BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Public Relations telah menjadi kebutuhan yang penting dalam suatu organisasi. Kepopulerannya di Indonesia bermula dengan adanya persaingan global yang menjadi salah satu penyebabnya. Hal itu ditandai dengan banyaknya perusahaan asing yang masuk ke Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Putra (2008:179) dalam periode awal berkembangnya public relations di Indonesia. Seperti kedatangan sejumlah perusahaan multinasional, antara lain PT. Caltex Pacific International dan PT. Sanvac pada tahun 1950-an yang membawa era baru dalam ranah public relations. Persaingan tersebut membuat banyak organisasi menciptakan kesan baik di mata publiknya agar selalu diingat dan tetap dibutuhkan publiknya. Hal tersebut sering dinamakan citra. Begitu pentingnya citra hingga banyak organisasi yang berusaha menciptakan citra yang ingin dipandang oleh publiknya. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Putra (2009:2) bahwa citra merupakan kesan yang bisa dibuat untuk menjadikan sesuatu tampak baik, walaupun sebenarnya mungkin tidak demikian sehingga citra adalah sesuatu yang bisa diciptakan dan dibuat. Awalnya, itu menjadi hal yang dipandang negatif dan manipulatif karena bisa saja public relations mengolahnya menjadi sesuatu yang „wah‟, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Citra bukanlah hal yang baku dan tetap. Citra seringkali berubah baik karena masyarakatnya yang berubah ataupun organisasinya yang berubah. Perubahan dalam masyarakat membuat pandangan terhadap sesuatu juga berubah sehingga dapat menyebabkan pandangan yang berbeda pada citra suatu organisasi, bisa menjadi citra baik atau bahkan buruk. Sedangkan di dalam organisasi, perubahan dapat terjadi ketika struktur organisasi berubah. Perubahan dapat menyebabkan visi dan misi organisasi juga berubah. Dengan demikian perlu adanya konstruksi mengenai citra baru tersebut. Perubahan itu dapat 1
dilakukan dengan mengonstruksi kembali citra yang telah ada, ataupun mengonstruksi citra baru. Hal tersebut dilakukan untuk kepentingan organisasi dalam menjaring simpati publik. Perguruan tinggi pun juga demikian. Sebagai instansi dalam jasa pendidikan dituntut untuk menjaring banyak mahasiswa dalam rangka menggerakkan roda kehidupan institusi mereka. Perkembangan perguruan tinggi sangat pesat, berawal dari reformasi dimana
diberikan
kebebasan
seluas-luasnya
dalam
berbagai
bidang,
menyebabkan lebih banyak lagi perguruan tinggi didirikan. Dari beberapa perguruan tinggi sebelum reformasi hingga saat ini menurut data Dikti, tercatat ada 92 perguruan tinggi negeri dan 3070 perguruan tinggi swasta yang tersebar di seluruh Indonesia. Keseluruhannya mencapai sekitar 3162 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang berbentuk universitas, institut, akademi, politeknik, dan sekolah tinggi. Jumlah perguruan tinggi keseluruhan tersebut dari Kopwil 1 hingga 12, yang masing-masing Kopwil mencakup suatu wilayah tertentu. Jumlah tersebut tidak bisa disebut sedikit. Bahkan hingga saat ini terdapat usulan PTS baru sejumlah 813. Akan tetapi belum dapat diproses secara keseluruhan. Saat ini, pemerintah pun melakukan moratorium atau penghentian sementara pendirian PTS, meski ada usulan juga diberlakukan untuk PTN, hingga Agustus 2014 (SKH Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 25 Agustus 2012, hal.1). Dari sekian banyak perguruan tinggi menempatkan public relations yang berbeda-beda baik nama, peran, posisi, serta fungsinya. Hal tersebut disebabkan pemahaman yang berbeda-beda pula oleh pimpinan manajemen mengenai public relations perguruan tinggi. Daerah Istimewa Yogyakarta yang disebut sebagai tempat berkumpulnya para pelajar dari berbagai daerah, selain kota Yogyakarta yang disebut sebagai Kota Pelajar, maka institusi pendidikan cukup menjamur di sini. Potensi kehidupannya di Yogyakarta masih lebih bagus dibandingkan dengan daerah lain karena icon sebagai daerah pendidikan yang baik. Begitu banyak institusi pendidikan dari PAUD hingga perguruan tinggi di DIY. Saat ini pun masih 2
banyak bermunculan dan banyak pengajuan yang belum diproses karena ada penghentian sementara oleh pemerintah. Dikti menyebutkan Kopwil V yang meliputi DIY terdapat sekitar 130 perguruan tinggi baik negeri dan swasta. Dengan wilayah yang tidak terlalu luas jumlah tersebut dapat digolongkan sangat banyak. Hal ini dapat dilihat di beberapa wilayah di Yogyakarta bahkan berjejer beberapa perguruan tinggi. Jumlah tersebut mungkin dapat bertambah apabila Dikti menyetujuinya. Dari satu wilayah ini saja terlihat persaingannya yang sangat kompleks. Oleh karena itu, seharusnya public relations sangat berperan di sini. Public relations merupakan salah satu peran yang cukup krusial dalam manajemen perguruan tinggi. Meskipun belum semua perguruan tinggi memahami dengan tepat. Bahkan perguruan tinggi yang sudah lama berdiri belum tentu mengetahui secara tepat. Dengan demikian tercipta bentuk public relations yang berbeda-beda antara satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi yang lain. Bermacam-macam pemahaman mengenai public relations perguruan tinggi ini menjadi salah satu agenda yang ramai dibicarakan dalam Rapat Koordinasi Nasional Kehumasan Pendidikan ( Perguruan Tinggi Negeri, Dinas Pendidikan Provinsi dan Kopertis), di Puncak 17-19 Juli 2008 lalu, adalah tentang peran, fungsi, dan posisi Humas di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Hampir seluruh pejabat Humas yang hadir mengeluhkan tentang tidak optimalnya peran dan fungsi yang disandangnya sebagai pengelola komunikasi dan informasi kepada publik. Keluhan serupa juga kerap muncul pada pertemuan-pertemuan
yang diadakan Perhimpunan Hubungan Masyarakat
Indonesia (Perhumas) dan Badan Koordinasi Humas Pemerintah (Bakohumas). Keluhan para pejabat Humas umumnya sama yaitu berkisar seputar ketiadaan akses informasi, kurangnya apresiasi terhadap pekerjaan Humas, tidak jelasnya posisi Humas dalam struktur organisasi, tidak tersedianya pedoman kerja sebagai
3
standar prosedur, sampai dengan
tidak memadainya anggaran untuk
melaksanakan tugasnya(Satlita, 2008). Banyaknya perguruan tinggi tentu menuntut mereka untuk menonjol, atau mencari sesuatu yang dapat diangkat menjadi icon. Maka pembentukan identitas yang nantinya akan menimbulkan citra sangatlah penting. Citra bukan suatu yang statis ketika ada yang berubah atau ingin diubah, maka citra juga dapat berubah. Seperti halnya yang terjadi di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta. Contohnya yang paling baru adalah UPN Veteran yang saat ini masih dalam tahap berubah menjadi perguruan tinggi negeri. Citra yang ingin diperlihatkan kepada publiknya tentu akan berbeda saat menjadi perguruan tinggi swasta. Juga perubahan yang terjadi seperti IKIP yang berubah menjadi perguruan tinggi, seperti yang terjadi pada UNY, USD, dan UAD. Ketiga universitas tersebut sama-sama sebelumnya berbentuk institusi keguruan. Perubahan yang mencolok itu dapat mengubah citra yang ingin ditampilkan. Citra sangat dekat dengan perubahan. Apa pun yang berubah terkadang membuat citra yang ditampilkan juga ikut berubah, meski tidak semuanya demikian. Citra dibentuk dari banyak hal seperti menunjukkan keunggulan perguruan tinggi. Salah satunya adalah World Class University (WCU). Keterlibatan Indonesia dalam berbagai badan dunia seperti WTO dan perdagangan bebas ASEAN tahun 2015 akan menambah persaingan. Bukan hanya dengan perguruan tinggi di tingkal lokal dan nasional tetapi juga di internasional. Karena mulai tahun 2015 ini, pekerja dan mahasiswa dari luar negeri lebih mudah untuk bekerja dan belajar ke Indonesia. Apabila perguruan tinggi di Indonesia tidak berbenah diri tentu akan terlindas dengan bangsa asing lain. Hampir seluruh perguruan tinggi di Yogyakarta berusaha berbenah diri untuk menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015 ini. Sebagai salah satu pelaku di bidang pendidikan, perguruan tinggi di Yogyakarta, semakin meningkatkan kualitas diri di berbagai sektor. Di sinilah peran public relation 4
bekerja melalui penciptaan citra perguruan tinggi. Hal itulah yang juga dilakukan oleh Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang bergerak di bawah organiasasi Islam, Muhammadiyah, bidang pendidikan. UAD sebagai salah satu produk jasa dalam MEA terus memperbaiki kualitas dari segi sistem organisasi, pendidikan, dan sumber daya manusia dengan berpatokkan dengan visi “Menjadi perguruan tinggi yang berkelas internasional yang sesuai dengan kaidah Islam”. Beberapa upaya yang dilakukan dalam kegiatan internasional yakni melakukan kerja sama dengan universitas luar negeri baik mengenai beasiswa, pertukaran mahasiswa, maupun programprogram yang lain. Dari tahun ke tahun, mahasiswa asing yang belajar di UAD meningkat. Setiap tahun selalu ada mahasiswa asing yang belajar ke UAD dan begitu pula selalu ada mahasiswa UAD yang belajar ke luar negeri. Salah satu terobosan terbaru adalah membuka kantor perwakilan UAD di China (Yuliansih, 2013). Mahasiswa China memang mendominasi jumlah mahasiswa asing di UAD. Oleh karena itu, pendirian cabang UAD di China dinilai tepat. Trobosan tersebut tidak lepas dari kehadiran sumber daya yang baru pula(Dewi Soyusiawaty, September 2012). Bulan April 2013, UAD merombak staf rektorat terutama di bagian kehumasan. Perombakan tersebut memunculkan orang-orang baru yang lebih muda dan lebih visioner. Oleh karena itu, perombakan tersebut menghasilkan ide-ide segar yang dapat memajukan UAD serta dapat lebih menjadikan Universitas Ahmad Dahlan bertaraf internasional seperti tertera dalam visinya yang pada saat ini masih dalam tahap pengembangan lebih lanjut. Staf public relations tentu akan memegang peranan penting untuk mengembangkan citra tersebut karena merekalah pengendalinya yang tentunya tak luput dari peran stakeholder. Selain itu, didukung adanya
kesadaran Rektor UAD bahwa
keberadaan public relations sangat penting terutama dalam mengelola citra UAD.
5
Memahami pentingnya citra diakui UAD belum terlalu lama disadari, seperti penuturan Imam Azhari selaku Kepala Urusan Universitas. Hal itu terjadi secara tidak sengaja saat banyak mahasiswa UAD menang dalam banyak lomba bertaraf nasional dan internasional yang mengakibatkan UAD semakin dikenal secara luas. Oleh karena itu, jajaran Rektorat UAD mengusung tema “Bring UAD to the World and World to UAD” dalam rangka mengencangkan niat menjadikan perguruan tinggi yang diakui dunia. (Wawancara, 4 Februari 2014). Bahkan dalam SK Rektor tahun 2009 bagian public relations memiliki tugas utama yaitu mengelola citra di UAD. Dari pembenahan dan peningkatan kualitas yang dilakukan internal berupa internasionalisasi di dalam UAD diharapkan dapat menciptakan citra internasional di khalayak umum ataupun publik UAD baik di area lokal, nasional, hingga internasional. Sehingga membentuk UAD sebagai WCU. Meskipun menurut para ahli pendidikan, WCU memberikan dampak yang kurang baik pada bangsa Indonesia. Sisi positif dari WCU yakni meningkatkan kualitas perguruan tinggi dan pendidikan secara umum di Indonesia. Sedangkan sisi negatifnya mengikis kebudayaan lokal Indonesia. Oleh karena itu, Rektor UAD selain meningkatkan diri menjadi universitas global juga mempertahankan kelokalannya salah satunya dengan membina masyakarta lokal dan meningkatkan nilai-nilai keIndonesiaan melalui pengajuan jamu sebagai ikon Yogyakarta. Indikator-indikator yang menjadikan citra internasional dalam rangka menjadi WCU bermacam-macam seperti banyaknya mahasiswa yang melakukan aktivitas ke luar negeri, menjalin banyak kerja sama dengan universitas di luar negeri, atau juga dapat dilihat dari banyaknya mahasiswa asing yang datang belajar di universitas tersebut dan dikenal di luar negeri menjadi salah satu perguruan tinggi yang tepat untuk belajar. Perbedaan inilah yang nantinya akan menjadikan proses pembentukan citra internasional menjadi berbeda pula baik tujuan maupun hasilnya. 6
Citra tentu tidak lepas dari adanya stakeholder. Setiap citra yang dibentuk tentu terdapat stakeholder yang berbeda-beda porsinya. Terdapat beberapa stakeholder perguruan tinggi, antara lain yaitu mahasiswa dan atau calon mahasiswa, publik internal lainnya seperti dosen, karyawan, pimpinan, di pihak eksternal adalah orang tua atau wali mahasiswa, lingkungan sekitar, pemerintah, dan lain sebagainya. Porsi yang ditetapkan pada masing-masing stakeholder tergantung kepada tingkat kepentingan dari penciptaan citra tersebut. Pada hakikatnya, setiap universitas membutuhkan mahasiswa. Lebih-lebih universitas swasta seperti UAD, mahasiswa atau calon mahasiswa tentu menjadi hal yang sangat penting. Stakeholder selanjutnya tergantung bagaimana pimpinan maupun pihak terkait untuk menyusun apa yang ingin dicapai oleh universitas dengan mengusung citra yang direkonstruksi sebagai citra baru yang ingin dipandang setiap khalayak. UAD pada awalnya belum secara gamblang membentuk suatu citra tertentu, tetapi dengan berkembangnya ke era globalisasi dan kesadaran pimpinan, UAD mengonstruksi citra mereka menjadi citra internasional untuk membentuk WCU. UAD dengan payung Yayasan Muhammadiyah mempunyai tujuan yang sama seperti universitas swasta sejenis maupun lainnya yaitu mendapatkan
mahasiswa
sebanyak-banyaknya.
Dengan
menjadi
WCU
diharapkan akan menarik mahasiswa baik di tingkat lokal maupun internasional. Akan tetapi, proses konstruksi citra dan indikator yang ditentukan untuk mencapai target konstruksi citra tersebut belum tentu sama dengan perguruan tinggi lain. Proses inilah yang akan dilihat dari peran public relations di UAD.
I.2. Rumusan Masalah Bagaimana peran public relations yang dijalankan UAD untuk menopang upaya internasionalisasi dalam rangka konstruksi citra internasional?
7
I.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui peran public relations di UAD dalam konstruksi citra internasional perguruan tinggi.
I.4. Manfaat Penelitian 1. Memberikan gambaran yang signifikan mengenai peran public relations dalam konstruksi citra internasional UAD. 2. Membentuk khasanah pengetahuan mengenai peran public relations perguruan tinggi Muhammadiyah di Yogyakarta.
I.5. Kerangka Teori I.5.1 Public Relations sebagai Pembentuk Citra Public relations banyak didefinisikan oleh para pakar atau institusi public relations. Salah satunya menurut Institute of Public Relations (IPR), public relations didefinisikan sebagai keseluruhan upaya yang dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik sebagai pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya(Mustamin, 2004:41). Definisi tersebut menjelaskan bahwa public relations sebuah proses yang terus-menerus dilakukan oleh suatu organisasi dengan tujuan yang ditentukan. Salah satunya adalah menciptakan kesan yang baik pada khalayaknya yang merupakan salah satu bentuk pengertian antara organisasi dan publiknya sehingga pada hakikatnya kegiatan public relations dilakukan untuk menciptakan citra positif kepada publik dan mendapat feedback yang baik serta sesuai dengan yang diharapkan oleh suatu organisasi tersebut. Kegiatan public relations bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, akan tetapi juga bukan hal yang sulit jika dilakukan dengan berdasarkan prinsip-prinsip yang akan mengarahkan pada tercapainya tujuan organisasi terutama menciptakan citra positif bagi suatu organisasi. Menurut Arthur W. 8
Page (Wilcox et al, 2003:48) terdapat sejumlah prinsip public relations antara lain: a. Tell the truth. Biarkan publik mengetahui apa yang terjadi dan menyediakan gambaran yang akurat dari sebuah karakter, idealisme, dan praktik dari organisasi. b. Prove it with action. Persepsi publik dari sebuah organisasi ditentukan oleh 90% apa yang dilakukan dan 10% dari apa yang dikatakan. c. Listen to the customer. Untuk menjalankan perusahaaan dengan baik, memahami apa yang publik inginkan dan butuhkan. Menjaga pembuat keputusan tertinggi dan karyawan diberi informasi tentang reaksi publik terhadap produk, kebijakan, dan praktik organisasi. d. Manage for tomorrow. Mengantisipasi reaksi publik dan mengurangi kegiatan yang sulit di kemudian hari serta membangun nama baik. e. Conduct public relations as if the whole company depends on it. Bahwa seluruh aktivitas dan keputusan kebijakan perusahan seharusnya diletakkan pada public relations. f. Remain calm, patient, and good-humored. Berpikir dan bertindak dengan baik dan penuh alasan dalam menjalankan seluruh aktivitas dan membuat keputusan akan menghasilkan sesuatu yang baik bagi organisasi. Prinsip-prinsip tersebut merupakan hal dasar yang seharusnya dilakukan oleh pekerja public relations dalam menjalankan aktivitasnya. Akan tetapi, kegiatan public relations dilakukan berdasarkan pengetahuan dan pemahaman pimpinan organisasi. Pemahaman pimpinan mengenai pentingnya public relations dan penempatan beserta tugas dan tanggung jawabnya sangat berpengaruh besar terhadap hasil akhir kegiatan tersebut. Pada saat ini, yang terjadi adalah pekerja public relations hanya mendapatkan titah dari pimpinan organisasi untuk menciptakan citra yang sedemikan rupa yang tak jarang bertindak kurang beretika. Seharusnya seperti salah satu prinsip public relations yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa segala aktivitas dan 9
pengambilan keputusan harus melibatkan public relations sebagai poin penting untuk menciptakan suatu citra yang baik. Memang sulit jika semua diletakkan pada public relations, maka setidaknya segala suatu aktivitas melibatkan public relations. Public relations adalah sebuah proses yang merupakan rangkaian tindakan perubahan atau fungsi-fungsi yang menghasilkan sesuatu. Salah satunya untuk menggambarkan sebuah proses yaitu kegiatan public relations terdiri dari empat komponen yang dikenal dengan RACE yaitu a. Research, masalah dan situasi yang ada b. Action (perencanaan program), perancangan tindakan yang akan dilakukan c. Communication (eksekusi), bagaimana penyampaian pesan d. Evaluation, apa yang diterima khalayak, dan bagaimana umpan baliknya(Wilcox et al, 2003:6). Komponen-komponen tersebut merupakan empat tahap dasar yang dilakukan public relations. Diawali dengan mencari tahu tentang keadaan yang ada, melakukan tindakan, dan menggunakan berbagai media dan cara penyampaian selanjutnya dievaluasi agar tujuan organisasi tersebut tercapai atau tidak. Selain empat tahap dalam melakukan kegiatan public relations juga ada komponen-komponen dasar yang harus dilakukan dan ada dalam public relations, yaitu antara lain a. Counseling. Menyediakan saran pada kebijakan, hubungan, dan komunikasi di dalam organisasi. b. Research. Membatasi sikap dan perilaku dari publiknya untuk merancang strategi public relations. Riset dapat digunakan untuk mengeneralisasikan kepentingan bersama juga untuk mempengaruhi dan mempersuasi publik. c. Media Relations. Bekerja dengan media massa dalam hal publisitas atau merespon pada ketertarikan mereka kepada organisasi. d. Publicity. Menyebarkan pesan yang telah direncanakan pada sejumlah media untuk kepentingan organisasi lebih lanjut. 10
e. Employee/member relations. Fokus pada pemberian informasi dan motivasi karyawan di dalam organisasi. f. Community relations. Aktivitas terencana dengan komunitas untuk mengelola lingkungan yang bermanfaat bagi organisasi dan komunitas. g. Public affairs. Mengembangkan secara efektif keikutsertaan dalam kebijakan pubik dan membantu organisasi beradapatasi dengan ekspektasi publik. h. Government affairs. Berhubungan secara langsung dengan legistatif dan pembuat kebijakan untuk kepentingan organisasi. i. Issues manajement. Mengindentifikasi mengarahkan isu dari perhatian publik yang berdampak pada organisasi. j. Financial relations. Menciptakan dan mengelola kepercayaan diri investor dan membangun hubungan baik dengan komunitas finansial atau sering disebut investor relation. k. Industry relations. Berhubungan dengan perusahaan lain dalam industri yang sama dan berhubungan dengan asosiasi perdagangan yang menaunginya. l. Development/fund-rising.
Mendorong
publik
untuk
mendukung
perusahaan terutama dalam bentuk finansial. m. Multicultural relations. Berhubungan dengan individu dan kelompok dalam kelompok kultur yang beragam. n. Special events. Membangun ketertarikan dalam individu maupun produk juga organisasi sehingga menjadi sesuatu yang popular, juga aktivitas diciptakan untuk berinteraksi dengan publik dan mendengarkan mereka. o. Marketing communications. Kombinasi aktivitas yang didesain untuk produk jasa atau ide termasuk periklanan, publisitas, promosi, pameran, dan event lainnya. (Wilcox et al, 2003:6)
11
Komponen-komponen dasar tersebut sangat mendukung terciptanya citra positif dalam suatu organisasi yang akan ditangkap oleh publiknya dan mendapatkan umpan balik yang baik dari publik tersebut. Bagi public relations menyadari citra yang baik, tidak hanya terletak pada bentuk gedung, presentasi, publikasi, dan seterusnya. Akan tetapi, terletak pada bagaimana organisasi bisa mencerminkan yang dipercayai memiliki kekuatan, mengadakan perkembangan secara berkesinambungan yang selalu terbuka untuk dikontrol dan dievaluasi. Dapat dikatakan bahwa citra tersebut merupakan gambaran komponen yang kompleks. Citra adalah komoditas yang rapuh atau mudah pecah, tetapi kebanyakan organisasi juga meyakini bahwa citra perusahaan yang positif adalah esensial, sukses yang berkelanjutan dan dalam jangka panjang. Citra menurut Katz yang dikutip oleh Soemirat dan Ardianto dalam buku Dasar-Dasar Public Relations adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah organisasi, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas. Setiap organisasi tentu mempunyai citra. Setiap organisasi
akan
mempunyai
citra
sebanyak
jumlah
orang
yang
memandangnya. Berbagai citra perusahaan datang dari pelanggan perusahaan, pelanggan potensial, bankir, staf perusahaan, pesaing, distributor, pemasok, dan gerakan pelanggan di sektor perdagangan yang mempunyai pandangan terhadap perusahaan(2004:113). Secara sederhana bahwa citra akan ditangkap oleh seluruh publik organisasi tersebut secara langsung maupun tidak langsung. Citra menurut Frank Jefkins yang dikutip oleh Soemirat dan Ardianto dalam bukunya Dasar-Dasar Public Relations mengungkapkan bahwa citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang tentang fakta-fakta atau kenyataan (2004:114). Lima jenis citra (image) yang dikemukakan oleh Frank Jefkins, yakni:
12
a. Citra bayangan (mirror image). Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi, biasanya adalah pemimpinnya, mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya. b. Citra yang berlaku (current image). Adalah suatu citra atau pandangan yang dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. c. Citra yang diharapkan (wish image). Adalah suatu citra yang diinginkan oleh pihak manajemen. d. Citra perusahaan (corporate image). Adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan sekadar citra atas produk dan pelayanannya. e. Citra majemuk (multiple image). Banyaknya jumlah pegawai (individu), cabang, atau perwakilan dari sebuah perusahaan atau organisasi dapat memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan organisasi atau perusahaan tersebut secara keseluruhan(2003:20). Jenis citra tersebut dibentuk sesuai dengan kepentingan dari suatu organisasi. Akan tetapi, yang lebih sering terlihat di banyak organisasi adalah wish image. Suatu organisasi yang mengharapkan publik memandangnya dengan suatu kesan tertentu. Tentu tidak hanya dengan cara-cara yang manipulatif. Banyak organisasi yang mengembangkan diri, menunjukkan jati diri, kekhasan atau keunikan organisasinya sehingga apa yang diharapkan dari publikya dapat tercapai. Hal tersebut tentu membutuhkan banyak usaha, dan lebih baik dengan cara-cara yang bertanggung jawab sehingga publik tidak merasa dikecewakan atau tertipu. Pendapat beberapa ahli seperti Benstein, Dowling, Moffitt, Treadwell dan Harrison dalam Wan dan Schell (2007: 2) berpendapat bahwa citra sebagai suatu kesan dari organisasi dan juga merupakan sintesis dari banyak kesan yang dihasilkan dari interaksi kepercayaan, ide, perasaan, dan persepsi tentang organisasi. Di sini, para ahli tersebut lebih menegaskan lagi citra bukan sekadar kesan saja, tetapi juga interaksi antara publik dengan organisasi 13
yang dapat dilakukan melalui kepercayaan, ide, perasaan, maupun persepsi terhadap sebuah organisasi. Oleh karena itu, efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses dibentuknya citra. Citra perusahaan akan terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima oleh publiknya. Komunikasi yang terjadi antara publik dan organisasi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku hanya saja tidak secara langsung. Efektivitas public relations dalam proses dibentuknya citra (nyata, bayangan, dan majemuk) di organisasi erat kaitannya dengan kemampuan pemimpin dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas organisasinya. Wan dan Shell (2007:2) percaya bahwa organisasi yang berjuang keras untuk dapat menciptakan citra yang dipandang baik oleh publiknya dalam berbagai macam ekpektasi publiknya, dapat memberikan keuntungan dalam mendongrak sikap yang mudah diminati publiknya dan perilaku positif yang ditujukan kepada organisasi. Pada dasarnya, organisasi tidak bisa memaksakan pandangan publik ke suatu organisasi tersebut. Hal yang dapat dilakukan adalah mengindentifisi apa
yang dimiliki
oleh
organisasi
yang mampu ditunjukkan dan
dikembangkan. Cara pengomunikasian keunggulan organisasi adalah hal yang cukup penting di mana usaha-usaha yang dilakukan tersebut secara perlahan dan terus-menerus dapat mempengaruhi sikap dan perilaku yang nantinya dapat memberikan dampak positif terhadap organisasi. Hal ini erat kaitannya dengan penguasaan identitas diri organisasi yang mencakup aspek fisik, personil, kultur, hubungan organisasi dengan publik, respon, dan mentalitas mereka. Citra dibentuk dari penciptaan identitas diri organisasi yang unik dengan banyak faktor keunggulan organisasi. Dengan menunjukkan sesuatu yang ingin ditonjolkan, diharapkan publik akan memandang secara positif, tepat sasaran, dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Aspek-aspek yang ditonjolkan dapat berupa bentuk bangunan, kualitas karyawan, budaya 14
organisasi, kedekatan organisasi dengan publiknya terkait cara merespon dan memahami publiknya dengan baik, dan lain sebagainya. Menurut Soemirat dan Ardianto (2002:111-112) citra adalah kesan, perasaan, dan gambaran diri publik terhadap perusahaan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang, atau organisasi. Citra banyak yang diciptakan sehingga publik digiring untuk memandang suatu organisasi menjadi seperti apa yang diinginkan organisasi tersebut. Bahkan terkadang hanya menciptakan kesan yang sebenarnya tidak ada. Seperti yang dikemukakan Grunig (1993:125) dalam Wan and Schell (2007:2), bahwa public relations hanya sebagai “image maker” yang menggunakan simbol atau pesan untuk menciptakan citra tertentu yang sebenarnya tidak ada. Ditambahkan pula oleh Wan dan Schell, bahwa Grunig, Cutlip, dan Bernays berpendapat bahwa citra merupakan suatu yang ilusi dan manipulatif dibandingkan dengan menciptakan untuk ikatan hubungan perilaku yang krusial(2007:26). Kedua pandangan mengenai citra tersebut disimpulkan dan ditengahi oleh Putra (2009:2-3) yang menilai, citra memiliki dua kecenderungan pengertian yang saling bertentangan. Yaitu manipulatif dan humanis. Citra sebagai alat manipulatif sama seperti yang disampaikan Soemirat dan Ardianto serta Grunig dkk. bahwa citra merupakan kesan yang diciptakan agar segala sesuatu pada suatu organisasi tampak baik dan positif meskipun pada kenyataannya belum tentu seperti itu. Citra sebagai pandangan humanis adalah tercipta dengan sendirinya. Organisasi hanya melakukan apa yang memang seharusnya mereka lakukan dengan baik dan sungguh-sungguh untuk kepentingan bersama. Meskipun tidak secara gamblang tetapi pendapat Bernstein dkk termasuk dalam citra humanis karena mereka tidak memaksakan diri kepada publiknya agar dipandang seperti apa. Meskipun demikian, tetap ada usaha untuk menciptakan kesan yang baik kepada publiknya. Usaha yang dilakukan dengan membentuk identitas diri dan 15
komunikasi dua arah atau mereka sebut dengan “dual process” untuk menciptakan kesan yang baik tersebut dengan publik, baik dari perusahan ke publik maupun sebaliknya. Karena di dalam citra manipulatif hanya terjadi komunikasi satu arah yaitu dari organisasi ke publiknya. Lebih lagi dual process tersebut lebih ditekankan pada pengelolaan hubungan yang nantinya dapat berdampak postif kepada perusahaan. Namun seluruhnya tetap diserahkan kepada publik, karena pada akhirnya publiklah yang akan menilai bagaimana organisasi tersebut berjalan dan dipandang baik ataukah buruk. Menurut Sutojo dalam Ardianto (2011:63) citra sebagai pancaran atau reproduksi jati diri atau bentuk perseorangan, benda, atau organisasi. Reproduksi jati diri dalam organisasi dapat dikatakan sebagai identitasi diri organisasi yang ditunjukkan ke publik. tentunya dengan tujuan untuk dipandang baik. Di dalam perguruan tinggi, identitas diri tersebut bisa diunggulkan dari prestasi, baik mahasiswa, dosen, staf, terbitan buku maupun jurnal dosen dan mahasiwa di berbagai tingkat nasional maupun internasional, dan lain sebagainya. Dari keunggulan yang ditunjukkan tersebut, persepsi publik terhadap organisasi berdasarkan apa yang mereka ketahui dan alami terhadap organisasi. Lalu persepsi itulah yang nantinya akan menjadi alat pengambilan keputusan terkait organisasi tersebut. Seperti dalam perguruan tinggi yang merekonstruksi citra internasional dengan apa yang dilakukan oleh pihak perguruan tinggi untuk mencitrakan diri sebagai perguruan tinggi yang mengglobal. Apabila citra yang ingin ditampilkan sesuai dengan apa yang diterima oleh publik dalam hal ini adalah orang tua wali atau calon mahasiswa. Oleh karena itu, pengambilan keputusan untuk calon mahasiswa yang ingin belajar pada perguruan tinggi yang bertaraf internasional seperti citra yang ditunjukkan, maka akan lebih mudah dilakukan dan dipilih. Dipandang baik oleh publik tentu akan memberikan manfaat yang signifikan untuk suatu organisasi. Antara lain berupa daya saing yang semakin kuat, lebih terhindar dari krisis, menekan biaya untuk promosi, menjadi daya 16
tarik dan merupakan suatu aset organisasi yang „mahal‟. Itulah mengapa banyak organisasi yang berjibaku untuk mendapatkan kesan yang baik dari publiknya. Setiap organisasi tentu dapat saja berubah mengikuti zaman yang berkembang. Oleh karena itu, citra pun juga dapat berubah. Baik karena faktor internal maupun eksternal seperti perubahan struktural yang membawa pemikiran yang berbeda. Dengan demikian, citra organisasi yang ingin ditampilkan dan dipandang publik dapat saja berubah dalam membentuk citra dapat menonjolkan hal-hal yang menarik. Terdapat tiga jenis citra yang dapat ditonjolkan oleh organisasi, antara lain: a. Citra eksklusif Merupakan citra yang dapat ditonjolkan pada perusahaan-perusahaan besar. Yang dimaksud eksklusif adalah kemampuan menyajikan berbagai macam manfaat terbaik kepada konsumen dan pelanggan. b. Citra inovatif Merupakan citra yang menonjol karena perusahaan tersebut pandai menyajikan produk baru yang model dan desainnya tidak sama dengan produk sejenis yang beredar di pasaran. c. Citra murah meriah Merupakan citra yang ditonjolkan oleh perusahaan yang mampu menyajikan produk dengan mutu yang baik, tetapi harganya murah. Ketiga citra tersebut dapat diambil salah satu atau dapat dilebur menjadi satu sehingga mendapatkan citra yang baik, inovatif dan dengan biaya yang terjangkau. Terutama pada pendidikan saat ini, banyak yang mengatakan bahwa pendidikan saat ini sulit dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Pendidikan bagus di perguruan tinggi dengan kualitas internasional hanya dapat dienyam apabila dapat membayar puluhan juta rupiah setiap satu semester. Oleh karena itu, orang-orang menengah ke bawah dengan biaya
17
yang minim hanya dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan pendidikan yang terbatas. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membentuk suatu citra, antara lain: a. Berfokus pada satu atau dua kelebihan (narrow focus), upaya menonjolkan kelebihan ditunjukkan pada satu atau dua segmen sasaran utama saja b. Berciri khas, segmentasi sasaran dapat membedakan dengan perusahaan saingan. c. Mengena (appropriate), dapat menyentuh hati segmen sasaran. d. Mendahului persepsi negatif segmen sasaran (foresight) e. Berkesimambungan secara evolusioner f. Realistis Terdapat hal yang cukup penting yang sering dilupakan oleh banyak organisasi ketika ingin menciptakan citra kepada publik setelah dilakukan penggodogan konsep yang begitu apik. Sebelum dilemparkan ke publik, hendaknya dilakukan pencitraan diri kepada seluruh publik internal dalam organisasi tersebut. Seperti halnya di perguruan tinggi yang menginginkan citra internasional di perguruan tinggi. Karena itu yang dilakukan adalah mencitrakan diri sebagai bagian dari citra tersebut. Seluruh top manajemen, karyawan, dan bahkan mahasiswa harus bercitrakan internasional. Dengan demikian, publik akan semakin mudah untuk melihat apa yang ingin ditampilkan oleh perguruan tinggi tersebut. Hal itu akan menjadi poin penting dan mengandung keunikan yang mungkin saja tidak terdapat pada perguruan tinggi sejenis.
18
I.5.2 Internasionalisasi Pendidikan di Perguruan Tinggi1 Internasionalisasi pendidikan sebenarnya berawal dari UNESCO yang bertujuan untuk merehabilitasi pendidikan melalui kerja sama internasional. Negara-negara anggota UNESCO menerapkan internasionalisasi pendidikan sebagai
proses
pengintegrasian
dimensi
internasional
dan
dimensi
interkultural ke dalam kegiatan akademik dan melalui pelayanan serta pelaksanaan fungsi institusi pendidikan. Banyak pengertian internasional menurut pakar. Pada dasarnya internasionalisasi menurut KBBI (1991:336) merupakan suatu proses yang menyangkut bangsa-bangsa atau negeri-negeri seluruh dunia atau antara bangsa. Secara sederhananya, internasionalisasi dapat dikatakan proses mengglobal atau mendunia. Internasionalisasi dalam perguruan tinggi disebutkan oleh Li Lanqing (2006) menggambarkan bahwa world class university adalah universitas yang mempunyai reputasi akademik yang mapan dan didukung sumber daya akademik yang kaya. Selain itu, menurut Nayono (2012:2) internasionalisasi perguruan tinggi didefinisikan sebagai sebuah proses di perguruan tinggi yang mengintegrasikan komponen internasional ke dalam tujuan, fungsi, atau penyampaian
pendidikan
(termasuk
pengembangan
kurikulum
dan
inovasinya; pertukaran dosen dan mahasiswa; pengembangan dan perluasan program studi; pemanfaatan bantuan teknologi untuk pembelajaran, pelatihan budaya, pendidikan untuk mahasiswa internasional; dan penelitian/publikasi bersama). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa internasionalisasi perguruan tinggi dapat disebut sebagai perguruan tinggi yang berkualitas tinggi dan berkompeten dari berbagai aspek dan mampu bersaing serta dapat melakukan kerja sama dengan banyak perguruan tinggi di seluruh dunia. Seperti disebutkan di dalam Undang-undang Perguruan Tinggi pada pasal 32 1
Internasionalisasi pendidikan perguruan tinggi juga sering disebut dengan World Class University.
19
bahwa Internasionalisasi Pendidikan Tinggi dilaksanakan melalui (a) penyelenggaraan pembelajaran yang bertaraf internasional, (b) kerja sama internasional antara lembaga penyelengara pendidikan tinggi Indonesia dan lembaga
penyelenggara
pendidikan
tinggi
negara
lain;
dan
(c)
penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain. Internasionalisasi perguruan tinggi dianggap banyak pihak sebagai dua sisi mata uang seperti yang dikemukakan oleh Thoyib (2008:220) bahwa internasionalisasi
merupakan
fundamentalism
globalization,
yang
menyediakan peluang sekaligus ancaman untuk meraih kemajuan sekaligus keterpurukan. Dengan instrumen pasar bebas, internasionalisasi akan menjadi suatu keniscayaan yang tidak menutup kemungkinan untuk terjadi, termasuk dalam dunia pendidikan tinggi yang pada dasarnya merupakan embrio dari arus internasionalisasi ilmu pengetahuan, seni, dan budaya yang berjalan tanpa batas (horserless higher education market). Bahkan Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi tersebut banyak dinilai sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi mengajak bersama-sama maju, akan tetapi sebaliknya juga bisa menggilas kearifan lokal, budaya asli Indonesia yang dapat mati akibat masuknya pendidikan luar yang tidak mengindahkan tata budaya asli Indonesia. Meski undang-undang tersebut sudah disahkan, akan tetapi masih banyak pengamat dan ahli pendidikan yang mengkhawatirkan akan masuknya pendidikan dari luar negeri yang nantinya bukan memberikan dampak positif, melainkan justru terjadi penjajahan kembali dengan bentuk yang berbeda. Bukan hanya di Indonesia yang mengganggap internasionalisasi sebagai dua sisi mata. Korea Selatan salah satu negera maju tentu saja juga mengikuti arus globalisasi terutama dalam hal pendidikan. Akan tetapi mereka tetap berusaha memegang teguh unsur nasionalisme dan menghindari kebijakan yang terlalu amerikanisasi atau terlalu ke barat-baratan. Menurut 20
penelitian Young and Palmer (2012) tentang kebijakan internasionalisasi pendidikan oleh pemerintah Korea Selatan, para stakeholder yang meliputi ahli pendidikan, pengusaha, mahasiswa, staf akademik dan administrasi, calon mahasiswa dan orang tua, serta sponsor dari lembaga swasta, mengemukakan bahwa perlu adanya kekhasan dan keunikan dari pendidikan Korea Selatan. Bahkan mereka mengganggap lebih baik mengunakan bahasa mereka dalam pembelajaran karena menggunakan bahasa asing dalam pembelajaran dianggap sebagai sebuah tragedi. Sehingga dapat menyebabkan banyak kehilangan aspek lainnya yang justru lebih penting bagi pendidikan dan rakyat Korea Selatan tersebut. Namun pemerintah Indonesia berpendapat bahwa Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tersebut tidak akan mengikis nilai budaya bangsa Indonesia. Seperti terlihat dalam pasal 50 tentang kerja sama internasional pendidikan tinggi. Pada ayat 1 menyatakan bahwa kerja sama internasional pendidikan tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional
tanpa
kehilangan
nilai-nilai
keIndonesiaan.
Dukungan
pemerintah Indonesia untuk memajukan pendidikan di negeri ini sebenarnya banyak dilakukan. Khususnya untuk mendukung pendidikan yang berkualitas dan mampu bersaing dengan negara-negara lain. Seperti memberikan bantuan dana penelitian maupun beasiswa bagi dosen dan mahasiswa di tingkat nasional dan bahkan internasional. Menetapkan
kebijakan
internasionalisasi
tentu
tidak
semudah
membalikkan telapak tangan. Banyak hal yang harus diperhatikan, seperti empat pilar kunci dari pendekatan world class university yang dikemukakan Setiawati yaitu research quality, teaching quality, graduate employability, dan international outlook. (2012:7-8). Seluruh civitas akademik harus menjadi kesatuan untuk menjadikan sebuah perguruan tinggi yang dapat mendunia, seperti kualitas dan kuantitas hasil penelitian dosen dan mahasiswa, 21
kemampuan dosen dalam mengembangkan mahasiswanya, juga seluruh staf yang membantu berjalankan internasionalisasi di lingkungan perguruan tinggi. Selain itu, perlu dilihat karakteristik dari world class university untuk dapat ditemukan mana yang sudah tercapai mana hal yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Menurut Li Lanqing (2006) karakteristik world class university, meliputi: a.
Mempunyai tim dosen dan pakar di bidangnya masing-masing yang diakui dunia;
b.
Kemampuan perguruan tinggi menghasilkan lulusan yang berkualitas dalam memasuki pasar kerja;
c.
Menjunjung tinggi kebebasan akademik dan mendorong inovasi teoritis;
d.
Adanya sejumlah program studi andalan dan mempunyai spektrum lengkap;
e.
Lebih berkonsentrasi pada program pascasarjana, khususnya program doctor;
f.
Sebagai tempat terciptanya pengetahuan baru sehingga merupakan sumber pemikiran, gagasan, teori dan teknologi baru;
g.
Memiliki warisan budaya; dan
h.
Mempunyai kontribusi dalam pembangunan sosioekonomi bagi negara /dan kawasan sekitarnya(Setiawati, 2012:7). Selain itu beberapa tujuan internasionalisasi juga menjadi hal yang
penting untuk diperhatikan seperti yang diungkapkan Nayono (2002:2): a. Meningkatkan kualitas pendidikan sehingga setara dengan kualitas pendidikan internasional, b. Meningkatkan kualitas penelitian sehingga hasil-hasil penelitian dapat diakui dunia internasional, c. Meningkatkan kompetensi dan kapasitas staf akademik dan peneliti d. Meningkatkan kompetensi dan kapasitas lulusan,
22
e. Meningkatkan reputasi universitas di mata dunia internasional dan mendapatkan keuntungan finansial dengan datangnya mahasiswa asing serta penggunaan hasil-hasil penelitian, dan f. Merespon tuntutan pasar tenaga kerja yang berkualitas di dunia internasional sehingga lulusannya tidak hanya berkiprah di dalam negeri namun diharapkan dapat berkarya dan bersaing di luar negeri. Menetapkan tujuan dalam rangka internasionalisasi oleh satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lain tentunya tidak akan sama. Itu semua bergantung kepada apa yang ingin dicapai dan melalui metode apa yang akan digunakan. Begitu pula dengan indikator yang ditetapkan apakah berhasil tidaknya mencapai tujuan tersebut. Beberapa di antaranya adalah melalui berbagai ranking yang banyak dikeluarkan beberapa instansi antara lain Academic Ranking of World Universities (ARWU)/Universitas Shanghai Jiao Tong University (SJTU) di China, Times Higher Education Supplement Quacquarelli Symonds (THES) di Inggris dan Cybermetrics Lab di Centro Superior de Investigaciones Cientificas (CSIS) di Spanyol, dan lebih dikenal dengan nama Webometric. Masing-masing lembaga perangking universitas dunia tersebut memiliki kriteria dan bobot yang berbeda-beda. Selain itu, juga jumlah perguruan tinggi mengadakan konferensi internasional, jumlah kemitraan perguruan tinggi dengan perguruan tinggi luar negeri, banyaknya jumlah dosen atau mahasiswa yang belajar ke luar negeri maupun yang masuk dari luar negeri ke perguruan tinggi tersebut, banyaknya jumlah publikasi ilmiah di tingkat internasional, dan lain sebagainya.
I.5.3 Public Relations di Perguruan Tinggi Public relations perguruan tinggi. Terdapat enam karakteristik tugas public
relations
professional
di
perguruan
tinggi
yaitu
meliputi
(Widyaningsih, 2004:151): a. Mampu membangun dan memelihara citra positif perguruan tinggi. 23
b. Mampu membangun opini publik yang favourable c. Mampu memberi masukan untuk penyusunan kebijakan perguruan tinggi yang berbasis komunikasi d. Mampu mengemas dan menyalurkan informasi secara cepat dan akurat e. Mampu menjembatani kepentingan perguruan tinggi dengan stakeholder internal dan eksternal f. Mampu mengangai krisis reputasi di perguruan tinggi. Citra masih dianggap hal yang penting hingga ditempatkan pada urutan pertama di dalam mengelola perguruan tinggi karena pada dasarnya yang “dijual” di perguruan tinggi merupakan jasa yang intangible, dan hanya bisa terlihat dari respon stakeholder ataupun publik. Perguruan tinggi yang dianggap baik tentu akan mudah mencapai segala tujuan yang telah ditetapkan. Sehingga hal itu menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan bahkan menjadi prioritas. Public relations di perguruan tinggi seperti di dalam organisasi lainnya, tentu tidak dapat lepas dari berbagai pihak di dalam organisasi tersebut. Antara lain yang cukup penting adalah dapat berhubungan langsung dengan pemegang kekuasaan atau rektor dan atau jajarannnya. Oleh karena itu, public relations di perguruan tinggi harus mempunyai a. Akses ke pimpinan peguruan tinggi b. Kepekaan akan perubahan di lingkungan perguruan tinggi c. Karakter dan kredibilitas personal yang baik. Selain itu public relations juga harus mempunyai kemampuan yaitu a. Kemampuan membangun reputasi adalah salah satu fungsi pimpinan manjemen, b. Kemampuan membentuk dan mengelola reputasi, dan bahwa pimpinan perguruan tinggi membutuhkan public relations c. Kemampuan untuk menjadi wakil universitas di hadapan seluruh stakeholder 24
Kemampuan sebagai alat komunikasi yang dapat digunakan menyalurkan pesan manajemen dengan konsisten(Rohman, 2010 :12).
I.5.4 Peran Public Relations Berbicara peran public relations akan tertuju pada aktivitas di suatu organisasi dan merupakan suatu hal mendasar dalam melaksanakan aktivitas tersebut. Setiap organisasi akan memandang peran public relatios berbeda-beda tergantung pengetahuan pimpinan organisasi dalam menempatkan public relations. Semakin tinggi kedudukannya maka semakin banyak pula aktivitas yang dapat dilakukan dan lebih menyeluruh di organisasi. Oleh karena itu, peran public relations tidak akan tetap, tetapi dinamis mengikuti beberapa hal yang dapat mempengaruhinya. Peran public relations dalam organisasi menggalami banyak perubahan. Ada keterkaitan yang erat antara organisasi, lingkungan, dan public relations. Situasi sosial, ekonomi, dan politik memberikan konten jalannya suatu organisasi. Demikian juga globalisasi, kemajuan teknologi dan tingkat kompentensi antara organisasi akan mempengaruhi orientasi organisasi. Dalam lingkup internal, jalannya organisasi dipengaruhi oleh bangun struktur organisasi yang membawa mekanisme kerja serta menggerakkan organisasi mencapai tujuan organisasi. Orientasi organisasi membawa konsekuensi tegasnya penentuan prioritas. Dalam organisasi pun, dikembangkan budaya organisasi serta filosofi manajemen(Yudarwati, 2004:183-184). Menurut Dozier dalam Putra (1999:14), peran public relations dalam organisasi merupakan salah satu kunci penting untuk pemahaman fungsi public relations dan komunikasi organisasi. Di samping itu, juga merupakan kunci untuk pengembangan peranan praktisi humas (public relations) dan
25
pencapaian profesional dalam Humas. Peran public relations itu sendiri dibagi ke dalam empat katagori sebagai berikut (Putra,1999:14-15): a. Expert Prescriber Sebagai seorang expert prescriber, praktisi public relations membantu manajemen dengan pengalaman dan ketrampilan mereka untuk mencari solusi bagi penyelesaian masalah public relations yang dihadapi sebuah organisasi. Manajemen percaya bahwa sebagai ahli, praktisi public relations akan menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah public relations yang sedang dihadapi sehingga manajemen pasif dan menerima apa yang telah diusulkan oleh public relations-nya. Adapun indikator-indikator peran ini sebagai berikut (Nabukeera, 2006:28): 1. Mengukur sukses atau tidaknya sebuah program public relations 2. Bertanggung jawab atas semua keberhasilan maupun kegagalan program public relations 3. Membuat kebijakan komunikasi Ditambahkan pula dalam beberapa penelitian indikator peran public relations sebagai expert prescriber adalah 1. Merencanakan
dan
merekomendasi
tindakan
yang
harus
dilakukan(Yudarwati, 1999:15) 2. Bertanggung jawab pengembangan dan penerapan progam (Heerden, Van, 2004:67) 3. Sebagai ahli dan penasihat bagi manajemen (Grunig, 2001: 35) 4. Mengidentifikasi masalah dan memberikan pemecahannya kepada manajemen (Gqaman, 2010: 25).
b. Problem Solving Process Facilitator Sebagai problem solving process facilitator, praktisi public relations membantu kerja manajemen melalui kerja sama dengan bagian lain dalam organisasi untuk menemukan pemecahan masalah yang memuaskan bagi 26
masalah public relations. Dalam peran ini, praktisi public relations merupakan bagian dari tim manajemen membantu organisasi dan para pemimpinnya melalui proses penyelesaian masalah secara rasional. Adapun indikator-indikator peran ini menurut Broom dalam Nabukeera (2006:28)sebagai berikut: 1. Bekerja sama dengan pihak manajemen dalam meningkatkan keterampilan 2. Menjaga agar pihak manajemen selalu terlibat secara aktif, selalu dilibatkan atau melibatkan diri dalam setiap manajemen krisis Dilengkapi oleh Moorlag (2007:10) beberapa indikator peran public relations sebagai problem solving process facilitator yaitu 1. Beroperasi sebagai katalis penentuan kebijakan manajemen 2. Memenuhi kebutuhan akan perencanaan public relations yang sistematis. Ditambahkan pula dalam beberapa penelitian indikator peran public relations sebagai problem solving process facilitator adalah 1. Sebagai fasilitator proses pemecahan masalah (Pramono, 2009:21) 2. Bersama manajemen mendefinisikan dan menyelesaikan masalah public relations, secara bertahap (Boudreaux, 2005: 8) 3. Berpartisipasi dalam tim perencanaan strategi dari awal, membantu menanamkan objektivitas, mendefinisikan kebutuhan komunikasi dan memberi saran akan pelaksanaannya(Bettin, 2010:27).
c. Communication Facilitator Sebagai communication facilitator, praktisi public relations membantu manajemen
dengan
menciptakan
kesempatan-kesempatan
untuk
mendengar apa kata publik dan menciptakan peluang agar publik mendengar apa yang diharapkan manajemen. Adapun indikator-indikator peran ini menurut Nabukeera (2006:28) sebagai berikut: 27
1. Melakukan survei opini publik 2. Memberikan peluang manajemen mengetahui pandangan berbagai pihak baik internal maupun eksternal. 3. Melakukan
komunkasi
audit
untuk
mengidentifikasi
masalah
komunikasi antara organisasi dan publiknya 4. Memberikan informasi kepada manajemen tentang reaksi publik berkaitan dengan kebijakan, prosedur, dan atau tindakan organisasi. Ditambahkan pula dalam beberapa penelitian indikator peran public relations sebagai communication facilitator adalah 1. Memfasilitasi
komunikasi
antara
organisasi
dan
publik,
menginterpretasi dan menjaga terwujudnya komunikasi dua-arah antara organisasi dengan publiknya(Yudarwati, 2011:45) 2. Memonitoring
segala
kegiatan
komunikasi
organisasi(Ruler,
2004:137) 3. Sebagai media atau penengah bila terjadi miscommunication(Pramono, 2009:21) d. Communication Techinician Sebagai communication techinician, praktisi public relations hanya melakukan pekerjaan yang bersifat teknis. Apa yang dilakukan atau dijalankan sudah ditentukan oleh orang atau bagian lain dalam organisasi. Dalam peran ini, praktisi public relations sering juga disebut sebagai “journalist in residence.” Adapun indikator-indikator peran ini menurut Kelly sebagai berikut: 1. Menulis materi-materi public relations sebagai informasi akan isu penting organisasi 2. Mengedit atau menulis kembali untuk pengecekan tata bahasa yang ditulis oleh pihak lain di organisasi 3. Memproduksi brosur, pampflet, dan publikasi
28
4. Melakukan aktivitas fotografi dan desain grafis 5. Mengelola hubungan dengan media dan mengirim press release(1992: 8). Ditambahkan menurut Broom and Smith dalam (Stoldt, 1998:18-19) beberapa indikator peran public relations sebagai communication techinician yaitu: 1. Mengedit majalah internal dan mendesain halaman website 2. Melakukan produksi penyiaran 3. Penelitian 4. Mengadakan acara organisasi dan penggalangan dana. Seperti dikemukakan Dozier sebelumnya bahwa peran public relations dikelompokkan menjadi empat peran, akan tetapi oleh Dozier dan Broom (1986) dikelompokkan menjadi peran manajerial dan teknis saja(Yudarwati, 2004:184). Hal mendasar yang membedakan kedua peran ini adalah pada keterlibatan public relations dalam proses pengambilan keputusan di organisasi. Tugas-tugas public relations yang sangat banyak tentu memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, terdapat tugas-tugas inti yang harus dilakukan untuk membina hubungan baik dengan publik mereka yang nantinya
diharapkan
mendukung
kegiatan
yang
direncanakan
dan
dilaksanakan sehingga tercipta komunikasi antara kedua pihak organisasi dan publiknya secara dua arah. Lima pokok tugas public relations menurut Rumanti (2002:39) adalah : a. Menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas penyampaian informasi secara lisan, tertulis, melalui gambar (visual) kepada publik supaya publik mempunyai pengertian yang benar tentang organisasi atau perusahaan, tujuan, serta kegiatan yang dilakukan
29
b. Memonitor, merekam, dan mengevaluasi tanggapan serta pendapat umum atau masyarakat c. Memperbaiki citra organisasi d. Tanggung jawab sosial dimana public relations merupakan instrumen untuk bertanggung jawab terhadap semua kelompok yang berhak terhadap tanggung jawab tersebut. e. Komunikasi.
Public relations mempunyai bentuk komunikasi yang
khusus yaitu komunikasi timbal balik dalam fungsinya komunikasi itu sentral. Terdapat dua model public relations yaitu two-way symmetrical public relations dan asymmetrical public relations. Meskipun sama-sama dilakukan dengan dua arah komunikasi, akan tetapi keduanya berbeda. Asymmetrical public relations merupakan model public relations yang bertujuan untuk membujuk publik agar mendukung keberadaan organisasi dengan berbagai produk dan programnya. Sedangkan symmetrical public relations merupakan model public relations yang menekankan komunikasi dua arah, dimana kegiatan komunikasi ini dapat berdampak pada terjadinya perubahan tidak hanya pada publik, tetapi juga organisasinya. Organisasi akan melakukan penyesuaian terhadap tuntutan publik sehingga akan terjadi hubungan yang harmonis, saling mendukung antara kedua belah pihak(Putra, 2004:119). Grunig (1992:10) berpendapat bahwa symmetrical public relations lebih beretika dan bertanggung jawab dibandingkan asymmetrical public relations. Begitu juga untuk model komunikasinya, symmetrical dianggap lebih efisien dan lebih mudah dalam mencapai tujuan dibandingkan asymmetrical. Sehingga symmetrical lebih banyak disarankan kepada organisasi untuk digunakan dibandingkan asymmetrical. Menggunakan symmetrical model adalah kunci sukses untuk membuat organisasi lebih efektif, tetapi itu semua tergantung dari koalisi dominan yang
30
ada dalam organisasi tersebut karena merekalah yang banyak menentukan model public relations yang patut diterapkan dalam organisasinya. Oleh karena itu, pimpinan organisasi beserta para jajarannya harus dapat membangun budaya yang baik agar dapat membentuk organisasi yang baik pula karena pada dasarnya organisasi adalah budaya itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemahaman yang baik dari sebuah budaya organisasi adalah kunci untuk memahami dan menangani situasi dengan tepat. Model public relations sangat erat kaitannya dengan jalannya aktivitas public relations. Hal tersebut disebabkan peranan koalisi dominan yang menentukan model public relations yang digunakan sehingga public relations tidak dapat berdiri sendiri. Koalisi dominan sangat mempengaruhi peran public relations. Koalisi dominan berhubungan dengan pengambilan keputusan yang dilakukan dengan mengikutsertakan public relations atau tidak di dalam suatu organisasi. Srirames, Grunig, dan Buffington (1992:579) berpendapat bahwa pada kenyataannya komunikasi yang alamiah tergantung dari model public relations yang dipilih oleh koalisi dominan sebagai pemegang kekuasaan maka itulah sebabnya public relations tidak pernah bisa independen dalam menjalankan perannya secara ideal. Perlu diketahui pula bahwa model public relations pilihan koalisi dominan ini pada dasarnya dipengaruhi skema organisasi bagi posisi public relations (pemahaman konseptual organisasi terhadap public relations), potensi departemen public relations itu sendiri dalam mempraktikkan beragam model, dan budaya organisasi yang bersangkutan. Padahal sebenarnya sudah jelas bahwa public relations merupakan bagian yang mandiri dan termasuk dalam koalisi dominan tersebut, seperti yang disampaikan Putra (1999:15) bahwa public relations merupakan bagian dari koalisi dominan dalam organisasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan strategis dan public relations mengelola bagian public relations secara mandiri tanpa campur tangan bagian lain dan bertanggung jawab secara 31
penuh terhadap seluruh programnya. Sudah jelas public relations merupakan satu bagian di organisasi yang pada dasarnya menjalankan seluruh aktifitas dasar di organisasi tersebut. Aktivitas tersebut dijalankan dengan mandiri dan mempunyai andil besar dalam pengambilan keputusan di organisasi, meskipun tidak sedikit yang pimpinan organisasi yang mengabaikan hal tersebut. Oleh karena itu, perlu untuk menyangga posisi dan peran public relations menjadi lebih baik dan sesuai dengan yang seharusnya sehingga penting diketahui bahwa sebuah organisasi akan mempunyai departemen public relations yang baik dan bermutu apabila organisasi tersebut (Grunig 1992:21): a. Meletakkan departemen public relations dalam posisi yang dapat mengakses langsung ke top managemen. b. Mengintegrasikan public relations dalam satu departemen tersendiri. c. Membangun struktur yang horizontal dan dinamis. Hal tersebut dapat terjadi tentu kembali pada koalisi dominan yang biasa dikuasai oleh pimpinan organisasi. Tanpa keterbukaan pikiran akan public relations hal tersebut akan sulit terjadi. Selain itu,
menurut Moss dan DeSanto (2012:17), ada beberapa
tantangan yang dihadapi public relations dalam menjalankan perannya dalam organisasi yang tentunya akan mempengaruhi bagaimana bentuk dan jalannya kegiatan public relations, yaitu antara lain: 1. Bagaimana public relations didefinisikan oleh pimpinan organisasi Tugas public relations tergantung pada bagaimana public relations didefinisikan antara lain sebagai pekerja dalam tataran manajerial ataupun teknis. 2. Pengakuan formal dari organisasi terhadap peran public relations. Pengakuan formal public relations dari organisasi dapat dilihat dari seluruh kegiatan di organisasi selalu melibatkan public relations. 32
3. Adanya jarak dalam level peran manajerial di organisasi Jarak tersebut dapat dilihat dari penempatan public relations di struktur organisasi. Apabila langsung di bawah pimpinan berarti dapat dikatakan dekat. Sebaliknya semakin jauh di bawah pimpinan berarti jaraknya jauh. 4. Adanya tumpang tindih akan peran public relations dan peran departemen lain. Peran suatu departemen tentu akan bersinggungan dengan departemen lainnya sehingga memungkinkan tugas maupun peran public relations dilakukan oleh departemen lain. 5. Jumlah public relations officer di sebuah organisasi Sebenarnya sedikit banyaknya tidak ada jumlah ideal. Akan tetapi, biasanya berdasarkan dengan tugas-tugas yang dibebankan. 6. Keberagaman peran public relations officer Keberagaman peran di sini lebih pada peran public relations officer yang mempunyai peran lain di luar peran public relations tersebut. 7. Keberagaman latar belakang public relations officer Keberagaman tersebut dapat dilihat dari pendidikan formal yang berasal dari bidang studi yang relevan seperti Ilmu Komunikasi ataupun Public Relations atau dari bidang studi lainnya. 8. Keberagaman pendidikan/pelatihan mengenai public relations pada public relations officer dan pimpinan organisasi. Pelatihan yang ada antara lain berupa workshop, seminar public relations, tergabung dalam organisasi public relations perguruan tinggi, dll. Kedelapan poin tersebut merupakan cara menilai apakah peran yang selama ini dilakukan telah tepat dijalankan oleh public relation officer. Peranan public relations yang luas menyangkut hubungan dengan berbagai pihak dan tidak hanya sekadar berbentuk relations dalam arti sempit karena personal relations mempunyai peranan yang cukup besar dalam melakukan kampanye public relations. Bagaimana meningkatkan kesadaran, 33
pengertian, dan pemahaman tentang aktivitas perusahaan atau lembaga, termasuk membentuk sikap yang menyenangkan iktikad baik, toleransi, saling pengertian, saling mempercayai, saling menghargai, dan pada akhirnya akan menciptakan citra baik meskipun pada banyak organisasi justru citralah yang dijadikan patokan utama. Citra pada dasarnya merupakan efek samping setelah melakukan kegiatan komunikasi oleh public relations sehingga bukan citra sebagai fokus utamanya. Seperti dikemukakan oleh Yudarwati (2004:184-185) bahwa peran sebagai manajer hubungan berkaitan dengan orientasi public relations yang tidak lagi fokus pada aktivitas dan produk hasil akhir seperti simbol dan citra, tetapi lebih pada tujuan organisasi yang lebih besar. Peran public relations lebih dari sekedar interaksi simbolik membentuk image, tetapi merupakan perpaduan relasi simbolik dan behavioral. Image saja tidak ada artinya jika tidak disertai dengan bentuk relasi jangka panjang antara organisasi dengan publiknya. Selain empat peran yang telah disampaikan, ada beberapa opini menyatakan bahwa peran public relations itu berupa “relationship” sehingga bagian-bagian yang berhubungan dengan relationships dapat dikatakan secara lebih khusus merupakan peran public relations. Peran public relation secara khusus yakni Government relations, community relations, media relations, lingkungan hidup, peran green public relations (Basya, 2004:25), internal relations, dan investor relations. Peran public relations tersebut jika dijalankan dengan optimal akan menghasilkan output organisasi yang optimal juga. Peran public relations satu dengan yang lainnya saling melengkapi sehingga dapat mendukung terciptanya tujuan organisasi yang telah dicanangkan.
34
I.6. KERANGKA KONSEP KONSEP PERAN
DIMENSI Expert prescriber
DEFINISI
INDIKATOR
Praktisi public relations 1. Sebagai ahli dan penasihat bagi
PUBLIC
membantu
manajemen
RELATIONS
dengan pengalaman dan 2. Mengukur ketrampilan
mereka
manajemen sukses
program public relations
untuk mencari solusi bagi 3. Membuat penyelesaian public
masalah
relations
dihadapi
tidaknya
kebijakan
komunikasi
yang 4. Merencanakan sebuah
organisasi.
dan
merekomendasi tindakan yang harus dilakukan 5. Mengidentifikasi masalah dan memberikan pemecahannya
Problem solving
Praktisi public relations 1. Bekerja sama dengan pihak
fasilitator
membantu
kerja
manajemen melalui kerja
manajemen
dalam
meningkatkan keterampilan
sama dengan bagian lain 2. Menjaga agar pihak manajemen dalam organisasi untuk
selalu terlibat secara aktif
menemukan pemecahan 3. Beroperasi masalah yang terbaik.
sebagai
penentuan
katalis kebijakan
manajemen 4. Sebagai
fasilitator
proses
pemecahan masalah Communication
Praktisi public relations 1. Melakukan survei opini publik
fasilitator
sebagai jembatan antara 2. Melakukan komunikasi audit organisasi
dan
publik
untuk mengidentifikasi masalah
dalam agar membentuk
komunikasi antara organisasi
hubungan baik dan saling
dan publiknya
35
memahami.
3. Memfasilitasi
komunikasi
antara organisasi dan publik, menginterpretasi dan menjaga terwujudnya komunikasi duaarah antara organisasi dengan publiknya. 4. Memonitoring segala kegiatan komunikasi organisasi Communication
Praktisi public relations 1. Menulis materi-materi public
technician
yang
menjalankan
tugasnya yang bersifat teknis.
relations
sebagai
informasi
akan isu penting organisasi 2. Mengedit atau menulis kembali untuk pengecekan tata bahasa yang ditulis oleh pihak lain dalam organisasi 3. Memproduksi brosur, pamflet, dan publikasi 4. Melakukan aktivitas fotografi dan desain grafis 5. Mengelola hubungan dengan media dan mengirim
press
release 6. Mengedit majalah internal dan mendesain halaman website 7. Melakukan produksi penyiaran 8. Penelitian 9. Mengadakan acara organisasi dan penggalangan dana.
36
I.7. DESAIN PENELITIAN Desain penelitian ini berupa I.7.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan teknik dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin untuk secara sistematis menelusuri individu, kelompok, atau suatu program. Studi kasus digunakan peneliti untuk memahami atau menjelaskan sebuah fenomena (Wimmer and Dominic, 2000:124). Menurut Yin (1994) dalam Wimmer dan Dominic mendefinisikan studi kasus sebagai sebuah penelitian empirik yang mengunakan banyak sumber untuk menelusuri fenomena dalam kontens yang nyata, dan terdapat kesenjangan antara fenomena dan kenyataan. Selain itu juga menggunakan jenis penelitian kualitatif. Metode Kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi(Moeleong,2000:6). Dalam penelitian ini yang diteliti adalah praktik peran yang dijalankan UAD dalam rangka konstruksi citra internasionalisasi perguruan tinggi.
I.7.2 Objek penelitian Objek penelitian yaitu public relations UAD. Alasan pemilihan objek penelitian tersebut karena perubahan staf public relations pada saat program perubahan citra menuju universitas bertaraf internasional berlangsung, tetapi tidak mengganggu program yang ada akan tetapi justru semakin berkembang. Fokusnya lebih di departemen public relations atau yang menangani konstrusi citra, pimpinan, departemen lain seperti Kantor Urusan Universitas, Kantor
37
Urusan Internasional, dosen, dan mahasiswa yang menjalankan kegiatan pertukaran dosen dan mahasiswa ke luar negeri.
I.7.3 Teknik pengumpulan data Sumber bukti yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Wawancawa (in depth interview) Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu, maksud mengadakan wawancara, antara lain: mengontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain (Moleong, 2000:135). Penggunaan teknik ini karena dapat secara detail, dengan sampel sedikit, fokus pada pesan atau respon nonverbal serta dapat membuat
pertanyaan
berdasarkan
jawaban
responden(Wimmer&Dominick,2000:122). Wawancara telah dilakukan dengan bagian Public Relations UAD yaitu Dewi Soyusiyawati; Kepala Urusan Universitas UAD yang membawahi Public Relations Imam Azhari, M.Cs.; Kepala Kantor Urusan Internasional selaku pelaksana utama World Class University, Ida Puspita; Public Relations Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi UAD, Choirul Fajri, M.A. dan Mahasiswa Fakultas Ekonomi yang melakukan pertukaran mahasiswa di China yang lulus pertama kali, Pradhika Nurul Huda, B.Econ. b. Studi pustaka dan dokumentasi Dokumentasi adalah pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang pengetahuan. Pemberian atau pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-keterangan (seperti gambar, 38
kutipan, guntingan koran, dan bahan-bahan referensi lainnya)(KBBI, 1991:240). Studi pustaka dan dokumentasi UAD didapat melalui data-data yang dimiliki universitas tersebut, seperti majalah internal UAD “Kabar UAD”, Pendoman Akademik Mahasiswa Baru UAD Tahun 2012/2013,Peraturan Rektor Universitas Ahmad Dahlan Nomor 3 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tatakerja Unit-unit Kerja Universitas Ahmad Dahlan selain itu juga melalui kliping atau artikel di berbagai media massa serta internet yang berupa website universitas tersebut, serta hasil penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
I.7.4 Teknik analisis data Analisis data, menurut Palton dalam Moleong (2000:103) adalah “Proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, katagori dan satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan tidak mencari hubungan di antara dimensidimensi uraian.” Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel, dan sebagainya. Menurut Miles dan Hubermas (1992:16) teknik analisis data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga kompenen yaitu: a. Reduksi Data Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari cacatan-cacatan tertulis di lapangan. Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis, reduksi data merupakan bagian dari analisis data yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak 39
perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Di bagian ini termasuk dalam trianggulasi data. Proses reduksi data tersebut juga meliputi verifikasi data yang telah didapatkan dengan data-data atau objek-objek pendukung sehingga apa yang didapat bukan mentah dan dari satu pihak saja. Validitas data dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi sumber. Trianggulasi sumber (Kriyantono, 2010:72) merupakan pembandingan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda. Validitas data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan membandingkan atau mengecek kembali data yang berasal dari bagian public relations dan pimpinan universitas dengan departemen lain yang terkait dan/atau publik UAD yang lain seperti dosen, mahasiswa. b. Penyajian Data Penyajian data adalah alur penting kedua dari kegiatan analisis. “Penyajian”
sebagai
sekumpulan
informasi
tersusun
yang
memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam kesatuan bentuk yang disederhanakan dan selektif atau konfigurasi yang mudah dipahami. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih, dengan demikian seorang penganalisis dapat melihat apa yang sedang terjadi dan melangkah melakukan analisis yang menurut saran yang dikiaskan oleh penyajian sebagai suatu yang mungkin berguna. Sebagaimana halnya dengan reduksi data, penciptaan, dan penggunaan penyajian data tidaklah terpisah dari analisis. Ketiga hal tersebut merupakan bagian dari analisis. c. Penarikan Kesimpulan
40
Penarikan kesimpulan adalah permasalahan penelitian yang menjadi pokok pemikiran terhadap apa yang diteliti, sehingga penarikan kesimpulan dapat mulai muncul saat mereduksi data hingga penyajian data. Pada tahap ini dalam mengambil kesimpulan berasal dari data yang direduksi dan disajikan dan makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya yakni yang merupakan validitasnya dengan cara membandingkan, dan memilih data yang mengarah pada pemecahan masalah dan mampu menjawab permasalah dan mencapai tujuan yang hendak dicapai.
41