1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Glaukoma adalah sekumpulan gejala dengan tanda karakteristik berupa adanya neuropati optik glaukomatosa bersamaan dengan defek atau gangguan penyempitan lapang pandangan yang khas, disertai dengan kenaikan tekanan bola mata. Goldberg (2003) juga menyatakan bahwa glaukoma sudut terbuka primer adalah neuropati yang kronik progresif dengan karakteristik perubahan papila saraf optik dan atau lapang pandangan tanpa disertai penyebab sekunder (Liesegang et al., 2003) . Glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan utama di dunia setelah katarak, dengan jumlah penderita sebanyak ± 70.000.000 orang (Quigley, 1998). Sebanyak 50%-70%
penderita tersebut menderita
glaukoma sudut terbuka
primer. Sejalan dengan penelitian Quigley, jumlah penderita glaukoma sudut terbuka primer berkisar antara 85%-90% dari seluruh penderita glaukoma. Vaughan ( 1995), sebagian kecil (10-15%) penderita lainnya menderita glaukoma sudut tertutup primer (glaukoma sudut sempit). Survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang dilaporkan tahun 1996 (Ilyas, 2001), melaporkan bahwa glaukoma merupakan penyebab kebutaan utama yang ketiga, setelah katarak dan kebutaan karena kelainan refraksi, dengan prevalensi sekitar 0.16% jumlah penduduk Indonesia. Di Amerika, jumlah penderita glaukoma sudut terbuka primer yang berasal dari kelompok pendatang dengan ras kulit berwarna, 3-4 kali lebih besar daripada
2
jumlah pendatang yang berkulit putih. Sementara itu, pada glaukoma sudut terbuka primer seringkali ditemukan pada kelompok umur di atas 40 tahun, dan prevalensinya terus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Vaughan (1995) menyatakan bahwa prevalensi glaukoma sudut terbuka primer pada usia 40 tahun sekitar 0.4%-0.7%, sedangkan pada usia 70 tahun sekitar 2%-3%. Pernyataan yang hampir sama dikeluarkan oleh Framingham Study dan Ferndale Glaucoma Study (1994), yang menyebutkan bahwa prevalensi glaukoma sudut terbuka primer pada penduduk berusia 52-64 tahun sekitar 0.7%, dan 1.6 % pada penduduk usia 65-74 tahun, serta 4.2% pada penduduk usia 75-85 tahun. Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan teknik diagnosis yang non invasif dan dapat memberikan informasi struktur secara detail dari segmen posterior mata, yaitu retina dan papil saraf optik. OCT dapat memperlihatkan gambaran histologi potongan lintang retina yang masih hidup dengan resolusi yang sangat tinggi dan memiliki reprodusibilitas tinggi.OCT telah banyak digunakan untuk menilai berbagai kelainan makula. Namun penelitian lebih lanjut mendapatkan bahwa OCT sangat bermanfaat untuk mengevaluasi penyakit mata yang lain, yaitu glaukoma. Penilaian yang obyektif terhadap lapisan serabut saraf retina (Retinal Nerve Fiber Layer / RNFL) di daerah sekitar papil dan tomografi papil sangat penting dalam penilaian glaukoma.Penggunaan OCT sebagai alat penegak diagnosis dan monitoring glaukoma semakin banyak digunakan (Dada et al., 2006). OCT bekerja berdasarkan prinsip interferometri Michelson dengan menggunakan sinar infra merah koherensi rendah 800-830 nm.Sinar tersebut
3
dilewatkan melalui serat optik menuju alat pembagi sinar / beam splitter dan kemudian diarahkan ke retina dan cermin referensi. Sinar yang masuk mata akan dipantulkan oleh berbagai lapisan retina. Jarak antara beam splitter dan cermin referensi akan berubah-rubah secara berkelanjutan. Pada saat jarak antara sumber sinar dan retina sama dengan jarak sumber sinar dan cermin referensi maka akan terjadi interaksi dan menimbulkan pola interferensi, selanjutnya pola interferensi tersebut akan diubah menjadi suatu sinyal. Sinyal tersebut analog dengan signal yang didapat pada USG tetapi sumber sinar bukan gelombang suara. Gambaran yang terjadi merupakan potongan lintang retina seperti gambaran histologis yang dapat disajikan dalam warna hitam putih (Dada et al., 2006). Pada glaukoma, pemeriksaan lapang pandang merupakan pemeriksaan yang sangat penting disamping pemeriksaan anatomis dan fungsional yang lain. Ini disebabkan karena hasil pemeriksaan perimetri bersifat lebih menetap sehingga adanya perubahan hasil rekam lapang pandang akan menunjukkan progresifitas penyakit. Pemeriksaan lapang pandang adalah pemeriksaan seluruh luas pandangan, yang pada orang normal akan mempunyai batas yang luas. Sedangkan yang disebut kampimetri adalah pemeriksaan sebagian luas lapang pandangan (AAO, 2004). Perimetri statis otomatis menghasilkan gambaran lapang pandang dengan cara memproyeksikan stimulus yang berupa intensitas, ukuran dan warna cahaya yang beragam. Tidak seperti perimetri kinetik, yang menggunakan obyek tes yang bergerak, perimetri statik memproyeksikan rangsangan yang tidak bergerak (stasioner) di beberapa titik lapang pandang pasien (Park et al., 2009).
4
Paket statistik Humphrey Field Analyzer (STATPAC) menggunakan model yang didasarkan pada hasil tes pasien dengan lapang pandang, sensitivitas retina, dan ukuran pupil yang normal untuk setiap kelompok usia yang berbeda. Selanjutnya tes ini membandingkan hasil tes pasien terhadap model diatas untuk menentukan ambang batas hasil, untuk setiap titik yang diuji, apakah berada dalam rentang atau di luar model populasi normal.Setiap uji pada pasien dimulai dengan prosedur inisialisasi yang menentukan tingkat ambang batas masingmasing kuadran dari empat kuadran lapang pandang sentral (Park et al., 2009).
1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasar uraian diatas dapat dikemukakan pertanyaan penelitian: seberapa besar hubungan antara ketebalan Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL) dengan sensitifitas retina pada pasien glaukoma kronis.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ketebalan Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL) dengan sensitifitas retina
pada pasien
glaukoma kronis.
1.4 Manfaat Penelitian Dengan mengetahui hubungan antara ketebalan Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL) dengan sensitifitas retina pada pasien glaukoma kronis, maka dapat
5
digunakan untuk memperkirakan gangguan penglihatan pada glaukoma kronis dan dapat dijadikan sebagai acuan penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai glaukoma dan ketebalan lapisan serabut saraf retina adalah : 1. Wong et al. (2010) melihat hubungan antara usia dan peri papilari Retinal Nerve Fiber Layer / RNFL dengan optical coherense tomography pada 218 mata sukarelawan sehat etnis Cina dari Oktober 2001 hingga Maret 2003. Menggunakan metode cross sectional. Hasil penelitian umur berkorelasi secara signifikan dengan ketebalan lapisan papilari Retinal Nerve Fiber Layer / RNFL (r = -0,28, P <0,0001). 2. Nam et al. (2009) melakukan penelitian pada 47 pasien mata normal dan 68 pasien mata glaukoma. Semua subyek dilakukan pemeriksaan Humphrey Matrix perimetry (Matrix) dan standard automated perimetry (SAP). Kesimpulan dari penelitian mengindikasikan bahwa Baik Matrix dan SAP menunjukkan kinerja diagnostik yang baik dengan glaukoma. 3. Budenzet al. (2008) meneliti reproduktifitas lapisan serabut saraf retina papil (Retinal Nerve Fiber Layer / RNFL) pada 51 mata pasien glaukoma yang stabil dengan berbagai tingkat keparahan. Penelitian menggunakan metode eksperimental. Kesimpulan dari penelitian adalah reproduksibilitas Stratus OCT untuk ketebalan RNFL cukup baik secara klinis untuk digunakan sebagai ukuran kemajuan glaukoma.
6
4. Budenz
et
al.
(2005)melakukan
penelitian
untuk
menentukan
reproduksibilitas stratus OCT lapisan serat saraf retina(Retinal Nerve Fiber Layer / RNFL) pada mata normal dan mata glaukoma. Sampel dipilih secara acak dengan jumlah subyek 88 mata normal dan 59 mata glaukoma yang didistribusikan ringan, sedang, dan berat ditentukan oleh bidang visual pengujian. Hasil dari penelitian ini bahwa reproduktifitas pengukuran RNFL menggunakan stratus OCT sangat baik untuk mata normal dan glaukoma. Temuan ini memiliki implikasi untuk diagnosis dan progresivitas glaukoma. 5. Blumenthal et al. (2000) melakukan pengukuran ketebalan lapisan serat saraf retina(Retinal Nerve Fiber Layer / RNFL) pada 10 mata norma dan 10 mata glaukoma dengan instrument OCT 2000 (Humphrey Sistem, Dublin, CA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya OCT dapat dilakukan pengukuran RNFL pada mata normal dan glaukoma, walaupun signifikan lebih kecil (P=0.02) pada mata normal (6,9%) dibandingkan di mata glaukoma (11,8%). Pada penelitian ini, Optical Coherence Tomography (OCT)digunakan melihatketebalan Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL) sedangkan Humphrey Field Analyzer (HFA) untuk melihat sensitivitas retina pada pasien glaukoma kronis. Selanjutnya kedua hasil pemeriksaan ini akan dilihat hubungan antara ketebalan Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL) dengan sensitifitas retina.