BAB I Pendahuluan I. 1. Latar Belakang Fragmentasi geografis atas sistem produksi global telah mengakibatkan sebuah temuan baru akan realitas produksi barang di dunia. Hal ini kemudian biasa disebut sebagai fenomena global value chain atau vertical specialization. Fenomena tersebut kini telah meningkatkan ketergantungan dalam perdagangan masa kini dan mengubah cara pandang kita akan kebijakan perdagangan. Munculnya global value chain merupakan pertemuan dari beberapa faktor yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Faktor itu dimulai dengan perubahan model konsumsi di negara industrialis yang ditandai dengan peningkatan kuantitas kebutuhan barang dagangan yang tidak bisa dihasilkan sendiri oleh negara tersebut. Hal ini terjadi terutama di pusat-pusat industrialisasi dunia seperti kawasan Eropa, Amerika Utara dan Asia Timur. Kawasan Asia Timur saat ini telah menjadi salah satu pusat perhatian baru dunia. Hal ini tidak terlepas dari posisi dan peran
negara-negara di kawasan tersebut dalam
perekonomian dunia. Pertumbuhan pesat perekonomian Jepang pada masanya hingga memunculkan istilah yang disebut dengan julukan buble economic yang memacu negaranegara lain di kawasan tersebut untuk terus bersaing dalam kancah pembangunan ekonomi internasional regional yang berorientasi pada tingginya pendapatan nasional masing-masing negara. China, Korea Selatan dan Taiwan turut terpacu memburu keuntungan dengan menggeliatnya perekonomian di kawasan Asia Timur tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kawasan tersebut tentu secara langsung akan mempengaruhi berbagai sektor industri yang ada di dalamnya, termasuk juga industri semikonduktor. Industri ini merupakan bahan baku barang-barang teknologi tinggi yang semakin meningkat permintaanya secara global akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dunia. Kemajuan teknologi informasi tidak bisa dipisahkan dengan pengembangan industri semikonduktor. Produk semikonduktor sangat dibutuhkan sebagai bahan perangkat pembuatan barang elektronik. Kebutuhan yang tinggi akan bahan ini, kemudian menjadi peluang besar bagi negara-negara sedang berkembang terutama Taiwan untuk mengembangkan perekonomian negaranya. Bermula dari negara miskin tak bersumber 1
daya alam yang banyak, Taiwan kemudian mengambil langkah kontroversial dengan mengembangkan industri semionduktor. Taiwan kini menjadi salah satu penghasil bahan baku dan barang hasil industri semikonduktor terbesar di dunia. Fenomena ini sangat unik untuk diteliti secara lebih lanjut. Karena jarang sekali kemajuan pembangunan ekonomi yang didongkrak oleh kebangkitan pembangunan teknologi yang sangat mendominasi suatu kawasan tertentu yang terdiri dari beberapa negara yang berbeda kebijakan pembangunannya. Industri semikonduktor bermula dari suatu elemen yang disebut dengan transistor yang ditemukan pada tahun 1947, kemudian silicon chip, berkembang lagi sekarang menjadi beragam produk dan melibatkan banyak proses dan jejaring industri yang tersebar di banyak negara. Industri semikonduktor kini membutuhkan banyak investasi yang pada jaman itu belum terpikirkan hingga seperti saat ini. Sepotong kecil silikon perak, yang ditutupi oleh metal dan polimer adalah temuan yang amat penting terhadap kemajuan teknologi semikonduktor yang berkembang sangat pesat hingga saat ini. Kini telah banyak kita temukan beraneka produk antara lain jam tangan digital, komputer, TV dengan layar LCD / LED dan ribuan industri manufaktur untuk mengolah barang tersebut. Taiwan kini mampu berdiri dengan bangga sebagai salah satu negara dengan tingkat industrialisasi terbesar di dunia khususnya di kawasan Asia Timur. Ibarat kata pepatah, kecil-kecil cabe rawit, ukuran Taiwan yang tak seberapa ditambah lagi dengan kepemilikan sumber daya alam yang tidak begitu kaya dibandingkan dengan negaranegara maju pada umumnya, namun Taiwan memiliki salah industri semikonduktor yang paling maju di dunia. Hal ini menjadi keunikan tersendiri untuk dibahas tentang bagaimana keberhasilan pembangunan industrinya. Taiwan dengan pendapatan per kapita sebesar 484,7 milyar dollar Amerika Serikat1 pada tahun 2013 telah menempati posisi keduapuluhtujuh terbesar di dunia. Taiwan telah dapat disejajarkan dengan negara maju lainya di dunia berkat keunggulan industrinya. Selama beberapa tahun, Taiwan telah berhasil menjadi penghasil terbesar notebook computer (nomor satu dunia) serta desktop computer and pheripheral (selalu tiga besar dunia).2
1
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/fields/2195.html
2
C.L. Salter,Taiwan : Modern Worls Nation,Chelsea House Publishers,Philadelphia,2004,p.98
2
Berdasarkan fenomena yang dialami oleh Taiwan tersebut, sangat menarik untuk membahas serta menganalisis berberbagai macam kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah Taiwan sehingga sukses dalam mengejar keterlambatan dalam pembangunan industri semikonduktor di negaranya. Selain menjadi strategi unik yang layak untuk diapiresiasi, cara yang ditempuh oleh Taiwan bisa menjadi inspirasi agar kemudian bisa ditiru oleh negara lain. I.2. Rumusan Masalah Melalui skripsi ini, penulis akan berusaha untuk menjawab pertanyaan “Strategi apa yang dilakukan oleh pemerintah Taiwan untuk memajukan industri semikonduktor agar mampu bersaing dalam global value chains? “ I.3. Landasan Konseptual Saya akan menggunakan global value chain sebagai landasan konseptual untuk menjawab rumusan masalah diatas. I.3.1). Global Value Chain Pengertian global value chain dapat dipahami dari makna value chain terlebih dulu. Value chain atau rantai pertambahan nilai adalah seluruh rangkaian atau aktivitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produk atau jasa yang masih berupa rancangan atau pemikiran, melalui fase-fase produksi yang berbeda (termasuk kombinasi dan transformasi fisik dan input dari berbagai layanan produsen lainya), sampai berhasil menuju ke tangan konsumen hingga pembuangan akhir pada ujungnya.
3
Gambar 1.1 Alur sederhana value chain3 Berdasarkan konsep ini kegiatan-kegiatan mulai dari desain, produksi, hingga pemasaran merupakan rantai produksi yang bisa saja dilaksanakan oleh perusahaan yang berbeda dengan lokasi yang berlainan pula. Sehingga dapat dapat dipahami hubungan antara rantai nilai gobal yang terjalin antara antar perusahaan dengan lokasi yang berbeda dari awal pembentukanya hingga ke tangan konsumen akhir. Lebih lanjut, untuk memahami konsep ini maka global value chain dapat dibagi menjadi beberapa hal. Yang pertama adalah struktur input-output, dimana rantai dari sejumlah kegiatan produksi dan jasa dihubungkan guna menggambarkan aktivitas penambahan nilai ekonomi. Contoh sederhananya adalah dalam hubungan rantai penambahan nilai mulai dari desain, input, produksi, distribusi, dan ritel. Meskipun dalam implementasinya hubungan rantai tersebut amat rumit, mengingat rantai tersebut tidak hanya mentransfer material, namun
3
Industry Value Chain : http://www.aistrupconsulting.com/PrintedElectronics.aspx
4
juga pengetahuan (teknologi) dimana jumlah yang ditransfer antara keduanya tidaklah dalam jumlah yang sama.4 Setelah itu, yang kedua adalah penyebaran geografis, dimana beberapa rantai pertambahan nilai memang berjalan secara global (berbagai aktivitas rantai tersebut berjalan di berbagai negara di benua yang berlainan). Namun, penyebaran ini juga tidak menutup kemungkinan berada dalam lingkup
nasional, regional, maupun lokal
mengingat kesemuanya memiliki pola persebaran geografis yang sama. Sedang yang terakhir adalah kontrol aktor yang berbeda yang mampu mempengaruhi jalan value chain. Maksudnya adalah aktor dalam satu rantai secara langsung mengontrol aktivitasnya, yang mana secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh tindakan aktor lainya atau membentuk pola governance. Dengan interaksi antar aktor yang sangat bervariasi , maka pada ujungnya juga akan menimbulkan hubungan antar aktor yang bermacam-macam pula.5 Guna memahami global value chain, dibutuhkan beberapa komponen analisa untuk memperoleh kemudahan dalam melakukan analisa yang akan dibuat. Dalam tulisan Laplinsky dan Morris, dijelaskan bahwa komponen analisa global value chain terdapat empat bagian utama yaitu rents, governance, perbedaan jenis value chain serta upgrading. Namun untuk kali ini saya akan lebih banyak membahas mengenai upgrading, governance, jenis value chain. Mengingat rents bukan merupakan fokus analisa yang dibutuhkan sebagi alat pembahasan skripsi ini. a). Governance Dalam hubungan value chain yang dijalankan oleh para aktor akan terlihat munculnya kegiatan berulang berulang yang dihasilkan dari interaksi antar aktor. Di sini, governance dapat diartikan sebagai aktivitas dalam rantai tersebut. Governance sendiri melihat kegiatan interaksi antar aktor tersebut sebagai kegiatan yang terorganisir dan bukan lagi 4
Dorothy McCormick dan Hubert Schmitz- Manual for Value Chain Research on Homeworkers in the Garment Industry. Hal. 17-19. 5
Dorothy McCormick dan Hubert Scmitz – Manual for Value Chain Researchin Homeworkers in the Garment Industry, Hal. 17-19
5
kegiatan acak sehingga parameter kegiatan yang dijalankan oleh para aktor, dalam aturan dan fungsi yang berjalan Namun pengorganisasian kegiatan di atas bukanlah atas dasar kesetaraan antar aktor. Ketidaksetaraan power yang dimiliki tersebut menjadi kunci dalam governance, dimana aktor kunci ini memiliki peranan dalam menentukan hubungan yang tercipta dalam value chain tersebut, sehingga dapat dibedakan menjadi beberapa jenis kelompok hubungan value chain yang terjadi, seperti yang tertera di tabel 1.1 berikut ini6: Tabel 1.1 Jenis-jenis Global Value Chain Market
Hubungan antar perusahaan hanya sebatas kegiatan jual beli saja, tidak lebih.
Balanced
Perusahaan-perusahaan membentuk jaringan dimana tidak ada yang
Network
memiliki
kontrol
lebih
tinggi
dibanding
lainya,
kemudian
perusahaan lebih memilih berhubungan dengan perusahaan dari dalam jaringan. Directed
Perusahaan-perusahaan membentuk jaringan yang menjadikannya
Network
diatur oleh perusahaan utama. Perusahaan utama memberikan arahan spesifikasi dengan standar yang ditentukan pada perusahaan produsen.
Hierarchy
Perusahaan terintegrasi secara vertikal, sehingga perusahaan pusat dapat mengatur sebagian besar atau semua rantai produksi bawahnya.
b). Perbedaan Jenis Value Chains Hubungan antar aktor yang tercipta dalam rantai biasa disebut dengan governance. Governance dalam global value chain diperlukan karena untuk memahami bagaimana rantai dikontrol dan dikoordinasi ketika aktor-aktor yang terlibat dalam rantai global tersebut memiliki kekuatan yang tidak sama antara satu dengan yang lain. Gereffi mendefinisikan governance sebagai hubungan antara otoritas dan power yang menentukan bagaimana keuangan, materi dan sumber daya manuasia dialokasikan dalam 6
Dorothy McCormick dan Hubert Scmitz, op.cit. Hal.19
6
aliran rantai global. Pada awalnya governance secara luas ditentukan oleh buyer driven atau producer driven. Analisis menggunakan buyer driven chain menggarisbawahi peran yang kuat atas retailer besar semisal Walmart dan Tesco, juga merchandisers dengan skala besar seperti Nike dan Reebok, dalam mendikte jalanya rantai yang dioperasikan oleh supplier dengan standard dan protokol tertentu meski dengan kemampuan produksi yang terbatas. Di sini, jelas value chain yang pertama adalah buyer driven chain atau rantai produksi yang dikendalikan oleh konsumer akhir. Jenis ini kebanyakan memiliki karakteristik berupa labor intensive industry (sebagian besar terletak di negara berkembang yang memproduksi barang dengan jumlah banyak dan menyesuaikan degan selera pasar misal : pakaian, alas kaki, furnitur, mainan dll. Sebaliknya producer driven chains lebih terintegrasi secara vertikal sepanjang segmen rantai supply and leverage dari teknologinya. Sedang jenis yang kedua adalah producerdriven chain atau rantai produksi yang dikendalikan oleh produsen. Di sini, produsen memiliki tugas untuk mengarahkan supllier dan konsumen guna mencapai maksimalisasi efisiensi yang dilakukan perusahaan asing sehingga dapat mengintegrasikanya dengan sistem produksi perusahaan. Terdapat perbedaan mendasar antar kedua jenis value chain tersebut. Dalam buyerdriven chain, perusahaan pemegang merk serta retailer besar hanya menyediakan desain dan pemasaran produk. Sedang produksinya sendiri diserahkan pada perusahaan supplier yang berada di negara berkembang, dimana perusahaan hanya mengontrol produk dan proses prroduksinya. Hal yang tidak senada yang diaplikasikan dalam producer driven chain dimana perusahaan besar (seringkali dengan intensifikasi kapital yang tinggi) mengintegrasikan dan mengontrol proses value chain, mulai dari awal hingga akhir, dimana contohnya adalah industri otomotif. Hal ini mengingat industri ini membutuhkan kapital yang besar dan teknologi yang tinggi. Untuk memahami governance dan bagaimana sebuah supply chain dikontrol, kita membagi lima struktur governance yang sudah diidentifikasi dalam literatur GVC : markets, modular, relational, captive dan hierarchy. Struktur tersebut diukur dan ditentukan dengan menggunakan tiga variabel yaitu antara lain 1. Kompleksitas informasi antar aktor yang berada dalam rantai
7
2. Bagaimana informasi untuk produksi dapat dikodifikasi 3. Level kompetensi yang dimiliki oleh supplier
c). Upgrading Analisa di atas telah
menjelaskan bagaimana global value chain berjalan dan
menggerakan hubungan mulai dari produser hingga ke rantai konsumen akhir. Keberadaan perusahaan-perusahaan dalam value chain tersebut di negara-negara berkembang juga tergambarkan jelas, dimana kebanyakan di dalam rantai produksi mengingat dibutuhkanya biaya produksi rendah dengan sedikit transfer pengetahuan guna memaksimalkan efisiensi produksi. Namun hal tersebut kurang bisa menjelaskan bagaimana cara agar industri di negara berkembang mampu meningkatkan posisinya (tidak hanya berhenti di rantai produksi saja), mengingat posisi tersebut bukanlah posisi rantai dengan penambahan nilai yang cukup tinggi mengingat tingginya usaha efisiensi di rantai ini. Di sini konsep upgrading sendiri merupakan usaha maksimalisasi penciptaan nilai dan pembelajaran guna meningkatkan kapabilitas aktor. Dalam strategi upgrading peningkatan kapabilitas melalui transfer pengetahuan serta pemanfaatan rent dan endownment bukanlah satu-satunya hal yang perlu dilakukan. Perubahan hubungan aktor dengan produsen dan konsumen juga perlu diperhatikan, mengingat perubahan tersebut akan mengubah posisinya. Sebagai latecomer yang yang berusaha mengejar ketertinggalannya, negara berkembang berusaha menjalankan upgrading. Dalam usaha tersebut negara berkembang dapat memanfaatkan pola upgrading seperti yang telah dijalankan oleh para NIC (New Industrialized Country). Menurut Humphrey pola tersebut dapat diaplikasikan melalui lima tahap 7. Yang kemudian akan dijelaskan sebagai berikut. Tahap pertama yaitu kegiatan ekspor merupakan inisiasi produsen karena kebutuhan atas proses produksi berbiaya rendah (mengarah ke negara berkembang) dengan semua proses bermula dari desain, pasokan bahan, kontrol kualitas produksi dan proses pengerjaan, hingga pengiriman barang produksi. Aktor lokal yang mendapatkan 7
John Humphrey, Upgrading in Global Value Chain, International Labor Organization. Hal 6-9
8
penambahan nilai sesuai dengan produk yang mampu dihasilkanya dari proses yang telah diatur dan diawasi oleh produsen. Kemudian tahap kedua adalah perusahaan yang mengembangkan beberapa kemampuan desain internal guna memahami desain dan kemasan yang telah diajukan oleh produsen namun tetap dengan arahan pengaturan desain secara detail dari sang produsen. Perusahaan mengambil peran menghasilkan produk, sedang produsen mengambil peran desain dan pemasaran. Tahap selanjutnya, ketiga adalah perusahaan tetap memproduksi barang pesanan produsen, namun dengan telah mengembangkan kemampuan desain internal sehingga mampu memproduksi desain barang tanpa asistensi dari produsen. Dalam tahap ini, perusahaan juga mulai mampu menjual produk yang didesain dan dihasilkannya sendiri. Setelah itu, tahap keempat terjadi bila pada tahap ketiga lebih menempatkan diri sebagai manufaktur kontraktor, di tahap ini perusahaan telah berusaha memasarkan sendiri produksinya dengan lebih mengembangkan kemampuan desain dan pemasaranya dengan menggunakan merek dagang sendiri. Tahap kelima adalah tahap yang merupakan pengembangan tahap keempat dimana bila sebelumnya terdapat usaha untuk memasukan produknya ke pasar lokal maka di tahap ini perusahaan telah mampu melakukan ekspor sendiri dimana perusahaan telah mengadopsi sistem pemasaran dan penjualan yang hampir sama dengan perusahaan produsen sebelumnya, atau dengan kata lain telah mampu bersaing dengan perusahaan produsen awal. Tahap-tahap di atas dapat disederhanakan melalui tabel 1.2 tentang tahap upgrading dalam pola global value chain 8: Tabel 1.2 Tahap Upgrading dalam pola Global Value Chain : Fase Assembly
Penjelasan Fokus hanya pada produksi yang terutama mengikuti spesifikasi dan penggunaan bahan yang disediakan oleh pembeli sendiri. Dalam sektor garmen tahap ini biasa disebut
8
Herdyanto Enggar Fury. Thesis. Industri Otomotif Indonesia dan Thailand : Analisis Rent. UGM. 2013. Hal 17
9
dengan ‘cut-make and trim’. Original Equipment Suplier mengambil peran yang lebih luas dari sekedar kegiatan Manufacturing
manufaktur, mungkin termasuk fungsi pengaturan input dan
(OEM)
logistik. Desain dan pemasaran diserahkan pada pembeli. Dalam sektor garmen, hal ini disebut dengan produksi paket lengkap.
Original
Design Selain manufaktur, suplier bertanggung jawab terhadap proses
Manufacturing
desain, yang juga bisa berkolaborasi dengan pembeli. Dalam
(ODM)
kasus yang lebih rumit, pembeli bisa menggunakan mereknya sendiri untuk barang yang yang didesain dan diproduksi oleh suplier.
Original
Brand Suplier bertanggung jawab terhadap desain, produksi, dan
Manufacturing
pemasaran produknya dengan menggunakan mereknya sendiri.
(OBM)
Tidak lagi tergantung pada pembeli untuk fungsi tersebut.
Sumber : Diambil dari Hobday (1995) dan Gereffi (1999). Pada perkembanganya, analisis global value chain selalu diidentikan dengan pemahaman terhadap kekuasaan, keuntungan, dan seberapa besar harga yang didistribusikan oleh pelaku-pelaku utama melalui kegiatan produksi. Apabila membahas analisa global value chain, maka yang terbayang di setiap benak masyarakat adalah bagaimana global value chain dapat menjelaskan strategi sebuah perusahaan meningkatkan daya saing agar dapat memenangkan pasar dikancah global melalui upgrading dan intervensi pemerintah dengan keterlibatan antara swasta serta masyarakat itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini, Taiwan melakukan serangkaian kebijakan yang berhubungan dengan rantai produksi. Intinya pemerintah negara tersebut sebagai pengendali atas kebijakan ekonomi dengan sengaja membuat peraturan atau kebijakan yang dirumuskan untuk mengatur jalannya sistem ekonomi yang menguntungkan bagi negaranya.
10
Hal ini sesuai dengan konsep developmental state yang oleh Prof. Amiya Kumar Bagchi. Menurut Bagchi, developmenal state adalah sistem yang mewajibkan negara untuk mengatur kegiatan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia dari setiap penduduknya.9 Artinya negara yang menganut sistem tersebut akan membuat semua kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan standar hidup masyarakat termasuk kesehatan dan pendidikan melalui kebijakan yang bersifat intervensionis.10 I.3. Hipotesis Taiwan sebagai salah satu pemain utama dalam industri semikonduktor global berhasil mendorong keterlibatan jaringan domestik industri semikonduktornya sehingga mampu bersaing dalam jaringan industri semikonduktor dalam level global dengan mengambil berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang terkait dengan global value chain. Untuk masuk ke dalam global value chain
industri semikonduktor pemerintah
Taiwan melakukan upgrading dengan menerapkan berbagai macam strategi dan kebijakan nasional sehingga mampu meraih value yang maksimum dalam rantai global industri semikonduktor. Meski dengan latar belakang kondisi ekonomi yang berbasis pada pertanian, kini Taiwan nampak sudah berhasil menapaki posisi yang kuat serta leverages yang kuat atas industri semikonduktor di Asia Timur. I.4. Metode Penelitian Skripsi ini akan menggunakan data sekunder yang berasal dari buku, jurnal, tesis yang telah ada dan data terkait yang bisa diakses dari internet. I.5. Sistematika Penulisan Skripsi ini akan mencakup beberapa bagian antara lain :
Bab 1 (Pendahuluan) terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penulisan.
9
Bagchi, Amiya Kumar, The Developmental State in History and in the Twentieth Century, Regency Publications, New Delhi, 2004, p. 1 10
Ibid, p. 3
11
Bab II akan menjelaskan tentang sejarah singkat Taiwan, perkembangan industri semikonduktor di Asia Timur dan peranan Taiwan serta kemudian membahas peran Taiwan sebagai aktor penting dalam industri semikonduktor di kawasan tersebut.
Bab III akan menganalisa permasalahan yang muncul atas pilihan yang diambil oleh Taiwan akibat mengembangkan industri semikonduktor, strategi dan kebijakan Taiwan yang diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut serta dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan dan strategi tersebut bagi negara-negara di Asia Timur”.
Bab IV berisi simpulan dan daftar pustaka.
12