BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Disadari atau tidak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang demikian pesat dalam dekade belakangan ini telah membawa perubahan paradigma dalam berbagai sendi kehidupan tak terkecuali dibidang pemerintahan khususnya dalam pelayanan publik.
Dampaknya terlihat dari meningkatnya
tuntutan masyarakat akan pelayananan publik yang lebih efektif, efisien, transparan dan akuntabel
(Layanan Prima)
yang
mengharuskan pemerintah untuk
memanfaatkan peran TIK sebagai media transformasi layanannya. Konsep transformasi adalah hal utama yang harus diterapkan, bukan sekedar pemakaian teknologinya saja, melainkan pemanfaatan teknologi yang dapat mendukung dalam sistem pembuatan kebijakan dan pelayanan publik ke arah yang lebih baik yang terangkum dalam satu kesatuan sistem terintegrasi yang dikenal dengan e-government/e-gov (Jaya, 2011). Hal senada juga dikemukakan oleh (AlKhouri, 2011) yang menyatakan “E- government is not just about enabling existing government services on the Internet, but rather is about a re-conceptualization of the services offered by governments, with citizens' expectations at the core of the re-conceptualization”.
Secara garis besar, terdapat tiga hal mendasar yang
menjadi sasaran penerapan e-government, yaitu pertukaran informasi dan transaksi antar sesama instansi pemerintah (G2G), pemerintah dengan masyarakat (G2C) serta pemerintah dengan kalangan bisnis (G2B). Pada pelaksanaan e-gov dalam konteks G2B, e-procurement (e-proc)
1
2
merupakan salah satu bentuk implementasi aplikasi berbasis TIK yang diharapkan dapat memberikan layanan prima di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Hal ini menjadi isu penting mengingat kegiatan pengadaan barang/jasa dalam penyelenggaraan pemerintahan menyangkut penggunaan uang negara (rakyat) yang pemanfaatannya harus dapat dipertanggungjawabkan
secara transparan,
efektif dan efisien sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Transformasi informasi dan transaksi secara elektronik pada pelaksanaan e-proc diharapkan menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi berbagai sinyalemen negatif terkait pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah seperti penggelembungan harga (mark up), pengaturan pemenang, dan berbagai bentuk kecurangan lain yang diduga sering terjadi pada proses pengadaan secara konvensional. Menyadari dinamika dan kompleksitas permasalahan terkait pengadaan barang/jasa pemerintah serta dilandasi semangat ingin mewujudkan Indonesia yang lebih baik, mengemuka harapan agar proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang pembiayaannya bersumber dari APBN/APBD dapat berlangsung degan lebih efektif dan efisien serta mengutamakan penerapan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, transparan, terbuka, adil bagi semua pihak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan
(www.lkpp.go.id,
2012).
Berlandaskan pada
harapan ideal tersebut, maka pemerintah membentuk Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah (LKPP) yang memiliki kewenangan dalam merumuskan perencanaan dan pengembangan strategi, penentuan kebijakan serta aturan perundangan pengadaan barang/jasa pemerintah yang sesuai dengan tuntutan perubahan.
3
Salah satu kebijakan yang diterbitkan LKPP adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dalam perkembangannya beberapa kali diperbaharui, dan terakhir menjadi Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan barang/Jasa Pemerintah.
Dalam
regulasi tersebut jelas diamanatkan bahwa seluruh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah yang pendanaan kegiatannya bersumber dari APBN/APBD wajib melaksanakan proses pengadaan barang/jasa secara elektronik melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). LPSE merupakan sebuah Unit kerja yang dibentuk pada Kementerian /Lembaga /Pemerintah Daerah/ Institusi (K/L/D/I) untuk menyelenggarakan Sistem Pengadaan barang/jasa Secara Elektronik (SPSE) dan memfasilitasi K/L/D/I kepada Portal Pengadaan Nasional (Peraturan Kepala LKPP No 2 , 2010). SPSE yang dikelola LPSE dalam implementasinya mampu mendukung interoperabilitas serta jaminan keamanan data, dimana dalam prosesnya akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, sehingga proses akan menjadi sangat terbuka, yang pada gilirannya dapat lebih mendorong tumbuhnya persaingan sehat yang adil dan non-diskriminatif antar pelaku usaha sehingga efisiensi dan efektifitas belanja negara dapat diwujudkan. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga pengelola SPSE, ketersediaan layanan serta kehandalan sistem merupakan dua hal penting yang menjadi kunci utama menuju keberhasilan penerapan SPSE yang diselenggarakan. Untuk itu ketersediaan dan tata kelola sumber daya yang representatif mutlak diperlukan sehingga layanan senantiasa dapat terselenggara sebagaimana mestinya.
4
Disisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa penyelenggaraan kegiatan TIK di lingkungan instansi pemerintah (daerah) seringkali terkendala oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusia (SDM). Eksistensi SDM yang kompeten dibidang pelayanan umum berbasis TIK pada instansi pemerintah (daerah) umumnya jumlahnya sangat terbatas, demikian pula ketersediaan perangkat penunjang seperti server, jaringan, aplikasi serta akses internet yang tentu berpengaruh luas pada kinerja unit layanan secara keseluruhan. Hasil observasi awal penulis menunjukkan bahwa beberapa LPSE di Bali seperti LPSE Badung, LPSE Denpasar dan LPSE Provinsi Bali menyiasati keterbatasan sumber daya tersebut dengan mempekerjakan tenaga non PNS Pemda untuk membantu penanganan server LPSE yang dikelolanya, sementara beberapa daerah lainnya memilih LPSE tipe service provider (tidak memiliki/mengelola server sendiri) sebagai bentuk penyelenggaraan layanan pengadaannya.
Berdasarkan smart report LPSE LKPP diperoleh data bahwa
hingga akhir tahun 2014 lalu, dari 731 LPSE yang ada, masih terdapat 18 LPSE yang beroperasi sebagai LPSE tipe service provider. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan sumber daya merupakan sesuatu yang memang sangat penting serta berpengaruh terhadap kelancaran penyelenggaraan suatu layanan. LPSE Badung yang dibentuk pada akhir tahun 2010 dan memulai lelang perdananya pada awal tahun 2011, dalam penyelenggaraan layanannya juga mengalami kendala serupa, namun hal tersebut diatasi dengan mengangkat seorang konsultan TI yang
merupakan seorang akademisi sekaligus sebagai praktisi
khususnya dibidang pengelolaan server dan jaringan dengan tugas utama
5
merancang, mengelola, memantau serta menangani permasalahan teknis yang terjadi dalam pengelolaan server dan jaringan LPSE. Namun demikian hal ini belum dirasakan sebagai sebuah solusi optimal yang sepenuhnya mampu menjawab tantangan tugas dan kewajiban yang harus diemban LPSE Badung terutama yang berkaitan dengan ketersediaan layanan dan kehandalan sistem. Ketersediaan layanan dalam konteks ini merupakan kondisi dimana layanan SPSE yang menjadi tanggung jawab LPSE senantiasa tersedia (dapat diakses setiap saat, kapan dan dimana saja) sepanjang tersedia jaringan internet.
Sementara
kehandalan sistem yang dimaksud adalah keadaan dimana transaksi/bisnis proses dalam layanan SPSE tersebut dapat berfungsi/beroperasi dengan baik sebagaimana mestinya. Oleh karena itu diperlukan suatu tata kelola sumber daya yang baik melalui pemanfaatan TIK agar dapat mengatasi kesenjangan kondisi tersebut, dan salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah melalui pemanfaatan Teknologi Virtualisasi. Teknologi
Virtualisasi
adalah
suatu teknologi
yang memungkinkan
bekerjanya beberapa aplikasi atau sistem operasi sekaligus secara bersamaan dengan menggunakan hanya satu perangkat komputer. Melalui konsep virtualisasi sebuah komputer dimungkinkan terbagi dalam beberapa lingkungan yang saling berhubungan atau tidak sama sekali pada waktu bersamaan yang dikenal dengan Virtual Machine /VM (Scroggins, 2013). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa teknologi virtualisasi dapat memberikan efisiensi serta efektifitas yang cukup signifikan terhadap performa sebuah server. Virtualisasi juga merupakan upaya optimalisasi sumber daya TI yang dimiliki serta menawarkan sebuah solusi yang
6
lebih baik bagi pengelolaan sumber daya seperti server, media penyimpanan /storage, perangkat jaringan/network dan aplikasi melalui peningkatan utilitas, penurunan biaya, serta kemudahan perawatan (Omkar et al., 2012). Miller, 2013 dalam bukunya Server Consolidation for Dummies – Oracle 2nd Special Edition menyebutkan bahwa konsolidasi server pada implementasi teknologi virtualisasi dapat meningkatkan utilitas server hingga menjadi 70% dari sebelumnya yang hanya berkisar antara 10 – 30%. Hal senada juga dikemukan oleh Raisan dan Mursanto, 2009 yang menyatakan bahwa utilitas sebuah server tunggal umumnya hanya berkisar antara 10 – 15% saja, dan hal ini dapat ditingkatkan melalui konsolidasi server yang merupakan salah satu faktor utama dalam implementasi teknologi virtualisasi, sementara Padala Pradeep, et al., 2007 dalam penelitiannya Performance Evaluation of Virtualization Technologies for Server Consolidation menyebutkan bahwa terjadi peningkatan respon time hingga 400% pada virtualisasi menggunakan Xen dan 100% pada Open VZ. Konsep Teknologi Virtualisasi bukanlah merupakan sebuah konsep teknologi yang baru namun telah cukup lama diperkenalkan yaitu sekitar tahun 1960an dan implementasinya di Indonesia khususnya dikalangan pemerintahan masih sangat jarang dilakukan hingga saat ini, padahal banyak kemudahan serta keuntungan yang bisa diperoleh terutama bila diterapkan pada institusi berbasis layanan publik seperti LPSE. Keberhasilan penyelenggaraan LPSE tidak saja dipengaruhi oleh ketersediaan layanan dan kehandalannya, tetapi dipengaruhi pula oleh beberapa faktor lain seperti regulasi serta petunjuk pelaksanaan yang jelas, standar pelayanan minimal,
7
biaya operasional yang memadai, komposisi dan susunan organisasi, manajemen personil pengelola layanan, ketepatan dalam memilih rekanan /penyedia yang menunjang operasional LPSE seperti penyedia bandwidth atau penyedia jasa maintenance perangkat LPSE, dan lain-lain. Kontribusi berbagai faktor tersebut dalam pengelolaan LPSE, dapat tergambar lebih jelas melalui analisis menggunakan Blue Ocean Strategy (BOS) dan Balanced Scorecard (BSC). Blue Ocean Strategy
pada dasarnya merupakan sebuah strategi yang
digunakan oleh perusahaan/organisasi untuk keluar dari persaingan dengan menawarkan fitur produk atau sistem inovatif yang luput dari perhatian para pesaing (Afiff, 2013). Menurut Chrismardani, 2010 yang melakukan penelitian tentang Implementasi BOS di Indonesia, meskipun strategi ini terbukti sangat baik, namun masih jarang dilakukan di Indoensia, sehingga menjadikannya sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk diteliti. Sementara Balanced Scorecard adalah metode yang digunakan untuk mengukur dan mengendalikan secara cepat, tepat dan komprehensif serta memberikan dasar pemahaman kepada pimpinan organisasi terkait kinerja organisasinya melalui peninjauan terhadap empat sisi sudut pandang yaitu sisi keuangan, sisi pelanggan, sisi proses bisnis internal serta sisi pembelajaran dan pertumbuhan (Kaplan, 1999). Dalam penelitian ini akan dilakukan perencanaan virtualisasi menggunakan Blue Ocean Strategy dan Balanced Scorecard, dimana optimalisasi pemanfaatan fitur-fitur dalam teknologi virtualisasi serta dengan analisis yang lebih mendalam terhadap faktor-faktor yang berpengaruh pada penyelenggaraan LPSE diharapkan dapat menjadi salah satu opsi inovatif dalam rangka memenuhi tantangan akan
8
ketersediaan layanan dan kehandalan sistem LPSE yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan kinerja LPSE secara keseluruhan. 1.2 Rumusan Masalah Dalam latar belakang telah diuraikan bahwa ada dua hal yang sangat penting untuk keberhasilan penyelenggaraan layanan e-proc oleh pengelola LPSE yaitu ketersediaan layanan serta kehandalan sistem, sementara disisi lain pengelola dihadapkan pada kondisi keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Mengacu pada keadaan tersebut maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah : Bagaimana penerapan teknologi virtualisasi pada pengelolaan LPSE dalam mengatasi
kesenjangan kondisi antara kewajiban untuk menjaga
ketersediaan layanan dan kehandalan sistem dengan ketersediaan sumber daya yang dimiliki, melalui suatu perencanaan yang tepat serta komprehensif. 1.3 Tujuan Penelitian Implementasi perencanaan virtualisasi menggunakan Blue Ocean Strategy dan Balanced Scorecard yang dilaksanakan pada penelitian ini diharapkan dapat mempercepat terwujudnya layanan pengadaan secara elektronik yang handal, efektif, efisien, transparan dan akuntabel serta untuk meningkatkan partisipatori pengguna layanan yang diselenggarakan. 1.4 Manfaat Penelitian Secara akademis, penelitian ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dilaksanakan oleh peneliti dalam rangka memperoleh gelar Magister Teknik pada Program Studi Teknik Elektro Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar, sedangkan bagi peneliti lain hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
9
acuan/referensi dalam penelitian lebih lanjut khususnya yang berkaitan dengan teknologi virtualisasi, maupun pengelolaan layanan publik. Secara praktis, implementasi hasil penelitian ini akan memberikan kemudahan bagi pengelola LPSE dalam pengelolaan layanannya baik yang bersifat layanan langsung kepada pengguna (frontline) maupun penyusunan laporan dan layanan adminitratif lain (back office). Efektifitas tata kelola sumber daya yang tersedia akan menjadi semakin meningkat karena sebagian peran manusia dapat tergantikan oleh beberapa fitur yang tersedia dalam teknologi virtualisasi yang memungkinkan proses dapat berlangsung secara otomatis tanpa melibatkan campur tangan manusia. Dengan demikian pengelola akan memiliki lebih banyak ruang dan waktu untuk lebih fokus pada upaya peningkatan produktivitas serta kualitas layanan. Bagi Pengguna Layanan (ULP, PPK, Pejabat Pengadaan, Rekanan, dll), terjaminnya ketersediaan layanan maupun kehandalan sistem akan memberikan dampak yang sangat membantu seperti : peningkatan efektifitas pelaksanaan proses pemilihan penyedia barang/jasa, memudahkan pemantauan/monitoring pelaksanaan proses pengadaan barang/jasa yang sedang berlangsung, serta memudahkan pelaporan terkait kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah kepada instansi berkepentingan baik di tingkat daerah maupun pusat. Sementara bagi pemangku kepentingan, database yang dihasilkan melalui e-proc
ini
dapat
digunakan
sebagai
bahan
pertimbangan/acuan
dalam
pengambilan keputusan atau penetapan kebijakan terkait pembangunan,
10
pengembangan serta peningkatan kualitas layanan yang menjadi tanggung jawabnya. Terjaganya stabilitas ketersediaan layanan serta kehandalan sistem akan memungkinkan tersedianya informasi terkini (up to date) yang dapat diperoleh /diakses setiap saat, sehingga akan memudahkan dilakukannya pengawasan oleh masyarakat/kontrol sosial terkait proses pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan pemerintah. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dan mengambil lokasi pada LPSE Kabupaten Badung, dengan kegiatan yang dilaksanakan difokuskan pada perencanaan virtualisasi server LPSE, antara lain meliputi : a.
Asesmen dan observasi terkait kondisi eksisting LPSE saat ini,
b.
Pengambilan data melalui kuesioner dan interview
c.
Pengolahan dan analisis data
d.
Perencanaan implementasi,
Analisis data dilakukan menggunakan metode Blue Ocean Strategy dan Balanced Scorecard, serta dalam penelitian ini tidak dibahas tentang rancangan teknis virtualisasi secara mendalam.