɁ] /padasa/ [padasaɁ]
‘kuda’ ‘rumah’ ‘pintu’ ‘batu’ ‘tempat wudu'
Dari abel di atas, diketahui bahwa bentuk kata menunjukan kemiripan yang hampir sama, kecuali fonem /n/ akhir dalam kata bahasa Jawa mengalami perubahan bunyi berujud [Ɂ] dalam bahasa Bima. Jadi bentuk kedua kata dalam bahasa Jawa dan bahasa Bima mengalami perubahan tetapi maknanya tetap sama. Perbedaan yang terdapat pada contoh di atas dapat dilihat pada penjelasan berikut. Contoh kata “jaran” [jaran] dalam bahasa Jawa dan kata “jara” [jaraɁ] dalam
3
bahasa Bima. Kata “jaran” dalam bahasa Jawa memiliki fonem /n/ pada akhir kata. Sedangkan dalam bahasa Bima kata “jara” fonem /n/ mengalami perubahan berujud [Ɂ]. Contoh lain, kata “padasan” [padasan] dalam bahasa Jawa dan kata “padasa” [padasaɁ] dalam bahasa Bima, terdapat perubahan fonem /n/ sama halnya dengan contoh kata pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu, sejauh pemahaman peneliti bahwa bahasa Bima tidak mengenal fonem konsonan atau suku tertutup pada akhir kata, dengan demikian secara otomatis muncil bunyi [Ɂ] setelah bunyi fonem vokal pada bahasa Bima. penjelasan yang diuraikan di atas merupakan salah satu contoh, bahwa kedua bahasa, yakni bahasa Jawa dan bahasa Bima memiliki sifat kekerabatan. Oleh karena itu bahasa Jawa dan Bima menarik untuk dikaji. Perbedaan dan persamaan itulah jadi titik fokus dalam penelitian ini yang menggunakan analisis komparatif dengan tujuan utama, yakni fono-leksikal. Dinilai dari keeksistensian kedua bahasa, bahwa bahasa Jawa lebih eksis dibandingkan dengan bahasa Bima. Penyebabnya adalah bahasa Jawa memiliki lebih banyak penutur atau pengguna bahasa dibanding bahasa Bima. Menurut Hendrokumoro dalam buku berjudul Bahasa-Bahasa Nusantara menyatakan bahwa sampai saat ini, penutur bahasa Jawa yang meliputi Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta penuturnya mencapai 60.000.000 penutur tempatnya di Jawa, sedangkan bahasa Bima jumlah penuturnya mencapai 365.000 penutur tempatnya Nusa Tenggara Barat (Hendrokumoro, 2009: 166167). Dilihat dari fungsi dan statusnya bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa ibu, terutama bagi penduduk yang mendiami Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,
4
dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain dari daerah-daerah tersebut, bahasa Jawa juga digunakan di daerah transmigrasi suku Jawa. Seperti di Provinsi Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Tenggara, Sulawesi Selatan, bahkan di luar Indonesia, yakni Suriname, Belanda, dan Malaysia (Marsono, 1997:1). Bahasa Bima adalah bahasa ibu, sama halnya dengan bahasa Jawa. Tetapi daerah cakupan pengguna dan jumlah penuturnya berbeda kalau dibandingkan dengan bahasa Jawa. Bahasa Bima dikenal di Kabupaten Bima dan Dompu, yang merupakan rumpun bahasa Bima-Sumba (Fernandes, 1995: 1), merupakan bahasa setempat yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu2 (Chambert-Loir, 2004: 20). Bahasa Bima dan Jawa pada umumnya merupakan bahasa yang berbeda, meskipun demikian keduanya merupakan satu rumpun bahasa, yakni bahasa Austronesia (Keraf, 1984: 25). Dalam pemahaman ini, dikatakan serumpun jika bahasa itu mempunyai persamaan unsur-unsur kebahasaan. Persamaan itu dapat terletak pada fonem, morfem, kata, maupun struktur kalimatnya (Arofah, 2009: 2). Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Inyo Yos Fernandes, dalam Laporan Penelitiannya yang berjudul Bahasa Bima dan Bahasa Komodo, Kajian Linguistik Historis Komparatif Terhadap dua Bahasa NTB dan NTT Secara Kualitatif dan Kuantitatif di Bidang Leksikal dan Fonologi, mengatakan bahwa kajian linguistik komparatif terhadap bahasa-bahasa Austronesia di kawasan Indonesia bagian timur, khususnya di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur patut dicatat masih sangat langka dan jauh
2
Bahasa tersebut sebenarnya bernama lokal ‘Mbojo’ (Bahasa Bima disebut Ngahi Mbojo)
5
ketinggalan jika dibandingkan kajian komparatif terhadap bahasa-bahasa Austronesia di kawasan nusantara barat. Akibatnya kemajuan studi linguistik Austronesia secara sinkronis maupun diakronis tentang bahasa-bahasa daerah di kawasan nusantara bagian barat jauh lebih unggul daripada di nusantara bagian timur. Atas dasar itu, penelitian ini dianggap perlu karena sejauh pemahaman dan pengetahuan peneliti, masih sedikit penelitian yang membandingkan bahasa Jawa dan bahasa Bima khususnya mengenai fono- leksikal.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
yang
telah
dipaparkan
sebelumnya,
permasalahan yang dapat diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sistem fono-leksikal Bahasa Jawa dan Bahasa Bima? 2. Bagaimanakah perbandingan fono-leksikal Bahasa Jawa dengan Bahasa Bima?
1.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian bahasa Jawa dan bahasa Bima dalam analisis komparatif, secara umum difokuskan pada linguistik fono-leksikal. Peneliti mengacu pada bentuk fonologi dan leksikal pada kedua bahasa itu. Berkaitan dengan analisis tersebut peneliti membatasi objek kajian, yakni difokuskan pada fonem segmental meliputi fonem vokal dan fonem konsonan. Supaya penelitian ini lebih difokuskan pada tujuan dan mencapai hasil yang diharapkan, pembahasan perbandingan leksikon kedua bahasa itu, dilakukan dengan cara mengelompokan leksikon yang ada sesuai kriteria berikut; (1) bentuk dan makna kata sama (2) bentuk sama makna
6
kata beda (3) bentuk mirip makna kata sama (4) bentuk mirip makna kata beda (Arofah, 2009:4).
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan ruang lingkup serta rumusan pemahaman pada bagian sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Mendeskripsikan bentuk fonologi bahasa Jawa dan bahasa Bima. 2) Menunjukan persamaan dan perbedaan fono-leksikal bahasa Jawa dan bahasa Bima.
1.5 Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya di atas, maka diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberi manfaat, yakni: a. Manfaat teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberi
kontribusi
terhadap
perkembangan ilmu bahasa khususnya pada bidang linguistik. Karena dapat menambah dan memperkaya pemahaman atau refrensi baru untuk peneliti pemula dalam mengkaji bahasa-bahasa daerah terutama bahasa Jawa dan bahasa Bima, dengan lingkup analisi komparatif. b. Secara praktis Selain manfaat teroritis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis, yakni penelitian ini diharapkan dapat membantu pemakai bahasa Jawa dan bahasa Bima sebagai proses ajar-mengajar dalam bidang bahasa
7
daerah, khususnya di wilayah Jawa dan Bima. Selain itu, diharapkan bermanfaat bagi pembinaan dan pengembangan bahasa daerah sebagai aset budaya bangsa.
1.6 Tinjauan Pustaka Kajian komparatif terhadap bahasa-bahasa sub-kelompok bahasa bagian timur pernah dilakukan oleh Inyos Yos Fernandes dalam laporan penelitian, yakni Bahasa Bima dan Bahasa Komodo, Kajian Linguistik Historis Komparatif Terhadap dua Bahasa NTB dan NTT Secara Kualitatif dan Kuantitatif di Bidang Leksikal dan Fonologi (Fernandes:1995), kajian ini lebih fokus dalam perbandingan bahasa Bima dan bahasa Komodo melalui pendekatan Historis Komparatif. Penelitian terhadap bahasa Jawa dengan menggunakan pendekatan yang sama pernah dilakukan oleh Hendrokumoro (2000), yang mendeskripsikan perbandingan bahasa Sunda di daerah perbatasan Jawa Tengah dengan bahasa Jawa di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, penelitian tersebut fokus pada perbandingan dialek. Sementara penelitian terhadap bahasa Bima dilakukan oleh Ismail, dkk dalam bentuk kamus, yakni kamus Bima-Indonesia (1985). Kencana (1999), mendeskripsikan mengenai perbandingan makna leksem bahasa Jawa dan bahasa Sunda berdasarkan tingkat tutur. Marsono (2005), membahas mengenai fonologi Bahasa Jawa. Wedhawati mambahas mengenai fonologi bahasa Jawa (2001). Penelitian serupa yang dapat diacu, yakni Sistem Fonem dalam Bahasa Angkolo, Marsono (1993). Siregar (2002), mengenai perbandingan fono-leksikal bahasa Jawa dan bahasa Minangkabau, penelitian ini fokus pada fonologi dan leksikal. Arofah (2009), mengenai perbandingan bahasa Jawa dan bahasa Sunda, penelitian
8
ini fokus pada Fonologi dan leksikal. Dari beberapa penelitian tersebut diharapkan dijadikan acuan dalam penelitian ini.
1.7 Landasan Teori Penelitian komparatif dua bahasa atau lebih bertujuan untuk melihat relasi kekerabatan antara bahasa-bahasa yang dikaji. Dan dapat dilakukan dengan kajian linguistik historis komparatif dan kajian dialektologi. Kajian linguistik historis komparatif berpijak pada upaya untuk mencari kesamaan dari unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara bahasa-bahasa yang diperbandingkan. Sedangkan kajian dialektologi dilakukan dengan berpijak pada upaya mencari perbedaan. (Mahsun, 1995:17). Dalam penelitian ini menggunakan salah satu dari kajian tersebut, yakni melalui kajian linguistik komparatif. Dalam linguistik historis komparatif atau linguistik diakronis, bahasa dikaji dari satu masa ke masa yang lain. Kajian linguistik diakronis diterapkan dengan mengamati perubahan-perubahan yang dialami suatu bahasa. Kajian ini memberikan penjelasan mengenai hakikat perubahan bahasa, baik berupa penentuan fakta tingkat kekerabatan antara bahasa serumpun maupun upaya rekonstruksi proto-bahasa dari sejumlah bahasa kerabat (Fernandez, 1994:1-2). Keraf (1984:85) menjelaskan bahwa macam-macam perubahan bunyi didasarkan pada hubungan bunyi tertentu dengan fonem-fonem lainnya dalam sebuah segmen, atau dalam lingkungan yang lebih luas. Menurut Jeffer dan Lehiste dalam laporan penelitian Nusi yang berupa tesis, Bahasa Lasalimu dan Kamaru Sebagai Bahasa Kerabat dalam Sub
9
Kelompok Bahasa Muna-Buto, Kajian Linguistik Histori Komparatif (2012:14), Dijelaskan oleh Nusi bahwa salah satu kajian mengenai bahasa adalah kajian perubahan bunyi. Kajian tentang perubahan bunyi-bunyi bahasa serta jenisjenisnya merupakan kajian yang telah lama berkembang dalam studi tentang perubahan bahasa ‘linguistik diakronis’. Istilah perubahan bahasa dipakai untuk memberi arti bahwa dalam pengertian luas, perubahan-perubahan bentuk baik segmental maupun suprasegmental diakibatkan oleh proses fonologi. Fonologi adalah bidang ilmu linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya (Kridalaksana, 1982:45) atau sebagai bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan makna leksikal dalam bahasa tersebut (Verhaar, 1988:36). Sementara leksikologi adalah cabang ilmu lingustik yang mempelajarai seluk beluk kata, yakni mempelajari perbendaharaan kata dalam suatu bahasa, mempelajari pemakaian kata serta artinya seperti yang dipakai masyarakat pemakai bahasa (Ramlan, 1983: 17).
1.8 Metode Penelitian Metode dapat didefinisikan sebagai macam-macam cara atau langkah untuk menemukan jawaban dan masalah. Artinya metodologi adalah cara mendekati, mengamati, menganalisis data serta menjelaskan suatu fenomena (Kridalaksana, 1983: 106). Atas dasar itu ketepatan dalam memilih metode yang digunakan dalam pengumpulan, analisis, dan penyajian cukup berpengaruh dalam keberhasilan penelitian ini. Metode yang dipakai dalam penelitian ini mencakup
10
tiga tahapan strategis yang beruntutan, yakni: tahap penyediaan atau pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian analisis data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif karena permasalahan yang kompleks serta membutuhkan pengertian makna secara mendalam, sehingga perlu dilakukan observasi secara mendalam agar mampu mendapatkan data yang valid. Dalam penelitian ini pengumpulkan data dilakukan di Kabupaten Bima-Provinsi Nusa Tenggara Barat dan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tentang perbandingan bahasa daerah, yakni bahasa Jawa dengan bahasa Bima. Adapun dalam memilih bahan, penulis memilih bahasa Jawa dialek Yogyakarta. Hal ini dikarenakan bahasa Jawa dialek Yogyakarta telah dianggap sebagai bahasa standar sehingga dapat dikatakan dalam pemahaman gramatikal sistem kebahasaanya jelas (Wedhawati, dkk, 2001:14). Sementara untuk bahasa Bima, peneliti memilih bahasa Bima Kabupaten Bima hal ini juga dikarenakan Bima merupakan pusat kerajaan sekaligus pusat perdagangan, serta merujuk pada tata bahasa baku dengan memakai daftar 200 kosa kata dasar Swadesh dan kosa kata budaya.
1.8.1 Metode Pengumpulan Data Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode pupuan lapangan dengan tambahan metode simak dan metode cakap. Metode pupuan lapangan memiliki dua teknik pengumpulan bahan, yaitu (1) pencatatan lapangan (2) perekaman. Sedangkan metode simak dilakukan dengan cara menyimak pengguna bahasa oleh penutur, metode cakap dilakukan dengan percakapan dan terjadi
11
kontak antara peneliti dan penutur sebagai sumber penelitian (Sudaryanto, 1988:2—7). a) Tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di masing-masing lokasi pengguna kedua bahasa, yakni bahasa Jawa dan bahasa Bima. Bahasa Bima dilakukan di Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. Bahasa Jawa dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini dikarenakan dalam kedua daerah tersebut memiliki kemiripan dalam bentuk dan makna kata. b) Penetapan informan Informan adalah orang-orang yang dapat memberi informasi mengenai situasi dan kondisi yang ada sehingga data yang dihasilkan yakni data yang akurat. Sejauh pemahaman penulis, jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi karena keakuratan suatu data tidak dapat diputuskan secara sepihak. Adapun kriteria informan yang diperlukan untuk memperoleh data adalah sebagai berikut (Ayatrohaedi, 1983:47). a. Usia pertengahan (40—50 tahun) karena pada usia tersebut mereka telah menguasai bahasanya, tetapi belum sampai taraf pikun. b. Pendidikan informan bukan pendidikan yang terlalu tinggi karena dari seorang yang berpendidikan tinggi terjadi banyak pengaruh luar di dalam beriannya. c. Asal usul informan diusahakan dari desa atau tempat yang diteliti, hendaklah lahir dan dibesarkan di tempat asalnya, serta jarang sekali pergi atau tidak meninggalkan kampungnya.
12
d. Informan mempunyai organ mulut sempurna. Artinya, informan tidak mengalami cacat fisik, misalnya gigi tanggal, mulut sumbing dan sebagainnya. Hal ini penting agar bunyi-bunyi yang muncul dari informan tidak terganggu (Hendrokumoro, 1996:13). c) Sumber dan jenis data Menurut Lofland (1984:47). Bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama (Moloeng, 2005:157). Dalam penelitian ini, data primer diambil langsung dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti. Wawancara atau pengumpulan data tersebut dilakukan dengan beberapa warga desa sebagai sampel yang ada di Kabupaten Bima dan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Data sekunder adalah data yang sudah diolah dari berbagai sumber bacaan seperti surat kabar, artikel, dokumen-dokumen resmi, buletin, hasil-hasil studi, dan lain sebagainya. Penggunaan data sekunder ini memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yakni tentang laporan-laporan penelitian dalam konteks analisis yang sama dan kamus bahasa Bima-Indonesia. Adapun data yang dikumpulkan berupa kata atau leksem, data tersebut diambil dari kosa kata dasar dalam kedua bahasa. Data bahasa Jawa diperoleh dari sumber yang merupakan penutur asli bahasa Jawa, khususnya penutur bahasa Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Data bahasa Bima diperoleh langsung dari penutur asli bahasa Bima Nusa Tenggara Barat. Dalam pelaksanaannya, tahap
13
pengumpulan data melalui media rekam dan tulis dari suatu masyarakat pengguna bahasa Jawa dan Bima sebagai sampel. Bahan yang dipergunakan adalah daftar 200 kosa kata dasar Swadesh, alat perekam, dan alat tulis. Selanjutnya data dicatat dalam kartu data.
1.8.2 Metode Analisis Data Analisis data kualitatif menurut Borgan dan Biklen dalam Moloeng (2010:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Dalam hal ini, Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan bahasa Jawa dan bahasa Bima, kemudian membandingkan sesuai tingkat struktur bahasa, terutama dari bentuk fonologi dan leksikonnya. Dalam tingkat leksikon peneliti mengklasifikasi data sebagai berikut: (1) Bentuk sama dan makna kata sama (2) Bentuk sama tapi makna kata beda (3) Bentuk mirip dan makna kata sama (4) Bentuk mirip makna kata beda.
1.8.3 Metode Penyajian Data Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam tiga tahapan strategis dalam pemahaman penelitian. Pada tahap ini dilakukan pengujian keterandalan atau validitas hasil temuan. Data disajikan dengan mendeskripsikan hasil temuantemuan kajian secara linguistik komparatif dalam bentuk penulisan skripsi sehingga dalam penulisan ini data disajikan dalam bentuk uraian dan tabel.
14
1.9 Sistematika Penyajian Penulisan penelitian ini disusun dengan menggunkan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II Gambaran umum wilayah penelitian berisi tentang keadaan geografis, kilasan sejarah, keadaan alam, kondisi penduduk, sosial budaya, dan kebahasaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bima-Nusa Tenggara Barat Bab III Komparatif fono-leksikal bahasa Jawa dengan bahasa Bima berisi tentang inventarisasi bunyi bahasa Jawa dan bahasa Bima, penentuan bunyi sebagai fonem, deskripsi sistem fonologi bahasa Bima, deskripsi fonologi bahasa Jawa, perbandingan fonologi bahasa Jawa dengan bahasa Bima, perbandingan bunyi vokal dan konsonan bahasa Jawa dengan bahasa Bima, dan menguraikan perbandingan leksikon bahasa Jawa dengan bahasa Bima sesuai kreteria, bentuk dan makna kata sama, bentuk sama makna kata beda, bentuk mirip makna kata sama, dan bentuk mirip makna kata beda. Bab IV penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.