1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kedekatan hubungan dalam suatu komunitas dapat ditelusuri dengan
mengamati kesamaan bahasa yang digunakan di komunitas tersebut. Bahasa, selain digunakan sebagai alat komunikasi dalam suatu kelompok masyarakat, juga dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur tingkat kedekatan hubungan antar komunitas pengguna bahasa yang berbeda. Hubungan kedekatan komunitas dalam suatu kelompok masyarakat dapat dikaji dalam suatu disiplin ilmu yang disebut linguistik historis komparatif. Linguistik historis komparatif mempelajari bahasa dan perubahannya dalam kurun waktu tertentu. Selain itu, linguistik historis komparatif juga digunakan untuk mengkaji hubungan kekerabatan antara dua bahasa atau lebih. Hubungan kekerabatan tersebut selanjutnya diabstraksikan dalam bentuk silsilah. Di balik hubungan itu tersirat fakta-fakta kebahasaan yang dapat dijadikan dasar penentuan dan pembuktian hubungan kekerabatan. Penentuan kekerabatan suatu bahasa tidak terlepas dari sejarah perkembangan bahasa itu. Proses kesejarahan berkaitan dengan perubahan dan penerusan unsur (statis) dan struktur bahasa (Bynon, 1978:1-2; Jakobson, 1976:19). Proses penentuan dan perubahan unsur suatu bahasa harus dikaitkan dengan bahasa asalnya dalam hal ini Proto Austronesia (PAN) Bahasa-bahasa yang ada di pulau Sulawesi merupakan bahasa yang tergolong dalam rumpun bahasa Austronesia. Blust (1977, 1978) dalam Pellba 8 1
2
(1995:161-162) menyebutkan bahwa kelompok Melayu Polynesia yang merupakan turunan dari bahasa Austronesia terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok
Melayu
Polinesia
Barat
dan
kelompok
Melayu
Polynesia
Tengah/Timur. Kelompok Melayu Polynesia Barat menurunkan bahasa di Philipina, Malaysia, Vietnam, Malagasi, Indonesia bagian barat (Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa bagian barat). Sedangkan Indonesia bagian Tengah/Timur menurunkan bahasa-bahasa di Bima (pulau Sumbawa bagian timur), bahasa-bahasa di pulau Sumba, Flores, Timor, Maluku Tengah dan Selatan. Isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko yang selanjutnya disingkat Wakatobi merupakan isolek yang tergolong dalam sub rumpun bahasa di Sulawesi yang merupakan turunan dari bahasa Austronesia. Pernyataan ini diperkuat oleh pemetaan bahasa yang dilakukan Esser (1938) dalam Hanan, (2010:6-7) yang membagi bahasa di Sulawesi menjadi tujuh kelompok, salah satunya adalah kelompok Muna-Buton yang anggotanya terdiri dari Muna-Buton, Buton Selatan, Wolio, Layolo, dan Wakatobi. Bahasa Wakatobi sebagai bahasa yang berada dalam sub rumpun Muna-Buton dituturkan di empat pulau yaitu pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Bahasa Wakatobi oleh masyarakat luas dikenal dengan istilah bahasa Pulo atau bahasa Kepulauan Tukang Besi. Pengelompokkan bahasa di Pulau Sulawesi khususnya Sulawesi Tenggara pernah juga dilakukan oleh Mafarad (2001) yang mengelompokkan bahasa di Sulawesi Tenggara terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama yaitu
3
Bungku-Tolaki yang beranggotakan bahasa Wawonii, Kulisusu, Moronene, dan Tolaki. Kelompok kedua yaitu Muna-Buton yang beranggotakan Busoa, Kambowa, Muna, Wolio, Cia-Cia, dan Wakatobi. Bahasa-bahasa yang ada di kedua kelompok tersebut banyak memperlihatkan adanya kemiripan-kemiripan sehingga bisa dikategorikan sebagai bahasa yang berkerabat. Salah satu bukti kekerabatan bahasa yang ada pada kedua kelompok tersebut dapat dilihat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Taembo, (2013) bahwa berdasarkan hasil perhitungan leksikostatistik hubungan kekerabatan bahasa Muna-Wakatobi menunjukkan persentase kekognatan 44,44%. Hasil perhitungan tersebut mengindikasikan bahwa kedua bahasa tersebut berada pada kategori subkeluarga bahasa atau perbedaan bahasa dengan relasi kekerabatan bahasa yang cukup erat. Relasi kekerabatan pada kelompok Muna-Buton juga dapat dilihat pada hubungan antara isolek-isolek di Wakatobi. Berdasarkan hasil survei awal, ditemukan bahwa isolek-isolek di Wakatobi memiliki hubungan kekerabatan yang erat yaitu hubungan pada tataran bahasa dan hubungan pada tataran dialek. Hubungan pada tataran bahasa terdapat pada hubungan antara Wanci-Kaledupa, Wanci-Tomia, dan Wanci-Binongko. Sedangkan hubungan pada tataran dialek terdapat pada hubungan antara Kaledupa-Tomia, Kaledupa-Binongko, dan TomiaBinongko. Dengan demikian, bahasa di Wakatobi terdiri dari dua kelompok yaitu Wangi-Wangi sebagai bahasa tersendiri dan kelompok Kaledupa, Tomia, Binongko sebagai kelompok yang berasal dari satu bahasa. Berikut ini adalah sebagian contoh data yang memperlihatkan adanya hubungan kedekatan isolek-
4
isolek di Wakatobi, dimana data tersebut memperlihatkan adanya sejumlah kemiripan, serta variasi fonologis dan leksikal. Tabel 1 Daftar contoh leksikal No
Glos
Wanci
Kaledupa
Tomia
Binongko
1
bulu
wulu
hulu
hulu
wulu
2
leher
wu?u
hu?u
hu?u
wuɁu
3
langit
laƞe
laƞi
laƞi
laƞi
4
sayap
kape
kapi
kapi
kapi
5
gigi
kone
koni
koni
koni
6
bintang
wetuɁo
wituɁo
wituɁo
wituɁo
7
awan
lonu
lono
lono
lono
8
tebal
kubo
kobo
kobo
kobo
9
duduk
kedeɁ
kede
kede
kede
10
berdiri
tadeɁ
tade
tade
tade
11
kanan
moana
moana
moana
moana
12
kaki
ae
ae
ae
ae
13
tangan
lima
lima
lima
lima
14
benar
koe
koe
koe
koe
Data di atas memperlihatkan kemiripan bentuk fonologi dan leksikal pada isolak Wakatobi. Misalnya pada glos ‘bulu’ dan ‘leher’, ditemukan korespondensi bunyi w: h: h: w atau konsonan nasal /w/ pada isolek WangiWangi dan Binongko berkorespondensi dengan konsonan /h/ pada isolek Kaledupa dan Tomia. Demikian pula pada glos ‘sayap’, ‘bintang’, ‘langit’ dan ‘gigi’ memperlihatkan korespondensi bunyi e : i : i : i, atau vokal /e/ pada isolek Wangi-Wangi berkorespondensi dengan vokal /i/ pada isolek Kaledupa, Tomia, Binongko. Sedangkan pada glos ‘awan, dan ‘tebal’ juga terjadi korespondensi
5
vokal /u/ pada isolek Wangi-Wangi menjadi /o/ pada isolek Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Selain korespondensi bunyi, persamaan bentuk secara leksikal dan makna juga diperlihatkan oleh keempat isolek tersebut yaitu pada glos ‘tangan’, ‘kanan’, ‘benar’, dan ‘kaki’. Penelitian tentang relasi kekerabatan isolek Wangi-Wangi, Kaledupa Tomia Binongko sudah pernah dilakukan oleh Pusat Bahasa, dan SIL namun dalam penelitian tersebut memperlihatkan adanya kesimpangsiuran karena terjadi perbedaan pandangan antara Pusat Bahasa dan SIL. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian ulang lebih mendalam untuk menetapkan hubungan kekerabatan antara keempat isolek tersebut. Penelitian kekerabatan isolek-isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut: a)
Penelitian terhadap bahasa-bahasa di Sulawesi khususnya pada kelompok Muna – Buton belum banyak diteliti.
b) Hasil
penelitian
Berg
(1988)
dalam
Dardjowidjojo
(1995:157)
menunjukkan bahwa situasi linguistik di Sulawesi khususnya pada kelompok Muna – Buton tidak begitu jelas. Keanggotaan kelompok bahasa di daerah tersebut lebih sukar ditentukan sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang bahasa-bahasa yang berada pada kelompok Muna – Buton. c)
Penelitian tentang isolek-isolek Wakatobi diilhami dari perbedaan pandangan tentang penentuan status kebahasaan di Wakatobi antara Pusat Bahasa, SIL, dan masyarakat setempat.
6
d) Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa (2008) melihat hubungan kekerabatan isolek-isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko secara kuantitatif yang berarti hasilnya masih bersifat sekilas, untuk itu perlu dilakukan penelitian kualitatif untuk melihat status kekerabatan isolek-isolek tersebut. e)
Ketidakjelasan status hubungan kekerabatan isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko dapat dilihat dari perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan SIL. SIL (2006) mengidentifikasi bahasa Pulo (Wakatobi) dengan nama bahasa Kepulauan Tukang Besi Utara dan Tukang Besi Selatan, Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa mengemukakan bahwa isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko merupakan sub-sub dialek dari sebuah bahasa.
f)
Ketidakjelasan status bahasa Wakatobi inilah yang menyebabkan dalam penelitian ini lebih cenderung digunakan istilah isolek. Terkait dengan kesimpangsiuran penelitan yang dilakukan sebelumnya,
penelitian ini akan meninjau relasi kekerabatan isolek-isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko baik melalui analisis secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dengan menggunakan metode dialektologi dan dengan analisis kuantitatif dan dialektometri, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh SIL menggunakan metode sosiolinguistik, yaitu mengambil keterangan dari penutur asli tentang status kekerabatan dari keempat isolek tersebut. Berdasarkan
7
keterangan yang diambil dari penutur asli, maka diambillah kesimpulan untuk menentukan status hubungan kekerabatannya. Dari kesimpangsiuran penelitian yang sudah dilakukan maka penelitian ini penting untuk dilakukan, dengan demikian status kebahasaan yang ada di Wakatobi akan semakin jelas.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana relasi kekerabatan antarisolek dalam subkelompok Wakatobi dapat ditetapkan melalui pendekatan kuantitatif yang menggunakan kriteria leksikostatistik? b. Temuan evidensi apa saja dalam penelitian kualitatif terkait dengan hasil kajian kuantitatif yang dapat diperlihatkan sebagai bukti pengelompokan dan pemisahan kelompok isolek-isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko? c. Mengapa hasil temuan dalam pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat mendukung asumsi keeratan relasi kekerabatan antarisolek yang dikaji dalam subkelompok Wakatobi?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, penelitian
ini bertujuan untuk: a. Mendeskripsikan relasi kekerabatan antarisolek dalam subkelompok Wakatobi melalui pendekatan kuantitatif dengan teknik Leksikostatistik.
8
b. Mendeskripsikan temuan evidensi kualitatif terkait hasil kajian kuantitatif yang dapat diperlihatkan sebagai bukti pengelompokan dan pemisahan kelompok isolek-isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. c. Menjelaskan hasil temuan dalam pendekatan kuantitatif dan kualitatif sebagai pendukung keeratan relasi kekerabatan antaraisolek yang dikaji dalam subkelompok Wakatobi.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan upaya untuk mencari hubungan kekerabatan
isolek-isolek di Wakatobi, yang terdiri dari empat isolek yaitu isolek WangiWangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Hubungan kekerabatan keempat isolek tersebut ditelusuri melalui pendekatan kuantitatif dengan teknik leksikoststistik dan pendekatan kualitatif dengan teknik rekonstruksi. Teknik rekonstruksi dalam penelitian ini melibatkan teknik rekonstruksi dari bawah ke atas (buttom up reconstruction) dan teknik rekonstruksi dari atas ke bawah (top down reconstruction). Analisis diakronis dalam penelitian ini diawali dengan pemerian struktur bahasa di Wakatobi secara sinkronis dengan menfokuskan pada analisis fonologis, dan analisis leksikal terhadap keempat isolek di Wakatobi. Analisis morfologis, aspek semantik serta struktur sintaksis atau frasa tidak dibahas dalam penelitian ini.
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis
maupun praktis.
9
1.5.1
Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk mengidentifikasi
hubungan
kekerabatan isolek-isolek di Wakatobi dan menetapkan status
kebahasaan dari keempat isolek tersebut. Selain itu, penelitian ini dapat membuktikan bahwa hubungan kekerabatan dan pengelompokan bahasa dapat ditelusuri melalui metode kuantitatif dan kualitatif seperti yang dikemukakan oleh para ahli sebelumnya serta menambah kontribusi khasanah pustaka linguistik historis komparatif. 1.5.2
Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi
pemikiran dalam rangka pelestarian kebudayaan khususnya di bidang kebahasaan serta mempererat keharmonisan hubungan masyarakat yang tinggal di pulau yang terpisah. Bukti kekerabatan sebuah bahasa dapat menunjukkan kesamaan asalusul yang dapat mempererat rasa persatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang terpisah. 1.6
Tinjauan Pustaka Berdasarkan pemetaan bahasa yang dilakukan oleh Esser (1983) dalam
Hanan, (2010:6-7) berhasil mengelompokan bahasa-bahasa sekerabat di Sulawesi ke dalam tujuh kelompok yaitu: 1. Kelompok Filipina yang terdiri atas: (a) Mongondow, (b) Tombulu– Tonsea–Tondano, (c) Tountemboan–Tonsawang. 2. Kelompok Gorontalo yang terdiri atas: (a) Bulang, (b) Kaidipan, (c) Gorontalo, (d) Buol.
10
3. Kelompok toraja yang terdiri atas: (a) Kaili, (b) Kulawi, (c) Pipikoro, (d) Napu, (e) Bada–Besoa, (f) Leboni, (g) Bare’e, (h) Wotu. 4. Kelompok Loinang yang terdiri atas: (a) Loinang, (b) bobongko, (c) Balantak–Banggai. 5. Kelompok Bungku–Laki yang terdiri atas: (a) Bungku–Mori, (b) Laki, (c) Laiwu, (d) landawe, (e) Mapute. 6. Kelompok Sulawesi Selatan yang terdiri atas: (a) Makassar, (b) Bugis, (c) Kelompok Luwu, (d) Sa’dan, (e) Pitu Ulunna–Salo, (f) Seko. 7. Kelompok Muna–Buton yang terdiri atas: (a) Muna–Buton, (b) Buton Selatan, (c) Kelompok Kepualauan Tukang Besi (Kalaota, Larompa, Bonerate), (d) Wolio dan Layolo. Hasil pengelompokan tersebut menunjukkan bahwa penelitian tentang hubungan kekerabatan bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi sudah dilakukan sejak lama. hasil pengelompokan yang dilakukan oleh Esser menunjukkan bahwa isolek-isolek yang ada di Kabupaten Wakatobi merupakan subkelompok Muna– Buton. Hal tersebut juga dibahasa oleh Hanan, (2010) dalam tesisnya tentang hubungan Biningko dan Bonerate dan menemukan bahwa berdasarkan perhitungan leksikostatistik hubungan antara Binongko dan isolek Bonerate merupakan hubungan dialek yang berada dalam satu bahasa. Penelitian lain tentang hubungan kekerabatan bahasa-bahasa yang berada pada rumpun Muna–Buton juga pernah dilakukan oleh Pusat Bahasa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008, mendeskripsikan bahwa isolek-isolek Wangi-Wangi, Kaledupa,
11
Tomia dan Binongko berada pada tataran kategori subdialek; yaitu sekitar 33% sampai dengan 45% (Pusat Bahasa:2008). Kajian terhadap keempat isolek di Wakatobi oleh Pusat Bahasa dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik dialektometri. Penetapan hubungan kedekatan isolekisolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko selanjutnya dapat dilihat pada tabel berkut: Tabel 2 Hasil Pemetaan Bahasa Wakatobi oleh Pusat Bahasa No
Daerah Pengamatan
Persentase Perbedaan
Status Isolek
1
Wangi-Wangi – Kaledupa
43,03%
Perbedaan Subdialek
2
Wangi-Wangi – Tomia
39,99%
Perbedaan Subdialek
3
Wangi-Wangi – Binongko
41,79%
Perbedaan Subdialek
4
Kaledupa – Tomia
44,18%
Perbedaan Subdialek
5
Kaledupa – Binongko
45,23%
Perbedaan Subdialek
6
Tomia- Binongko
33,13%
Perbedaan Subdialek
(Tim Pemetaan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara, 2007) Taembo (2013) membahas studi perbandingan Bahasa Muna dan Wakatobi di Sulawesi Tenggara tinjauan sinkronis dan diakronis. Pembahasa Taembo meliputi bahasa Muna dialek Tongkuno dan Bahasa Wakatobi dialek Wangi-Wangi. Dalam penelitian tersebut, Taembo hanya mengambil salah satu dialek yang ada di Wakatobi. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa hubungan Muna-Wakatobi berada pada tataran keluarga bahasa dengan dengan relasi kekerabatan yang cukup erat. Kajian linguistik struktural terhadap bahasa Wakatobi yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :
12
1. The Tukang Besi Language of South East Sulawesi Indonesia oleh Mark Donohue (1995).
2. Syntactic Categories in Tukang Besi dalam artikel erudit oleh Mark Donohue (1999) 3. Structure is not Syntax: Passive Functions in Tukang Besi dalam UCLA Working Papers in Linguistics oleh Mark Donohue (2005). 4. Kata Tugas Bahasa Wakatobi oleh Asrif (2007). 5. Sistem Pronomina Bahasa Wakatobi oleh Asrif (2009). 6. Morfologi Bahasa Binongko oleh Adnan Usmar dkk, (1991). 7. Reduplikasi Bahasa Pulo Dialek Binongko. Dalam Jurnal kandai oleh Laila (2008). 8. Sistem Morfologi Verba Bahasa Wakatobi Selatan Dialek Tomia oleh Ansor (2005). 9. Bentuk Afiks Bahasa Wakatobi dalam Kandai oleh Asrif (2008). Penelitian yang dilakukan oleh Mark Donohue merupakan penelitian struktural dan tidak membedakan status dialek dan bahasa. Dalam penelitian tersebut, dialek dan bahasa merupakan hal yang sama sehingga penelitian tersebut tidak dapat digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan bahasa-bahasa yang ada di Wakatobi. Selain itu, penelitian-penelitian seperti yang disebutkan di atas merupakan penelitian struktural sehingga tidak dapat digunakan untuk mengukur hubungan kekerabatan bahasa. Berbeda dengan penelitian–penelitian di atas, dalam penelitian ini akan mengkaji hubungan kekerabatan antara isolek-isolek yang ada di Wakatobi secara
13
keseluruhan. kajian hubungan kekerabatan terhadap isolek-isolek di Wakatobi dilakukan melalui kajian kuantitatif dengan teknik leksikostatistik dan kajian kualitatif dengan teknik rekonstruksi. Analisis kuantitatif dan kualitatif dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan terhadap penentuan status dan pengelompokan bahasa-bahasa di Wakatobi.
1.7
Landasan Teori Kajian linguistik historis komparatif bertujuan untuk melihat hubungan
kekerabatan antara dua bahasa/isolek atau lebih. Dalam kajian ini, yang menjadi fokus kajiannya adalah mencari kesamaan bentuk dan makna antara dua bahasa atau lebih yang diperbandingkan. Dalam penelitian tentang hubungan kekerabatan Wakatobi, digunakan istilah isolek. Isolek merupakan varietas intrabahasa yang masih netral yang belum dikaji derajat kekerabatannya (Baley, 1973; Asher, 1994). Berbeda dengan pandangan di atas, Fernandez (2001) mengatakan isolek sebagai istilah yang digunakan secara netral untuk menyebutkan alat komunikasi antar anggota masyarakat yang berupa bunyi tutur yang belum ditentukan statusnya sebagai bahasa, dialek, atau subdialek. Hubungan kekerabatan dua bahasa/isolek atau lebih dapat dikaji melalui kajian linguistik historis komparatif. Kajian linguistik historis komparatif berpijak pada upaya mencari kesamaan atau bentuk-bentuk yang mirip dari unsur-unsur kebahasaan
yang
terdapat
diantara
bahasa-bahasa
atau
isolek
yang
diperbandingkan. Berbeda dengan kajian tersebut, kajian dialektologi berupaya mencari perbedaan unsur-unsur kebahasaan dari bahasa atau isolek yang diperbandingkan. Dalam penelitian ini, akan menggunakan kajian linguistik
14
historis komparatif untuk mencari hubungan kekerabatan antara isolek yang menjadi objek penelitian. Greenberg dalam Fernandez, (1995:8) mengemukakan bahwa jika hubungan kekerabatan antar bahasa itu erat, akan ditemukan sejumlah inovasi bersama yang bersifat linguistik secara eksklusif (exclusively shared linguistic features) dan jika tidak diperoleh evidensi itu atau evidensi yang ditemukan hanyalah tunggal, maka hal itu menandakan kerenggangan hubungan bahasabahasa tersebut. Penentuan waktu berpisahnya sebuah bahasa dapat dilihat berdasarkan kedekatan bahasa itu. Jika hubungan kekerabatannya tinggi, maka bahasa itu sudah lama berpisa, dan jika hubungan kekerabatannya tinggi maka bahasa itu belum lama berpisah. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Kooij (1994:251) menjelaskan bahwa kemiripan-kemiripan yang diperlihatkan oleh suatu bahasa dengan bahasabahasa yang lain tidaklah terjadi secara kebetulan. Dari pandangan tersebut diperoleh gambaran bahwa kemiripan yang dimiliki oleh bahasa-bahasa tertentu mengindikasikan bahasa-bahasa itu memiliki sejarah perkembangan bahasa yang sama sebagai bahasa yang berkerabat. Kekerabatan suatu bahasa dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui persentase kemiripan bentuk kata dan maknanya yang diperlihatkan oleh bahasa-bahasa yang diperbandingkan. Hubungan kekerabatan bahasa dalam Kajian Linguistik Historis Komparatif dilandasi oleh dua asumsi
yang mendasar yaitu, (1) hipotesisi
keterhubungan (related hypothesis) dan (2) hipotesis keteraturan (regulary hypothesis) (Jeffers dan Lehiste, 1979:17). Hipotesis keterhubungan berusaha
15
menjelaskan adanya persamaan yang jelas antara kata-kata dari berbagai bahasa/ dialek karena pada kaikatnya bahasa-bahasa itu berhubungan satu dengan yang lain. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa bahasa-bahasa atau dialek sebuah bahasa memiliki bahasa induk. Hipotesis keteraturan memudahkan pengkaji untuk membuat rekonstruksi bahasa induk karena diasumsikan bahasabahasa atau dialek-dialek mengalami perubahan secara teratur (Bynon, 1978:4546; Lehmann, 1973:92). Pengkajian kekerabatan bahasa-bahasa dan dialek dalam Linguistik Historis Komparatif dilakukan melalui teknik rekonstruksi internal, rekonstruksi eksternal, geografi dialek, dan leksikostatistik (Lehmann, 1973:75-109; Bynon, 1978:262-272). Selanjutnya, untuk mengetahui hubungan kekerabatan suatu bahasa Crowley (2010:139) memberikan tingkat perbedaan hubungan kekerabatan bahasa-bahasa
yang
diperbandingkan
secara
leksikostatistik
berdasarkan
kemiripan atau persentase kognatnya. Hasil persentase kognat sebuah bahasa diperoleh dari hasil perhitungan leksikostatistik dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Jumlah kata yang berkerabat Jumlah glos yang diperbandingkan
X 100%
2
Hasil perhitungan tersebut selanjutnya dicocokkan dengan klasifikasi dalam leksikostatistik yang dikemukakan oleh Morris Swadesh (Keraf, 1984:135) yaitu sebagai berikut:
16
Tabel 3 Hubungan Persentase Kekognatan dengan Kategori Kekerabatan Tingkat Pengelompokan
Persentase Kekognatan
Perbedaan dialek dalam satu bahasa
81-100
Perbedaan bahasa dalam satu keluarga bahasa
36-81
Perbedaan keluarga bahasa dalam satu rumpun
12-36
Hubungan mikrofilum
4-12
Hubungan mesofilum
1-4
Hubungan makrofilum
0-1
Selain analisis secara kuantitatif, dalam Linguistik Historis Komparatif juga
dikenal
analisis
kualitatif.
Analisis
kuantitatif
berkaitan
dengan
leksikostatistik, sedangkan analisis kualitatif berkaitan dengan unsur inovasi dan retensi. Keterkaitan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat dipahami secara baik apabila kita memahami konteks bahwa setiap pendekatan memiliki kelemahan dan keunggulan. Pendekatan kuantitatif mempunyai keunggulan dapat sekaligus menangani data dalam jumlah yang banyak tetapi tidak mampu menjelaskan kekognatan kosakata yang dibandingkan karena tidak menelusuri kesejarahan kosakata tersebut. Sementara pendekatan kualitatif mempunyai kelebihan dalam hal ketajaman dan kecermatan dalam analisisnya karena sampai pada penelusuran kosakata yang diperbandingkan. Berkaitan dengan analisis secara kualitatif, teknik yang digunakan dalam analisis tersebut adalah teknik rekonstruksi, yaitu merekonstruksi beberapa aspek proto bahasa melalui refleks yang dicerminkan oleh bahasa-bahasa turunannya dengan metode komparasi. Fernandez, (1996:26) mengemukakan bahwa rekonstruksi dapat dilakukan secara fonologis dan leksikal. Rekonstruksi secara
17
fonologis bertujuan untuk menetapkan protofonem bahasa yang diperbandingkan dengan memanfaatkan perangkat kognat dari bahasa yang diperbandingkan. Sedangkan rekonstruksi secara leksikal bertujuan untuk menetapkan etimon atau protokata dengan mempertimbangkan kaidah perubahan fonem yang berlaku bagi bahasa-bahasa sekerabat pada perangkat kognat yang asli (bukan serapan dari bahasa lain). Rekonstruksi terhadap bahasa yang diperbandingkan dapat dilakukan melalui rekonstruksi dari bawah ke atas (buttom-ap reconstruction) dan dari atas ke bawah (top-down reconstruction) (Dempwolff dalam Fernandez, 1996:29). Rekonstruksi dari bawah ke atas bersifat induktif, sedangkan rekonstruksi dari atas ke bawah bersifat deduktif. Rekonstruksi dari bawah ke atas dapat dilakukan dengan mengelompokkan bahasa dari peringkat yang lebih rendah ke arah peringkat yang lebih tinggi. Sedangkan rekonstruksi dari atas ke bawah dilakukan dengan mengelompokkan bahasa yang diperbandingkan yaitu mencari reflek bahasa proto pada bahasa yang diperbandingkan.
1.8
Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; Berdasarkan hasil perhitungan kuantitatif dengan teknik leksikostatistik dengan menggunakan 200 kosa kata dasar Swadesh diasumsikan bahwa hubungan kekerabatan isolek-isolek di Wakatobi berada pada tataran bahasa dan dialek. Hubungan pada tataran bahasa ditemukan pada isolek Wangi-Wangi-Kaledupa, isolek Wangi-Wangi-Tomia, dan isolek Wangi-Wangi-Binongko. Sedangkan
18
hubungan antara isolek Kaledupa-Tomia, isolek Kaledupa-Binongko, dan isolek Tomia binongko berada pada tataran perbedaan dialek. Dengan demikian bahasa di Wakatobi terbagi atas dua kelompok yaitu kelompok Wakatobi Utara yang diwakili oleh Wangi-Wangi, dan kelompok Wakatobi Selatan yang diwakili oleh Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Pembagian Wakatobi Utara dan Selatan berdasarkan letak georgafis pulau-pulau pengguna bahasa di daerah tersebut. Untuk mendukung hipotesis seperti yang telah dipaparkan di atas, maka perlu dilakukan kajian selanjutnya yaitu merekonstruksi dari bawah ke atas (buttom-ap reconstruction) dan dari bawah ke atas (top-down reconstruction) terhadap keempat isolek tersebut. Rekonstruksi dari bawah ke atas dilakukan dengan melihat prabahasa Kaledupa-Tomia-Binongko sebagai kelompok yang berada pada tataran subkelompok bahasa yang sama. Hasil dari rekonstruksi tersebut dihubungkan lagi dengan isolek Wangi-Wangi yang pada akhirnya diperoleh proto Wangi-Wangi-Kaledupa-Tomia-Binongko (Wakatobi). Dengan ditemukannya proto bahasa Wakatobi, maka secara tidak langsung akan ditemukan pula evidensi-evidensi penyatu kelompok dan evidensi pemisah kelompok terhadap keempat isolek tersebut. langkah terakhir adalah melihat hubungan antara hasil analisis kuantitatif dengan hasil analisis kualitatif, apakah hasil kulitatif menkonfirmasi ataukah memverifikasi hasil penelitian kuantitatif.
1.9
Metode dan Teknik Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan,
yaitu metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data (Mahsun, 2007: 127; Sudaryanto, 1993:57).
19
1.9.1
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan metode cakap dan
metode simak (Mahsun, 1995:94-101). Teknik yang digunakan pada metode cakap adalah teknik cakap semuka, peneliti melakukan percakapan dengan informan dengan menggunakan daftar pertanyaan. Sedangkan pada metode simak, teknik yang digunakan adalah teknik sadap dan diikuti dengan teknik lanjutan yaitu teknik catat dan teknik rekam. Teknik sadap berarti peneliti menyadap penggunaan bahasa informan, selanjutnya dilakukan teknik catat, yaitu mencatat berian tentang daftar pertanyaan dan hal-hal yang berhubungan dengan objek yang diteliti. Catatan berian dilakukan dengan transkripsi fonetis. Selain penelitian lapangan, penelitian ini juga menggunakan metode pustaka yaitu mencari informasi berupa bahan pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian. 1.9.1.1 Penetapan Daerah Pengamatan Daerah pengamatan dalam penelitian ini dipilih perdasarkan beberapa kriteria yaitu letaknya jauh dari kota besar, mobilitas penduduknya rendah, dan berusia minimal 30 tahun, Mahsun (2007:138). Dalam penelitian ini, daerah lokasi penelitian isolek Wangi-Wangi berada di kelurahan Waginopo, Kaledupa di kelurahan Ambeua, Tomia di kelurahan Onemai, dan Binongko di kelurahan Rukua.
1.9.1.2 Penetapan Informan Populasi dalam penelitian ini adalah semua penutur isolek Wangi-Wangi di Pulau Wangi-Wangi, isolek Kaledupa di Pulau Kaledupa, isolek Tomia di
20
Pulau Tomia, dan isolek Binongko di pulau Binongko. Kriteria informan yang digunakan untuk menggambil data penelitian adalah sebagai berikut: a. Informan lahir dan dibesarkan di pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. b. Informan berumur 25–60 tahun dan mengenal bahasa yang hidup di daerahnya. c. Informan memiliki organ artikulatoris yang masih lengkap dan utuh. d. Informan dapat berbahasa indonesia sehingga dapat membantu kelancaran dalam melakukan wawancara. 1.9.1.3 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini berupa daftar tanyaan yang berfokus pada kosakata daftar swadesh dan kosakata budaya revisi Blust yang meliputi bagian tubuh, keluarga dan masyarakat, adat, rumah dan isinya, maknanan dan minuman, pakaian, pertanian, binatang, langit dan bumi, perdagangan, ajektiva, numerial, pronomina, waktu, dan adverbia. 1.9.1.4 Data Penelitian Data penelitian ini adalah 850 kosa kata dasar dari isolek wakatobi sebagai data primer. Kosa kata dasar yang diacu adalah kosakata dasar yang dikutip dari Isodore Dyen, (1970). Sementara itu, data sekunder dalam penelitian ini adalah kosakata Swadesh. Data tersebut digunakan untuk menemukan hubungan kekerabatan isolek Wakatobi. Selain daftar kosa kata tersebut, sebagai bahan pendukung digunakan pula pustaka yang berhubungan dengan objek penelitian seperti struktur bahasa Wakatobi.
21
1.9.2
Metode dan Teknik Analisis Data Analisis data penelitian ini dilakukan berdasarkan rumusan masalah,
tujuan penelitian serta landasan teori yang sudah dipaparkan sebelumnya. Dalam mendeskripsikan hubungan kekerabatan isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, metode yang digunakan adalah metode komparatif yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Permasalahan
pertama
dianalisis
dengan
menggunakan
metode
komparatif yang bersifat kuantitatif melalui teknik leksikostatistik yaitu dengan menghitung jumlah kata berkerabat antara isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko dari daftar kosa kata dasar Swadesh. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapan teknik leksikostatistik adalah sebagai berikut: 1) Mengumpulkan kosakata dasar isolek yang berkerabat, dalam hal ini isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. 2) Menetapkan dan menghitung pasangan-pasangan mana yang merupakan kata kerabat. 3) Menghubungkan hasil perhitungan yang berupa persentase kekerabatan dengan kategori kekerabatan. Perhitungan dilakukan dengan memperhatikan pedoman berikut ini. 1) Mengeluarkan glos yang tidak diperhitungkan dalam penetapan kata yang berkerabat. Glos yang tidak diperhitungkan adalah glos yang tidak memiliki realisasi (kosong), baik dalam salah satu bahasa, maupun dalam semua bahasa yang diperbandingkan. Selain itu, glos yang merupakan serapan dari bahasa lain juga tidak diperhitungkan.
22
2) Menetapkan kata kerabat baik yang terealisasi dalam bentuk yang identik (wujud sama), bentuk yang mirip (berkorespondensi dan bervariasi), dan bentuk yang berbeda tetapi masih dapat dirunut kekerabatannya. 3) Membuat persentase kata kerabat. Pada tahapan ini, dilakukan perhitungan terhadap jumlah kata dasar yang diperbandingkan pada langkah (a) dan jumlah kata berkerabat yang dijumpai dari hasil penentuan kata kerabat pada langkah (b). Perhitungan tersebut dilakukan dengan cara jumlah kata kerabat dibagi jumlah kata dasar yang diperbandingkan dan dikali seratus persen sehingga diperoleh persentase jumlah kekerabatan. Hasil persentase
tersebut
akan
dihubungkan
dengan
kategori
tingkat
kekerabatan bahasa. 4) Langkah
berikutnya
menggambarkan
adalah
silsilah
membuat
kekerabatan
diagram
pohon
yang
keempat
isolek
yang
diperbandingkan tersebut (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko). Bahasa-bahasa yang pada fase tertentu memiliki sejarah yang sama sebagai satu keluarga bahasa atau subkeluarga bahasa berada dalam satu rumpun (lihat Mahsun, 2007:213-219). Permasalahan kedua dianalisis dengan menggunakan metode komparatif yang bersifat kualitatif melalui tahapan berikut: (1) mendeskripsikan sistem fonologi
isolek
Wangi-Wangi,
Kaledupa,
Tomia,
dan
Binongko;
(2)
mendeskripsikan perbedaan leksikon isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, (4) mendeskripsikan refleks fonem-fonem PAN pada isolek Wangi-
23
Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, (5) mendeskripsikan refleksi etimon PAN pada keempat isolek tersebut Langkah selanjutnya adalah melakukan rekonstruksi terhadap keempat isolek di Wakatobi. Rekonstruksi yang dilakukan adalah rekonstruksi dari bawah ke atas (buttom-up reconstruction) dan rekonstruksi dari atas ke bawah (top-down reconstruction). Rekonstruksi tersebut dilakukan untuk menentukan evidensievidensi pemisah dan penyatu kelompok terhadap isolek-isolek yang menjadi objek penelitian. Permasalahan ketiga secara tidak langsung terjawab dari kesimpulan permasalahan pertama, dan kedua karena dengan mengetahui hasil leksikostatistik dan melihat korespondensi dari isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko serta inovasi bersama yang dialami oleh keempat isolek tersebut, akan menjadi evidensi yang kuat mengenai status dan keeratan hubungan kekerabatan keempat isolek tersebut. Ketiga permasalahan tersebut dirumuskan dalam dua sudut kajian, yaitu kajian
sinkronis
dan
diakronis.
Permasalahan
pertama
(perhitungan
leksikostatistik) dipaparkan dalam suatu kajian diakronis. Permasalahan kedua (korespondensi dan variasi fonologis dan leksikon) dipaparkan dalam suatu kajian sinkronis. Permasalahan ketiga mengenai penjelasan evidensi kuantitatif sebagai bukti asumsi kekerabatan isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko dan penjelasan yang berhubungan dengan evidensi kualitatif dipaparkan dalam kajian sinkronis dan diakronis.
24
1.9.3 Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data yang berupa perhitungan leksikostatistik serta kaidahkaidah korespondensi dan inovasi-inovasi bersama pada isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko disajikan melalui dua cara: pertama metode informal, yaitu perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis, kedua metode formal yaitu perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang (Mahsun, 1995:224) dalam hal ini menggunakan tanda-tanda dan lambang yang digunakan dalam kajian linguistik historis komparatif.
1.10 Sistematika Penyajian Penulisan hasil penelitian ini dirancang dan disusun secara sistematis untuk kesempurnaan pencapaian tujuannya. Penelitian ini disajikian dengan susunan sebagai berikut. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesis penelitian, dan metode penelitian. Bab II berisi tentang gambaran umum objek penelitian. Bab III merupakan kajian sinkronis, yang memuat deskripsi sistem fonologi isolek Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko; deskripsi perbedaan fonologi keempat isolek tersebut; dan uraian yang ditemukan dalam kajian sinkronis. Bab IV merupakan kajian diakronis, yang memuat deskripsi hasil perhitungan kuantitatif dengan teknik leksikostatistik; rekonstruksi proto Wakatobi dari bawah ke atas dan refleksi PAN terhadap proto Wakatobi. Bab V penutup yang berisi simpulan dan saran.