BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aku sangat jatuh cinta pada istriku karena tahi lalat itu. —Aku menangis, tiba-tiba merasa menyesal telah membuang tahi lalat itu. (Ratih Kumala, 2010)
Dalam budaya masyarakat heteroseksual, tidak perlu diperdebatkan betapa pronomina persona untuk kata “istri” yang sedang dipuja karena tahi lalat di atas adalah seseorang dengan jenis kelamin perempuan. Ia yang pada gilirannya menyesal telah menghilangkan tahi lalat dari punggungnya. Ia pula yang akhirnya cemburu terhadap tahi lalatnya sendiri dan merasa tidak memiliki harga di mata suaminya sebagai seorang istri—tanpa kehadiran tahi lalat itu. Sejarah mencatat sudah sejak lama laki-laki menggunakan motif-motif norma dan moral sebagai alibi demi melegitimasi posisinya menjadi individu yang serupa ordinat atas perempuan yang dianggap sebatas sub-ordinat. Lakilaki, dengan begitu, mendesak perempuan untuk terus menjadi eksistensi yang termarginalkan, terpinggirkan, dan hanya sekadar pelengkap. Laki-laki yang menjadi penguasa dan pembentuk budaya membuat perempuan merasa bahwa apa yang selama ini mereka alami tidak lain kecuali bagian dari takdir dan kodrat
yang harus mereka pikul tanpa perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan bernada skeptis. Dengan memelihara syak wasangka terhadap dinamika sosial yang telah dianggap baku, masyarakat akan menyangka ada yang salah dalam diri pribadi perempuan, atau dalam bahasa populer bisa jadi ia dianggap melakukan tindakan yang tidak-feminin. Muara dari bentukan budaya itu memberi kebebasan mutlak kepada lakilaki untuk mengendalikan perempuan. Mereka berusaha mengubahnya sesuai dengan keinginanya. Untuk tidak dianggap laiknya manusia dengan jiwa dan pemikiran yang abnormal dalam konstruksi sosial yang melanggengkan dinasti kekuasaan laki-laki, perempuan menyerahkan dirinya secara pasif kepada kemauan laki-laki dan membiarkan terjadinya asimilasi. Dengan demikian, lakilaki menjadi pemilik perempuan dengan cara memanfaatkannya, yaitu dengan merusaknya (Beauvoir, 2003: 207). Menelisik wacana yang disuguhkan Ratih Kumala di atas, kita dapat merasakan atmosfer penilaian laki-laki yang demikian kejam terhadap apa yang melekat pada diri perempuan. Penilaian yang demikian merenggut rasa kepercayaan diri perempuan sekaligus haknya sebagai istri untuk menikmati cinta dan perhatian dari suaminya dalam wadah pernikahan sebagai manifestasi relasi suami-istri. Justifikasi suami terhadap cantik-tidaknya istrinya dengan mengacu pada tahi lalat di punggung sang istri tampak benar memukul telak harga diri perempuan, terlebih dalam kapasitasnya sebagai seutuh-utuhnya manusia. Bagaimana mungkin keseluruhan tubuh perempuan hanya diukur
dengan indikator yang bahkan tidak masuk akal: tahi lalat? Pada bagian mana letak kelogisan manakala seorang suami dengan begitu bodoh membandingkan raga istrinya dengan satu noktah di punggunya: tahi lalat? Bagaimana mungkin suami berkesimpulan bahwa cantik adalah juga apa yang selama ini menjadi fokus obsesi berahinya: tahi lalat? Apa mungkin laki-laki telah kehilangan batasbatas kewarasan dan lajur lurus nalar yang selama ini diagungkan sebagai satusatunya pemilik, dan tidak demikian dengan perempuan? Cantik dan menjadikan cantik seorang perempuan juga merupakan isu dalam media massa yang masih representatif dibahas dalam konteks kekinian. Persoalan kecantikan masih dan akan terus berkembang menjadi wacana yang menarik disuguhkan sebagai topik utama artikel dan majalah-majalah perempuan. Pemahaman tentang cantik dan menjadi cantik sebagai bagian dari budaya kontemporer pada gilirannya juga merasuk dalam tema-tema besar karya sastra. Seperti halnya yang terjadi dalam cerpen yang menjadi objek tesis ini. Kedua cerpen tersebut masing-masing berjudul Tahi Lalat di Punggung Istriku— selanjutnya disingkat TPI—oleh Ratih Kumala (dimuat dalam kumpulan cerpen Un Soir du Paris, 2010) dan Kaki yang Jelita—selanjutnya disingkat KYJ— karya Agus Noor (dimuat dalam kumpulan cerpen tunggal, Selingkuh Itu Indah, 2003). Media massa kerap menampilkan dan menghadirkan sosok perempuan cantik sebagai model dalam wacana yang tengah dibahasnya, maksudnya, tentu saja dalam bentuk visual dan verbal. Ciri-ciri cantik dalam media massa tampak
memunculkan bentuk yang seragam. Media terus-menerus merekonstruksi sosok ideal perempuan sesuai dengan budaya dan trend pasar yang di dalamnya duduk sekelompok orang yang berkuasa dan merasa bahwa cantik harusnya sesuai dengan konsep-konsep dalam imajinasi mereka. Hal demikian pada gilirannya juga berimplikasi pada persepsi perempuan itu sendiri yang mengidentifikasi sosok perempuan yang disebut cantik dan ideal sebagai dia yang kurus, tinggi, putih, dan berambut pirang, dengan wajah yang mulus tanpa noda, simetris, hidung mancung, bibir tipis, dada yang menonjol, pinggul yang padat berisi, kaki yang jenjang, dan tanpa cacat sedikitpun (Wolf, 2002: 4). Ketika perempuan terjun ke dalam dinamika masyarakatnya, ia akan dengan segera menjadi santapan batasan-batasan penilian publik yang cenderung menuntutnya merepresentasikan daging yang murni sesuai dengan fungsinya. Karena kita hidup dalam lingkaran “budaya tradisional”, sehingga yang dimaksud publik di sini tidak lain adalah laki-laki. Perempuan kemudian tidak dipandang sebagai subjek kepribadian, tetapi sebagai benda yang tertutup rapat dan tunduk pada ‘kodratnya’. Tuntutan-tuntutan itu termanifestasi dalam konsep keinginan laki-laki yang berkenaan dengan gaya berpakaian perempuan, bentuk tubuh yang langsing, hingga penggunaan make up dan perhiasan (Beauvoir, 2003: 236). Asumsi Wolf dan Beauvoir di atas bahkan semakin diperuncing dengan hadirnya fakta-fakta media yang memiliki andil dalam membentuk citra perempuan stereotipe dalam kaca mata budaya (Prabosmoro, 2006: 393).
Menurutnya, langsing bukanlah satu-satunya hal yang dituntut dari perempuan untuk berterima. Ia juga harus berkulit putih, bersih, berseri, mulus, halus, kencang, dan sebagainya. Begitulah pasar bermain. Pasar menuntut dan menyuplai perempuan dengan kebutuhan yang selalu baru dan tidak pernah selesai. Kenyataan di atas menegaskan bahwa kita sedang berada dalam pertentangan melawan salah satu bentuk feminisme yang menggunakan citra kecantikan perempuan sebagai senjata untuk menentang kemajuan perempuan (Wolf, 2004: 23). Inilah apa yang selama ini disebut sebagai mitos kecantikan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, mitos kecantikan menggunakan citra kecantikan untuk menentang kemajuan perempuan. Pelajaran yang dapat kita ambil dari persoalan ini adalah konstruksi cantik yang dibentuk oleh mitos kecantikan melalui media massa juga menjadi topik-topik artifisial dalam karya sastra. Pada alinea sebelumnya, beberapa ahli menghadirkan konsep-konsep yang bermuara pada barometer kecantikan. Tolok ukur dalam diskursus yang dihadirkan itu membentuk satu pemahaman—seperti yang telah dikatakan pada bagian terdahulu—tentang kecantikan
yang termitoskan. Bagaimanakah
kecantikan yang selama ini dipahami sebagai sebatas ukuran kemudian mengalami alterasi menjadi sebuah mitos? Mitos dapat diperikan sebagai semacam wicara, segalanya dapat menjadi mitos asal hal itu disampaikan lewat wacana atau discourse (Barthes, 2007: 296). Mitos tidak didefinisikan oleh objek
pesannya, tetapi oleh caranya menyatakan pesan ini: terdapat batas-batas fomal bagi mitos, tidak ada batas-batas yang “substansial”. Karena itu ia sangat meyakini semua hal dapat menjadi mitos karena jagat subur tanpa batas dalam hal-hal sugesti. Setiap objek di dunia dapat beralih dari eksistensi yang tertutup dan diam menjadi keadaan lisan (oral), terbuka untuk penggunaan oleh masyarakat. Karena tidak ada hukum, baik yang bersifat alam maupun bukan, yang melarang pembicaraan tentang pelbagai hal. Hal tersebut berlaku juga untuk kecantikan yang tengah dibahas sebagai isu utama dalam tesis ini. Kecantikan yang dibentuk oleh media lengkap dengan ukuran-ukuran, batasan-batasan, dan cara-cara pemerolehannya menjadi semacam diskursus yang pada gilirannya secara terbuka memberi kesempatan kepada para perempuan untuk mengintip ke dalamnya. Penyebaran ukuran, batasan, dan cara tentang pembentukan cantik yang menjadi objek berita media massa di atas bermutasi menjadi pelbagai sugesti dan agitasi persis seperti apa yang dikemukakan Barthes. Kita patut bersyukur, betapa Wolf juga menekankan, dalam hal ini dia sangat bersejalan dengan Barthes, bahwa kecantikan yang dihadirkan sebagai sebuah wacana dan bermutasi menjadi mitos tidak memiliki ukuran yang substansial. Konsep tentang mitos kecantikan itu pada akhirnya juga menerjang kedua tokoh sentral dalam dua cerpen yang hendak dianalisis. Masing-masing dengan persoalan yang unik dan khas. Katakanlah tokoh istri dalam cerpen TPI yang merasa cemburu terhadap tahi lalatnya sendiri. Secara garis besar, melalui cerpen
ini Ratih bercerita tentang suami yang tergila-gila pada tahi lalat di punggung istrinya. Suami mengetahui keberadaan tahi lalat itu sejak malam pertama mereka. Ia bahkan mengaku sangat memuja tahi lalat itu dan kerap menciumnya. Suatu hari, si suami benar-benar dibuat kaget atas kehilangan tahi lalat itu. Saat menanyakannya, istrinya malah menjawab bahwa si aku mungkin bermimpi. Katanya, ia tak pernah memiliki tahi lalat di punggung seperti yang dikatakan oleh si aku. Mereka berdebat hingga tak pernah lagi bercinta. Sejak itu, dimulailah hari-hari menyedihkan tanpa gairah dalam kehidupan rumah tangga mereka. Perihal hilangnya tahi lalat itu sebenarnya disebabkan oleh kecemburuan si istri karena suaminya seolah tampak lebih menginginkan keberadaan tahi lalat itu di punggungnya dari pada kehadirannya sendiri. Atas saran dari seorang tukang pijat langganannya, tahi lalat itu diangkat dengan menggunakan laser. Tidak sakit dan tidak berbekas, hanya sedikit mahal, tetapi cukup mengubah penampilannya, terutama di mata suaminya. Sejak itulah, ia kehilangan dua hal dalam hidupnya, tahi lalat dan kehangatan rumah tangga. Penggalan narasi di atas mengarahkan kita pada sebentuk pesan yang tersirat dan patut ditilik lebih dalam. Apabila keseluruhan rangkaian cerita itu merujuk pada tahi lalat di punggung istri, ada dua peran di situ yang tampak hadir sebagai oposisi yang nyata. Tahi lalat dan perempuan. Ratih dengan gamblang mengisahkan kecemburuan perempuan terhadap bagian dari tubuhnya sendiri. Tampak benar betapa perempuan oleh Ratih dibuat menjadi sebentuk objek yang merasa tersaingi oleh tahi lalatnya sendiri. Pada gilirannya, bagian
tubuh itu mendapat porsi perhatian dan perlakuan yang nyata berbeda dengan bagian-bagian tubuh yang lain. Persoalannya kemudian perempuan dalam narasi di atas dinilai hanya sebagai bagian dari potongan-potongan materi untuk pada gilirannya dijadikan objek penilaian laki-laki. Hal demikian sama buruknya dengan anggapan bahwa perempuan tidak pernah menjadi substansi yang utuh, ia selalu bergantung pada hal-hal di luar dirinya yang dapat menggenapinya untuk mencapai makna yang memang tidak akan pernah lengkap dan tuntas. Betapapun, untuk mengembalikan keutuhan dirinya sebagai seorang istri, perempuan dalam cerita yang diwacanakan Ratih tersebut secara tersirat harus kembali melekatkan tahi lalat di punggungnya. Jika tidak, ia bukan saja sebatas tidak menjadi substansi di mata laki-laki, ia bahkan tidak menjadi apa-apa. Kalau dicermati lebih mendetail, banyak hal yang dikorbankan perempuan untuk memenuhi tuntutan laki-laki. Rasa sakit dan pengeluaran dalam bentuk finansial menjadi alasan nyata argumen termaksud. Untuk mencapai “cantik” menurut batas-batas ukuran budaya konvensional, mau tidak mau sang istri harus merelakan nasibnya di tangan dokter ahli bedah dengan bayaran yang tidak sedikit. Rasa sakit dan kecemasan itu menjadi bahan baku utama yang diusung prinsip mitos kecantikan (Wolf, 2004: 457). Paham yang pada akhirnya mengikis dengan lekas kepercayaan diri istri di mata suaminya. Bagaimanakah istri dapat mengembalikan keharmonisan rumah tangganya bila suami terus bergantung pada satu bagian tubuh istrinya saja? Dalam bagian ini perempuan bahkan tidak menjadi substansi, ia hanyalah materi yang tidak
bermakna apa-apa tanpa sesuatu dari tubuhnya yang menarik perhatian laki-laki. Ia tidak lagi menjadi subjek di mata laki-laki, bagian dari dirinyalah yang malah disubjektivikasi oleh pasangannya. Ratih memang telah berusaha keras menentang skema cantik bentukan laki-laki, kendati pada akhirnya ia gagal ketika menyerahkan nasib tokoh istri di atas meja operasi dengan konsekuensi yang semakin menenggelamkannya dalam pahit keterpurukan hubungan rumah tangga. Pada kenyataannya, deskripsi tentang wacana kecantikan dalam karya sastra tidak hanya dimonopoli oleh penulis-penulis perempuan, sebab ditemukan data di lapangan bahwa penulis laki-laki pun tak ketinggalan ambil bagian dalam proses publikasi tema-tema sejenis. Agus Noor adalah contoh kongkretnya. Cerpen Agus yang hendak dikaji di sini adalah KYJ yang terhimpun dalam kumpulan cerpennya Selingkuh Itu Indah. Cerita ini menghadirkan kisah Kaka, seorang foto model dan peragawati ternama. Di tengah puncak karirnya, Kaka harus mengalami musibah yang menghantam segala kepercayaan diri dan kondisi psikisnya. Sebab pada kenyataannya ia lebih dikenal sebagai model yang memiliki kaki yang jelita. Secara garis besar, cerpen ini menghadirkan gambaran kondisi Kaka yang mengalami guncangan psikologis karena kakinya yang selama ini menjadi modal baginya dalam mengarungi dunia fashion dan foto model harus diamputasi. Padahal kakinya menjadi semacam masterpiece, kebanggaan dirinya dan orang-orang yang mengaguminya. Kakinya memang benar-benar jelita.
Tidak sekadar berkulit putih halus mulus ramping dan jenjang seperti kaki belalang. Dengan kaki yang kharismatik, melalui tokoh Kaka, pengarang berusaha membantah teori dan melunturkan anggapan bahwa cantik itu hanya dilihat dari bentuk wajah seperti yang selama ini dijadikan standar cantik bagi banyak orang. Hanya saja, di sisi lain, Agus tetap saja melanggengkan konsep kecantikan dengan berpegang teguh pada kecantikan kakinya yang putih, mulus, dan jenjang seperti kaki model yang selama ini dihadirkan oleh media. Ketika perempuan sebagai kaum kelas dua hadir dalam wujud fisikal yang nyata di hadapan laki-laki, laki-laki akan menuntut perempuan merepresentasikan daging yang murni sesuai dengan fungsinya. Tubuhnya tidak dipandang sebagai subjek kepribadian, tetapi sebagai benda yang tertutup rapat menurut kodratnya. Tuntutan-tuntutan itu tertuang dalam konsep keinginan lakilaki tentang gaya pakaian perempuan untuk menyamarkan tubuh mereka dari bentuk yang sesungguhnya. Hal ini juga melingkupi berat dan volume badan perempuan, make up, perhiasan, dan segala aturan kepantasan menurut ukuran laki-laki. Tubuh perempuan tampak menjadi milik laki-laki. Semuanya dibentuk demi mewujudkan perubahan perempuan menjadi sosok yang dipuja. Sosok idola. (Beauvoir, 2003: 236). Sebagai model, Kaka memang dibentuk oleh pengarang menjadi sosok idola. Melalui bentukan laki-laki, ia memiliki kepantasan untuk menjelma pribadi yang dipuja. Tidak heran ketika tokoh perempuan dalam cerpen ini mengalami benturan psikologis yang dahsyat ketika ia harus menelan pil pahit
melihat kenyataan kakinya sebagai bagian tubuh yang dipuja harus dipotong. Dalam rangkaian peristiwa berikutnya, Kaka bangkit kembali karena dorongan dan motivasi suaminya. Hanya saja, perlu dipahami bahwa di balik itu semua suaminya justru berselingkuh dengan perempuan lain yang lebih sempurna daripada Kaka. Kebangkitan itu menandai lonjakan karirnya. Hingga akhirnya timbul masalah ketika sebagian orang berasumsi bahwa karir itu ia dapatkan hanya atas dasar iba dari banyak orang. Ia terpuruk untuk kedua kalinya sebelum akhirnya suaminya kembali mendorongnya untuk bangkit. Kebangkitan keduanya pun membawanya pada satu ketetapan hati untuk memotong kakinya yang tersisa. Sebab menurutnya, apa arti kaki kiri kalau berkaki satu pun suaminya tetap mencintainya. Tokoh Kaka ditengarai rela merasakan sakit yang sangat dengan memotong sebelah kakinya karena seolah telah mendapat garansi rasa cinta yang kadarnya jauh lebih besar dari suaminya ketika ia hanya memiliki satu kaki. Persepsi yang keliru ini seolah memberikan gambaran betapa Kaka rela untuk tidak memiliki satu kaki pun demi mendapatkan cinta yang lebih besar lagi dari suaminya. Dalam kasus ini, kita tidak dapat menafikan betapa Bibim juga pada akhirnya tak kuasa mengelak dari labirin penilaian yang telah dibangun oleh mitos kecantikan. Kaka yang hanya berkaki satu, dengan segenap prestasi dan pencapaiannya, tidak mampu menahan hasrat Bibim yang mengimpikan seorang perempuan yang sempurna. Sempurna fisik dan jauh lebih baik daripada istrinya yang pincang berkaki satu.
Sepasang kekasih itu akhirnya juga terjerembab dalam pengaruh hitam mitos kecantikan yang membuat mereka tidak kuasa menghindar dari perasaan cinta yang munafik, terutama bagi Bibim. Sementara itu, Kaka malah mengalami semacam disinterpretasi bentuk penerimaan atas kondisinya dari suaminya sendiri. Kaka mesti memenuhi sesuatu yang tampak sebagai keinginan suaminya untuk mendapatkan cinta yang lebih. Kaka dibentuk oleh Noor sebagai pribadi yang inosen, kalau satu kakinya saja dipotong cinta suaminya malah semakin besar, apatah lagi bila sisa kakinya yang satu juga dipotong, tentu ia akan bermandikan guyuran cinta yang meluap dari suaminya. Sungguh persepsi yang keliru. Demi melihat kondisi narasi dua cerpen di atas dalam kerangka mitos kecantikan, kita dapat mengajukan sebuah premis bahwa ada semacam perbedaan yang samar-samar mencuat sekaligus menandai perbedaan antara prinsip mitos kecantikan dengan ide kedua pengarang. Pada bagian terdahulu telah banyak dibahas bagaimana mitos kecantikan memandang perempuan dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat tempat mereka hidup dan berkembang. Tentang bagaimana perempuan berusaha mematuhi “hukum alam” untuk menjadi cantik dan hal-hal yang serupa itu. Akan tetapi, hal itu disinyalir tidak benar-benar sejalan dengan apa yang ditampilkan kedua pengarang dalam hamparan narasinya. Mereka melakukan sedikit manuver untuk pada akhirnya kembali kepada ide awal mitos kecantikan, yakni menetapkan ukuran cantik untuk perempuan.
Manuver yang mereka munculkan tentu tidak sama persis dengan kualitas tunggal mitos kecantikan, sebab mereka justru memfokuskan stigma cantik pada sebagian dari tubuh tokoh yang dihadirkan: Kumala dengan sejumput tahi lalat di punggung tokoh istri, sedangkan Noor dengan pengkultusan bagian kaki pada tokoh Kaka. Konsentrasi pada dua bagian tubuh yang dilakukan oleh dua pengarang tersebut membentuk sinyalemen adanya upaya penataan kembali mitos kecantikan dengan titik tumpu yang baru. Keduanya kelihatan berupaya melakukan redefinisi terhadap mitos kecantikan. Kedua cerpen di atas paling tidak memberi gambaran betapa mitos kecantikan tidak hanya menerjang sisi-sisi psikologis dan alam pikir perempuan, melainkan juga menjadi hal yang perlu dihindari oleh laki-laki. Itulah mengapa objek material dalam tesis ini adalah karya dari penulis perempuan dan laki-laki. Akan lebih arif bila mengkroscek kembali bagaimana stigma mitos kecantikan bekerja lewat daya pikir dan imajinasi penulis berbeda gender. Bagaimana pengarang lewat tokoh-tokohnya berusaha bertahan melewati badai mitos kecantikan dalam konstruksi sosialnya? Sanggupkah para tokoh yang merupakan representasi pengarang keluar sebagai pemenang dalam pergulatan melawan konstruksi itu, atau malah takluk? Untuk itu kita perlu memeriksanya kembali dengan membedah karya para pengarang termaksud.
1.2 Rumusan Masalah Mitos kecantikan menggunakan citra kecantikan untuk menentang kemajuan perempuan. Terasa benar nasib yang cukup tragis menerpa kedua tokoh dalam dua cerpen teranalisis. Benturan-benturan konstruksi kecantikan hasil bentukan laki-laki—dan pada akhirnya juga perempuan—yang berlaku baku dalam masyarakat menuntut mereka untuk takluk dalam koridor-koridor yang sesuai dengan fantasi laki-laki tentang tubuh perempuan. Hal demikian membawa mereka pada rasa cemas yang melelahkan. Apakah rasa sakit memang prasyarat menuju kecantikan hakiki? Lantas seperti apa kecantikan hakiki itu? Apakah betul kecantikan hakiki itu ada? Atau bisa jadi, hal itu sebenarnya sebatas fatamorgana sebagai anak kandung dari budaya konvensional. Tidak menutup kemungkinan, perempuan, dan bisa jadi tokoh, keliru dalam menginterpretasi konsep cantik dengan mengandalkan prinsip dari produk-produk mitos kecantikan. Atau malah pengarang, melalui tokoh perempuan imajinasinya, bergerak pada bagian yang paling elementer, bahwa definisi cantik selama ini akhirnya dapat dibentuk kembali menjadi semacam redefinisi sesuai dengan asumsi pengarang tentang kecantikan? Karena alasan-alasan itu, tesis ini hendak menjawab dua persoalan yang patut dipertanyakan. 1. Bagaimana mitos kecantikan dalam dua cerpen teranalisis membentuk interpretasi perempuan dan mengopresinya sebagaimana diungkapkan oleh pengarang?
2. Bagaimana para pengarang meredefinisi mitos kecantikan menurut pandangan mereka sebagai individu berkaitan dengan hubungannya terhadap kedua tokoh cerpen teranalisis?
1.3 Tujuan Penelitian Kecenderungan ideologi mitos kecantikan yang senantiasa berusaha bermutasi untuk menemukan kondisi-kondisi lingkungan yang baru akan terus menggagalkan usaha-usaha yang dilakukan perempuan untuk memperbesar kekuatan mereka. Melalui citra kecantikan, para perempuan diajak untuk terus meributkan dan mencemaskan isu-isu
yang sesungguhnya tidak
perlu
dipermasalahkan seperti penilaian mereka pada tubuh sendiri dari sisi penampilan fisik, tubuh, wajah, rambut, atau pakaian. Hal ini menimbulkan pertentangan antara kebebasan yang telah mereka peroleh pada periode sebelumnya ketika mereka mengupayakan kemerdekaan dalam bidang hukum dan hak reproduksi dengan upaya memperoleh kecantikan. Untuk itu, secara teoritis, penelitian ini pada gilirannya bertujuan untuk mengambarkan bagaimana kedua tokoh dalam cerpen teranalisis menyalahartikan konsep dan tujuan menjadi berbeda dan lebih cantik dari penampilan sebelumnya, sehingga dapat ditemukan gambaran dan pemahaman mengenai sepak terjang tokoh utama dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, penelitian ini juga memiliki tujuan yang lebih praktis. Secara praktis, penelitian ini bertujuan membuka cakrawala baru bagi masyarakat umum
tentang dampak buruk serangan mitos kecantikan yang hidup dan menjadi bagian dari
kebudayaan
kolektif.
Kebudayaan
yang
telah
berakar
jauh
dan
menjerumuskan perempuan ke dalam lubang hitam krisis kepercayaan diri. Hal ini penting mengingat pada gilirannya penelitian ini berimplikasi pada maksud memberi pemahaman dan menyadarkan perempuan betapa tubuh yang mereka peroleh sekarang adalah hal yang patut disukuri. Mereka tidak harus menjalankan program-program kecantikan seperti diet yang terkadang salah sasaran atau bahkan mengorbankan uang demi menyerahkan nasib tubuh di tangan dokter bedah di atas meja operasi yang dingin.
1.4 Manfaat Penelitian Secara umum, tesis ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Pertama, secara teoritis, penelitian diharapkan memiliki kontribusi dan sumbangan yang nyata bagi pengembangan kajian-kajian dan analisis yang berhubungan dengan kritik sastra feminisme, terkhusus untuk kerja analisis yang erat kaitannya dengan teori mitos kecantikan. Kedua, ditinjau dari konsep praktis, tesis ini diharapkan dapat berpartisipasi dalam rangka membantu memperluas cakrawala interpretasi para pembaca sastra memahami cerpen TPI dan KYJ dengan sudut pandang feminisme, khususnya teori mitos kecantikan Naomi Wolf. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi bahan rujukan bagi para mahasiswa sastra yang
hendak meneliti karya sastra dengan menggunakan teori feminisme sehingga dapat memberi wawasan teraktual di waktu yang akan datang.
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai studi mitos kecantikan dalam karya sastra sebelumnya sudah pernah dilakukan. Terlebih lagi, penelitian yang menggunakan kecantikan sebagai objek formal dalam karya tulis. Penelitian tentang kecantikan tertuang menjadi objek dalam tesis Zainal. Tesis ini berjudul Bukan Laki-laki Biasa: Makna Tubuh, Hubungan-hubungan Romantis, dan Mitos Kecantikan Calabai di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Diterangkan bahwa fenomena calabai merupakan bagian keseharian dalam kehidupan orang Bugis di Soppeng, tetapi dalam berbagai aspek hal itu menjadi sesuatu yang lazim, labil, ambigu, dan ironis bagi masyrakat. Pada tingkat kehidupan praksis identitias calabai mewujud dalam berbagai bentuk yang khas dengan citarasa yang berbeda dengan kategori ‘gender lain’ yang melampaui kategori gender konvensional (laki-laki dan perempuan) yang menunjukkan sikap, gestur, sensibilitas, dan kedirian yang merupakan deskripsi batiniah (inside) yang di kombinasikan dengan deskripsi lahiriah (outside) yang mengadopsi, mencuri, dan
memprivatisasi
simbol-simbol
feminin
(perempuan)
dengan
cara
membongkar, menertibkan, memodifikasi dan membentuk tubuh (tubuh plastis). Tesis ini mempermasalahkan bagaimana makna tubuh, mode konsumsi, dan proses menjadi cantik yang dikontrol dan digerakkan oleh mitos kecantikan
dalam kehidupan calabai sehingga mengonstruksi identitas calabai masa kini. Juga, menanyakan bagaimana implikasi identitas ketubuhan, mode konsumsi, dan kecantikan terhadap pembentukan pengalaman hidup dan hubungan-hubungan romantis dalam kehidupan calabai. Kajian ini menerapkan cara penelitian kualitatif. Fokus kajian berada pada tingkat praksis kehidupan orang Bugis guna menelusuri dan menemukan apa yang sebenarnya terjadi, bukan apa yang seharusnya terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana gaya hidup modern menjadi elemen penting dalam pendefinisian identitas calabai di Soppeng. Menjadi indobotting (wedding mothers) sebagai pekerjaan utama sehingga mendapat kemantapan ekonomi (modal ekonomi), memiliki lembaga formal KWRSS (Kerukunan Waria Sulawesi Selatan), serta dukungan oleh pemerintah daerah Kabupaten Soppeng menyebabkan mereka memiliki posisi sosial (modal sosial). Karya tulis yang mengkaji kecantikan sebagai bahan utamanya tidak hanya tertuang dalam tesis Zaianal. Dalam skripsinya, Ellen Saputri Kusuma (2011) menulis kajian karya sastra yang menggunakan teori mitos kecantikan Naomi Wolf dengan judul Unsur-Unsur Pembangun Mitos Kecantikan Tokoh Utama Perempuan dalam Lima Dongeng Kumpulan Grimm Bersaudara. Penelitian Kusuma ini melihat unsur-unsur pembangun gagasan kecantikan yang dikonstruksikan melalui tokoh utama perempuan dalam dongeng Allerleirauh, Rapunzel, Dornr_schen, Aschenputtel, dan Schneewittchen. Teori yang digunakan
dalam menganalisis skripsi ini adalah teori gender serta teori mitos kecantikan oleh Naomi Wolf. Metode yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah deskriptif analisis. Hasilnya, ditemukan unsur-unsur pembangun mitos kecantikan yang berupa penampilan fisik, serta daya tarik selain fisik, yakni perilaku, dan moral. Kusuma menggunakan dua teori dalam proses analisisnya, dan pada dasarnya penelitiannya hanya berfokus pada unsur-unsur pembangun mitos kecantikan pada tokoh utama perempuan. Skripsi lain yang juga memaparkan tentang mitos kecantikan ditulis oleh Nadya Fathlia Mardhani, 2013, dengan judul Penindasan terhadap Perempuan Melalui Mitos Kecantikan yang Dialami Oleh Tokoh Oba Nobuko dalam Drama Rebound Karya Nagumo Seiichi. Nadya menulis sejak munculnya gerakan feminis gelombang pertama, kaum perempuan telah mendobrak struktur kekuasaan yang dilakukan oleh laki-laki. Sementara pada saat bersamaan, kecantikan menjadi cara baru bagi laki-laki untuk menindas perempuan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis meneliti bagaimana kecantikan akhirnya menindas perempuan, yang dialami oleh tokoh Oba Nobuko dalam serial drama Rebound karya Nagumo Seiichi. Penelitian ini menggunakan teori mitos kecantikan milik Naomi Wolf yang mencakup Profesional Beauty Qualification, tekanan dunia medis terhadap bentuk tubuh dan munculnya rasa lapar serta anoreksia. Dalam meneliti serial drama Rebound ini, penulis juga menggunakan teknik mise-en-scene. Hasil
penelitian kali ini menunjukkan bahwa dalam serial drama Rebound terdapat dialog serta adegan yang membuktikan adanya penindasan yang dilakukan oleh laki-laki, institusi kerja, dunia medis serta munculnya rasa lapar dan anoreksia yang dialami oleh tokoh Oba Nobuko. Mardhani menuliskan sarannya bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti serial drama ini, dapat menjkaji bentuk penindasan yang dialami oleh tokoh laki-laki dalam drama Rebound dan disarankan untuk menggunakan teori feminisme radikal. Tulisan Orrinda Ike Fardiana menjadi satu-satunya jurnal yang menggunakan teori mitos kecantikan Wolf. Fardiana (2012) menulis artikelnya dengan judul Mitos Kecantikan Perempuan Muslim (Studi Diskursif dalam Blog Fashion Muslim). Penelitian ini mengenai mitos kecantikan perempuan muslim dengan menganalisis wacana dalam blog fashion muslim. Penelitian dianggap penting dan menarik karena dalam media blog fashion muslim, perempuan muslim menjadi memiliki kontribusi membentuk konsep kecantikan yang baru melalui fashion hijabnya. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode analisis wacana dengan gabungan antara teori wacana perempuan Sara Mills dan teori mitos milik Roland Barthes. Melalui analisis data tersebut diketahui bahwa dari blog-blog fashion muslim yang diteliti ada beberapa konsep kecantikan yang ingin ditawarkan ke pada publik diantaranya cantik secara spiritual (inner beauty), lahiriyah (outer beauty) dan gabungan antara keduanya (inner-outer beauty). Mitos kecantikan yang ada dalam blog fashion muslim ternyata masih dipengaruhi oleh budaya
patriarki. Hijab fashion yang dimitoskan memiliki kekuatan dalam menambah kadar kecantikan perempuan, ternyata juga mengalami komodifikasi. Mitos ditumbuhkan dalam masyarakat sebagai alat untuk menarik banyak konsumen. Selain tesis, skripsi, dan jurnal, Ni Made Wiasti (2010) melengkapi kekayaan karya ilmiah yang menggunakan kecantikan sebagai objek analisisnya. Wiasti menulis artikel dengan judul Redefinisi Kecantikan Dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja Perempuan Bali, Di Kota Denpasar. Di dalam abstrak tulisannya ia menulis bahwa kecantikan bukanlah satu kesatuan yang berdiri sendiri, karena kecantikan sangat berkaitan dengan budaya dari masyarakat tertentu, budaya tersebut dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar tempat mereka hidup. Oleh karena itu, kecantikan merupakan konstruksi sosial yang diciptkan sendiri oleh manusia. Standar kecantian tersebut berubah-ubah sepanjang masa dengan menyesuaikan selera dan ketertarikan masyarakat akan suatu hal, sehingga bisa dikatakan bahwa standar kecantikan merupakan konstruksi dari masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat Bali, kecantikan seorang wantia dinilai dari kecantikan fisik dan sikapnya (personality). Namun, dengan berkembangnya zaman, konsep kecantikan tersebut mulai bergeser ke arah konstruksi pasar dan ideologi kapitalisme. Hadirnya iklan dan pasar tidak hanya menyajikan produk-produk kecantikan, tetapi mereka juga menawarkan konsep wanita ideal. Pada masa sekarang ini, wanita dinilai cantik ketika mereka memiliki kulit putih, tubuh ramping, dengan wajah yang simetris. Dengan adanya pertentangan antara konsep
kapitalisme dan budaya lokal, sekarang ini konsep kecantikan lebih ditonjolkan pada kecantikan fisik. Media massa, iklan, pusat kebugaran, dan salon kecantikan merupakan agen-agen yang berperan penting dalam perubahan tersebut. Kehadiran kapitalime telah merevitalisasi budaya Bali. Kecantikan wanita tidak hanya penting dalam upacara adat ataupun acara keagamaan tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, kecantikan juga bahkan digunakan sebagai alat untuk mendapatkan hal yang mereka inginkan seperti pekerjaan dan karir. Sementara itu, berkaitan dengan cerpen TPI, kita dapat melihat tulisan Maryska Silalahi yang berjudul Kepribadian Tokoh Utama Dalam Kumpulan Cerpen Larutan Senja Karya Ratih Kumala: Analisis Psikologi Sastra (2013). Cerpen TPI—bersamaan beberapa cerpen dalam antologi itu—dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. Silalahi menerangkan bahwa sebagai gejala kejiwaan, psikologi dalam sastra mengandung fenomena-fenomena yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Kepribadian merupakan suatu struktur yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepribadian tokoh utama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh utama yang terdapat dalam kumpulan cerpen Larutan Senja karya Ratih Kumala. Untuk mendapatkan hasil tersebut digunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisa Sigmund Freud. Metode penelitian yang dipergunakan adalah
analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang. Dalam analisis deskriptif, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan kepribadian tokoh utama dalam kumpulan cerpen. Kepribadian yang dimaksud dalam hal ini adalah kepribadian yang dipandang sebagai suatu struktur, yaitu id, ego, dan super ego. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis kecemasan yang dialami tokoh utama berdasarkan kepribadiannya. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama memiliki kepribadian yang didominasi oleh id, ego, dan super ego. Kepribadian tokoh yang didominasi oleh id biasanya mengalami kecemasan neurotik, kepribadian tokoh yang didominasi oleh ego biasanya mengalami kecemasan riel, dan kepribadian tokoh yang didominasi oleh super ego biasanya mengalami kecemasan moral. Berkenaan dengan KYJ, paling tidak kita perlu melihat artikel Dodiek Aditya Dwiwanto. Ia menjelaskan bahwa cerpen ini sejatinya mengungkapkan hal-hal yang dihadapi perempuan sehari-hari, hal-hal yang selalu dibesar-besarkan media masa yakni masalah penampilan. Kaka, seorang model yang cantik jelita tiba-tiba ditimpa musibah berupa kehilangan kaki yang sangat menunjang karirnya. Permasalahan makin berkembang karena banyak yang mencibirnya meski ia tidak lagi sempurna. Kaka yang sudah tidak tahan lagi, menginginkan untuk memotong kaki yang satu lagi!
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Gender Maskulin yang Terstruktur Menjustifikasi kedua tokoh dalam cerpen-cerpen teranalisis: tokoh istri dalam TPI dan tokoh Kaka dalam KYJ, sebagai mereka yang juga tergelincir ke dalam lubang hitam kebencian diri (self-hatred), bukanlah satu bentuk kerja ilmiah bila terlebih dahulu tidak dipaparkan apa dan bagaimana mitos kecantikan bekerja dalam membangun kekuatan dan mendorong perempuanperempuan yang hidup di bawah bayang-bayangnya untuk jatuh dan tersesat lebih jauh dan tak pernah kembali. Pemahaman tentang mitos kecantikan memang diperlukan untuk mengkaji dan mengupas secara mendetail bagaimana kerja konsep ini dalam hubungannya dengan perempuan. Berdasarkan fakta sejarah, tidak dapat dinafikan bahwa laki-laki senantiasa mempertahankan kekuasaannya. Dengan basis ideologi yang cacat mereka bertekad untuk mempertahankan perempuan agar selalu dalam kondisi ketergantungan; segenap peraturan dikemas dalam bentuk yang tidak pernah adil sehingga perempuan benar-benar dibedakan sebagai “sosok yang lain”. Begitu laki-laki berusaha menonjolkan diri, kelompok “sosok yang lain” ini bukan merupakan suatu kepentingan baginya: laki-laki mengidentifikasi dan mensubjektifikasi dirinya hanya melalui kenyataan ini, kenyataan yang bukan merupakan perwujudan dirinya dan merupakan sesuatu yang lain dari dirinya (Beauvoir, 2003: 207).
Praktik budaya yang memaparkan hierarki rangkaian oposisi antara lakilaki dan perempuan di atas juga telah lama mengendap dalam struktur pemikiran Barat yang pada gilirannya mengendalikan praktik politik di tempat itu. Wacana historikal tersebut dapat kita temui dalam esai yang berjudul Sorties. Cixous via Sarup (2008: 172) mencatat bahwa salah satu pengertian dari oposisi tersebut selalu diposisikan istimewa. Setiap pasangan didasarkan pada penindasan pada salah satu pengertian, tetapi keduanya diikat satu sama lain dalam konflik kekerasan. Struktur dialektis seperti ini, menurutnya, mendominasi formasi subjektivitas sehingga dengan begitu, formasi perbedaan seksual. Subjek membutuhkan pengakuan dari “yang lain” yang individu bedakan dari dirinya. Perempuan direpresentasikan sebagai “yang lain”, yang dibutuhkan untuk membentuk dan mengakui identitas, tetapi selalu mengancam. Paradoksal ini mengarahkan perbedaan seksual untuk dikunci dalam struktur kekuasaan, yang olehnya sosok “yang lain” ditoleransi hanya bila ditindas. Pemaparan konsep-konsep pemikiran Beauvoir dengan agak luas direntangkan oleh Tong melalui penjabarannya (2004: 262). Ia menulis pemikiran Beauvoir yang dengan mengadopsi bahasa ontologis dan bahasa etis eksistensialisme, mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” sang Diri, sedangkan “perempuan” sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan terhadap dirinya. Bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan, Beauvoir menekankan bahwa laki-laki
mendapati diri mereka dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos tentang perempuan: irasionalisnya, kompleksitasnya, dan mitos bahwa perempuan sulit dimengerti. Pertarungan-pertarungan konsep identitas di atas, maksud saya, penjajahan atas konsep diri yang satu terhadap yang lain mengekalkan posisi perempuan sebagai mereka yang hidup pada tataran personalitas yang tersubordinasi. Kedudukan perempuan yang sedemikian rupa membuat mereka pasrah dan menyerah pada nasib yang ditentukan laki-laki. Perkembangan dan kemajuan perempuan terhambat dan senantiasa menjadi pelaku atas setiap aturan-aturan yang dikonstruksi budaya konvensial. Angin segar perubahan pada akhirnya berembus sekitar tahun 1970-an.
1.6.2 Klaim Budaya terhadap Perempuan Mengawali tulisannya, Wolf menggambarkan keberhasilan gerakan feminisme pada tahun-tahun 1970-an meraih hak-hak hukum dan reproduksi, disamping mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (2004: 23). Keberhasilan-keberhasilan itu tampak tidak berbanding lurus dengan kebebasan yang sesungguhnya juga mereka impikan. Pada kenyataanya kurangnya kebebasan itu berhubungan dengani isu-isu yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Para perempuan mulai memberi perhatian khusus terhadap hal-hal semacam penampilan fisik, tubuh, wajah, rambut, atau pakaian. Hal ini
membawa mereka pada pertentangan pemahaman antara kebebasan dan kecantikan perempuan. Jika dibandingkan dengan masa silam, saat ini lebih banyak perempuan yang kaya, berkuasa, dan mendapatkan pengakuan penuh dalam hukum di masyarakat, tetapi dalam hal perasaan tentang ‘keadaan diri yang berkaitan dengan fisik’, kita bisa lebih jauh khawatir dibandingkan dengan generasi nenek-nenek kita (Wolf, 2004 : 25). Selepas perempuan dari belenggu arena pertarungan antara ranah domestik dan ranah publik, mitos kecantikan mengambil alih dan terus memperluas kekuasaannya sebagai kontrol sosial. Alam bawah sadar perempuan masa kini banyak dipenuhi oleh gambaran yang muram tentang kebencian terhadap diri sendiri, obsesi fisik, teror atas usia yang terus bertambah tua, dan ketakutan atas hilangnya kontrol diri. Masyarakat tengah berada dalam pertentangan melawan feminisme yang menggunakan citra kecantikan perempuan sebagai senjata politis untuk menentang kemajuan perempuan. Inilah yang kemudian disebut sebagai mitos kecantikan. Sejarah kekuasaan laki-laki pada akhirnya kembali mendominasi panggung politik gender setelah perempuan merasa telah memenangkan diri— setidaknya dalam beberapa hal—dari dominasi laki-laki. Budaya konvensional yang kembali mengusung kekuasaan laki-laki perlahan-lahan merasuki sistem kepercayaan diri perempuan, dan mengubahnya ke bentuk yang lain menjadi krisis dan ironi. Kehadiran seorang laki-laki merupakan janji atas kekuasaan (Gamble, 2010: 152). Sementara itu, kehadiran perempuan mengimplikasikan
penunjukan diri secara sadar; keberartian dirinya terbelah antara pengamat dan yang diamati. Laki-laki bertindak dan perempuan tampak. Perempuan melihat dirinya sendiri menjadi objek untuk dilihat. Tubuh-tubuh perempuan yang diidealkan dan dijadikan objek berperan penting membentuk mereka menjadi materi yang berperan sangat pasif. Fakta sosial ini membentuk fenomena yang baru, yang tak pelak merugikan perempuan. Ketika perempuan diidealkan sesuai konsep-konsep fantasi laki-laki tentang kecantikan, mau tidak mau mereka harus tunduk pada formasi kultural itu. Perempuan berupaya membentuk diri dan penampilan agar menyerupai mereka yang berterima dalam konsep idaman mata laki-laki. Saat ini, industri perawatan kulit dan obat diet menjadi sensor kultural baru bagi iklim intelektual perempuan. Dan akibat tekanan-tekanan semacam ini, penampilan model muda yang kurus ceking telah menggeser figur ibu rumah tangga bahagia sebagai juru damai bagi dunia para perempuan sukses. Revolusi seksual
mempromosikan
penemuan
seksualitas
perempuan.
Pornografi
kecantikan—yang untuk pertama kalinya dalam sejarah, ‘kecantikan’ yang terkomodifikasi dihubungkan langsung secara artifisial dengan seksualitas— terus menggempur dan meruntuhkan perasaan perempuan tentang harga diri seksual mereka yang baru dan masih rapuh.
1.6.3 Konsep Cantik Ideal Mitos kecantikan membentuk konsep bahwa seolah-olah kualitas yang disebut ‘cantik’ benar-benar ada, secara objektif dan universal. Situasi itu kemudian menjelma sebagai sesuatu yang alamiah dan diperlukan karena bersifat biologis, seksual, dan evolusioner. Akan tetapi, hal itu tidak sepenuhnya benar, karena secara fundamental kecantikan juga ditentukan oleh sistem politik. Kecantikan bukan hal yang universal juga bukan bagian dari fungsi evolusi. Tidak ada legitimasi historis atau pembenaran biologis bagi mitos kecantikan. Dengan begitu, dapat ditarik prinsip bahwa mitos kecantikan merupakan kombinasi dari jarak emosional, represi politik, ekonomi, dan seksual.
Mitos
kecantikan
sesungguhnya
bukan
semata-mata
tentang
perempuan. Mitos itu cenderung merupakan persoalan institusi laki-laki dan kekuasaan institusional. Kenyataan di atas membawa kita pada indikasi bahwa meskipun sejak lama mitos kecantikan telah memiliki bermacam-macam versi mutakhir, mitos kecantikan merupakan sebuah penemuan yang baru (Wolf, 2004: 32). Mitos itu muncul ketika batasan-batasan material yang terdapat dalam diri perempuan nyaris hilang. Sebelum revolusi industri, rata-rata perempuan tidak punya sense yang sama tentang apa yang disebut ‘kecantikan’. Ini berbeda dengan perempuan modern yang mengalami mitos tersebut sebagai perbandingan yang terus-menerus dengan standar fisik ideal yang disebarluaskan.
Sejak revolusi industri, para perempuan kelas menengah dalam masyarakat Barat dikendalikan oleh stereotip dan citra-citra ideal, sekuat mereka dikendalikan oleh tekanan material. Semenjak mereka diperdaya secara psikologis dengan realitas bahwa mereka kini lebih kuat secara material, maka mitos kecantikan berkepentingan merangkul kecanggihan teknologi dan semangat yang reaksioner, lebih dari sebelumnya. Kumpulan kecanggihan teknologi itu menyebar menjadi jutaan citra ideal mutakhir yang dalam perkembangannya menjelma Iron Meiden; sebentuk senjata dari Jerman, sebuah alat dengan perut yang berbentuk, yang digambari fitur-fitur perempuan muda yang sedang tersenyum dan tampak sangat menyenangkan. Representasi perempuan yang paling kuat dan berpengaruh adalah bahwa kebudayaan Barat mempromosikan “tubuh langsing” sebagai norma kultural disipliner (Bordo, via Barker, 2004: 258). Menurutnya, tubuh yang langsing adalah tubuh perempuan. Kelangsingan adalah kondisi ideal terkini bagi daya tarik perempuan sehingga perempuan secara kultural sangat menghindari kondisi “salah makan” yang berpotensi menaikkan berat badan mereka dan menjelma menjadi perempuan-perempuan gendut yang seolah tidak memiliki arti apa-apa. Hal ini tampak bertalian dengan konsep yang dipaparkan Gamble. Menurutnya, tubuh ideal pada tahun 1990-an adalah tubuh muda kurus semampai, yang terpersonifikasi dalam model Kate Moss (2010: 148). Daya tarik yang berani girl power dipasangkan dengan kelaki-lakian dalam sebuah
periode ketika anak perempuan harus bergaya seperti anak laki-laki sebagai wujud kemajuan; bukti adanya elemen-elemen vitalitas dan varietas idealisasi yang kokoh tentang tubuh kurus yang didukung oleh fesyen milyaran dolar, industri-industri kosmetik dan pelangsing. Batasan-batasan kecantikan seperti yang tergambar di atas memang tidak terlepas dari pengaruh media dan iklan-iklan yang menawarkan perubahan menuju ke arah kebaikan bagi perempuan. Perlu ditekankan, idealisme yang berada di belakang media dan layar iklan tidak lain adalah juga letupan-letupan ambisi dan pemikiran laki-laki. Melalui kerangka femininitas dan seksualitas perempuan dalam iklan, tubuh perempuan dikonstruksi untuk menyesuaikan dengan selara “pasar”, yang dalam hal ini pasar adalah kuasa penentu apakah bentuk seksualitas atau femininitas (termasuk kecantikan, bentuk tubuh, jenis rambut, dan sebagainya) tertentu berterima atau tidak (Prabosmoro, 2006: 325). Dengan demikian, sebagai pribadi yang juga mengonsumsi iklan-iklan dalam media—kalau tidak mau dikatakan bahwa perempuanlah yang menjadi tujuan akhir dari pesan-pesan dalam iklan—perempuan secara sadar maupun tidak akan ikut terbawa arus konsep cantik paling mutakhir seperti yang disuguhkan media.
1.6.4 Rasa Sakit sebagai Syarat Perempuan telah belajar untuk menyerah pada rasa sakit dengan mendengar suara dari figur-figur yang memiliki otoritas—dokter, tokoh agama,
psikiater—yang mengatakan pada mereka bahwa apa yang dirasakan ini bukanlah rasa sakit (Wolf, 2004: 433). Kondisi demikian membuat mereka benar-benar yakin bahwa apa yang terjadi bukanlah sebuah kesalahan yang berarti. Itu hanyalah situasi yang mengajarkan mereka tentang rasa sabar menghadapi sedikit ketidaknyamanan untuk mencapai apa yang budaya inginkan, dan pada akhirnya juga perempuan. Mereka diperintahkan bersikap tegar dalam menghadapi rasa sakit yang dialami ketika mereka melakukan bedah kosmetik, seperti halnya ketika mereka diharuskan bersikap tegar ketika melahirkan. Bedah kosmetik, dalam konteks yang paling elementer, memproses tubuh perempuan menjadi perempuan yang dikreasikan oleh laki-laki. Perlu dipahami dalam perkembangannya tesisi ini akan banyak menggunakan frasa yang serupa dengan bedah kosmetik seperti operasi plastik, bedah plastik kecantikan, operasi kosmetik, bedah plastik, dan sejenisnya. Pada asasnya, tidak ada perbedaan pemaknaan terhadap beberapa kata yang merujuk pada bedah kosmetik yang dimaksud dalam mitos kecantikan. Sebenarnya mitos kecantikan cenderung menggunakan bedah kosmetik, tetapi dengan pertimbangan frasa yang lebih familiar dan akrab yang telanjur berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat sebagai operasi plastik dan beberapa frasa sejenis maka semua entitas itu digunakan secara arbitrer dengan mengarah pada makna yang homogen: bedah kosmetik—seperti yang dimaksud oleh Wolf dalam mitos kecantikannya.
Industri bedah kosmetik menjadi semakin luas karena adanya proses manipulasi atas gagasan tentang kesehatan dan kesakitan. Perempuan telah sekian lama didefinisikan sebagai sosok yang sakit. Anggapan ini menjadi alat untuk mensubjektifikasikan perempuan terhadap kontrol sosal. Dalam tradisi pemikiran Barat, lelaki merepresentasikan keutuhan, kekuatan, dan kesehatan. Sementara perempuan dianggap sebagai lelaki yang salah arah, lemah, dan tidak sempurna. Seolah perempuan adalah rasa sakit yang terus berlangsung. Kebohongan vital yang menghubungkan keperempuanan dengan penyakit telah memberikan keuntungan bagi para dokter sejarah obat-obatan. Lebih jauh, hal ini juga menjamin bertahannya anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang “sakit” dan mereka akan menjadi pasien yang terus memberikan keuntungan di mana pun dapat ditemukan perempuan dari kalangan kelas menengah (Wolf, 2004: 438-440). Ketika perempuan menjadi pasien utama terapi kecantikan, para dokter diperbolehkan mendiagnosa kelanjutan nasib perempuan dan memberikan jaminan bahwa mereka dapat mengubah perempuan menjadi sosok yang diinginkan masyarakat. Seorang lelaki dianggap ‘tidak nomal’ jika anggota tubuhnya atau salah satu bagian tubuhnya hilang atau mengalami distorsi jika dibandingkan dengan fenotip manusia. Sementara itu perempuan akan dianggap sebagai jelmaan monster bahkan abnormal jika penampilan fisiknya tidak ‘ideal’ meskipun sesungguhnya tubuhnya utuh dan fisiknya bisa berfungsi sepenuhnya. Paha seorang laki-laki digunakan sekadar untuk berjalan, akan
tetapi, paha seorang perempuan, selain digunakan untuk berjalan juga untuk menampilkan ‘keindahan’. Jika seorang perempuan bisa berjalan, tetapi yakin bahwa ada yang tampak salah dari anggota tubuhnya, kita merasa bahwa tubuh mereka tidak akan dapat melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dan hasilnya, sekarang ini perempuan yang sungguh-sungguh bisa menjalankan fungsinya tidak merasakan cukup kepuasan atas tubunya, lebih tidak merasa puas jika dibandingkan dengan orang-orang yang cacat. Hal yang perlu diwaspadai adalah bahwa sesungguhnya pada dokter bedah kosmetik ini menggantungkan pendapatnya pada bagaimana mereka membungkus persepsi diri perempuan dan bagaimana mereka melipatgandakan kebencian perempuan terhadap diri mereka sendiri. Jika tiba-tiba saja perempuan berhenti merasa bahwa dirinya jelek, bidang spesialis medis yang berkembang paling cepat ini akan menjadi bidang yang mati paling cepat (Wolf, 2004: 467).
1.6.5 Relasi Pengarang dan Karya Membicarakan sebuah karya sastra rasanya tidak komplit kalau kita melihat bagaimana suatu karya yang otonom membentuk garis lurus relasi yang ajek dengan pegarangnya. Hal demikian perlu dilakukan demi melihat bagaimana pengarang mengaktualisasikan gagasan dan pemikirannya mengenai suatu pokok persoalan melalui karya gubahannya. Dengan begitu, kita dapat
dengan jeli memeriksa ideologi apa yang hendak dihamparkan pengarang secara implisit dalam sebuah hasil cipta. Untuk perkara tersebut, kita dapat mengecek kembali empat istilah yang dirumuskan Abrams (Pradotokusumo, 2002: 45). Ia memberikan sebuah kerangka sederhana untuk menggambarkan empat istilah dasar dalam situasi karya sastra secara menyeluruh dan yang hubungannya berpusat pada karya sastra. Empat istilah itu kemudian menjadi sebuah pendekatan yang terdiri atas pendekatan objektif, pendekatan ekspresif, pendekatan mimetik, dan pendekatan pragmatik. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menekankan hubungan karya sastra dengan pengarang. Aspek ekspresif sudah ditonjolkan sejak zaman klasik kebudayaan Barat. Mungkin hal ini merupakan suatu akibat dari penonjolan diri manusia sebagai pencipta. Pada abad pertengahan, manusia selaku pencipta mencontoh tuhan. Karya seni dianggap tekhne ‘kepandaian/kemahiran’ yang selalu ditempatkan dalam rangka imitatio natural, alam sebagai ciptaan tuhan yang menjadi teladan, yang mau tak mau harus diikuti seniman. Tuhanlah yang menjadi maha pencipta, dan kegiatan manusia sebagai homo artifax (penguasa alam tetapi hanya sebagai pembantu dan hamba tuhan) tak bisa lain kecuali hanya mengambil proses penciptaan tuhan sebagai teladan. Baru pada abad ke18 manusia sebagai kreator yang otonom dilepaskan dari imitatio natural. Pada akhir abad ke-18 sinar romantisisme dan ekspresionisme mulai pudar. Menurut pandangan modern, penulis harus menghilang dari karyanya;
penulis roman ada jaraknya dengan cerita atau plot. Pembaca harus sadar bahwa dalam membaca roman ia tidak langsung menghadapi penulis. Ini menjadi pokok analisis yang makin menarik, yaitu point of view ‘sudut pandang’ dan banyak kemungkinan teknis untuk menyajikannya. Masalah point of view terutama penting sebagai gejala yang menggarisbawahi usaha untuk melepaskan pengarang dari karyanya dan menentukan serta mempertahankan otonomi roman terhadap diri penulis. Menurut pandangan ini, tidak perlu kita mengindentifikasi arti atau amanat sebuah karya seni sesuai dengan niat si penulis. Misalnya, dalam roman modern, juru kisah sering seorang yang ‘gila’, bodoh, atau penipu; dan tanggung jawab atas pandangannya tidak dapat dan tidak perlu dibebankan kepada penulis. Pandangan ini terserah kepada pembaca dalam menentukan arti sebuah karya yang sesuai dengan susunan bahasa serta konvensi kebahasaan dan kesastraan yang membatasi kerangka interpretasi. Tidak semua peneliti sastra modern setuju dengan menghilangkan pengarang dan niatnya seperti pandangan yang kuat dalam kalangan new critisism di Amerika dan gerakan otonomi lainnya. H.A. Gomperts mengatakan bahwa yang penting bukan vokalisator instansi naratif atau implied author yang ditonjolkan oleh aliran strukturalis tertentu, melainkan penulis hidup, yaitu penulis dalam keunikannya. Selian itu, P.D. Yuhl sangat menentang pendirian strukturalistik dan otonom yang melepaskan karya sastra dari niat penulis. Ia berpendapat bahwa dalam interpretasi ada tiga dalil (tesis):
1. kaitan logik antara pernyataan mengenai niat penulis; 2. penulislah yang nyata terlibat dalam dan bertanggung jawab atas proposisi yang diajukan dalam karya. Karya sastra tidak otonom, ada kaitan antara karya sastra dan hidup; 3. karya sastra mempunyai satu arti; intention, niat yang terwujud dalam proses perumusan masalah; kalimat yang dipakai dalam karya. Pendapat lain datang dari Gadamer Iawan Hirsch. Menurutnya, interpretasi selalu merupakan Horizontrverschmelzung ‘pembauran cakrawala’ dalam proses pemahaman antara masa lampau (pada waktu teks tercipta) dan masa kini si pembaca. Pemahaman tidak berarti subjektifnya pembaca sebagai individu sebab pemahamanan ikut ditentukan oleh situasi dalam sejarah. Objketivitas diberikan dalam tradisi kesejarahan. Sementara itu E.D. Hirsch menyatakan bahwa melepaskan arti sebuah teks dari maksud penulis pada prinsipnya menyangkal atau meniadakan kemungkinan pemahaman yang objektif—seperti dilakukan oleh Gadamer dan New Critisism. Identifikasi arti karya sastra dengan maksud penulis memberi jaminan bahwa arti determine adalah pasti. Ia dan Gadamer tidak membedakan meaning ‘arti’ dan significance ‘makna’. Juga ia berpendapat bahwa niat penulis esensial dan menentukan untuk interpretasi karya sastra. Simpulan yang dapat ditarik ialah bahwa pembaca karya sastra berada dalam berbagai tegangan, yaitu: 1. tegangan antara sistem bahasa dan penerapan sistem secara individual;
2. tegangan antara sistem sastra dan karya individual; pada suatu pihak merupakan perwujudan sistem sastra dan penerapan konvensi serta kompetensi yang dikuasai, namun pada lain pihak juga sekaligus penyimpangan dan pemberontakan terhadap sistem struktur konsep yang bukan tidak ada ambiguitasnya. Pembahasan mengenai hubungan antara pengarang dan karya juga disinggung oleh Wellek dan Warren dalam buah pemikiran mereka. Sebuah karya sastra lebih merupakan perwujudan mimpi si pengarang daripada hidupnya (Wellek, 2014: 78). Karya sastra mungkin merupakan topeng atau pribadi yang berlawanan, yang tersembunyi di balik pengarang. Karya sastra mungkin juga merupakan gambaran hidup yang justru ingin dihindari pengarang. Lagi pula, harus kita ingat bahwa untuk karyanya, pengarang bisa ‘mengalami’ hidup dengan cara yang berbeda: pengalaman hidup dipakainya untuk bahan karya sastra dan pengalaman itu pun sudah dibentuk oleh tradisi sastra dan prakonsepsi. Ketika membaca Dante dan Tolstoy, kita tahu bahwa ada sesosok pribadi di balik karya-karyanya itu. Ada kesamaan ciri-ciri fisik di antara karya seorang pengarang. Apakah tidak sebaliknya dibedakan kepribadian seorang pengarang
dan
kepribadian
yang
muncul—secara-metaforik—melalui
karyanya? Ada sesuatu yang khas Milton (Miltonic) dan khas Keats (Keatsian) pada tulisan kedua pengarang ini. Tetapi ciri ini harus dilihat dari karyanya saja, tidak bisa diketahui dari data biografis. Kita tahu apa yang disebut Virgillian
atau Shakespearian, tanpa perlu mengetahui riwayat hidup Virgil dan Shakespeare. Bagaimanapun, tetap ada hubungan, kesejajaran, dan kesamaan tidak langsung antara karya dan pengarangnya. Karya penyair bisa merupakan topeng, atau suatu konvensi yang dipakai jelas berdasarkan pengalaman dan hidupnya sendiri. Jung mengatakan bahwa ada pengarang yang menunjukkan tipe aslinya melalui tulisan-tulisannya, dan ada yang justru menampilkan antitipenya, yakni tipe pelengkap yang kontras dengan kepribadiannya. Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif.
1.7 Metode Penelitian dan Teknik Analisi Data 1.7.1 Metode Penelitian Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Melakukan penelusuran wacana untuk memperoleh berbagai teks sebagai informasi, baik yang bersifat elementer maupun penyangga, yang mendukung kerja analisis. 2) Mengidentifikasi keseluruhan teks, baik berupa dialog maupun narasi dalam wacana, yang bertalian dengan upaya-upaya mitos kecantikan dalam mengopresi tokoh dalam cerpen teranalisis. Setelah memperoleh
data yang valid, tahap selanjutnya akan dilakukan analisis yang mendalam demi mengungkapkan bagaimana mitos kecantikan bekerja dalam upaya tersebut dan menyingkap tabir nasib perempuan sebagai akibat nyata dari tindak opresi. 3) kerja analisis diteruskan hingga diperoleh informasi yang kuat tentang peran laki-laki dalam melanggengkan tradisi mitos kecantikan demi mempertahankan posisi superior mereka atas perempuan.
1.7.2 Analisis Data Prosedur dalam analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) memaparkan dan memaknai urutan proses kerja pengarang dalam menginjeksikan mitos kecantikan terhadap kedua tokoh cerpen teranalisis. Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari keadaan tokoh yang biasa-biasa saja, kecuali tokoh Kaka dalam KYJ yang kebetulan diceritakan baru saja mengalami kecelakaan yang mengharuskan kakinya diamputasi. Namun, secara keseluruhan, pada awalnya, kedua tokoh itu tidak begitu bermasalah dengan keadaan mereka. Hingga akhirnya mitos kecantikan mencengkram pemikiran dan kesadaran mereka sebagai ideologi yang menakutkan dan memaksa ketiganya mempermasalahkan kembali penampilan fisik mereka. 2) kenyataan dalam cerita tersebut kemudian diolah sedemikian rupa demi menelusuri ideologi pengarang. 3) menyimpulkan hasil penelitian.