BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tesis ini bertujuan untuk meneliti dinamika hubungan negosiasi dan diplomasi antara Multinational Corporations (MNCs) dan negara dimana MNCs menanamkan investasi atau disebut sebagai host country. Interaksi antara ke dua pihak tersebut mengalami
perubahan yang cukup fluktuatif sehingga
hubungannya bersifat dinamis. MNCs menduduki posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu ekonomi politik internasional. Hal ini disebabkan karena sistem operasionalisasi MNCs yang bersifat simlultaneous membentuk pola hubungan tertentu yang melibatkan perusahaan atau korporasi, negara asal MNCs yang selanjutnya disebut sebagai home country, dan negara tempat MNCs beroperasi yaitu host country. Pola hubungan tersebut berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi politik internasional, dimana dalam konteks perdagangan dan investasi MNCs berintegrasi pada perekonomian global sedangkan dalam penentuan
kebijakan
transnasional
berkaitan
dengan
kebijakan
politik
pemerintah home country maupun host country. Pada awal kemunculannya sekitar awal abad ke 19, host country perusahaan multinasional didominasi oleh negara-negara maju yang memiliki faktor produksi berupa teknologi dan buruh terampil. Kemudian pada perkembangannya, perusahaan multinasional mulai beroperasi di negara-negara 1
berkembang seperti China, India, negara-negara Asia Tenggara, dan beberapa negara Amerika Latin. Perpindahan operasionalisasi perusahaan multinasional dari negara maju ke negara berkembang dilatarbelakangi oleh keunggulan komparatif negara berkembang yang memiliki sumber daya manusia murah dan sumber daya alam melimpah. Perubahan tersebut mempengaruhi hubungan antara pemerintah home country dan pemerintah host country, sehingga menyebabkan pola interaksi yang berbeda di antara keduanya. Kehadiran MNCs di sebuah negara menimbulkan banyak kontroversi dan dilema. Di satu sisi, operasionalisasi MNCs yang menggunakan modal sangat besar dinilai mampu membawa dampak yang baik bagi host country yaitu sebagai salah satu sumber modal pembangunan karena sebagian besar MNCs berbentuk Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung. Kehadiran investasi langsung dalam sebuah negara mampu membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi karena arus modal yang masuk dapat berkembang menjadi kapital yang dapat digunakan untuk membangun infrastruktur sebuah negara. Penerimaan negara melalui pajak dan Corporate Social Responsibility (CSR) dapat membantu pemerintah mewujudkan distribusi pembangunan secara merata. Selain itu, MNCs juga mampu menciptakan pasar yang kompetitif bagi para perusahaan manufaktur yang menyuplai produk-produknya ke MNCs tersebut. Pada umumnya, MNCs juga menghadirkan teknologi yang inovatif dan
2
diharapkan mampu mentransfer teknologi bagi masyarakat.1 Dengan adanya transfer teknologi maka masyarakat dari negara berkembang
mampu
berkompetisi dengan masyarakat negara maju. Di sisi lain, MNCs juga dipandang sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab terhadap isu ekonomi, politik, maupun sosial di host country. Isu besar yang melingkupi dinamika hubungan ke dua belah pihak tersebut adalah isu perburuhan dan kerusakan lingkungan. Mekanisme produksi MNCs yang pada umumnya mencari keuntungan sebanyak mungkin memanfaatkan buruh murah dari negara berkembang sebagai pekerja. Penerapan sistem outsourcing dan standard kesejahteraan buruh yang terkesan diabaikan membuat kehadiran MNCs di sebuah negara mendapat penolakan dari pihak-pihak tertentu seperti aktivis hingga akademisi. Pada umumnya MNCs tidak mempekerjakan masyarakat
dari
host country
di
level
manajerial, melainkan hanya
menempatkannya pada level-level tidak strategis sehingga transfer tekonolgi sulit terjadi. Selain itu, operasionalisasi MNCs banyak dikaitkan dengan isu kerusakan lingkungan dan bertentangan dengan green policy dari host country. Kapasitas produksi yang besar dari MNCs maupun pabrik suplayernya menjadi salah satu penyumbang gas emisi terbesar di host country. Hal ini tentu saja bertentangan dengan kebijakan pemerintah host country yang pada umumnya mendapat warning dari masyarakat internasional mengenai isu lingkungan. Sejak 1
Oatley, Thomas. 2006. International Political Economy 5th Edition Chapter 8 Multinational Corporations in The Global Economy hal 160.
3
isu kerusakan lingkungan dan pemanasan global menjadi isu yang dibahas dalam forum internasional, masing-masing negara berkomitmen untuk membatasi emisi karbon yang dihasilkan oleh negaranya sebagai tanggung jawab untuk menekan laju pemanasan global.2 Perdebatan ini yang menimbulkan dinamika negosiasi antara MNCs dengan host country bahkan tidak jarang melibatkan peran home country dalam negosiasi tersebut. Di satu sisi, host country membutuhkan kehadiran MNC sebagai bentuk tambahan modal pertumbuhan ekonomi melalui investasinya, begitu juga MNC yang membutuhkan peran host country untuk mengembangkan pasar. Di sisi lain, host country juga menghadapi permasalahn baru yang ditimbulkan oleh operasi MNC di wilayahnya, seperti kerusakan lingkungan dan sengketa perburuhan.
Posisi masing-masing pihak yang sebenarnya saling
membutuhkan namun dihadapkan pada pilihan kebijakan dilematis menarik untuk dikaji dalam tema besar negosiasi antara MNCs dan host country serta dinamika yang menyertainya. Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada studi kasus negoasiasi dan diplomasi antara Wal-Mart yang merupakan salah satu retailer terbesar di dunia dengan Pemerintah China yang merupakan salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di antara negara-negara maju. Wal-Mart yang memiliki tag line “Everyday Low Price” menganggap China adalah negara yang tepat untuk dijadikan sebagai pasar sekaligus basis supply chain produk-produk Wal-Mart. 2
ibid
4
China memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya dalam upah buruh, regulasi pemerintah, dan kapasitas produksi perusahaan suplayer. Selain itu, China yang memiliki populasi terbesar di dunia menjadi pasar yang potensial bagi produk-produk Wal-Mart. Kultur masyarakat China yang menggemari harga murah menjadikan Wal-Mart sebagai retailer dengan angka penjualan nomor satu di China. China diklaim sebagai basis supply chain terbesar dan pasar yang potensial bagi banyak MNCs termasuk Wal-Mart sehingga membuat Wal-Mart memperlakukan China sebagai negara paling istimewa. Hal ini terbukti dari WalMart membuat berbagai kebijakan yang berada di luar standard perusahaan demi mempertahankan eksistensinya di China. Terdapat beberapa kebijakan dilakukan Wal-Mart untuk merespon kritikan mengenai operasionalisasi retailer terbesar tersebut di China, yaitu mengenai perburuhan dan isu lingkungan. Dalam perburuhan, Wal-Mart membuat kebijakan untuk mempersatukan para pekerjanya dalam satu organisasi yang memiliki legitimasi untuk melakukan advokasi kepada perusahaan jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan karena perubahan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah China. WalMart tidak melakukan hal ini pada negara lain yang juga menjadi host countrynya., seperti Bangladesh dan negara-negara Amerika Latin. Kebijakan ini dilakukan oleh Wal-Mart setelah Pemerintah China mengeluarkan peraturan baru yang disebut sebagai The China Trade Union Law yang merupakan undangundang terbaru China mengenai federasi perburuhan. Bersamaan dengan itu, 5
beberapa perusahaan suplayer Wal-Mart menghadapi kasus perburuhan yang sangat serius seperti kasus buruh anak-anak, kekerasan terhadap buruh, dan upah minimum yang tidak sesuai dengan standard. Pembentukan organisasi buruh Wal-Mart ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi permasalahan tersebut.3 Selain masalah perburuhan, Wal-Mart juga mendapat kritikan tajam dari aktivis lingkungan dan akademisi mengenai pabrik suplayernya yang tidak memenuhi standard ligkungan. Perusahaan manufaktur suplayer Wal-Mart mengabaikan efisiensi energi karena harus memenuhi standard harga yang ditentukan oleh Wal-Mart. Perusahaan manufaktur di China yang menjadi suplayer dari Wal-Mart sebanyak lebih dari 10.000 perusahaan. Jumlah perusahaan manufaktur suplayer Wal-Mart yang besar ini menyebabkan secara tidak langsung Wal-Mart dibebani tanggung jawab dalam ikut serta mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan dari aktivitas produksinya. 4 Sehingga kemudian Pemerintah China menerapkan berbagai standard lingkungan dalam industri domestiknya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah China adalah menerapkan aturan kebijakan efisiensi energi pada tahun 2001.5 WalMart mendukung kebijakan Pemerintah China dengan mengimplementasikan kebijakan efisiensi energi tersebut khusus dari perusahaan dalam berbagai 3
Gereffi, Gary. 2006. Walmart in China Can the World‟s Largest Retailer Succeed in the World‟sMost Populous Market?. 4
The American Prospect. Wal-Mart‟s China Connections. Available on http://prospect.org/article/walmart%E2%80%99s-china-connections. Diakses pada 28 Januari 2016. 5
Climate Policy Initiative. 2003. Buildings Energy Efficiency in China, Germany, and United States. CPI Report, April 2003.
6
standard yang berlaku untuk seluruh rantai suplai Wal-Mart yang dimulai dari bidang pertanian, proses produksi, suplai produk, distribusi, hingga sampai di gerai-gerai Wal-Mart. Hubungan yang pada awalnya bersifat dominan di pihak MNCs mulai mengalami pergeseran dan menjadi lebih seimbang karena Pemerintah China mampu menggunakan leverage-nya berupa regulasi dan kebijakan negara. Fenomena perubahan pola hubungan ini menarik untuk diteliti karena isu ini merupakan isu ekonomi politik internasional yang mencakup mengenai konsepkonsep negosiasi dan diplomasi. Selain itu, kajian penelitian mengenai hubungan antara MNC dan host country menjadi topik dalam Ilmu Hubungan Internasional yang dapat bermanfaat baik dalam bidang akademis maupun praktis.
B. Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka, penulis akan berfokus pada beberapa hal yang dianggap signifikan dalam penelitian ini. Pertama mengenai pola hubungan antara MNCs dengan host country dan home country serta dinamikanya. Ke dua mengenai posisi dan leverage dari masing-masing pihak dalam negosiasi. Dengan mengetahui posisi dan
leverage dari masing-masing pihak, maka perubahan
hubungan dalam negosiasi akan lebih mudah dianalisis. Ke tiga, dalam negosiasi, terdapat pula faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi hubunga masingmasing pihak, sehingga hal ini juga penting untuk diteliti sebagai data pendukung analisis proses negosiasi yang akan dibahas dalam bagian pembahasan penelitian. 7
Robert Gilpin dalam bukunya yang berjudul State and The Multinationals menganalisis mengenai perubahan pola hubungan antara MNCs dan host country. Hubungan yang terjadi antara MNC dan host country pada awalnya berjalan tidak seimbang, yaitu MNC yang memiliki sumber kapital yang besar serta mampu menjalankan roda perekonomian secara global menduduki tempat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara. MNC menanamkan modal yang sangat besar kemudian membuka lapangan kerja yang luas sehingga pertumbuhan ekonomi sebuah negara berlangsung dengan baik. MNC diklaim tidak hanya berpengaruh terhadap kondisi ekonomi host country tetapi juga berpengaruh dalam proses pengambilan keijakan politik domestik sebuah negara. Dengan modal kapital yang besar, MNC mampu mengintervensi kebijakan negara sehingga membawa keuntungan bagi korporasinya. Sedangkan negara, memiliki kepentingaan untuk membatasi dominasi MNC dalam politik domestik. Dalam hal ini, negara yang memiliki kuasa atas regulasi domestik memainkan perannya dengan membuat berbagai regulasi dan standardisasi yang mampu membatasi ruang gerak MNC.6 Seiring berjalannya kerjasama antara MNC dan host country, hubungan ke duanya berubah menjadi saling membutuhkan. Dominasi MNC yang sangat kuat pada awal penanaman investasi semakin berkurang dengan adanya leverage dari host country berupa peraturan dan kebijakan. Gilpin menambahkan bahwa 6
Gilpin, Robert. 2001. State and The Multinationals. Global Political Economy Global Political Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton: Princeton University Press, pp. 278-304
8
kepentingam MNC terhadap host country sangat kuat, kepentingan tersebut antara lain adalah pasar potensial, basis produksi yang kuat, sumber daya alam, dan sumber daya manusia yang murah dan terampil. Negara berkembang pada umumnya mampu menyediakan kelebihan tersebut sehingga MNC tertarik untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Penanaman modal yang besar membuat MNC tidak dapat begitu saja mencabut modalnya dari host country karena nilai investasi yang sangat besar. Hal tersebut dimanfaatkan oleh host country dengan membuat peraturan demi menjaga kepentingan negaranya. Dalam artikel yang berjudul The Political Economy of Multinational Corporations,
Gilpin kembali mempertegas terjadinya hubungan saling
ketergantungan anatara MNC dan host country karena masing-masing memiliki leverage, sehingga tidak satupun pihak di antara ke duanya menjadi dominan dalam diplomasi. Hubungan tersebut membuat proses negosiasi antara ke dua belah pihak berjalan dengan dinamis, dimana satu pihak tidak dapat menang dari pihak lainnya secara terus menerus.7 Thomas Oatley memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Robert Gilpin. Dalam artikel yang berjudul The Politics of Multinational Corporations, Oatley menunjukkan bahwa hubungn antara MNC dan host country bersifat tarik menarik dan saling mempengaruhi. Masing-masing pihak berusaha menjadi dominan dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menggunakan leverage masing-masing. MNC pada umumnya 7
Oatley, Thomas. 2001. Intenational Political Economy ; The Politics of Multinational Corporations.
9
mengandalkan modal dan teknologi yang mampu, sedangkan host country yang memiliki legitimasi penuh untuk membuat peraturan, berusaha membatasi ruang gerak MNC memanfaatkan hal tersebut sebagai daya saingnya dalam diplomasi. Pandangan yang berbeda diungkapkan oleh Edward M Graham dalam bukunya yang berjudul Global Corporations and National Government, dominasi MNC sangat kuat dibandingkan dengan negara karena kapital yang dimiliki oleh MNC lebih besar daripada pendapatan negara.8 Mendukung pandangan Graham, Robert E Lipsey menulis dalam bukunya yang berjudul Home and Host Country Effects of Foreign Direct Investment. Dalam tulisannya tersebut Lipsey berpendapat bahwa hubungan MNC dan host country sangat dipengaruhi oleh kebijakan home country, sehingga host country yang pada umumnya adalah negara berkembang lebih banyak didominasi oleh MNC yang berasal dari negara maju.9 Penulis menarik kesimpulan dalam perdebatan tersebut, bahwa hubungan antara MNC dan host country dalam era globalisasi ini cenderung mengalami perubahan atau pergeseran. MNC yang memiliki kapital serta teknologi tinggi tidak lagi menjadi dominasi dalam hubungannya dengan host country. Hal ini disebabkan karena negara memiliki legitimasi untuk membuat peraturan yang dapat membatasi ruang gerak MNC di wilayah negaranya. Pola pergeseran 8
Graham, Edward M. 1996. Global Corporations and National Government. Institute for International Economics: Washington DC. 9
Lipsey, Robert. 2004. Home and Host Country Effects of Foreign Direct Investment. University of CHICAGO Press: Chicago.
10
hubungan ini menyebabkan hubungan saling ketergantungan antara MNC dengan negara, sehingga masing-masing pihak menempati posis yang seimbang dalam bernegosiasi. Wal-Mart sebagai perusahaan retailer terbesar yang beroperasi di China memiliki berbagai kepentingan terhadap negara yang memiliki populasi terbesar di dunia tersebut. Selain itu, Wal-Mart juga memiliki posisi tawar yang menjanjikan bagi China karena kapasitasnya sebagai perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai negara dan modal besar yang diinvestasikan di host country. Wal-Mart juga merupakan buyer bagi perusahaan manufaktur China, karena sebagian besar atau dengan persentase 70% produk Wal-Mart diproduksi oleh perusahaan manufaktur di China.10 Produk tersebut terdiri dari pakaian, mainan anak, makanan, dan perlengkapan lain dalam rumah tangga. Wal-Mart memulai operasinya di China pada tahun 1989, yang dilatarbelakangi oleh rencana ekspansi Wal-Mart ke Asia setelah menjadi perusahaan retailer terbesar di Amerika Serikat, Mexico, Canada, dan Inggris. 11 Tujuan pertama dan utama ekspansi Wal-Mart ke China adalah penetrasi pasar potensial yang sangat besar karena China memiliki penduduk terbesar di dunia. Pada perkembangannya sampai dengan tahun 2014, Wal-Mart memiliki lebih dari 200 store besar yang tersebar di 101 kota di seluruh China. Store ini pada 10
Organic Consumers Association (OCA). Most (70%) of Wal-Mart‟s Products are Produced in China. Available on https://www.organicconsumers.org/old_articles/corp/walmartchina113004.php. Diakses pada 28 Januari 2016. 11
Chan, Anita. 2004. Walmart in China. Cornell University Press: Colorado.
11
awalnya dibangun di daerah sub-urban, sesuai dengan budaya Wal-mart yang membangun store-nya jauh dari pusat kota. Seiring berjalannya waktu, store WalMart mulai memadati kota-kota besar di China karena permintaan pasar di level kelas menengah meningkat sangat tajam. Selain membuka store yang berjumlah ratusan, Wal-Mart juga menggandeng para petani dan pengusaha manufaktur seperti pabrik garmen, plastik, dan sebagainya untuk menjadi suplayer Wal-Mart. China yang saat itu sedang mengembangakn industri manufakturnya menjadi pertimbangan tersendiri bagi Wal-Mart untuk membangun mitra dan basis rantai produksinya di China. Kerjasama antara Wal-Mart dengan perusahaan lokal China membawa keuntungan besar bagi pertumbuhan ekonomi domestik China, karena masuknya modal asing di dalam perekonomian suatu negara akan menambah modal melalui pajak yang harus ditanggung perusahaan multinasional tersebut. Investasi langsung Wal-Mart berupa store yang berjumlah ratusan mampu menyerap tenaga kerja lokal sehingga permasalahan pengangguran dapat diatasi. Pemerintah China yang mulai kewalahan dengan ledakan jumlah penduduk dan penyediaan lapangan kerja diuntungkan dengan kehadiran Wal-Mart di negara tersebut. Wal-Mart dengan segala mekanisme dan standardnya telah berhasil membuat pabrik penyuplai membatasi biaya produksi sehingga harga jual produk relative rendah. Sebagian besar perusahaan manufaktur China yang merupakan suplayer Wal-Mart menerapkan standard minimum untuk gaji buruh, sehingga harga produksi dapat dibatasi. Prinsip dari perusahaan manufaktur China sangat 12
cocok dengan Wal-Mart yang bertumpu pada konsep harga murah. Perusahaan manufaktur mendapatkan pasar yang pasti dari Wal-mart karena dengan menjadi suplayer perusahaan retailer terbesar di dunia, perusahaan manufaktur tidak lagi harus memasarkan produknya hingga ke pasar mancanegara. Pola ini membentuk sebuah perubahan dalam sistem manufaktur di China yang pada awalnya adalah producer-driven menjadi retailer-driven.12 Posisi Wal-Mart dalam sistem manufaktur di China mengalami peningkatan setelah diberlakukannya kebijakan Wal-Mart mengakuisisi retailer domestik China yaitu Trust-Mart. Proses akuisis ini terjadi pada tahun 2008, karena
Trus-Mart
ketidakmampuannya
mengalami
kebangkrutan
sebagai
akibat
dari
berkompetisi di pasar China yang sangat dinamis.
Persaingan antara Wal-Mart dan Trust-Mart terletak pada rantai suplai serta perbedaan harga yang cukup besar. Wal-Mart dengan kemampuan monopsoninya dan jaminan pasar yang pasti membuat perusahaan manufaktur dan para petani berlomba-lomba untuk dapat menjadi suplayer Wal-mart dengan mengikuti standard harga produksi yang telah ditetapkan oleh perusahaan retailer tersebut. Sedangkan Trust-Mart yang merupakan retailer domestik, tidak dapat menyaingi kemampuan monopsoni Wal-Mart mengenai kemampuan standardisasi harga dan pola rantai suplai, sehingga mengalami kebangkrutan. Retailer kompetitor Wal-Mart yang lain di pasar China adalah Carrefour yang hanya mampu meguasai 30% pasar di level menengah ke bawah. 12
ibid
13
Kelemahan dari Carrefour adalah modalnya yang sebagian berasal dari modal domestik, sehingga dalam pengaturan
Pola investasi yang diberikan oleh
Carrefour di sebuah negara biasanya berupa perusahaan patungan atau joint venture, sehingga pembagian keuntungan dan kebijakan di level manajerial merupakan keputusan bersama anatar perusahaan dengan perusahaan lokal di host coutry. Pola investasi yang demikina ini tidak memberikan ruang legitimasi yang cukup bagi Carrefour untuk menekan pabrik suplayer dalam standardisasi harga dan kontrak kerjasama lainnya. Kemampuan Wal-Mart menghadirkan produk yang murah dan berkualitas menjadikan posisi Wal-Mart sangat penting bagi pertumbuhan perekonomian China. Bagi konsumen dan pabrik suplayer, keberadaan Wal-Mart merupakan tumpuan roda perekonomian, sehingga posisi tawar Wal-Mart terhadap Pemerintah China juga cukup baik, kemudian dapat dikatakan dalam skema negosiasi antara Wal-Mart dan Pemerintah China, posisi Wal-Mart cukup kuat. Di pihak lain, Pemerintah China sebagai host country memiliki legitimasi yuridis terhadap keberadaan Wal-Mart. Menurut Thomas Oatley dalam buku International Political Economy di Cahpter ke Sembilan yang berjudul “The Politics of Multinatonal Corporations”, leverage dari pemerintah host country adalah regulasi. Dalam hal ini, Pemerintah China berkuasa penuh atas pemberlakuan regulasi mengenai pasar dan industri sehingga mampu menekan Wal-Mart dengan aturan-aturan tersebut.
14
Terdapat dua regulasi penting yang berkaitan erat dengan operasionalisasi Wal-Mart di China yang menjadi leverage negosiasi dari pihak Pemerintah China. Pertama adalah pemberlakuan The Labor of Contract Law yang merupakan peraturan perundang-undangan yang baru. Perusahaan manufaktur China banyak mendapat kecaman mengenai upah buruh yang sangat rendah dan tidaksesuai standard serta isu-isu perlakuan kasar dan eksploitasi buruh yang berlebihan. Terdapat beberapa pihak yang mendesak China untuk memberlakukan undangundang perburuhan yang lebih menjamin kesejahteraan buruh. Aktivis perburuhan, organisasi buruh, dan masyarakat sipil memberikan input berupa aksi protes dan mengadakan audiensi untuk mendesak pemerintah.13 Isu-isu perburuhan tidak dapat dikaitkan secara langsung kepada WalMart, karena kedudukan Wal-Mart dalam pasar industri China adalah sebagai retailer yang menerima suplai produk dari perusahaan manufaktur. Hal yang menjadi benang merah dalam kasus ini adalah bagaimana Wal-Mart menekan perusahaan suplayernya untuk menerapkan harga murah sehingga standardisasi tersebut berpengaruh terhadap production cost. Demi dapat memenuhi standard harga yang ditentukan oleh Wal-Mart, perusahaan manufaktur kemudian memangkas upah buruhnya seminimal mungkin sehingga kesejahteraan buruh tidak dapat terjamin. Selain itu, Wal-Mart yang menuntut kapasitas produksi yang besar juga membuat perusahaan menekan buruhnya untuk bekerja lebih keras 13
Chan. Anita. 2009. When the Wolrd‟s Biggest Retailer Enconter the World‟s Biggest Populous Country. Cornell University Press: Colorado.
15
bahkan melebih jam kerja yang seharusnya. Berbagai cara dilakuakn oleh perusahaan agar dapat mendghasilkan barang dengan production cost yang rendah, salah satunya adalah dengan menggunakan buruh anak-anak atau pekerja di bawah umur yang dapat dibayar di bawah standard minimum upah buruh.14 Isu-isu
kemanusiaan
tersebut
kemudian
membuat
Pemerintah
memberlakuakn undang-undang perburuhan yang baru di negaranya. Keadaan ini kemudian berpengaruh cukup signifikan bagi Wal-Mart karena banyak perusahaan suplayernya tidak mampu memenuhi standard yang diberikan. Perusahaan yang tidak mampu memenuhi standard tersebut diberi sanksi oleh Pemerintah China berupa penghentian aktivitas produksi. Hal ini tentu saja merugikan Wal-Mart sebagai retailer yang sanngat bergantung pada aktivitas produksi dan pasokan baranag dari suplayer. Isu ke dua yang menjadi sorotan dalam kasus ini adalah isu lingkungan yang dikaitkan erat dengan perkembangan industri di China. Pemerintah yang mendapat tekanan dari masyarakat internasional untuk mengurangi tingkat emisi karbonnya secara bertahap setiap tahun memiliki kesulitan berhadapan dengan perusahaan manufaktur di China. Perusahaan manufaktur adlah perusahaan yang sarat akan residu atau limbah produksi yang dapat mencemari udara, tanah, dan air secara signifikan. Dalam laporan tahunnnya mengenai statistik energi negaranya, terdapat fakta bahwa pengguna energi terbesar adalah industri di China dengan 14
persentase 68%. Selain itu, perindustrian di China juga
ibid
16
menyumbang polusi udara dan tingkat pencemaran lingkungan yang tertinggi yaitu sebesar 85%.15 Pemerintah China yang sedang berusaha menerapkan kebijakan energi bersih berada dalam dilemma yang luar biasa. Program energy bersih dan berkelanjutan tersebut sangat sulit diterapkan di negaranya yang sebagian besar aktivitas ekonominya ditopang oleh kegiatan industri. Pada tahun 2001, Pemerintah China telah menerapkan kebijakan energi bersih dan berkelanjutan sebagai upaya kepatuhannya terhadap Protokol Kyoto. Peraturan dan rekomendasi tersebut tidak mendapat sambutan yang berarti dari para pengusaha sehingga pada tahun 2006 Pemerintah China kembali mebuat peraturan baru dan tambahan sebagai upaya pengurangan emisi karbon. Peraturan yang diterbitkan tahun 2006 ini bersifat mengikat dan memaksa sehingga sebagian perusahaan tidak dapat memenuhi standard tersebut. Konsekuensi dari ketidakmampuan perusahaan utnuk memenuhi persyaratan tersebut adalah penghentian aktivitas produksi sampai batas yang tidak dapat ditentukan. Pemerintah dalam hal ini mengalami dilemma yang besar karena dengan penutupan pabrik-pabrik manufaktur, kegiatan perekonomian akan sangat terganggu dan rantai suplay akan mengalami hambatan. Nmaun desakan dari dunia internasional menyebabkan Pemerintah China harus mengambil langkah yang tegas dalam menangani kasus ini. Penutupan pabrik besar-besaran yang terjadi pada tahun 2008 tersebut mengganggu keberadaan Wal-Mart di China karena beberapa pabrik yang terkena 15
University of Gothenburg. 2008. China Environment and Climate Change Policy Brief.
17
sanksi adalah rekanan suplayernya. Aktivitas rantai suplay Wal-Mart mengalami hambatan yang cukup berarti, padahal China adalah basis rantai suplay terbesar Wal-Mart di dunia. Fakta yang beredar melalui media massa mengungkap bahwa latar belakang para suplayer Wal-mart tidak dapat memenuhi standard ligkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah disebabkan oleh kontrak karya atau standardisasi harga yang ditetapkan oleh Wal-Mart sehingga perusahaan harus memangkas biaya produksi. Untuk itu, hal-hal yang berkaitan dengan buruh dan standard lingkungan diabaikan demi mendapat
keuntungan
yang lebih banyak.
Menabggapi hal ini Wal-mart mengluarkan kebijakan yamg hnya dilakukan di Cina dengan syarat supyarer memput memenuhi stamdard lingkungan yang diberikan oleh Wal-Mart. Kebijakan ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran hubungan antara MNC dan host country. Posisi penelitian penulis adalah bertujuan untuk menganalisis perubahan pola hubungan yang terjadi antara Pemerintah China dan Wal-Mart mengenai kebijakan China dalam pemberlakuan undang-undang perburuhan atau The Labor of Contract Law dan energi bersih dan berkelanjutan yang direspon oleh WalMart dengan dua kebijakan, yaitu Wal-Mart China Labor Union dan Wal-Mart‟s Supllier Energy Efficiency Program (SEEP).
18
C. Rumusan Masalah Pertanyaan dalam penelitian ini akan berfokus kepada Bagaimana upaya Wal-Mart untuk mempertahankan basis supply chain dan pasar terbesarnya di China serta faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?
D. Kerangka Pemikiran Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penulis menggunakan obsolescing bargain theory. Teori obsolescing bargain merupakan turunan dari teori bisnis internasional yang diperkenalkan oleh Vernon pada tahun 1971. Teori ini memprediksi bahwa dalam hubungan negosiasi, posisi antara satu pihak dengan pihak yang lain mengalami dinamika seiring dengan berjalannya waktu. Leverage yang dimiliki oleh satu pihak, dapat tidak berlaku kembali di kemudian hari karena pihak tersebut tidak mampu menjaga leverage yang dimiliki agar dapat menjadi senjata untuk menekan pihak lain. Pada awal interaksi, satu pihak pada umumnya mendominasi pihak lain, namun seiring berjalannya waktu, pihak yang terdominasi tersebut mulai dapat menyeimbangkan posisinya dalam bernegosiasi sehingga tercipta hubungan yang seimbang dan saling membutuhkan. Di kemudian hari, tidak menutup kemungkinan bahwa pihak yang kemudian kalah tersebut mampu menaikkan posisi tawarnya kembali dalma bernegosiasi.16
16
Grosse, Robert. 2005. International Business and Governement Relation in the 21st Century. Cambridge University Press: Cambridge.
19
Dalam level analisis negara dan perusahaan multinasional, teori obsolescing bargain dikaitkan dengan pola hubungan negosiasi antara dua pihak tersebut. Pola hubungan negosiasi antara negara dan host country untuk mempertahankan kepentingannya berjalan sangat dinamis, sehingga pergeseran posisi tawar masing-masing pihak dapat kapan saja terjadi. Dalam mekanisme bisnis internasional, teori ini dapat menganalisis mengenai leverage pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi, aktivitas negosiasi, cara bernegosiasi, dan perubahan serta penyesuain yang terjadi dalam arena negosiasi. Menurut Grosse dan Behrman, hubungan tawar menawar antara MNC dan host country merefleksikan kepentingan kedua pihak dalam keterbatasan masingmasing sumber daya dan hubungan saling ketergantungan keduanya. MNC yang pada awalnya mendominasi hubungan tersebut, pada akhirnya kekuasaannya terkikis karena posisi negara menguat. Di lain waktu, tidak menutup kemungkinan bahwa MNC kembali dapat menaikkan posisi tawarnya sehingga hubungan tersebut dapat kembali berubah. Hal ini dapat terjadi, jika negara tidak mampu mempertahankan leverage-nya untuk mendominasi hubungan tersebut.
20
Pada model tradisional obsolescing bargain, Ramamurti mendefinisikan hubungan antara MNC dan host country dengan figur berikut: Gambar 1. Hubungan MNC dan Host Country menurut teori Obsolescing Bargain
Sumber kekuatan MNC dalam tawar-menawar:
Sumber kekuatan Host Country dalam tawarmenawar:
Teknologi, Modal besar, Produk (brand), Skala global, Lapangan Pekerjaan.
Akses pasar, Insentif, Buruh, Sumber daya, Regulasi.
Outcome Pembagian laba, pajak, peraturan, standardisasi
Sumber : Robert Grosse dalam International Business and Government Relations in the 21st Century. Bagan di atas menunjukkan bahwa hubungan saling ketergantungan antara MNC dengan host country menghasilkan outcome yang berupa kesepakatan mengenai standardisasi, laba, pajak, dan peraturan. Negara membantu MNC dengan membuka akses pasar dan menyelaraskan regulasi, sedangkan MNC membantu negara dalam internal balance seperti pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan, serta external balance antara substitusi impor dan respon terhadap isu internasional. Selain itu, MNC dapat membantu host country dalam hal yang berkaitan dengan non-ekonomi seperti teknologi dan hubungan baik dengan negara lain. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk
21
menganalisis hubungan negosiasi antara MNC dan host country dengan teori obsolescing bargain. Dalam penelitian ini, teori obsolescing bargain digunakan untuk membuktikan bahwa terdapat perubahan pola hubungan negosiasi antara WalMart dan Pemerintah China. Dengan kata lain, posisi Wal-Mart dalam negosiasi mulai terkikis seiring berjalannya waktu, karena teori ini menyatakan bahwa dominasi dan leverage dari satu pihak dalam negosiasi tidak bersifat abadi dan dapat tidak terpakai atau using seiring berjalannya waktu. Perubahan ini ditandai dengan semakin terkikisnya dominasi Wal-Mart sebagai perusahaan multinasional yang memiliki kapital besar dan teknologi tinggi. Pemerintah China yang mampu menningkatkan posisi tawar negosiasi dengan menerapkan berbagai regulasi dan standardisasi menggeser dominasi Wal-Mart sehingga Wal-Mart merasa posisi dan eksistensinya terancam di China. China dengan segala kelebihannya mampu membuat
Wal-Mart
pada
akhirnya
melakukan
berbagai
upaya
untuk
mempertahankan keberadaannya di China, yaitu dengan membentuk Wal-Mart China Labor Union dan Walmart Supplier Energy Efficiency Program (SEEP) untuk merespon isu terbesar yang menjadi faktor perubahan hubungan ke duanya yaitu isu perburuhan dan lingkungan hidup.
E. Argumentasi Utama Menurut teori obsolescing bargain dikatakan bahwa pola hubungan negosiasi antara MNC dan host country bersifat dinamis. Pada awal hubungan 22
investasi, MNC memiliki dominasi yang lebih kuat karena memiliki kapital yang besar dan teknologi yang tinggi, sedangkan host country berada di pihak yang terdominasi karena membutuhkan Foreign Direct Investment (FDI) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negaranya. Kepentingan yang berbenturan antara kedua belah pihak, menyebabkan hubungan keduanya bersifat konfrontatif dan konfliktual. Seiring berjalannya waktu, hubungan yang tidak seimbang dan bersifat konfrontatif ini bergeser menjadi hubungan yang lebih kooperatif dan saling ketergantungan. Hal ini terjadi karena kedua pihak memiliki posisi yang sama kuat dalam negosiasi. Fenomena ini dapat dijadikan sebagai kerangka berpikir untuk menganalisis fenomena pergeseran pola hubungan yang terjadi antara Wal-Mart dan Pemerintah China dalam kerangka negosiasi antara perusahaan multinasional dan host country.
F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui studi literature, dimana penemuan-penemuannya tidak didapat melalui analisis statistik dan matematis yang mendalam namun lebih kepada pengamanatn fenomena yang problematik.17 Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang berasal dari berbagai literature yang berkaitan dengan topik penelitian. Literaure yang dimaksud bersumber dari buku dan
17
Strauss, Anslem dan Juliet Corbin.2009. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
23
penelitian. Data yang digunakan yaitu data primer, data sekunder, dan data tersier. Dalam penelitian ini akan menggunakan data primer yaitu dokumen resmi yang diterbitkan oleh Pemerintah China, website resmi Wal-Mart, dan berita yang dirilis oleh website berita nasional. Untuk data sekunder, penelitian ini menggunakan jurnal, report, dan working paper mengenai penelitian terkait negosiasi antara Wal-Mart dan Pemerintah China. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data secara kualitatif. Teknik analisis yang digunakan melalui analisis non-statistik dimana data yang bersifat kuantitatif seperti angka, tabel, dan grafik yang tersedia diuraikan dan ditafsirkan dalam bentuk kalimat atau paragraph. Teknik analisis tersebut dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu mengklasifikasikan data, mereduksi data, dan memberi interpretasi pada data yang telah diseleksi dengan menggunakan teori dan konsep.
G. Sistematika Penulisan Kerangka besar atau argumen utama dalam penelitian ini adalah mengenai fenomena perubahan pola hubungan antara MNCs yang dalam hal ini adalah Wal-Mart dan host country yaitu China dimana pada awal investasi posisi Wal-Mart lebih mendominasi namun dalam perkembangannya, hubungan tersebut berubah menjadi lebih seimbang. Dalam Bab I, penulis menjelaskan mengenai latar belakang permaslahan yang berisi deskripsi hubungan ke dua pihak secara umum, alasan penelitian beserta signifikansi topik tersebut. Dalam poin ke dua memuat tinjauan kepustakaan atau literature 24
review, selanjutnya berdasrkan pada tinjauan kepustakaan dapat ditarik pertanyaan penelitian yang akan menjadi dasar dari penelitian ini. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penulis menggunakan teori obsolescing bargain serta operasionalisasi teori tersebut dan akan diringkas pada argumentasi utama. Bab II berisi deskripsi mengenai setting permaslahan. Isi dari setting permaslahan ini adalah hubungan MNCs dan Host Country secara umum, kemudian semakin menyempit menjadi hubungan MNCs yang beroperasi di China dengan Pemerintah China, dan semakin mengerucut lagi mengenai hubungan antara Wal-Mart di China. Selanjutnya, penulis akan membagi tulisan ini ke dalam dua bagian besar, yang pertama adalah bagian yang membahas mengenai interaksi China dan Wal-Mart dalam isu perburuhan. Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai proses negosiasi dan diplomasi yang terjadi antara China dengan Wal-Mart dan reaksi-reaksi yang ditunjukkan oleh masing-masing pihak. Bagian selanjutnya adalah negosiasi dan diplomasi Wal-Mart dengan China terkait dengan isu lingkungan hidup. Kemudian ke empat bagian tersebut disimpulkan oleh penulis dalam bab kesimpulan yang menjadi bab terakhir dalam tulisan ini.
25