BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Indonesia memiliki beragam potensi wisata yang semakin hari semakin disadari oleh penduduk Indonesia. Beberapa tahun terakhir berbagai program telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk meningkatkan pariwisata di berbagai daerah di Indonesia, seperti program visit Indonesia. Selain itu program-program pembangunan juga sudah dibentuk oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, dalam rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional tahun 2010-2025 (http://www.parekraf.go.id). Bahkan menurut The World Travel and Tourism Council (WTTC) Indonesia berhasil mengembangkan pariwisata, dan dalam kelompok negara G-20 Indonesia memiliki pertumbuhan pariwisata tertinggi.1 Pariwisata dianggap sebagai jenis industri yang dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cepat (Pendit, 1999). Kata pariwisata dalam bahasa Indonesia pertama kali diciptakan pada tahun 1958 oleh presiden pertama Soekarno, dan sejak saat itu masuk kedala perencanaan pengembangan nasional (Gunawan dalam Cole, 2008:42). Bukan suatu hal yang baru jika keindahan wilayah Indonesia menjadi salah satu daya tarik dalam dunia pariwisata. Berbagai tujuan wisata yang terletak di Indonesia seringkali menawarkan bentang alam yang indah dan wisata alam sebagai atraksi utamanya. Menurut Sameng (dalam Budiningtyas, 1995: 2-3), pariwisata adalah never ending
1
Kompas, Kamis 8 Mei 2014
1
industry, karena kegiatan pariwisata akan terus berlangsung selama manusia terus ada dan akan terus menyerap tenaga kerja seiring dengan perkembangannya. Pariwisata seringkali membawa kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat didalamnya merasakan berbagai keuntungan, terutama dalam hal ekonomi. UU No.10/2009 tentang kepariwisataan mendefinisikan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah (Ardani, 2014:2). Ada berbagai jenis pariwisata di Indonesia, salah satunya adalah pariwisata yang menawarkan keindahan alam. Sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Nyoman S. Pendit (1999:46) tentang jenis pariwisata, wisata cagar alam adalah wisata yang dikaitkan dengan kegemaran akan keindahan alam, taman lindung, hutan daerah pegunungan dan sebagainya yang kelestariannya dilindungi undang-undang. Artinya, kegiatan pariwisata yang menawarkan keindahan alam sebagai daya tariknya dapat dikategorikan dalam jenis wisata cagar alam. Seperti yang dapat ditemukan di dusun Kalibiru, kabupaten Kulon Progo. Kalibiru membuka wisata alam dengan menawarkan keindahan pemandangan alam dan hutan lindung. Pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) dikembangkan berdasarkan prinsip keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan berbagai stakeholders pembangunan pariwisata termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat. Secara ideal prinsip pembangunan community based tourism menekankan pada pembangunan pariwisata “dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat”. dalam setiap tahapan pembangunan, yang dimulai dari perencanaan, pembangunan, pengelolaan dan pengembangan sampai dengan
2
pemantauan (monitoring) dan evaluasi, masyarakat setempat harus dilibatkan secara aktif dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi karena tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat (Demartoto, 2009:20). Sejak tahun 2008 kawasan Kalibiru mulai mengembangkan pariwisata dengan memanfaatkan lingkungan hutan sebagai daya tariknya. Memanfaatkan jasa lingkungan hutan, masyarakat membuka wisata alam di kawasan hutan lindung atau lebih tepatnya hutan kemasyarakatan. Sesuai dengan peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/Menhut-II/2007, pasal 1, mendifinisikan hutan kemasyarakatan sebagai
hutan
Negara
yang
pemanfaatan
utamanya
ditujukan
untuk
memberdayakan masyarakat setempat.2 Munculnya wisata alam Kalibiru terdorong oleh keinginan masyarakat memiliki kehidupan yang lebih baik, karena sejak status hutan negara di kawasan dusun ini berubah dari hutan produksi menjadi hutan lindung masyarakat lokal tidak dapat lagi mengandalkan perekonomian dari hasil kayu hutan. Ide untuk membuka kawasan pariwisata ini muncul dari sekelompok masyarakat Kalibiru, dengan tujuan untuk tetap bisa memanfaatkan dan mendapatkan keuntungan dari hutan tanpa merusak hutan. Pembangunan dan pengembangan kawasan wisata alam sangat dipengaruhi oleh masyarakat Kalibiru. Pengambilan keputusan terkait pembangunan dan pengembangan kawasan wisata alam sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat lokal. Berbeda dari beberapa lokasi wisata lainnya, Kalibiru mengklaim bahwa wisata alam yang ada di wilayahnya
2
Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P.37/MENHUT-II/2007, 2007.
3
adalah hasil dari perumusan ide yang dilakukan oleh masyarakat Kalibiru. Pariwisata yang muncul dari dalam masyarakat lokal merupakan sebuah hal menarik untuk dipelajari. Sebuah tujuan wisata layaknya mudah diakses oleh pengunjung dan terletak di lokasi yang cukup strategis. Wisata alam Kalibiru terletak pada perbukitan dengan akses yang terbatas. Tidak ada kendaraan umum, kontur jalan curam dan usia pariwisata yang belum lama menyebabkan perkembangan pariwisata di Dusun Kalibiru tidak terlalu pesat. Selain itu belum banyak masyarakat yang dapat berpartisipasi dalam pariwisata. Tujuan awal dari pengembangan pariwisata di Kalibiru adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kalibiru. Pariwisata yang sudah berjalan selama 5 tahun belum menunjukan pertumbuhan yang signifikan. Hal ini menjadi menarik untuk dipelajari lebih lanjut, karena masyarakat Kalibiru masih terus berusaha membangun dan mengembangkan pariwisata dengan menggunakan prinsip pariwisata kerakyatan.
2. Tinjauan Pustaka Kajian pariwisata yang ditulis oleh Michael (2009) dalam tesis yang berjudul Community Involvement and Participation in Tourism Development in Tanzania mengulas mengenai partisipasi dan keterlibatan komunitas lokal dalam pengembangan pariwisata di Tanzania. Ia juga menulis jika komunitas lokal ingin memiliki peran (play a role) dalam pengambilan keputusan, terkait pengembangan pariwisata. Komunitas lokal juga memiliki keinginan untuk mendapatkan bagian
4
dari keuntungan dari pariwisata. Pariwisata memiliki kemampuan untuk memberikan dampak positif terhadap kehidupan komunitas lokal di Tanzania. Bartholo et al (2008) memiliki pendapat yang serupa, dituangkan dalam sebuah artikel berjudul “Tourism for Whom?” Ia membicarakan mengenai pariwisata dapat memberikan keuntungan kepada masyarakat lokal. Artikel ini berisikan dua contoh kasus yang membuktikan keberhasilan pariwisata yang berbasis masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitarnya. Berlatar tempat di Brazil, dua contoh kasus yang dibicarakan dalam artikel ini adalah bagaimana komunitas lokal terlibat dalam proses perencanaan dan implementasi pengembangan pariwisata. Fokus pembangunan yang terpusat pada komunitas lokal, karena dengan memperhatikan orang-orang lokal akan tercipta peluang-peluang baru dan keuntungan bagi anggota komunitas tersebut. Tulisan lain yang membahas mengenai pariwisata dan masyarakat lokal adalah tesis milik Islami (2014) dengan judul “Pariwisata Pascabencana”. Ia menjelaskan mengenai persepsi masyarakat lokal terhadap pariwisata pascaerupsi gunung Merapi tahun 2010, dengan latar tempat kampung Kinahrejo. Warga Kinahrejo dan dan pengelola wisata volcano berpendapat bahwa pariwisata pascaerupsi dapat dimanfaatkan sebagai usaha komersial. Bagi warga, Kinahrejo setelah erupsi merupakan ladang untuk mencari rezeki. Hal ini disebabkan oleh kegiatan pariwisata di Kinahrejo memberikan alternatif penghasilan yang lebih baik untuk warga dibandingkan sebelum erupsi pada tahun 2010 (Islami, 2014). Pariwisata memberikan keuntungan kepada masyarakat lokal ketika masyarakat mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kepariwisataan.
5
Partisipasi masyarakat lokal dalam pariwisata dapat terjadi dalam beberapa aspek. Salah satunya dalam menjaga lingkungan yang menjadi aset utama pariwisata yang menawarkan ekowisata. Ardani (2014) menuliskan mengenai partisipasi masyarakat di Desa Jungutbatu, Bali dalam menjaga lingkungan sekitar mereka sebagai modal utama ekowisata yang ditawarkan desa tersebut. Masyarakat Desa Jungutbatu menunjukan kepedulian mereka terhadap kebersihan lingkungan dan kelestarian hutan mangrove yang menjadi aset utama ekowisata. Ditunjukan dengan dibuatnya sebuah peraturan adat tentang pelarangan pemotongan pohon Bakau secara sengaja. Serta kelompok pemuda yang bekerja di pariwisata melakukan upaya kerja bakti untuk menjaga kebersihan lingkungan desa. Tulisantulisan diatas menunjukan bagaimana partisipasi masyarakat dilakukan dalam hal implementasi kegiatan kepariwisataan. Tetapi sebaiknya masyarakat juga diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam segi perencanaan dan pengambilan keputusan. Muganda, Sirima dan Ezra (2013) dalam artikelnya mengulas mengenai partisipasi seperti apa yang ingin dilakukan oleh masyarakat lokal dari sudut pandang mereka. Artikel ini berlatar tempat di Tanzania ini mengungkapkan bahwa masyarakat lokal menginginkan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan serta pembuatan kebijakan. Dengan harapan masyarakat lokal dapat lebih dalam menakomodasi keinginan mereka terkait pengembangan pariwisata. Pariwisata pasti akan membawa perubahan kedalam masyarakat, seperti yang diuraikan dalam skripsi berjudul “Respon Masyarakat dan Pengaruh Pariwisata Terhadap Masyarakat” yang ditulis oleh Brahmantya (2006). Pariwisata
6
mendorong respon dari masyarakat lokal, seperti yang terjadi di Dusun Kaliurang Timur. Masyarakat merespon pariwisata dengan membuka usaha baru seperti penginapan, warung makanan, menjadi pedagang dan pelukis. Hal ini merupakan strategi adaptasi masyarakat dalam kaitannya dengan masuknya pariwisata ke Kaliurang. Model pengembangan pariwisata yang berbasis kemasyarakatan menyebabkan dampak negatif pariwisata dapat diminimalisir dan membawa pengaruh positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar. AhimsaPutra (2011) dalam artikel yang berjudul “Pariwisata di Desa dan Respon Ekonomi: Kasus Dusun Brayut di Sleman, Yogyakarta” menuliskan mengenai respon ekonomi masyarakat dusun Brayut terhadap perkembangan pariwisata di dusun tersebut, dalam bentuk komersialisasi dan menjadi pialang budaya. Dusun Brayut yang menjadi desa wisata mendorong penduduk desa untuk melakukan komersialisasi terhadap unsur budaya seperti kegiatan bertani dan ritual tradisional menjadi sebuah atraksi wisata. Serta komersialisasi ruang kosong seperti mengubah rumah menjadi penginapan atau membuat tempat parkir di lahan kosong (AhimsaPutra, 2011:655). Dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa respon ekonomi penduduk Desa Brayut bukanlah strategi adaptasi, melainkan aktivitas tertentu sejumlah warga masyarakat untuk mendapatkan tambahan penghasilan atau keuntungan yang muncul sebagai tanggapan atas berkembangnya kegiatan kepariwisataan di sekitar mereka (Ahimsa-Putra, 2011:637). Stronza dan Gordillo (2008) dalam artikel yang berjudul “Community Views of Ecotourism” membicarakan bahwa pariwisata khusunya ekowisata, dapat memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga membawa perubahan lain seperti
7
konflik sosial dan menurunya keuntungan timbal balik. Dalam artikel ini diberikan contoh tiga ekowisata di Amazon yang sudah merasakan keuntungan dari ekowisata. Tetapi juga merasakan perubahan lain seperti konflik sosial dan menurunnya keuntungan bersama yang didapat dari ekowisata. Partisipasi masyarakat sangat berpengaruh terhadap dampak pariwisata yang terjadi di suatu tempat. Partisipasi masyarakat lokal juga menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan pariwisata sebagai alat pembangunan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Peran serta masyarakat dalam pariwisata dapat menjamin perseberan keuntungan yang lebih baik dalam pengembangan pariwisata.
3. Rumusan Masalah Pariwisata di Kalibiru dibangun dengan tujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yang tinggal di Kalibiru. Untuk memenuhi harapan ini keuntungan yang berasal dari pariwisata harus bisa dinikmati oleh masyarakat. Keterlibatan penuh masyarakat lokal dalam pengembangan kawasan pariwisata idealnya dapat memaksimalkan keuntungan yang didapat dari pariwisata kepada masyarakat lokal. Faktanya tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi di pariwisata yang disebabkan oleh keterbatasan akses, contohnya seperti keterbatasan informasi, kemampuan dan ketersediaan modal. Kehadiran wisata alam Kalibiru telah menimbulkan perubahan cukup besar bagi masyarakat sekitarnya. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan yaitu: 1. Bagaimana latar belakang munculnya pariwisata di Kalibiru?
8
2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan wisata di Kalibiru?
4.
Kerangka Pemikiran
Pariwisata memiliki potensi untuk meningkatkan kondisi sosial dalam masyarakat yang terlibat didalamnya, juga berperan dalam perkembangan masyarakat dan berpengaruh terhadap hubungan antar kelompok masyarakat yang menyebabkan perubahan sosial (Nash, 1996). Pariwisata merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang sedang bersantai dan melakukan perjalanan (Nash, 1981). Definisi pariwisata juga dirumuskan oleh McIntosh dan Gupta (dalam Pendit, 1999:37) sebagai gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan serta pengunjung lainnya. Kedua definisi tersebut menghasilkan pemahaman bahwa pariwisata merupakan kegiatan interaksi yang terjadi antara wisatawan sebagai pendatang dengan masyarakat lokal di lokasi wisata sebagai tuan rumah. Menurut Ardani (2014) wisata alam atau nature tourism diartikan sebagai kegiatan wisata yang umumnya diikuti kegiatan fisik dari wisatawan tanpa memperhatikan konservasi. Tetapi wisata alam Kalibiru merupakan pariwisata yang dilaksanakan di wilayah hutan kemasyarakatan dengan status hutan lindung. Sehingga semua kegiatan kepariwisataan yang dilaksanakan di wisata alam harus memperhatikan upaya konservasi hutan. Meskipun menggunakan nama Wisata Alam Kalibiru, sebenarnya pariwisata di Kalibiru masuk kedalam ekowisata. Page dan Dowling (2002) menyebutkan bahwa menurut
9
The International Ecotourism Society, ekowisata adalah pariwisata bertanggung jawab yang dilakukan di tempat-tempat alami dan memberikan kontribusi kepada keestarian alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (Ardani, 2014:3). Interaksi yang terjadi dalam pariwisata dapat dipelajari dengan menggunakan sudut pandang antropologi, karena aspek penting dalam pendekatan antropologi adalah melihat perilaku manusia dalam konteks lingkungan atau sosial yang berpotensi mempengaruhi mereka (Nash, 1996). Berbagai kritik dalam studi pariwisata mengenai pariwisata sebagai agen pembangunan biasanya didominasi oleh pihak luar, yang mengantongi semua keuntungan dari pariwisata dan menyebabkan masyarakat lokal sebagai tuan rumah yang membayar segala dampak negatifnya. Oleh karena itu masyarakat lokal sebagai tuan rumah harus memiliki pengaturan dan perencanaan yang matang untuk bisa merasakan keuntungan dari pariwisata (Hinch dan Butler, 1996). Masyarakat lokal di Kalibiru terlibat langsung dan aktif dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata. Sesuai dengan definisi indigenous tourism oleh Hinch dan Butler (1996), yaitu aktifitas pariwisata dimana masyarakat lokal terlibat langsung melalui kontrol terhadap pariwisata dan/atau kebudayaan mereka ditampilkan sebagai pokok sajian pariwisata. Artinya, Kalibiru memiliki bentuk pariwisata yang dikuasai penuh oleh masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat lokal yang dianggap sebagai kunci dari keberhasilan pariwisata sebagai salah satu agen pembangunan, sudah dilakukan oleh masyarakat Kalibiru.
10
Masyarakat dalam konteks penelitian ini, sesuai dengan penjelasan dari Koentjaraningrat (2000: 146-147), adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Dibatasi dengan kriteria, seseorang yang tinggal di Kalibiru dan berpartisipasi dalam wisata alam Kalibiru, baik secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pariwisata. Stronza (2001) berpendapat bahwa partisipasi seseorang dalam pariwisata dapat dibedakan menjadi partisipasi langsung dan tidak langsung. Partisipasi langsung dilakukan oleh orang-orang yang bekerja setiap hari di pariwisata dan berhubungan langsung dengan para wisatawan seperti menjadi pemandu. Jenis partisipasi tidak langsung biasanya dilakukan oleh orang-orang yang bekerja sebagai staf pendukung atau pedagang. Untuk dapat mengetahui tingkat partisipasi seseorang, Stronza (2001) merumuskan tiga unsur pertanyaan yang terdiri dari, siapa yang terlibat, mengapa dan dalam hal apa seseorang berpartisipasi dalam pariwisata. Pertanyaan tersebut menjadi dasar perumusan pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi (Isbandi Rukminto Adi, dalam Irawan, 2011:13) Tingkat partisipasi masyarakat yang terlibat dalam pariwisata dapat menentukan sejauh mana kontrol yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini juga
11
menunjukkan manfaat atau keuntungan apa yang didapatkan seseorang dengan berpartisipasi dalam pariwisata. Partisipasi masyarakat pada dasarnya adalah pemberdayaan masyarakat dengan peningkatan kemampuan dan penguatan kelembagaan komunitas lokal melalui proses belajar berbasis pengalaman (Wahyudi, 2006 dalam Irawan, 2011:67). Pariwisata di Kalibiru muncul sebagai upaya untuk memperbaiki taraf hidup, dengan tetap menjaga kelestarian hutan, sesuai dengan keinginan pemerintah yang mengubah status hutan menjadi hutan lindung. Keinginan untuk meningkatkan perekonomian dan mendapat kehidupan yang lebih baik menjelaskan bahwa pariwisata di Kalibiru berhubungan dengan pembangunan. Arti kata partisipasi dalam bahasa Indonesia adalah ikut serta dalam suatu kegiatan3. Menurut Ardani (2014: 21) partisipasi menuntut adanya keikutsertaan seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan. Keikutsertaan tersebut dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan langsung misalnya ikut terjun melaksanakan kegiatan dan terlihat secara fisik, sedangkan keterlibatan tidak langsung dapat berupa bantuan sumbangan pikiran dalam suatu kegiatan. Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat Kalibiru akan digolongkan menjadi dua jenis, yaitu partisipasi langsung dan tidak langsung, dengan melihat kontribusi yang diberikan oleh masyarakat terhadap pariwisata. Pengenalan pariwisata kepada masyarakat lokal atau elemen kebudayaan baru yang lain akan menyebabkan perubahan dalam kehidupan masyarakat sebagai tuan rumah (Nash, 1996). Pendapat yang serupa juga diberikan oleh Stronza dan
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia 1994: 750
12
Gordillo (2008) bahwa seringkali masyarakat lokal membayar akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pariwisata konvensional. Perubahan-perubahan dapat terjadi di Kalibiru sebagai dampak dari pariwisata. Sesuai dengan pendapat tersebut, penelitian ini juga akan melihat mengenai perubahan dalam kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh pariwisata.
5.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami lebih dalam mengenai pengaruh keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata. Peran dan partisipasi seperti apa yang dilakukan oleh komunitas lokal di Kalibiru dalam pariwisata. Serta perubahan apa yang terjadi seiring dengan interaksi yang terjadi antara wisatawan dengan komunitas lokal dalam pariwisata. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca yang ingin mengetahui peran masyarakat lokal dalam pariwisata. Penelitian ini dapat membantu memberikan contoh kasus dimana pariwisata diundang masuk kedalam kehidupan sebuah masyarakat. Berbeda dengan kawasan wisata yang dibangun berdasarkan kepentingan pihak luar. Penelitian ini diharapkan dapat menambah tulisan ilmiah mengenai pariwisata dalam sudut pandang antropologi.
6. Metode Penelitian 6.1. Pemilihan Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi penelitian di Kalibiru dikarenakan pariwisata di Kalibiru merupakan pariwisata yang sepenuhnya dijalankan oleh masyarakat lokal.
13
Informasi mengenai lokasi penelitian didapatkan melalui program field school “Training In Anthropological Skill” yang diselenggarakan oleh FIB UGM, bekerja sama dengan Institut Antropologi Budaya dan Sosiologi Pembangunan, Universitas Leiden. Melalui kesempatan tersebut, didapatkan informasi bahwa masyarakat lokal memiliki partisipasi penuh dalam pengembangan pariwisata. Penelitian ini dilakukan selama bulan Februari hingga Maret tahun 2014. Selama dua bulan peneliti tinggal di dusun Kalibiru dan berkomunikasi langsung dengan penduduk Kalibiru. 6.2. Penentuan Informan Pemilihan informan dilakukan setelah melakukan observasi di kawasan pariwisata. Informan dipilih berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan dalam pariwisata. Melalui jenis pekerjaan dapat diketahui tingkat partisipasi informan dalam kegiatan kepariwisataan. Penulis memilih 5 informan yang memiliki jenis pekerjaan yang berbeda. Kelima informan tersebut dapat mewakili jenis partisipasi masyarakat lokal di wisata alam Kalibiru. Kriteria informan yang dipilih adalah, 1) Informan yang setiap hari bekerja di pariwisata. 2) Informan yang berada “dibalik layar” pengelolaan pariwisata. 3) Informan yang berjualan makanan dan minuman di kawasan pariwisata.
6.3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode kualitatif melalui wawancara. Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam yang bersifat santai, sehingga informan tidak merasa canggung dan lebih terbuka mengenai
14
kehidupan dan keterlibatan di kawasan wisata alam. diharapkan informan akan lebih terbuka sehingga dapat mengungkapkan secara leluasa berbagai pendapat mereka mengenai pariwisata di Kalibiru. Selain wawancara penulis juga melakukan observasi partisipan dengan mengikuti semua kegiatan yang dilaksanakan di kawasan pariwisata, serta kegiatan pendukung pariwisata seperti pelatihan dan pertemuan rutin pengurus pariwisata. Pengumpulan data juga dilakukan dengan studi pustaka yang berasal dari dokumentasi dusun dan kepanitiaan wisata alam Kalibiru, jurnal-jurnal, buku-buku dan sumber informasi di internet. Data yang telah berhasil dikumpulkan melalui berbagai metode tersebut, akan digunakan sebagai bahan analisis tulisan ini.
7.
Sistematika Penulisan
Tulisan ini akan ditulis dalam lima bab, bab pertama berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teori dan metode penelitian. Bab kedua berisi tentang profil dusun Kalibiru dan sejarah singkat hutan di wilayah Kalibiru. Latar belakang terbentuknya pariwisata akan diuraikan pada bab tiga. Selain latar belakang, bab ini juga akan menjelaskan mengenai terbentuknya Koperasi, sebagai awal terbentuknya wisata alam Kalibiru. Termasuk didalamnya alasan dibukanya wisata alam, susunan organisasi pariwisata, dan bantuan-bantuan yang telah diterima melalui koperasi. Bab tiga juga akan mendeskripsikan mengenai kegiatan sehari-hari didalam wisata alam Kalibiru dan apa yang dilakukan oleh masyarakat yang terlibat didalamnya.
15
Selanjutnya pada bab empat, akan dijelaskan mengenai partisipasi dan peran masyarakat dalam wisata alam Kalibiru, dengan menggunakan landasan teori pada bab pertama sebagai acuan untuk menganalisis bagaimana partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam pariwisata. Dilanjutkan dengan menganalisis sejauh mana masyarakat terlibat dalam pariwisata, dan apa dampak pariwisata dalam kehidupan mereka. Ditutup dengan bab lima yang berisi kesimpulan dan saran.
16