BAB I PENDAHULUAN 1. Alasan Pemilihan Judul Dalam kehidupan masyarakat Jawa terdapat sebuah refleksi kehidupan dan kepercayaan bahwa bila saat hidup di dunia, seseorang melakukan perbuatan harus dilandasi dengan nilai-nilai ketuhanan. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, perlakuan baik maupun perlakuan buruk mempunyai makna yang berarti pada orang Jawa. Orang Jawa menganggap bahwa Raja merupakan wakil Tuhan oleh karena itu rajalah yang menguasai atau memiliki kekayaan alam tanah Jawa yang menjadi wilayahnya (Haryanto, 2013:27). Falsafah orang Jawa memiliki makna yang dalam, termasuk penjelasan hubungan raja dengan rakyatnya, dimana tujuan hidup manusia yang tertinggi adalah bersatunya manusia dengan Tuhan. Dalam hal ini, secara tersirat dapat digambarkan sebagai rakyat harus menyatukan kehendak dan rasa dengan Raja (Sultan) sebagai wakil Tuhan (Haryanto, 2013:27). Adanya
falsafah orang
Jawa
tercermin
pada
masyarakat
yang
mengabdikan dirinya untuk menjadi Abdi dalem di Kraton Ngayogyakarta. Secara simbolik, menjadi abdi dalem merupakan representasi dari penyatuan kehendak dan rasa dengan Raja atau Sultan. Menjadi Abdi Dalem, terutama Abdi Dalem Punokawan membutuhkan komitmen yang besar, karena seseorang harus meluangkan waktu untuk mengabdi pada Kraton Ngayogyakarta dan dengan tanggungjawab melestarikan, serta mengembangkan kebudayaan yang ada di Kraton Ngayogyakarta. Selain itu gaji atau kekucah yang didapat tidak sebanding dengan apa yang para Abdi Dalem Punokawan kerjakan selama ini.
13
Hal ini menarik untuk diteliti karena dengan diberlakukannya UndangUndang Keistimewaan tahun 2012 pada mekanisme penggajian memiliki dampak sosial dan ekonomi bagi kehidupan para Abdi Dalem Punokawan itu sendiri. Selain itu, terdapat pergesaran makna loyalitas Abdi Dalem Punokawan pada Kraton Yogyakarta dan Sultan pasca diberlakukannya Dana Keistimewaan, hal yang tidak diinginkan oleh pihak Kraton Ngayogyakarta adalah sifat loyalitas Abdi Dalem tidak boleh luntur akibat diberlakukannya Dana Keistimewaan. 1.1. Aktualitas Diberlakukannya Undang-Undang Keistimewaan No. 13 Tahun 2012 merupakan isu yang hangat diperbincangkan masyarakat Yogyakarta. Media cetak maupun media elektronik lokal selalu memberitakan topik terkait Keistimewaan DIY beserta polemik yang terjadi. Terdapat beberapa perdebatan mengenai makna Keistimewaan DIY yaitu adanya dualisme jabatan yang diampu oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X sebagai Gubernur dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur dengan pelestarian kebudayaan yang ada di DIY. Dalam hal ini secara garis besar diberlakukannya Undang-Undang Keistimewaan DIY (UUK DIY) adalah untuk mencerminkan kedaulatan rakyat, serta mencerminkan keseluruhan bentuk maupun ruang politis dan ruang kehidupan sehari-hari di DIY (Darmawan, 2010:162). Diberlakukannya Undang-Undang Keistimewaan DIY secara tidak langsung berdampak pada seluruh masyarakat DIY dan juga pada pihak Kraton Ngayogyakarta sebagai simbol dari Provinsi DIY. Dampak diberlakukannya Undang-Undang Keistimewaan No.13 Tahun 2012 juga dirasakan oleh Abdi Dalem Punokawan. Hal ini menyebabkan seluruh Abdi Dalem Punokawan mendapatkan honor dari
14
Dana Keistimewaan (Danais) yang diturunkan oleh Pemerintah Pusat. Adanya Danais menyebabkan para Abdi Dalem Punokawan mengalami kenaikan gaji yang sangat tinggi apabila dibandingkan dengan kekucah atau gaji yang didapatkan dari sultan. Pada tahun 2013, Dana Keistimewaan termin kedua gagal cair. Hal ini menyebabkan beberapa program pengembangan kebudayaan yang telah direncanakan oleh Pemda DIY menjadi terhambat akibat kekurangan dana. Total keseluruhan Dana Keistimewaan yang diberikan Pemerintah Pusat untuk tahun 2013 senilai Rp. 231,3 miliar. Pada awal bulan November 2013, Dana Keistimewaan termin pertama sudah cair yaitu sebesar Rp. 115.6 miliar. Apabila dilihat dari kegagalan pencairan dana keistimewan tahun 2013, hal ini juga berdampak pada aspek kebudayaan. Salah satu indikator dari aspek kebudayaan adalah berupa penggajian Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta. Sehingga pada tahun 2013, penggajian abdi dalem mengalami keterlambatan hingga dua bulan. Pada tahun 2015, pemerintah pusat hanya mengucurkan Dana Keistimewaan sebesar Rp 547,5 miliar. Padahal, Pemda DIY mengusulkan total Dana Keistimewaan tahun 2015 mencapai Rp 1,02 triliun. Apabila dilihat dari hal ini, Dana Keistimewaan tidak hanya digunakan untuk aspek kebudayaan saja melainkan juga untuk aspek pertahanan dan juga infrastruktur yang ada di Provinsi DIY. Seiring dengan berjalannya waktu, anggaran Dana Keistimewaan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat selalu mengalami peningkatan. Hal ini pun juga berpengaruh pada gaji yang diterima oleh Abdi Dalem Punokawan. Honor yang diterima Abdi Dalem Punokawan berkisar hingga Rp.1.000.000 yang akan diberikan setiap empat
15
bulan. Oleh karena itu, penelitian ini juga ingin melihat bagaimana loyalitas seorang Abdi Dalem Punokawan pada Kraton Ngayogyakarta dan melihat dari sisi dampak sosial ekonomi yang telah dialami dalam kehidupan Abdi Dalem Punokawan selama bekerja di Kraton Ngayogyakarta. 1.2. Orisinalitas Adanya dampak sosial dan ekonomi pasca diberlakukannya Dana Keistimewaan untuk abdi dalem punokawan merupakan hal yang patut untuk diteliti. Merujuk pada orisinalitas penelitian, maka suatu penelitian harus merupakan hasil karya asli dari peneliti dan belum penah dilakukan penelitian sebelumnya. Namun, terdapat penelitian yang mengulas tentang abdi abdi dalem. Sebagai contoh penelitian dari Sri Lestari, Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga Yogayakrta, dengan judul ‘Kehidupan Para Abdi Dalem di Kasultanan Ngayogyakarta’. Penelitian ini berfokus pada kehidupan Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta, Abdi Dalem ini meliputi Abdi Dalem Punokawan dan Abdi Dalem Kaprajan dengan menggunakan perspektif keagamaan. Penelitian yang dilakukan tahun 2008 ini sudah mengungkapkan bagaimana sistem pengangkatan warga Yogyakarta sebagai Abdi Dalem. Selain itu, juga menjelaskan jabatan-jabatan Abdi Dalem yang terdapat di Kraton Ngayogyakarta. Namun, dalam penelitian ini belum membahas secara mendalam mengenai tugas-tugas Abdi Dalem di Kraton Ngayogyakarta. Selain itu, untuk membahas kehidupan Abdi Dalem juga perlu menggunakan perspektif sosial ekonomi, tetapi peneliti belum membahas lebih dalam mengenai kehidupan Abdi Dalem dengan perspektif ekonomi. Contoh penelitian lain merupakan penelitian milik Faivina Rahmawati Fajrin, Universitas Gadjah Mada, dengan judul “Loyalitas Karyawan Ditinjau
16
Dari Kualitas Kehidupan Kerja dan Kepuasan Kerja Karyawan” dengan menggunakan metode kuantitatif. Fokus dalam penelitian ini terdapat pada loyalitas atau kesetiaan karyawan kepada perusahaan tempat bekerja. Dengan adanya loyalitas dari karyawan tersebut, maka karyawan mampu memberikan kontribusi atau menghasilkan hasil kerja secara baik. Tanpa adanya loyalitas maka sebuah perusahaan atau organisasi tidak akan berjalan dengan baik bahkan terkadang tidak akan mampu bertahan apabila didalamnya tidak diterapkan sikap loyal dan kebersamaan dengan baik. Loyalitas dapat dikatakan sebagai kesetiaan terhadap perusahaan. Penelitian ini sudah menjelaskan bagaimana loyalitas seorang bawahan dalam suatu perusahaan. Dalam penelitian ini, manajemen perusahaan juga mempunyai pengaruh pada loyalitas karyawan, selain itu adanya lingkungan kerja yang layak seperti standar gaji, dan adanya pemberian penghargaan dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Namun, pada variabel kualitas kehidupan kerja karyawan belum dibahas lebih dalam. Peneliti banyak membahas mengenai loyalitas karyawan pada suatu perusahaan. Dari kedua penelitian diatas, penelitian ini memiliki fokus yang berbeda. Penelitian ini berfokus pada dampak sosial ekonomi pasca diberlakukannya Dana keistimewaan pada Abdi Dalem Punokawan dan melihat pergeseran makna loyalitas yang terdapat pada Abdi Dalem Punokawan.
Setelah
melalui
proses
studi
pustaka
dan
melakukan
pemeriksaan penelitian dengan tema dan judul tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belum ditemukan hasil penelitian yang serupa pada Abdi Dalem Punokawan pasca diberlakukannya Dana Keistimewaan. Sehingga, penelitian ini menjadi hal yang baru dan menarik untuk diteliti lebih lanjut.
17
1.3. Relevansi dengan Jurusan Pembangunan dan Kesejahteraan Jurusan Pembangunan Sosial dan kesejahteraan merupakan salah satu yang mempelajari cabang ilmu dari ilmu sosial. Dalam hal ini mempelajari aspek sosial dalam kehidupan masyarakat. Harapan dari ilmu yang didapat ialah adanya kesejahteraan secara adil dan merata pada seluruh lapisan masyarakat. Penelitian ini berfokus pada “makna loyalitas pada Abdi Dalem Punokawan pasca diberlakukannya Dana Keistimewaan”. Maka relevansi penelitian ini dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, yakni terkait dengan kesejahteraan para Abdi Dalem Punokawan. Peneliti ingin mengetahui makna loyalitas pada Abdi Dalem Punokawan yang sudah mengabdikan dirinya di Kraton Ngayogyakarta tanpa melihat adanya keuntungan secara materi. 2. Latar belakang Kraton Ngayogyakarta berdiri sejak tahun 1755 dan dipimpin oleh seorang raja dengan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Menjadi penguasa atau pemimpin di Kraton Ngayogyakarta pada saat itu merupakan kekuasaan yang absolut, sehingga rakyat pun diharuskan untuk mentaati perintah raja (Soemardjan, 2086:22). Kehidupan di Kraton Yogyakarta secara tradisional perlu dipertahankan di lingkungan masyarakat. Semua aspek kehidupan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, atau pemerintahan yang dijalankan kraton merupakan representasi norma budaya Jawa yang wajib dipelihara karena di dalam lingkungan kraton, budaya juga harus ditegakkan dan dijunjung tinggi. Selama ratusan tahun Kraton Ngayogyakarta dipimpin oleh seorang sultan. Kraton Ngayogyakarta memproklamirkan untuk bersatu dengan NKRI yang kemudian menjadi sebuah provinsi bernama Daerah Istimewa Yogyakarta dimasa
18
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Adanya kekuatan secara sosiokultural pasca bersatu dengan NKRI masih terdapat pada masyarakat Yogyakarta dan Kraton Ngayogyakarta sendiri. Apabila dilihat dari segi sosial, struktur kehidupan warga Yogyakarta terbentuk dari peradaban negara kerajaan. Hingga saat ini nilai-nilai budaya Kraton Yogyakarta memang masih melekat pada individu warga Yogyakarta, termasuk pada kepercayaan animisme, dinamisme (Suseno: 1996:15). Pola pikir warga Yogyakarta pada umumnya masih bersifat kepercayaan dan mistisme seperti adanya pemberian sesajen pada hari besar tertentu. Warga Yogyakarta percaya apabila hadirnya seorang sultan membawa rasa aman dan ketentraman, hal ini dikarenakan bahwa soerang raja mempunyai wahyu dari Tuhan dan memiliki kekuatan magis untuk memimpin rakyat (Hatma,2011:210). Hal ini sesuai dengan model kepemimpinan tahta untuk rakyat yang diusung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Salah satu bukti konkrit Sri Sultan Hamengku Buwono X membawa ketentraman adalah dengan adanya DIY mampu menjadi daerah plural (Wahyukismoyo, 2008:146) tidak hanya dari segi religius tetapi juga dari segi kultur. Sebagai daerah yang menjunjung tinggi pluralitas, hal ini tidak lepas dari peran seorang Sultan yang mampu mempersatukan semua perbedaan. Sehingga Sultan dapat ditetapkan sebagai simbol toleransi di DIY (Hatma: 2011:237). Penghormatan pada Kraton Ngayogyakarta dan sultan juga dapat ditunjukkan dengan adanya kesetiaan atau loyalitas warga Yogyakarta yang mencalonkan diri sebagai Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta. Dapat diketahui bahwa animo masyarakat Yogyakarta yang mendaftar sebagai abdi dalem tergolong tinggi, melalui pernyataan di media yakni (http://www.krjogja.com,
19
diakses 21 Maret 2016): “Animo masyarakat dari dalam maupun luar DIY untuk menjadi Abdi Dalem Kraton Yogyakarta sangat tinggi. Bahkan, para calon abdi budaya yang sudah mendaftar sejak tahun lalu, harus antre untuk diwisuda dan mendapat surat kekancingan dari Kraton Yogyakarta.” Kesetiaan dan pengorbanan seseorang merupakan salah satu bentuk tanggungjawab terhadap apa yang akan diperbuat (Heryanto, 2010:38), hal ini terlihat dari kesetiaan abdi dalem yang rela menunggu untuk mendapatkan pengakuan dari kraton yang ditandani dengan mendapatkan serat kekancingan. Setiap tahun, Kraton Ngayogyakarta membuka pendaftaran sebagai Abdi Dalem sebanyak dua kali, yaitu pada bulan Sawal dan Bakda Mulud (dalam kalender Jawa). Para Abdi Dalem yang mendaftarkan diri tidak hanya dilingkungan Kraton Ngayogyakarta saja, melainkan juga para abdi yang berada di sekitar pemakaman raja-raja di Imogiri dan Masjid Agung, serta tempat wisata yang masih dimiliki oleh pihak kraton. Menjadi Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta memang memerlukan tekad atau keberanian, karena harus meluangkan waktu dan secara ikhlas mengabdi pada sultan dan Kraton Ngayogyakarta. Dari aspek persyaratan kerja seperti, jam kerja, besaran honor yang diterima dan pengabdian abdi dalem kepada sultan tidak sebanding dengan yang didapat saat ini (Haryanto, 2014:7). Para abdi dalem selalu patuh pada sultan dan Kraton Ngayogyakarta, termasuk dalam kesejahteraan dari abdi dalem. Di era modern yang sudah menjunjung tinggi demokrasi, adanya loyalitas atau kesetiaan pada pemimpin dan kerajaan merupakan suatu hal yang jarang dijumpai. Masuknya moderinsasi mengakibatkan masuknya pengetahuan baru dan lembaga-lembaga baru dalam struktur kehidupan masyarakat. masuknya
20
berbagai pengetahuan baru dapat mengakibatkan ketidak cocokan pengetahuan dan juga kesenjangan budaya (cultural lag) ketika hal itu terjadi, maka legitimasi pengetahuan lama akan sulit bertahan dan hal ini termasuk pada konteks pengetahuan dan budaya Jawa. Pada tanggal 31 Agustus 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2012
mengenai
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-Undang tersebut sebagai bukti bahwa NKRI mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Salah satu isi dari undang-undang tersebut menyebutkan bahwa, sistem pemerintahan Provinsi DIY dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur dan Paku Alam IX sebagai wakil gubernur. Hal inilah yang membuat Provinsi DIY semakin ‘unik’ karena jabatan gubernur dan wakil gubernur merupakan jabatan seumur hidup dan terdapat dualisme jabatan dimana Sri Sultan Hamengku Buwono X menjabat sebagai Raja di Kraton Ngayogyakarta dan Paku Alam IX menjabat sebagai Raja di Paku Alaman. Selain itu, urusan keistimewaan yang ditetapkan dalam undang-undang meliputi: tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, seperti kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Dengan disahkannya Undang-Undang Keistimewaan DIY, hal ini juga berdampak pada aspek simbol kebudayaan. Menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2012 pasal 5 ayat (1) yang mengatakan bahwa, ‘pelembagaan peran dan tanggungjawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1)
huruf
e
21
diwujudkan
melalui
pemeliharaan,
pendayagunaan, serta pengembangan dan penguatan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY’. Dalam hal ini, dengan adanya Abdi Dalem Punokawan di kawasan kraton yang selalu menjaga kebudayaan patut diberikan apresiasi. Karena abdi dalem tersebut secara sukarela ingin berkontribusi dalam melestarikan budaya Jawa dan selalu mentaati perintah sultan. Menurut Heru Nugroho (2002:29) Keistimewaan DIY tidak hanya terletak pada dualisme jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX, beserta budaya yang selalu menjadi panutan warga Yogyakarta, tetapi keistimewaan terletak pada diri maupun identitas dari warga DIY. Hingga di era modern ini, masih terlihat banyak warga Yogyakarta yang mendaftarkan dirinya untuk bekerja sebagai abdi dalem. Padahal, modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil pendapatan ekonomi yang didapat dari Kraton Ngayogyakarta. Untuk
menunjang
berbagai
kegiatan
yang
menunjang
kegiatan
Keistimewaan DIY, pemerintah memberikan Dana Keistimewaan (Danais) setiap tahunnya. Kemudian Danais akan dibagikan kiedaldam 5 aspek, yaitu aspek kebudayaan, tata ruang, kelembagaan, tata ruang pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur serta pertanahan. Rincian Danais yang telah diberikan oleh pemerintah adalah sebagai berikut: Tabel 1. Rincian Danais Tahun 2013-2016 N o 1
3
Pengisian Jabatan Kelembagan Pemda Kebudayaan
4
Pertanahan
2
Urusan
Anggaran 2013 -
2014 400.000.000
2015 -
2016 -
2.516.142.500
23.000.000.000
1.650.000.000
212.546.511.000
37.578.719.000
420.800.000.000
1.769.856.928.000
6.300.000.000
1.676.000.000
10.600.000.000
11.865.000.000
22
2.193.749.000
5
Tata Ruang TOTAL
10.030.000.000 123.620.000.000 231.392.653.500 523.874.719.000
114.400.000.000 547.450.000.000
573.550.795.000 1.357.466.517.000
Sumber: DPPKA DIY, 2016 Di tahun 2013, pemerintah memberikan Dana Keistimewaan (Danais) pada tahap pertama sebesar Rp. 231miliar termasuk 90 persen untuk aspek kebudayaan. Dalam hal ini, aspek kebudayaan mencangkup gaji Abdi Dalem Punokawan di Kraton Ngayogyakarta yang berjumlah sekitar 1387 orang. Kemudian untuk tahun 2015, pemerintah memberikan dana sebesar Rp. 420miliar untuk bidang kebudayaan. Hingga saat ini, Dana Keistimewaan untuk tahun 2016 belum dicairkan, tetapi Pemda DIY sudah mengajukan dana sebesar Rp. 1.357.466.517.000 yang akan dibagi kedalam lima aspek. Untuk tahun 2015 dan 2016 pihak Kraton Ngayogyakarta sudah mengelola sendiri Dana Keistimewaan yang akan digunakan untuk pemeliharaan aset dan berbagai kegiatan di Kraton Ngayogyakarta. Rincian Dana Keistimewaan yang didapat adalah : Tabel 2. Rincian Danais untuk Kraton Ngayogyakarta No 1 2
Tahun 2015 2016
Jumlah Rp. 19.295.000.000 Rp. 19.293.000.000
Sumber: DPPKA DIY
Sebelum disahkannya undang-undang, kekucah abdi dalem hanya sebesar Rp.6.000 hingga Rp. 70.000 perbulan. Saat ini, dengan adanya undang-undang tersebut honor Abdi Dalem Punokawan sebesar Rp. 1.000.000 hingga Rp. 1.800.000 per empat bulan. Dengan adanya hal tersebut, honor abdi dalem saat ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak seperti dulu lagi. Sebelum disahkannya undang-undang, para abdi dalem tidak pernah membelanjakan kekucah yang diterima dari kraton. Kebanyakan dari para abdi dalem menyimpannya untuk kenang-kenangan. Selain itu, pemberian honor pasca
23
diberlakukannya Dana Keistimewaan dilakukan dengan menggunakan akun bank. Hal ini merupakan suatu peristiwa dimana abdi dalem mengalami modernisasi dalam sistem pemberian kekucah. Adanya loyalitas Abdi Dalem Punokawan merupakan hal yang menarik untuk diteliti, karena di zaman yang sudah modern ini masih ada masyarakat yang sukerela mengabdi pada sebuah kerajaan, walaupun penghasilan yang didapat relatif sedikit. Selain itu, perlu adanya sebuah penelitian untuk melihat kehidupan sehari-hari para Abdi Dalem Punokawan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari pasca diberlakukannya Dana Keistimewaan.
3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana pergeseran makna loyalitas bagi Abdi Dalem Punokawan pasca diberlakukan Dana Keistimewaan?
4. Tujuan Penelitian 4.1. Tujuan Substansial Tujuan Substansial dalam penelitian ini adalah dengan memfokuskan pada : 1. Mengetahui loyalitas Abdi Dalem Punokawan kepada Kraton Ngayogyakarta setelah diberlakukan Dana Keistimewaan. 2. Mengetahui dedikasi Abdi Dalem Punokawan kepada Kraton Ngayogyakarta.
4.2. Tujuan Operasional 1. Memberikan referensi bagi civitas akademika dan para peneliti baik umum maupun dari Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. 2. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat loyalitas Abdi Dalem Punokawan
24
di Kraton Ngayogyakarta
5. Tinjauan Pustaka 5.1. Teori Tindakan Sosial oleh Weber Seluruh tindakan yang dilakukan oleh manusia menurut Weber selalu dipenuhi dengan makna. Weber meyakini bahwa penjelasan menganai tindakan sosial dibutuhkan untuk memahami makna-makna dan motif yang mendasari perilaku manusia (Ritzer, 2012: 214). Suatu tindakan rasional terjadi ketika seseorang melakukan seleksi terhadap cara-cara yang dinilainya paling tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan sesuai dengan situasi yang terjadi pada saat itu. Menurut Max Weber, manusia melakukan sesuatu dalam rangka memutuskan apa yang akan dikehendakinya (Jones, 2009:15). Dalam hal ini, setelah manusia memilih sasaran dan memperhitungkan keadaan yang akan dihadapi, kemudian manusia akan mengambil tindakan secara rasional. Teori tindakan sosial merupakan sebuah pendekatan yang berpengaruh dalam ilmu sosial. Weber memperkenalkan metode untuk mempelajari sosiologi dengan istilah verstehen, yaitu suatu metode yang digunakan untuk memahami tindakan manusia melalui pemahaman subyektif individu. Weber berasumsi bahwa seseorang dalam bertindak tidak hanya sekedar melaksanakan, tetapi juga menempatkan diri dalam lingkungan berpikir dan perilaku orang lain. Konsep pada tindakan ini mengarah pada suatu tindakan yang bermotif pada tujuan yang hendak dicapai. Weber membedakan antara tindakan dan perilaku, sementara itu perilaku merupakan kegiatan yang dilakukan tanpa pemaknaan subjektif. Sedangkan
tindakan
adalah
semua
25
perilaku
sejauh
pelakunya
menghubungkan dengan makna subyektif. Dengan demikian tindakan adalah suatu realisasi dan ekspresi fenomenal dari makna-makna transcendental. Makna-makna tersebut seperti adanya tindakan ngalab berkah, rela berkorban dan kerendahan hati yang dimiliki oleh abdi dalem. Tindakan tradisional, merupakan suatu tindakan yang berada pada ranah-ranah non-rasional. Tindakan sosial dalam konteks hubungan sosial didasarkan pada tradisi yang sudah dilaksanakan oleh nenek moyang. Anthony Giddens (2009:153) mengatakan bahwa tipe tindakan tradisional masih berlandaskan atas kepercayaan kepada kesucian aturan-aturan yang sudah lama. Sehingga, hal ini menjadi sebuah kebiasaan dan kepercayaan kepada tindakan yang dilakukan oleh Abdi Dalem Punokawan, seperti adanya tradisi Jawa yang hingga saat ini masih dilakukan. Adanya sebuah kepercayaan juga terdapat didalam pemikiran abdi dalem, bahwa kekucah yang didapat merupakan sumber berkah dari sultan. 5.2 Loyalitas Loyalitas dapat dikatakan sebagai kesetiaan, pengabdian, dan kepercayaan yang diberikan seseorang pada sebuah institusi maupun organisasi, bahkan individu. Menurut Pajar Hatma, (2011:22) loyalitas masyarakat
kepada
penguasa
terjadi
ketika
masyarakat
mengalami
ketergantungan ekonomi dengan penguasa. Semakin masyarakat mengalami ketergantungan ekonomi dengan pimpinannya, maka loyalitas semakin kuat. Semakin tidak tergantung secara ekonomi, loyalitas masyarakat semakin pudar. Namun, perspektif ini sulit untuk menjelaskan loyalitas Abdi Dalem Punokawan yang mendapatkan kekucah atau gaji rendah secara ekonomi, tetapi mempunyai loyalitas yang tinggi.
26
Sedangkan, Allen dan Meyer (dalam Powers, 2000:5) loyalitas bagi organisasi maupun institusi adalah dengan mematuhi peraturan, mengikuti perintah atasan dan menjaga kualitas hasil kerja. Powers (2000:8) menyatakan bahwa loyalitas menandakan adanya pengabdian seseorang atau keterikatan perasaan seseorang terhadap suatu obyek tertentu, obyek tersebut dapat orang lain atau kelompok. Loyalitas (Yuwono et.al, 2015:30) dapat didasarkan pada norma yang ada dalam diri bawahan yang berisi keyakinan individu akan tanggung jawab terhadap institusi, dimana bawahan tersebut merasa harus bertahan karena adanya hal tertentu yang disukai. Pada dasarnya, loyalitas dapat dikatakan sebagai kesetiaan seseorang terhadap suatu hal yang bukan hanya berupa kesetiaan fisik, namun lebih pada kesetiaan non fisik seperti pikiran dan perhatian. Loyalitas para karyawan dalam suatu organisasi itu mutlak diperlukan demi kesuksesan organisasi maupun institusi itu sendiri. Apabila menggunakan konsep loyalitas untuk mengkerangkai loyalitas Abdi Dalem Punokawan, Kraton Ngayogyakarta dapat diibaratkan sebagai sebuah institusi dimana terdapat Abdi Dalem Punokawan sebagai bawahan yang selalu memelihara kebudayaan Kraton Ngayogyakarta. Apabila membicarakan konsep loyalitas pada Kraton Ngayogyakarta dan sultan, hal ini tidak lepas dari bagaimana seorang sultan dalam memimpin warganya. Sultan sebagai pemimpin di kerajannya mempunyai legitimasi dalam hal politik. Namun, untuk memimpin rakyat dibutuhkan sebuah keterampilan untuk mampu mempengaruhi rakyatnya. Agar dapat memiliki kepercayaan bahwa seorang Sultan tidak hanya memimpin sebuah kerajaan, tetapi juga memimpin sebuah provinsi. Dapat dikatakan bahwa, kebesaran sultan merupakan kebesaran warga DIY karena Sultan juga merupakan representasi dari warga
27
DIY (Baskoro & Sunaryo, 2010:107).
5.3 Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat (dalam Setiawan, 1998:53) unsur budaya mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami tindakan orang Jawa, seperti adanya hasil karya, gagasan, tindakan dan kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini kehidupan bermasyarakat orang Jawa pada dasarnya dipenuhi oleh interaksi antara orientasi dan nilai-nilai. Interaksi tersebut memungkinkan timbulnya kontak langsung antara budaya pada suatu kelompok-kelompok tertentu. Sedangkan, menurut Benedict Anderson (dalam Hatma, 2011:13) menjelaskan bahwa konsep kekuasaan jawa memandang sebagai suatu kekuasaan yang konkrit dalam bentuk wahyu yang didapat karena kemampuan berkonsentrasi. Kekuasaan dalam konsep Jawa diartikan sebagai kesakten yang konkrit dalam wujud simbol tertentu. Dalam hal ini, simbol tersebut dapat diartikan sebagai benda-benda pusaka Kraton Ngayogyakarta dan wahyu yang masuk kedalam tubuh sang Raja dan kekuatan spiritual yang ada di kraton, serta adanya paringan dalem berupa kekucah atau sugengan yang diberikan oleh seorang Raja. Raja yang mempunyai kesaktian memiliki kekuasaan secara absolut karena raja merupakan wakil Tuhan di dunia. Tindakan Raja dianggap sebagai perbuatan yang penuh kewicaksanaan (unggul dan bijaksana), dan waskito (mampu melihat hal-hal yang rahasia termasuk pikiran orang). Menurut Selo Soemardjan (dalam Hatma, 2011:16) seorang raja dianggap mempunyai kekuatan religio-magis, ketika seorang raja membuat kebijakan yang merugikan satu kelompok masyarakat secara ekonomi, mereka tidak melakukan pemberontakan terhadap raja. Keputusan raja dianggap
28
sebagai titah sabda yang baik, kendati sistem pemerintahannya telah berubah. Dalam paham kekuasan Jawa, seorang Sultan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dan dihormati dan dianggap sebagai pusat segala kekuasaan (Moedjanto, 1987: 79), sehingga segala keputusan yang diambil oleh Sultan, rakyat diharuskan untuk menerimanya. Selo Soemardjan (1986:28-29), mengkerangkai sebuah kekuasaan jawa sebagai suatu lingkaran konsentris. Sultan merupakan sumber dari segenap kekuatan, kekuasaan dan sultan adalah pemilik segala sesuatu di dalam kraton karena itu sultan diidentikkan dengan kraton (istana). Banyak Abdi Dalem Punokawan yang memilih untuk mengabdi di Kraton Ngayogyakarta karena ingin merasakan kedekatan dengan sultan dan kraton atau yang diibaratkan dengan sumber cahaya. Kraton Ngayogyakarta memiliki peranan penting sebagai faktor penentu dalam dinamika kehidupan masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta. Identintas yang menjadi pemaknaan ini berupa sistem kultur yang meliputi pemaknaan, penghayatan kehidupan duniawi dan kehidupan batin. Rakyat yang telah memegang teguh nilai-nilai kekuasaan jawa menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada sultan (Setiawan, 1998:56) maupun pada kerajaan. Timbulnya kepercayaan masyarakat pada konsep kekuasaan jawa yang menganggap bahwa Sultan sebagai sosok yang memiliki kesaktian dan mempunyai kekuatan religio-magis merupakan penentu loyalitas masyarakat terhadap kerajaan. Menurut Pajar Hatma (2011:18) kekuasaan jawa dapat runtuh apabila wahyu yang dimiliki oleh Sultan telah hilang. Sedangkan, hilangnya wahyu ditandai dengan hilangnya kesuburan, kesejahteraan, stabilitas kekuasaan, dan keagungan pada satu wilayah.
29
Persoalan hilangnya wahyu tidak hanya berdampak kepada sultan dan kerajaan, tetapi juga akan berdampak pada rakyat.
30