BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi jamur invasif (invasive fungal infections/IFIs) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius saat ini karena semakin meningkatnya populasi yang berisiko terinfeksi jamur (Enoch et al., 2006; Warnock, 2007). Beberapa faktor penyebab meningkatnya risiko terinfeksi jamur adalah penderita Human Immuno deficiency Virus (HIV), penerima cangkok organ atau sel punca, penderita keganasan hematologi, penderita luka bakar atau penggunaan alat kesehatan di rumah sakit, bayi berat lahir rendah, dan penggunaan antineoplastik, agen imunosupresif serta antibiotik spektrum luas (Alangaden, 2011; Warnock, 2007; Enoch et al.,2006; Eggimann et al., 2003). Disamping meningkatnya populasi berisiko, masalah infeksi jamur invasif semakin komplek akibat terjadinya resistensi jamur terhadap antijamur yang tersedia. Penggunaan antijamur golongan tiazol yang terus meningkat untuk profilaksi dan terapi empiris pada pasien berisiko tinggi menyebabkan terjadinya resistensi Candida sp. dan Aspergillus sp. (Pfaller, 2012; Loeffler & Stevens, 2003). Tahun 1997-1998 dilaporkan isolat Candida sp yang resisten terhadap flukonazol < 2,5% dan intrakonazol <9% (Pfaller et al., 2000). Namun penelitian terkini menunjukkan resistensi isolat Candida sp. terhadap flukonazol bervariasi antara 2-34% dan intrakonazol antara 4-50% (Ostrosky-Zeichner et al., 2003). Ribuan spesises jamur telah ditemukan oleh para peneliti, namun hanya sekitar 100 spesies jamur yang menginfeksi manusia, hewan dan tumbuhan. Diantara spesies jamur yang menginfeksi manusia adalah Candida sp., Aspergillus sp., Penicillim sp., dan Trichophyton sp. Candida sp. merupakan penyebab 8-15% infeksi jamur invasif. Candida yang banyak ditemui adalah C. albicans, C. dubliniensis, C. glabrata, C. krusei, C. parapsilosis dan C. tropikalis (Pfaller & Diekema, 2007; Eggimann et al., 2003). Pada kondisi normal Candida sp hidup bersama mikroba lain dalam tubuh inang, namun pada pasien
1
kemoterapi, transplantasi sumsum tulang atau penderita diabetes yang mengalami penurunan imunitas, Candida sp. dapat bersifat oportunistik dan menimbulkan infeksi sistemik (Khan et al., 2010). Candida albicans adalah flora normal yang hidup di mukosa saluran pencernaan, saluran pernafasan, uretra, vagina, dibawah jari kuku dan kaki. Jamur ini paling banyak ditemukan sebagai penyebab infeksi jamur dan sangat berbahaya dengan adanya penyebaran populasi. Perbedaan perwujudan C. albicans dihubungkan dengan pembentukan biofilm pada jaringan inang atau pada alat kedokteran. Secara klinik adanya biofilm ditemukan pada karies gigi, sel di dalam biofilm dilindungi dari respon imun inang dan pengaruh antifungal (Pierce et al., 2010). Infeksi akibat jamur sulit untuk diobati terutama pada penderita immune compromised dan hampir semua jamur sudah resisten terhadap obat antimikroba yang ada dan sedikit obat yang tersedia untuk menyembuhkan infeksi jamur sistemik. Obat yang dapat mengobati infeksi jamur ini adalah golongan azol. Flukonazol merupakan obat antijamur golongan azol, pada penggunaan oral akan mencapai susunan syaraf pusat sangat lambat dan diekskresi kan melewati ginjal dalam bentuk tidak berubah. Mekanime aksinya pada permeabilitas membran sel jamur dengan menghambat sintesis ergosterol (Trevor et al., 2010). Dampak negatif akibat munculnya resisten terhadap antifungi adalah meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat infeksi jamur (Spampinato & Leonardi, 2013; Pemán et al., 2009). Infeksi akibat Candida sp. seperti C. albican, C. glabrat, C. tropicalis, C. parapsilosis dan C. krusei merupakan penyebab 90% infeksi jamur invasif dan penyebab keempat infeksi sistemik pembuluh darah di rumah sakit dengan tingkat kematian 35-40% (Pfaller & Diekema, 2007). Infeksi akibat Aspergillus sp juga meningkat yang menyebabkan kematian hingga 50% pasien yang terinfeksi (Maschmeyer, 2007). Kejadian infeksi jamur invasif yang terus meningkat, munculnya masalah resistensi antijamur terhadap obat antijamur dan keterbatasan ketersediaan antijamur di klinik mendorong para peneliti menemukan antijamur baru yang lebih efektif (Butts & Krysan, 2012; Pfaller, 2012; Zhai & Lin, 2011). Beberapa
2
senyawa baru antijamur dengan mekanisme aksi yang berbeda telah berhasil ditemukan (Sheng and Zhang, 2011). Beberapa senyawa antijamur juga sedang dalam tahap pengembangan melalui uji klinik pada manusia (Anonim, 2000). Namun demikian hingga saat ini belum banyak antijamur baru yang dapat dimanfaatkan di klinik. Sampai sekarang masih dilakukan usaha untuk menemukan dan mengembangkan antijamur baru. Senyawa 1,10-fenantrolin merupakan salah satu golongan senyawa yang potensial untuk dikembangkan sebagai antijamur. Senyawa 1,10-fenantrolin dikenal sebagai penghambat metaloprotease karena adanya substitusi N pada posisi 1 dan 10 pada kerangka 1,10-fenantrolin yang mampu mengikat logam berat. Metaloprotease adalah suatu enzim protease yang dalam mekanisme katalitiknya melibatkan logam berat. Metaloprotease mempunyai peran penting dalam siklus reproduksi dan pada sifat patogenesis mikroorganisme seperti bakteri, parasit, virus dan jamur (Geurt et al., 2012; Miyoshi & Shinoda, 2000). Oleh karena itu penghambatan terhadap metaloprotease akan menghambat pertumbuhan dan sifat patogenesis mikroorganisme yang bersangkutan. Saat ini metaloprotease banyak dikaji sebagai target obat untuk melawan infeksi berbagai mikroorganisme (Geurt et al., 2012; Vanlaere & Libert, 2009). Aktivitas antiinfeksi senyawa1,10-fenantrolin telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Senyawa1,10-fenantrolin dalam bentuk kompleks dengan logam berat terbukti mempunyai aktivitas antibakteri baik terhadap bakteri gram negatif dan positif (Gomleksiz et al., 2013; Awang et al., 2011; Chandraleka et al., 2011). Aktivitas senyawa1,10-fenantrolin sebagai antiplasmodium juga telah banyak dilaporkan (Sholikhah et al., 2006; Wijayanti et al., 2006; Mustofa et al., 2006; 2003; Handanu et al., 2005; Yapi et al., 2000). Namun demikian aktivitas senyawa 1,10-fenantrolin sebagai antivirus dan antijamur belum banyak dikaji (Chang et al., 2010; Chandraleka et al., 2011). Pada penelitian ini akan dikaji aktivitas antijamur senyawa baru turunan 1,10-fenantrolin hasil sintesis yang dilakukan oleh Prof. Dr. Jumina dan rekanrekan dari Bagian Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penelitian ini merupakan bagian dari
3
usaha menemukan dan mengembangkan senyawa antijamur dari turunan 1,10fenantrolin. Pada penelitian ini telah berhasil disintesis 2 (dua) senyawa baru turunan 1,10-fenantrolin yaitu 1)(1)-N-(3,4-dimetoksibenzoil)-1,10-fenantrolin bromida dan senyawa (1)-N- (1-metoksibenzoil)-,10 fenantrolin bromida (Gambar 1.1).
N
OCH3
N
N+ Br-
N+ BrOCH3
OCH3
(1)-N-(3,4-dimetoksibenzoil)-1,10-
(1)-N-(1-metoksibenzoil)-1,10-
fenantrolin-bromida (Senyawa 1)
fenantrolin-bromida (Senyawa 2)
Gambar I.1. Senyawa baru turunan (1)-N-benzoil-1,10-fenantrolin bromida
Dalam usaha menemukan antijamur baru yang potensial, Mustofa etal, (2014) telah melakukan sintesis dan mengkaji aktivitas antijamur 3 senyawa turunan 1-benzoil-1,10-fenantrolin terhadap C.albicans yang sensitif dan resisten terhadap golongan azol. Dari ke 3 senyawa yang dikaji yaitu 1) (1)-N-(2metoksibenzoil) – 1,10-fenantrolin bromide; 2) (1)-N-(4-etoksi-3-metoksibenzil)1,10-fenantrolin bromide; dan 3) (1)-N-(3,4-dimetoksi benzoil)-1,10-fenantrolin bromide terbukti lebih aktif melawan C.albicans yang resisten (nilai KHM 1,563,10 µg/mL) maupun yang sensitive (1,56 – 6,25 µg/mL dibandingkan demgan flukonazol sebagai kontrol positif yang mempunyai nilai KHM > 64 µg/mL pada strain C.albicans yang resisten dan 8 µg/mL pada yang sensitif terhadap flukonazol. Dalam penelitian ini akan dikaji lebih lanjut bagaimana aktivitas antijamur 2 senyawa baru turunan 1-benzoil-1,10 fenantrolin yaitu senyawa (1)N-(3,4-dimetoksibenzoil)-1,10-fenantrolin-bromida
dan
senyawa
(1)-N-(1-
metoksibenzoil)-1,10-fenantrolin-bromida (Gambar 1.1) terhadap isolat isolat
4
Candida lainnya. Selain itu akan dikaji juga toksisitas nya pada sel normal secara in vitro dan kemungkinan mekanisme aksinya.. Berbagai target aksi dan mekanisme aksi antijamur telah diidentifikasi. Beberapa antijamur bekerja pada membran sel misalnya golongan azol bekerja menghambat cytochrome P-450 14-α demethylase jamur yang dapat mengganggu sintesis ergosterol (Ashley et al., 2006), sedangkan golongan polien bekerja dengan mengikat ergosterol membran sel jamur sehingga menganggu fungsi membran (Sheppard dan Lampiris, 2007; Ashley et al., 2006) sedangkan alliamin menghambat tahap awal biosintesis ergosterol (Ashey et al., 2006; Jabra-Rizk et al., 2004). Antijamur golongan ekinokandin bekerja pada dinding sel dengan menghambat sintesis 1,3-β-D-glukan yang merupakan komponen utama dinding sel jamur (Sheppard dan Lampiris, 2007; Jabra-Rizk et al., 2004). Antijamur lain yaitu flusitosin diketahui bekerja menghambat sintesis DNA/RNA jamur, sedangkan golongan griseofulvin menghambat mitosis jamur (Sheppard dan Lampiris, 2007). Pembentukan biofilm diawali sel planktonik melekat pada permukaan sel baik karena faktor fisika seperti ikatan van der Waals, interaksi sterik dan elektrostatik atau organel sel seperti Pilli atau flagella. Temperatur dan tekanan dapat memperkuat perlekatan sel ke permukaan (Maric & Vranes, 2007; Garret et al., 2008). Beberapa jamur seperti Candida sp dapat membentuk biofilm untuk melindungi dirinya terhadap respon imun sel inang dan penetrasi antijamur. Pembentukan biofilm ini merupakan bentuk mekanisme pertahanan terhadap antijamur sehingga jamur menjadi resisten. Adanya resistensi Candida sp. terhadap berbagai antijamur akibat pembentukan biofilm telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti (Dumitru et al., 2004; Kojic & Daruiche, 2004; Chandra et al., 2001). Penemuan senyawa baru yang dapat menghambat pembentukan biofilm pada jamur saat ini banyak dilakukan untuk mencari antijamur baru untuk mengatasi resistensi. Untuk mengatasi resistensi, saat ini telah banyak dilakukan penelitian untuk mendapatkan antijamur baru yang dapat menghambat pembentukan biofilm. Pada penelitian ini akan dikaji juga kemungkinan aktivitas
5
antibiofilm ke 2 senyawa turunan 1,10-fenantrolin hasil sintesis
selain
aktivitasnya dalam mempengaruhi membran sel jamur. Penelitian ini akan dikaji aktivitas dua senyawa hasil sintesis turunan 1,10 fenantrolin terhadap membran sel jamur dan kemungkinan aktivitasnya sebagai
penghambat pembentukan
biofilm. Biofilm adalah kumpulan sel
mikroba
yang secara irreversibel
berhubungan dengan permukaan suatu benda dan biasanya banyak terdapat dalam matrik polisakarida. Biofilm mengakibatkan infeksi bakteri, infeksi pada peralatan kedokteran, penurunan kualitas air dan kontaminasi pada makanan. Bakteri pada pembentukan biofilm terjadi dalam 3 tahap yaitu perlekatan bakteri pada permukaan, pertumbuhan bakteri dan terbentuknya biofilm. Biofilm secara alami memiliki tingkat pembentukan yang tinggi dan dapat berbentuk sebagai komunitas spesies tunggal maupun majemuk, dan dapat membentuk lapisan tunggal atau tiga dimensi (Kokare et al., 2009). Penelitian
ini
menggunakan
Candida
sp
berdasarkan
penelitian
sebelumnya bahwa Candida sp termasuk spesies jamur yang menginfeksi manusia (Pfaler & Diekema; 2007). Pada pasien kemoterapi, penderita DM dengan penurunan imunitas, Candida sp berubah menjadi oportunistik dan menimbulkan infeksi sistemik (Khan etal., 2010 ).Infeksi akibat Candida sp seperti C.albicans penyebab 90 % infeksi jamur invasifdan penyebab keempat infeksi sistemik pembuluh darah di rumah sakit dengan tingkat kematian 35-40 % (Pfaller & Diekema, 2007).
I.2. Rumusan Permasalahan Dari latar belakang ditetapkan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah senyawa 1 dan senyawa 2 mempunyai aktivitas antijamur secara in vitro dan menghambat pertumbuhan sel planktonik terhadap C. albicans, Candida 2 dan Candida 20 ? 2. Apakah senyawa 1 dan senyawa 2 toksik secara in vitro pada kultur sel normal ?
6
3. Apakah senyawa 1 dan senyawa 2 sebagai antijamur dapat menghambat pertumbuhan sel biofilm C. albicans Candida 2 dan Candida 20 ? 4. Apakah senyawa 1 dan senyawa 2 sebagai antijamur dapat mereduksi pertumbuhan sel biofilm C. albicans, Candida 2 dan Candida 20 ? 5. Apakah senyawa 1 dan senyawa 2 dapat merusak integritas membran sel planktonik C.albicans , Candida 2 dan Candida 20 ? I.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan senyawa turunan 1,10 fenantrolin sebagai antijamur melalui uji aktivitas, toksisitas in vitro serta uji kemungkinan mekanisme aksinya secara in vitro.
2. Tujuan Khusus a.
Mengkaji aktivitas antijamur in vitro senyawa 1,10 fenantrolin bromida
(1)-N-3,4- dimetoksi benzil-
dan senyawa (1)-N-1-metoksi benzil-1,10-
fenantrolin bromide dalam menghambat pertumbuhan C. albicans, isolat klinik Candida 2 dan Candida 20 pada sel planktonik b.
Mengkaji toksisitas in vitro senyawa (1)-N-3,4- dimetoksi benzil-1,10 fenantrolin bromida
dan senyawa (1)-N-1-metoksbenzil-1,10-fenantrolin
bromida pada kultur sel normal; c.
Mengkaji aktivitas antibiofilmsenyawa (1)-N-3,4- dimetoksi benzil-1,10 fenantrolin bromida
dan senyawa (1)-N-1-metoksibenzil-1,10-fenantrolin
bromida dalam menghambat pertumbuhan dan mengurangi pertumbuhan sel C.albicans, Candida 2 dan Candida 20 d.
Mengkaji mekanisme aksi integritas membran dalam menghambat C. albicans, Candida 2 dan Candida 20 pada sel planktonik.
7
I.4. Manfaat Penelitian Infeksi jamur invasif telah menjadi masalah kesehatan penting pada beberapa dasawarsa terakhir. Hal ini ditandai dengan meningkatnya prevalensi infeksi jamur invasif seiring dengan meningkatnya populasi yang berisiko terinfeksi jamur. Di sisi lain muncul masalah resistensi terhadap antijamur dan keterbatasan ketersediaan antijamur di klinik. Hal ini menjadikan usaha menemukan antijamur baru sangat diperlukan. Penelitian ini diharapkan 1. Memberikan manfaat dalam mendorong para peneliti umumnya dan khususnya peneliti Indonesia untuk menemukan dan mengembangkan antijamur baru yang belum banyak dilakukan di Indonesia, 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pengembangan lebih lanjut senyawa turunan 1,10-fenantrolin sebagai antijamur, 3. Memberikan andil dalam usaha mengatasi masalah kesehatan masyarakat khususnya infeksi jamur invasif yang prevalensinya semakin meningkat melaui penemuan dan pengembangan antijamur baru.
I.5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai senyawa turunan 1,10-fenantrolin sebagai antijamur belum banyak dilakukan oleh peneliti. Beberapa penelitian untuk mengkaji aktivitas farmakologi senyawa turunan 1,10-fenantrolin yang pernah dilaporkan yaitu sebagai antimalaria (Mustofa et al., 2000; 2003; Sholikhah et al., 2006; Wijayanti et al., 2007; Handanu et al., 2012), antikanker (Sholikhah et al., 2007) dan sebagai antibakteri (Gomleksiz et al., 2013; Awang et al., 2011; Chandraleka et al., 2011). Senyawa turunan1,10-fenantrolin hasil sintesis merupakan senyawa baru yang belum banyak dikaji aktivitasnya sebagai antijamur. Toksisitas baik secara in vitro maupun in vivo demikian juga kemungkinan mekanisme aksinya belum banyak dikaji. Saat ini para peneliti lebih banyak mengkaji aktivitas antimikroba termasuk antijamur terhadap senyawa kompleks 1,10-fenantrolin dengan logam
8
berat seperti zink, kupri, dan cobalt (Starosta et al., 2013; Dholariya et al., 2013; Smoleński et al., 2013; Chang et al., 2010; Chandraleka et al., 2011). Penelitian ini menggunakan senyawa turunan 1.10 fenantrolin yaitu senyawa1)-N-3,4- dimetoksi benzil-1,10 fenantrolin bromida dansenyawa (1)-N1-metoksi -3- metoksi benzoil-1,10-fenantrolin bromida dengan kontrol positif flukonazol untuk mengkaji : 1). Aktivitas antijamur in vitro pada isolat standar dan klinik C. albicans. 2). Toksisitas in vitropada kultur sel normal pada isolat standard dan klinik C. albicans. 3). Dapat atau tidak menghambat pertumbuhan sel biofilm isolat standard dan klinik C. albicans. 4. Dapat atau tidak mereduksi sel biofilm isolat standard dan klinik C. albicans. 5). Dapat atau tidak merusak integritas membran sel isolat standard dan klinik C. albicans pembentuk biofilm.
9