BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hubungan antara manusia dengan tanah dapat menimbulkan beberapa fungsi tanah, yaitu fungsi ekonomis dan fungsi sosial. Fungsi ekonomis atas tanah dimana tanah berfungsi untuk mendirikan rumah, diperjualbelikan, disewakan atau dikontrakkan dan lain sebagainya. Sedangkan tanah dalam fungsi sosial adalah hak atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, tidak semata – mata boleh dipergunakan untuk kepentingan pribadi dengan sewenang – wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun mentalitas tanah tersebut sehingga tidak ada manfaatnya.1Secara aksiologis, tanah sangat berguna bagi kehidupan manusia karena tanpa tanah manusia tidak bisa hidup. Sejarah perkembangan atau kehancurannya ditentukan oleh tanah, masalah tanah dapat menimbulkan persengketaan dan peperangan yang dahsyat karena manusiamanusia atau sesuatu bangsa ingin menguasai tanah orang/bangsa lain karena sumber-sumber alam yang terkandung di dalamnya”.2 Manusia akan dapat hidup senang serba berkecukupan jika mereka mampu
menggunakan tanah yang
dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan dapat hidup tenteram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak
1
K. Wantjik Saleh, 1997, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal.16. 2
G.Kartasapoetra, dkk, 1991, Hukum Tanah : Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 1. 1
2 dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa : a. Keadaan tanah yang statis itu akan menjadi tempat tumpuan manusia yang tahun demi tahun akan berkembang dengan pesat. b. Pendayagunaan tanah dan pengaruh-pengaruh alam akan menjadikan instabilitas kemampuan tanah tersebut. 3 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanah dalam kehidupan manusia mempunyai peranan yang sangat penting baik karena sifatnya yang tetap maupun sebagai tempat tinggal. Sehubungan dengan ini, Surojo Wignjodipuro, mengemukakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting yaitu : 4 a. Karena sifatnya. Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan terkadang menjadi lebih menguntungkan. Contohnya : sebidang tanah itu dibakar, di atasnya terdapat bom, tanah tersebut tidak akan lenyap; setelah api padam ataupun setelah pemboman selesai sebidang tanah tersebut akan muncul kembali tetap berwujud tanah seperti semula. Jika dilanda banjir misalnya, setelah airnya surut muncul kembali sebagai sebidang tanah yang lebih subur dari semula.
3
Ibid. Surojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, PT.Gunung Agung, Jakarta, hal. 197. 4
3 b. Karena fakta : Yaitu suatu kenyataan, bahwa tanah itu : − merupakan tempat tinggal persekutuan. − memberikan penghidupan kepada persekutuan. − merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan. − merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan. Dengan demikian, di atas tanah manusia “dapat mencari nafkah seperti bertani, berkebun dan berternak. Di atas tanah pula manusia membangun rumah sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan manusia”.5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) pada pokoknya menentukan jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh subyek hukum. Beberapa diantaranya yaitu: Hak Milik, Hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA. Namun lebih lanjut yang akan dibahas adalah mengenai Hak Milik atas tanah.
5
Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45.
4 Hak Milik adalah hak atas tanah yang paling kuat, sesuai dengan penjelasan UUPA bahwa pemberian sifat terkuat dan terpenuh tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat, sebagaimana hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dahulu, karena sifat yang demikian tentu akan bertentangan dengan hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata terkuat dan terpenuh itu untuk membedakan dengan hak atas tanah yang lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki orang, hak miliklah yang paling terkuat dan terpenuh.6 Hak Milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan, hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom, atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disingkat KUHPer), yang memberikan kewenangan yang paling luas pada pemiliknya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Peralihan atau pemindahan hak yaitu berpindahnya Hak Milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum, yaitu: jual-beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan. Setiap peralihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk 6
A.P. Parlindungan, 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan I), hal. 137
5 jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).Dengan merujuk pada Pasal 23Ayat (1) UUPA, mewajibkan peralihan hak ini untuk didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional kabupaten/kota setempat untuk dicatat di dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertipikat dari pemilik tanah yang lama kepada pemilik tanah yang baru. Peralihan hak milik atas tanah karena proses jual beli dapat dilakukan dengan berbagai cara baik itu dilakukan dengan cara pembayaran tunai mapun pihak pembeli tanah dapat meminta bantuan dari pihak bank untuk mendanai pembayaran tanah tersebut. Dalam proses yang kedua ini yang dimaksud dengan meminta bantuan kepada bank adalah dengan cara peminjaman sejumlah dana atau yang biasa dikenal dengan istilah kredit. Bank memiliki peran dalam bidang bisnis untuk menyimpan dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut kembali ke masyarakat. Berdasarkan pengertian bank sebagimana diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan), maka ada dua fungsi utama bank yaitu : a. Menghimpun dana dari masyarakat Fungsi utama perbankan adalah melakukan penghimpunan dana dari masyarakat. Dana yang dikumpulkan oleh bank pada dasarnya berasal dari beberapa sumber, yaitu dari masyarakat yang mempunyai kelebihan pendapat dalam bentuk : simpanan giro, simpanan deposito, tabungan, dana yang
6 mengendap sebagai akibat pembukaan L/C, dana jaminan garansi bank, pengiriman uang nasabah yang belum diambil dari lembaga-lembaga penanaman modal yang mempunyai kelebihan dana sementara. b. Memberikan kredit Selain menghimpun dana dari masyarakat bank mempunyai fungsi memberikan atau menyalurkan kredit (pinjaman) kepada masyarakat. Dengan dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat, maka selanjutnya bank menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit. Pemberian kredit oleh bank dapat berupa kredit jangka pendek yang memberikan pengaruh langsung terhadap pasar uang, atau kredit jangka menengah dan panjang yang mempunyai pengaruh langsung terhadap pasar modal dalam arti luas.7 Pemberian kredit dilihat dari sudut bahasanya berarti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapatkan kredit dari Bank maka orang atau badan hukum tersebut mendapat kepercayaan dari bank. dalam hal pemberian kredit adanya persyaratan penyertaan barang jaminan oleh debitur, yang pelaksanaan dilakukan pada saat pengikatan jaminan yaitu pada saat akad kredit. Bank umumnya menerima barang jaminan berupa : hak-hak atas tanah, rumah/bangunan, deposito, emas, kendaraan, piutang dagang, mesin-mesin pabrik, bahan baku, stok barang dagangan, saham dan masih banyak lagi. Hak atas tanah merupakan jaminan yang lebih diminati oleh bank, karena hak atas tanah dapat memberikan kepastian dan perlindungan bagi kreditur karena adanya 7
Sinungan Muchdarsyah,1990,Manajemen Dana Bank, Rineke Cipta, Jakarta, hal 3.
7 ketentuan atau dasar hukum yang lebih jelas dan pasti serta nilai ekonomis selalu meningkat terus. Tanah sebagai agunan kredit sangat diminati oleh bank, tentunya mempunyai tujuan yaitu untuk menjamin pelunasan kredit melalui penjualan agunan secara umum yang dikenal dengan lelang, ataupun dengan cara lain yang dapat dimungkinkan yaitu secara dibawah tangan dalam hal debitur wanprestasi. Namun upaya tersebut adalah upaya terakhir sebelumnya telah dilakukan dengan melalui cara pendekatan kekeluargaan, ataupun peringatan sebelumnya. Sehingga didapatkan suatu lembaga pengikatan jaminan yang memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait. Hukum Jaminan secara umum yang berlaku di Indonesia, dapat membagi jaminan atas 2 (dua), yaitu Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan.8 Jaminan kebendaan adalah hak dari kreditur mendapatkan prioritas untuk memperoleh pelunasan piutangnya didahulukan dari kreditur yang lain. Sedangkan Jaminan perorangan adalah jaminan perorangan secara pribadi atas utang tertentu dari seorang debitur. Khusus mengenai jaminan berupa tanah akhirnya setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, lahir juga UndangUndang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 UUPA yaitu Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – benda yang berkaitan dengan Tanah (yang selanjutnya disebut UUHT). Benda-benda yang dapat dijadikan jaminan tentunya adalah benda-benda yang memiliki nilai ekonomis, baik benda tak bergerak yang dapat menjamin 8
Habib Adjie, 2000, Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie I), hal. 1.
8 pelunasan utang secara utuh. Salah satu benda jaminan tersebut adalah berupa tanah melalui haknya.Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit, sebab tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti, sulit digelapkann dan dapat dibebani Hak Tanggungan yang memberikan hak istimewa pada kreditur.9 Namun tidak semua Hak Atas Tanah yang akan diserahkan sebagai jaminan memiliki dokumen kepemilikan yang sempurna atau yang sudah bersertipikat atas nama debitur sendiri atau atas nama orang lain sebagai peminjam. Bukti kepemilikan yang belum sempurna dapat berupa pipil, Grik, Petuk D selain itu sering pula terjadi hak-hak atas tanah yang akan diserahkan debitur masih berupa akta jual-beli yang artinya Hak Atas Tanah yang bersangkutan sudah terdaftar di Kantor Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disingkat BPN) namun belum di balik nama atas nama Debitur tersebut. Bank (kreditur) terlebih dahulu melakukan penelitian dan apabila dianggap cukup sesuai standar kelayakan pemberian kredit dengan kriteria bank, kemudian pihak bank dan pemilik tanah datang ke Kantor Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang wewenangnya meliputi daerah dimana tanah tersebut terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT). Pemberian Hak Tanggungan itu dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut ditandatangani oleh pemilik tanah selaku pemberi hak tanggungan, 9
Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta, hal. 10
9 pemegang Hak Tanggungan yaitu pihak bank, dua orang saksi, dan PPAT sendiri. Selanjutnya APHT ini wajib didaftarkan pada kantor pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah tempat dimana tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu terletak disertai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Pasal 6
dan Pasal 7 UUHT memberikan kepastian hukum kepada
kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian Pasal 7 UUHT menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tepat mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada”. Substansi dari Pasal 6 UUHT menunjukkan hak yang dipunyai pemegang Hak Tanggungan untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila debitur cidera janji. Kemudian Pasal 7 UUHT menunjukkan jaminan kepentingan pemegang Hak Tanggungan, walaupun objek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya untuk mengeksekusi. Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada sertipikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk
menegaskan
adanya
kekuatan
eksekutorial
pada
sertipikat
Hak
Tanggungan. Sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti
10 halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan Pasal 14 ayat (3) UUHT.10 Hak Tanggungan memang dirancang sebagai hak jaminan yang kuat, dengan ciri khas eksekusi mudah dan pasti, akan tetapi dalam praktiknya banyak menimbulkan kendala-kendala. Seperti terjadi dalam hal nasabah bank (debitur) wanprestasi, dan tanah yang dijadikan jaminan oleh nasabah bank (debitur) tersebut telah dibangun rumah, kemudian dijual kepada pihak lain (pembeli tanah dan rumah) yang hasil penjualannya tidak diberikan kepada bank sebagai kewajiban pembayaran kredit debitur. Jadi dapatlah dikatakan bahwa debitur telah cidera janji sehingga Bank berhak untuk sekaligus menagih pelunasan atas seluruh sisa hutang debitur serta untuk setiap saat melaksanakan hak eksekusi atas tanah dan rumah yang digunakan sebagai jaminan. Pihak bank (kreditur) kesulitan dalam mengeksekusi jaminan yang telah ditempati oleh pihak lain selaku pembeli tanah serta rumah yang tetap ingin mempertahankan tanah dan rumah yang telah dibelinya. Jaminan yang masih berupa akta jual beli atau belum di balik nama atas nama debitur saat ini masih bisa diterima sebagai jaminan kredit karena proses balik nama masih bisa dimungkinkan diselesaikan dengan proses yang tidak terlalu lama namun dalam menerima jaminan ini bank sebagai pihak kreditur harus mempertimbangkan matang-matang dan melakukan analisa yang baik terhadap pihak debitur dan aspek-aspek lainnya karena bank akan memikul resiko
10
Ardian Sutedi ,Op.cit hal.118
11 yang cukup besar dimana pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan tersebut baru dapat dilakukan setelah proses balik nama selesai dilakukan oleh BPN. Dalam prakteknya pihak BPN rata-rata tidak mampu menyelesaikan balik nama satu sertipikat dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh UUHT pada pasal 15 ayat (3). Sehingga dengan demikian pihak notaris/PPAT biasanya membuat pembaharuan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT) apabila jangka waktu tersebut telah habis dan begitu seterusnya. Maka para pihak harus kembali datang kehadapan notaris/PPAT untuk membuatkan SKHMT yang baru. Dalam pembuatan SKMHT yang objeknya sedang dalam proses balik nama belum terlahirnya tujuan hukum dimana kepastian hukum mengenai sertipikat atas Hak Milik atas tersebut sedang dalam proses pengerjaan BPN yang akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keadilan hukum mengenai SKMHT ini sebenarnya tidak memberikan rasa keadilan bagi pihak debitur dimana debitur telah menandatangani perjanjian baku yang telah dibuatkan oleh Pihak Bank. Mengenai kemanfataan hukum dimana pembebanan sertipikat yang sedang dalam proses balik nama dapat saja dibuatkan SKMHT oleh pihak Notaris/PPAT namun hal akan memakan waktu yang cukup lama karena Notaris/PPAT akan mengerjakan proses balik nama terlebih dahulu setelah hal tersebut selesai barulah sertipikat tersebut dapat dibebankan Hak Tanggungan, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUHT menyebutkan bahwa “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar
12 wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambatlambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan”. Apabila dalam jangka waktu tersebut sertipikat belum juga selesai maka SKMHT tersebut akan menjadi gugur dan tidak dapat dipergunakan untuk pembuatan APHT atas objek jaminan tersebut. Namun biasanya SKMHT yang sudah habis jangka waktunya akan diperbaharui lagi dengan dibuatkan SKMHT yang baru di hadapan notaris. Dalam prakteknya pihak debitur akan menandatangani SKMT dalam beberapa rangkap, itu dilakukan agar pihak bank dan Notaris/PPAT tidak perlu mendatangkan debitur. Hal tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan apabila dikemudian hari hal tersebut dipertanyakan maka tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam UUHT tidak disebutkan berapa kali SKMHT yang dapat diperbaharui oleh Notaris/PPAT apabila SKMHT yang pertama telah jatuh tempo. Sehingga dalam UUHT terjadi kekaburan norma mengenai berapa kali SKMHT yang dapat diperbaharui oleh Notaris/PPAT. Melihat permasalahan-permasalahan tersebut maka penulis terdorong untuk mengangkat masalah ini ke dalam Penelitian Hukum yang berjudul “PEMBEBANAN HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI OBJEK HAK TANGGUNGAN YANG SEDANG DALAM PROSES BALIK NAMA”. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaturan mengenai Hak Milik Atas Tanah yang dijadikan objek hak tanggungan, serta akibat hukum bagi penjual yang tanahnya dijadikan objek hak tanggungan oleh pembeli yang belum dibalik nama ke nama pembeli.
13 Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui penelusuran dengan media internet, ditemukan judul tesis yang menyangkut pembebanan hak milik atas tanah dan objek hak tanggungan. Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original atau asli karena belum ada penelitian secara khusus menulis tesis dengan judul ini meskipun demikian ada sejumlah tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substansial. Adapun judul beserta rumusan masalah penelitian lain yang tidak sama dengan penelitian ini adalah: 1. Tesis yang berjudul “Kendala-Kendala Pembebanan Hak Tanggungan Bagi Tanah Yang Belum Bersertipikat” oleh Ni Luh Gede Purnamawati, mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Udayana Denpasar Tahun 2012. Dengan permasalahnya: kapankah terjadinya peristiwa hukum pembebanan hak tanggungan dari debitur ke kreditur terhadap tanah yang masih dalam proses pensertipikatan dan apakah kendala-kendala pembebanan hak tanggungan atas tanah yang dalam proses pensertipikatan. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada pembebanan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama. 2. Tesis yang berjudul “Efektivitas Pemberian Hak Tanggungan Terhadap Hak Atas Tanah Berasal Dari Konversi Hak Lama Yang Belum Terdaftar Dalam Praktek Perbankan Di Kota Denpasar” oleh I Putu Darma Aditya Westa, mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Udayana Denpasar
Tahun
2013.
Dengan
permasalahnya:
bagaimana
efektivitas
pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di kota
14 Denpasar dan apakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada pembebanan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama. 3. Tesis yang berjudul “Proses Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Tanah Yang Belum Bersertipikat (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Unit Bekasi Kota)” oleh Nur HAyatun Nufus, mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan
Universistas
Diponegoro
Semarang
Tahun
2010.
Dengan
permasalahnya: bagaimana pelaksanaan pembebanan hak tanggungan terhadap tanah yang belum bersertipikat dan bagaimana penyelesaiannya apabila pemberi Hak Tanggungan atas tanah yang belum bersertipikat tersebut meninggal dunia dan memiliki ahli waris, sementara piutang kredtur tidak terbayar. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada pembebanan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama. 4. Tesis yang berjudul “Penetapan Pengadilan Dalam Proses Pelaksanaan Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Warisan (Studi Kasus Penetapan Nomor 729/PDT.P/2003/PN.SBY Oleh Pengadilan Negeri Surabaya)” oleh Petrus Dibyo Yuwono, mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Diponegoro
Tahun
2009.
Dengan
permasalahnya:
bagaimanakah
cara
penyelesaian secara yuridis mengenai ketidakhadiran seseorang dari salah satu pihak (penjual) sebelum proses pelaksanaan jualbeli hak milik atas tanah warisan
15 dilakukan dan bagaimanakah proses pelaksanaan jual beli hak milik atas tanah warisandengan berdasarkan Penetapan Nomor: 729/Pdt.P/2003/PN.Sby oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada pembebanan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama?
2.
Bagaimanakah kedudukan pihak kreditur terhadap objek hak tangungan yang sertipikatnya sedang proses balik nama?
1.3 Tujuan Penelitian Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan penelitian ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melatih diri dalam menyampaikan pikiran secara tertulis,melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa mengenai suatu permasalahan hukum, sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini terkait
16 dengan pembebanan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan Hukum, khususnya bidang hukum Kenotariatan, sebagai media untuk mengemukakan pendapat secara tertulis, kritis dan sistematis serta objektif, serta sebagai pemenuhan syarat untuk menyelesaikan jenjang strata dua (2) di Magister Kenotariatan Universitas Udayana. 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini bertujuan khusus, untuk mengkaji dan menganalisis lebih dalam mengenai pengaturan peralihan hak milik atas tanah
yang dijadikan
objek hak tanggungan yang sedang proses balik nama. Selain itu bertujuan pula, untuk mengkaji dan menganalisis mengenai kedudukan kreditur terhadap objek hak tangungan yang sertipikatnya sedang proses balik nama. 1.4 Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan. 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian kritis, asas-asas, teoriteori serta kajian teoritis tentang pembebanan hak milik atas tanah yang sedang dalam proses balik nama. Hal ini secara keilmuan diharapkan dapat membantu pengembangan teori-teori yang terkait.
17 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pihak yang terkait dengan penulisan dan pembahasan tesis ini. Para pihak yang dimaksud adalah: 1.
Bagi penulis sendiri, disamping untuk penyelesaian studi pada program Magister Kenotariatan, juga untuk menambah wawasan di bidang Hukum Kenotariatan mengenai pengaturan peralihan hak milik atas tanah yang sertipikatnya sedang proses balik nama dijadikan objek hak tanggungan serta kedudukan kreditur terhadap objek hak tanggungan yang sertifikatnya sedang dalam proses balik nama.
2.
Bagi Perbankan, hasil penelitian ini diharapkan manambah pemahaman mengenai pembebanan hak tanggungan yang objeknya sedang dalam proses balik nama agar lebih cermat dan berhati-hati.
3.
Bagi pembuat kebijakan, maka diharapkan agar dapat membentuk ketentuan yang dapat memberikan kejelasan mengenai pengaturan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.
1.5 Landasan Teoritis Duane R.Munette mengemukakan teori adalah seperangkat proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dengan sistem deduksi, yang mengemukakan penjelasan atas suatu masalah.11Jan Gijssels dan Mark van Hoccke juga mengemukakan pengertian teori adalah sebuah sistem pernyataan-pernyataan 11
H.Salim, 2009, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal.9.
18 (klaim-klaim), pandangan-pandangan dan pengertian-pengertian yang saling berkaitan secara logikal berkenaan dengan suatu bidang kenyataan, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga menjadi mungkin untuk menjabarkan (menurunkan)
hipotesis-hipotesis
yang
dapat
diuji.12Adapun
teori
yang
dipergunakan dalam penulisan ini adalah Teori Perundang-undangan, Teori Penafsiran Hukum, Teori Perjanjian, dan Konsep Kepastian Hukum sebagai berikut: 1.5.1 Teori Perundang-undangan Dalam Teori Perundang-Undangan disebutkan bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa asas yang diperlukan untuk memastikan bahwa suatu perundang-undangan yang dihasilkan merupakan suatu produk kekuasaan yang berdasarkan konsep negara hukum secara baik, atau disebut sebagai peraturan perundang-undangan yang baik.13 Adapun asas-asas tersebut antara lain: 1. asas undang-undang tidak berlaku surut; 2. Asas hierarki, atau tata urutan peraturan perundang-undangan menurut teori jenjang norma hukum atau Stufenbautheorie yang dikemukakan Hans Kelsen.14 Asas ini menyebutkan bahwa undang-undang yang dibuat oleh
12
Ibid. Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL.CO, Cetakan Pertama, Jakarta, hal. 13-15 14 Natabaya, 2008, Sistem Peraturam Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit Konstitusi Press dan Tatanusa, Jakarta, hal. 23-32. 13
19 Penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.15 3. Asas lex posteriore derogate lex priori (hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama).16 4. Asas hukum lex spesialis derogate legi generalis (hukum yang lebih khusus mengalahkan hukum yang bersifat umum jika pembuatnya sama). Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa sistem hukum yang berbentuk perundang-undangan merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak),17 contoh norma hukum paling dasar dan abstrak adalah Pancasila. Salah seorang tokoh yang mengembangkan Teori Stufenbau adalah Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori ini adalah:18 1. Norma fundamental negara 2. Aturan dasar negara 3. Undang-undang formal. dan 15
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1986, Bahan P.T.H.I: Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 16. 16 Ibid, hal 17. 17 Hans Kelsen, 2006, Teori tentang Hukum (Penerjemah Soemadi), Konstitusi Press, Jakarta, hal. 124-126. 18 Ibid.
20 4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom. Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar atau (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Struktur hierarki tata hukum Indonesia dan dikaitkan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, struktur tata hukum Indonesia adalah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; dan 6. Peraturan Daerah, Provinsi, dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten Kota. Pancasila
dilihatnya
sebagai
cita
hukum
(rechtsidee) merupakan
pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji
hukum
positif.
Dengan
ditetapkannya
Pancasila
sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila. Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa keberadaan suatu norma hukum harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan sudah
21 semestinya antara tingkatan norma hukum yang satu dan yang lain saling mendukung dan melengkapi bukan saling mematahkan, atas dasar pancasila sebagai cita hukum bangsa. Selanjutnya untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, juga perlu diperhatikan dari aspek peraturan peralihan dan ketentuan penutup tentang pemberlakuan atau pengundangannya. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan asasasas, selain itu diperlukan pula syarat bahwa suatu perundang-undangan (undangundang) harus memiliki : 1. Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undang atau suatu peraturan perundang-undangan, harus lahir dari pihak yang mempunyai
kewenangan
membuatnya
(landasan
yuridis
formal),
mengakuan terhadap jenis peraturan yang diberlakukan (landasan yuridis material). 2. Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang diberlakukan harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum masyarakatnya agar ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman dan kesadaran hukum masyarakatnya sesuai dengan hal-hal yang diatur. 3. Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan filsafat hidup masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan yang intinya berisi nilai-nilai moral, etika, budaya maupun keyakinan dari
22 bangsa tersebut,19 sebagaimana dikenal dalam adagium quid legex sine moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas). Teori Perundang-undangan dalam pengadaan tanah, undang-undang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah, termasuk untuk kepentingan umum. Teori ini dipergunakan untuk membahas rumusan masalah pertama yaitu pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama. Dimana peraturan mengenai hak tanggungan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Bekaitan Dengan Tanah apabila ada peraturan yang lainnya dapat mengetahui yang mana lebih di khususkan atau peraturan yg lebih tinggi dari UUHT. 1.5.2 Teori Penafsiran Hukum Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalildaalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Untuk menjamin kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan yang diaanggap kabur normanya, hakim dapat melakukan penemuan-penemuan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Selain itu, hakim dapat pula melakukan interpretasi-interpretasi hukum dalam menyelesaikan kasus yang dihadapinya, khususnya dalam hal ketentuan undang-undang yang sudah ketinggalan zaman dan ketentuan undang-undang yang memakai istilah-istilah
19
Sukanda Husin, 2009, Hukum dan Perundanga-undangan, Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru, hal. 17-18.
23 yang tidak jelas atau yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbedabeda.20Hakim dapat menggunakan beberapa cara penafsiran,antara lain21: 1. Menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan (istilah) atau biasa disebut penafsiran gramatikal. Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang erat sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuat undang-undang yang ingin menyatakan kehendaknya secara jelas harus memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tidak bisa ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya pembuat undangundang tidak mampu memakai kata-kata yang tepat. Dalam hal ini hakim wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim dipakai dalam percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus bahas atau meminta penjelasan dari ahli bahasa. 2. Menafsirkan undang-undang menurut sejarah atau penafsiran historis. Setiap ketentuan perundang-undangan mempunyai sejarahnya. Dari sejarah peraturan perundang-undangan hakim dapat mengetahui maksud pembuatnya. Terdapat dua macam penafsiran sejarah yaitu penafsiran menurut sejarah dan sejarah penetapan sesuatu ketentuan perundangundangan. Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu: 22
20
Chainur Arrasjid, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 87 21 Yudha Bhakti Ardiwisastra, 2008, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung, PT Alumni, hal. 9 22 Chainur Arrasjid, Op.cit, hal. 91
24 a.
Penafsiran
menurut
sejarah
hukum
(rechtshistorische
interpretatie) yaitu merupsksn suatu cara penafsiran hukum dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Penafsiran tersebut adalah penafsiran yang luas yang meliputi penafsiran menurut sejarah penetapan perundang-undangan. b. Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundangundangan (wetshistorische interpretatie) yaitu penafsiran yang sempit, yaitu dengan cara melakukan penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangannya sejak dibuat dan untuk mengetahui apa maksud ditetapkannya peraturan itu. 3. Menafsirkan undang-undang menurut sistem yang ada didalam hukum atau biasa disebut dengan penafsiran sistematik. Perundang-undangan suatu Negara merupakan kesatuan, artinya tidak sebuah pun dari peraturan tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran peraturan perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya dengan peraturan perundangan lainnya. Penafsiran sistematis tersebuit dapat menyebabkan kata-kata dalma undnag-undang diberi pengertian yang lebih luas atau yang lebih sempit daripada pengertiannya dalam kaidah bahasa yang biasa. Hal yang pertama disebut penafsiran meluaskan dan yang kedua disebut penafsiran menyempitkan.23
23
Yudha Bhakti Ardiwisastra, Op.cit.hal 20
25 4. Menafsirkan undang-undang menurut cara tertentu sehingga undangundang itu dapat dijalankan sesuai dengan keadaan sekarang yang ada di dalam masyarakat, atau biasa disebut dengan penafsiran sosilogis atau penafsiran teologis. Setiap penafsiran undnag-undang yang dimulai dengan penafsiran gramatikal harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis. Apabila tidak demikian, keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan keadaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat. Karena itu, setiap peraturan hukum mempunyai suatu tujuan sosial, yaitu membawa kepastian hukum dalam pergaulan anatar anggota masyarakat. Hakim wajib mencari tujuan sosial baru dari peraturan yang bersangkutan. Apabila hakim mencarinya, masuklah ia ke dalam lapangan pelajaran sosilogi. Melalui penafsiran sosiologi hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan
atau
(rechtspositiviteit)
kesenjangan dengan
antara
kenyataan
sifat hukum
positif
dari
hokum
(rechtswekelijkheid),
sehingga penafsiran sosiologis atau teologis menjadi sangat penting.24 5. Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi. Adakalnya pembuat undang-undang itu sendiri memberikan tafsiran tentang arti atau istilah yang digunakannya didalam perundangan yang dibuatnya. Tafsiran ini dinamakan tafsiran otentik atau tafsiran resmi. Disini hakim tidak diperkenakan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya didalan undang-undang itu sendiri.25
24 25
Ibid. Ibid, hal 20
26 6. Penafsiran interdisipliner. Penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Disini digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum, misalnya adanya keterkaitan asas-asas hukum dari satu cabang ilmu hukum, misalnya hukum perdata dengan asas-asas hukum publik.26 7. Penafsiran multidisipliner. Berbeda dengan penafsiran interdispliner yang masih berada dalam rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplim ilmu lainnya diluar ilmu hukum. Dengan lain perkataan, disini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.27 Teori ini dipergunakan untuk membahas rumusan masalah pertama yaitu pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama. Dengan adanya ketentuan Pasal 15 Ayat (3) UUHT terdapat norma kabur mengenai berapa banyak pembaharuan mengenai pembuatan SKMHT jika jangka waktu 1 (satu) bulan yang ditetapkan oleh undang-undang tidak terlaksana oleh pihak BPN. 1.5.3 Teori Perjanjian Dalam KUHPerdata hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana dalam tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau
26 27
Ibid. Ibid.
27 pihak tertentu.28Perjanjian dalam pengaturan Pasal 1313 KUHPer menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengaitkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.Menurut Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUHPer tersebut sebagai berikut “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”29 Pasal 1338 menyebutkan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi unsur pada Pasal 1320 KUHPer yaitu: 1. Sepakat mereka mengikatkan diri; 2. Cakap untuk membuat suatu peikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal; Keempat syarat tersebut harus terpenuhi dengan tidak adanya paksaan seperti yang disebutkan dalam pasal 1321 KUHPer yaitu “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan (dwang) atau penipuan. Sehingga dalam hal ini jika perjanjian tersebut ada paksaan dari pihak lain maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
28
R Subekti dan R Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet 28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal 323. 29 Abdul Kadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 34.
28 Linda A. Spagnola berpendapat mengenai perjanjian, bahwa “A contract must be certain in its terms. It is generally accepted that there are four elements that must be certain in a contract in order for there to be a valid offer : parties, price, subject matter, and time for performance”30. (Terjemahannya: Persyaratanpersyaratan sebuah kontrak harus pasti. Agar sebuah kontrak dapat dikatakan sah, terdapat empat elemen yang pada umumnya diterima sebagai sesuatu yang harus pasti dalam sebuah kontrak, yaitu: para pihak, harga, permasalahan dan waktu pelaksanaannya). Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan anatara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksaaan janji itu.31 Perjanjian juga dapat dipersamakan dengan kontrak. Menurut Catherine Elliott dan Frances Quinn, bahwa:32 Normally a contract is formed when a effective acceptance has been communicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if it indicates the terms on which the offeror is prepared to make a contract (such as the price of the goods for sale), and gives a clear indication that the offeror intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree. Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of that offer. (Terjemahan bebasnya: Biasanya sebuah kontrak terbentuk ketika penerimaan efektif telah dikomunikasikan kepada pihak penerima penawaran. Komunikasi akan dianggap sebagai penawaran apabila penawaran tersebut membuat persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh pihak yang menawarkan 30
Linda A. Spagnola, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles and Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States, hal. 4 31 Wirjono Prodjodikoro, 1985. Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu. Cet.VIII, Sumur, Bandung. hal.11 32 Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Education Limited, England, hal. 10
29 untuk membuat sebuah kontrak (misalnya, harga barang yang akan dijual), dan memberikan pernyataan yang jelas bahwa pihak yang menawarkan bermaksud untuk terikat dengan persyaratan-persyaratan tersebut apabila persyaratan-persyaratan tersebut diterima oleh pihak penerima penawaran. Penerimaan suatu penawaran berarti kesepakatan tanpa syarat terhadap semua persyaratan yang ditawarkan tersebut). Terminologi kontrak adalah, pertama dengan kontrak akan dapat menunjukkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, kedua suatu saat nanti ada perselisihan antara pihak kontrak ini dapat memutuskan yang mana pihak yang menyalahi kontrak, sehingga perselisihan itu dapat dipecahkan. Menurut R.Subekti, dalam bukunya:“The debtor has done something what is in contravention of the contract, it is obvios that he is default. Also when in the contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed this time limit, it is clear that the debtor is in default”.33(Terjemahan bebasnya:Debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kontrak itu dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila dalam kontrak ditentukan batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur tidak mengindahkan limit waktu tersebut, maka debitur dinyatakan bersalah). Teori perjanjian menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah perjanjian mengandung asas kekuatan mengikat. Para pihak tidak semata-mata hanya terikat sebatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.34
33
R. Subekti, 1982. Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies. Third Edition, Jakarta. hal.55 34 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal.87-88.
30 Teori perjanjian ini kiranya dapat digunakan untuk mengkaji rumusan masalah kedua yaitu kedudukan kreditur terhadap objek hak tangungan yang sertipikatnya sedang proses balik nama yang akan dibebankan hak tanggungan. Pihak Notaris/PPAT akan membuatkan akta berupa SKMHT agar tanah yang masih dalam proses balik nama dapat dijadikan objek hak tanggungan. 1.5.4 Konsep Kepastian Hukum Keberlakuan hukum dalam masyarakat harus memperhatikan kepastian hukum didalamnya agar hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaaan yang sifatnya subjektif. Kepastian hukum menurut Gustav Radbruch dalam Theo Huijbers adalah: Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab itu kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan.35 Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :36
1. bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. 2. bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. 35
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hal 163. 36 http://ngobrolinhukum.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalamhukum/, diakses tanggal 01 April 2015.
31 3. bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. 4. hukum positif tidak boleh mudah diubah. Menurut
Peter
Mahmud
Marzuki
mengenai
konsep
kepastian
hukum
mengemukakan: Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa
pasal-pasal
dalam
undang-undang,
melainkan juga
adanya
konsistensi dalam putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.37 Menurut L.JVan Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.38
37
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I) hal 158. 38 Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir PT Revika Aditama, Bandung, hal. 82-83.
32 Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih berdimensi yuridis. Untuk itu ia mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu: a. Tersedia aturan-aturan yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui negara; b. Instansi-instansi pemerintahan menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya; c. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturanaturan tersebut; d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan
hukum
tersebut
secara
konsisten
sewaktu
mereka
menyelesaikan sengketa hukum, dan; e. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.39 Lawrence M. Friedmen, berpendapat bahwa untuk mewujudkan kepastian hukum terdapat unsure-unsur sistem hukum yang harus terpenuhi. Unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari:40 a. Substansi hukum, yaitu tentang isi daripada ketentuan-ketentuan tertulis dalam hukum itu sendiri b. Aparatur hukum, adalah perangkat berupa sistem tata kerja dan pelaksana daripada apa yang diatur dalam substansi hukum tadi 39
Ibid, hal 85 H. Syafruddin Kalo, 2007, “Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat Suatu Sumbangan Pemikiran”, Makalahpada Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator Daerah Sumatera Utara, Sumatera Utara, Tanggal 27 April 2007, hal 2. 40
33 c. Budaya hukum, yaitu yang menjadi pelengkap untuk mendorong terwujudnya kepastian hukum adalah bagimana budaya hukum masyarakat atas ketentuan hukum dan aparatur hukumnya. Unsur budaya hukum ini juga tidak kalah pentingnya dari kedua unsur yang lain karena tegaknya peraturan-peraturan hukum akan sangat tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya. Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.41 Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah yang berdaulat. Teori kedaulatan hukum menurut Krabbe42 : bahwa hukumlah memiliki kedaulatan tertinggi. Bahwa hukum dalam konteks kredit adalah Perjanjian Kredit yang telah dibuat oleh para pihak (Kreditur-Debitur), sehingga para pihak terikat dan tunduk dalam suatu perjanjian yang telah mereka buat Keterkaitan teori kepastian hukum dengan tesis ini dipergunakan untuk memberikan kepastian hukum kepada kreditur selaku pemberi kredit dimana jaminannya berupa tanah masih dalam proses balik nama sehingga kreditur merasa yakin untuk memberikan kreditnya kepada debitur.
41 42
Peter Mahmud Marzuki I, Op.cit, hal.137 Soehino, 1998.Ilmu Negara. Liberty, Yogyakarta. hal.156
34 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan lain dari berbagai literatur. Dengan kata lain penelitian ini meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 43 Penelitian hukum yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: -
Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum dengan praktek;
-
Tidak menggunakan hipotesis
-
Menggunakan landasan teori
-
Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.44 Jenis penelitian ini digunakan dalam penelitian ini karena berangkat dari
adanya kekaburan norma mengenai pengaturan berapa kali SKMHT dapat diperbaharui oleh pihak Notaris/PPAT terkait dengan ketentuan pasal 15 ayat (3) UUHT yang menyatakan bahwa SKHMT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan namun dalam jangka waktu 1 (satu) bulan pihak BPN tidak dapat melakukan proses balik nama maka notaris akan membuat SKMHT yang baru.
43
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada.hal.13. 44 Ibid. hal 15.
35 1.6.2 Jenis Pendekatan Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian45. Dalam penelitian ini dipergunakan 3 pendekatan, yaitu: 1.
Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) Dalam pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) dilakukan penelitian sinkrunisasi perundang-undangan baik vertical maupun horizontal. Morris L. Cohen and Kent C. Olson mengatakan bahwa “ legal research is an essential component of legal practise. It is the process of finding the law that governs an activity an mateials that explain or analyze that law.”46 Dalam penulisan tesis ini pendekatan ini digunakan untuk mensinkrunkan peraturan perundang-undangan yang akan digunakan dalam hal pemberian hak tanggungan yang objeknya masih sedang dalam proses balik nama.
2.
Pendekatan Konsep (Conceptual Approach) Konsep-konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan bagi analisis penelitian hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi suatu fakta hukum. Pendekatan konsep ini dimana konsep-konsep hukum dapat membantu menjawab masalah yang muncul baik mengenai pengaturan pengalihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan dan kedudukan kreditur terhadap objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.
45
Suharsini Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Rieneka Cipta,Jakarta, hal. 23 46 Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, T. Paul Minn. Printed in the United States of America, hal 1
36 3.
Pendekatan Analitis (Analytical Approach) Pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang
terdapat
didalam
perundang-undangan
dengan
begitu
peneliti
memperoleh pengertian atau makna baru istilah-istilah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum. Dalam penulisan tesis ini pendekatan ini digunakan untuk mengetahui maksud dari pasal 15 Ayat 3 yang menyatakan SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Mengenai apabila jangka waktunya telah habis tidak dijelaskan lebih lanjut, disini penulis mencari tahu apabila jangka waktu 1 (satu) bulan ini habis SKMHT tersebut berapa kali dapat diperbaharui oleh Notaris/PPAT 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian hukum normatif tidak dikenal adanya data, sebab dalam penelitian hukum khususnya normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan hukum47. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang bersumber dari penelitian Kepustakaan (Library Research), bertujuan untuk mencari data sekunder yaitu dengan menggali data dari bahanbahan bacaan berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, maupun
47
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II) hal. 41
37 pendapat para sarjana yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Data sekunder terdiri dari48 : a.
Bahan Hukum Primer, yaitu Bahan hukum primer ini diperoleh dari sumber yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer); 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok AgrariaUndang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria (Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104); 3. Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42); 4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182); 5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117); 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3);
48
Amarudin dan Zainal Asikin,2004, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, hal. 31.
38 7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52); 9. Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah; dan 10. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang Kenotarisan. b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain yang berkaitan
dengan isi dari sumber bahan hukum primer serta implementasinya dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang dapat berupa : -
Buku-buku literatur;
-
Jurnal hukum dan Majalah Hukum;
-
Makalah, hasil-hasil seminar, majalah dan Koran
-
Tesis, artikel ilmiah dan disertasi.49
c.
Bahan Hukum Tertier Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Ensiklopedia.
49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit. hal. 33
39 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan(library research), yaitu memperoleh bahan hukum dengan mempelajari perundang-undangan dan buku-buku atau literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dengan melakukan kegiatan membaca secara kritis permasalahan dan isu hukum yang akan diteliti dan mengumpulkan semua informasi yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti, kemudian dipilih informasi yang relevan dan esensial. 1.6.5 Teknik Analisa Bahan Hukum Metode analisa bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknik arumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi yakni teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaanya. Deskripsi yang memaparkan situasi atau peristiwa, dalam teknik ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. 50 Teknik argumentasi adalah teknik yang tidak dapat dilepaskan dari teknik evaluasi yang artinya penilaian harus didasrkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan masalah hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
50
M. Hariwijaya, 2007, Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis Dan Disertasi,Azzagrafika, Yogyakarta, hal.48.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK ATAS TANAH DAN HAK TANGGUNGAN
2.1 Tinjauan Umum Tentang Hak Milik 2.1.1 Pengertian Hak Milik Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.” Pada paragraf sebelumnya tertulis bahwa hak milik adalah hak turun-temurun yang maksudnya adalah hak milik dapat diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli warisnya. Selanjutnya disebutkan bahwa hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh, maksud dari kata-kata tersebut tersebut mununjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah, hak milik adalah hak yang paling kuat dan paling penuh dan bukan berarti hak tersebut bersifat mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Hak milik sebagai hak yang terkuat dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya berarti hak milik tidak mudah dihapus dan lebih mudah dipertahankan terdap gangguan dari pihak lain51. Arti kata tepenuh pada pengertian Hak Milik diatas berarti hak milik memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya, hak milik dapat dapat menjadi induk dari hak atas tanah lainnya, 51
Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta, Sinar Grafika, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), hal. 60 40
41 misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada pihak lain. Wewenang seorang pemegang hak milik tidak terbatas selama tidak dibatasi oleh penguasa. Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bemaksud untuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak pakai dan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki orang, hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh). Begitu pentingnya hak milik, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan hak milik atas tanah52. Hak milik atas tanah di dalam UUPA termasuk ke dalam konsep hak atas tanah yang bersifat primer. Hak atas tanah yang bersifat primer ini maksudnya adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lainatau ahli warisnya53. Selain Hak Milik atas Tanah yang termasuk ke dalam hak atas tanah yang bersifat primer ini adalah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Hak Milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan, hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan
52
A.P. Parlindungan I, Op.cit. hal. 124 Supriadi, 2012, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Supriadi I), hal. 64 53
42 eigendom, atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberikan kewenangan yang paling luas pada pemiliknya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 2.1.2 Subyek Hak Milik Hak Milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia saja, dan tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing selain itu Hak Milik atas Tanah juga dapata diberikan kepada badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut menyebutkan badan badan hukum tersebut antara lain: 1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara) 2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas UU No. 79 Tahun 1958 3. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah mendengar Menteri Agama 4. Badan-badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Hak milik atas tanah tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing ataupun oleh orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (warga negara Indonesia dan juga warga negara asing). Menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA warga negara asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian juga bagi warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan kemudian kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak
43 tersebut dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganeraannya itu. Ketentuan mengenai pemilikan hak atas tanah terdapat gambaran bahwa hak milik atas tanah merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan yang sangat ketat. Perlindungan ketat dimaksudkan agar pemberian status hak kepada peorangan harus dilakukan dengan seleksi ketat, agar betul-beul terjadi pemerataan atas status hak tersebut54. 2.1.3 Sifat dan Ciri Hak Milik Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya Hak Milik atas Tanah memiliki sifat terkuat dan terpenuh yang membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak-hak lainnya. Hak milik itu hak terkuat artinya bahwa hak milik itu tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuh artinya hak milik dapat memberikan wewenangyang lebih luas dibandingkan hak-hak lainnya. Ini berarti hak milik dapat menjadi induk dari hak-hak lainnya, seperti misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada pihak lain.Sedangkan ciri-ciri hak milik, antara lain: 1. Wajib didaftarkan 2. Dapat beralih kepada ahli waris 3. Dapat dialihkan 4. Dapat diwakafkan 5. Turun Termurun
54
Ibid., hal.66-67
44 6. Dapat dilepaskan 7. Dapat dijadikan induk hak lain 8. Dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan 2.1.4 Terjadinya Hak Milik Terjadinya hak milik atas tanah dpat dengan berbagai macam peristiwa. Terjadinya hak milik atas tanah diatur di dalam Pasal 22 UUPA yang isinya sebagai berikut : 1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah; 2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, hak milik terjadi karena : a. Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah b. Ketentuan Undang-Undang. Menurut pandangan Edy Ruchyat dalam bukunya yang berjudul Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Hak milik dapat terjadi karena55: 1. Menurut Hukum Adat Menurut Pasal 22 UUPA, hak milik menurut hukum adat harus diatur dengan peraturan pemerintah supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Terjadinya hak atas tanah menurut hukum adat lazimnya bersumber pada pembukuan hutan yang merupakan bagian tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. 55
Edy Ruchyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai orde Reformasi, Alumni, Bandung, hal.47-51
45 2. Penetapan Pemerintah Hak milik yang terjadi karena penetapan pemerintah diberikan oleh instansi yang berwenang menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Tanah yang diberikan dengan hak milik itupun dapat diberikan sebagai perubahan daripada yang sudah dipunyai oleh pemohon, misalnya hak guna bangunan, hak guna usaha, atau hak pakai, hak milik ini merupakan pemberian hak baru. 3. Pemberian Hak Milik Atas Negara Hak milik tersebut diberikan atas permohonan yang bersangkutan. Permohonan untuk mendapatkan hak milik itu diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang dengan perantara Bupati Walikota kepala Daerah ke kepala Kantor Agraria Daerah yang bersangkutan. Oleh instansi yang berwenang hak milik yang dimohon itu diberikan dengan menerbitkan suatu surat keputusan pemberian hak milik. 4. Pemberian Hak Milik Perubahan Hak Pihak yang mempunyai tanah dengan hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai, jika menghendaki dan memenuhi syarat-syarat dapat menunjukkan permintaan kepada instansi yang berwenang, agar haknya itu diubah menjadi hak milik, pemohon lebih dahulu harus melepaskan haknya hingga tanahnya menjadi tanah Negara sesudah itu dimohon (kembali) dengan hak milik. 2.1.5 Pengalihan, Pembebanan dan Hapusnya Hak Milik Pengalihan hak atas tanah adalah jual beli, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang
46 disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum. Setiap pengalihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak milik atas tanah yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut. PPAT mempunyai kewajiban agar peralihan hak milik atas tanah, dapat terselenggara secara benar. PPAT yang akan membuat peralihan hak atas tanah mempunyai tugas memastikan kebenaran mengenai hak milik atas tanah tersebut, memastikan kecakapan dan kewenangan bertindak dari pihak-pihak yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan obyek hak milik atas tanah yang dialihkan, PPAT harus memeriksa keabsahan dari dokumen-dokumen: 1. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, sertipikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal sertipikat tidak
47 diserahkan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau 2. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar:
surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik, dan tidak pernah ada permasalahan yang timbul sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut; dan
surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan; dan dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak milik atas tanah yang akan dialihkan tersebut. Pada Pasal 25 UUPA menyebutkan bahwa “Hak milik dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan”. Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUHT adalah Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
48 kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”. Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam perjanjian dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utangpiutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pembebanan hak tanggungan ini akan lebih rinci dijelaskan pada sub bab berikutnya mengenai tinjauan umum hak tanggungan. Hak milik memiliki keunikan tanpa batas waktu, maka dari itu hak milik dapat diwariskan kepada keluarga yang ditinggalkan. Namun hak milik itu dapat juga terhapus, dalam Pasal 27 UUPA dinyatakan bahwa hak milik hapus apabila: a. Tanahnya jatuh kepada negara: 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18.Menurut ketentuan Pasal 18 UUPA bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. 2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pihak pemiliknya.Hapusnya hak milik atas tanah karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya ini berhubungan dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor
49 55
Tahun
1993
tentang
Pengadaan
Tanah
bagi
Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, penyerahan sukarela ini menurut Kepres No. 55/1993 sengaja dibuat untuk kepentingan negara, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah. 3. Karena ditelantarkan.Pengaturan mengenai tanah yang terlantar diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 mengatur mengenai kriteria tanah terlantar yaitu; (i) tanah yang tidak dimanfaatkan dan/atau dipelihara dengan baik. (ii) tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut. 4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2).Pasal 21 ayat (3) UUPA mengatur bahwa orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
50 Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. b. Tanahnya musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam dan tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Karena keadaan yang demikian maka hak milik dapat terhapus. Sebagaimana pemberian, peralihan dan pembebanan Hak Milik yang wajib di daftar dalam buku tanah, pendaftaran hapusnya hak kepemilikan atas tanah juga wajib untuk dilakukan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan 2.2.1 Pengertian Hak Tanggungan UUPA telah memberikan indikasi bahwa perlu dibentuk sebuah undangundang untuk mengatur masalah Hak Tanggungan. Hal tersebut terlihat pada Pasal 51 UUPA yang isinya “Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak
51 milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan undang-undang.” Namun pembentukan undang-undang yang khusus mengatur masalah hak tanggungan baru diresmikan 34 tahun kemudian dengan diundangkannya UUHT selama 34 tahun tersebut maka dasar pengaturan masalah hak tanggungan digunakan Hypotheek (selanjutnya disebut hipotek) sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Dengan diundangkannya UUHT maka diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum di dalam lembaga jaminan yang berkaitan dengan tanah, sehingga terdapat suatu lembaga jaminan yang kuat serta pasti pelaksanaannya. Pengertian Hak Tanggungan pada Pasal 1 UUHT, yaitu hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dari definisi tersebut dapat ditarik unsur pokok dari hak tanggungan, sebagai berikut. (1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang. (2) Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA. (3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan beikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
52 (4) Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu. (5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.56 Penjelasan umum angka 3 UUHT disebutkan bahwa hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak mempunyai 4 sifat khusus. Sifat-sifat khusus tersebut antara lain: a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya. Apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain". Hak mendahulu dimaksudkan adalah bahwa kreditur pemegang hak tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek HakTanggungan.57 b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek itu berada. Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa “Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada”. Kemudian dijelaskan pada bagian penjelasan undang-undang tersebut yaitu “sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat
56
Supriadi I, Op.Cit, hal.173 J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditia Bakti, Bandung, hal. 97 57
53 menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji”. Hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya.58 c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.Apabila debitur cidera janji menurut Pasal 6 UUHT, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Sedangkan Pasal 14 UUHT menegaskan bahwa Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.59 2.2.2
Subyek Hak Tanggungan Pasal 8 ayat (1) UUHT disebutkan bahwa pemberi hak tanggungan adalah
orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kemudian pada Pasal 8 ayat (2) UUHT bahwa kewenangan untuk melakukan
58
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, hal. 25 59 Ibid. hal. 52-53
54 perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Pada bagian penjelasan Undang-Undang tesebut yaitu karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pasal 9 UUHT disebutkan pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.Dengan demikian yang dapat menjadi pemegang Hak Tanggungan adalah siapapun juga yang berwenang melakukan perbuatan perdata untuk memberikan utang, yaitu orang perseorangan warga negara Indonesia maupun orang asing.60 Sebagai pihak yang akan menerima Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan haruslah memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menyebutkan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 8 ayat (1) UUHT, harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat hak tanggungan tersebut didaftarkan, karena Hak Tanggungan baru lahir pada saat Hak Tanggungan tersebut didaftarkan.
60
ST. Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuan ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Alumni, Bandung, hal 79.
55 2.2.3 Objek Hak Tanggungan Obyek Hak Tanggungan dijelaskan pada Bab II UUPA mengenai Obyek Hak Tanggungan yang terbagi dari Pasal 4 hingga Pasal 7. Pada Pasal 4 ayat (1) UUHT disebutkan bahwa hanya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan yang dapat dibebani Hak Tanggungan. Namun pada Ayat (2) Hak Pakai yang wajib didaftarkan menurut ketentuan yang berlaku juga dapat dibebani Hak Tanggungan. Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak milik ini diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah. Salah satu Peraturan Pemerintah yang mengaturnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak Tanggungan juga dapat dibebankan pada hak atas tanah beserta bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dibebankan Hak Tanggungan seperti yang tertulis pada Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) UUHT. Dikemukakan dalam Penjelasan Pasal 4 UUHT, terdapat dua unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan yaitu: a. Hak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum, dalam hal ini pada Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferent) yang diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah
56 yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas), dan b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan, sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya. 2.2.4 Asas-Asas Hak Tanggungan Asas-asas hak tanggungan digunakan untuk mengetahui perbedaan hak tanggungan yang telah ada sebelum terbitnya UUHT dan setelah terbitnya UUHT, termasuk asas hipotek yang ada sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, asas-asas itu akan diuraikan sebagai berikut.61 a. Hak Tanggungan memberikan kedudukan hak yang diutamakan. Kalimat “kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur lain” dapat ditemui dalam penjelasan umum UUHT yang menyatakan Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku. Jadi hak mendahulukan dimaksudkan adalah bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan
61
Supriadi.Op. Cit. hal. 174
57 diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutangpiutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku . b. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi. Sesuai ketentuan dalam Pasal 2 UUHT, dinyatakan bahwa Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Apabila hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Dalam penjelasan Pasal 2 UUHT dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya, dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. c. Hak Tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Tidaklah mungkin untuk
58 membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari.62 d. Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut. Ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada tanahnya, tetapi juga segala benda yang mempunyai keterkaitan dengan tanah tersebut. Benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut dapat berupa bangunan,tanaman yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. e. Hak Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari. Istilah “yang baru akan ada” ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah (hak atas tanah) tersebut.63 f. Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian Accessoir. Penjelasan umum angka 8 UUHT yang menyatakan bahwa oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu 62 63
ST. Remy Sjahdeini, Op.cit,hal. 25 Ibid. hal. 27
59 piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”. Selain itu hal tersebut diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUHT. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a UUHT menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan g. Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang akan ada. Beberapa asas Hak Tanggungan mempunyai suatu keistimewaan yaitu diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa “utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan”. Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UUHT, dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada dikemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenaan dengan timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank. Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian.64
64
Ibid. hal. 31
60 h. Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih dari Satu Utang. Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUHT dinyatakan bahwa “Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum”. Perjanjian dengan hanya berupa satu Hak Tanggungan bagi beberapa kreditur berdasarkan beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur yangsama dengan masing-masing kreditur itu, hanyalah mungkin dilakukan apabila sebelumnya telah disepakati oleh semua kreditur. Kesemua kreditur bersamasama harus bersepakat bahwa terhadap kredit yang akan diberikan oleh masingmasing kreditur (bank) kepada satu debitur yang sama itu, jaminannya adalah berupa satu Hak Tanggungan saja bagi meraka bersama-sama kredit dari semua kreditur diberikan secara serentak. Bila tidak demikian halnya,para kreditur itu akan menjadi pemegang Hak Tanggungan pertama, kedua,ketiga, dan seterusnya. Masing-masing kreditur past akan saling mendahulu untuk memperoleh hak yang diutamakan terhadap kreditur yang lain.65 i. Hak Tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek hak tanggungan itu berada. Pasal 7 UUHT menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada.” Hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah.
65
Ibid. hal. 37
61 Ketentuan Pasal 7 UUHT ini merupakan materialisasi dari asas yang disebut droit de suite atau zaakgevolg asas ini juga diambil dari hipotek yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH Perdata.66 j. Diatas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan. Seharusnya menurut hukum terhadap Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri. Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditur yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Bila terhadap Hak Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dan kreditur pemegang Hak Tanggungan. k. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu. Asas ini diatur dalam Pasal 8 UUHT dan juga di penjelasan Pasal 8 tersebut. Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian jelas mengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud, apabila objek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya. Kata-kata “uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan ” dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT menunjukkan bahwa objek Hak Tanggungan harus secara spesifik dapat ditunjukkan dalam APHT yang bersangkutan.67
66 67
Ibid. hal. 38 Ibid. hal. 42
62 l. Hak Tanggungan wajib didaftarkan. Ketentuan Pasal 13 UUHT dinyatakan bahwa Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran HakTanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Tidak adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah. m. Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu. Janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (2) UUHT bersifat fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya, Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.
63 n. Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang hak tanggungan apabila cedera janji. Asas Hak Tanggungan ini beralasan dari asas yang tercantum dalam Hipotek sesuai ketentuan Pasal 1178 KUHPer, yang janji demikian tersebut disebut Vervalbeding. Pengaturan hal tersebut terdapat pada Pasal 12 UUHT yaitu Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum. Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi debitur, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap kreditur (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikannya.68 o. Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti. Dalam ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 6 tersebut diuraikan sebagai berikut hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang HakTanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui
68
Ibid, hal. 45-46
64 pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan. Sertipikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah.69 2.2.5 Lahirnya Hak Tanggungan Lahirnya Hak Tanggungan tidak terlepas dari proses pembebanan Hak Tanggungan itu sendiri. Pada angka 7 penjelasan umum UUHT disebutkan bahwa proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu: a. tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin; b. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan. Pada huruf b angka 7 penjelasan umum UUHT tersebut menyatakan bahwa lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat tahap pendaftarannya oleh
69
Ibid, hal. 47
65 Kantor Pertanahan, jadi setelah dibuat perjanjian utang piutang maka PPAT membuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang kemudian didaftarkan di Kantor Pertanahan dan pada saat pendaftaran tersebut maka Hak Tanggungan sudah dianggap telah lahir. Hal ini dipertegas lagi pada penjelasan Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menyebutkan bahwaKarena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan. Lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan. Demikian pula dengan penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT yang menyebutkan bahwa salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.Pada penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT ini lebih menekankan bahwa syarat mutlak dari lahirnya Hak Tanggungan itu adalah pendaftaran pemberian Hak Tanggungan. 2.2.6 Hapusnya Hak Tanggungan Pasal 18 UUHT disebutkan beberapa hal yang menyebabkan hapusnya atau berakhirnya Hak Tanggungan. Penyebab hapusnya atau berakhirnya Hak Tanggungan tersebut antara lain:
66 a. Utangnya hapus, sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan, adanya hak tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijaminkan pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebabsebab lain, maka dengan sendirinya hak tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan, hal ini dilakukan oleh pemegang hak tanggungan dengan pemberian pernyataan tertulis kepada pemberi hak tanggungan, sehingga kedudukan pemegang hak tanggungan sebagai kreditur preferen menjadi kreditur konkuren. c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, terjadi karena permohonan pemberi hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUHT. Ketentuan demikian dilakukan dalam rangka melindungi kepentingan pembeli objek hak tanggungan, agar benda yang dibelinya terbebas dari hak tanggungan yang semula membebaninya, jika harga pembelian tidak mencukupi untuk melunasi utang yang dijamin. d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut, dimana ada beberapa kemungkinan yaitu : -
Jangka waktunya berakhir, kecuali hak atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan diperpanjang sebelum berakhir jangka waktunya. Hak Tanggungan mana tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan ;
67 -
Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena suatu syarat batal telah dipenuhi ;
-
Dicabut untuk kepentingan umum ;
-
Dilepaskan dengan sukarela oleh pemilik hak atas tanah ; dan
-
Tanahnya musnah.
2.3 Tinjauan Umum Tentang Notaris 2.3.1 Pengertian Notaris Menurut ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN-P) disebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Walaupun menurut definisi tersebut ditegaskan bahwa Notaris itu adalah pejabat umum (openbare ambtenaar), ia bukan pegawai menurut undang-undang atau peraturanperaturan kepegawaian negeri. Notaris tidak menerima gaji, bukan bezoldigd staatsambt, tetapi menerima honorarium sebagai penghargaan atas jasa yang telah diberikan kepadamasyarakat.70 Bila dikaitkan dengan Pasal 1 Stbl.1860 Nomor 3 tentang Notaris Reglement atau Peraturan Jabatan Notaris mengatakan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan 70
Komar Andasasmita,1981,Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, hal.45.
68 aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”71 Jika dilihat dari kedua ketentuan tersebut diatas, ternyata mempunyai kesamaan terkait dengan pengertian Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Pejabat umum yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan dari pemerintah. sehingga mempertegas kedudukan Notaris sebagai pejabat yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPer yang menyatakan bahwa “suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.” Hal tersebut menunjukan bahwa sifat dari keotentikan suatu akta tergantung dari bentuk akta tersebut yang diatur dalam undang-undang serta dibuat oleh pejabat yang berwenang di wilayah hukum kewenangannya. 2.3.2. Kewenangan dan Kewajiban Notaris Dalam hal ini menunjukan kewenangan utama dari Notaris adalah untuk membuat akta otentik sehingga akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Kewenangan Notaris terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UUJN-P, yang menyatakan bahwa: 71
G.H.S. Lumban Tobing, 1996,Peraturan Jabatan Notaris.Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 31.
69 1. Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta Risalah lelang. Selain memiliki kewenangan notaris dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang Notaris, haruslah dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan ataupun perbuatan yang dilakukan. Berkenaan dengan hal tersebut maka oleh UUJN-P, diatur tentang kewajiban Notaris dalam pasal 16 ayat (1) UUJN-P yang menyatakan bahwa : a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
70 g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar Wasiat pada Kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; n. Menerima magang calon Notaris. Dasar pelaksanaan jabatan Notaris tidak bisa dilepaskan dari ketentuan dasar dalam pasal-pasal tersebut diatas yang mengatur mengenai kewenangan dan jabatan Notaris. Bila hal tersebut tidak diterapkan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya, maka sudah dapat dipastikan Notaris tersebut sangat rawan dan dekat dengan pelanggaran jabatan dan dapat berakibat pada keabsahan ataupun keotentikan dari akta yang dibuatnya maupun pada dirinya sendiri yang dapat dikenakan sanksi akibat perbuatannya tersebut. 2.3.3 Larangan Notaris Kewajiban-kewajiban Notaris disertai pula dengan larangan-larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN-P, sebagai berikut :
71 1) menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; 2) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturutturut tanpa alasan yang sah; 3) merangkap sebagai pegawai negeri; 4) merangkap jabatan sebagai pejabat negara; 5) merangkap jabatan sebagai advokat; 6) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta; 7) Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris; 8) menjadi Notaris pengganti; atau 9) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa Notaris. Larangan dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUJN-P dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam menjalankan jabatannya. Salah satu upaya dalam mencegah persaingan tersebut, Notaris hendaknya memperhatikan ketentuan mengenai honorarium yang merupakan hak Notaris atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 36 UUJN dengan tidak memungut biaya yang terlampau murah dibanding rekan-rekan Notaris lainnya,namun dengan tetap melaksanakan kewajiban dalam memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat (1) UUJN-P. Berkaitan dengan kedudukan dan wilayah jabatan Notaris, Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota, dan mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Pasal 19 ayat (1) UUJN-P menyatakan, bahwa Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu
72 di tempat kedudukannya. Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan diluar tempat kedudukannya. Selain sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 UUJN-P, mengenai larangan bagi Notaris juga diatur dalam Pasal 18 Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang Kenotarisan (selanjutnya disebut Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003), Notaris dilarang : 1) membuka kantor cabang atau mempunyai kantor lebih dari satu; 2) melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat jabatan Notaris; 3) meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, kecuali ada izin dari Pejabat yang berwenang atau dalam keadaan cuti. 4) mengadakan promosi yang menyangkut jabatan Notaris melalui media cetak maupun media elektronik; 5) membacakan dan menandatangani akta di luar wilayah kerja Notaris yang bersangkutan: 6) menyimpan protokol setelah Notaris yang bersangkutan diberhentikan oleh Menteri; 7) merangkap jabatan sebagai ketua atau anggota lembaga tinggi negara tanpa mengambil cuti jabatan. 8) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, pegawai swasta; 9) merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah diluar wilayah kerja Notaris.
73 10) menolak calon Notaris magang di kantornya. Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 merupakan salah satu peraturan pelaksanaan yang dimaksud, salah satu yang sudah diganti adalah mengenai larangan meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, sekarang berdasarkan Pasal 17 UUJN-P, adalah 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah meninggalkan wilayah jabatan. 2.3.4 Pengawasan dan Sanksi Notaris Pengawasan terhadap Notaris bertujuan agar para Notaris semaksimal mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan undang-undang demi pengamanan dari kepentingan masyarakat umum. Notaris diangkat bukan untuk kepentingan sendiri, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya, untuk itu undang-undang diberikan kepercayaan yang begitu besar dan secara umum dapat dikatakan bahwa setiap pemberian kepercayaan terhadap seseorang meletakkan tanggung jawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum maupun berdasarkan moral.72 Pengawasan Notaris diharapkan oleh pembentuk UUJN sebagai lembaga pembinaan agar para Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Mengingat peranan dan kewenangan Notaris sangat penting bagi lalu lintas kehidupan masyarakat, maka perilaku dan perbuatan Notaris dalam menjalankan jabatan profesinya, rentan terhadap penyalahgunaan yang dapat merugikan masyarakat, sehingga lembaga pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris perlu diefektifkan. Ketentuan yang mengatur Majelis Pengawas dalam UUJN,
72
Ibid, hal. 301.
74 merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi kelemahan dan kekurangan dalam sistem pengawasan terhadap Notaris, sehingga diharapkan dalam menjalankan profesi jabatannya, Notaris dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Pengawasan baik preventif dan represif diperlukan bagi pelaksanaan tugas Notaris sebagai pejabat umum. Sejak berlakunya UUJN, maka Badan Peradilan tidak lagi melakukan pengawasan, dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris, tugas tersebut dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris. Namun semenjak adanya perubahan mengenai Jabatan Notaris Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris (Pasal 66 ayat (1) UUJN-P). 2.4 Tinjauan Umum Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 2.4.1 Pengertian PPAT Bahwa segala Warga Negara bersama kedudukannya di dalamhukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Kalimat tersebut mengandung arti bahwa semua Warga Negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum, dan berkewajiban tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam ketentuan Hukum Tanah Nasional yaitu UUPA mengatur bahwa semua Peralihan Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PPAT sebagai Pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai segala sesuatu
75 perbuatan hukum berkaitan dengan peralihan Hak Atas Tanah, tunduk pada hukum dan peraturan perundangan yang berlaku. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu maksudnya yaitu akta pengalihan dan pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan dengan tidak menyimpang dari peraturan jabatannya sebagai PPAT. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UUPA. Di dalam peraturan tersebut PPAT disebutkan sebagai pejabat yang berfungsi membuat akta yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan hak baru atau membebankan hak atas tanah. Pasal 7 PP No 10 Tahun 1961 menyebutkan pula bahwa peraturan jabatan PPAT diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Sebagai realisasi dari pernyataan tersebut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan Peraturan pelaksanaannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Peraturan ini mencabut Peraturan Menteri Agraria Nomor4 Tahun 1999. 2.4.2 Tugas, Kewenangan dan Kewajiban PPAT Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan memuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu, mengenai hak atas tanah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang
76 akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh peraturan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud meliputi : a) Jual beli, b) Tukar menukar, c) Hibah, d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), e) Pembagian hak bersama, f) Pemberian Hak Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, g) Pemberian Hak Tanggungan, h) Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa : “Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana telah disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus hanya berwenang membuat Akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus penunjukannya.” Sehubungan dengan tugas dan wewenang PPAT membantu Kepala Kantor pertanahan dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data tanah, dan sesuai dengan jabatan PPAT sebagai Pejabat Umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. Akta PPAT dibuat sebagai tanda bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan
77 menghindarkan sengketa. Oleh karena itu pembuatan akta harus sedemikian rupa, artinya jangan memuat hal-hal yang tidak jelas agar tidak menumbulkan sengketa dikemudian hari.Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menegaskan bahwa PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas satuan Rumah Susun yang terletak di wilayah kerjanya. Pengecualian dari Pasal 4 ayat (1) ditentukan dalam ayat (2), yaitu untuk akta tukar menukar, akta pemasukan dalam perusahaan (inbreng) dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak didalam daerah kerja seseorang PPAT, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum. Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 menyatakan kewenangan PPAT adalah membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya. Pasal 3 ayat (2) menyatakan PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dengan daerah kerja didalam wilayah kerja jabatannya. Dan Pasal 3 ayat (3) menyatakan PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
78 Kewajiban PPAT sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 adalah : 1) Menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945 dan Negara Republik Indonesia. 2) Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT. 3) Menyampaikan laporan bulanan kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. 4) Menyerahkan Protokol PPAT dalam hal berhenti dari jabatannya atau melaksanakan cuti. 5) Membebaskan uang jasa bagi yang tidak mampu. 6) Membuka kantor setiap hari kerja kecuali cuti atau hari libur resmi. 7) Berkantor hanya di 1 kantor dalam daerah kerja sesuai dengan keputusan pengangkatan PPAT. 8) Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan,contoh paraf dan eraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT. 9) Melaksanakan Jabatannya secara nyata setelah pengambilan sumpah. 10) Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan. Kewajiban lain yang harus dilaksanakan oleh PPAT, satu bulan setelah pengambilan sumpah jabatan ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 yaitu :
79 a) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan,contoh paraf, dan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan. b) Melaksanakan jabatannya secara nyata. PPAT harus berkantor di satu suatu kantor dalam daerah kerjanya dan wajib memasang papan nama serta menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan. Selanjutnya akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Kepala Badan, serta semua jenis akta diberi satu nomor urut yang berulang pada permukaan tahun takwim. Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli sebanyak 2 (dua) lembar, yaitu: 1. Lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan. 2. Lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau satuan rumah susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai
pemberian
kuasa
membebankan
hak
tanggungan,
disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta pemberian hak tanggungan, dan kepada pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.
80 Setiap lembar akta PPAT asli yang disimpan oleh PPAT harus dijilid sebulan sekali dan setiap jilid terdiri dari 50 lembar akta dengan jilid terakhir dalam setiap bulan memuat lembar-lembar akta sisanya. Pada sampul buku akta asli penjilidan akta-akta itu dicantumkan daftar akta didalamnya yang memuat nomor akta, tanggal pembuatan akta dan jenis akta. Berdasarkan Pasal 26 PP No.37 Tahun 1998 ditegaskan bahwa PPAT harus membuat satu daftar untuk semua akta yang dibuatnya. Buku daftar akta PPAT diisi setiap akhir hari kerja dengan garis tinta yang diparaf oleh PPAT yang bersangkutan. PPAT berkewajiban mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantorkantor lain sesuai ketentuan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. PPAT harus dapat melaksanakan tugas yang diembannya dengan sebaik-baiknya. Dalam Pasal 62 PP Nomor 24 Tahun 1997 telah ditetapkan sanksi bagi PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta petunjuk dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Sanksi yang dikenakan berupa tindakan administratif, berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti rugi oleh pihakpihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan tersebut. Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa ayat (1) menyebutkan
“Selambat-lambatnya
7
(tujuh)
hari
kerja
sejak
tanggal
81 ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.” Ayat 2 menyebutkan “PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 kepada para pihak yang bersangkutan. Hal tersebut jelas bahwa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PPAT dan tidak boleh dilalaikan guna membantu kelancaran proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan. 2.4.3 Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT Didalam Pasal 7 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Pasal 11 Ayat 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyebutkan bahwa “PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia”. PPAT diangkat untuk menjalankan jabatan paling lama sampai usia 65 tahun.Syarat-syarat untuk diangkat menjadi PPAT, yaitu : 1) Berkewarganegaraan Indonesia. 2) Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun. 3) Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat. 4) Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
82 5) Sehat jasmani dan rohani. 6) Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Program Pendidikan Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi. 7) Lulus ujian PPAT yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,dengan materi : a) Hukum Pertanahan Nasional, b) Organisasi dan Kelembagaan Pertanahan, c) Pendaftaran Tanah, d) Peraturan Jabatan PPAT, e) Pembuatan Akta PPAT, dan f) Etika Profesi73 PPAT dapat saja berhenti dari jabatan yang diembannya karena beberapa alasan. Berhenti PPAT dari jabatan, karena: 1) Meninggal dunia, 2) Telah mencapai usia 65 tahun, 3) Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan/melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT, 4) Diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dibedakan menjadi : a) Diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena :
73
A.P. Parlindungan, 1999, Pendaftaraan Tanah Indonesia, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan III), hal 186.
83 1) permintaan sendiri, 2) tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk, 3) melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT, 4) diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau anggota TNI/POLRI. b) Diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena: 1) melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT, 2) dijatuhi
hukuman
kurungan/penjara
karena
melakukan
kejahatan
perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya lima tahun atau lebih berat berdasarkan putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, 3) melanggar kode etik. c) Diberhentikan untuk sementara dari jabatannya, karena sedang dalam pemeriksaan Pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya lima tahun atau lebih berat danbaru berlaku sampai ada putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
84 2.4.4 Daerah Kerja dan Formasi PPAT Daerah Kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak didalamnya. Berdasarkan Pasal 12 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa “Daerah Kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya
Kabupaten/Kotamadya”. dipecah
menjadi
2
Apabila (dua)
atau
suatu lebih
wilayah wilayah
Kabupaten/Kotamadya, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat memilih satu wilayah kerjanya,dan jika dia tidak memilih maka di tempat mana dia bertugas dan ada kantor pertanahannya di situlah dianggap sebagai tempat kedudukannya dan disamping itu diberi dia tenggang waktu satu tahun untuk memilih
sejak
diundangkannya
undang-undang
pembentukan
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dan jika dia tidak memilih salah satu dari daerah kerja tersebut, maka dianggap dia telah memilih kantor pertanahan di daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak lagi berwenang.74 Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satu satuan daerah kerja PPAT. BerdasarkanPasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa “formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri, apabila formasi PPAT untuk suatu daerah kerja PPAT sudah terpenuhi, maka Menteri menetapkan wilayah
74
Ibid, hal 193.
85 tersebut tertutup untuk pengangkatan PPAT”. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat mengajukan permohonan pindah ke daerah kerja lain. Pengangkatan PPAT baru atau karena pindah daerah kerja, diajukan oleh yang bersangkutan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dilengkapi dengan rekomendasi dari Kepala Kantor Pertanahan di tempat tujuan pindah, dan dari Daerah asal tempat tugasnya, melalui
Kepala
Badan
Pertanahan
Nasional
Republik
Indonesia
yang
bersangkutan.75 Setelah itu, PPAT yang bersangkutan mengajukan permohonan pengangkatan kembali PPAT yang berhenti kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan di daerah kerja semula dan daerah kerja tujuan. Permohonan pengangkatan kembali tersebut dapat diajukan setelah PPAT yang bersangkutan melaksanakan tugasnya paling kurang tiga tahun. 2.4.5 Pengangkatan Sumpah Jabatan PPAT PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan, sebelum menjalankan jabatannya. PPAT yang daerah kerjanya disesuaikan karena pemecahan wilayah Kabupaten/Kotamadya, tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT untuk melaksanakan tugasnya di daerah kerjanya yang baru.76 Untuk keperluan pengangkatan sumpah, PPAT wajib lapor kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai pengangkatannya sebagai PPAT, apabila laporan tersebut tidak dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal 75
Ibid, hal 217. Ibid, hal 194
76
86 ditetapkannya surat keputusan pengangkatan tersebut batal demi hukum. Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah jabatan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterimanya laporan tersebut. Pengangkatan sumpah jabatan PPAT dilakukan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing dengan pengucapan kata-kata sumpah jabatan sebagai berikut :“Demi Allah Saya bersumpah ”Bahwa Saya, untuk diangkat menjadi PPAT, akan setia, dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, dan Pemerintah Republik Indonesia. Bahwa Saya, akan menaati peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an serta peraturan perundang-undangan lainnya. Bahwa Saya, akan menjalankan jabatan Saya dengan jujur, tertib,cermat, dan penuh kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak. Bahwa Saya, akan selalu senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat PPAT. Bahwa Saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat dihadapan Saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab Saya, yang menurut sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan. Bahwa Saya, untuk diangkat dalam jabatan Saya sebagai PPAT secara langsung atau tidak secara langsung dengan dalih atau alasan apapun juga, tidak pernah memberikan atau berjanji untuk memberikan sesuatu kepada siapapun juga, demikian juga tidak akan memberikan atau berjanji memberikan sesuatu kepada siapapun juga.77 Sebagai bukti telah dilaksanakannya pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan, dibuatkan suatu Berita Acara Pelantikan dan Berita Acara Sumpah 77
Boedi, Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UU Pokok Agraria.Djambatan, Jakarta, hal 709
87 Jabatan yang disaksikan paling kurang dua orang saksi. Setelah PPAT mengangkat sumpah wajib menandatangani surat pernyataan kesanggupan pelaksanaan jabatan PPAT sesuai dengan keputusan pengangkatannya. 2.4.6 Pelaksanaan PPAT Setelah pelaksanaan pelantikan, dan pengambilan sumpah jabatan, maka PPAT
telah
dapat
melaksanakan
tugas
dan
kewajibannya.
Kewajiban
melaksanakan jabatannya secara nyata, yaitu sebagai berikut : 1) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf, dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan. 2) PPAT harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya, sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk. 3) Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. 4) Dalam hal PPAT juga merangkap jabatan sebagai Notaris, maka kantor tempat melaksanakan tugas jabatan PPAT wajib di tempat yang sama dengan kantor Notarisnya.
88 5) PPAT tidak dibenarkan membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya dengan maksud menawarkan jasa kepada masyarakat. 6) Kantor PPAT harus dibuka setiap hari kerja kecuali pada hari libur resmi, dengan jam kerja minimum sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat. 7) PPAT dilarang meninggalkan kantornya lebih dari enam hari kerja berturut-turut kecuali sedang menjalankan cuti. PPAT dilarang membuat akta,untuk PPAT sendiri, suami atau isterinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.78
78
A.P.Parlindungan III,Op.cit, hal 201.
BAB III PENGATURAN PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI OBJEK HAK TANGGUNGAN YANG SEDANG DALAM PROSES BALIK NAMA
3.1
Pengaturan Pembebanan Hak Tanggungan Yang
Sedang Dalam
Proses Balik Nama Hak milik merupakan hak yang terpenuh dan terkuat. Dimana terpenuh berarti hak milik memberikan wewenang yang paling luas diantara hak yang lainnya,karena pemilik dapat dengan bebas untuk menikmati, menguasai, dan menggunakan miliknya. Penguasaan dan penikmatan hak milik tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan dalam pengertian hak milik terkandung pula kebebasan menguasai dan menikmati yang tidak bolehdiganggu oleh siapapun juga, sejauh untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya secara wajar.79 Hak Milik dapat dikatakan merupakan sumber kehidupan, untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, harta benda tertentu harus dimiliki, karena bagi manusia, ada barang tertentu yang merupakan the natural media on which human existence depends80. Hak Milik hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia saja, Warga Negara Asing tidak dapat memilik hak atas tanah. Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari 79
Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Harta Kekayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 39. 80 Roscoe Pound,1954, An Introduction to the Philosophy, Yele University Press, New Haven, New York, hal 117. 89
90 pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain.81 Sejak berlakunya UUPA, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik. Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, ditegaskan bahwa Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuktian hak atas tanah tersebut telah dialihkan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yaitu akta jual beli yang kemudian akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 95 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah (pembeli tanah).82 Herman Soesangobeng mengatakan falsafah kepemilikan atas tanah dalam hukum adat, hakekat dasarnya adalah dari pertautan manusia dengan tanah dan alamnya dan bukan pada hak, melainkan pada hubungan kuatnya pertautan hubungan yang melahirkan kewenangan (hak). Oleh karena itu hak lahir melalui
81
K. Wantjik Saleh,Op.cit.,hal. 15-18. Saleh Adiwinata,1980,Pengertian Hukum Adat Menurut UndangUndang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, hal. 21-30 82
91 proses intensitas hubungan antara manusia dengan tanah tidak dari keputusan pejabat.83 Pengalihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan dan dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Jual beli, tukar menukar atau hibah merupakan suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Terang dengan artian bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut (dihadapan PPAT), sedangkan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang berarti selesai pula tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan, kecuali terdapat cacat secara substansi mengenai hak milik yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas hak milik tersebut. Adapun yang menjadi syarat-syarat terjadinya pengalihan terhadap kebendaan tersebut adalah sebagai berikut:84 1. Pengalihan tersebut dilakukan oleh pihak yang berhak untuk mengalihkan kebendaan tersebut. Tidak selamanya pemilik atas kebendaan itu dapat diberikan hak untuk mengalihkan benda tersebut, hal ini dikarenakan suatu hal misalnya saja pemilik suatu kebendaan di dalam keadaan pailit (failiet).
83
Herman Soesangobeng,1998, Filosofi Adat dalam UUPA, Makalah dipresentasikan dalam Sarasehan Nasional “Peningkatan Akses Rakyat Terhadap Sumberdaya Tanah”, Diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN bekerjasama dengan ASPPAT, tanggal 12 Oktober 1998, di Jakarta, hal. 4. 84 K. Wantjik Saleh, Op.cit, hal.23
92 Pemilik suatu kebendaan tetapi dikarenakan keputusan pengadilan yang menyatakan ia pailit maka ia tidak berhak untuk mengalihkan benda tersebut. Adapun sebaliknya orang tersebut bukan merupakan pemilik suatu kebendaan tetapi ia berhak untuk melakukan pengalihan. Misalnya pandamer, dimana seseorang menerima barang gadaian dari pemilik benda tersebut sebagai jaminan pelunansan hutangnya. Dalam hal ini ia tidak merupakan pemilik yangsah dari suatu kebendaan, tetapi apabila pihak yang berhutang dalam hal ini pemilik yang sah dari benda itu ingkar janji atau wanprestasi maka pihak penerima gadai berhak mengalihkan benda tersebut. 2. Pengalihan itu dilakukan secara nyata. Dimana pengalihan itu harus benarbenar terjadi dan dilakukan secara nyatadari tangan ke tangan. Pengalihan terhadapbenda-benda bergerak cukup hanya melakukan penyerahannya begitu saja, tetapiterhadap benda tidak bergerak, pencatatan benda tersebut ke dalam suatu akta sangat penting untuk menetapkan keabsahan benda tersebut. Terhadap benda tidak bergerak,di samping dengan pengalihan nyata, dan harus dilakukan dengan pengalihan secara yuridis. Baik dengan mengalihkan dengan akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT dan sistem pendaftaran ke Lembaga yang berwenang. Dalam hal setelah terjadinya pengalihan pihak pemilik dapat saja melakukan perbuatan hukum lainnya misalnya pemilik ingin meminjamkan kredit sehingga tanah yang telah beralih ke tangannya dijadikan jaminan. Kredit yang diberikan oleh bank pada umumnya didahului dengan perjanjian kredit.Perjanjian kredit mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu
93 serta bunga yang ditetapkan, serta sanksi apabiladebitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama.85Untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit itu, harus ada suatu persetujuan antara bank sebagai kreditur dengan nasabah penerima kredit sebagai kreditur yang dinamakan perjanjian kredit.86. Menurut Lord Moulton dalam konsepnya mengenai jaminan dalam kontrak menyatakan bahwa : It is evident, both on principle and on authority, that there may be a contract the consideration for which is the making of some other contract, ‘if you will make such and such a contract, I will give you one hundred pounds’, is in every sense of the word a complete legal contract. It is collateral to the main contract, but each has a independent existence, and they do not differ in respect of their possessing to the full the character and status of a contract.87 (Terjemahannya: Jelas, baik pada prinsip dan otoritas, bahwa kemungkinan adanya pertimbangan uang dalam pembuatan beberapa kontrak, ‘jika anda akan membuat perjanjian saya akan memberikan seratus pounds’, adalah ada dalam setiap kontrak hukum yang lengkap. Itu adalah jaminan untuk kontrak, tetapi masing-masing pihak memiliki keberadaan atau kekuatan tersendiri dan mereka tidak membedakan kehormatan/posisi mereka dalam proses untuk memiliki penuh karakter dan status dalam sebuah kontrak.)
Dalam perjanjian kredit terdapatnya jaminan yang bertujuan untuk menjamin bahwa piutang kreditur akan dibayar oleh debitur. Untuk jaminan berupa benda tidak bergerak seperti tanah diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan No 14 Tahun 1996 namun sebelum berlakunya UUHT tersebut, didalam praktek pelaksanaan hipotik, jarang sekali pihak-pihak menempuh langsung pembuatan akta hipotik karena proses penandatanganan akta hipotik
85
Hadi Soeprapto Hartono,1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, hal. 93 86 Ibid.hal.12 87 Paul Richards, 2004. Law Of Contract. Pearson Education Limited. England. hal.113
94 sampai keluarnya sertipikat hipotik selain memakan waktu lama juga mahal biayanya, maka hampir selalu yang dilakukan adalah pembuatan Kuasa Membebankan/Memasang Hipotik. Sehingga pihak bank yang sudah mengenal debitur dengan baik merasa aman untuk tidak langsung melakukan pembebanan hipotik, sehingga pembuatan akta hipotik baru akan dilakukan kemudian setelah terdapat gejala-gejala bahwa debitur tidak sanggup membayar kreditnya atau cidera janji. Jika didalam praktek peraturan hipotik yang lama untuk memberlakukan Kuasa Membebankan/Memasang Hipotik merupakan sesuatu yang dilembagakan. Setelah adanya UUHT untuk pembuatan SKMHT hanya diperkenankan dalam suatu keadaan tertentu, yaitu apabila Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri dihadapan Notaris/PPAT untuk membuat APHT. Dalam keadaan yang demikian,pemberi Hak Tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan SKMHT yang berbentuk akta otentik dan pembuatannya diserahkan kepada Notaris/PPAT yang keberadaannya menjangkau wilayah kecamatan. Substansi dari SKMHT juga dibatasi oleh UUHT, yaitu hanya memuat perbuatan hukum membebankan Hak Tanggungan, tidak memuat hak untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan, memuat nama dan identitas kreditur, debitur, jumlah uang, serta obyek Hak Tanggungan. Pembatasan mengenai substansi ini ditujukan untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa serta demi tercapainya kepastian hukum, SKMHT juga dibatasi jangka waktu berlakunya. Terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar, SKMHT wajib segera diikuti pembutan APHT dalam jangka waktu 1 (satu ) bulan. Apabila persyaratan tentang jangka waktu tersebut tidak dipenuhi, maka SKMHT menjadi
95 batal demi hukum. Ketentuan tentang batas waktu untuk melaksanakan kewajiban yang bersifat imperatif tersebut menegaskan bahwa SKMHT bukan merupakan syarat dalam proses pembebanan Hak Tanggungan karena syarat mutlak pembebanan Hak Tanggungan adalah pembebanan Hak Tanggungan dan Pendaftarannya. Dalam UUHT ditentukan pula bahwa kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena telah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar pembebanan Hak Tanggungan benar-benar dilaksanakan sehingga memberikan kepastian hukum bagi pemegang maupun pemberi Hak Tanggungan. Terkait dengan teori penafsiran, dalam melaksanakan penafsiran pertamatama selalu dilakukan penafsiran gramatikal,karna pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan perundang-undangan harus mangerti terlebih dahulu arti kata-katanya. Adakalanya pembuat undang-undang tidak mampu memakai kata-kata yang tepat. Dalam Pasal tersebut tidak disebutkan apabila jangka waktu tersebut kadaluarsa maka akan dibuatkan yang baru, begitu seterusnya namun dalam hal ini tidak terdapat ketentuan berapa banyak SKMHT yang dapat dibuat oleh PPAT. Pembuat undang-undang disini tidak menjelaskan secara jelas sehingga tidak adanya satu aturan baku bagi para PPAT sehingga di dalam praktek ada pihak PPAT yang langsung membuat banyak SKMHT dan setiap kadaluarsa ia harus mendatangkan para pihak, adapula yang membuatnya dalam beberapa rangka sehingga pihak debitur tidak perlu datang menghadap PPAT guna penandatanganan SKMHT yang baru.Apabila perlu dilanjutkan dilakukan
96 dengan penafsiran otentik yang di tafsiskan oleh pembuat undang-undang itu sendiri, kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis dan sosiologis. Sedapat mungkin semua metode penafsiran dilakukan, agar didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan makna yang sama,maka wajib di ambil metode penafsiran yang membawa keadilan setinggi-tingginya, karena memang keadilan itulah yang di jadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan . 3.2 Pembebanan Hak Tanggungan yang Sedang Dalam Proses Balik Nama Sertipikat Pembebanan Hak Tanggungan dilewati dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pihak debitur agar pihak bank dapat memiliki keyakinan tepatkah memberikan kreditnya kepada orang tersebut. Namun tidak semua perjalanan tidak mengalami hambatan, seseorang yang sertipikat sedang proses balik nama dapat saja meminjam kredit kepada bank. Pihak bank juga harus berhati-hati untuk mencairkan kreditnya kepada seseorang agar kelak dikemudian hari pihak debitur dapat melunasi kreditnya dengan lancar tanpa hambatan.Unsur yang paling essensial dari pemberian kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank, sebagai Kreditur, terhadap nasabah peminjam sebagai Debitur. Kepercayaan itu timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh Debitur, misalnya jelasnya peruntukan pemberian kredit, adanya benda jaminan atau agunan. Makna dari kepercayaan itu adalah keyakinan dari
97 bank sebagai Debitur bahwa kredit yang diberikan sungguh-sungguh akan kembali dalam jangka waktu sesuai kesepakatan.88 Kepercayaan memang merupakan unsur kredit yang paling esensial tetapi bukan merupakan satu-satunya unsur kredit. Hermansyah memaparkan secara lengkap unsur-unsur kredit, yaitu : a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya, baik dalam bentuk uang, barang dan jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dengan unsur waktu ini, terkandung pengertian agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang. c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan pemberian prestasi dan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya. d. Prestasi atau objek kredit tidak hanya diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dapat berupa barang dan jasa. Tetapi karena kehidupan ekonomi modern di dasarkan pada uang maka yang umum terjadi adalah tranksaksi kredit dalam bentuk uang.89
88
Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 43. 89 Ibid.hal.58.
98 Selain kepercayaan pihak bank harus juga memiliki prinsip kehati-hatian dalam mencairkan kreditnya. Prinsip kehati-hatian (prudent) ini adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Disamping pula sebagai perwujudan dari prinsip prudent banking dari seluruh kegiatan perbankan. Untuk mewujudkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit ini, maka berbagai usaha pengawasan dilakukan, baik oleh bank itu sendiri (internal) maupun oleh pihak luar (external), in casu oleh pihak Bank Sentral. Disamping itu juga dengan tujuan penegakan prinnsip kehati-hatian ini,regulasi tentang perbankan diperketat. Sehingga akhirnya dunia perbankanmerupakan salah satu bidang yang sangat heavily regulated. Demikian juga dengan keharusan adanya jaminan hutang dalam setiappemberian kredit sebenarnya juga mempunyai tujuan agar kredit diluncurkansecara hati-hati, sehingga ada jaminan bahwa kredit yang bersangkutan akan dibayar kembali oleh pihak debitur.90 Bank wajib menerapkan pokok ketentuan perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 Ayat 2 UU Perbankan, yaitu : a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis; b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur;
90
Munir Fuady, 2001, Hukum Perkreditan Kontemporer, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 21.
99 c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai
prosedur
dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitur dan atau pihakpihak terafiliasi; f. Penyelesaian sengketa. Ketentuan pemberian kredit oleh Bank Indonesia pada penjelasan Pasal 8 Ayat (2) huruf b UU Perbankan tersebut di atas kemudian dirumuskan para sarjana perbankan menjadi formula 5 C, seperti yang dipaparkan oleh Hermansyah, yaitu: 1. Character Salah satu unsur yang mesti diperhatikan oleh bank sebelum memberikan kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian/watak dari calon debiturnya. Bahwa calon nasabah memiliki watak, moral dan sifat-sifat pribadi yang baik, karena watak yang jelek akan menimbulkan perilaku-perilaku yang jelek pula. 2. Capacity Kemampuan calon Debitur mengelola usahanya dan mampu melihat prospektif masa depan sehingga usahanya dapat berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan. Hal ini pada gilirannya akan membantu menjamin ia mampu melunasi utangnya.
100 3. Capital Permodalan dari suatu debitur juga merupakan hal yang penting harus diketahui oleh calon krediturnya. Karena permodalan dan kemampuan keuangan dari suatu debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan bayar kredit. Jadi masalah likuiditas dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi penting artinya. 4. Collateral Jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang bmerupakan saran pengaman atas resiko yang mungkin terjadi
atas wanprestasi nasabah di
kemudian hari. 5. Condition of economy Dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dari bank untuk memperkecil resiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut.91 Dalam hal sertipikat yang sedang dalam proses balik nama pihak bank dan Notaris/PPAT pertama-tama membuatkan SKMHT. SKMHT adalah kuasa yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai pemberi kuasa kepada penerima kuasa khusus untuk membebankan suatu benda dengan Hak Tanggungan.92 Pemberi SKMHT biasanya adalah pemilik jaminan, ada kemungkinan sekaligus sebagai debitur tetapi bisa juga hanya sebagai pemilik jaminan. Sedangkan 91
Ibid., hal. 64. Mariam Darus Badrulzaman,2004,Buku II Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), hal 76. 92
101 penerima SKMHT dipastikan adalah kreditur, kreditur biasanya badan hukum baik bank ataupun lembaga finansial. Menurut Pasal 15 Ayat 1 UUHT menentukan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta notariil atau akta PPAT. Adapun alasan pembuatan SKMHT dengan akta notariil yaitu dilihat dari kedudukannya dan objeknya tidak terbatas/nasional, karena letak tanahnya di luar tempat kedudukan PPAT-nya maka itulah alasan mengapa tidak dibuat dengan akta PPAT. Dalam praktek SKMHT ini cukup banyak digunakan oleh debitur untuk mendahului suatu pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan yang nantinya wajib dibuat APHT. Alasan dibuatnya SKMHT itu karena adanya kondisi-kondisi tertentu yang pada saat itu belum bisa atau belum memungkinkan untuk langsung dibuatnya APHT. Kondisi-kondisi tertentu tersebut, seperti : sertipikat baru di konversi; baru adanya proses jual beli yang sertipikatnya dalam proses balik nama, sertipikat sedang dalam proses roya karena didahului proses takeover, maka sertipikat belum diserahkan kepada bank yang baru dan belum dilakukan pengecekan, karena letak tanahnya di luar kedudukan Notaris selaku PPAT. Setelah perjanjian pokok diadakan, maka pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, APHT itu merupakan suatu bukti otentik yang dibuat oleh para pihak di hadapan PPAT guna memberi kepastian hukum bahwa telah terjadinya pemberian hak tanggungan. Adapun
102 prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan APHT secara umum, yaitu sebagai berikut:93 a. Setelah mengabulkan permohonan kredit oleh kreditur yang di mohon debitur, maka kreditur mengeluarkan Surat Keputusan tentang dikabulkannya permohonan kredit. b. Apabila kreditur telah memutuskan untuk mengabulkan permohonan kredit oleh debitur dengan agunan tanah dan/berikut bangunan, maka kreditur segera mengirim
permohonan
pembuatan
akta
(perjanjian
kredit
dan
APHT)/sertipikat dan KTP serta berkas-berkas lainnya. c. Atas
dasar
permohonan
dari
bank/kreditur
tersebut
maka
Notaris
meneliti/memeriksa terlebih dahulu kelengkapan berkas/syarat-syarat yang diperlukan untuk pembuatan akta tersebut. d. Apabila berkas-berkas yang diterima Notaris/PPAT sudah lengkap dan benar maka PPAT melakukan persiapan pembuatan akta dengan melakukan pengecekan lebih dahulu asli sertipikat tersebut ke Kantor Pertanahan setempat dengan mengirim sertipikat asli. e. Setelah Kantor Pertanahan setempat yang melakukan pengecekan sertipikat dan menyatakan bahwa asli sertipikat tersebut sesuai dengan daftar/buku tanah yang
ada
di
Kantor
Pertanahan,
maka
APHT
dapat
dilakukan
penandatanganan oleh para pihak yang didahului pembacaan dan penjelasan mengenai isi dan akibat hukumnya oleh PPAT yang bersangkutan.
93
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia Kumpulan Tulisan Tentang Notaris dan PPAT, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie II), hal. 190
103 Pemberian Hak Tanggungan menurut Pasal 13 Ayat 1 UUHT, wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pasal 14 Ayat 1 UUHT menentukan bahwa sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari proses di atas pada prakteknya muncul satu permasalahan dimana pada proses pembuatan APHT ada yang didahului dengan SKMHT, misalnya baru adanya proses jual beli, yang sertipikatnya masih dalam proses balik nama maka sebelum proses balik nama selesai pembuatan APHT didahului dengan SKMHT. Pasal Ayat 15 Ayat (3) UUHT disebutkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Dalam pasal ini jangka waktu yang ditentukan hanya satu bulan, jika jangka waktu tersebut habis maka SKMHT itu dinyatakan gugur dan harus membuatkan SKMHT yang baru. Begitu seterusnya, sehingga jika SKMHT tersebut telah jatuh tempo maka pihak debitur harus datang menghadap PPAT lagi guna penandatanganan SKMHT yang baru. Dalam praktek seringkali notaris membuatkan dalam beberapa rangkap sehingga apabila SKMHT tersebut telah jatuh tempo tidak perlu menghadirkan debitur ke Notaris/PPAT. Hal ini sebenarnya tidak diperbolehkan dilakukan karena apabila dikemudian hari kredit tersebut menjadi masalah maka kebenaran dari SKMHT tersebut bisa dipermasalahkan berdasarkan alibi. Semestinya jika SKMHT tersebut telah jatuh tempo pihak debitur hadir dihadapan Notaris/PPAT guna pembuatan SKMHT yang baru begitu seterusnya. Dengan melihat peraturan dalam UUHT hal-hal yang
104 berhubungan dengan Pembebanan Hak Tanggungan hanya terdapat UUHT jika dikaitkan dengan teori perundang-undangan, dimana melihat berlakunya undangundang dalam hierarki perundangan-undangan UUHT dianggap yang lebih khusus mengatur mengenai Hak Tanggungan. 3.3 Mekanisme Pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Milik Atas Tanah Yang Sedang Dalam Proses Balik Nama Perbuatan hukum yang dibuat dihadapan PPAT akan melahirkan akta otentik yang dijadikan alat bukti paling kuat bagi para pihak yang telah melakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak milik atas tanah, yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data yang diakibatkan oleh perbuatan hukum dimaksud. Selain dibuat dihadapan pejabat umum, untuk dapat memperoleh otentisitasnya maka akta yang bersangkutan harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang dan pejabat umum dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu, ditempat dimana akta itu dibuatnya.94 Mengenai syarat bahwa akta itu harus dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta, ditegaskan dalam Pasal 4 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan: “PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”. Pembebanan hak tanggungan yang mana terlebih dahulu dilakukan proses jual beli. Dimana pada saat proses balik nama dilakukan oleh Kantor Pertanahan 94
Supriadi, 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Supriadi II) hal. 170.
105 pihak pembeli ingin meminjamkan kredit di bank. secara yuridis hal ini dapat saja dilakukan dengan melakukan prosedur jual-beli terlebih dahulu lalu dilakukan pembebanan hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang sedang proses balik nama tersebut. Pada saat penandatanganan akta jual beli dilakukan, terlebih dahulu blanko akta jual beli tersebut diisi dengan nama PPAT berikut dengan saksi-saksi dari PPAT yang daerah kerjanya meliputi daerah di mana obyek hak atas tanah tersebut berada,
serta telah nama para pihak, objek jual belinya
berdasarkan dokumen-dokumen dan data-data yang telah disampaikan oleh para pihak. Akta tersebut kemudian oleh PPAT dibacakan kepada para pihak dan selanjutnya setelah para pihak telahmengerti akan isi dalam akta jual beli tersebut, maka para pihak menandatangani akte jual beli tersebut, kemudian oleh saksisaksi dan PPAT. Dalam proses pembuatan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT, dibutuhkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh PPAT sebelum dilakukan penandatanganan akta jual belinya oleh para pihak yang berkepentingan. Langkah-langkah tersebut adalah: 1. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak milik atas tanah, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak milik atas tanah yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli. 2. Akta harus mempergunakan formulir yang telah ditentukan. 3. Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut
106 harus sudah diperoleh sebelum akta dibuat. 4. Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan. a. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform; d. Bahwa
yang
bersangkutan
bersedia
menanggung
semua
akibat
hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak benar. 5. Pembuatan
akta
PPAT
harus
dihadiri
oleh
para
pihak
yang
melakukanperbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 6. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam
107 pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. 7. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku. 8. Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. 9. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka “PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagai mana dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan”. Sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT harus terlebih dahulu meminta bukti pembayaran pajak, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 91 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, secara tegas menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak”.
108 Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PP Pendaftaran Tanah), PPAT harus menolak untuk membuat akta apabila: 1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. 2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: a. Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (1) PP Pendaftaran Tanah atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (2) PP Pendaftaran Tanah; b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan. c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 PP Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau
109 e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Selain hal-hal tersebut di atas, dalam menjalankan tugasnya jabatannya sebagai pembuat akta dibidang pertanahan, PPAT harus memiliki kecermatan dan ketelitian dalam memeriksa kelengkapan berkas-berkas dalam pembuatan akta jual beli. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh PPAT yaitu: 1. Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari identitas para pihak serta dasar hukum tindakan para pihak. 2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena jika jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara) 3. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani. 4. Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 5. Tanah yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang bersangkutan. Dalam pembuatan Akta Jual Beli diperlukan syarat-syarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi oleh para pihak. Syarat yang diperlukan untuk membuat Akta Jual Beli Tanah antara lain :
110 a. Penjual (Pihak Pertama) membawa : -
Pihak Pertama (penjual) berikut suami/isteri Penjual
-
Asli Sertifikat hak atas tanah yang akan dijual.
-
Kartu Tanda Penduduk Suami dan Isteri yang masih berlaku.
-
Jika Suami/isteri penjual meninggal maka yang harus dibawa adalah AktaKematian dan jika bercerai membawa Akta Perceraian.
-
Bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Terahir dan lima tahun kebelakang
-
Surat Persetujuan Suami/Isteri bagi yang sudah berkeluarga.
-
Kartu Keluarga.
-
NPWP.
b. Sedangkan calon pembeli (Pihak Kedua) membawa : -
Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku
-
Kartu Keluarga.
-
NPWP
Setelah semua persyaratan terpenuhi maka dilakukan pembuatan Akta Jual Beli. Tahap-tahapan dalam Pembuatan Akta Jual Beli antara lain: a. Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli. 1) Sebelum membuat akta Jual Beli Pejabat pembuat Akta Tanah melakukan pemeriksaan/pengecekan
mengenai
keaslian
sertifikat
Pertanahan. 2) Penjual harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
ke
kantor
111 3) Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum. 4) Surat pernyataan dari penjual bahwa tanah yang dimiliki tidak dalam sengketa.PPAT menolak pembuatan Akta jual Beli apabila tanah yang akan dijual sedang dalam sengketa atau dalam tanggungan di bank. b. Pembuatan Akta Jual Beli 1) Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis jika dikuasakan. 2) Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi biasanya dari pegawai PPAT. 3) PPAT membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, Termasuk juga sudah lunas atau belum untuk transaksinya. 4) Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli maka akta ditandatangani oleh penjual, calon pembeli, saksi-saksi dan PPAT. 5) Akta dibuat 2 lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar lainnya disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran (balik nama). 6) Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan salinannya. Setelah Akta Jual Beli selesai di tandatangani oleh semua pihak tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah PPAT menyerahkan berkas Akta Jual Beli ke Kantor Pertanahan untuk keperluan balik nama sertifikat. Penyerahan harus
112 dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut.Berkas yang diserahkan ke BPN antara lain: 1) Surat permohonan balik nama yang ditandatangani oleh pembeli atau Kuasanya Jika Dikuasakan. 2) Akta jual beli PPAT lembar kedua. 3) Asli Sertifikat hak atas tanah. 4) Foto Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pembeli dan penjual yang masih berlaku dan di ligalisir. 5) Bukti pelunasan pembayaraan Pajak Bumi dan Bangunan tahun Terahir. 6) Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Setelah permohonan dan kelengkapan berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, baik oleh pembeli sendiri atau PPAT atas kuasa dari pembeli, maka Kantor Pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada pemohon. Selanjutnya, oleh Kantor Pertahanan akan dilakukan pencoretan atas nama pemegang hak lama, untuk kemudian diubah dengan nama pemegang hak baru. Nama pemegang hak lama (penjual) didalam buku tanah dan sertipikat dicoret dengan tinta hitam, serta diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom yang tersedia pada buku tanah dan sertipikat, dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk. Dalam waktu 14 (empat belas hari) pembeli dapat mengambil sertipikat yang sudah atas nama pembeli, di Kantor Pertahanan
113 Terkait.95 Dengan telah dilakukan balik nama tersebut maka pemilik tanah baru dapat melakukan perbuatan hukum terhadap apa yang dimilikinya misalnya tanah tersebut dijadikan jaminan dalam peminjaman hutang di bank. hal tersebut biasa disebut dengan Pembebanan Hak Tanggungan, adapun tata cara pendaftaran Hak Tanggungan dikemukakan sebagai berikut:96 a) Tahap Pemberian Hak Tanggungan; APHT dibuat dihadapan PPAT yang didahului dengan perjanjian kredit yang dijamin. Dimana PPAT harus memeriksa (pengecekan) sertipikat tanah yang akan dijadikan agunan mengenai keabsahan dan tidak adanya sengketa dengan pihak lain atau sertipikat tersebut masih dalam proses balik nama ataupun masih dalam bentuk pipil,getuk c, lalu meminta kelengkapan surat-surat kepada pemberi dan pemegang Hak Tanggungan serta harus mengetahui kewenangan dari pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Setelah itu barulah PPAT dapat membuatkan SKMHT setelah SKMHT maka diikuti dengan pembuatan APHT. Jangka waktu berlakunya SKMHT yang hanya 1 bulan. Pembebanan Hak Tanggungan yang penyelesaian sertipikatnya bagi tanah yang sudah terdaftar, maka jangka waktu yang ditetapkan dalam UUHT belum dapat atau tidak dapat dikatakan akomodatif terhadap permasalahan perbankan. b) Tahap Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan ; Pendaftaran objek Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUHT dilakukan di Kantor Pendaftaran Kota atau Kabupaten di Kantor 95
Eko Yulian Isnur, 2008, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan Tanah, Pustaka Yustisia, Jakarta, hal 73-75 96 H. Salim HS.2007, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, hal.179
114 Pertanahan Nasional setempat. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam waktu 7 hari setelah penandatanganan pemberian hak tanggungan wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan serta berkas yang diperlukan yaitu : -
Surat pengantar dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dibuat rangkap 2 dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan ;
-
Surat permohonan pendaftaran hak tanggungan dari penerima hak tanggungan ;
-
Fotokopi surat identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan ;
-
Sertifikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek Hak Tanggungan.
-
Lembar ke dua Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ;
-
Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf olehPejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertifikat hak tanggungan ;
-
Bukti pelunasan biaya pendaftaran hak tanggungan.
-
Kantor Pertanahan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
-
Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan
secara
lengkap
surat-surat
yang
diperlukan
bagi
115 pendaftarannya. Surat-surat yang diperlukan bagi tanah yang sudah bersertifikat atas nama. Menurut Pasal 10 Ayat (1) UUHT, pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian kredit atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Perjanjian kredit dapat dibuat secara dibawah tangan ataupun dengan akta otentik yang biasanya dibuat secara notariil. Adanya utang yang dijamin merupakan syarat sah bagi adanya Hak Tanggungan yang bersangkutan. Menurut Pasal 8 UUHT, pemberi Hak Tanggungan yang harus hadir dihadapan PPAT, pada saat penandatanganan APHT dan atau SKMHT adalah orang perorangan ataupun badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Orang perorangan dalam hal ini: a) bisa bertindak sendiri, bila telah dewasa dan belum menikah atau bila ia telah melangsungkan perkawinan dengan membuat perjanjian kawin pisah harta; b) harus mandapat persetujuan dari suami atau isterinya (bisa hadir ataupun dengan surat persetujuan); c) orang perorangan yang suami atau isterinya telah meninggal dunia sedangkan objek Hak Tanggungan tersebut perolehannya pada masa perkawinan, maka diperlukan adanya persetujuan dari para ahli warisnya, dalam hal ada ahli waris masih di bawah umur, maka perlu penetapan pengadilan untuk ijin penjaminan.
116 d) badan hukum diwakili oleh Direksi/Direktur dengan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham/RUPS (sesuai dengan yang ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan). Lembaga pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam UUPA Juncto PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, lebih tepat dinamakan sebagai stelsel campuran yakni antara stelsel negativebertendensi positif97. Artinya pendaftaran tanah memberikan perlindungan kepada pemilik yang berhak (stelsel negatif) dan menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam bukupemilik yang berhak (tendensi positif). Berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUHT, tidaklah berlebihan apabila lembaga pendaftaran tanah menurut UUHT juga menganut stelsel campuran.98 Tanpa adanya pendaftaran, Hak Tanggungan dianggap tidak pernah ada, jika pendaftaran belum dilakukan di Kantor Pendaftaran tanah, menurut Pasal 13 Ayat 1 UUPA begitu juga halnya dengan hipotik menurut Pasal 1179 Ayat 2 KUHPer. Semua perikatan Hak Tanggungan dan Hipotik yang sudah dalam proses pemasangan yang belum didaftarkan, dianggap belum ada dan tidak dapat dimintakan eksekusi penjualan lelang berdasarkan Pasal 244
Herziene
Indonesisch Reglement (HIR). Pemberian Hak Tanggungan harus didaftarkan 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT
97
Mariam Darus Badrulzaman,1991, Perjanjian Kredit BankCitra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman III), hal.11. 98 Effendy Hasibuan, 1997, Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotik Dan Hak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan Di Jakarta, Laporan Penelitian, Universitas Indonesia Pascasarjana (S3) Bidang Studi Ilmu Hukum, Jakarta.
117 Bahwa di dalam melakukan eksekusi Hak Tanggungan tata urutan pendaftaran yang menentukan kekuatan yang mengikat dari Hak Tanggungan itu. Hak Tanggungan yang dibuat debitur terhadap beberapa orang kreditur, bukan dilihat dari tanggal pemasangan, tetapi dilihat dari urutan pendaftarannya. Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan yang sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional maka, diterbitkan sertipikat Hak Tanggungan yang bentuk dan isinya juga ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 14 Ayat 1 UUHT. Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat 1 UUHT memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai ketetapan hukum yang tetap dan berlaku sebagai grosse akta. Kalau dilihat bahwa titel eksekutorial terdapat pada sertipikat Hak Tanggungan, dengan demikian APHT adalah pelengkap dari sertipikat Hak Tanggungan. 3.4 Fungsi Covernote Dalam Pembebanan Hak Tanggungan Yang Sedang Dalam Proses Balik Nama Sertipikat Dalam hal permasalahan kredit perbankan, pihak debitur tentu ingin segera mendapatkan kreditnya sedangkan pihak kreditur ingin segera mendapatkan jaminannya, namun tidak semudah itu tentu ada saja kendala yang dialami dalam proses pemberian kredit ini misalnya sertipikat baru di konversi; baru adanya proses jual beli yang sertipikatnya dalam proses balik nama; sertipikat sedang dalam proses roya. Maka pihak Notaris yang harus pandai mengakalinya agar
118 kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dan dalam keadaan aman. Notaris dalam hal ini akan membuat catatan penutup atau yang lebih umum disebut cover note. Cover note berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yang terpisah, yakni cover dan note, dimana cover berarti tutup dan note berarti tanda catatan. Maka covernote berarti tanda catatan penutup. Dalam istilah kenotariatan arti dari cover note adalah surat keterangan, yakni surat keterangan yang dikeluarkan oleh seorang Notaris yang dipercaya dan diandalkan atas tanda tangan, cap, dan segelnya guna untuk penjamin dan sebagai alat bukti yang kuat. Cover note dikeluarkan oleh Notaris karena Notaris belum tuntas melaksanakan pekerjaannya dalam kaitannya dengan tugas dan kewenangannya yang harus dilaksanakannya untuk menerbitkan akta otentik. Dalam UUJN Tugas dan kewenangan Notaris tidak ada satu pasalpun yang menegaskan bahwa Notaris dapat membuat cover note untuk menerangkan bahwa akta yang akan dikeluarkan kelak masih dalam proses berjalan. Untuk menerangkan bahwa sertipikat hak tanggungan sebagai prasyarat lahirnya perjanjian kredit oleh bank, kemudian bank dapat melakukan pencairan kredit. Bank tidak segampang itu akan mencairkan kredit tetapi Bank tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian yang ditegaskan dalam SK Direksi BI Nomor 27/ 162/ KE/ DIR dalam pelaksanaan kegiatan perkreditannya dan juga berdasarkan
pedoman
penyusunan
kebijaksanaan
perkreditan
Bank.
Oleh karena itu bank biasanya mencari sumber, history, kejelasan bukti kepemilikan, bahkan oleh Bank mendapat keterangan dari tanah yang menjadi
119 objek hak tanggungan tersebut melalui permintaan tanda tangan dari semua pemilik yang berdekatan dengan batas-batas tanah tersebut, selebihnya juga mendapat keterangan melalui tanda tangan dari kepala desa/ camat/ lurah dimana tanah yang menjadi objek jaminan tersebut terletak wilayahnya menerapkan prinsip-prinsip perkreditan seperti prinsip kehati-hatian, prinsip kepercayaan dan prinsip 5C. Namun bank juga tampaknya tidak mengikuti mekanisme yang ditentukan dalam UUHT sehingga pihak bank dengan cepat saja mengeluarkan dan berani mencairkan kredit tanpa melihat bahwa perjanjian kredit tidak diikat dengan hak tanggungan yang sempurna. Tidak perlu ada rasa was-was dari Bank kalau debitur itu wanprestasi yang akan menyebabkan kreditnya macet, karena suatu waktu juga bank tetap akan memperoleh sertipikat hak tanggungan yang memiliki kekuatan hukum yang dapat mengikat perjanjian atau pencairan kredit dengan objek jaminan hak tanggungan. Covernote yang dikeluarkan oleh Notaris berfungsi menerangkan hal-hal yang sedang dilakukan pengurusan di Kantor Notaris/PPAT. Dalam pengurusan tersebut tidak jarang memakan waktu yang banyak sedangkan pihak debitur ingin kreditnya cepat cair dan pihak bank merasa was-was jika tidak adanya kepastian hukum terhadap jaminan tersebut, sehingga dengan adanya covernote ini akan ada percaya
dari pihak bank bahwa jaminan tersebut akan benar-benar dapat
dikeluarkan Sertifikat Hak Tanggungan dan bank sebagai pihak kreditur dapat didahulukan haknya.
120 3.5 Kekuatan Hukum Covernote Dalam Pembebanan Hak Tanggungan Yang Sedang Dalam Proses Balik Nama Sertipikat Dikeluarkannya cover note oleh Notaris yang berisikan pernyataan. Pernyataan pada prinsipnya tidak digantungkan pada bentuk tertentu. Pernyataan demikian dapat diberikan secara tegas, namun juga tercakup kedalam satu atau lebih perilaku. cover note muncul sebagai surat keterangan tidak hanya terjadi dalam hukum jaminan berupa sertipikat hak tanggungan, melainkan juga dapat dikleuarkan oleh Notaris dalam akta yang lain seperti gadai, hipotik, fidusia. Mengingat bahwa rata-rata dalam pencairan kredit oleh Bank bagi debitur. Bank lebih senang dan terbiasa mencairkan kredit yang disertai dengan hak tanggungan, yang objek jaminan hak tanggungannya adalah tanah. Apalagi tanah bernilai ekonomi dan harganya tidak pernah turun-turun. Ada beberapa contoh dari surat keterangan cover note Notaris, misalnya: 1. Bila debitur hendak mengambil kredit di Bank dan barang yang akan dijaminkan itu masih dalam proses balik nama atau roya sedangkan Bank baru akan mencairkan kredit bila barang yang dijaminkan telah selesai di balik namaatau roya fidusia terlebih dahulu, maka salah satu solusi agar kredit itu dapat dicairkan oleh Bank, yaitu Notaris akan mengeluarkan cover note yang berisi keterangan bahwa sertipikat kepemilikan atas barang itu sedang dalam proses balik nama atau roya dan apabila telah selesai di balik nama atau roya maka akan disetor ke Bank. 2. Bila suatu Perseroan Terbatas sedang menunggu surat keputusan pengesahan sebagai Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
121 Indonesia dan proses pengurusannya dilimpahkan ke kantor Notaris, maka Notaris akan mengeluarkan cover note, yang menerangkan bahwa surat tersebut sedang dalam proses di Departeman Hukum dan HAM RI apabila telah
selesai
pengurusannya
akan
diserahkan
kepada
pihak
yang
berkepentingan tersebut. Pada umumnya proses cover note Notaris tidak ada aturan baku yang mengatur mengenai bentuk dan tata cara penulisannya, akan tetapi penulisan dari cover note biasanya dilakukan atas kop surat Notaris, ditandatangani dan dicap oleh Notaris, sedangkan lainya disesuaikan dengan proses yang sedang dalam pengurusan di kantor Notaris/PPAT. Sebagaimana dalam sertipikat hak tanggungan, bank akan memilki kekuatan hukum untuk mengeksekusi objek jaminan hak tanggungan jika debitur, pada akhirnya tidak mampu mengembalikan kredit pinjaman, maka tidak dipermasalahkan lagi cover note-nya. Bank tetap jauh dari ancaman pinjaman yang tidak akan dikembalikan oleh debitur. Dengan sertipikat hak tanggungan artinya Bank tetap memiliki Kedudukan yang diutamakan atau didahulukan pemegangnya (preferent) yang artinya: a. Mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada. b. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. c. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Bank sebagai pihak yang mencairkan kredit hanya dengan cover note juga berani bertaruh, tidak
122 hanya dengan cover note, tetapi ia harus benar memiliki keyakinan atau kepercayaan pada objek jaminan debitur yang akan keluar kelak sertipikat hak tanggungannya. Jika dipandang secara hukum memang pada kenyataannya cover note tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan sempurna. hanya sebagai pengantar pada bank untuk mengeluarkan kredit, minimal ada rasa kepercayaan yang terbangun antara bank sebagai pemegang hak tanggungan kelak setelah keluarnya sertipikat hak tanggungan dari Badan Pertanahan. Notaris dalam mengeluarkan cover note tidak sembarangan, memberikan surat keterangan bahwa debitur sebagai pemberi hak tanggungan, dapat dipercaya untuk dicairkan kreditnya. Notaris sebelumnya akan melakukan pengecekan pada Badan Pertanahan bahwa tanah tersebut sebenarnya telah terdaftar atau dapat memenuhi persyaratan administratif untuk dikeluarkan sertipikat hak tanggungannya dan bank kelak akan memperoleh sertipikat hak tanggungan, untuk kemudian dicatat juga dalam buku tanah hak tanggungan pada Badan Pertanahan.
BAB IV KEDUDUKAN KREDITUR TERHADAP OBJEK HAK TANGGUNGAN YANG SERTIPIKATNYA SEDANG DALAM PROSES BALIK NAMA
4.1 Kedudukan Pihak Kreditur Terhadap Perjanjian Kredit Yang Objek Hak Tanggungannya Sedang Dalam Proses Balik Nama Secara etimologi istilah kredit berasal dari bahasa Latin “credere”, yang berarti kepercayaan. Hal ini menunjukkan, bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah/debitur adalah kepercayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diijinkan oleh bank atau badan lain.99 Perjanjian Kredit termasuk kategori perjanjian obligatoir dan karenanya melahirkan hak perorangan yang diatur dalam Buku III Burgelijk Wetboek (selanjutnya disingkat B.W.), menimbulkan akibat hukum bagi masing-masing para pihak selain terikat kepada janjinya, juga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak secara timbal balik.100 Perjanjian kredit dalam praktek sering disebut akad kredit, sedangkan di dalam hukum perdata disebut perjanjian pinjammeminjam atau hutang-piutang, yaitu suatu perjanjian yang satu pihak (kreditur) berjanji untuk menyediakan barang yang habis karena pemakaian, sedangkan pihak lain (debitur) berjanji untuk mengembalikan barang tersebut dengan barang
99
Hermansyah,2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media, Jakarta, hal. 55 100 Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindi, Yogyakarta, hal. 14 123
124 lain dengan jenis, mutu, dan jumlah yang sama di lain waktu, baik disertai dengan disertai bunga atau tidak sesuai kesepakatan. Perjanjian kredit perbankan di Indonesia mempunyai arti yang khusus dalam rangka pembangunan, tidak merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang yang biasa, perjanjian kredit menyangkut kepentingan nasional.101 Menurut H. Salim HS, bahwa pada dasarnya perjanjian kredit dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :102 1. Perjanjian Pokok, yaitu perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank. Contoh perjanjian pokok adalah perjanjian kredit bank.; 2. Perjanjian Accesoir (Tambahan), yaitu perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contohnya adalah perjanjian gadai, hak tanggungan, dan fidusia. Selama prestasi dalam perjanjian kredit yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan dipenuhi dengan baik oleh debitor, maka hak tanggungan sebagai hak jaminan tidak kelihatan fungsinya.Hak Tanggungan baru berfungsi apabila debitor cedera janji. Dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan Notaris atau PPAT, Pasal 15 UUHT memberikan kesempatan kepada pemberi Hak Tanggungan untuk menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Pemberi Hak Tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang berbentuk autentik dan harus memenuhi syarat- syarat. Berkaitan dengan teori perjanjian 101
Mariam Darus Badrulzaman,1994,Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut disebut Mariam Darus Badrulzaman IV), hal. 105 102 H. Salim HS, Op.cit, hal 29.
125 semua bentuk kesepakatan antara debitur dan kreditur dituangkan dalam suatu perjanjian yang berbentuk autentik ataupun dapat dibawah tangan. Dalam hal menjalankan lelang kedudukan kreditur telah ditentukan oleh undangundang. Kedudukan kreditur antara lain: 1) Kreditur Preferen yaitu kreditur yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditur Preferen terdiri dari Kreditur preferen khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan Kreditur Preferen Umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUH Perdata.Robert W. Vishny dalam Law and Finance Journal menyebutkan hak-hak kreditur yang didahulukan, antara lain : a. secure creditors are able to gain possession of their security once ofthe reorganization petition has been approved; b. secured creditors are ranked first in the distribution of the proceedsthat result from the dispotition of the assets af a bankrupt firm; c. the debtor doesn’t retain the administration of its property pendingthe resolution of the reorganization; d. secured creditors first paid.103 2) Kreditur Konkuren yaitu kreditur yang tidak termasuk dalam Kreditur Separatis dan Kreditur Preferen (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata). Kedudukan Pihak Kreditur dalam perjanjian kredit sebagai kreditur konkuren yang artinya apabila debitur wanprestasi maka segala jaminan yang dijaminkan debitur dari hasil penjualan jaminan tersebut akan dibagi sama rata 103
Robert W. Vishny. 1998. “Law and Finance”. Journal of Political Economy. Vol.106, No. 6. hal.1124
126 dan tidak ada yang didahulukan. Hal ini dikarenakan dalam setiap orang yang akan meminjam kredit pasti akan perjanjian kredit baik yang telah baku dibuat oleh bank ataupun perjanjian kredit yang dibuat dalam notariil, dalam perjanjian kredit tentu akan dijelaskan objek/barang apa yang akan dijadikan jaminan oleh pihak debitur. Dengan melihat ketentuan pasal Pasal 1139 KUH Perdata maka kreditur tersebut dapat dikatakan prefence, yang artinya didahulukan daripada debitur lainnya, pada pasal Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata maka kreditur dikatakan kreditur separatis, dan pada pasal Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata dikatakan kreditur konkuren. 4.2 Kedudukan Kreditur Terhadap Objek Hak Tanggungan Yang sedang Dalam Proses Balik Nama Dalam Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan “segala benda pihak yang berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Undang-Undang memberikan perlindungan bagi semua kreditur dalam kedudukan yang sama, dari Pasal 1131 KUHPerdata dapat disimpulkan asas-asas hubungan ekstern kreditur sebagai berikut: 1. Seorang kreditur boleh mengambil pelunasan dari setiap bagian dari harta kekayaan debitur; 2. Setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan kreditur; dan
127 3. Hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda debitur saja, tidak dengan “person debitur”.104 Bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya, tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun tetap jika perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas Schuld dan Haftung).105 Sebagai perwujudan dari asas publisitas, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran pemberian hak tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan tersebut dan mengikatnya hak tanggungan terhadap pihak debitur. Pada tahap pemberian hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan kepada kreditur, hak tanggungan yang bersangkutan belum lahir, hak tanggungan itu baru lahir pada saat dibukukan dalam daftar umum di Kantor Pertanahan.Saat itu bukan saja menentukan kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur-kreditur lain yang juga pemegang hak tanggungan dengan tanah yang sama sebagai jaminannya. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan kepastian hukum, sebagaimana yang disebutkan pada bagian menimbang pada pembukaan UUHT, yakni adanya kewajiban pendaftaran hak tanggungan sebagai perwujudan dari asas publisitas. Pendaftaran hak tanggungan, yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tangggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Agar pembuatan buku tanah hak tanggungan tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan 104 105
J. Satrio, loc.cit Mariam Darus Badrulzaman III, Loc.cit
128 pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum, maka UUHT menetapkan satu tanggal yang pasti sebagai tanggal buku tanah itu, yaitu tanggal hari ketujuh dihitung dari hari dipenuhinya persyaratan surat-surat untuk pendaftarannya secara lengkap dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Dengan demikian Kantor Pertanahan berkewajiban untuk memeriksa dan memberitahukan mengenai kekurangan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran hak tanggungan tersebut. Dalam hari yang sama ada lebih dari satu hak tanggungan yang didaftarkan, maka tingkat hak tanggungan ditentukan oleh tanggal pemberian hak tanggungan,
yang
mempunyai
tanggal
yang
lebih
muda
didahulukan
pendaftarannya dari pada tanggal yang lebih tua sesuai dengan Pasal 5 Ayat 3 UUHT. Maka pemberian tingkatan-tingkatan hak tanggungan yang dikaitkan dengan saat pendaftaran merupakan konsekuensi logis daripada sifat hak kebendaan yaitu bahwa hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian. Menurut Herowati Poeskoso, menyatakan bahwa fungsi pendaftaran hak tanggungan adalah sebagai berikut:106 1. untuk membuktikan saat lahirnya dan mengikatnya hak tanggungan terhadap para pihak dan pihak ketiga 2. untuk menciptakan alat bukti adanya hak bagi yang berhak/berwenang, bahwa tanah tersebut telah dibebankan dengan hak tanggungan
106
Herowati Poesoko, Op.cit, hal 108
129 3. hak tanggungan yang lahir terlebih dahulu merupakan kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian 4. untuk menciptakan kepastian hukum bagi kreditur bahwa manakala debitur cidera janji, maka kreditur mendapatkan hak preferen sehingga mendahului dari kreditur-kreditur yang lain 5. untuk menciptakan perlindungan hukum bagi kreditur terhadap gangguan pihak ketiga 6. apabila Akta Pembebanan Hak tanggungan itu didaftarkan dalam register umum, maka janji yang terdapat dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan mempunyai daya berlaku kebendaan dan juga berkekuatan terhadap seseorang pemegang/pemilik baru. Jika dikaitkan dengan konsep kepastian hukum, fungsi pendaftaran hak agar kreditur pemegang hak tanggungan mendapatkan kepastian hukum bahwa tanah yang dijaminkan oleh pemberi jaminan kepada pemegang jaminan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak, serta merupakan alat bukti bagi pemegang hak bahwa tanah yang telah dibebankan dengan hak tanggungan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian. Apabila bank sudah memiliki sertipikat hak tanggungan maka kedudukan bank selaku kreditur akan mendapatkan hak istimewa atau hak preference atas jaminan yang diserahkan oleh debitur. Sertipikat hak tanggungan sebagai bukti adanya pembebanan
hak
tanggungan
berisikan
irah-irah
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” memiliki arti sertipikat hak tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
130 putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila debitur wanprestasi maka bank berdasarkan sertipikat hak tanggungan ini dapat mengajukan permohonan eksekusi hak tanggungan kepada Pengadilan Negeri. Tidak demikian halnya dengan pembebanan hak tanggungan atas jaminan yang diserahkan oleh debitur yang belum atas nama debitur atau masih dalam proses balik nama. Pembebanan hak tanggungan atas jaminan ini tidak dapat dilakukan secara langsung atau tidak dapat dilakukan secara bersamaan dengan penandatangan perjanjian kredit. Pembebanan hak tanggungan atas jaminan tersebut baru bisa dilakukan kemudian pada saat sertipikat hak atas tanah sudah selesai proses balik nama yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Dengan melihat ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan kepada pemegang Hak Tanggungan (droit depreference). Pasal 1 angka 1 UUHT menyebutkan bahwa pengertian Hak Tanggungan : “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak atas tanah Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain”. Dalam ketentuan pasal tersebut mengandung makna bahwa apabila debitur cidera janji, maka kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan berhak menjual objek Hak Tanggungan yang menjadi jaminan pelunasan piutang melalui pelelangan umum menurut ketentuan perundang-
131 undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain, dimana kedudukan diutamakan tersebut tidak mengurangi preferensi piutangpiutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku dan Hak kreditur yang didahulukan (preference) merupakan hak tagihan yang oleh undang-undang digolongkan dalam hak istimewa (privilege), dan tagihannya disebut sebagai tagihan yang didahulukan atau tagihan preference, sedangkan krediturnya disebut kreditur preference. Hak preference atau privilege ini diatur juga dalam Buku II Titel XIX tentang “Piutang-piutang yang Diistimewakan”, yaitu mulai Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana bab tersebut terdiri atas tiga bagian yang isinya mengenai : 1) Piutang-piutang yang diistimewakan; 2) Hak-hak istimewa mengenai benda-benda tertentu; 3) Hak-hak istimewa atas semua benda bergerak dan tidak bergerakpada umumnya. Dalam salah satu Pasalnya yaitu Pasal 1131 KUHPer, disebutkan hak-hak ekstern kreditur. Hak-hak ekstern kreditur, yaitu : a. Seorang kreditur boleh mengambil pelunasan dan setiap bagian dari harta kekayaan debitur; b. Setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan kreditur;
132 c.
Hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda debitur saja, tidak dengan “persoon debitur”107
Secara yuridis, pengertian privilege dirumuskan dalam Pasal 1134 ayat(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : “Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang, sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifatnya piutang”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan dua macam hak privilege berdasarkan ketentuan Pasal 1138 KUHPer, yang berbunyi :“Hak-Hak istimewa ada yang mengenai benda-benda tertentu dan ada yang mengenai seluruh benda, baik bergerak maupun tidak bergerak. Yang pertama didahulukan daripada yang tersebut terakhir”. Hak privilege berdasarkan ketentuan Pasal 1138 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah : 1. Piutang-piutang yang didahulukan terhadap kebendaan tertentu saja dari milik debitur (privilege khusus), terdiri dari : a) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan karena suatu penghukuman untuk melelang suatu kebendaan bergerak maupun tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan kebendaan tersebut lebih dahulu daripada semua piutang-piutang lainnya yang didahulukan; b) Uang sewa dari kebendaan tidak bergerak, biaya perbaikan yang menjadi kewajiban penyewa, serta segala apa yang mengenai kewajiban memenuhi perjanjian sewa-menyewa; c) Harga pembelian kebendaan bergerak; 107
J. Satrio. 2007. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan. Bandung : PT Citra Aditya Bakti. hal.4.
133 d) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu kebendaan atau barang; e) Biaya untuk melakukan suatu pekerjaan pada suatu kebendaan; f) Apa yang telah duserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan kepada seorang tamu; g) Upah atau biaya pengangkutan dan biaya tambahan; h) Apa yang harus dibayar kepda tukang batu, tukang kayu, dan lain-lain asal piutangnya tidak lebih dari tiga tahun; i) Penggantian dan pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai yang memangku jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya. 2. Piutang-piutang yang didahulukan terhadap semua kebendaan bergerak atau tidak bergerak pada umumnya (privilege umum),yang terdiri dari: a) Biaya perkara, semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; b) Biaya pemakaman, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika biaya terlampau tinggi; c) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan kemudian debitur meninggal; d) Upah dan tunjangan buruh beserta sanak keluarganya; e) Tagihan karena pengiriman atau penyerahan bahan makanan untuk keperluan orang yang berutang; f) Tagihan para kostschoolhouders;
134 g) Tagihan anak-anak yang belum dewasa108 Jaminan Hak Tanggungan harus dibuktikan dengan adanya sertifikat Hak Tanggungan, dan jika tidak adanya sertifikat tersebut maka kedudukan kreditur sama dengan kedudukan kreditur lainnya (kreditur konkuren). Dalam hal dimungkinkan sita oleh pengadilan berarti pengadilan mengabaikan, bahkan meniadakan kedudukan yang didahulukan (preference) dari kreditur pemegang Hak Tanggungan.109 4.3 Akibat Hukum Terhadap Pihak Kreditur Dalam Hal Objek Hak Tanggungan Sedang Dalam Proses Balik Nama Pada asasnya janji menimbulkan perikatan, terutama adanya kesepakatan kehendak yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang mempunyai akibat hukum bagi para pihak tersebut. Perjanjian yang disepakati oleh para pihak akan menimbulkan hubungan hukum yang mengikat para pihak, serta menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Selain adanya hak dan kewajiban tersebut, dalam hal pembuatan perjanjian terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Dalam Pasal 1320 KUHPer juga menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu: a. Adanya
kesepakatan
(toesteming)
para
pihak.Kesepakatan
adalah
persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
108
Rachmadi Usman. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta : Sinar Grafika.hal.523. 109 Sutan Remi Sjahdeini, 1999,Hak Tanggungan; Asas-asas Ketentuanketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggumgan), Alumni, Bandung, hal 41.
135 b. Kecakapan melakukan perbuatan hukum.Orang-orang yang mengadakan perjanjian harus cakap dan berwenang untuk melakukan perjanjian tersebut. c. Adanya objek tertentu (onderwerp der overeenskomst). Suatu perjanjian haruslah mengenai objek tertentu. Yang dimaksud objek tertentu dalam suatu perjanjian adalah suatu prestasi. Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. d. Adanya sebab yang halal (geoorloofde oorzak). Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan yang dibuat karena sebab yang terlarang tidak mempunyai kekuatan. Lebih lanjut dalam Pasal 1337 KUHPer disebutkan bahwa yang termasuk dalam sebab yang terlarang adalah yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena syarat tersebut mengenai pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena syarat tersebut mengenai objek perjanjian. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan atas permintaan pihak yang berhak atas suatu pembatalan. Namun apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian tersebut dianggap sah. Jika syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat batal demi hukum yang berarti sejak semula dianggap tidak pernah diadakan perjanjian. Sedangkan dalam SKMHT terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa SKMHT tidak dapat ditarik kembali
136 atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun, kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena habis jangka waktunya. Batas Waktu SKMHT sehingga ketentuan Pasal 1320 dikesampingkan dengan demikian apabila terjadi wanprestasi dari debitur maka kreditur akan melakukan eksesusi langsung terhadap barang jaminan tersebut. Eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu : 1) Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT. Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan pertamadalam hal terdapat lebih dari pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan, bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi pemberi hak tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pmberi hak tanggungan; 2) Eksekusi atas title eksekutorial yang terdapat pada Sertipikat Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).Irahirah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada Sertipikat Hak
137 Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap, melalui tata cara lembaga parate executie sesuai hukum acara perdata; 3) Eksekusi di bawah tangan, yaitu penjualan objek hak tanggungan yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang tertinggi.110 Sebelum dilakukan “balik nama” hak atas tanah tersebut belum beralih/pindah kepada pembeli, hal ini berarti pemindahan hak atas tanah masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain yang berupa penyerahan (levering) yang harus dibuatkan akta oleh pejabat yang berwenang.111 Terdapat penyimpangan dari aturan ini, yaitu adanya itikad tidak baik yang dilakukan debitur/pemilik tanah dengan pihak kreditur/bank serta pihak lain selaku pembeli tanah. Jual beli hak atas tanah hanya dilakukan dengan membuat perjanjian di bawah tangan, dan keteledoran pihak pembeli tanah telah memberikan pelunasan harga tanah dan rumah tersebut. Hasil pembayaran yang diberikan kepada pihak pembeli tanah tidak diberikan kepada bank untuk pelunasan kredit debitur/pemilik tanah yang pada akhirnya tanah dan bangunan haruslah dieksekusi guna untuk melunasi kredit debitur/pemilik tanah. Akibat hukum yang timbul terhadap pihak kreditur jika objek hak tanggungannya sedang dalam proses balik nama karena kedudukan kreditur 110
H. Salim HS, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 190-191. 111 K. Wntijk Saleh, 1977, Hak Anda Atas Tanah. Ghalia Indah, Jakarta. hal.31
138 konkuren maka pihak kreditur tidak dapat mengambil langsung objek hak tanggungan tersebut apabila pihak debitur melakukan wanprestasi dan hasil penjualan terhadap jaminan tersebut dibagi dengan kreditur-kreditur lainnya dikarenakan tidak adanya sertipikat Hak Tanggungan yang dapat digunakan sebagai bukti yang kekuatannya mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. .
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 1. Pengaturan mengenai peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama yang terdapat dalam Pasal 15 Ayat 3 UUHT yang menyebutkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan, apabila dikaitkan dengan jangka waktu 1 bulan tersebut SKMHT gugur belum terdapat redaksional yang mengatur mengenai hal tersebut sehingga terjadi kekaburan norma. 2. Kedudukan kreditur terhadap objek Hak Tanggungan yang sedang dalam proses balik nama adalah kreditur preference dimana kedudukannya didahulukan daripada kreditur lainnya. Apabila bank sudah memiliki sertipikat hak tanggungan maka kedudukan bank selaku kreditur akan mendapatkan hak istimewa atau hak preference atas jaminan yang diserahkan oleh debitur. Sertipikat hak tanggungan sebagai bukti adanya pembebanan hak tanggungan berisikan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” memiliki arti sertipikat hak tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
139
140 5.2 Saran Pembahasan permasalahan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya telah memperoleh jawaban, yang mana dapat dipergunakan sebagi saran-saran dalm penelitian tesis ini. Adapun beberapa saran tersebut adalah, sebagai berikut : 1. Kepada pemerintah khususnya Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar menyempurnakan pasal 15 Ayat 3 mengenai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai berapa banyak Notaris/PPAT dapat membuat SKMHT apabila jangka waktu yang ditentukan telah jatuh tempo. 2. Permasalahan kredit memang selalu dialami oleh bank, walaupun bank berada pada posisi yang sangat kuat, adakalanya pihak bank agar lebih cermat dalam melakukan pengecekan terhadap jaminan yang akan dijadikan objek jaminan.