BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Foot and ankle dibentuk oleh 3 persendian yaitu articulation talocruralis,
articulation subtalaris dan articulation tibiofibularis distal. Foot and ankle merupakan struktur sendi yang sangat kompleks yang terdiri dari banyak tulang, ligamen, otot dan tendon yang berfungsi sebagai stabilisasi dan penggerak tubuh. Otot dan ligamen merupakan stabilisator sendi, termasuk dalam sensorimotor (Kisner dan Colby, 2012). Pada komponen sendi foot and ankle ini akan terjadi pergerakan plantar fleksi, dorso fleksi, inversi dan eversi. Fungsi ankle sebagai penyangga berat badan memungkinkan terjadinya cedera pada ankle. Cedera sprain ankle dapat terjadi karena overstretch pada ligamen complex lateral ankle dengan posisi inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba terjadi saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah, di mana umumnya terjadi pada permukaan lantai/ tanah yang tidak rata. Ligamen pada lateral ankle antara lain: ligamen talofibular anterior yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah plantar fleksi. Ligamen talofibular posterior yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi. Ligamen calcaneocuboideum yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah plantar fleksi. Ligamen talocalcaneus yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi dan ligamen calcaneofibular yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi (Chan, 2011). Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya cedera sprain ankle yaitu kelemahan otot terutama otot-otot disekitar sendi foot and ankle. Kelemahan
1
2
atau longgarnya ligamen-ligamen pada sendi foot and ankle, balance ability yang buruk, permukaan lapangan olah raga yang tidak rata, sepatu atau alas kaki yang tidak tepat dan aktivitas sehari-hari seperti bekerja, berolahraga, berjalan dan lainlain (Farquhar, 2013). Menurut hasil penelitian The Electronic Injury National Surveillance System (NEISS) di Amerika menunjukkan bahwa sprain ankle di pengaruhi oleh jenis kelamin, usia, dan keterlibatan dalam olah raga. Laki-laki berusia antar 1524 tahun memiliki tingkat lebih tinggi terkana sprain ankle, dan perempuan usia 30 tahun memiliki tingkat lebih tinggi terkena sprain ankle. Setengah dari semua keseleo pergelangan kaki (58,3%) terjadi selama kegiatan atletik, dengan basket (41,1%), football (9,3%), dan soccer (7,9%). Hal ini dapat membuktikan bahwa persentase tertinggi sprain ankle adalah selama berolahraga. (Martin et al., 2013). Menurut Junaidi (2013), melaporkan kejadian cedera ankle di Poliklinik KONI Provinsi DKI Jakarta pada bulan September-Oktober 2012 populasi dalam penelitian ini adalah seluruh atlet Pelatda PON XVIII/2012 Provinsi DKI sebanyak 419 kasus yang merupakan 41,1% dari total kasus cidera yang terjadi. Cedera sprain ankle memiliki 4 fase: fase initial akut berlangsung 3 hari setelah cedera, respons inflamasi (fase akut) berlangsung 1-6 hari, fibroblastic repair (fase sub akut) berlangsung hari ke 4-10 setelah cedera, fase kronis (maturation remodeling) berlangsung lebih dari 7 hari setelah cedera (Chan keith et al., 2011). Sprain ankle kronis adalah cedera pada ligamen kompleks lateral yang berlangsung lebih dari 7 hari. Cedera dengan keluhan nyeri, inflamasi kronis dan
3
ketidakstabilan dalam melakukan aktivitas yang disebabkan terjadinya kelemahan ligamen dan penurunan fungsi termasuk defisit sensorimotor yang dapat menimbulkan terjadinya kelemahan otot sehingga tonus postural dan kekuatan otot menurun dan menurunnya propioceptive, fleksibilitas menurun, stabilitas dan keseimbangan menurun (Catalayud et al., 2014). Sprain ankle kronis yang berlangsung lama dan tidak ditangani dengan tepat atau tidak melakukan perbaikan maka akan menyebabkan disability. Foot and ankle disability ditandai dengan ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan dan aktivitas fungsional. Adanya kondisi-kondisi dari sprain ankle kronis sendiri menyebabkan pasien merasa tidak nyaman dalam melaksanakan aktifitasnya sehari-hari sehingga menyebabkan foot and ankle disability. Jika hal ini tidak di intervensi dengan baik maka akan terjadi peningkatan foot and ankle disability pada sprain ankle kronis. Kemampuan aktivitas fungsional foot and ankle yang terganggu meliputi aktivitas
berdiri,
berjalan dengan normal,
pekerjaan yang ringan sampai yang berat, respon dengan pekerjaan rumah, jongkok, aktivitas naik dan turun tangga, dan perawatan/pemeliharaan pribadi, kegiatan hidup sehari-hari, rekreasi dan olah raga. Aktivitas tersebut dapat terganggu dan fungsinya menurun hal itu dinamakan disability (Barr dan Harrast, 2005). Menurut World Conferedation for Physical Therapy (WCPT) yang dimaksud dengan disability yaitu ketidakmampuan untuk melakukan aksi, tugas atau aktivitas yang dibutuhkan untuk berperan dalam konteks sosial budaya individu dengan mengikuti kategori kerja dan kemasyarakatan/aktivitas yang
4
berhubungan dengan kesenangan (hobi). Foot and ankle disability dapat diketahui dengan pengukuran prosedur tetap pemeriksaan fisioterapi pada ankle and foot, dan untuk mengukur intensitas disabilitas dengan FADI (Foot/Ankle Disability index). FADI merupakan kuesioner yang berisi aktivitas pasien yang terdiri dari 26 item yang terdiri dari 4 intensitas nyeri dan 24 aktivitas sehari – hari (Martin, 2013). Pendekatan fungsional yang dibutuhkan individu dalam aktivitas keseharian, maka diperlukan pendekatan secara komprehensif. Pendekatan fisioterapi di dalam mengatasi sprain ankle kronis diperlukan penanganan yang sejalur dengan kriteria dalam ICF (International Classification of Functioning, Disability and Health) yaitu impairment-based category of ankle stability dan komplemen ICD (International Classification of Disease and Related Problem), yaitu category of sprain of ankle (Barr dan Harrast, 2005).
Hal ini seperti
tercantum dalam surat Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia no 80 tahun 2013 tentang penyelenggaraan pekerjaan dan pratek fisioterapi pasal 1 ayat 2 yaitu: “Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik elektroterapeutik dan mekanik), pelatihan fungsi dan komunikasi. Pengertian di atas, jelas bahwa fisioterapi sangat peduli pada kesehatan manusia, baik secara individu maupun kelompok untuk memaksimalkan potensi gerak yang berhubungan dengan mengembangkan, mencegah, mengobati, dan mengembalikan gerak dan fungsi tubuh seseorang dengan menggunakan
5
modalitas fisioterapi. Di dalam menanggulangi gangguan fungsi pada sprain ankle kronis di perlukan pendekatan fungsional yang komprehensif melalui pelayanan fisioterapi (Miller, 2011). Intervensi yang dapat diterapkan pada penanganan foot and ankle disability pada sprain ankle kronis yaitu dengan terapi latihan. Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang dapat di gunakan untuk memulihkan otot, ligament, tendon, tulang dan saraf, dengan tujuan untuk meningkatkan ROM, meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan kemampuan proprioceptive, memulihkan keseimbangan dan control postural, menurunkan foot and ankle disability dan aktivitas sehari-hari akan kembali normal (Kisner dan Colby, 2012). Pelatihan
proprioceptive
menggunakan
wobble
board
merupakan
pemberian pelatihan menggunakan papan keseimbangan (wobble board). Pelatihan wobble board merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statis yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board (Wees, 2006). Kelebihan pelatihan proprioceptive dengan wobble board yaitu melatih otot-otot ekstremitas bawah mulai dari panggul sampai foot and ankle secara bersamaan dalam meningkatkan kekuatan otot foot and ankle, proprioceptive, stabilitas, keseimbangan sehingga foot and ankle disability menurun dan aktivitas seharihari menjadi normal (Kisner dan Colby, 2012). Prinsip dari latihan ini untuk meningkatkan fungsi dari pengontrol keseimbangan tubuh. Saat latihan berlangsung rangsangan yang diterima serabut
6
intrafusal dan ekstrafusal memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan diolah di otak untuk diproses sehingga dapat menentukan seberapa besar kontraksi otot yang dapat diberikan. Sebagian respon yang dikirim kembali ke ekstrafusal akan mengaktivasi golgi tendon kemudian akan terjadi perbaikan koordinasi serabut intrafusal (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) dengan saraf afferent yang ada di muscle spindle sehingga terbentuklah proprioceptive yang baik (Miller, 2011). Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot penggerak foot and ankle, sehingga mampu pempertahankan posisi anatomi, tonus otot meningkat, refleks regang meningkat yang dapat mencegah terjadinya cedera ulang, serta memperbaiki stabilitas kaki (Driscoll dan Delahunt, 2011). Pelatihan penguatan otot menggunakan karet elastic resistance, dalam bentuk latihan isotonik dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang di sebabkan kerusakan ligament lateral kompleks. Peningkatan kekuatan otot didapatkan dengan pelatihan secara continue sehingga kekuatan otot tonik dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh darah kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan terjadinya penambahan recuitment motor unit pada otot yang akan mengaktivasi badan golgi sehingga otot akan bekerja secara optimal, sehingga terbentuk stabilitas yang baik pada ankle, dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis (Driscoll dan Delahunt, 2011).
7
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
yang akan diteliti sebagai berikut : 1. Apakah pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis? 2. Apakah pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis? 3. Apakah pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board berbeda dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah: 1. Tujuan umum Untuk membuktikan pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board berbeda dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistanc dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis. 2. Tujuan khusus a. Untuk membuktikan pelatihan proprioceptive menggunakan wooble board dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.
8
b. Untuk membuktikan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan pada penelitian ini adalah: 1. Manfaat Ilmiah Melalui ilmiah, penelitian ini dapat memberikan kontribusi akademi bagi pengembangan Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) tentang konsep penanganan kondisi foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis dengan penanganannya memberikan pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board dan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan referensi atau bahan pertimbangan bagi fisioterapis di rumah sakit atau lahan praktek didalam memberikan pelayanan fisioterapi khususnya pada pasien-pasien sprain ankle kronis.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Foot and ankle Disability pada Sprain Ankle Kronis Sprain ankle kronis merupakan penguluran dan kerobekan (overstrech) trauma pada ligamen kompleks lateral, oleh adanya gaya inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/tanah, dimana umumnya terjadi pada permukaan lantai/tanah yang tidak rata. Ligamen-ligamen yang terkena adalah ligamen talofibular anterior, ligamen talofibular posterior, ligamen calcaneocuboideum, ligamen talocalcaneus, dan ligamen calcaneofibular (Kisner dan Colby, 2012) . Menurut World Conferedation for Physical Therapy (WCPT) yang dimaksud dengan disability yaitu ketidakmampuan untuk melakukan aksi, tugas atau aktivitas yang dibutuhkan untuk berperan dalam konteks sosial budaya individu dengan mengikuti kategori kerja dan kemasyarakatan/aktivitas yang berhubungan dengan kesenangan (hobi). Foot and ankle disability yang disebabkan oleh sprain ankle yaitu segala keterbatasan atau ketiadakmampuan sebagai akibat dari kerusakan struktur jaringan lunak untuk melakukan aktivitas sehari-hari, dalam batas-batas yang dianggap “normal” bagi manusia. Sprain ankle kronis akan menimbulkan nyeri, nyeri akibat inflamasi akan meningkat karena kelemahan ligamen sebagai stabilitas pasif (ligamen laxity) dan ketidakseimbangan otot (muscle imbalance) sebagai stabilitas aktif pada ankle
9
10
and foot, sehingga kemampuan untuk menyangga tubuh menurun, hal ini akan menyebabkan ketidakmampuan aktivitas fungsional sehari-hari seperti berdiri, berjalan, aktivitas naik turun tangga, bekerja, melakukan pekerjaan rumah dan halaman, rekreasi dan berolahraga, mengemudi mobil dan motor dan lain-lain. Ketidakmampuan aktivitas tersebut yang didefenisikan sebagai foot and ankle disability (Hale dan Hartel, 2005).
2.1.1 Pemeriksaan Foot and Ankle Disability pada Kasus Sprain Ankle Kronis. Keterbatasan aktivitas fungsional atau foot and ankle disability pada pasien-pasien sprain ankle kronis, sesuai dengan pengukuran yang di cantumkan oleh FADI (Foot/Ankle Disability index). FADI (Foot/Ankle Disability index) bertujuan untuk mengukur intensitas disabilitas pada ankle and foot melalui kuesioner yang berisi aktivitas pasien dengan 26 item pernyataan, terdiri dari: 4 Intensitas nyeri, 22 item aktivitas sehari-hari (Martin et al., 2010). FADI merupakan laporan khusus untuk mengukur disability yang berkaitan dengan kondisi tertentu dan bagian tubuh tertentu dengan langkah – langkah khusus. FADI pertama kali dijelaskan oleh Martin et al., (1999), digunakan menilai aktivitas sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hale dan Hartel (2005) didapatkan hasil rerata µ1 = 87,1, Standar deviasi σ = 12,1 rerata µ2 =
104,52.
Pasien diminta untuk memilih salah satu pernyataan dengan menandai N/A, pada kotak yang di sediakan. Setiap item dalam skala 0 – 4 dan hasil 0 ( mampu melakukan) sampai 4 (tidak mampu melakukan sama sekali) / 4 item rasa
11
sakit dari FADI yang mencetak 0 (tidak ada nyeri) sampai 4 (nyeri tak tertahankan). Para peneliti yang merancang skala ini, melaporkan bahwa pengukuran ini lebih akurat dan valid pada pasien dengan kondisi muskuloskeletal ekstremitas bawah (Hale dan Hartel, 2005).
2.2
Anatomi
2.2.1 Struktur Tulang Ankle and foot Ankle and foot merupakan anggota ekstremitas bawah yang berfungsi sebagai stabilisasi dan penggerak tubuh. Di mana terdiri dari 28 tulang dan paling sedikit 29 sendi, yang mana memiliki fungsi utama sebagai membentuk dasar penyangga, sebagai peredam kejut, dan sebagai penyesuaian mobilitas. Ankle dibentuk oleh ujung distal os. Tibia dan os. Fibula (yang kompleks terdiri dari 3 artikulasi: sendi talocrural, sendi subtalar, dan tibiofibular) yang bersendi langsung dengan: Os. Talus paling atas, Os. Calcaneus paling belakang, Os. Navicularis bagian medial, Os. Cuboideus bagian lateral, Ossa. Cuneiforme bagian medial, middel, lateral, Ossa. Metatarsalia 5 buah, dan Ossa. Phalangeal 14 buah (Bonnel et al.,2010). Pada ankle terdiri atas pengelompokan, diantaranya : a. Fore foot, terdiri dari: Ossa metatarsalia dan Ossa phalangea, pada anterior segmen. b. Mid foot, terdiri dari : Os. Navicularis, Os Cuboid dan Ossa Cuneiforme, pada middle segmen. c. Rear foot, terdiri dari: Os, Talus dan Os Calcaneus (Subtalar joint/Talo calcanel joint), posterior segmen.
12
Gambar 2.1 Ankle and foot joint sebagai stabilisasi pasif Sumber: Atlas anatomi (Atner, 2002)
2.2.2
Persendian kaki
1. Distal Tibio Fibular Joint Distal tibio fibular joint merupakan syndesmosis joint dengan satu kebebasan gerak kecil. Diperkuat anterior dan posterior tibiofibular ligament dan interroseum membran. Arthokinematik dan osteokinematik adalah gerak geser dalam bidang sagital sangat kecil dan gerak angulasi dalam bidang frontal sebagai membuka dan menutup garpu (Kisner dan Colby, 2012). 2. Ankle Joint (Talo Crural Joint)/Rear Foot Talocrural, atau tibiotalar, secara fungsional talocrural joint dapat dianggap sebagai synovial hinge joint, dibentuk oleh cruris (tibia dan fibula) dan os. Talus, maleolus medial, dan maleolus lateral. Gerakan-gerakan yang terjadi fleksi dorsal dan fleksi plantar. Arthrokinematik dan osteokinematiknya adalah gerakan dari posisi netral terdiri dari gerakan bidang sagital 28°- 30°
13
plantar fleksi atau (ROM: 40–500 ) loose –packed position, dorsal fleksi (ROM: 20–300) , close-packed position. Traksi terhadap talus selalu kearah distal. Translasi untuk gerak dorsal fleksi kearah posterior dan gerak plantar fleksi kearah anterior. 1° gerakan melintang (internal rotasi) 9° dan gerakan (rotasi eksternal), dan 4° gerakan bidang frontal (inversi) dan 2° gerak eversi (Kisner dan Colby, 2012) 3. Subtalar Joint (Talo Calcaneal Joint)/Rear Foot Subtalar joint merupakan jenis sendi plan joint, dibentuk oleh os. Talus dan Calcaneus. Arthrokinematik dan osteokinematik adalah gerakan yang terjadi berupa adduksi (valgus) dan abduksi (varus), yang ROM keduanya adalah hard end feel. Semakin besar posisi kaki dalam fleksi plantar, semakin besar kemiringan varusnya. Diperkuat oleh talocalcaneal ligamen. Biomekanik sendi subtalar sangat penting dalam stabilitas pergelangan kaki, terutama gerakan inversi dan eversi dalam upaya untuk menjaga kaki stabil di bawah pusat gravitasi (Kisner dan Colby, 2012) . 4. Midtarsal joint (Mid foot) / Inter Tarsal Joint Midtarsal joint (Mid foot) / Inter Tarsal Joint terdiri dari: a.
Talo calcaneo navicular joint, memiliki cekungan permukaan sendi yang kompleks, termasuk jenis sendi plan joint. Diperkuat oleh plantar calcaneonavicular ligamen.
b.
Calcaneo cuboid joint, merupakan plan joint, bersama talonavicularis membentuk transverse tarsal (mid tarsal joint). Diperkuat ligamen spring,
14
dorsal talo navicular ligamen, bifurcatum ligamen, Calcaneo cuboid ligamen, Plantar calcaneocuboid ligamen. c.
Cuneo navicular joint, navikular bersendi dengan cuneiforme I, II, III , berbentuk konkaf. Cuneiforms bagian plantar berukuran lebih kecil, bersama cuboid membentuk transverse arc. Gerak utama; plantar – dorsal fleksi. Saat plantar fleksi terjadi gerak luncur cuneiform ke plantar.
d.
Cuboideocuneonavicular joint, sendi utamanya adalah cuneiform IIcuboid berupa plan joint. Gerak terpenting adalah inversi dan eversi. Saat inversi cuboid translasi ke plantar medial terhadap cuneiform III.
e.
Intercuneiforms joint, dengan navicular membentuk transverse arc saat inversi-eversi terjadi pengurangan-penambahan arc. Arthrokinematiknya berupa gerak translasi antar os. tarsal Joint.
f.
Cuneiforms I-II-III bersendi dengan metatarsal I-II-III, cuboid bersendi dengan metatarsal IV-V, Metatarsal II ke proximal sehingga bersendi juga dengan Cuneiforms I-III, sehingga
sendi ini paling stabil dan
gerakannya sangat kecil. Arthrokinematiknya berupa traksi gerak Metatrsal ke distal (Barr, 2005). 5. Metatarso phalangeal dan Inter phalangeal Joint (Fore Foot. a. Metatarso phalangeal Joint. Distal metatarsal berbentuk konveks membentuk sendi ovoid-hinge dengan gerak: fleksi-ekstensi dan abduksi-adduksi. Maximally lose pack position (MLPP) = Ekstensi 110, close pack position (CPP ) = full ekstensi. Gerak translasi searah gerak angular, traksi selalu kearah distal searah
15
sumbu longitudinal phalang. Kaki bagian depan berfungsi untuk mobilitas, terutama untuk proses meletakkan kaki saat berjalan. Pada saat berjalan kemungkinan terjadi gerak fleksi dan ekstensi, seperti halnya pada persendian jari kaki (interphalangeal) yang lain. b. Proximal dan Distal Interphalangeal Joint Caput proximal phalang berbentuk konveks dan basis distal phalang berbentuk konkav membentuk sendi hinge. Gerakannya adalah fleksiekstensi. Maximally lose pack position (MLPP) = Fleksi 100, close pack position (CPP) = full ekstensi Gerak translasi searah gerak angular, traksi selalu ke arah distal searah axis sumbu longitudinal phalang.
Gambar 2.2 Persendian kaki kaki Atlas Anatomi Manusia (Sobotta, 2010)
16
2.2.3 Arcus kaki Ada dua arcus, Longitudinal Arc dan Transverse Arc: 1. Longitudinal Arc: merupakan kontinum dari calcaneus dan caput metatarsal. 2. Transverse Arc: bagian proxikmal dibatasi os. Cuboideum, lateral cuneiforme, mid cuneiforme dan medial cuneiforme lebih cekung dan pada bagian distal oleh caput metatarsalia yang lebih datar (Bonnel et al., 2010).
2.2.4 Fascia Ankle and foot terdapat fascia superficialis dorsum pedis yang terletak di bagian distal retinaculum musculorum extensoren inferius. Fascia ini membentuk fascia cruris dan terbentang ke distal masuk ke dalam aponeurosis extensoris jarijari. Pada bagian proksimal melekat pada retinaculum musculorum extensor superior
dan
membentuk
penyilangan
dengan
retinaculum
musculorum
extensorum inferius hanya dapat dilihat pada diseksi perlahan-lahan dan bagian lateralnya crus proksimal sering tidak ada. Disebelah dalam tendon-tendon musculus extensor digitorum longus
yang merupakan lapisan jaringan
penyambung fascia profunda dorsum pedis yang padat, kaku dan juga melekat pada batas-batas kaki (Kisner dan Colby, 2012).
17
2.2.5 Struktur Ligamen Ankle Ligamen merupakan struktur yang elastis dan sebagai stabilisasi pasif pada ankle and foot joint. Ligamen yang sering mengalami cedera yaitu ligament kompleks lateral kaki antara lain: ligamen talofibular anterior yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah plantar fleksi, ligamen talofibular posterior yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inverse, ligamen calcaneocuboideum yang berfunsgsi untuk menahan gerakan kearah plantar fleksi, ligamen talocalcaneus yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi dan ligamen calcaneofibular yang berfungsi untuk menahan gerakan ke arah inversi membuat sendi kaki terkunci pada batas tertentu sehingga tebentuknya stabilitas pada kaki dan ligamen cervical. Selain itu juga terdapat ligamen cuneonavicular plantar, ligamen cuboideonavicular plantar, ligamen intercuneiform plantar, ligamen cuneocuboid plantar dan ligamen interrosea yaitu ligamen
cuneocuboideum
interossum dan ligamen intercuneiform interrosea. Pada ligamen antara tarsal dan metatarsal terdapat ligamen tarsometatarso dorsal, ligamen tarsometatarso plantar dan ligamen cuneometatarsal interrosea. Diantara ossa metatarsal terdapat ligamen metatarsal interrosea dorsal dan plantar yang terletak pada basis metatarsal (Chook dan Hegedus, 2013).
18
Gambar 2.3 Sruktur ligamen sebagai stabilisasi pasif. Sumber: Atlas anatomi (Sobotta, 2010)
2.2.6 Struktur Otot dan Tendon Ankle and foot Otot berperan sebagai penggerak sendi, juga berfungsi sebagai komponen stabilisator aktif yang menjaga integritas sendi dan tulang saat pergerakan. Tendon adalah ujung otot yang melekat ada tulang. fungsinya untuk menghubungkan berbagai organ tubuh seperti otot dengan tulang-tulang, tulang dengan tulang, juga memberikan perlindungan terhadap organ tubuh (2006). M. soleus dan M. gastrocnemius, fungsinya untuk plantar fleksi pedis, otot ini di innevasi oleh N. tibialis L4-L5. fungsinya untuk supinasi (adduksi dan inverse) dan plantar fleksi pedis. M.tibialis anterior dan M.tibialis posterior, otot ini di innevasi
19
oleh N. peroneus (fibularis) profundus L4-L5, fungsinya untuk dorsal fleksi dan supinasi (adduksi dan inverse) pedis. M. peroneus longus dan M. peroneus brevis, merupakan pronator yang paling kuat untuk mencegah terjadinya sprain ankle lateral, otot ini di innervasi oleh N. peroneus (fibularis) superficialis L5-S1. Fungsinya untuk pronasi (abduksi dan eversi) dan plantar fleksi pedis, tidak hanya pada ligamen, jaringan lain seperti tendon dapat mengalami cedera, tendon yang sering mengalami cedera pada ankle sprain adalah tendon peroneus longus dan brevis yang berfungsi terhadap gerakan eversi pada kaki (Farquhar, et al 2013).
Gambar 2.4 Struktur otot dan tendon ankle (atlas anatomi) Sumber: Sobotta (2010)
20
2.3
Patofisiologi Sprain ankle Kronis
2.3.1
Insidensi Menurut hasil penelitian The Electronic Injury National Surveillance
System (NEISS) di Amerika menunjukkan bahwa setengah dari semua keseleo pergelangan kaki (58,3%) terjadi selama kegiatan atletik, dengan basket (41,1%), football (9,3%), dan soccer (7,9%). Hal ini dapat membuktikan bahwa persentase tertinggi sprain ankle adalah selama berolahraga. (Martin, et al 2013). Menurut data skunder yang di peroleh Poliklinik KONI Provinsi DKI Jakarta pada bulan September – Oktober 2012 dengan data sekunder, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh atlet Pelatda PON XVIII/2012 Provinsi DKI. Hasil Penelitian yang diperoleh adalah terdapat kasus cedera sebanyak 85 pada tahun 2009, sebanyak 146 pada tahun 2010, sebanyak 353 pada tahun 2011, dan sebanyak 419 kasus pada tahun 2012. Prevalensi cedera terus meningkat, cedera yang didapati kasus terbanyak adalah sprain ankle (cedera ligamen) sebanyak 41,1 %, bagian tubuh yang mengalami cedera kasus yang terbanyak adalah bagian ekstremitas bawah sebanyak 60% dan yang paling sedikit bagian kepala sebanyak 0,8%. Cedera akut sebanyak 64,4% dan cedera kronis 35,6%. Tempat penanganan kasus cedera , terbanyak dilakukan di KONI DKI Jakarta sebanyak 35,2% dan yang paling sedikit di tangani di Rumah Sakit yaitu sebanyak 8,5% , Setelah cedera sprain ankle maka akan meninggalkan gejala sisa atau cedera ulang antara 55 % sampai 72 %, berasal dari pasien pada 6 minggu sampai 18 bulan, hal ini terjadi karena pasien tidak mencari pengobatan yang professional (Junaidi, 2013).
21
2.3.2
Etiologi Sprain ankle disebabkan trauma inversi yang dapat menimbulkan cedera
ligament kompleks lateral, kadang di ikuti cedera tendon. Faktor – faktor yang mempermudah terjadinya sprain ankle kronis antara lain, faktor intrinsik dan ekstrinsik, faktor ekstrinsik termasuk dalam kesalahan pelatihan, kinerja yang buruk , teknik yang salah dan menapak pada permukaan yang tidak rata, faktor intrinsik termasuk kerusakan jaringan penyangga, ketidakstabilan aktif oleh otototot penggerak foot and ankle (muscle weaknes), poor proprioceptive, hypermobile foot and ankle. Faktor risiko cedera sprain ankle kronis bisa di sebabkan abnormal foot posture yaitu : pes planus dinamis, pes cavus, flat foot ( Kisner dan Colby, 2012). 2.3.2.1 Tanda dan Gejala Sprain ankle terjadinya inflamasi akut, sub akut dan kronis. Sprain ankle kronis setelah pasca cedera 4 sampai 7 hari atau lebih yang di tandai: Memar, bengkak disekitar persendian tulang yang terkena, nyeri bila digerakkan atau diberi
beban,
ketidakstabilan
fungsi
persendian
fungsional,
dan
terganggu, penurunan
kelemahan proprioseptive.
ligamen
atau
Gejala-gejala
menyebabkan ketidakmampuan (foot and ankle disability) yang di tandai terjadinya cedera ulang (Chan, 2011).
2.3.3 Proses Patologi Sprain ankle terjadi adanya cedera berlebihan (overstreching dan hypermobility) atau trauma inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba, ketika sedang berolahraga, aktivitas fisik, saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah
22
yang tidak rata sehingga hal ini akan menyebabkan telapak kaki dalam posisi inversi, menyebabkan struktur ligamen yang akan teregang melampaui panjang fisiologis dan fungsional normal, terjadinya penguluran dan kerobekan pada ligamen kompleks lateral dan ligamen-ligamen yang terkena yaitu: Ligamenligamen yang terkena adalah ligamen talofibular anterior, ligamen talofibular posterior, ligamen calcaneocuboideum, ligamen talocalcaneus, dan ligamen calcaneofibular dan ligamen deltoid yang berfungi sebagai posisi eversi, hal tersebut akan mengakibatkan nyeri pada saat berkontraksi, adanya nyeri tersebut menyebabkan immobilisasi sehingga terjadi penurunan kekuatan otot dan kerterbatasan gerak (Calatayud, et al., 2014). Kerusakan ligamen dapat menyebabkan instabilitas kaki sehingga mudah terjadinya sprain ulang, atau penyembuhan terhambat , gangguan stabilitas hingga ligamen laxity (pasif stability) dan penurunana fungsi neuromuscular (active stability). Trauma penyebab ligament ditandai melebihi elastisitasnya sehingga terjadi kerobekan mikrokopis hingga makrokopis, akibat kerobekan jaringan lunak yang di ikuti proses inflamasi (Fong, 2009). Pada sprain ankle kronis memiliki 3 derajat sesuai tingkat kerusakannya ( Young, 2005) yaitu: 1) Derajat I, ditandai dengan : ligametum teregang tetapi tidak mengalami kerobekan. Pergelangan kaki biasanya tidak terlalu membengkak, nyeri ringan dan sedikit bengkak namun dapat meningkatkan resiko terjadinya cedera berulang.
23
Gambar : 2.5 Derajat I Sprain Ankle. Tanda panah menunjukan ligament yang mengalami teregang. Sumber : www.adam.com (2014) Derajat II, ditandai dengan: sebagian ligamen mengalami kerobekan, pembengkakan dan memar tampak dengan jelas, nyeri hebat (aktualitas tinggi), penurunan fungsi ankle (gangguan berjalan) dan biasanya berjalan menimbulkan nyeri.
Gambar : 2.6. Derajat II Sprain Ankle. Tanda panah menunjukkan ligament mengalami kerobekan sebagian Sumber : www.adam.com (2014) 2) Derajat III, ditandai dengan: ligamen mengalami robekan total, sehingga terjadi pembengkakan dan kadang perdarahan di bawah kulit. Akibatnya pergelangan kaki menjadi tidak stabil dan tidak mampu menahan beban.
24
Gambar : 2.7 Derajat III Sprain Ankle. Tanda panah menunjukkan ligament mengalami kerobekan Sumber : www.adam.com (2014)
2.3.4 Patologi Fungsional Disabilitas Ankle and Foot pada kasus Sprain Ankle kronis Sprain ankle kronis dapat di ikuti ketidakstabilan foot and ankle. Ketidakstabilan foot and ankle di sebabkan oleh 2 potensial yaitu ketidakstabilan mekanik dan ketidakstabilan fungsional, ketidakstabilan ini akan menyebabkan cedera/sprain berulang pada ankle, cedera/sprain berulang terjadi karena adanya ketidakmampuan atau adanya peningkatan foot and ankle disability ( Dale, 2010). 2.3.4.1 Ketidakstabilan Mekanik Ketidakstabilan mekanik terjadi sebagai akibat dari perubahan anatomi setelah awal sprain ankle, yang menyebabkan ketidakstabilan. Ketidakstabilan mekanik dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah mekanisme satu atau lebih sendi yang kompleks pada ankle, termasuk: pathologic laxity (kelemahan
patologis),
gangguan
impingement (Hartel, 2002).
arthrokinematik,
radang
sinovial
dan
25
1. Pathologic Laxity ( kelemahan patologis) Kerusakan ligamen sering menyebabkan kelemahan patologis. Tingkat kelemahan patologis pada ankle, tergantung pada tingkat/derajat kerusakan ligamen pada ligamen lateral. Kelemahan patologis yang paling sering terjadi pada sprain ankle yaitu di talocrural dan subtalar joint (Hartel. 2002). Ketidakstabilan Talocrural disebabkan oleh cedera pada tallofibula
ligament
(ATFL),
(displacement) anterior talus dari
adanya
tingkat
anterio
perubahan/perpindahan
tibiofibular yang dapat dilihat dengan
pemeriksaan anterior drawer test. Cedera pada calcaneofibula ligament (CFL), juga menyebabkan kelemahan patologis dari subtalar, pada kedua ligament tersebut memudahkan terjadinya cedera ulang dan proses penyembuhan jaringan lunak menjadi terhambat (Hartel, 2002). 2. Arthrokinematic Impairments. Ketidakstabilan mekanik arthrokinematik ankle terganggu di salah satu dari 3 sendi kompleks. Individu dengan sprain ankle kronis, terjadi perubahan anatomi fibula distal pada posisi anterior dan inferior. Kesalahan posisi fibula dapat mengakibatkan ketidakstabilan, yang menyebabkan sprain ankle berulang. Hypomobility (berkurangnya gerak), termasuk sebagai penyebab ketidakstabialn mekanik. Arthrokinematik keterbatasan gerak dorso fleksi terjadi setelah sprain ankle akut. Jika sendi talocrural tidak dapat full ROM dorso flexi, sendi tidak akan mencapai closed-pack position selama gerak, oleh karena itu, akan lebih mudah bergerak inverse dan internal rotasi.
26
Keterbatasan dorso fleksi dalam closed kinetic chain biasanya diimbangi dengan peningkatan pronasi subtalar (Hartel, 2002). 3. Synovial Changes (radang sinovial dan impingement). Ketidakstabilan mekanik foot and ankle dapat terjadi karena insufficiencies disebabkan oleh hipertrofi sinovial dan impingement. Inflamasi sinovial dan impingement terjadi di dalam talocrural joint dan posterior subtalar joint kapsul. Pasien dengan inflamasi sinovial sering mengeluh nyeri/sakit. Sprain ankle berulang, dapat disebabkan oleh impingement dan jaringan sinovial hipertrofi antara tulang masing-masing pada foot and ankle kompleks (Hartel. 2002).
2.3.4.2 Ketidakstabilan Fungsional Ketidakstabilan fungsional dapat disebabkan oleh insufficiencies tertentu pada fungsi sensorimotor yang terdiri dari : proprioceptive, kontrol postural, kontrol neuromuskuar, gangguan refleks pada reaksi inversi, rangsangan alpha motor neuron, dan kekuatan otot. Sprain ankle kronis kondisi terjadinya penguluran dan kerobekan pada ligamen kompleks lateral, sehingga terjadi kerusakan pada struktur penyangga stabilitas ankle. Pada otot akan terjadi penurunan motor recruitment otot dan non aktivasi badan golgi sehingga terjadi deficit sensorimotor. Pada kondisi ini maka akan terjadi ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang disebut dengan foot and ankle disability (Bonel, et al. 2010). Foot and ankle disability terjadi adanya penurunan stabilitas ankle (instability). Instability (penurunan stabilitas) terdiri atas dua kelompok yaitu
27
instability aktif dan instability pasif. Instability aktif adalah dimana struktur kontraktil yaitu tendon dan otot tidak mampu mempertahankan posisi MLPP. Instability pasif adalah terjadinya gangguan pada ‘inert structure’ yang terdiri dari tulang, capsul dan ligament dan accessories movement yang melebihi ROM normal. Instability dari suatu sendi dapat dipengaruhi oleh adanya kelemahan otot, kelemahan oleh ligamen yang berfungsi untuk stabilisasi sendi tersebut dan juga terjadinya sensorimotor deficit, sehingga keadaan
ini menyebabkan foot and
ankle disability dimana ankle seperti melayang (Dale, 2006). Ketidakstabilan fungsional disebabkan adanya gangguan keseimbangan pada individu, mechanoreceptors artikular yang rusak mengakibatkan defisit proprioceptive dan gangguan kontrol neuromuskular (Bonnel, et al, 2010).
Gambar 2.8 Proprioception and Neuromuscular Control. CNS (central nervous system) (Hartel, 2002) Gambar 2.8 menjelaskan adanya umpan balik antara sistem somatosensori, sistem saraf pusat, dan α- dan γ-motoneuron system. Ketidakstabilan fungsional dapat di sebabkan adanya deficit sensorimotor yang terdiri dari : 1. Gangguan Proprioceptive dan sensasi (Impaired Proprioception and Sensation ), gangguan ini terjadi karena adanya perubahan dalam aktivitas
28
otot-spindle melalui sistem α- dan γ-motoneuron system, pada otot peroneal dan aktivitas artikular mechanoreceptor pada foot and ankle. 2. Impaired cutaneous sensation (gangguan sensasi kulit) melambatnya sarafkonduksi sebagai indikator umum kelemahan saraf peroneal setelah sprain akle. 3. Impaired Neuromuscular-Firing Patterns (gangguan pola neuromuskulerrekrutmen), adanya gangguan respon refleks otot peroneal pada gerak inversi atau
gangguan
supinasi,
respon
peroneal
terganggu
karena
deficit
proprioceptive, melambatnya kecepatan saraf-konduksi, atau gangguan sentral dalam strategi neuromuskuler-rekruitmen. 4. Impaired Postural Control (gangguan postural control), defisit kontrol postural dapat di lihat dengan single leg standing/ Romberg test berkisar antara 10 sampai 30 detik, berdiri dengan satu kaki di angkat pada anggota tubuh yang terlibat dan kemudian anggota tubuh tidak terlibat, pertama dengan mata terbuka dan kemudian dengan mata tertutup. Penilaian kontrol postural digunakan untuk membedakan antara pergelangan kaki fungsional stabil dan tidak stabil. Defisit postural kontrol terjadi karena kombinasi dari gangguan proprioceptive dan kontrol neuromuskular. Pada saat berdiri dengan satu kaki maka ada perubahan dalam strategi postural kontrol, yang mana gerak pronasi dan supinasi ankle and foot joint berupaya menjaga keseimbangan dari gaya gravitasi. Jika ankle and foot kurang efesien melakukan strategi ini, karena
29
adanya perubahan dalam kontrol saraf pusat ( CNS) akibat disfungsi ankle and foot joint yang di sebabkan terjadinya sprain ankle kronis. 5. Strength Deficits (gangguan kekuatan otot), sprain ankle kronis menyebabkan kelemahan otot, hal ini terjadi akibat kerusakan otot atau atrofi, atau disebabkan oleh gangguan neuromuskuler, yang mana kekuatan gerak pada foot and ankle terganggu/menurun. Jika kekuatan foot and ankle terganggu maka akan menyebabkan aktivitas-aktivitas fungsional terganggu. Foot and ankle disability terjadi akibat dari pathologic ligament kompleks lateral, ketidakstabilan mekanik dan ketidakstbilan fungsional pada sprain ankle kronis (Hartel, 2002).
2.4 Pelatihan proprioceptive dengan Wobble Board 2.4.1 Defenisi Pelatihan propriceptive dengan Wobble Board Papan keseimbangan atau lebih dikenal di dunia fisioterapi dan olahraga wobble board
sebuah alat yang digunakan untuk melatih proprioceptive
ekstremitas atas atau bawah (Kisner dan Colby, 2012). Wobble board exercise adalah sebuah papan keseimbangan yang digunakan untuk pengembalian keseimbangan, rehabilitasi, pencegahan cedera, dan terapi fisik baik secara statik maupun dinamik. Pelatihan ini merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statis, yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board. Prinsip latihan ini ialah meningkatkan fungsi pengontrol keseimbangan tubuh yaitu system informasi sensorik, central processing, dan effector untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Miller, 2011).
30
Afferent proprioceptive melalui mechanoreceptor, dimana proprioseptif berasal dari kepadatan mechanoreceptors di jaringan seperti kapsul sendi, ligamen, tendon , dan muscles. Afferent proprioseptif memungkinkan kontrol neuromuskular tindakan dinamis memberikan kontribusi untuk stabilitas sendi secara keseluruhan. Sprain ankle kronis ditemukan ketidakstabilan dari sendi ankle dan terganggunya feedback proprioceptive. Agar ankle mempunyai kontrol yang baik, saraf dan otot harus berfungsi secara sinergis. Jika terjadi kekurangan disalah satunya maka akan timbul ketidakstabilan (Miller, 2011). Proprioceptive adalah suatu kemampuan untuk menyadari suatu posisi keberadaan anggota tubuh dan posisi persendian. Pada sprain ankle kronik terjadinya penurunan dari pada fungsi proprioceptive. Pelatihan dengan wobble board mengambalikan fungsi dari proprioceptive melalui serabut saraf afferen akan membawa respon ke sistem saraf pusat (SSP) yang berperan untuk mempertahankan keseimbangan tubuh tetap dengan posisi stabil (Sherwood, 2009). Empat jenis utama dari mechanoreceptors yang membantu dalam proprioception yaitu, termasuk reseptor Ruffini, reseptor Pacinian, Golgi-tendonorgan (GTO), dan muscle spindle. Ruffini dan Pacinian reseptor berhubungan dengan sensasi sentuhan dan tekanan pada umumnya terletak di kulit. Reseptor Ruffini dianggap sebagai reseptor
statis dan dinamis berdasarkan ambang
rendahnya, reseptor ini lambat-mengadaptasi karakteristik. Melalui perubahan impuls tekanan terjadi perubahan tarik statis dan dinamis pada kulit dan sangat
31
sensitif terhadap peregangan . Reseptor Pacinian, agak cepat beradaptasi, namun reseptor dengan ambang batas rendah yang dianggap reseptor lebih dinamis . Sementara juga sensor tekanan, reseptor Pacinian mendeteksi tekanan berat dan mengenali perubahan percepatan dan perlambatan gerak. Golgi tendon Organ dan muscle spindle mempunyai yang lebih besar untuk mengetahui posisi sendi selama gerak. Pertama GTOs berada di persimpangan musculotendinous dan bertanggung jawab untuk memantau kekuatan kontraksi otot untuk mencegah otot dari kelebihan beban. Terhubung ke satu set serat otot dan diinervasi oleh neuron sensorik, GTOs memiliki ambang batas yang tinggi dan dirangsang oleh ketegangan otot yang meningkat (Sherwood, 2009) Proprioseptive dibagi dalam empat tipe. Tipe pertama merupakan suatu reseptor yang peka terhadap rangsangan yang bertindak sebagai Lowthreshold, yang secara perlahan mengadaptasikan respon mekanoreseptor untuk merubah tekanan mekanik. Reseptor-reseptor ini aktif dalam segala posisi sendi, bahkan ketika sendi tidak bergerak. Rangsangan dari reseptor berubah-ubah tergantung dari pergerakan sendi. Tipe kedua merupakan suatu reseptor yang peka terhadap rangsangan yang bertindak
sebagai
Lowthreshold,
yang
dengan
cepat
mengadaptasikan
mekanoreseptor. Reseptor tipe ini tidak aktif apabila sendi tidak bergerak dan menjadi aktif dengan periode yang singkat, hanya pada awal gerakan untuk memberikan signal pada aselerasi sendi.
32
Tipe ketiga merupakan suatu reseptor yang peka terhadap proprioceptive adalah suatu kemampuan untuk menyadari suatu posisi rangsangan yang bertindak sebagai
high-threshold,
yang
secara
perlahan
mengadaptasikan
respon
mekanoreseptor. Reseptor tipe ini tidak aktif apabila sendi tidak bergerak dan hanya aktif ketika terjadi pergerakan yang ekstrim dari sendi (Sherwood, 2009). Tipe empat adalah reseptor yang tidak aktif dalam keadaan normal, tetapi akan menjadi aktif ketika ketika diperlukan untuk menandai kelainan bentuk dan tegangan mekanik, atau sebagai respon dari beban mekanik langsung dan iritasi akibat bahan kimia. Dengan latihan menggunakan wobble board diharapakan dapat mengambalikan fungsi propioceptive yang telah mengalami kerusakan. Pemeliharaan dan perbaikan neuromuskuler yang rusak diperlukan pelatihan keseimbangan dengan wobble board dan pelatihan ini merupakan salah satu program dalam strategi menurunkan foot and ankle disability dan pencegahan terjadinya sprain ankle berulang (Miller, 2011). Tujuan dari pelatihan propriocepitve dengan wobble board adalah : 1) Mengambalikan fungsi proprioceptive. 2) Meningkatkan stabilitas dan keseimbangan. 3) Mempertahankan kekuatan otot. 4) Memelihara sistem sirkulasi.
2.4.2
Penerapan/ teknik aplikasi pelatihan proprioceptive dengan wobble board. Tehnik latihan dengan wobble board. Dalam latihan menggunakan wobble
board terdapat beberapa cara, diantaranya adalah :
33
1. Side-to-side Edge Taps Latihan ini dilakukan dengan cara meletakan kaki yang sakit cepat ditengah wobble board. Lalu setelah berdiri dengan stabil diatas wobble board dengan pelan-pelan gerakan wobble board kearah sisi kiri dan kanan (diawali dengan serong kiri, serong kanan, kekiri, kekanan, dan begitu seterusnya). Latihan ini dilakukan selama satu menit.
Gambar 2.9: Side-to-side Edge Taps Sumber : Pribadi Tanggal Pengambilan : 26 Januari 2015
2. Front-to-back Edge Taps Latihan ini mirip dengan latihan diatas, tapi pada latihan ini wobble board digerakan kearah depan dan belakang wobble board menyentuh lantai. Latihan ini dilakukan selama satu menit.
34
Gambar 2.10 : Front-to-back Edge Taps Sumber : Pribadi Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015 3. Edge Circles Pada latihan ini dilakukan dengan cara menempatkan kaki yang sakit di tengah-tengah wobble board, lalu tempelkan sisi wobble board kelantai setelah itu lakukan gerakan memutar searah jarum jam dengan sisi wobble board tetap mnyentuh lantai. Lakukan gerakan ini secara perlahan-lahan dan tidak berhanti selama satu menit.
Gambar 2.11 : Edge Circles Sumber : Pribadi Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
35
4. Counter-Clockwise Edge Circles Latihan ini sama dengan latihan edge circles, tapi pada latihan ini putarannya berlawanan dengan arah jarum jam.
Gambar 2.12 : Counter-Clockwise Edge Circles Sumber : Pribadi Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
5. Latihan Berdiri Static a. Berdiri diatas wobble board b. Menggunakan satu kaki c. Tahan agar tetap statis selama 1 menit
36
Gambar 2.13 : Latihan Berdiri Static Sumber : Pribadi Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
6. Latihan Partial Squat a. Berdiri diatas papan keseimbangan b. Menggunakan satu kaki atau dua kaki c. Lakukan partial squat 30-45 derajat d. Tahan agar tetap statis selama 1 menit
37
Gambar 2.14 : Latihan Partial Squat Sumber : Pribadi Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
Berikut adalah langkah yang digunakan untuk penerapan latihan wobble board di antaranya 1)
Berikan penjelasan kepada pasien apa yang akan dilakukan dan tujuan menggunakan wobble board.
2)
Lalu pasien diminta untuk berdiri dengan satu kaki posisi lutut semifleksi diatas wobble board dan diusahakan jangan sampai jatuh atau menggunakan dua kaki, selama 1 menit.
3)
Kemudian terapis menggunakan alat stopwatch untuk mengukur lamanya pasien mempertahankan keseimbangannya.
38
4)
Jika pasien jatuh atau menggunakan kedua kakinya, maka stopwatch diberhentikan dan waktunya dicatat oleh terapis sebagai evaluasi untuk setiap latihan.
5) Latihan ini dilakukan 3 set satu macam tehnik dan setiap set diselingi istirahat selama 30 detik dengan intensitas mudah, dan dilakukan tiga kali seminggu. 6) Dosis 1) Frekuensi : 3 x seminggu 2) Intensitas : 1 set, x 3 set 3) Time : 1 Menit 4) rest : 30 detik
2.4.3
Komponen Bahan Wobble Board Wobble board adalah papan yang berbentuk lingkaran terbuat dari kayu
yang berwarna coklat muda, dan magnet yang melekat yang ada dibawah wobble board. Wobble board merupakan salah satu alat yang di desain secara modern beralas kasar yang berwarna hitam yang melekat pada bagian atasnya.
Gambar 2.15 wobble bord Sumber : www.sporstinjuryclinic.net 2.4.4
Mekanisme pelatihan propriaceptive dengan wobble board terhadap foot and ankle disability Pemberian pelatihan proprioceptive dengan wobble board secara intensif
akan meningkatkan tingkat keseimbangan dan kestabilan kaki karena berefek
39
langsung
pada
sistem
musculoskeletal
dan
neuromuskuler.
Pelatihan
proprioceptive dengan wobble board merupakan latihan pada permukaan yang tidak stabil yang dapat merangsang mechanoresptor sehingga mengaktifkan joint sense atau dikenal dengan istilah rasa pada sendi. Joint sense ini sangat berpengaruh terhadap jaringan disekitar kaki yaitu serabut intrafusal (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) sebab rangsangan yang diterima oleh neuromuscular junction akan mengaktivasi serabut myofibril memerintahkan otot untuk berkontraksi sesuai kebutuhan, disamping itu joint sense akan membagi tekanan sama rata keseluruh area sehingga menginhibisi serabut ekstrafusal untuk mengendalikan tonus otot (Sherwood, 2009). Pelatihan proprioceptive dengan wobble board merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statis yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board. Prinsip dari latihan ini ialah meningkatkan fungsi dari pengontrol keseimbangan tubuh yaitu system informasi sensorik, central processing, dan effector untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Saat latihan berlangsung rangsangan yang diterima serabut intrafusal dan ekstrafusal memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan diolah di otak untuk diproses sehingga dapat menentukan seberapa besar kontraksi otot yang dapat diberikan. Sebagian respon yang dikirim kembali ke ekstrafusal akan mengaktivasi golgi tendon kemudian akan terjadi perbaikan koordinasi serabut intrafusal (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) dengan saraf afferent yang ada di muscle spindle sehingga terbentuklah proprioceptive yang baik. Rasio dibalik
40
permukaan yang tidak stabil mengungkapkan bahwa stimulasi yang tidak konsisten akibat ketidakstabilan permukaan yang diterima oleh otot dan sendi berpengaruh sangat cepat terhadap penangkapan informasi sensoris dan lebih efisien diproses di sistem saraf pusat (Sherwood, 2009). Efek pelatihan proprioceptive dengan wobble board akan didapat, selama latihan rutin yaitu timbulnya adaptive system merupakan kemampuan tubuh menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga perubahan area secara cepat dapat diantisipasi oleh oleh otot yang bekerja secara sinergis akibat dari telah menerimanya cukup informasi proprioceptive selama latihan di permukaan yang tidak stabil. Adaptive system dapat terbentuk dengan baik jika latihan dilakukan secara berulang-ulang untuk meningkatkan koordinasi antara sistem muskuloskeletal dengan reseptor agar dapat menerima impuls dari lingkungan semakin baik. Hal ini dilakukan oleh karena pengulangan yang dilakukan akan meningkatkan kemampuan otak untuk merekam perubahan – perubahan yang ada sehingga tercipta respon sensorimotor yang lebih efisien untuk dikirim ke effektor. Jika kekuatan dan fleksibilitas otot, sendi dan ligamen baik maka dapat dihasilkan respon motorik yang tepat dan benar. Adanya input sensoris (proprioceptive) yang cukup dan diproses di sistem saraf pusat secara tepat membuat sistem adaptive muskuloskelatal yang baik pada akhirnya memberikan peningkatan stabilitas kaki yang dapat menurunkan foot and ankle disability (Miller, 2011).
41
2.5
Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karete elastic resistance Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance yang
bertujuan untuk mempertahankan massa otot, merehabilitasi dan memulihkan otot dan fungsi tubuh, meningkatkan kekuatan dinamik, meningkatkan stabilitas, endurance dan power otot dengan menggunakan tahanan yang berasal dari external force (Wess 2006). Karet elastic resistance merupakan karet berwarna dengan merek theraband salah satu produk terkemuka di dunia. Secara progresif produk thera-band memiliki ketahanan elastisitas dan fleksibilitas yang cukup tinggi untuk rehabilitasi secara professional pada pelatihan para atlit. Hal ini dikarenakan karet elastic resistance dapat di gunakan secara mandiri. Untuk latihan harus di sesuaikan dengan warna karet yang berdasarkan berat karet dan kekuatan otot. Karet elastic resistance dengan merek thera-band diproduksi dan dikembangkan oleh the hygienic corporation pada tahun 1978 dan sejak memperoleh reputasi internasional dengan terapis, serta pelatih olah raga untuk kualitas dan efektivitas latihan yang di dukung oleh American Physical Therapy Association (APTA). Karet elastic resistance dengan merek thera-band tersedia melalui jaringan internasional, rehabilitasi, latihan dan distributor produk olah raga, dokter dan melalui outlet ritel online. Dalam latihan penguatan otot ada berbagai macam jenis karet elastic resistance diantaranya :
42
Gambar 2.16: System of Progressive Resistancee Sumber : http://www.isokineticsinc.com/product Intensitas yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan repetisi maksimal (RM), yaitu beban maksimal yang dapat dilakukan/diangkat selama satu kali gerakan atau kontraksi. Repetisi untuk meningkatkan kekuatan otot repetisi yang harus diberikan adalah 60% sampai 100% dari 1 RM. Latihan isotonik adalah suatu bentuk latihan dimana adanya kontraksi otot dengan beban konstant dari awal sampai akhir gerakan. Latihan isotonik bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dinamik, endurance otot dan power sehingga dapat meningkatkan tekanan intramuskuler dan menyebabkan meningkatakan aliran darah, mencegah peradangan, dan peningkatan kelenturan jaringan yang dapat menurunkan nyeri (Sherwood, 2009).
43
2.5.1
Prosedur penerapan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance pada sprain ankle kronis.
1. Teknik Aplikasi a. Sebelum dilakukan latihan pasien terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang cara melakukan latihan strengthening dengan karet elastic resistance. b. Selanjutnya posisikan pasien dalam posisi duduk rileks di bed dengan posisi tungkai lurus. c. Kemudian terapis berdiri di samping pasien. Lalu terapis mengintruksikan pada pasien untuk melawan tahanan karet elastic resisteanc kearah atasbawah (dorsal fleksi-plantar fleksi), medial-lateral (inverse-eversi) yang diikuti dengan rilaksasi. 2. Dosis a. Frekuensi
: 3x seminggu
b. Intensitas
: 3 set latihan
c. Time
: 30 menit
d. Repetisi
: 10 kali
e. Rest
: 30 detik 1set latihan
3. Tehnik Latihan penguatan otot dengan karet elastic resistance. a. Gerakan ankle ke dorsal dan tahanan dengan karet elastic resistantce ke plantar fleksi, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah dorsal fleksi.
44
Gambar 2.17 : Dorsal Fleksi vs Karet Elastic Resistancee (Left Ankle) (Sumber :Dokumen Pribadi) Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
b. Gerakan ankle ke plantar fleksi dan tahanan karet elastic resistantce ke dorsal fleksi, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistantce pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah plantar fleksi.
Gambar 2.18 : plantar fleksi vs. karet elastic Resistancee (Left Ankle) (Sumber :Dokumen Pribadi) Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
45
c. Gerakan ankle inversi dan tahanan karet elastic resistance eversi , posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah inverse.
Gambar 2.19 : Ankle Iversion vs. karet elastic Resistancee (Left Ankle) (Sumber :Dokumen Pribadi) Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015 d. Gerakan ankle eversi dan tahanan karet elastic resistance inverse, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistantce pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah eversi.
Gambar 2.20 : Ankle Eversion vs. Resistance Band (Left Ankle) (Sumber :Dokumen Pribadi), Tanggal Pengambilan : 25 Januari 2015
46
2.5.2 Mekanisme pelatihan penguatan otot ankle dengan
karet elastic
resistance terhadap foot and ankle disability. Penerapan latihan penguatan otot dapat membantu melindungi serta memperbaiki
problem
yang muncul akibat
sprain
ankle kronis
yang
mengakibatkan foot and ankle disability. Instabilitas akan bertambah dengan munculnya kelemahan otot. Otot-otot penggerak kaki dan pergelangan kaki (foot and ankle) merupakan komponen yang penting dalam membantu menstabilisir persendian, sedang kelemahan otot dapat mengakibatkan semakin parahnya cedera (Kisner dan Colby, 2012). Pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance, dalam bentuk isotonic dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang di sebabkan kerusakan ligament lateral kompleks. Terjadinya ketidakmampuan (foot and ankle disability) akibat dari munculnya kelemahan otot penggerak foot and ankle dapat menyebabkan cedera ulang yang lebih berat ( Driscol dan Delahunt, 2011). Pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance bertujuan untuk mengaktifkan otot-otot stabilator aktif pada ankle and foot, sehingga kekutan otot dapat meningkat, mencegah peradangan, akan meningkatkan peredaran darah pada persendian dan nutrisi tulang sehingga peyembuhan tidak terhambat dan resiko sprain ulang dapat terhindar (Miller, 2011). Pelatihan penguatan dengan karet elastic resistance akan meningkatkan kekuatan otot terutama otot tonik, tipe I (slow twitch) yang berfungsi sebagai stabilisator yaitu m.gastrocnemius, m.tibialis anterior, m.peroneus longus
47
sedangkan otot-otot phasik, tipe II (fast twitch) yaitu m.soleus, m.tibialis posterior, dan peroneus brevis (Sherwood, 2009). Peningkatan kekuatan otot didapatkan dengan pelatihan secara kontinue sehingga kekuatan otot tonik dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh darah kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan terjadinnya penambahan recuitment motor unit pada otot yang akan mengaktifasi badan golgi sehingga otot akan bekerja secara optimal. Dengan meningkatnya kekuatan otot ini maka ankle akan lebih stabil dan menurunkan foot and ankle disability yaitu mampu melakukan kegiatan dan aktivitas sehari-hari (Sherwood, 2009).
48
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir Sprain ankle kronis di sebabkan trauma inversi dan plantar fleksi ankle yang tiba-tiba pada ligamen lateral kompleks, kadang diikuti cedera tendon. Kerusakan
ligamen
dapat
menyebabkan
penurunan
gerakan
dan
instabilitas, sehingga mudah terjadinya sprain ulang dan inflamasi ulang, penumpukan serabut kolagen, timbul jaringan fibrous, menyebabkan elastisitas jaringan menurun, penyembuhan terhambat. Jika kondisi ini berlangsung lama gangguan stabilitas hingga ligament laxity (pasif stability) dan penurunan fungsi neuromuscular (active stability). Pada otot akan terjadi penurunan motor recruitment otot dan non aktivasi badan golgi sehingga terjadi deficit sensorimotor, sedangkan pada ligament merusak
mekanoreseptor, yang
mengakibatkan penurunan proprioceptive. Proprioceptive yamg meenurun akan diikuti penurunan refleks pada ankle. Berdasarkan factor-faktor di atas maka akan menyebabkan nyeri dan gangguan aktivitas sehari-hari seperti berdiri, berjalan, aktivitas naik dan turun tangga, bekerja, pekerjaan rumah dan halaman, rekreasi dan olah raga. Ganggugangguan aktivitas tersebut dinamakan dengan Foot and ankle disability. Foot and ankle disability merupakan ketidakmampuan untuk melakukan aksi, tugas atau aktivitas yang dibutuhkan untuk berperan dalam konteks sosial budaya individu dengan mengikuti kategori kerja dan kemasyarakatan/aktivitas
48
49
yang berhubungan dengan kesenangan (hobi) Pemilihan intervensi yang tepat sesuai dengan aktualitas dan stadium penyakit, kedalaman jaringan, dan patologi jaringan sangat diperlukan. Foot and ankle disability pada sprain ankle kronis dapat diturunkan dengan latihan menggunakan wooble board exercise dan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance, karena pada saat latihan akan membuat otot-otot berkontraksi dan ligament terstimulasi. Pemberian wooble board exercise meningkatkan recruitment motor unit yang akan mengaktivasi golgi tendon dan memperbaiki koordinasi serabut intrafusal dan serabut ekstrafusal dengan saraf afferen yang ada di muscle spindle sehingga dapat merangsang proprioseptive untuk bekerja. Dengan kembalinya fungsi dari proprioseptive maka sendi akan dapat stabil, maka nyeri akan dapat berkurang. Dengan berkurangnya nyeri akan menimbulkan peningkatan kemampuan menyangga beban tubuh sehingga meningkatkan kemampuan fungsional yang akan menurunkan foot and ankle disability. Pelatihan penguatan otot menggunakan karet elastic resistance, dalam bentuk isotonic dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang di sebabkan kerusakan ligamen lateral kompleks. Peningkatan kekuatan otot didapatkan dengan pelatihan secara continue sehingga kekuatan otot tonik dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh darah kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan
terjadinnya penambahan
recuitment motor unit pada otot yang akan mengaktifasi badan golgi sehingga otot akan bekerja secara optimal. Dengan meningkatnya kekuatan otot ini maka ankle
50
akan lebih stabil dan menurunkan foot and ankle disability yaitu mampu melakukan kegiatan dan aktivitas sehari-hari. Penelitian ini untuk membuktikan manfaat pelatihan proprioceptive dengan wobble board sama baiknya dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.
51
3.2 Konsep Penelitian
Cedera Olah Raga
Ankle and foot hypermobile
Poor proprioceptive
Muscle weaknes
Trauma/ Injury Sprain ankle Kronis
Ligamen iiii
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Overstretch Microtear /macrotear Inflamasi kronis Penumpukan kolagen Ligament laxity Stabilitas menurun
Otot
Saraf
1. Spasme , Nyeri 2. Recruitment motorik menurun 3. Kekuatan otot menurun 4. Tonus otot menurun 5. Stabilitas menurun
1. 2.
sirkulasi
Proprioceptive menurun Reflex menurun
1.Sirkulasi terganggu 2. Nutrisi dan O2 menurun. 3. Penumpukan zat sisa metabolismse
Foot and ankle Disability
Pelatihan proprioceptive menggunakan wobble Board 1. Meningkatkan refleks propioceptive 2. Meningkatkan keseimbangan 3. Meningkatkan stabilitas
Penurunan Foot and ankle Disability Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Pelatihan Penguatan Otot menggunakan karet Elastic Resistance 1. Meningkatkan kekuatan otot dan tonus 2. Meningkatkan recruitment motor unit
52
3.3 Hipotesis 1. Pelatihan proprioceptive menggunakan wooble board dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis. 2. Pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis. 3. Pelatihan proprioceptive menggunakan wooble board berbeda dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis.
53
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental, untuk melihat perbedaan pemberian antara wobble board exercise dengan pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis. Kelompok Perlakuan pertama wobble board exercise dan Kelompok II yaitu pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance. Pengukuran FADI dilakukan pada saat sebelum dan sesudah perlakuan dengan rancangan pre test and post test group design. Adapun bentuk rancangan penelitian ini dapat digambarkan dengan pola sebagai berikut : P1 O1
P
R S
O2
RA P2 O3
Gambar 4.1 : Rancangan Penelitian Keterangan : P
: Populasi
S
: Sampel
R
: Random
RA : Random Alokasi 53
O4
54
O1 : Hasil pengukuran foot and ankle disability index (FADI) pada kelompok I sebelum diberikan pelatihan propioceptive dengan wobble board. P1 : Perlakuan pada kelompok I (pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board dengan dosis seminggu 3 kali, 3 set, I set selama 1 menit dalam 6 minggu. O2 : Hasil pengukuran foot and ankle disability index (FADI) pada kelompok I sesudah diberikan pelatihan propioceptive dengan wobble board. O3 : Hasil pengukuran foot and ankle disabilityindex (FADI) pada kelompok II (kontrol) sebelum diberikan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance. P2 : Perlakuan pada kelompok II pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance dengan dosis seminggu 3 kali , 3 set, selama 30 menit dalam 6 minggu. O4 : Hasil pengukuran foot and ankle disability index (FADI) pada kelompok II sesudah diberikan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Klinik Fisioterapi Apotik Ubekko Pekan Baru. Penelitian ini akan dilaksanakan mulai Maret 2015 hingga Mei 2015.
4.3 Penentuan Sumber Data Penentuan sumber data dimulai dari menentukan populasi target yang akan diteliti, kemudian didapat populasi terjangkau, menentukan sampelnya, kriteria eligibilitas, besaran sampel dan teknik pengambilan sampel.
55
4.3.1 Populasi target Dalam penelitian ini populasi target adalah penderita sprain ankle kronis yang memenuhi kriteria dalam penelitian.
4.3.2 Populasi terjangkau Populasi terjangkau dalam penelitian adalah penderita sprain ankle kronis yang dapat mengikuti program ke klinik Fisioterapi Apotik Ubekko, Pekan Baru selama waktu penelitian.
4.3.3 Sampel Sampel dalam penelitian adalah jumlah sampel yang diambil dari populasi terjangkau, sampel dikumpulkan, secara konsekutif, sampai jumlah sampel minimal (20 orang dipenuhi), sampel di kelompokkan dengan cara diberikan kode A,B dan seterusnya. Kelompok dengan kode A menjadi kelompok I pelatihan proprioceptive dengan wobble board, sedangkan kode B Kelompok II pelatihan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.
56
Tabel 4.1 Pemeriksaan Fisioterapi untuk Diagnosa Sprain Ankle Kronis No Assesment
Fokus assessment
1
Nama,Umur, pekerjaan, alamat, keluhan utama, riwayat penyakit.
Anamnesis
Hasil a. Rasa nyeri pada ankle bagian lateral. b. Terdapat riwayat trauma pada ankle dan terjadi berulang-ulang.
2
Inspeksi
Tanda-tanda inflamasi
Tampak adanya oedema.
3
Quicktest/Tes cepat
Secara aktif melakukan gerak plantar fleksi dan dorsal fleksi, eversi dan inversi dalam posisi berdiri.
Terdapat keluhan pada gerak inversi berupa nyeri pada ankle.
4
Ottawa Ankle Rules
Palpasi medial dan lateral malleolus hingga 6 cm ke proksimal. Basis metatarsal 5.T uberositas navicular
Untuk mengetahui adanya fraktur sebelum di lakukan X-ray. Nyeri pada tulang saat kompresi. Ketidakmampuan untuk menahan berat badan segera setelah cedera.
5
Anterior posterior drawer test
Untuk mengetahui kemungkinan laxity ligament tallocruralaris
Ukuran instabilitas
57
4.3.4 Kriteria Eligibilitas Kriteria
eligibilitas
adalah
kriteria
pemilihan
yang
membatasi
karakteristik populasi terjangkau, yaitu: Kriteria inklusi, kriteria ekslusi dan kriteria drop out. 1. Kriteria Penerimaan (inklusi) a. Pasien laki-laki atau wanita yang memenuhi kriteria pemeriksaan fisioterapi dan rujukan dari dokter yaitu menunjukkan kondisi sprain ankle. b. Pasien berusia 17- 40 tahun. c. Pasien yang bersedia ikut dalam penelitian, dengan perlakuan sebanyak 18 kali selama 6 minggu. 2. Kriteria Penolakan (eksklusi) a. Pasien mengalami frakur pada daerah ankle and foot b. Pasca operasi pada bagian ankle. c. Memiliki penyakit jantung (gangguan kardiovaskuler) 3. Kriteria drop out a. Pasien yang tidak sampai menjalani terapi sebanyak 18 kali selama 6 minggu. b. Pasien datang tidak teratur.
58
4.3.5 Besaran Sampel Rumus Pocock Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan
rumus
(Pocock, 2008). Rumus :
(
)
(
)
Keterangan : n = Jumlah Sampel
= Simpang baku = Tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05) Interval kepercayaan (1 ) 0,95 = Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20) Tingkat kekuatan uji / power of test 0.80 ( , ) = Interval kepercayaan 7,9
1 2
= Rerata nilai pada kelompok kontrol = Rerata nilai pada kelompok perlakuan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hale dan Hartel
tahun 2005 didapatkan hasil rerata ,1 = 87,1, Standar deviasi = 12,1 rerata
2
= 104,52, dengan demikian dapat dihitung sebagai
berikut : (
)
(
) (
)
59
Maka jumlah sampel dalam penelitian ini dibulatkan jadi 8 orang pada setiap kelompok, untuk menghindari kemungkinan drop out sample ditambah 20 %, yang berarti jumlah sample 10 orang dalam satu kelompok maka total semua sampel berjumlah 20 orang pada dua kelompok.
4.4 Variabel Penelitian Variabel penelitian yang telah di teliti dijalaskan pada indentifikasi, klafikasi dan defenisi operasional varibel sebagai berikut: 4.4.1 Identifikasi Variabel Dan Klafisikasi Variable 1. Variabel independen (variabel bebas) a. Pelatihan proprioceptive dengan wobble board b. Pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance. 2. Variabel dependen (variabel terikat) Foot and ankle disability pada Sprain ankle kronis.
4.5 Definisi Operasional Variabel Yang termasuk di dalam defenisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah: 4.5.1 Sprain Ankle Kronis Sprain ankle kronis adalah cedera pada ligamen kompleks lateral yang berlangsung lebih dari 7 hari. 4.5.2 Foot and Ankle Disability Index Foot and ankle Disability Index merupakan FADI skala yang dirancang untuk semua pasien dengan foot and ankle disability, Informasi pasien di catat
60
mengenai rasa nyeri, keterbatasan, dan aktivitas fungsional sehari-hari. FADI dengan 24 item pernyatan, 4 item mengukur itentesitas nyeri dan 22 item mengukur pengaruh nyeri terhadap aktifitas fungsional sehari-hari yaitu Pasien di minta untuk memilih salah satu pernyataan dengan memberikan tanda N/A pada kotak yang di sediakan.Setiap item dalam skala 0 – 4 dan hasil 0 ( mampu melakukan) sampai 4 (tidak mampu melakukan sama sekali) / 4 item rasa nyeri dari FADI yang mencetak 0 (tidak ada nyeri) sampai 4 ( nyeri tak tertahankan).
4.5.3 Pelatihan Proprioceptive dengan Wobble Board Pelatihan proprioceptive dengan wobble board
merupakan latihan
stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statis yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board. Prinsip latihan ini ialah meningkatkan fungsi pengontrol keseimbangan tubuh. Latihan stabilisasi dengan menggunakan wobble board, posisi pasien berdiri dengan satu atau kedua kakinya dan posisi badan tersebut. Pelatihan proprioceptive dengan wobble board di lakuakan dengan frekuensi latihan 3 kali seminggu dengan interval 1 hari, selama 6 minggu,
6
jenis
pelatihan : 1) Side-to-side Edge Taps, 2) Front Side-to-side Edge Taps, 3) Front-to-back Edge Taps, 4) Edge Circles. 5) Latihan Berdiri Statik, 6) Latihan Partial Squat. Dosis latihan disesuaikan dengan kemampuan pasien dan dilakukan secara bertahap seperti tercantum di bawah ini:
61
Dosis latihan: Minggu 1, 1 set, dilakukan selama 15 detik Minggu 2 -3 , 1 set, dilakukan 30 detik Minggu 4
1 set, dilakukan 45 detik
Minggu 5- 6, 1 set, dilakukan selama 1 menit Dosis yang di tetapkan: 1) Frekuensi
: 3x seminggu
2) Intensitas
: 1 jenis latihan , 3 set.
3) Time
: 1 menit
4) rest
: 30 detik setiap 1 set latihan
4.5.4 Pelatihan Penguatan Otot Ankle dengan Karet Elastic Resistance. Pelatihan penguatan otot ankle pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance yang bertujuan untuk mempertahankan massa otot, merehabilitasi dan memulihkan otot dan fungsi tubuh, meningkatkan kekuatan dinamis, meningkatkan stabilitas, dengan menggunakan tahanan yang berasal dari external force. Adapun latihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance: 1. Gerakan ankle ke dorsal dan tahanan dengan karet elastic resistantce ke plantar fleksi. 2. Gerakan ankle ke plantar fleksi dan tahanan karet elastic resistantce ke dorsal fleksi. 3. Gerakan ankle inversi dan tahanan karet elastic resistance eversi. 4. Gerakan ankle eversi dan tahanan karet elastic resistance inverse.
62
Dosis Latihan: a. Frekuensi
: 3x seminggu
b. Intensitas
: 3 set latihan
c. Time
: 30 menit
d. Repetisi
: 10 kali
4.6 Instrumen Penelitian Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: 4.6.1 Alat atau Instrument Pengambilan Data. Alat atau instrument yang dipakai dalam pengambilan data dalam penelitian ini adalah: 1. Formulir data sampel dan formulir pemerikasaan berupa kuesioner awal terdiri dari identitas diri (nama, umur, pendidikan,dan pekerjaan), dan diagnose. Formulir informasi untuk sampel dan surat kesediaan untuk mengikuti penelitian (informed consent). 2. Formulir mengenai evaluasi latihan, keluhan yang terjadi selama latihan. 3. Petunjuk pelaksanaan
wobble board exercise dan latihan penguatan otot
dengan karet elastic resistanc. 4. Tensi meter untuk mengukur tekanan darah. 5. Timbangan berat badan. 6. Pengukur tinggi badan 7. Arloji untuk mengukur denyut nadi.
63
8. Stopwatch untuk mengukur dan evaluasi pada wobble board exercise 9. Karet elastic resistance (produk thera-band) untuk latihan penguatan otot penggerak kaki 10. FADI adalah kuisioner untuk menilai penurunan foot and ankle disability pada sprain ankle kronis. Pernyataan-pernyataan yang di rancang FADI lebih dijelaskan dalam lampiran.
4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Persiapan Sumber Daya Manusia 1)
Peneliti mengumpulkan pasien yang menderita sprain ankle kronis dari rujukan dokter dan pemeriksaan fisioterapi.
2)
Peneliti mendapatkan persetujuan pasien
3)
Peneliti memberikan penjelasan tentang pemberian wobble board exercise dan latihan penguatan otot dengan karet elastic resistance.
4)
Peneliti menanyakan apakah subyek bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian selanjutnya dan menjelaskan jalannya penelitian.
5)
Subjek yang bersedia berpartisipasi mendatangani persetujuan tindakan terapi (informed consent).
4.7.2 Persiapan Sarana dan Prasarana 1. Mempersiapkan ruang/tempat untuk administrasi dan pelaksanaan kegiatan pelatihan 2. Mempersiapkan alat-alat penunjang kegiatan administrasi dan alat-alat keperluan pelatihan. 3. Mempersiapkan konsumsi
64
4.7.3 Prosedur Pelaksanaan Pelatihan 4.7.3.1 Kelompok I 1. Wawancara: peneliti mencatat identitas sampel meliputi
nama,umur,
pekerjaan, pendidikan dalam kartu identitas diri sampel. 2. Melakukan pemeriksaan tentang kondisi sampel termasuk tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, dan suhu tubuh, berat badan, tinggi badan. 3. Sampel menanda tangani formulir persetujuan tindakan sesuai dengan perilaku yang diberikan yang dilakukan sebelum awal pelatihan. 4. Assessment sprain ankle kronis dan mengukur foot and ankle disability sebelum diberikan pelatihan dan setelah 6 minggu pelatihan dengan menggunakan formulir FADI (sesuai format yang telah di siapkan). 5. Atas dasar assesment dan pengukuran maka kelompok 1 siap untuk di berikan intervensi diberi wobble board exercise. Dengan prosedur sebagai berikut : a. Peneliti memberikan penjelasan kepada pasien apa yang
akan
dilakukan dan tujuan menggunakan wobble board. b. Lalu pasien diminta untuk berdiri dengan satu kaki diatas wobble board dan diusahakan jangan sampai jatuh atau menggunakan dua kaki, selama 1 menit. c. Kemudian terapis menggunakan alat stopwatch untuk mengukur lamanya pasien mempertahankan keseimbangannya. d. Jika pasien jatuh atau menggunakan kedua kakinya, maka stopwatch diberhentikan dan waktunya dicatat oleh terapis sebagai evaluasi untuk setiap latihan.
65
e. Latihan ini dilakukan sebanyak 1 set dan setiap set diselingi istirahat selama 30 detik, dan dilakukan tiga kali seminggu. Dalam latihan menggunakan wobble board exercise dengan jenis pelatihan, yaitu : 1) Side-to-side Edge Taps Latihan ini dilakukan dengan cara meletakan kaki yang sakit tepat ditengah wobble bord . Lalu setelah berdiri dengan stabil diatas wobble board dengan pelan-pelan gerakan wobble board
kearah sisi kiri dan kanan (diawali dengan serong kiri,
serong kanan, kekiri, kekanan, dan begitu seterusnya). Latihan ini dilakukan selama satu menit. 2)
Front-to-back Edge Taps Latihan ini mirip dengan latihan diatas, tapi pada latihan ini wobble board exercise digerakan kearah depan dan belakang wobble board menyentuh lantai. Latihan ini dilakukan selama satu menit.
3) Edge Circles Pada latihan ini dilakukan dengan cara menempatkan kaki yang sakit di tengah-tengah wobble board, lalu tempelkan sisi wobble board kelantai setelah itu lakukan gerakan memutar searah jarum jam dengan sisi wobble board tetap menyentuh lantai. Lakukan gerakan ini secara perlahan-lahan dan tidak berhanti selama satu menit.
66
4) Counter-Clockwise Edge Circles Latihan ini sama dengan latihan edge circles, tapi pada latihan ini putarannya berlawanan dengan arah jarum jam. 5) Latihan Berdiri Statik a) Berdiri diatas papan keseimbangan b) Menggunakan satu kaki c) Tahan agar tetap statis selama 1 menit 6) Latihan Partial Squat a. Berdiri diatas papan keseimbangan b. Menggunakan satu kaki atau dua kaki c. Lakukan partial squat 30-45 derajat d. Tahan agar tetap statis selama 1 menit 6. Setelah selesai melakukan pelatiahan proprioceptive wobble board pada Kelompok 1, maka peneliti mengevaluasi dan mencatat hasil dari perlakuan Kelompok 1 setiap 1 minggu 1 kali pada hari jumat, untuk mengetahui adanya penurunan foot and ankle disability, kemudian pasien pulang. Prosedur di atas di ulang sampai 3 x per minggu yaitu hari senin, rabu, jumat hingga jumlah perlakuan sebanyak 18 kali selama 6 minggu, pada saat ke 18 di lakukan assessment ulang dan di data hasilnya sampai 18 kali (melakukan rekapitulasi dan dokumentasi hasil test pada form dan table data yang telah disiapkan).
67
4.7.3.2 Kelompok II 1. Wawancara: peneliti mencatat identitas sampel meliputi nama,umur, pekerjaan, pendidikan dalam kartu identitas diri sampel. 2. Melakukan pemeriksaan tentang kondisi sampel termasuk tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, dan suhu tubuh, berat badan, tinggi badan. 3. Sampel menanda tangani formulir persetujuan tindakan sesuai dengan perilaku yang diberikan yang dilakukan sebelum awal pelatihan. 4. Assessment sprain ankle kronis dan mengukur foot and ankle disability sebelum diberikan pelatihan dan setelah 6 minggu pelatihan dengan menggunakan formulir FADI (sesuai format yang telah di siapkan) 5. Atas dasar assesment dan pengukuran maka Kelompok II siap untuk di berikan intervensi diberi latihan penguatan otot dengan karet elastic resistance. Dengan prosedur sebagai berikut : Latihan penguatan dengan karet elastic resistance. a. Sebelum dilakukan latihan pasien terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang cara melakukan latihan strengthening dengan karet elastic resistance. b. Selanjutnya posisikan pasien dalam posisi duduk rileks di bed dengan posisi tungkai lurus.
68
c. Kemudian terapis berdiri di samping pasien. Lalu terapis mengintruksikan pada pasien untuk melawan tahanan karet elastic resisteanc kearah atas-bawah (dorsal fleksi-plantar fleksi), mediallateral (inverse-eversi) yang diikuti dengan rileksasi. Dosis latihan a. Frekuensi : 3 x seminggu b. Intensitas : 3 set latihan c. Time
: 30 menit
d. Repetisi
: 10 kali
e. Rest
: 30 detik, 1 set latihan
Tehnik Latihan Latihan dengan karet elastic resistance a. Gerakan ankle ke dorsal dan tahanan dengan karet elastic resistance ke plantar, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah dorsal fleksi. b.Gerakan ankle ke plantar dan tahanan karet elastic resistance ke dorsal fleksi, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah plantar fleksi. c. Gerakan ankle inversi dan tahanan karet elastic resistanc eversi, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah inverse.
69
d. Gerakan ankle eversi dan tahanan karet elastic resistance inverse, posisi duduk dengan kaki lurus, tempatkan karet elastic resistance pada telapak kaki (dililit 1 kali), tarik karet tersebut kearah eversi. 6. Setelah selesai melakukan latihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance pada Kelompok II, maka peneliti mengevaluasi dan mencatat hasil dari perlakuan Kelompok II setiap 1 minggu 1 kali pada hari jumat, untuk mengetahui adanya penurunan foot and ankle disability, kemudian pasien pulang. Prosedur di atas di ulang sampai 3 x per minggu yaitu hari Senin, Rabu, Jumat hingga jumlah perlakuan sebanyak 18 kali selama 6 minggu, pada saat ke 18 di lakukan assessment ulang dan di data hasilnya sampai 18 kali (melakukan rekapitulasi dan dokumentasi hasil test pada form dan table data yang telah disiapkan).
70
4.8 Alur Penelitian Populasi Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi
Sampel
Random Alokasi n= 20
Kelompok I
Pre Test FADI
Kelompok II
Latihan Penguatan Otot dengan Karet Elastic Resistance. n = 10 , (6, minggu)
Wobble Board Exercise n = 10, (6, minggu)
Kelompok I
Post Test FADI
Analisis Data
Hasil Gambar 4.2 Alur Penelitian
Kelompok II
71
4.9 Analisis Data Data yang diperoleh sejak persiapan dan pelaksanaan (pre-test dan posttest) diproses dengan SPSS for windows. Data yang ada sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan rerata dan standard deviasi terhadap umur, berat badan, tinggi badan dan IMT. Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk Test pada semua variable pre test dan post test pada Kedua Kelompok, bertujuan untuk mengetahui distribusi data masing-masing kelompok perlakuan. Data dengan interpretasi p>0,05 berarti data berdistribusi normal. 2. Uji Homogenitas data dengan Levene’s Test, bertujuan untuk mengetahui variasi data pada semua variable pre test pada Kedua Kelompok. Batas kemaknaan data yang di hasilkan p > 0,05 maka data homogen. 3. Uji signifikan dua sampel yang saling berpasangan yaitu Foot and Ankle Disability sebelum dan sesudah Perlakuan Kelompok I dengan Uji Paired Sample t-test. Data dengan hasil p=0,001 (p<0,05), berarti ada perbedaan sebelum dan sesudah Perlakuan pada Kelompok I. 4. Uji signifikansi dua sampel yang saling berpasangan yaitu foot and ankle disability sebelum dan sesudah Perlakuan pada Kelompok II dengan uji paired sample t-test.. Data dengan hasil p=0,000 (p<0,05), berarti ada perbedaan sebelum dan sesudah Perlakuan pada Kelompok II. 5. Uji beda sebelum Perlakuan Kelompok I dan sebelum kelompok perlakuan II dengan menggunakan uji parametrik (Independent sample t-test). Hal tersebut
72
ditujukan untuk menentukan Uji Hipotesis III, dengan hasil p=0,024 (p<0,05) menggunakan data selisih perlakuan pada Kedua Kelompok. 6. Uji beda dari nilai rerata selisih Kedua Kelompok untuk mengetahui signifikan dilakukan uji Parametrik (Independent sample t-test), p = 0,047 (p<0,05). Hal tersebut ada perbedaan yang bermakna antara Perlakuan pada Kelompok 1 dan Perlakuan pada Kelompok II.
73
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Deskripsi Umum Sample Penelitian Sampel penelitian pada kasus sprain ankle kronis diperoleh dari semua pasien yang berobat keklinik Apotik Ubekko Pekan Baru pada 24 Maret–1 Mei 2015 yang terdiri dari 12 orang laki – laki dan 8 orang perempuan yang berusia antara 17-35 tahun. Sampel diperoleh dari rujukan dokter spesialis tulang dan pemeriksaan Fisioterapi. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi dengan metode acak (randomized alocation) antara penempatan sebagai sampel kelompok pelatihan proprioceptive dengan wobble board dan pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis. Dari jumlah sampel yang diambil maka yang pertama akan disebut sebagai Kelompok Perlakuan 1 dengan jumlah sampel sebanyak 10 orang yang diberikan pelatihan proprioceptive dengan wobble board dan pada kelompok kedua disebut sebagai kelompok perlakuan 2 yang berjumlah 10 orang yang diberikan pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance. Sebelum dilakukan pelatihan terlebih dahulu pada awal program dilakukan pengukuran nilai foot and ankle disability dengan menggunakan Foot and Ankle Disability Index (FADI). Selanjutnya, sampel diberikan latihan sebanyak 18 kali dan pada akhir program dilakukan pengukuran kembali, hal ini dilakukan untuk menentukan tingkat keberhasilan penurunan disabilitas dari tiap perlakuan yang telah diberikan
73
74
pelatihan. Adapun distribusi data pada Kelompok Perlakuan I dan Kelompok II berdasarkan Umur, Berat Badan, Tinggi Badan, IMT, dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur, Berat badan, Tinggi badan, IMT pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2
Variabel
Umur (thn) BB (kg) T B(cm) IMT
Wobble board (n=10) Rerata+ SB 21,70+ 4,90 56,20 + 5.43 158,90 + 5.15 20,761 + 1.86
Kelompok Karet Elastic elasistance (n=10) Min ; Maks Rerata + SB ( 17 : 35 ) 21,40 + 3.80 ( 45 : 63) 57,20 + 6.52 (148 : 165) 165,90 + 5.32 (19,48: 24,60) 25,17+ 9.14
Min : Maks (19 : 33) (45 : 68 ) (60 : 175) (17,17: 23,43)
Tabel 5.1 memperlihatkan karakteristik responden terkait Umur, Berat Badan, Tinggi Badan, dan Indeks Massa Tubuh baik pada Kelompok pelatihan proprioceptive dengan wobble board (Kelompok I), maupun pada Kelompok pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance (Kelompok II). Pada Kelompok 1 dengan jumlah sampel (n= 10) didapatkan bahwa ratarata umur 21,70+ 4.90 dengan umur minimal 17 tahun dan umur maksimal 35 tahun , rerata berat badan 56,20 + 5.43 dengan berat badan minimal 45 kg dan berat badan maksimal 63 kg, Rerata tinggi badan 158,90 + 5.15 dengan tinggi badan minimal 148 cm dan tinggi badan maksimal 165 cm. dan rerata IMT 20,761 + 1.865 kg/m2 dan IMT minimal 19,48 kg/m2 dan IMT maksimal 24, 60 kg/m2. Pada Kelompok II dengan jumlah sampel (n= 10) didapatkan bahwa ratarata umur 21,40 + 3,80 dengan umur minimal 19 tahun dan umur maksimal 33 tahun, Rerata berat badan 57,20 + 6,52 dengan berat badan minimal 45 kg dan berat badan maksimal 68 kg, Rerata tinggi badan 165,90 + 5,33 dengan tinggi
75
badan minimal 160 cm dan tinggi badan maksimal 175 cm dan rerata IMT 25,175+ 9,14 kg/m2 dan
IMT minimal 17,17 kg/m2 dan IMT maksimal
23,43kg/m2.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan umur, jenis Kelamin, IMT, Aktivitas/Hobi Kelompok I dan Kelompok II Karakteristik Subyek
Rentang
Umur
16-25 26-35 36-45
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan IMT 17,00 -18,40 (Kurus) 18,50 - 25,00 (Normal) 25,1- 27,00 (Gemuk/ringan) 27,00 – 30,00 (Gemuk/berat) Aktivitas/hobi Futsal Basket Voli Tari Pegawai Bulu tangkis Rekreasi
Kelompok I n % 9 45 1 5 0 0
Kelompok II n % 9 45 1 5 0 0
6
60
6
4 0 8 1 0 4 1 1 1 1 0 2
40 0 4 5 0 20. 5 5 5 5 0 10
4 1 9 1 0 4 3 1 0 1 1 0
6 40 5 45 5 0 20 15 5 0 5 5 0
Berdasarkan Tabel 5.2 persentase usia pada penelitian ini sprain ankle kronis terbanyak didapat pada usia 16-25 tahun. Usia ini merupakan kelompok usia remaja akhir yang memiliki aktivitas yang tinggi secara fisik. Persentase jenis kelamin terbanyak pada penelitian berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Persentase IMT terbanyak pada Kelompok Perlakuan 1 dan
76
Kelompok Perlakuan 2 pada penelitian ini adalah 18,50 - 25,00 kg/m2. Data tersebut termasuk dalam kategori IMT normal. Persentasea aktivitas dan hobi terbanyak pada pemain futsal, Sprain ankle pada penelitian ini dijumpai pada pemain futsal.
5.1.2 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Uji ini untuk menentukan jenis uji statistik komparasi yang akan digunakan untuk membandingkan hasil pre-test dan post-test antara Perlakuan pada Kelompok I dan Perlakuan pada Kelompok II maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Saphiro Wilk Test, sedangkan uji homogenitas varian data dengan menggunakan uji Levene’s Test yang akan disajikan pada Tabel 5.3 sebagai berikut :
Tabel 5.3 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Normalitas Data Dengan Shapiro Wilk Test Kelompok Data
Sebelum Sesudah Selisih
Kelompok I
Kelompok II
Rerata±SB P Rerata±SB P 25,90±15,57 0,412 44,90±18,80 0,867 6,60±5,04 0,330 13,80±10,30 0,578 19,30±12,57 0,083 31,10±12,19 0,452
Homogenitas Dengan Levene’s Test p 0,517 0,039 0,984
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa hasil uji normalitas data dengan menggunakan Uji Shapiro Wilk Test pada semua variabel pre test dan post test pada Kedua Kelompok data adalah p > 0,05 maka data disimpulkan berdistribusi normal, uji pengaruh yang digunakan adalah Uji Beda Dua Sampel Berpasangan
77
(Paired sample t-test) untuk mengetahui uji hipotesis I dan uji hipotesis II, dan uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene’s Test of varian pada semua variabel pre test pada ke dua kelompok data adalah p > 0,05 maka data disimpulkan homogen. Dengan demikian pada pengolahan data berikutnya dilakukan Uji Beda menggunakan data sebelum (pre) Kelompok I dan data sebelum (pre) Kelompok II dengan menggunakan uji Independent sample t-test. Hal tersebut ditujukan untuk mengetahui uji hipotesis III dengan menggunakan data sesudah perlakuan atau menggunakan data selisih.
5.1.3
Uji Penurunan Nilai Foot and Ankle Disability Pada Kelompok Pelatihan Proprioceptive menggunakan Wobble Board. Uji ini untuk mengetahui penurunan nilai foot and ankle disability sebelum
dan sesudah Perlakuan pada Kelompok pelatihan proprioceptive dengan wobble board dengan menggunakan paired sample t-test yang disajikan pada Tabel 5.4 sebagai berikut : Tabel 5.4 Uji Kelompok I Variable (n=10) Sebelum
Rerata±SB 25,90 + 15,56
Sesudah
6,60 + 5,03
p 0,001
Tabel 5.4 menunjukkan adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah Perlakuan pada Kelompok I dengan nilai yang signifikan p = 0,001 (p< 0,05) hal tersebut bermakna bahwa Pelatihan proprioceptive dengan wobble board dapat menurunkan Foot and Ankle Disability pada kasus Sprain Ankle kronis.
78
5.1.4
Uji Penurunan
Nilai Foot and Ankle Disability Pada Kelompok
Pelatihan Penguatan Otot menggunakan Karet Elastic Resistance. Uji ini untuk mengetahui penurunan nilai foot and ankle disability sebelum dan sesudah Perlakuan pada Kelompok pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance dengan menggunakan paired sample t-test yang disajikan pada Tabel 5.5 sebagai berikut:
Tabel 5.5 Uji Kelompok II Variable (n=10) Sebelum
Rerata±SB 44,90+ 18.80
Sesudah
13,10 + 10,30
p 0,000
Tabel 5.5 menunjukkan adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan pada Kelompok II dengan nilai yang signifikan p = 0,001 (p< 0,05) hal tersebut bermakna bahwa pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance dapat menurunkan Foot and Ankle Disability pada kasus Sprain Ankle.
5.1.5
Uji Beda Rerata Foot and Ankle Disability Sebelum Perlakuan Pada Kelompok I dan Sebelum Perlakuan Kelompok II Uji ini untuk mengetahui perbedaan rerata penurunan foot and ankle
disability sebelum perlakuan pada masing - masing Kelompok I dan Kelompok II, maka dilakukan uji Independent sample t-test yang disajikan pada Tabel 5.6 sebagai berikut:
79
Tabel 5.6 Rerata Nilai FADI Sebelum Perlakuan Pada Kelompok 1 dan Kelompok 2
Variable Sebelum
Kelompok 1
Kelompok 2
Rerata±SB 25,90±15,57
Rerata±SB 44,90±18,78
p 0,024
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa pada rerata foot and ankle disability sebelum perlakuan Kelompok I dan Kelompok II menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan p =.0,024 (p < 0,05). Dengan Hal tersebut ditujukan untuk mengetahui uji Hipotesis III yang akan menggunakan data selisih dari masingmasing kelompok dengan menggunakan uji independent sample t-test.
5.1.6
Uji Beda Penurunan Nilai Foot and Ankle Disability Sesudah Perlakuan Pada Kelompok I dan Sebelum Perlakuan Kelompok II Uji ini untuk mengetahui signifikansi perbedaan rerata penurunan foot and
ankle disability pada kedua Kelompok Perlakuan sesudah perlakuan maka dilakukan Independent sampel t-tes) yang disajikan pada tabel 5.7 sebagai berikut:
Tabel 5.7 Uji Beda Nilai rerata Foot and Ankle Disability Antara Kedua Kelompok Perlakuan dengan Independent t-test Variable Sesudah
Kelompok 1
Kelompok 2
Rerata±SB 6,60 + 5,03
Rerata±SB 13,80 + 10,30
p 0,063
Tabel 5.10 menunjukkan bahwa nilai rerata sesudah Kelompok I sebesar 6,60 + 5,03 sedangkan Kelompok II sebesar 13,80 + 10,304. Analisis uji
80
kemaknaan Independent sample t-test menunjukkan nilai nilai p = 0,063 (p > 0,05). Hal tersebut menjelaskan bahwa penurunan nilai foot and ankle disability kedua kelompok menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada kasus sprain ankle kronis.
5.1.7
Uji Beda Penurunan Nilai Foot and Ankle Disability Antara Ke dua Kelompok Perlakuan. Uji ini untuk mengetahui perbedaan dari nilai rerata selisih Kelompok I
dan Kelompok II, dan untuk mengetahui signifikan perbedaan penurunan foot and ankle disability pada Kedua Kelompok Perlakuan maka dilakukan uji Independent sample t-test yang disajikan pada Tabel 5.8 sebagai berikut
Tabel 5.8 Uji Beda Penurunan Nilai Foot and Ankle Disability antara Kedua Kelompok Perlakuan dengan Independent Sample t-test Variable Selisih
Kelompok 1
Kelompok 2
Rerata±SB 19,30±12,57
Rerata±SB 31,10±12,19
P 0,047
Tabel 5.8 menunjukkan adanya perbedaan nilai selisih antara Kelompok I dan Kelompok II dengan nilai yang signifikan p = 0,047 (p< 0,05) hal tersebut Ada Perbedaan yang bermakna antara pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board dengan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance pada kasus Sprain Ankle Kronis
81
5.2 PEMBAHASAN 5.2.1 Karakteristik Subyek Penelitian Subjek penelitian ini berjumlah 20 orang yang yang terbagi menjadi 2 kelompok perlakuan, masing-masing kelompok berjumlah 10 orang. Kelompok I diberi pelatihan proprioceptive dengan wobble board dan Kelompok II diberikan pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance. Umur yang terlibat pada penelitian ini berkisar antara 17-35 tahun, Kelompok I memiliki rerata (21,70+ 4,90) dan Kelompok II, (21,40 + 3,80) . umur terbanyak yang mengalami cedera pada penelitian ini yaitu umur 17- 25 tahun. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang menyatakan bahwa kejadian sprain ankle kronis dapat terjadi pada beberapa kelompok usia akan tetapi secara umum terjadi pada usia remaja dan usia dewasa (Hyeyoung at al., 2009). Deskripsi jenis kelamin menunjukkan bahwa sampel penelitian Kelompok I jenis kelamin laki-laki sebanyak 6 (60%) orang dan perempuan sebanyak 4 (40%) orang, sedangkan Kelompok II jenis kelamin laki-laki sebanyak 6 (60%) orang dan perempuan sebanyak 4 (40%) orang. Hal tersebut member gambaran bahwa dalam penelitian ini jenis kelamin bukanlah salah pertimbangan yang mempengaruhi aspek penilaian dalam penelitian serta tidak memiliki keterkaitan dengan peningkatan foot and ankle disability pada sprain ankle kronis. Deskripsi indeks masa tubuh (IMT) Rerata berat badan 56,20 + 5,432 dengan berat badan minimal 45 kg dan berat badan maksimal 63 kg, Rerata tinggi badan
158,90 + 5.152 dengan tinggi badan minimal 148 cm dan tinggi
82
badan maksimal 165 cm. dan rerata IMT 20,76 + 1,86 kg/m2 dan IMT minimal 19,48 kg/m2 dan IMT maksimal 24, 60 kg/m2. Kelompok II dengan jumlah sampel (n= 10) didapatkan bahwa rata-rata umur
21,40 + 3,80 dengan umur minimal 19 tahun dan umur maksimal 33
tahun, Rerata berat badan 57,20 + 6.529 dengan berat badan minimal 45 kg dan berat badan maksimal 68 kg, Rerata tinggi badan 165,90 + 5,33 dengan tinggi badan minimal 160 cm dan tinggi badan maksimal 175 cm dan rerata IMT 25,175+ 9,14 kg/m2 dan 23,43kg/m2.
IMT minimal 17,17 kg/m2 dan IMT maksimal
Hal tersebut menunjukkan bahwa IMT bukanlah salah satu
pertimbangan yang mempengaruhi aspek penelitian serta tidak memiliki keterkaitan dengan penurunan foot and ankle disability. Deskripsi jenis hobi dan aktivitas pekerjaan menunjukkan bahwa sampel penelitian kelompok I dengan tingkat sering bermain futsal sebanyak 4 (20%) orang, bermain basket 1 (5%), hoby menari 1 (5%) orang, voly 1(5%) orang, rekreasi 2 (10%) orang, pegawai PNS 1 (5%) orang. Sedangkan kelompok II dengan tingkat sering bermain futsal sebanyak 4 (20%) orang, bermain basket 3 (15%), voly 1(5%) orang, pegawai PNS 1 (5%) orang, bermain bulu tangkis 1 (5%). Hal itu sejalan dengan penelitian yang memaparkan bahwa faktor penyebab, sprain ankle dapat terjadi saat melakukan aktivitas, terutama aktivitas olah raga dengan persentase 41,1% - 70% (Farquhar, 2013).
83
5.2.2
Pelatihan
Proprioceptive
menggunakan
Wobble
Board
dapat
Menurunkan Foot and Ankle Disability Kasus Sprain Ankle Kronis. Berdasarkan uji paired t-test pada penelitian ini dilaporkan bahwa beda rerata sebelum dan sesudah dilakukan tindakan hasil pengukuran tingkat penurunana foot and ankle disability dengan menggunakan FADI selama terapi 6 minggu dari tes awal dan tes akhir I . Berdasarkan uji paired t-test pada penelitian ini dilaporkan bahwa beda rerata sebelum dan sesudah didapatkan data rerata hasil sebelum perlakuan 25,90 + 15,56 dan sesudah perlakuan 6,60 + 15,56 pada Kelompok Perlakuan I dengan nilai p = 0,001 p < 0,05, berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Kesimpulan penelitian ini adalah pelatihan prorioceptive menggunakan wobble board signifikan dapat menurunkan foot and ankle disability pada penderita sprain ankle kronis. Penurunan foot and ankle disability akibat dari program latihan yang dilakukan secara progresif dari minggu 1 sampai minggu ke 6, dengan frekuensi 3x perminggu. Penelitian ini didukung oleh penelitian Hale et al., (2014), sebanyak 34 subjek laki-laki dan perempuan yang di bagi menjadi dua kelompok
untuk
Kelompok I diberi latihan dengan wobble board dan Kelompok II menyelasaikan studi. Intervensi pelatihan wobble board dengan frekuensi 2x perminggu selama 4 minggu, hasil ada perbaikan yang signifikan pada kelompok perlakuan dengan nilai p= 0,000, p<0,005.
84
Menurut Hupperets et al, (2009) bahwa pelatihan proprioceptive dengan wobble board merupakan latihan stabilisasi dinamik pada posisi tubuh statik yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board. Prinsip dari latihan ini ialah meningkatkan fungsi dari pengontrol keseimbangan tubuh yaitu system informasi sensorik, central processing, dan effector untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Saat latihan berlangsung rangsangan yang diterima serabut intrafusal dan ekstrafusal memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan diolah di otak untuk diproses sehingga dapat menentukan seberapa besar kontraksi otot yang dapat diberikan. Sebagian respon yang dikirim kembali ke ekstrafusal akan mengaktivasi golgi tendon kemudian akan terjadi perbaikan koordinasi serabut intrafusal (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) dengan saraf afferent yang ada di muscle spindle sehingga terbentuklah proprioceptive yang baik. Stimulasi yang tidak konsisten akibat ketidakstabilan permukaan yang diterima oleh otot dan sendi berpengaruh sangat cepat terhadap penangkapan informasi sensoris dan lebih efisien diproses di sistem saraf pusat sehingga menstimulasi mekanoreseptor pada sendi. Hasil penurunan foot and ankle disability pada penderita sprain ankle kronis karena berlatih diatas wobble board otot-otot bagian ekstremitas bawah mulai dari pelvic sampai ankle secara bersamaan akan kontraksi, sehingga memperbaiki kerja otot dan ligament yang dapat meningkatkan propriceptive sehingga terbentuk stabilitas dan keseimbangan yang baik yaitu kesadaran atas gerakan tubuh untuk mempertahankan posisi tubuh agar tetap stabil. Pada subjek
85
yang melakukan latihan wobble board sesuai dengan program fisioterapi akan terhindar terjadinya cedera berulang dan akan kembali pada aktivitas normal tanpa keluhan nyeri akibat sprain ankle kronis (calrk at al., 2005).
5.2.3
Pelatihan Penguatan Otot menggunakan Karet Elastic Resistance dapat Menurunkan Foot and Ankle Disability pada Kasus Sprain Ankle Kronis. Berdasarkan hasil pengukuran tingkat penurunana foot and ankle disability
menggunakan FADI selama terapi 6 minggu dari tes awal dan tes akhir, Kelompok Perlakuan II didapatkan data rerata hasil sebelum perlakuan 44,90 + 18,80 dan rerata hasil setelah perlakuan 13,80 + 10,30. Untuk menguji Hipotesis II digunakan Uji paired sample t-test pada Kelompok Perlakuan II dengan jumlah 10 orang sampel dengan Pelatihan penguatan otot dengan karet elastic resistance. Dalam Pengukuran nilai pada foot and ankle disability menggunakan foot and ankle Disability Index (FADI), diperoleh penurunan nilai foot and ankle disability yang dapat dilihat pada Tabel 5.8 kemudian diperolah nilai p = 0,001 dimana p < 0.05 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima yang menunjukan bahwa pada Kelompok Perlakuan II adanya perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan. Sprain ankle kronis terjadi karena adanya kelemahan otot dan kelemahan ligamen dengan pelatihan penguatan otot menggunakan karet elastic resistance, dalam bentuk latihan isotonik dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang disebabkan kerusakan ligamen lateral kompleks. Peningkatan kekuatan otot didapatkan dengan pelatihan dengan frekuensi 3x/minggu selama 6 minggu dengan meningkatkan kekuatan otot tonik dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh
86
darah kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan terjadinnya penambahan recuitment motor unit pada otot yang akan mengaktifasi badan golgi sehingga otot akan bekerja secara optimal. Dengan meningkatnya kekuatan otot ankle maka fungsi ankle sebagai penyangga tubuh akan bekerja lebih efesien sehingga lebih stabil dan menurunkan foot and ankle disability yaitu mampu melakukan kegiatan secara normal dalam aktivitas seharihari (Driscoll dan Delahunt, 2011). Penelitian ini didukung oleh Ricard dan Han (2011) penelitian ini menjelaskan bahwa pelatihan dengan karet elastic resistance pada anke. selama 6 minggu dengan dosis 3x perminggu, sebanyak 3 set dengan 10 repetisi, dapat meningkatkan kekuatan otot foot and ankle.
5.2.4 Perbedaan Perlakuan Kelompok I dan Perlakuan Kelompok II Terhadap Foot and Ankle Disabiility pada Kasus Sprain Ankle Kronis. Berdasarkan data yang diperoleh dari Tabel 5.7 didapat nilai dengan menggunakan Uji t-test Independent maka didapatkan hasil dengan nilai p= 0.047 dimana p < 0.05, ini berarti ada penurunan nilai foot and ankle disability secara signifikan baik pada Kelompok I maupun Kelompok II. Sedangkan pada uji hipotesis III menunjukkan adanya perbedaan efek antara Kelompok I dan Kelompok II bahwa Perlakuan penguatan otot menggunakan
karet elastic
resistance lebih baik menurunkan foot and ankle disability di bandingkan pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board pada kasus sprain ankle kronis.
87
Hasil analisa data kedua kelompok bermakna dipengaruhi oleh takaran. Takaran dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan intensitas latihan pada Kelompok I dan Kelompok II. Pada Kelompok I diberikan initesitas, Minggu 1: 1set: dilakukan selama 15 detik, Minggu 2-3: 1 set: dilakukan 30 detik, Minggu 4: 1 set: dilakukan 45 detik, Minggu 5- 6: 1 set: dilakukan selama 1 menit. Dosis Menit. Pada Kelompok II diberikan intensitas dan dosis latihan frekuensi 3x seminggu, intensitas 3 set latihan, time 30 menit, repetisi 10 kali. Dilihat berdasarkan intensitas pada kedua kelompok maka pelatihan menggunakan wobble board tidak dalam jumlah yang jelas pengulangannya (dalam satuan detik) maka progresifitas latihan yang di lakukan menggunakan wobble board tidak bisa di amati dengan baik. Oleh karena itu di asumsikan pelatihan menggunakan wobble board tidak mengalami progresifitas seperti pada pelatihan pengutan otot menggunakan karet elastic resistance. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelatihan penguatan otot menggunakan karet elastic resistance lebih baik dari pada pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board. Dilihat berdasarkan manfaat dan prinsip latihan pada Pemberian pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board prinsip latihan meningkatkan proprioceptive dan keseimbangan sehingga koordinasi kerja otot dan ligamen ankle and foot semangkin membaik. Hal ini akan
meningkatkan stabilitas,
keseimbangan, dan meningkatkan gerakan fungsional pada foot and ankle. Efek yang sama didapat dari pelatihan penguatan otot ankle menggunakan karet elastic resistance dengan prinsip meningkatkan kekuatan otot ankle dimana ketika otot pada foot and ankle menjadi semangkin kuat maka ligamen pada sendi akan semangkin
stabil
sehingga
fungsi
ankle
sebagai
penyangga
mampu
88
mempertahankan posisi tubuh saat bergerak. Hal ini dapat menurunnya foot and ankle distability
sehingga subjek dapat melakukan aktivitas kembali secara
normal. Dari hal tersebut berarti sampel rata-rata termasuk kategori sprain ankle derajat I dan II, yaitu adanya kelemahan otot dan kelemahan ligamen, dengan usia terbanyak 16-25 tahun pada usia tersebut tingkat gangguan keseimbangannya sangat minim. Selain itu tingkat aktivitas ataupun pekerjaan yang kurang terkontrol pada masing-masing individu juga dapat mempengaruhi terjadinya cedera berulang yang memperlambat proses perbaikan dari jaringan yang cedera. Menurut Hyeyoung (2013) bahwa pencegahan cedera sprain ankle kronis diperlukan pelatihan khusus untuk menghindari terjadinya cedera ulang karena secara umum cedera yang terjadi pada ankle adalah sprain. Melalui pelatihan proprioceptive dengan dan pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance maka keseimbangan dan kontrol neuromuscular akan membaik sehingga terjadi penurunan foot and ankle disability dengan kembalinya efesiensi gerakan dan aktivitas normal. Berdasarkan uraian di atas bahwa latihan ke duanya memiliki perbedaan, dapat dipergunakan untuk penurunan foot and ankle disability sesuai dengan kebutuhan dengan memperhatikan faktor usia, kondisi jaringan, beban kerja, dan posisi saat bekerja.
89
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan uraian hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pelatihan proprioceptive dengan wooble board dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis dengan nilai sebelum 25,90 + 15,56 dan sesudah perlakuan 6,60 + 5,03. 2. Pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance dapat menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis dengan nilai sebelum Perlakuan 44,90+ 18.80 sesudah Perlakuan 13,80 + 10,30. 3. Perbedaan Pelatihan proprioceptive menggunakan wooble board dengan pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic resistance dalam menurunkan foot and ankle disability pada kasus sprain ankle kronis dengan nilai selisih 19,30±12,57 pada Kelompok I dan pada Kelompok II 31,10±12,19.
6.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis menyarankan : 1. Metode pelatihan proprioceptive menggunakan wobble board dan pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elstic resistance dapat digunakan pada
89
90
kasus sprain ankle kronis, bagi fisioterapi perlu mempertimbangkan sosial ekonomi pasien. 2. Penelitian yang multi center di rancang pada beberapa tempat dengan protocol yang sama dan menggunakan dosis yang lebih baik.
91
DAFTAR PUSTAKA Atner J. 2002. Atlas of Human Skeletal Anatomy. From : http://jurajatner.com 21 January 2015. Barr K dan Harrast M 2005. Evidence-Based Treatment of Foot and Ankle Injuries in Runners. Phys Med Rehabil Clin N Am 16 (2005) 779–799 Department of Rehabilitation Medicine, Box 356490, University of Washington, Seattle, WA 98195 Bonnel.F, Tauler, Tourne. 2010. Chronic ankle instability Biomechanics and pathomechanics of ligamens injury and associated lesions. Orthopaedic Surgery and Traumatology Department, Dupuytren Teaching Hospital Center,, France Accepted: 15 March 2010 Chan K, Ding B, dan Mroczek K, 2011. Acute and chronic lateral ankle instability in the athlete. Bulletin of the Nyu Hospital for Joint Diseases 2011;69(1):17-26 17 Calatayud J, Borreani S, Colado J. C, Flandes J, Page P. 2014. exercise and ankle sprain injuries A Comprehensive Review. Hal 88- 93, vol 42 issue 1, februari 2014, ISNN- 0091-3847. From:http://www.physsportsmed.com Chook E dan Hegedus Eric J. 2013. Orthopedic Physical Examination Test An Evidence-Based Approach. Second edition. Pearson Education. Canada. Hal 508 dan 529. Calrk V. 2005, A 4-week wobble board exercise programme improved muscle onset latency and perceived stability in individuals with a functionally unstable ankle. Phys Ther Sport 2005, 181-187. Driscoll J dan Delahunt E. 2011. Neuromuscular training to enhance sensorimotor and functional deficits in subjects with chronic ankle instability: A systematic review and best evidence synthesis. Sports Medicine, Arthroscopy, Rehabilitation, Therapy & Technology 2011, 3:19.http://www.smarttjournal.com/content/3/1/19 Dale B. 2006. Functional Rehabilitation After Lateral Ankle Injury . 2006 Human Kinetics · ATT 11(3), pp. 52-55 Fong D, 2009. Understanding acute ankle ligamenous sprain injury in sports. Sports Medicine, Arthroscopy, Rehabilitation, Therapy & Technology 2009, 1:14 doi:10.1186/1758-2555-1-14 Received: 9 July 2009,Accepted: 30 July 2009 from: http://www.smarttjournal.com/content/1/1/14© 2009 Fong et al; licensee BioMed Central Ltd.
92
Farquhar W, 2013. Muscle Spindle Traffic in Functionally Unstable Ankles During Ligamenous Stress. Journal of Athletic Training 2013;48(2):192– 202, doi: 10.4085/1062-6050-48.1.09, by the National Athletic Trainers’ Association, Inc, from: http://www.natajournals.org Hartel J. 2000. Functional Instability Following Lateral Ankle Sprain. Department of Kinesiology, Pennsylvania State University, University Park, Pennsylvania, USA. Injury Clinic Sports Med 2000 May; 29 (5): 361-371. Hale F, Axmacher, Kiser, 2014. Bilateral improvements in lower extremity function after unilateral balance training in individuals with chronic ankle instability 2014 Mar-Apr; 49 (2) : 181-91. Hertel, J. (2002). Functional Anatomy, Pathomechanics, and Pathophysiology of Lateral Ankle Instability. Journal of Athletic Training , 37 (4), 364-75 Hale S dan Hartel J. 2005. Reliability and Sensitivity of the Foot and Ankle Disability Index in Subjects With Chronic Ankle Instability. J Athl Train. 2005 Jan-Mar; 40(1): 35–40. PMCID: PMC1088343 Hyeyoung K, Chung F, Hee Lee B 2013, A Comparison of the Foot and Ankle Condition between Elite Athletes and Non-athletes 2013 November 20. 25 (10) : 1269-1272. Han K dan Ricard M, 2011 Effects of 4 Weeks of Elastic-Resistance Training on Ankle-Evertor Strength and Latency, Journal of Sport Rehabilitation, 2011, 20, 157-173, 2011 Human Kinetics, Inc Hupperets, Varhagen, Van M 2009. Effect of unsu pervised home based proprioceptive training on recurrences of ankle sprain randomized controlled trial. BMJ, 2009:339. Juanaidi. 2013. Cedera Olahraga Pada Atlet Pelatda PON XVIII DKI Jakarta, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta. Kisner C dan Colby L Alen.2012.Therapeutic Exercise Foundations and Techniques. Sixth Edition. F.A Davis Company.America. hal 850-859. Lynch.S.A. 2002. Assessment of the Injured Ankle in the Athlete. Athl Train. 2002 Oct-Dec; 37(4): 406–412. PMCID: PMC164372 Mattacola, Carl G dan Dwyer, Maureen K. 2002. Rehabilitation of the Ankle After Acute Sprain or Chronic Instability, Journal of Athletic Training. Hal.413–429 by the National Athletic Trainers Association Inc. From : www.journalofathletictraining.org
93
Martin R, Daven P, Stephen P, Wukich D, Josep. 2013. Ankle Stability and Movement Coordination impairments: Ankle Ligamen Sprains. Clinical Practice Guidelines Linked to the International Classification of Functioning, Disability and Health From the Orthopaedic Sectionof the American Physical Therapy Association. J Orthop Sports Phys Ther. 2013;43(9):A1-A40. doi:10.2519/jospt.2013.0305 Maffulli dan Longo. 2010. Focus On Lateral ankle instability, British Editorial Society of Bone and Joint Surgery. Miller Jude A. 2011 Proprioceptive Training & Its Implications on Ankle Rehabilitation NIAMS, Sport injuries, p. 2, 2010 (http://www.niams. nih.gov/ Health_Info /Sports_Injuries/default.asp Pocock, J.Stuart.2008. Clinical Trials: A Practical Approach. Chichester. John Wiley & Sons.p. Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi 6. Jakarta. Sobotta. 2010. Atlas Anatomi Manusia. Di sunting oleh R. Putz dan R. Pabst. edisi 22. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.. Thompson C, dan Page P .2009. Treating Chronic Ankle Sprains in Sports Founding Member of the Christian Sports Medicine Association. From:http://www.aiasportsperformance.org March 2009. Wees P. Lessen A, Hendriks E, Dekker J, Bie Rob. 2006. Effectiveness of exercise therapy and manual mobilisation in acute ankle sprain and functional instability. Department of Epidemiology, Maastricht University, Royal Dutch Society for Physical Therapy (KNGF) 3University Medical Centre Australian Journal of Physiotherapy 2006 Vol. 52 hal : 27-37] Young C, 2005. Clinical Examination of the Foot and Ankle of Sports Medicine, Medical College of Wisconsin, 9200 W Wisconsin Avenue, Milwaukee, WI 53226, USA. Corresponding author. Department of Orthopaedic Surgery, Medical College of E-mail address:
[email protected] (C.C. Young). 0095-4543/05/$ - see front matter _ 2005 Elsevier Inc. All rights reserved. doi:10.1016/j.pop.2004.11.002 primarycare. http://www.isokineticsinc.com/product www.sporstinjuryclinic.net