BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hampir setiap pasangan yang menikah menganggap keluarga yang akan dibentuk belumlah lengkap tanpa seorang anak. Kehadiran anak yang sehat dan normal diharapkan akan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi seluruh keluarga. Namun tidak sedikit dari mereka yang kebahagiaannya berubah menjadi kekecewaan saat mengetahui bahwa anak yang dilahirkan memiliki kelainan fisik (yang tampak secara langsung) ataupun psikis (yang tidak tampak secara langsung). Salah satu kelainan psikis (mental) yang sampai saat ini masih membutuhkan banyak perhatian adalah retardasi mental. Menurut World Health Organization (1990), retardasi mental atau yang sering disebut sebagai tunagrahita adalah kemampuan mental yang tidak mencukupi. Sedangkan Trainer (2001) menyatakan bahwa retardasi mental bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan suatu keadaan individu yang menunjukkan gangguan fungsi intelektual yang dimulai pada masa perkembangan dan termanifestasi pada gangguan belajar dan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Diperkirakan prevalensi retardasi mental di negara-negara berkembang yaitu antara 1-3% dari total populasi (WHO, 2002). Berdasarkan hasil sensus di Suwon, Korea Selatan tahun 2002 menunjukkan bahwa 12,5 per 1000 populasi menderita retardasi mental (Yim, et al., 2002). Pada tahun 1994/1995 prevalensi retardasi mental menurut hasil survei Kesehatan Nasional di Amerika Serikat adalah 14,8 per
1
2
1000 populasi (Larson, et al., 2001). Kemudian di Indonesia jumlah retardasi mental cukup tinggi, mencapai 6,6 juta orang atau 3% dari jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa (ANTARA News, 2007). Di Yogyakarta, jumlah penyandang retardasi mental terus bertambah setiap tahun. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Provinsi DIY tahun 2006, jumlah anak retardasi mental di Yogyakarta sebanyak 1256 anak (32,56%), dengan kasus terbanyak di Kabupaten Gunung Kidul (30,01%), kemudian diikuti oleh Kabupaten Sleman (22,85%), Kabupaten Bantul (21,1%), Kabupaten Kulon Progo (17,2%), dan Kota Yogyakarta (8,84%). Sedangkan pada tahun 2009 pelajar retardasi mental atau tunagrahita di seluruh SLB C di Yogyakarta berjumlah ±3000 orang (Sumaryanti, 2009). Jumlah penyandang tunagrahita sesungguhnya diperkirakan jauh lebih besar mengingat penyandang yang tidak disekolahkan sulit terdeteksi. Anak dengan retardasi mental memiliki keterbatasan dalam fungsi mental dan keterampilan komunikasi, menjaga diri sendiri, dan keterampilan sosial. Keterbatasan ini akan menyebabkan anak belajar dan berkembang lebih lambat daripada anak lain. Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berbicara, berjalan, dan menjaga kebutuhan personalnya, seperti memakai baju dan makan. Mereka juga punya masalah belajar di sekolah. Sebenarnya mereka bisa belajar tetapi itu akan memakan waktu lebih lama dan ada beberapa hal juga yang mereka tidak bisa pelajari. Kondisi ini mengakibatkan anak retardasi mental membutuhkan upaya keras dari kedua orangtuanya dalam membesarkan dan mengasuhnya. Peranan ini adalah pekerjaan yang berat dan berlangsung selamanya bagi kedua orangtua sehingga bisa
3
menimbulkan tekanan dan stres yang berkepanjangan. Menurut Maramis (1994), orang tua merasakan tekanan karena tidak mengetahui bagaimana cara penanganan atau pengasuhan anak yang mengalami retardasi mental secara efektif. Sikap umum masyarakat terhadap retardasi mental juga bisa menambah stres orangtua. Masyarakat saat ini dengan teknologi tinggi mengutamakan pendidikan dan kemampuan intelektual, sehingga mereka tidak begitu toleran terhadap penderita retardasi mental. Hal inilah yang membuat masih banyak orangtua menganggap bahwa mempunyai anak retardasi mental merupakan suatu aib sehingga mereka takut dikucilkan masyarakat jika aib tersebut diketahui. Kondisinya akan berbeda saat mereka mempunyai anak yang normal. Ketika membesarkan anak yang normal, mereka tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti karena anak normal tidak membutuhkan penanganan, perlakuan dan perawatan khusus yang perlu dilakukan oleh orangtua sepanjang hidup anak. Banyaknya beban inilah yang membuat stres menjadi lebih kuat. Stres yang kuat diibaratkan bagai angin kencang yang mematahkan layar dan membalikkan perahu layar. Seseorang mengalami stres umumnya mengalami gangguan pada fisik, emosi, pikiran dan perilakunya. Mereka juga sering merasa tegang, tidak mampu berpikir secara rasional, mudah marah, sedih, cemas bahkan depresi. Akibatnya tugas seharihari tidak dapat dikerjakan dengan baik sehingga dalam jangka panjang bisa menghambat berfungsinya individu dalam kehidupan (Kumolohadi, 2002). Hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Hughes dan Liberman (1993) menyebutkan orang tua yang memiliki anak berkelainan 33% mengalami
4
depresi dan kecemasan dan 31% mengalami stres mengindikasikan keluarga tersebut mengalami fungsi yang kurang baik karena dapat memicu masalah antar anggota keluarga misalnya masalah dengan saudara kandung, cemburu dan hubungan yang tidak baik, penarikan diri dari lingkungan, dan harga diri rendah. Karena banyaknya dampak buruk akibat meningkatnya stres yang dialami oleh orangtua, maka dibutuhkan suatu cara untuk membuat keadaan menjadi lebih nyaman melalui pengurangan keadaan stres. Salah satunya adalah dengan adanya dukungan sosial yang bisa didapatkan dengan berbagai cara, misalnya dengan membentuk kelompok swabantu (self help group). Kelompok swabantu (self help group) atau yang sering disebut juga sebagai kelompok yang saling menolong, saling membantu, atau kelompok dukungan adalah suatu kelompok yang menyediakan dukungan bagi setiap anggota kelompok (Ahmadi, 2007). Kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memilki masalah yang sama ini dapat memungkinkan setiap anggotanya untuk dapat mengungkapkan perasaannya, ketakutan-ketakutannya, dan menceritakan semua masalahnya sehingga anggota lainnya bisa mencarikan solusi atau cara untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Jadi, diharapkan dengan dibentuknya kelompok swabantu yang beranggotakan beberapa orangtua dengan anak retardasi mental, maka orangtua yang memiliki anak retardasi mental ini bisa mengeksplorasi perasaannya dengan bebas tanpa ada keraguan dan akhirnya mampu mempengaruhi tingkat stres mereka. Hal ini tidak hanya bisa diungkapkapkan saja tapi harus melalui suatu pembuktian secara empirik
5
bahwa pembentukan kelompok swabantu (self help group) dapat menurunkan tingkat stres orangtua dengan anak retardasi metal.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan fenomena di SLB Negeri 3 Yogyakarta bahwa orangtua yang memiliki anak retardasi mental memiliki banyak beban dan masalah yang berkaitan dengan anaknya, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : apakah kelompok swabantu (self help group) dapat menurunkan tingkat stres orangtua dengan anak retardasi mental?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh kelompok swabantu (self help group) terhadap tingkat stres orangtua dengan anak retardasi mental. 2. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui karakteristik orangtua baik ibu atau bapak dengan anak retardasi mental di SLB Negeri 3 Yogyakarta 2. Untuk mengetahui tingkat stres orangtua sebelum dilakukan terapi kelompok swabantu (self help group) pada kelompok eksperimen (pretest). 3. Untuk mengetahui tingkat stres orangtua kelompok kontrol pada observasi awal (pretest).
6
4. Untuk mengetahui tingkat stres orangtua sesudah dilakukan terapi kelompok swabantu (self help group) pada kelompok eksperimen (posttest). 5. Untuk mengetahui tingkat stres orangtua kelompok kontrol pada observasi akhir (posttest).
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Orangtua dengan Anak Retardasi Mental yang bersekolah di SLB Negeri 3 Yogyakarta Sebagai salah satu metode dalam menurunkan tingkat stres sehingga diharapkan pengasuhan terhadap anaknya menjadi lebih berfungsi. 2. Bagi Profesi Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi penting bagi ilmu keperawatan dalam pemberian terapi untuk mengurangi beban dan masalah yang ditanggung oleh orangtua yang memiliki anak retardasi mental. 3. Bagi Institusi SLB Negeri 3 Yogyakarta Sebagai masukan bagi institusi untuk menangani masalah retardasi mental tidak hanya dari pihak anak saja tetapi mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh orangtuanya juga. 4. Bagi Peneliti Lain Sebagai acuan dalam melakukan penelitian lebih lanjut dalam bidang keperawatan khususnya tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan anak retardasi mental.
7
E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan peneliti, belum ada yang meneliti tentang pengaruh kelompok swabantu (self help group) terhadap tingkat stres orangtua dengan anak retardasi mental. Akan tetapi terdapat penelitian lain yang berkaitan yaitu : 1. Wahidin R. Sako (2006) dengan judul Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Orangtua Tunagrahita dengan Sikap Penerimaan Orangtua terhadap Anak di SDLB C Tunagrahita YPPLB Cendrawasi Makassar. Persamaan dari penelitian ini adalah populasi atau subyek yang diteliti. Perbedaannya terdapat pada jenis penelitian dengan pendekatan analisis cross sectional, lokasi penelitian, variabel yang diteliti, dan teknik sampling yang menggunakan teknik total sampel. 2. Aryani (2001) dengan judul Hubungan antara Penerimaan Ibu dengan Kematangan Sosial Anaknya yang menyandang Tunagrahita. Metode penelitian non eksperimental dengan pendekatan cross sectional, lokasi penelitian, dan variabel yang diteliti
adalah perbedaan dari penelitian ini.
Persamaannya terletak pada populasi yang diteliti. 3. Dwi Retnoningrum (2008) dengan judul Hubungan antara Pengetahuan Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang Autisme dengan Tingkat Stres Ibu di SLB Autisme DI Yogyakarta. Persamaannya dengan penelitian ini adalah variabel yang diteliti yaitu tingkat stres, sedangkan perbedaannya adalah dari subyek, metode penelitian, tehnik sampling yang digunakan dan lokasi penelitian. Subyek dari penelitian Dwi
8
Retnoningrum ini adalah ibu dengan anak autis, metode penelitiannya adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional, tehnik sampling yang digunakan yaitu quota sampling dan mengambil lokasi penelitian di SLB Autisme. 4. Hubungan antara Sikap Keluarga dengan Perkembangan Sosial Anak Retardasi Mental di SLB Negeri Pembina Yogyakarta oleh Elly Junalia (2008). Perbedaannya terdapat pada teknik sampling yang menggunakan teknik total sampling, lokasi penelitian, variabel penelitian, jenis penelitiannya yaitu penelitian non eksperimental yang bersifat kuantitatif, dan rancangan peneltian dengan cross sectional. Terdapat persamaan dari subyek yang diteliti yaitu keluarga termasuk orangtua dari anak retardasi mental.