1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan
perekonomian
dan
perdagangan
serta
pengaruh
globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, menimbulkan permasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat. Krisis moneter yang melanda negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah. Hal tersebut sangat mempengaruhi
kemampuan
untuk
memenuhi
kewajiban
pembayaran
utangnya. Keadaan tersebut berakibat timbulnya masalah masalah yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya. Keadaan perekonomian saat ini sangat memprihatinkan, terlebih dengan terjadinya krisis global yang awalnya terjadi di Amerika Serikat yang secara otomatis merembet ke seluruh negara termasuk Indonesia dikarenakan ketergantungan dunia terhadap dollar Amerika. Krisis finansial dalam
2
perusahaan tidak dapat dihindarkan dimana perusahaan tidak berjalan dengan baik dan terkadang mengalami kesulitan di bidang keuangan sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya. Didalam menjalankan usahanya, perusahaan membutuhkan modal, baik berupa uang ataupun berupa barang. Di dalam menjalankan usaha, satu hal yang pasti perusahaan akan memperoleh keuntungan atau kerugian. Jika perusahaan itu memperoleh keuntungan, tentu saja perusahaan itu akan terus berkembang bahkan dapat menjadi perusahaan raksasa, tetapi apabila perusahaan tersebut mengalami kerugian, maka untuk mempertahankan usahanya akan dirasakan sangat sulit. Untuk mempertahankan usahanya tersebut perusahaan dapat melakukan peminjaman uang yang dibutuhkan kepada pihak lain. Dalam kehidupan memang tersedia sumber-sumber dana bagi seseorang atau badan hukum yang ingin memperoleh pinjaman, dari sumber-sumber dana itulah kekurangan dana dapat diperoleh. Pemberian pinjaman oleh kreditor kepada debitor didasarkan pada asumsi bahwa kreditor percaya debitor dapat mengembalikan utang tepat pada waktunya. Pelunasan utang oleh debitor kepada kreditor tidak selalu dapat berjalan dengan lancar adakalanya debitor tidak membayar utangnya kepada kreditor walaupun telah jatuh tempo. Debitor yang tidak mampu melunasi utangnya, maka harta kekayaan debitor yang bergerak maupun tidak bergerak dan baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan atas utangnya. Hal ini diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dengan kata lain Pasal 1131 KUHPerdata
3
tersebut tidak hanya menentukan bahwa semua harta kekayaan seseorang debitor demi hukum menjadi tanggungan utangnya kepada kreditor yang mengutanginya, tetapi juga menjadi tanggungan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu timbul karena undang-undang maupun karena perjanjian selain perjanjian kredit atau perjanjian pinjam-meminjam uang. Ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata mengisyaratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainnya. Kedua pasal tersebut di atas merupakan jaminan bagi kreditor untuk mendapatkan pelunasan bagi semua piutangnya, tapi untuk melaksanakan pembayaran utang oleh debitor kepada kreditor dengan adil diperlukan peraturan khusus, salah satunya adalah peraturan khusus yang mengatur tentang kepailitan yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diumumkan dalam Lembaran Negara Nomor 131 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4443. Ketentuan yang mengatur secara khusus tentang kepailitan pada awalnya terdapat dalam Buku Ke III WetBoek van Koophandel ( WVK), namun dicabut
dan
diganti
dengan
Staatblad
1905
No.
217
Tentang Faillissemensverordening staatblad 1906 No.348. Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
4
Kepailitan yang kemudian pada tanggal 9 September 1998 ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang. Pada tahun 2004, Undang-undang tersebut disempurnakan lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya dikenal dengan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK PKPU). Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Debitor paling sedikit mempunyai dua kreditor dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu kreditor; 2. Debitor paling sedikit tidak membayar satu utang kepada kreditor; dan 3. Utang yang tidak dibayar itu telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih. Kepailitan merupakan proses dimana:1 1. Seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. 2. Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan kepailitan.
1
Rudhy A. Lontoh , dkk, 2011 Hukum Kepailitan – Penyelesaian Utang-Piutang – Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pemba yaran Utang, Alumni Bandung, hlm. 23.
5
Tujuan-tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah:2 1.
Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditornya;
2.
Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan kreditor;
3.
Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Kepailitan merupakan suatu langkah akhir yang dilakukan kreditor
maupun debitor itu sendiri terhadap ketidakmampuan debitor untuk melunasi seluruh utang-utangnya terhadap kreditor, memang syarat untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor hanya terbatas terhadap debitor yang memiliki kreditorminimal dua atau lebih dimana debitor memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.3 UUK PKPU telah membatasi kewenangan mengenai pengajuan permohonan pailit terhadap debitor sehingga tidak semua kreditor memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor. Pembagian mengenai kewenangan para pihak untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor merupakan suatu langkah pembeda yang diberlakukan oleh UUK PKPU dikarenakan banyaknya pembagian jenis debitor.4 UUK PKPU membagi jenis-jenis debitor dan kreditor yang berhak
2
Sutan Remy Sjahdeini,2009, Hukum Kepailitan; Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 28. 3 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 4 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 103.
6
mengajukan permohonan pailit terhadapnya didasarkan pada bahwasannya tidak semua debitor dapat diajukan permohonan pailit oleh kreditor manapun, karena tidak semua kepailitan debitor hanya berdampak kepada debitor dan kreditor itu sendiri, namun dapat berdampak terhadap stakeholder yang lain, bahkan dapat dimungkinkan terjadinya efek sistemik. Oleh karena itu, UUK PKPU membagi jenis-jenis debitor dan kreditor yang berwenang untuk mengajukan permohonan pailit terhadapnya di dalam Pasal 2 UUK PKPU. Di dalam Pasal 2 UUK PKPU terdapat
enam pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit, yaitu: 1. Debitor itu sendiri. 2. Satu atau lebih kreditor. 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum. 4. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank. 5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan Efek. 6. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi. Dalam penelitian tesis ini akan dibatasi penelitian terhadap Subyek pemohon kepailitan dapat berbeda-beda, menurut Pasal 2 UUK PKPU menyebutkan bahwa pemohonan dapat diajukan oleh Kejaksaan.5 Dalam rentang dua peraturan perundang- undangan tentang Kepailitan di Indonesia, baik Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan 5
Jeany Tabita, 2014,“Kejaksaan dan Bank Indonesia sebagai Subyek Pemohon Pailit”’ diakses dari http://www.hukumkepailitan.com/2012/01/27/kejaksaan-dan-bank-indonesia-sebagai-subyekpermohon -pailit/#more-66, pada tanggal 19 April 2014.
7
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang maupun UUK PKPU, pemahaman mengenai Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum. Kepentingan umum dalam hal ini menurut penjelasan UUK PKPU adalah kepentingan bangsa dan Negara dan atau masyarakat luas. Dalam praktek, ada beberapa pengajuan gugatan pailit oleh Kejaksaan adalah dalam kasus PT Aneka Surya Agung yang tercatat dalam register No. 02/Pailit/2005/PN-Niaga/Medan sebagai Pemohon adalah Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam yang mewakili kepentingan umum. Kemudian Kejaksaan Negeri Cibadak melayangkan permohonan pailit terhadap PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) ke Pengadilan Niaga Jakarta. Permohonan diajukan karena Kejaksaan mengalami jalan buntu ketika akan mengeksekusi Putusan Mahkamah agung Nomor 308 K/Pid/2004 yang telah menghukum pengurus perusahaan tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai kewenangan kejaksaan dalam pengajuan permohonan kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan
dan
Penundaan
Kewajiban
mengajukan permohonan pernyataan pailit.
Pembayaran
Utang.
8
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban
Pembayaran
Utang
memberi
kewenangan
Kejaksaan mengajukan permohonan pailit ? 2. Hal-hal apa saja yang dijadikan pertimbangan Kejaksaan dalam pengajuan permohonan pailit ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk mengkaji kewenangan kejaksaan mengajukan permohonan pailit sesuai dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 2. Untuk mengkaji hal-hal yang dijadikan pertimbangan Kejaksaan dalam pengajuan permohonan pailit. D. Manfaat penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini mencakup dua aspek, antara lain : 1. Aspek Teoritikal
9
Dilihat dari aspek teoritikal diharapkan dapat memberikan suatu masukan bagi perkembangan ilmu hukum di masa datang, khususnya bidang hukum kepailitan
berkaitan
dengan
kewenangan
Kejaksaan
mengajukan
permohonan pailit sesuai dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 2. Aspek Praktikal Dilihat dari aspek praktikal diharapkan dapat melindungi kepentingan para pihak khususnya para kreditor dan bahan referensi bagi kalangan praktisi hukum, mahasiswa dan masyarakat pebisnis lainnya dengan memberikan perkembangan
mengenai
Hukum
Kepailitan
khususnya
dibidang
kewenangan pengajuan permohonan pailit. E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis berdasarkan hasil penelusuran Perpustakaan Universitas Gajah Mada penulisan hukum atau tesis dengan judul “Kajian Yuridis Kewenangan Kejaksaan Dalam Pengajuan Permohonan Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” belum ditulis oleh siapapun dan penulisan ini merupakan hasil karya penulis, bukan merupakan hasil duplikasi maupun plagiasi dari hasil karya orang lain. Namun ada penulisan hukum atau tesis yang memiliki kemiripan dalam menganalisis mengenai permohonan kepailitan oleh Kejaksaan yang ditulis oleh Agusalim Nasution dari Universitas Sumatera Utara dengan judul : Standart Kepentingan Umum
10
dalam Permohonan Kepailitan oleh Kejaksaan menurut Hukum Kepailitan. Rumusan Masalah : 1.
Pertimbangan-pertimbangan pemberian
kewenangan
apakah kepada
yang
mendasari
kejaksaan
untuk
pemikiran mengajukan
permohonan kepailitan? 2.
Bagaimana standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh jaksa berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
Kesimpulannya adalah : 1.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari pemikiran pemberian kewenangan
kepada
Kejaksaan
untuk
mengajukan
permohonan
kepailitan, adalah Tugas dan wewenang Kejaksaan yang sangat luas menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Bahwa tugas-tugas Kejaksaan dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu tugas yudisial dan tugas non- yudisial. Meskipun demikian tugas yudisial Kejaksaan sebenarnya bertambah, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1991 jo Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Kejaksaan mendapat kewenangan sebagai pengacara Pemerintah atau Negara. Pasal 27 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1991 menyatakan bahwa, “ di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah”. Pengaturan mengenai tugas dan wewenang
11
Kejaksaan RI secara normatif dapat dilihat bahwa dalam beberapa ketentuan undang-undang mengenai Kejaksaan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yaitu : a.
Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat dan sebagainya.
b.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah.
c.
Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan
peningkatan
kesadaran
hukum
masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang dan sebagainya. 2.
Standar kepentingan umum yang harus diperhatikan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Jaksa berdasarkan UUK PKPU diatur di dalam Pasal 2, dimana terdapat 6 (enam) pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu : a. Debitor itu sendiri. b. Satu atau lebih kreditor. c. Kejaksaan untuk kepentingan umum.
12
d. Bank Indonesia jika debitornya adalah suatu bank. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitornya adalah perusahaan Efek. e. Menteri Keuangan jika debitornya adalah Perusahaan Asuransi. Kejaksaan, seperti yang diatur dalam Pasal 2 UUK PKPU sebagai salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan, dapat menggunakan haknya untuk mengajukan kepailitan terhadap seorang kreditor yang tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan persyaratan yang harus dipenuhi adalah tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan serupa. Wewenang mengajukan permohonan pailit yang diberi kepada Kejaksaan adalah demi kepentingan umum. Sebelum keluarnya UUK PKPU, tidak dijumpai penjelasan yang pasti tentang bagaimana batasan kepentingan umum tersebut. Oleh sebab itu, penafsirannya diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Praktik hukum menunjukkan bahwa kepentingan umum ada apabila tidak ada kepentingan perorangan, melainkan alalsan-alasan yang bersifat umum dan lebih serius yang mengesankan penanganan oleh lembaga/alat kelengkapan Negara. Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK PKPU, diberikan batasan mengenai kepentingan umum. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau masyarakat, misalnya : a. Debitor melarikan diri. b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan.
kepentingan
13
c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat. d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana dari masyarakat luas. e. Debitor
tidak
beritikad
baik
atau
tidak
kooperatif
dalam
menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo. f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum yang diumumkan dalam Lembaran Negara Nomor 37 Tahun 2000 dan Tambahan lembaran Negara Nomor 3943 diatur mengenai Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan tanpa melalui jasa advokat. Dalam hal ini Kejaksaan bertindak sebagai Pengacara Negara, sehingga diwakili jajaran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Peraturan yang tertera di dalam Pasal 7 UUK PKPU yang mengharuskan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang advokat tidak berlaku bagi permohonan kepailitan yang diajukan oleh Kejaksaan, maka sebagai gantinya pihak Kejaksaan harus membawa Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Pengacara Negara dalam persidangan di Pengadilan. Bahwa rumusan masalah penelitian-penelitian sebelumnya berbeda dengan penelitian ini.