BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak dapat melakukan perbuatan itu sendiri. Hal tersebut dapat disebabkan karena benturan kepentingan pada waktu yang sama. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, diperlukan jasa orang lain untuk membantu menyelesaikan suatu kepentingan atas nama dari orang yang meminta bantuannya. Demikianlah hingga akhirnya timbul perwakilan, dimana seseorang melakukan suatu pengurusan suatu kepentingan tetapi bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain yaitu pemilik kepentingan yang sebenarnya. Dalam hukum, perwakilan ini disebut juga dengan pemberian kuasa.1 Kuasa adalah kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas nama pemberi kuasa. Kuasa merupakan kewenangan dan bukan merupakan suatu perjanjian. Kuasa adalah suatu hak yang melahirkan suatu kewenangan untuk mewakili. Karena merupakan suatu hak, maka kuasa termasuk dalam harta kekayaan pemberi kuasa.2
1
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Hand Book, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.390-391. 2 Rachmat Setiawan, Hukum Perwakilan dan Kuasa : Suatu Perbandingan Hukum Indonesia dan Hukum Belanda Saat Ini, cet. 1, (Jakarta: Tatatnusa, 2005), hlm.1.
1
2
Dengan demikian kuasa adalah daya, kekuatan atau wewenang. Dalam KUHPerdata tidak ada satu pasal pun yang secara jelas menyebutkan definisi dari kuasa, yang ada hanyalah pengertian dari pemberian kuasa.3 Menurut ketentuan Pasal 1792 KUHPerdata, yang dimaksud dengan pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.4 Menyelenggarakan suatu urusan artinya adalah untuk melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Bahwa apa yang dilakukan adalah atas tanggungan si pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban dari orang yang memberi kuasa.5 Pemberian kuasa sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1792 KUHPerdata, adalah persetujuan seseorang sebagai pemberi kuasa dengan orang lain sebagai penerima kuasa, guna melakukan suatu perbuatan/tindakan untuk dapat atas nama si pemberi kuasa. Dari pengertian yang tersebut, sifat pemberian kuasa tiada lain dari pada mewakili atau perwakilan.6 Pemberian kuasa itu menerbitkan perwakilan, yaitu adanya seseorang yang mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Perwakilan seperti ini
3
Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa, (Jakarta: Visimedia, 2009),
hlm.1. 4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. Ke-33, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), Pasal 1792. 5 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1984), hlm.141. 6 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet. ke-2 (Bandung: Alumni, 1986), hlm.306.
3
ada yang dilahirkan oleh undang-undang dan ada yang oleh suatu perjanjian.7 Oleh karena pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, maka perlu diperhatikan juga ketentuan-ketentuan yang berlaku tentang perjanjian. Wiryono Prodjodikoro menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut.8 Menurut R. Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.9 Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan: “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.10 Lebih lanjut dalam Pasal 1320 KUHPerdata dijelaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:11 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Mengenai suatu hal tertentu; 4. Tentang suatu sebab yang halal.
7 8
R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet.12, (Jakarta: PT. Intermasa, 1990), hlm.141. Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Bandung, 1986),
hlm.9. 9
R. Subekti, Op.Cit., hlm.19 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Op.Cit., Pasal 1313. 11 Ibid., Pasal 1320. 10
4
Keempat syarat tersebut harus dipenuhi di dalam setiap perjanjian. Buku ke III KUHPerdata mengenai hukum perjanjian menganut sistem terbuka, maksudnya adalah bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, sesuai dengan kebutuhan para pihak sepanjang tidak berlawanan dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian, orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apapun juga, baik yang sudah ada aturannya dalam undang-undang maupun yang belum ada aturannya sama sekali. Namun terhadap kebebasan ini ada juga pembatasannya, yaitu asal tidak dilarang oleh undang-undang, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.12 Oleh karena pemberian kuasa merupakan perjanjian, maka pemberian kuasa dapat diberikan untuk apapun juga, baik yang sudah ada aturannya dalam undangundang maupun yang belum ada peraturannya sama sekali selama tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Pemberian kuasa dalam prakteknya seringkali digunakan dalam hal suatu perjanjian yang memerlukan adanya suatu pelimpahan kewenangan dalam bertindak, salah satunya adalah pemberian kuasa dalam suatu perjanjian jual beli. Jual beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas
12
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm.12.
5
suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.13 Biasanya sebelum dilakukan jual beli hak atas tanah, karena syarat-syarat formal belum terpenuhi seperti belum dilakukan pengecekan sertipikat ke Kantor Pertanahanan setempat, belum dibayarnya atau dilunasinya pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh),14 maka dilakukan terlebih dahulu perikatan jual beli. Dalam perikatan jual beli inilah biasanya tercantum suatu klausul kuasa mutlak, yang tujuannya melindungi kepentingan para pihak dalam perjanjian perikatan jual beli tersebut. Munculnya kuasa mutlak yang dimaksud pada dasarnya digunakan untuk menghadapi tindakan hukum lanjutan yang dibutuhkan pasca penandatanganan akta perjanjian perikatan jual beli sesuai kebutuhan hukum yang hendak dicapai.15 Namun demikian berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak atas Tanah tertanggal 6 Maret 1982, terdapat surat kuasa yang tidak diperbolehkan lagi untuk dibuat, yaitu kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa, dan kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa
13
R. Subekti, Op.Cit., hlm.1. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 103 ayat (2) 15 Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010), hlm.132. 14
6
untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.16 Larangan penggunaan kuasa mutlak ini dikarenakan pembuatan kuasa mutlak sebagai cara untuk mengadakan hak atas tanah banyak disalahgunakan oleh pihakpihak yang melakukan jual beli tanah secara terselubung,17 misalnya sebagai upaya untuk menghindari pembayaran pajak. Salah satu bentuk penyimpangan yang terjadi dengan adanya kuasa mutlak adalah perbuatan jual beli yang dilakukan tanpa mendaftarkan peralihan hak atas tanahnya, sedang pembeli hak atas tanah tersebut beberapa saat kemudian akan mengalihkan kembali hak atas tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan berbekal surat kuasa mutlak tadi, jadi seolah-olah pembeli pertama hak atas tanah tersebut bertindak selaku kuasa dari pemilik pertama untuk menjualnya kepada pihak ketiga. Dengan demikian, pembeli tanah yang menerima pemberian kuasa mutlak tersebut akan terhindar dari kewajiban membayar sejumlah pajak perolehan maupun pajak penghasilan penjualan hak atas tanah tersebut. Dalam klausul kuasa mutlak selalu dicantumkan kalimat “kuasa yang tidak dapat dicabut kembali”, sehingga si penerima kuasa dapat melakukan perbuatan apa pun, baik tindakan pengurusan maupun tindakan kepemilikan atas tanah yang dimaksud. Sementara itu, pembuatan surat kuasa mutlak untuk transaksi selain jual-
16
Republik Indonesia, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak atas Tanah tertanggal 6 Maret 1982, Diktum Kedua. 17 Republik Indonesia, Surat Dirjen Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tanggal 31 Maret 1982 Nomor 594/1493/AGR tentang Surat Pengantar Sekaligus Penjelasan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
7
beli tanah masih dimungkinkan, karena hukum perjanjian hanya bersifat mengatur dan dapat timbul karena adanya kesepakatan dari para pihak yang terlibat. Pemberian kuasa mutlak dan bersifat tidak dapat dicabut kembali dalam hal jual beli tanah bertujuan untuk mempermudah kepastian hukum bagi pembeli tanah, agar setelah semua persyaratan untuk pembuatan akta jual beli dipenuhi, tidak diperlukan lagi persetujuan dan keterlibatan dari pihak penjual untuk urusan pemindahan hak atas tanah tersebut. Pemberian kuasa mutlak yang dikaitkan dengan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dianggap tidak identik dengan kuasa yang dilarang sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.18 Dalam perkembangannya kemudian ketentuan Intruksi Menteri Dalam Negeri tersebut mendapatkan perubahan di mana dalam ketentuan Surat Dirjen Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri Nomor 594/1492/AGR di dalamnya diterangkan mengenai jenis kuasa mutlak yang dilarang digunakan dan juga jenis kuasa mutlak yang diperbolehkan, dalam ketentuan tersebut diatur penggunaan kuasa mutlak yang tidak termasuk sebagai kuasa mutlak yang dilarang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah adalah : 1. Penggunaan kuasa mutlak yang dimaksud dalam Pasal 3 blanko akta jual beli sebagai ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961.
18
R. Subekti, Op.cit., hlm.13.
8
2. Penggunaan kuasa penuh sebagai dicantumkan dalam perjanjian pengikatan jual beli yang aktanya dibuat oleh seorang Notaris. 3. Penggunaan kuasa untuk memasang hipotik yang aktanya dibuat oleh Notaris.19 Dengan demikian, apabila penggunaan kuasa mutlak dalam perjanjian jual beli diperuntukan demi kepentingan khususnya bagi pihak pembeli, kuasa mutlak tersebut diberlakukan kembali, sebab sejak keluarnya Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah banyak terjadi kendala-kendala dan hambatan dalam pengurusan surat-surat yang berkaitan dengan tanah, karena itulah dikeluarkan kembali Surat Dirjen Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri Nomor 594/1492/AGR tersebut untuk memperlancar pengurusan surat-surat tanah. Jika kuasa mutlak sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah tidak direvisi maka akan terjadi kekacauan, di mana seorang pembeli yang telah membayar harga tanahnya jika si penjual meninggal dunia maka kuasa tersebut menjadi batal (Pasal 1813 KUHPerdata) dan tanah kembali kepada ahli waris si penjual, pembeli dalam hal ini akan dirugikan, demikian juga dengan hak tanggungan, bank akan dirugikan ketika pemberi hak tanggungan meninggal dunia sedang kredit belum dibayar lunas oleh debitor. 19
Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria, Tata laksana Pengurusan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Yayasan Hudaya Bina Sejahtera, 1985), hlm.106, tidak termasuk dalam kuasa mutlak yang dilarang adalah kuasa mutlak sebagaimana tercantum dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Hipotik yang aktanya dibuat oleh Notaris tersebut sejak berlakunya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
9
Dengan diberlakukannya kembali klausula kuasa mutlak tersebut selanjutnya dalam praktek menimbulkan penyimpangan-penyimpangan, seperti selain pembuatan suatu perikatan atau perjanjian jual beli dibuatkan juga suatu kuasa untuk menjual/kuasa jual yang dibuat secara terpisah. Akibatnya seringkali seorang yang membeli hak atas tanah tidak menindak lanjuti perikatan atau perjanjian jual beli tersebut dengan melakukan jual beli dan pendaftaran peralihan haknya ke Kantor Pertanahan setempat dengan tujuan untuk menghindari beban pembayaran pajak dan biaya pendaftaran peralihan haknya. Penyimpangan lainnya, berupa penggunaan kuasa mutlak sebagai dasar kepemilikan lahan pertanian melebihi batas maksimal tanah, dan kepemilikan tanah guntai/absentee, karena mengenai luas tanah pertanian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, demikian juga mengenai larangan kepemilikan tanah guntai/absentee telah diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian. Upaya penyimpangan-penyimpangan hukum tersebut sedikit banyaknya sangat dipengaruhi oleh peran Notaris yang menuangkan isi kuasa mutlak dalam perjanjian perikatan jual beli maupun kuasa untuk menjual yang dibuat di hadapannya. Walaupun sebenarnya menurut ketentuan peraturan perundang-undang, seorang Notaris dalam kedudukan selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk
10
keperluan pendaftaran peralihan hak kepada Kantor Pertanahan setempat, selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan.20 Seorang Notaris yang menjunjung tinggi etika moral dan kejujuran sebagaimana diatur dalam kode etik Notaris seharusnya mengetahui bahwa apabila seseorang pembeli hak atas tanah hendak membuat suatu akta perjanjian perikatan jual beli serta suatu akta kuasa untuk menjual secara terpisah, hal tersebut akan menimbulkan kemungkinan terjadinya penyimpangan atau suatu penyelundupan hukum, sehingga dengan berbekal suatu akta kuasa untuk menjual tersebut seseorang bisa melakukan transaksi jual beli secara berulang kali tanpa mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan setempat. Padahal seharusnya pengikatan jual beli tersebut tidak boleh dilakukan berkali-kali tapi harus dilakukan jual beli dan balik nama ke atas nama pembeli yang pertama. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai surat kuasa mutlak yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Tinjauan Yuridis Kuasa Mutlak Dalam Pembuatan Akta Notaris Menurut Perundang-undangan Di Indonesia”. B. Permasalahan Adapun permasalahan-permasalahan yang hendak diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah: 1. Bagaimana bentuk kuasa mutlak dalam jual beli tanah? 20
Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2010), hlm.501.
11
2. Bagaimana penyimpangan yang terjadi atas kuasa mutlak setelah keluarnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982? 3. Bagaimana kedudukan hukum terhadap para pihak dalam kuasa mutlak tersebut? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisa bentuk kuasa mutlak dalam jual beli tanah. 2. Untuk mengetahui dan menganalisa penyimpangan yang terjadi atas kuasa mutlak setelah keluarnya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982. 3. Untuk mengetahui dan menganalisa kedudukan hukum terhadap para pihak dalam kuasa mutlak tersebut. D. Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/literatur dalam status hukum surat kuasa mutlak dalam hubungan dengan pembuatan akta Notaris, selain itu penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi dasar bagi penelitian pada bidang yang sama.
12
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dengan status hukum surat kuasa mutlak dalam hubungan dengan pembuatan akta Notaris. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Tinjauan Yuridis Kuasa Mutlak Dalam Pembuatan Akta Notaris Menurut Perundang-undangan Di Indonesia”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang yang menyangkut kuasa mutlak antara lain penelitian yang dilakukan oleh : 1. Nelly Sriwahyuni Siregar (NIM. 067011059), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a. Mengapa kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan? b. Bagaimana secara yuridis kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT? c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan peralihan hak atas tanah dengan memakai kuasa mutlak?
13
2. Amelia Prihartini (NIM. 037011004), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Analisis Hukum Terhadap Keberadaan Kuasa Mutlak Dalam Perikatan Jual Beli Hak Atas Tanah”, dengan permasalahan yang diteliti adalah : a. Bagaimana keberadaan kuasa mutlak dalam perikatan jual beli hak atas tanah bila dihubungkan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Kuasa Mutlak? b. Bagaimana faktor apa yang menyebabkan kuasa mutlak dalam perikatan jual beli hak atas tanah diberlakukan? c. Bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi pemegang hak atas tanah yang tanahnya dialihkan berdasarkan kuasa mutlak? 3. Herry Santoso (NIM. 017011025), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Efektivitas dan Penerapan Kuasa dalam Akta Pengikatan/Perjanjian Jual Beli Atas Objek Tanah serta Keterkaitannya dengan Akta Kuasa Jual”, dengan permasalahan yang diteliti adalah: a. Sejauh mana efektivitas pemberian kuasa yang terdapat dalam akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli? b. Bagaimanakah keterkaitan antara pemberian kuasa yang terdapat dalam akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli dengan akta Kuasa Jual? c. Apakah kuasa yang diberikan/dibuat untuk melakukan perbuatan hukum kepada penerima kuasa selalu demi kepentingan pemberi kuasa?
14
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi.21 Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.22 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori tanggung jawab hukum sebagaimana dikemukakan oleh Hans kelsen : “Suatu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa ia memikul tanggung jawab hukum, berarti bahwa ia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan hukum yang bertentangan. Biasanya yakni dalam hal sanksi ditujukan 21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm.122. 22 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.80.
15
kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.”23 Lebih lanjut menurut Hans Kelsen, tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tetapi dalam hidup bersama ia memikul tanggung jawab menciptakan hidup bersama yang tertib, oleh karena itu dibutuhkan pedoman-pedoman yang obyektif yang harus dipatuhi secara bersama pula. Pedoman inilah yang disebut hukum. Jika hukum telah menentukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya berperilaku sesuai pola yang ditentukan itu.24 Tanggung jawab hukum terkait dengan konsep hak dan kewajiban hukum. Konsep kewajiban biasanya dilawankan dengan konsep hak, istilah hak yang dimaksud disini adalah hak hukum (legal right). Penggunaan linguistik telah membuat dua perbedaan hak yaitu jus in rem dan jus in personam. Jus in rem adalah hak atas suatu benda, sedang jus in personam adalah hak yang menuntut orang lain atas suatu perbuatan atau hak atas perbuatan orang lain. Pembedaan ini sesungguhnya juga bersifat ideologis berdasarkan kepentingan melindungi kepemilikan privat dalam hukum perdata. Jus in rem tidak lain adalah hak atas perbuatan orang lain untuk tidak melakukan tindakan yang mengganggu kepemilikan.25 Suatu hak hukum menimbulkan kewajiban hukum orang lain. Kreditor memiliki suatu hak hukum untuk menuntut bahwa debitor harus membayar sejumlah 23
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dengan judul buku asli “General Theory of Law and State” alih bahasa Somardi, (Jakarta: Rumidi Pers, 2001), hlm.65. 24 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm.127. 25 Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm.66-67.
16
uang, jika debitor diwajibkan secara hukum atau memiliki kewajiban hukum untuk membayar sejumlah uang. Sebagaimana dimaksud oleh Hans Kelsen yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie bahwa : “Pernyataan bahwa saya memiliki hak melakukan perbuatan tertentu, mungkin hanya memiliki makna negatif, yaitu bahwa saya tidak diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan. Namun demikian, saya secara hukum tidak bebas melakukan apa yang ingin saya lakukan jika orang lain tidak diwajibkan secara hukum membiarkan saya melakukan apa yang ingin saya lakukan. Kebebasan hukum saya selalu terkait dengan urusan hukum orang lain. Hak hukum saya selalu merupakan kewajiban hukum orang lain.”26 Kuasa adalah daya, kekuatan atau wewenang. Dalam KUHPerdata tidak ada satu pasal pun yang secara jelas menyebutkan definisi dari kuasa, yang ada hanyalah pengertian dari pemberian kuasa.27 Menurut Pasal 1792 KUHPerdata, yang dimaksud dengan pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Menurut jenisnya, pemberian kuasa dibedakan menjadi dua, yaitu kuasa di bawah tangan dan kuasa notariil. Ciri yang membedakan kuasa di bawah tangan dengan akta kuasa yang dibuat oleh Notaris dapat dilihat dari susunan dan redaksi surat kuasa tersebut.28 Ada kuasa yang tidak diperbolehkan lagi untuk dibuat, yaitu kuasa mutlak yang berkaitan dengan tanah. Hal ini berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai
26 27
Ibid. Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa, (Jakarta: Visimedia, 2009),
hlm.1. 28
Ibid., hlm.16.
17
Pemindahan Hak Atas Tanah tanggal 6 Maret 1982 juncto Jurisprudensi Mahkamah Agung nomor 2584 K/Pdt/1986 tanggal 14 April 1988. Pelarangan ini dikarenakan pembuatan kuasa mutlak banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang melakukan jual beli tanah secara terselubung. Dalam klausul kuasa mutlak selalu dicantumkan kalimat “kuasa yang tidak dapat dicabut kembali”, sehingga si penerima kuasa dapat melakukan perbuatan apa pun, baik tindakan pengurusan maupun tindakan kepemilikan atas tanah yang dimaksud. Sementara itu, pembuatan kuasa mutlak untuk transaksi selain jual-beli tanah masih dimungkinkan, karena hukum perjanjian hanya bersifat mengatur dan dapat timbul karena adanya kesepakatan dari para pihak yang terlibat. Pemberian kuasa mutlak dan bersifat tidak dapat dicabut kembali dalam hal jual beli tanah bertujuan untuk mempermudah kepastian hukum bagi pembeli tanah, agar setelah semua persyaratan untuk pembuatan akta jual beli dipenuhi, tidak diperlukan lagi persetujuan dan keterlibatan dari pihak penjual untuk urusan pemindahan hak atas tanah tersebut. Pemberian kuasa mutlak yang dikaitkan dengan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dianggap tidak identik dengan kuasa yang dilarang sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.29 Dalam hal penjual atau pembeli bertindak melalui kuasa, maka suatu kuasa khusus untuk menjual harus ada. Kuasa umum, yang biasanya hanya untuk tindakan 29
Ibid., hlm.13.
18
pengurusan tidak berlaku untuk menjual. Kuasa itu harus tegas untuk menjual tanah yang dijual itu. Bentuk kuasa harus tertulis, kuasa lisan sama sekali tidak dapat dijadikan dasar bagi jual-beli tanah. Kuasa tertulis itu pun minimal dilegalisasi (oleh Notaris/Panitera Pengadilan Negeri/Perwakilan Negara di luar negeri). Hal tersebut terlihat dari perbedaan antara akta otentik dan akta yang dibuat di bawah tangan: a. akta otentik mempunyai tanggal yang pasti, sedangkan mengenai tanggal dari akta yang dibuat di bawah tangan tidak selalu demikian. b. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim, sedang akta yang dibuat di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial. c. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta otentik.30 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.31 Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.32 Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
30
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan ke-3, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm.54. 31 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.31. 32 Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm.19.
19
a. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu masyarakat.33 b. Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.34 c. Kuasa Mutlak adalah kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa yang tujuannya adalah untuk memindahkan hak atas tanah secara terselubung.35 d. Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 adalah suatu ketentuan yang melarang penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah. e. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.36 f. Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang hak untuk mempergunakan dan/atau memperoleh manfaat dari tanah yang dihakinya. Tanah yang dimaksud dalam tesis ini adalah tanah yang telah terdaftar/yang sudah ada haknya.
33
Anonim, “Definisi Peran”, http://kamusbahasaindonesia.org/peran/mirip, terakhir diakses tanggal 08 Maret 2014. 34 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 angka 1. 35 Republik Indonesia, Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, Diktum kedua. 36 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 angka 7.
20
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.37 Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang disebabkan karena penelitian ini merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.38 Meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundangundangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisis permasalahan yang dibahas.39 2. Sumber Data/ Bahan Hukum Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Untuk menghimpun data sekunder, maka dibutuhkan bahan pustaka yang merupakan data dasar yang
37
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hlm.101. 38 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996), hlm.13. 39 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13.
21
digolongkan sebagai data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. a). Bahan hukum primer.40 Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, Surat Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri Nomor 594/1492/AGR, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan peraturan pelaksanaannya, serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kuasa mutlak dalam hubungan dengan pembuatan akta Notaris. b). Bahan hukum sekunder.41 Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasilhasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumendokumen lain yang berkaitan dengan kuasa mutlak dalam hubungan dengan pembuatan akta Notaris.
40
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm.53. 41 Ibid.
22
c). Bahan hukum tertier.42 Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi dan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. Selain data sekunder sebagai sumber data utama, dalam penelitian ini juga digunakan data pendukung yang diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau narasumber, yaitu pihak Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kota Medan yang dalam kegiatan menjalankan jabatannya biasa membuat perjanjian perikatan jual beli dan kuasa jual yang mengandung unsur kuasa mutlak. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap penelitian antara lain sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan (Library Research). Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. b. Wawancara. Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan
42
Ibid.
23
sebagai informan atau narasumber yang dianggap mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan kuasa mutlak yaitu praktisi Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang biasa membuat perjanjian perikatan jual beli dan kuasa jual yang mengandung unsur kuasa mutlak. Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu menggunakan pedoman wawancara sehingga data yang diperoleh langsung dari sumbernya dan lebih terarah sehingga dapat dijadikan bahan guna menjawab permasalahan dalam tesis ini. 4. Analisis Data Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).43 Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.44 Sedangkan metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.45
43
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53. 44 Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.103. 45 Ibid., hlm.3.
24
Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan hasil wawancara kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalildalil, atau prinsip-prinsip yang berkaitan dengan status hukum surat kuasa mutlak dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.46
46
Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.109.