1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kitab suci Al-Quran secara terang menyampaikan bahwa Allah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan. Konsep berpasangan tersebut sering diterjemahkan sebagai bentuk oposisi, misalnya siang-malam, lelaki-perempuan, sehat-sakit,
lapang-sempit,
sukses-gagal,
dan
lain
sebagainya.
Hal
itu
menunjukkan adanya relasi atau hubungan makna perlawanan. Tidak terkecuali dalam bidang bahasa, perlawanan makna antarbentuk pasangan bisa diketahui dan dikaji secara ilmiah. Setiap unit kebahasaan selalu memiliki hubungan makna. Hubungan makna tersebut atau yang biasa dikenal dengan istilah relasi makna setidaknya tersebar dalam hal kesamaan (sinonim), perlawanan (antonim), kegandaan (polisemi atau ambiguitas), ketercakupan (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi) (Chaer, 1995:82). Relasi makna tersebut memudahkan penutur suatu bahasa untuk mengekspresikan ide atau pesan melalui tuturan. Selain itu, fungsi-fungsi bahasa seperti, misalnya, yang digagas oleh Halliday atau Jakobson menjadi semakin mudah direalisasikan. Beberapa ahli bahasa seperti Cruse (1986: 197) dan Lyons (1979: 271) menyampaikan beberapa karakteristik menarik tentang perlawanan makna. Pertama, Cruse menyampaikan, “Of all the relations of sense that semanticists propose,
that
of
oppositeness
is 1
probably
the
more
readily
apprehended by ordinary speakers.” Dari semua hubungan makna dalam Semantik, perlawanan makna lebih mudah dipahami secara praktis oleh penutur suatu bahasa. Memberikan contoh penggunaan perlawanan makna akan lebih mudah dipahami daripada menjelaskan definisinya. Kedua, Lyons menuturkan bahwa dalam bahasa Inggris, mungkin juga bahasa lain, perlawanan makna mampu disusun dari unit kebahasaan terkecil, yakni morfem, melalui proses morfologi. Tidak ada afiksasi yang mampu membangun hubungan makna yang lain. Ketiga, Cruse menyampaikan, “Opposites possess a unique fascination, and exibit properties which may appear paradoxical“. Cruse mengatakan demikian karena perlawanan makna mampu menyatu dalam beberapa dimensi makna misalnya temperatur, jarak, ruang, dan waktu untuk menjelaskan perlawanan maknanya. Sebagai contoh hot >< cool yang bisa dimaknai dalam dimensi temperatur sekaligus makna yang lebih luas darinya, yakni sifat seseorang. Sehingga hal tersebut menyebabkan perlawanan makna tampak misterius untuk diketahui. Keempat, perlawanan makna memunculkan penggunaan bahasa yang efisien dan padat makna. Hal ini akan dibahas lebih mendalam pada bagian fungsi perlawanan makna. Beberapa karakteristik menarik tentang perlawanan makna di atas membuka jalan untuk penulis membahas lebih mendalam aneka konsep perlawanan makna. Menurut Verhaar (dalam Chaer, 1995:88), makna yang berlawanan adalah ungkapan (biasanya berupa kata tetapi bisa juga dalam bentuk frase atau kalimat) 2
yang maknanya diangap berkebalikan dengan makna ungkapan lain. Beberapa ahli bahasa memberikan istilah berbeda. Lyons (1979:271) menyatakan “The standard of technical term for oppositeness of meaning between lexeme is antonymy”. Oppositeness bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perlawanan. Dalam hal ini, perlawanan yang dimaksud adalah perlawanan makna bukan perlawanan kata. Keberlawanan tersebut, oleh Lyons, diacukan pada istilah antonimi. Selain Lyons yang menyebut demikian, Lobanova, dkk (2009) juga menggunakan istilah yang sama untuk menyatakan makna berlawanan atau kontras yang mengarahkan pemahaman atas makna berkebalikan yang bersifat mutlak. Misalnya “laki-laki” dan “perempuan” yang keduanya memiliki makna yang mutlak berlawanan. Meskipun demikian, kedua kata tersebut memungkinkan pula untuk memiliki makna gradasi dalam bentuk kata sifatnya yang menunjukkan adanya tingkatan makna yang juga berlawanan, “agak perempuan” dan “agak lakilaki”, atau “sangat perempuan” dan “sangat laki-laki”. „agak‟ dan „sangat‟ memiliki tingkatan makna yang berbeda. Konsep perlawanan makna ini pada dasarnya tidak saling mematahkan makna antarunit kebahasaan. Melainkan, konsep tersebut memungkinkan untuk saling menguatkan dan meneguhkan makna yang dikandungnya di dalam suatu kalimat. Bahkan konsep tersebut memungkinkan pula terbentuknya bahasa yang sederhana, ringkas, dan memiliki pilihan kata yang tepat untuk mencerminkan kepadatan makna yang biasa tertuang dalam bentuk epigram. Misalnya, pasangan 3
kata berlawanan antara “life><death” yang bisa digunakan dalam kalimat “In Life and Death, I am next to you” „Hidup-mati aku akan selalu bersamamu‟ oleh William Shakespeare. Kalimat tersebut mencerminkan bentuk yang ringkas untuk makna „kapanpun, di manapun, dalam kondisi apapun, aku akan selalu bersamamu‟. Epigram lain yang akhir-akhir ini populer di kalangan warga Yogyakarta “Pejah-Gesang Nderek Sultan” „Hidup-Mati Ikut Sultan‟ juga mengandung konsep perlawanan makna. Dalam hal ini, konsep perlawanan makna memiliki peran sentral pula untuk membangun makna yang luas dalam kata-kata yang ringkas. “Pejah-Gesang” mengandung makna pilihan dan kesetiaan seorang pengikut kepada yang diikuti (sultan). Kata-kata tersebut pula yang mewakili makna yang lebih luas seperti yang dijelaskan di awal paragraf. Epigram menghadirkan seni berbahasa yang kini begitu lazim digunakan dalam berbagai kegiatan. Lebih jauh, epigram tidak hanya berisi kata-kata yang maknanya saling mendukung (sinonimi) untuk membangun makna secara utuh tetapi berisi pula kata-kata yang berlawanan makna untuk semakin mempertegas makna yang akan disampaikan. Kata-kata yang berlawanan makna tersebut tersirat dalam berbagai variasi tataran unit kebahasaan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelaah lebih dalam aneka konsep perlawanan makna yang terdapat dalam epigram berbahasa Inggris dengan tujuan mengembangkan dan meneguhkan teori yang telah disusun oleh para linguis. 4
Bahasa Inggris dipilih dengan alasan bahwa bahasa tersebut mengandung perlawanan makna dari tataran unit kebahasaan dari yang terkecil, yakni morfem, hingga tataran kalimat. Peran epigram sebagai wadah konsep perlawanan makna memberikan peluang untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi bahasa.
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang disampaikan di atas, penelitian di dalam tesis ini membahas beberapa rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah tataran unit kebahasaan yang mengandung perlawanan makna dalam epigram berbahasa Inggris? 2. Bagaimanakah aneka konsep perlawanan makna yang terdapat dalam epigram berbahasa Inggris? 3. Bagaimanakah fungsi perlawanan makna dalam epigram berbahasa Inggris?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian dalam tesis ini akan menjawab beberapa rumusan permasalahan yang ditemui yakni sebagai berikut. 1. mendeskripsikan tataran unit kebahasaan yang mengandung perlawanan makna dalam epigram berbahasa Inggris, 2. memaparkan aneka konsep perlawanan makna yang terdapat dalam epigram berbahasa Inggris, dan 3. memaparkan fungsi perlawanan makna dalam epigram berbahasa Inggris. 5
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini menghasilkan manfaat teoretis dan praktis. Secara teoretis, pengetahuan tentang perlawanan makna pada epigram berbahasa Inggris memberikan manfaat sebagai berikut: 1. memberikan pengetahuan tambahan dalam ilmu tata bahasa terutama dalam hal relasi makna berlawanan dan makna yang terkandung di dalam kalimat, 2. memberikan pengetahuan umum tentang signifikansi dan fungsi komunikatif relasi makna berlawanan berbahasa Inggris dalam pembelajaran bahasa Inggris. Sementara itu, penelitian ini juga memberikan manfaat praktis, sebagai berikut: 1. membantu para pembelajar bahasa Inggris mempelajari esensi penggunaan relasi makna berlawanan di dalam satu kalimat, 2. melengkapi pengetahuan Semantik pembelajar dalam memahami relasi makna berlawanan berbahasa Inggris.
1.5 Tinjauan Pustaka Dewasa ini, kajian mengenai relasi makna berlawanan semakin marak dikembangkan. Berbagai jurnal ilmiah membahas komponen perlawanan makna, yang selama ini diketahui, yakni makna gradasi dan makna biner/mutlak. Lobanova, dkk. (2009) melalui logika Algoritma menekankan bahwa relasi makna berlawanan di dalam ilmu bahasa tidak ubahnya dengan logika matematika dalam 6
ilmu Algoritma. Dalam pendefinisian antonimi, ilmu Algoritma mengenal nilai gradasi yang terdapat dalam bilangan natural. Lobanova, dkk. memberikan contoh pada angka “1” yang merupakan lawan dari “2”, “3”, “4”, dan sebagainya yang menunjuk makna selain „satu‟. Begitu pula angka “2” merupakan opisisi dari angka selain angka “2”. Sehingga pasangan nilai bertentangan tidak ditunjukkan pada angka lawan angka tetapi angka lawan beberapa angka. Oleh karena itu, Lebanova, dkk. meyakini bahwa relasi makna bertentangan merupakan relasi makna gradasi. Berbeda dengan Lebanova, dkk, Begley (2012), melalui sebuah penelitian menggunakan contoh kata “free”, menyatakan bahwa makna berlawanan pada dasarnya adalah hubungan dua kata atau frasa yang bersifat duality atau memiliki dua kutub yang berbeda. Misalnya, dalam konteks teknologi, makna kata “free” berantonim dengan makna kata “commercial” (free >< commercial / „gratis‟ >< „berbayar‟), dalam bidang ekonomi “free >< limited” „bebas‟ >< „terbatas‟, dalam istilah umum “free >< busy” „waktu longgar‟ >< „waktu sibuk/padat‟, dan dalam istilah ilmu sejarah dan sosial “free >< enslaved” „setara‟ >< „diperbudak‟. Menurut padangan Begley, perbedaan pasangan antonimi dari kata “free” dipengaruhi oleh penggunaan makna kata oleh penutur yang disematkan pada kata yang sama tetapi berbeda makna, dalam hal ini adalah kata “free” sehingga hal tersebut memunculkan lawan makna yang berbeda pada masing-masing bidang ilmu bukan bersifat gradasi. Oleh karena itu, Begley memberikan kesimpulan 7
bahwa keberadaan makna gradasi dalam relasi makna berlawanan dikarenakan ketiadaan kosakata yang mampu mewakili makna yang dimaksud oleh penutur suatu bahasa. Hal ini bertentangan dengan pendapat Lobanova, dkk. De Paoli, dkk (2012), melalui jurnalnya, mengetengahkan pandangan banyak pihak, bahkan akademisi, tentang makna “free” yang berlawanan dengan “commercial”. Pasangan kata tersebut tidak serta merta bisa digunakan secara komprehensif bila digabungkan dengan kata lain atau membentuk sebuah frasa. Hal ini mengindikasikan bahwa De Paoli, dkk meyakini bahwa pasangan kata yang secara umum dianggap berlawanan tersebut ternyata tidak demikian dalam semua konteks. Jurnal tersebut memaparkan penggunaan frasa “free software” dan “commercial software” yang mengarah pada makna “free” yang berarti „gratis‟ sedangkan “commercial” yang berarti „berbayar‟. Menurut De Paoli, dkk kedua istilah tersebut tidaklah bertentangan. “In fact, with our empirical, qualitative and bottom-up analysis of the GRASS and OpenSolaris cases we show that the opposition between FLOSS (Free/Libre Open Source Software) and commercial software is not grounded in current FLOSS development practices and discourses” (De Paoli, dkk; 2012). Istilah “free software” merupakan salah satu tahap dari proses penyempurnaan software yang diluncukan kepada konsumen untuk
diujicobakan
kesempurnaannya
sementara
“commercial
software”
merupakan tahap akhir dari pembuatan software yang kemudian diperjual-belikan di masyarakat. Sehingga, dalam penggunaannya, tidak semua kata bertentangan 8
memiliki makna yang bertentangan bila telah mengalami proses morfologi struktur unit kebahasaannya. Pustaka berikutnya mengenai perlawanan makna adalah penelitian yang dilakukan oleh Weaver, dkk (2012) mengenai fungsi komunikatif penggunaan kata bermakna berlawanan di dalam suatu kalimat untuk mempengaruhi persepsi masyarakat. Jurnal ini membahas keberterimaan slogan atau jargon yang digunakan untuk memasarkan suatu produk. Masyarakat atau konsumen cenderung untuk lebih mengingat slogan yang bersifat padat, jelas, dan penuh makna daripada slogan yang panjang dan bertele-tele. Sementara itu, pasangan kata yang berlawanan dianggap sebagai pilihan kata yang padat dan mampu menyampaikan
pesan
yang
diinginkan
produsen.
Sehingga
Weaver
memberikankesimpulan bahwa kata-kata berlawanan makna yang digunakan secara bersama-sama memberikan kesan dan pesan kuat atau memiliki fungsi komunikatif yang signifikan untuk mempengaruhi pola pikir manusia dan terekam dengan baik di dalam memorinya. Ketiga penelitian yang dilakukan oleh Lobanova, dkk; Begley; dan De Paoli, dkk memberikan pandangan bahwa teori tentang konsep perlawanan makna masih memunculkan ruang untuk dielaborasi lebih dalam. Meskipun demikian, Lyons (1979:270), Leech (2003:135), dan Chaer (1995:88) telah memaparkan bahwa relasi makna berlawanan tidak hanya memiliki satu dimensi perlawanan saja, baik gradasi atau pun mutlak tetapi memiliki kedua dimensi tersebut. Keberadaan 9
konteks yang dipaparkan oleh Begley dan De Paoli, dkk memperkaya khasanah teori relasi tersebut sebagai salah satu kajian Semantik. Selain konsep perlawanan makna sebagai ilmu, kebermanfaatan secara praktis guna mendukung teori fungsifungsi bahasa juga perlu dipaparkan. Oleh Karena itu, penulis tertarik untuk turut serta memperkaya khasanah kajian perlawanan makna sebagai bentuk bahasa dan fungsi komunikatif untuk menyampaikan pesan yang mudah diingat oleh pembaca melalui epigram. Hal terakhir yang disebutkan merupakan pembeda tesis ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yakni mengolaborasikan konsep perlawanan makna dengan fungsi bahasa untuk mendapatkan gambaran konsep perlawanan makna yang digunakan untuk menyampaikan pesan secara sederhana, ringkas, dan saling menguatkan makna.
1.6 Landasan Teori Dari penjelasan tentang latar belakang penulisan tesis, rumusan masalah, tinjauan pustaka, maka berikut ini merupakan paparan teori-teori yang terkait dengan inti permasalahan dan pemecahan masalah dalam tesis ini. Lebih jauh, teori-teori berikut ini memberikan definisi, batasan, dan titik tolak untuk menganalisis data-data penelitian yang telah didapatkan. 1.6.1 Epigram Dalam konteks kehidupan sehari-hari, bahasa merupakan cermin tata susila masyarakat (Samsuri, 1991). Semakin tinggi dan baik bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat, semakin tinggi pula peradaban 10
masyarakat tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya interelasi bahasa dengan lingkungan di sekitarnya. Interelasi ini oleh beberapa ahli disebut sebagai wacana (Wood dan Kroger, 2000:4). Lebih jauh, Baryadi (2002:2) menegaskan bahwa dalam konteks tata bahasa, wacana merupakan satuan lingual tertinggi karena mencakup kalimat, gugus kalimat, paragraf, penggalan wacana, dan wacana utuh. Artinya bahwa keterikatan antarsatuan kebahasaan di dalam wacana cukup kuat dan saling mendukung serta dibuat sedemikian rupa sehingga wacana menjadi berbeda dengan kumpulan kalimat dalam percakapan sehari-hari. Halliday dan Hasan (1979) via Yule (1998:190) menjelaskan gagasan bahwa di dalam wacana terdapat jaringan pengikat kalimat yang membangun makna sehingga pendengar atau pembaca mampu membedakan wacana dan kumpulan kalimat. Karena wacana merupakan suatu sistem kebahasaan yang saling terikat padu, maka menjadi mudah bagi penutur untuk mengekspresikan rangkaian kata-kata yang berisi pesan atau makna yang mudah diingat, ringkas, sederhana, dan memiliki nilai dalam jangka waktu yang lama. Rangkaian kata-kata tersebut disebut sebagai epigram. Di dalam beberapa kamus, epigram didefinisikan sebagai berikut. Epigram is a witty, often paradoxical remark concisely expressed (collinsdictionary.com); epigram is any witty ingenious or pointed saying 11
tersely expressed (dictionary.com); epigram is a short and clever saying (Merriam-Webster.com); dan epigram is a short saying that expresses an idea in clever, funny way (dictionary.cambridge.org). Sementara itu Mackail (1890:2) menjelaskan bahwa “The Greek word ”epigram” in its original meaning is precisely equivalent to the Latin word ”inscription”; if they went beyond a mere name or set of names, or perhaps the bare statement of a single fact, were necessarily in verse, then the single vehicle of organised expression at once more striking and more easily retained in the memory”. Berdasarkan penjelasan Mackail dan beberapa definisi di atas, maka epigram adalah tulisan yang dibuat oleh seseorang dengan tata bahasa
yang
cerdik,
kreatif,
lucu,
dan
mudah
diingat
untuk
mengekspresikan fakta sosial. Sebagai contoh epigram dari K.H. Abdurrahman Wahid, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang patut dipertahankan mati-matian” mencerminkan pemikiran dan interpretasi penutur terhadap fenomena yang tengah dihadapi saat itu dan maknanya masih dianggap relevan hingga saat ini. 1.6.2 Tataran Unit Kebahasaan yang Mengandung Perlawanan Makna Melalui telaah yang lebih dalam, maka diketahui bahwa perlawanan makna bisa muncul sejak dalam tataran unit kebahasaan terkecil, yakni morfem. Meskipun demikian, Chaer (1995:89) menjelaskan bahwa di dalam bahasa Indonesia, tataran unit kebahasaan yang terkecil memiliki 12
kemungkinan terkecil pula untuk menjadi penanda relasi makna, lebih spesifik lagi perlawanan makna. Tetapi, Chaer tidak memungkiri bahwa perlawanan makna dapat terwujud dalam berbagai tataran unit kebahasaan yang terdapat dalam berbagai macam bahasa sesuai karakter bahasa tersebut. Lyons (1979: 272) telah menjelaskan bahwa perlawanan makna tidak hanya terjadi antarkata. Hal ini, yang pada akhirnya menjadi sebuah ambiguitas yang menyebabkan adanya penyempitan definisi dari antonimi, sebagai bentuk sederhana dari perlawanan makna. Cruse (1986: 262) telah lama menyanggah bahwa perlawnan makna bukanlah suatu bentuk relasi dalam kajian bahasa yang menjelaskan hubungan perlawanan antarkata. Hal tersebut didasarkan pada berbagai bentuk unit kebahasaan lain yang mampu menjadi penanda perlawanan makna. “Jika antonimi adalah lawan kata, maka antonimi bukanlah bagian dari kajian Semantik yang membicarakan masalah makna” (Cruse, 1986 :262). Oleh karena itu, Cruse di dalam bukunya mengatakan, “Opposites possess a unique fascination, and exibit properties which may appear paradoxical through the charateristics”. Dia mejabarkan beberapa karakter dari perlawanan makna yang salah satunya adalah adanya tataran unit kebahasaan.
13
Frank (1989:21) juga memberikan gambaran terkait dengan tataran unit kebahasaan yang terdapat di dalam bahasa Inggris. Menurutnya, bahasa Inggris memiliki unit kebahasaan berupa morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Sementara itu, Lyons (1979: 272) menjelaskan bahwa proses morfologi memegang peran penting dalam menandai perlawanan makna dalam tataran morfem baik berupa prefiks, infiks, atau sufiks. Dalam proses tersebut, terdapat dua jenis perubahan karena afiksasi, yakni proses derivasi, proses morfologis yang mengubah kelas kata, dan proses infleksi, proses morfologis yang tidak mengubah kelas kata. Perlawanan makna mampu melekat pada kedua proses tersebut. Dalam tataran kata, perlawanan makna mudah dijumpai. Hal ini dikarenakan sebagian besar bentuk perlawanan makna merupakan kata. Selain itu, kelas kata yang beragam membuat penanda kata menjadi sering muncul. Beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa kelas kata yang mampu mencerminkan perlawanan makna adalah kelas kata sifat. Chaer (1995: 89) berpendapat bahwa kelas kata sifat merupakan sumbu perlawanan makna. Meskipun demikian, bukan tidak mungkin perlawanan makna muncul dalam bentuk kelas kata lain seperti kata benda, kata kerja, dan kata keterangan. Smarandache (2000) menambahkan bahwa perlawanan makna memang bisa muncul tidak hanya berupa kata sifat melainkan jenis kata
14
lain yang masih berada dalam satu kelas. Artinya, kata benda bisa memiliki perlawanan makna dengan kata benda dan sebagainya. Pada tataran kata, penulis ingin melihat kemungkinan adanya hubungan perlawanan makna tetapi memiliki kelas kata yang berbeda, misalnya kata benda berlawanan makna dengan kata kerja, kata sifat berlawanan makna dengan kata keterangan, dan lain-lain. Chaer (1995) dan Akmajian dkk. (2010: 238) menginisiasi konsep tersebut dalam konsep perlawanan makna yang akan dijelaskan pada poin berikutnya. Perlawanan makna pada tataran frasa memiliki variasi relasi. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa kelas kata yang memungkinkan untuk memiliki relasi perlawanan makna baik yang bersifat eksternal maupun internal. Yang dimaksud dengan “bersifat eksternal” adalah pasangan makna frasa yang berlawanan tetapi tidak dalam satu bentuk frasa contohnya “the best defense is a good offence” „pertahanan yang baik adalah menyerang‟. Perlawanan makna pada tataran frasa tidak terbatas hanya pada frasa benda saja tetapi bentuk frasa lain (Akmajian, dkk., 2000: 239). Sementara itu, “bersifat internal” artinya perlawanan makna yang terdapat dalam satu frasa misalnya “I can give a definite perhaps” „Saya bisa memberikmu kemungkinan yang pasti‟. Tataran klausa dan tataran kalimat pada dasarnya merupakan dua tataran unit kebahasaan yang memiliki karakteristik yang sama. Penanda 15
perlawanan makna pada tataran klausa umumnya mudah dikenali melalui konjungsi bermakna kontras antarkalusa baik konjungsi bertingkat maupun setara. Sementara itu, tataran kalimat merupakan relasi makna bertentangan yang terdapat dalam makna suatu kalimat utuh yang bertentangan dengan makna suatu kalimat lain. Umumnya, relasi ini diasumsikan sebagai relasi sebab-akibat tetapi tidak serta-merta relasi tersebut adalah sebab-akibat. Meskipun Smarandache (2000) menyatakan bahwa tidak ada relasi makna berkebalikan pada tataran kalimat karena pada dasarnya kalimat merupakan kombinasi dari unit-unit kebahasaan lebih kecil yang telah memiliki makna. Chaer (1995:90) memberikan pandangan lain bahwa jika makna yang dimaksud hanya pada tataran kecil dari unit kebahasaan, maka relasi tersebut akan berhenti pada tataran yang terkecil tersebut. Akmajian, dkk (2010:238) memiliki pemikiran yang sama dengan Chaer tentang makna utuh suatu kalimat yang menjadi penanda relasi makna perlawanan. Oleh karena itu, perlawanan makna pada tataran kalimat dibangun secara utuh melalui pemaknaan suatu kalimat. 1.6.3 Konsep Perlawanan Makna Kajian relasi makna, khususnya perlawanan makna, pada ilmu Semantik merupakan kajian yang membahas hubungan antarsatu makna dengan makna yang lain. Oleh karena itu, perlawanan makna merupakan kajian yang membahas relasi makna berlawanan yang terdapat pada suatu 16
tataran unit kebahasaan. Ramlan (2001:56) menegaskan bahwa hubungan perlawanan adalah hubungan makna yang dinyatakan dalam satuan lingual berlawanan atau berbeda dengan satuan lingual lain. Dari penjelasan tersebut, seolah tampak bahwa hubungan perlawanan merupakan hubungan face-to-face antarsatuan lingual. Artinya, sebuah kata, misalnya, akan memiliki lawan makna dengan suatu kata lain. Meskipun demikian, Leech (2003:127) menyatakan bahwa konsep tersebut memerlukan pembahasan lebih intensif untuk mengatakan bahwa lawan makna hanya terkandung di dalam satu kata dengan satu kata lain, karena pada kenyataannya sebuah kata memungkinkan untuk memiliki lawan makna yang teraktualisasi lebih dari satu kata. Pendapat ini mengacu pada pendapat dua ahli bahasa di atas yang menyatakan bahwa memang perlawanan makna tidak hanya perlawanan head-to-head. Chaer (1995:88) dan Lyons (1979:270) terlebih dulu memberikan padangan bahwa konsep perlawanan makna bukanlah semata-mata relasi makna satu lawan satu yang tertuang di dalam suatu kata tetapi memungkinkan adanya tingkatan atau level makna. Oleh Karena itu, lazim dipahami bahwa relasi makna perlawanan memiliki dimensi ganda dalam menentukan makna yang terkandung di dalam tataran unit kebahasaan. Unit kebahasaan yang sering mengalami perlawanan makna ganda adalah kata sifat (Leech, 2003:137). 17
Akan tetapi, Akmajian, dkk. (2010:229) kembali mempertanyakan esensi dari definisi makna yang bisa dipertentangkan. Secara umum, pengertian makna bisa dibagi menjadi dua kelas besar yakni makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif adalah makna sebenarnya dari suatu kata sementara makna konotatif merupakan makna yang tidak sebenarnya atau asosiatif/imajinasi. Misalnya kata “kursi” secara denotatif bermakna „suatu alat yang digunakan untuk duduk‟, sementara secara konotatif
bisa
bermakna
„jabatan,
kekuasaan,
kemakmuran‟
dan
sebagainya. Oleh karena itu, beberapa ahli bahasa menyatakan bahwa makna denotatif menjadi pertimbangan utama untuk konsep perlawanan makna karena makna denotatif hampir tidak memungkinkan adanya perluasan makna, sementara konotatif memiliki makna yang imajinatif dan kontekstual. Meskipun demikian, konteks diperlukan untuk memperkaya kajian konsep perlawanan makna. Konteks yang dimaksud adalah konteks internal atau linguistic context. Akbari (2004) menjelaskan konteks linguistik internal, “the language of advertisements as a particular style of discourse is a complex blend of national, social, economic and linguistic traditions which work together with the addressees' expectations.” Karakteristik dari konteks tersebut adalah penggunaan tanda-tanda kebahasaan untuk memberikan hubungan, yang secara sekilas tidak tampak tetapi sejatinya komprehensif 18
dan saling mendukung makna, antarkomponen kebahasaan, sebagai contoh adanya palalelisme, penggunaan nama, penggunaan simbol aritmatika seperti „=‟, keterangan waktu (pak-ari.com, 2013) dan dialog. Konteks tersebut menguatkan perpaduan dua buah makna yang berlawanan menjadi satu makna utuh yang saling menguatkan makna. Di awal abad ke-20, Tse-tung (1937) telah menjelaskan, “Contradiction is present in the process of development of all things; it permeates the process of development of each thing from beginning to end.”
Memang
masih
memerlukan
kajian
lebih
lanjut
untuk
mengalihbahasakan kata “contradiction”. Meskipun demikian, kata tersebut, dengan berbagai variasi kosa kata dalam bahasa Indonesia, merupakan bentuk istilah untuk perlawanan makna. Perlawanan makna muncul tidak serta merta mengedepankan kata „Ya‟ yang berlawanan dengan kata „Tidak‟ atau biasa dikenal dengan istilah antonimi mutlak. Tetapi perlawanan makna bisa hadir melalui sebuah proses yang kini dikenal dengan antonimi gradasi. Meskipun demikian, Tse-tung menyadari bahwa perlawanan bukan saja bersifat universal dan tidak semata-mata disederhanakan dengan istilah antonimi. Selain mengusulkan konsep perlawanan makna dalam lingkup universal, Tse-tung (1937) juga mengusulkan untuk melihat kemungkinan keunikan bentuk perlawanan makna dalam lingkup parsial. “The 19
contradiction in each form of motion of matter has its particularity” memberikan inspirasi bagi De Paoli, dkk (2012) untuk menjelaskan makna perlawanan istilah “free” „gratis‟ dan “commercial” „berbayar‟ dalam bidang teknologi yang pada dasarnya tidak lah berlawanan bila dilihat secara parsial meskipun secara universal, keduanya memiliki makna yang berlawanan. Keunikan ini yang mengundang beberapa ahli bahasa untuk mengulas kembali beraneka ragam bentuk perlawanan makna. Seperti halnya De Paoli, dkk. maka konsep perlawanan dimungkinkan memiliki beraneka irisan yang tidak hanya berupa perlawanan makna, seperti yang dijelaskan Tse-tung di atas, baik perlawanan universal maupun parsial. Lihatlah kembali pada Lobanova, dkk. (2009) yang menggunakan pendekatan Algoritma bahwa “1” memiliki perlawanan makna dengan “bukan 2, 3, 4, atau bilangan lain selain 1”. Secara lebih umum, penulis sependapat dengan Maciuszek (2008:17) yang memberikan konsep perlawanan makna, yakni “Logic Negation” dan “Linguistic Negation”. Logic Negation merupakan istilah untuk menyebut perlawanan makna yang di dalamnya memuat informasi perlawanan tetapi untuk mendapatkan informasi tersebut, diperlukan beberapa langkah dalam upaya menggali makna yang tersembunyi. Salah satu langkah tersebut dapat ditempuh dengan mengenali karakteristik yang 20
melekat pada pasangan kata yang berlawanan makna. Konsep ini mampu memayungi beberapa teori perlawanan makna yang telah diusulkan oleh beberapa ahli bahasa seperti Lyons (1979) yang mengusulkan perlawanan makna direksional, perlawanan makna yang menyebabkan perpindahan arah dan tempat, dan Cruse (1986) yang menambahkan perlawanan makna reversif, perlawanan makna yang menuntut adanya perubahan suatu kondisi ke kondisi lain tetapi tidak sebaliknya. Sementara itu, konsep lain yang diusulkan Maciuszek adalah Linguistics Negation. Konsep ini memberikan ruang yang lebih luas untuk melihat perlawanan makna secara langsung. Artinya, pasangan unit kebahasaan yang berlawanan makna akan dengan mudah dipahami keberlawanannya tanpa harus menganalisis terlebih dahulu karakteristik dari pasangan tersebut. Dengan kata lain, konsep yang kedua ini lebih mudah dicermati karena secara superfisial telah tampak perlawanan maknanya daripada yang konsep pertama. Beberapa ahli bahasa (Lyons, 1979:277) telah menjabarkan jenis-jenis perlawanan makna yang bisa dikategorisasikan ke dalam konsep ini, yakni perlawanan makna mutlak; yang bisa diindikasikan dengan adanya dikotomi makna benar dan salah; gradasi;
perlawanan
komplementer;
makna
perlawanan
yang makna
memiliki yang
tingkatan
kemunculannya
makna; saling
melengkapi; hierarkial; menuntut adanya jenjang kepangkatan atau jenjang 21
struktural; dan majemuk; memungkinkan satu unit kebahsaan memiliki lebih dari satu pasangan lawan makna. 1.6.4 Fungsi Perlawanan Makna Bahasa
mempunyai
fungsi-fungsi
tertentu
yang
digunakan
berdasarkan kebutuhan seseorang, karena dengan menggunakan bahasa seseorang juga dapat mengekspresikan dirinya. Wijana (2014: 63) menegaskan bahwa penggunaan bahasa tidak semata-mata untuk mengomunikasikan sesuatu tetapi banyak fungsi bahasa yang lebih penting. Bahasa umumnya memang digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi, selain itu bahasa juga digunakan sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial. Beberapa ahli bahasa seperti Jakobson dalam Rosdiana (2008) membagi fungsi bahasa 6 (enam) fungsi sebagai alat komunikasi antara lain fungsi emotif, konatif, referensial, puitik, fatik, dan metalingual. Selain Jakobson, Halliday (1973) via Santoso (2008) juga membagi fungsi bahasa menjadi tujuh fungsi bahasa, yaitu: fungsi instrumental, repsresentasional, interaksional, personal, heuristik, imajinatif, dan regulatori. Meskipun demikian, penulis tidak membatasi fungsi bahasa, khususnya perlawanan makna, yang terdapat pada wacana epigram berbahasa Inggris dengan teori fungsi bahasa di atas. Hal tersebut 22
berdasarkan pertimbangan bahwa Jakobson dan Halliday yang membagi fungsi bahasa berangkat dari penemuan fenomena bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, di dalam penelitian ini, penulis menggunakan wacana epigram berbahasa Inggris sebagai data. Wacana epigram berbahasa Inggris memiliki kekhasan sebagai fungsi komunikasi. Bahasa yang digunakan dibuat sedemikian rupa sehingga masyarakat akan lebih mudah mengenali, mengingat, dan mengerti makna yang terkandung di dalamnya.
1.7
Metode Penelitian Sebuah studi dilakukan untuk mendapatkan hasil yang akan dicapai dengan menggunakan metode ilmiah yang objektif. Penggunaan metode ilmiah yang objektif ini juga berlaku untuk penelitian bidang semantik. Ketepatan penggunaan metode menentukan keberhasilan sebuah penelitian (Kesuma, 2007: 2). Metode adalah cara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian, sedangkan penelitian itu sendiri adalah serangkaian kegiatan ilmiah yang meliputi periode pencarian, penemuan dan pemecahan masalah. Periode pemecahan masalah melibatkan beberapa tahapan, yaitu penyediaan data, analisis data, dan presentasi hasil analisis data (Sudaryanto, 1993). Data fenomena bahasa khusus langsung terkait dengan masalah tersebut (Sudaryanto, 1993).
23
1.7.1
Data dan Sumber Data Sudaryanto (1993) merumuskan bahwa data suatu penelitian merupakan wadah dari objek penelitian yang berada dalam konteks lingual maupun non-lingualnya. Sehingga data dalam penelitian ini adalah epigram berbahasa Inggris yang mengandung aneka perlawanan makna. Sementara itu, objek penelitiannya adalah perlawanan makna yang terkandung dalam data tersebut. Sumber data yang digunakan adalah data tertulis yang dikumpulkan dari berbagai sumber tertulis baik buku, majalah, koran, ataupun official website di internet dan sumber tertulis lain yang masih relevan.
1.7.2
Metode Pengumpulan Data Dalam
penelitian
ini,
metode
yang
digunakan
untuk
mengumpulkan data penelitian adalah sebagai berikut: 1.7.2.1 Observasi Observasi dilakukan untuk mengetahui dua hal, yakni kecukupan data dari sumber data untuk analisis penelitian dan adanya penutur asli (native speaker) bahasa Inggris untuk uji keabsahan data atau „proofread‟. 1.7.2.2 Pengumpulan Data
24
Proses pengumpulan data dilakukan dengan mencari sumbersumber
data
tertulis
epigram
berbahasa
Inggris
yang
mengandung perlawanan makna. Oleh karena itu, metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak tak langsung dan catat. 1.7.2.3 Uji Keabsahan Data atau „Proofread‟ Setelah proses pengumpulan data yang menghasilkan bank data, penulis melakukan Uji Keabsahan Data dengan cara berkonsultasi kepada penutur asli (native speaker) bahasa Inggris untuk menyeleksi kesesuaian penggunaan perlawanan makna dalam epigram berbahasa Inggris. 1.7.3
Metode dan Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data penelitian, digunakan Metode Agih atau, yang menurut Sudaryanto (1993), metode distribusional. Metode ini menggunakan komponen kebahasaan yang ada dalam bahasa yang diteliti sebagai alat penentunya. Sementara itu, teknik yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung. Kesuma (2007: 61) menjelaskan bahwa teknik bagi unsur langsung digunakan untuk menganalisis data bahasa dengan cara membagi suatu konstruksi menjadi beberapa bagian atau unsur dan bagian-bagian atau unsur-unsur tersebut dipandang 25
sebagai bagian atau unsur yang langsung membangun konstruksi. Teknik ini bermanfaat untuk menentukkan unsur penyusun suatu kalimat. Unsur-unsur tersebut dimanfaatkan untuk menentukan tataran unit kebahasaan yang mengandung konsep perlawanan makna. Selain itu, penulis juga melibatkan peran kamus, baik bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, untuk mengetahui lebih jauh makna yang terkandung pada suatu unit kebahasaan yang berlawanan makna, terutama pada analisis Logic Negation. 1.7.4
Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data disajikan melalui pendekatan deskriptif kualitatif, yang menurut Strauss dan Corbin (1998: 11) dalam Ritchie dan Lewis (2003), ”By the term 'qualitative research' we mean any type of research that produces findings not arrived at by statistical procedures or other means of quantification”. Penyajian ini memberikan deskripsi analisis dalam bentuk paragraf, bukan semata-mata data statistik kuantitatif.
1.8
Sistematika Penyajian Bab I adalah pendahuluan, yang meliputi: latar belakang pemilihan subjek penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penyajian dan rencana kerja. 26
Bab II akan membincang tentang tataran unit kebahasaan yang mengandung aneka perlawanan makna di dalam epigram berbahasa Inggris. Dalam bab ini, akan disajikan tataran unit kebahasaan dari tataran terkecil hingga terbesar dalam tata bahasa untuk mencerminkan keberadaan perlawanan makna di dalam epigram berbahasa Inggris. Bab III akan mendeskripsikan aneka konsep perlawanan makna yang ditemukan dalam epigram berbahasa Inggris. Kategorisasi ini mengacu pada pendapat berbagai ahli bahasa yang tertuang dalam landasan teori. Bab IV akan mendiskusikan data yang diperoleh untuk memotret fungsi komunikatif penggunaan perlawanan makna di dalam epigram berbahasa Inggris. Penulis tidak membatasi analisis fungsi bahasa pada teori-teori fungsi bahasa yang sudah ada tetapi mengacu pada penemuan penulis dan analisis terhadap penemuan tersebut. Selain itu, penulis juga mengadakan proofread untuk semua temuan dan analisis data yang dilakukan untuk mengetahui nilai rasa dan komunikatif penggunaan bahasa tersebut. Bab V akan merangkum tentang hasil analisis data berupa aneka perlawanan makna di dalam epigram berbahasa Inggris, tataran unit kebahasaan yang mencerminkan perlawanan makna, dan fungsi komunikatif perlawanan maknadi dalam epigram berbahasa Inggris.
27