BAB I PENDAHULUAN
1.Permasalahan I. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menciptakan perubahan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perubahan tersebut dikarenakan dengan adanya Hak-hak atas Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disingkat dengan HKI. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, memberikan perlidungan hukum Hak Cipta yang telah ditingkatkan dari peraturan perundang-undangan sebelumnya. Lahirnya Undang-undang Hak Cipta ini tidak lepas dari kecenderungan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya untuk memberikan suatu perlindungan hukum HKI. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa hampir sebagian besar Negara di dunia mulai memperhatikan HKI. Bagi bangsa Indonesia perlindungan hukum HKI merupakan perkembangan yang baru, akan tetapi di kalangan negara-negara maju telah berabad-abad lamanya dikenal dan mempunyai manfaat yang cukup besar bagi pendapatan negara. Manfaat ekonomi yang demikian besarnya dari HKI menjadikan suatu negara peka terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum HKI oleh negara lain. Tidak mustahil akan timbul pelbagai ketegangan dalam hubungan internasional bila terjadi pelanggaran.
2
Oleh karena itu, bagi Indonesia sebagai negara berkembang telah tiba saatnya untuk berperan aktif memberikan perlindungan hukum terhadap HKI. Hal ini sejalan dengan amanah yang diatur dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia ke empat yang menetapkan bahwa salah satu tujuannya adalah ikut serta dalam perdamaian dunia. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pengaruh yang sangat dominan terhadap usaha masyarakat Internasional, termasuk Indonesia untuk memberikan perhatian dan pengaturan HKI dengan tujuan akhir menciptakan keadilan dan tertib hukum yang bersifat universal berdasarkan suatu perangkat hukum tentang HKI. Pengaturan – pengaturan tentang HKI secara internasional terdapat pada Konvensi – konvensi di bidang HKI seperti : Paris Konvension, WIPO (World Intellectual Property Organization), The Agreement on Trade Releted Aspek of Intellectual Property Right (TRIPs), WTO ( World TradeOrganization). Dalam rangka penegakan hukum HKI, semua anggota harus sesegera mungkin mengharmonisasikan system hukum HKI sesuai dengan standar TRIPs, Indonesia mendapat tenggang waktu hingga 1 Januari 2000 untuk memenuhi kewajiban –kewajiban TRIPs secara bertahap. Menurut TRIPs Agreement, HKI yang dilindungi adalah sebagai berikut: 1. Hak Cipta 2. Merek Dagang 3. Paten
3
4. Desain Produk Industri 5. Indikasi Geografis 6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu 7. Rahasia Dagang1
Ketentuan karya ciptaan mendapatkan perlindungan hukum secara otomatis yang tertuang dalam Undang – undang Hak Cipta . Dalam hal ini pencipta sebaiknya mendaftarkan karya – karya ciptaanya kepada Direktorat Jenderal HKI. Namun pada kenyataanya dilapangan hasil ciptaan tersebut sangat sedikit di daftarkan. Adapun factor yang menyebabkan sedikitnya orang mendaftarkan karya ciptaannya selain disebabkan oleh ketidaktahuan, juga disebabkan oleh konsep budaya hukum yang berbeda yang melandasi konsep berfikir masyarakat Indonesia yakni bersifat komunal, artinya karya yang dihasilkan dipahami sebagai milik bersama yang dimiliki oleh keluarga atau masyarakat adatnya. Lain halnya dengan budaya hukum yang melatar belakangi masyarakat negara-negara barat yang lebih mengedepankan kepentingan hak-hak individu dengan watak kapitalis. Berkaitan dengan perlindungan Karya Intelektual di Indonesia Khususnya, karya seni, sastra, ilmu pengetahuan, sistem pengaturannya tertuang dalam Undang – Undang No.19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta ( UUHC 2002), menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta dan penerima hak untuk mengumumkan
1
OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) , Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 210
4
dan memperbanyak ciptaan atau memberikan izin untuk itu dengan tdak mengurangi pembatasan – pembatasan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku, sedangkan pengertian dari ciptaan atau karya cipta adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau satra. Dalam perkembangannya yang sering mendapat perhatian dari sisi perlidungan hukum adalah karya cipta , film, lagu, seni lukis, seni patung, dan lain – lain. Disamping karya cipta tersebut diatas sesungguhnya masih banyak hasil karya cipta yang belum mendapat perlindungan secara maksimal seperti seni karawitan khususnya karawitan Bali. Menurut Sinti, Karawitan adalah music tradisional yang didalamnya terdapat berbagai unsur kebudayaan masyarakat(wawancara 25 Februari 2010). Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi modern, khususnya pada bidang seni media rekam, menjadikan seni karawitan tersebut sebagai lahan yang sangat potensial untuk dijadikan komoditi bisnis. Tidak hanya perusahaan rekaman di tingkat lokal yang memanfaatkan potensi tersebut. Bahkan perusahaan rekaman Asia seperti di Negara Jepang, Eropa sudah banyak merekam kesenian karawitan Bali. Dengan adanya kegiatan-kegiatan seperti itu tentunya sudah mengarah pada kegiatan komersiil. Dalam konteks ini, maka pembicaraan mengenai hak cipta seni karawitan bali menjadi relevan untuk dipersoalkan. Pelanggaran terhadap seni karawitan, dalam perkembangannya dengan mudah dapat dilakukan dengan dalih untuk menarik wiasatawan baik domestic maupun wisatawan asing yang bertujuan untuk mencari keuntungan atau komersil. Pelanggaran terhadap seni karawitan sangat mudah dilakukan, hal ini dikarenakan oleh peralatan – peralatan digital yang sangat canggih,
5
memudahkan orang –orang yang tidak bertanggung jawab memperbanyak, serta menyebarluaskan melalui CD, VCD atau DVD, tanpa ada izin dari penciptanya. Penggunaan teknologi ini memungkinkan terjadinya pelanggaran atas hak mempertunjuukan (Performing Rights) yang didalamnya termasuk merekam, mempertunjukkan,
mengumumkan
atau
menyiarkan,
mentransmisikan
suatu
pertunjukkan, termasuk memiliki, mengcopy dan menjual suatu karya cipta yang sah. Berbagai kasus pelanggaran Hak Cipta dalam bidang seni pertunjukkan (termasuk seni karawitan) pernah terjadi. Namun karena kurangnya pengetahuan Pencipta dalam memberikan arti terhadap keberadaan hak cipta, maka persoalan besar telah merugikan dirinya, masih dirasakan belum mendesak. Pernah suatu ketika sebuah misi kesenian Bali mengadakan pementasan di beberapa kota seperti Paris, London, Montreal dan San Fransisco. Pementasan tersebut direkam dalam bentuk “Nonsach” yang kini masi beredar secara luas dan digemari oleh ribuan pencinta gamelan Bali di luar negeri. Para seniman tersebut tentunya merasa senang dapat mempromosikan Bali di luar negeri, walupun mereka tidak pernah menikmati “royalty-fees” ( imbalan ) dari rekaman yang beredar.2 Pembajakan karya cipta seni karawitan Bali kiranya dilaksankan secara terselubung oleh beberapa produser. Lagu-lagu karawitan yang sudah direkam
2
Bandem. I Made, 1992/1993. Peranan Seniman Bali dalam Masyarakat, Dalam Kongres Kebudayaan 1991 : Kebudayaan Nasional : Kini dan di Masa Depan. Jakarta : Departemen Pendidikan Kebudayaan , hal 90.
6
puluhan tahun dewasa ini muncul kembali dipasaran tanpa meminta izin dari perncipta lagu tersebut3. Secara umum, music bangsa-bangsa didunia dapat dikelompokkan menjadi Musik Barat (Western Music) dan Bukan Musik Barat (Non Western Musik). Music barat ( Western Musik) adalah seni musik yang menggunakan tangga nada diatonic.4 Merujuk pada negeri kita Indonesia music tradisi dikenal dengan istilah Karawitan. Sebab tangga nada yang digunakan bukanlah tangga nada diatonik. Istilah Karawitan Bali diperkenalkan didunia ilmu pengetahuan kira-kira pada tahun 1950, yaitu sejak didirikannya konservatori karawitan Indonesia di Surakarta. Karawitan adalah seni suara tradisi Indonesia baik vokal maupun instrumental yang berlaraskan pelog dan selendro, dengan kata lain non diatonic. Menurut I Wayan Sinti, salah satu pakar karawitan Bali yang merupakan salah satu pengajar seni karawitan bali di luar negeri, menyebutkan dalam wawancara dengan penulis bahwa Karya cipta seni karawitan bali secara umum sesuai fungsinya dapat dibagi menjadi: Instrumen yang digunakan untuk mengiringi proses upacara keagamaan, dalam hal ini lagu yang dimainkan seperti gending - gending (lagu) Gambang, Saron, Caruk, Gong Gede.
3
Bandem, I Made. 1993, Perlindungan Hak Cipta Kesenian Bali dalam Rangka Meningkatkan Kreasi dan Kualitas Ciptaan . Dalam majalah Kebudayaan Jakarta: Departemen Pendidikan Kebudayaan, hal. 91 4 Rai S. 2001, Gong Antologi Pemikiran, Bali Mangsi, hal. 139
7
Instrumen yang dipertunjukan kehadapan penonton dan selanjutnya dapat memperoleh tanggapan dari penontonnya. Seperti Gending Semar Pegulingan, Gending Angklung, Gending Gong Kebyar.
Dilihat dari golongannya seni karawitan (instrumental ) bali dapat dibedakan menjadi tiga (3) : Seni Karawitan klasik / kuno , adapun yang termasuk seni karawitan klasik seperti Gambang, Selonding, Caruk , Genggong, Gong Gede Seni Karawitan Modern, adapun yang termasuk seni karawitan modern adalah gending – gending Gong Kebyar, Angklung, Jegog, Semar Pegulingan, dll Seni Karawitan baru , yang termasuk seni karawitan baru adalah Gamelan siwa nada, Semara Dana, Manikasanti, Bumbang, dll. (wawancara 20 Februari 2010) Jika dilihat dari kedua fungsi karawitan, maka seni karawitan adalah instrumental yang digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan dan untuk mengiringi pertunjukkan tari – tarian. (wawancara 24 Februari 2010). Berkaitan dengan pertunjukan karya seni karawitan bali yang bukan dilakukan oleh penciptanya dapat merujuk pada pasal 3 ayat (2) UUHC tahun 2002, Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian karena Pewarisan, Hibah, Wasiat, dan perjanjian tertulis, atau sebab – sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
8
Karya – karya seni karawitan klasik, biasanya penciptanya tidak diketahui, karena sudah berlagsung secara turun temurun dimainkan. Jenis karawitan klasik ini, jika dikaitkan dengan ketentuan UUHC No. 19 tahun 2002, maka dapat merujuk pada pasal 10 ayat (2) yang menyatakan bahwa, Negara memegang Hak Cipta atas Folklor, dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat 2 diatas, setiap pengambilan karya cipta seharusnya tunduk pada ketentuan pasal 3 ayat 2 UUHC No. 19 tahun 2002 termasuk seni karawitan bali. Namun dalam perkembangnnya tidak seperti yang tercantum dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 , dimana pelaku dalam pertunjukannya pada umumnya hanya berkeinginan untuk mencari keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pemegang Hak Cipta, adalah merupakan suatu pelanggaran terhadap UUHC, yang pada akhirnya dapat merugikan si Pencipta secara finansial. Dampak dari kegiatan tersebut telah sedemikian besarnya terhadap tatanan kehidupan bangsa dibidang ekonomi dan hukum Karya cipta seni karawitan yang merupakan suatu karya cipta yang tunduk pada ketentuan UUHC tahun 2002, merupakan karya cipta yang dihasilkan dari kreatifitas intelektual yang bersumber dari cipta, rasa, karsa manusia. Untuk menghasilkan suatu karya cipta seni karawitan oleh penciptanya memerlukan suatu pemikiran, tenaga, biaya yang tidak sedikit, seharusnya sudah sepantasnya mendapat penghargaan baik secara materiil maupun non materiil.
9
Pengambilan dan pemberian hak untuk melaksanakan atau mempergunakan karya cipta sipencipta harus sesuai dengan peraturan dan perundang – undangan yang berlaku. Namun pada kenyataannya dalam praktek, masih banyak orang yang tidak bertanggung jawab mempergunakan ciptaan orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada penciptanya. Dari fenomena-fenomena diatas yang nampak berkaitan dengan realita penegakan HKI apabila tidak di tangani secara serius dari aspek yurisdisnya, maka akan memberikan dampak negatif tidak hanya dari aspek hukum tetapi juga dari aspek ekonomi. Dari segi hukum, pencipta yang tidak mendaftarkan hasil cipataanya dapat dianggap bukan pencipta dan bahkan dapat dituntut secara hukum apabila menggunakan karya ciptaanya tersebut. Sedangkan dari segi ekonomi tentunya akan berakibat pada keuntungan Royalty apabila kelak ada orang (bukan si pencipta) yang menggunakan,memperbanyak hasil ciptaannya, maka pencipta sendiri tidak mendapatkan keuntungan dari royalty tersebut. Munculnya kasus – kasus hak cipta di bali mulai menyadarkan seluruh praktisi yang terkait, apakah itu praktisi bisnis maupun para pencipta terhadap arti pentingnya perlindungan hak cipta, walaupun sebenarnya pengaturan khususnya di bali bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru.
10
I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut ; 1. Bagaimanakah pelaksanaan UUHC No.19 Tahun 2002 berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pencipta atas Karya Seni Karawitan Bali yang dipertunjukkan secata komersiil ? 2. Upaya apa yang dapat ditempuh atas pelanggaran terhadap karya cipta Seni Karawitan Bali ?
I.3. Ruang Lingkup Masalah Undang-undang Hak Cipta merupakan instrument yang tidak dapat di lepaskan dalam mendorong perlindungan hukum secara konprehensif di bidang HKI. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap Hak Cipta dimaksudkan untuk merangsang aktivitas kreatif para pencipta dalam hal ini seniman kerawitan untuk menciptakan suatu hal baru yang berguna untuk masayarakat.. Karena luasnya cakupan permasalahan yang akan dibahas, maka ruang lingkup dalam permasalahan lebih membahas pada Seni Kerawitan Bali khususnya seni Instrumental (Gamelan bali). Pembahasan yang pertama membahas tentang efektivitas penerapan UUHC No.19 Tahun 2002 berkaitan dengan perlindungan hukum atas karya cipta Seni Karawitan Bali. Dari permasalahan yang kedua akan membahas tentang tentang Faktor – faktor apa yang menyebabkan UUHC No.19 Tahun 2002 berkaitan dengan
11
perlindungan hukum atas karya cipta Seni Karawitan Bali tidak dapat berjalan efektif dalam hal Penciptanya sudah mengetahui bahwa karya ciptanya dilanggar, faktor – faktor yang menyebabkan hukum hak cipta yang berlandaskan konsep individual dapat efektif atau tidak diterapkan dalam masyarakat komunal. 2. Tujuan penelitian Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus 2.1. Tujuan Umum Untuk pengembangan ilmu pengetahuan terkait dengan paradigma scieniceas a process. Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek dalam penggaliannya atas kebenarannya di bidang HKI yang terkait denga Hak Cipta.5 2.2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui perlidungan hukum atas suatu karya cipta, dan untuk mengetahui konsekwensi yuridis dalam hal peraturan hukum Hak Cipta tidak berfungsi efektif berkaitan dengan perlidungan suatu ciptaan. 3. Manfaat Penelitian 3.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini di harapkan dapat digunakan memperdalam ilmu pengetahuan hukum tentang Hak Cipta
5
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif, 2003, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, hal.6
12
3.2. Manfaat Praktis Penelitian diharapkan sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan dan jajarannya agar dapat memperbaiki prosedur (meringankan dan mempermudah ) pendaftaran Hak Cipta sehingga memudahkan pencipta untuk mendapatkan hak atas ciptaanya yang nantinya mampu untuk merangsang kreativitas pencipta untuk menciptakan karya-karya baru. 4. Orisinalitas Penelitian Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian tentang “ Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta Berkaitan Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Karya Cipta Seni Karawitan Instrumental Bali “ belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang meneliti tentang yang terkait dengan karya cipta, yaitu : 1. Tesis Luh Putu Sridanti pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006 yang berjudul “ Efektifitas Pelaksanaan UndangUndang Hak Cipta Berkaitan dengan Perlindungan Bidang Karya Cipta Seni Di Bali “. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1) Bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta bidang karya cipta seni di Bali. (2) Bagaimana efektifitas pelaksanaan UndangUndang Hak Cipta berkaitan dengan perlindungan karya cipta seni di Bali.6 6
Luh Putu Sridanti, 2006, Efektifitas Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta Berkaitan dengan Perlindungan Bidang Karya Cipta Seni Di Bali, Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar
13
2. Tesis Nyoman Mas Aryani pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006 yang berjudul “ Efektivitas Undang-Undang No.31 Tahun 2000 Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Karya Desain Di Bali. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1) Bagaimanakah efektifitas penerapan hukum dibidang desain industry berkaitan dengan perlindungan hukum atas karya-karya desain di Bali. (2) Bagaimanakah konsekuensi yuridis dalam hal peraturan desain industri tidak berfungsi efektif berkaitan dengan perlindungan karya desain. 7 3. Tesis I Ketut Sandhi Sudarsana pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2009 yang berjudul “ Perlindungan Hukum Terhadap Pertunjukan Karya Cipta Seni Tari Bali Yang Disakralkan “Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) bagaimanakah pengaturan tentang tari Bali yang disakralkan menurut Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. (2) Apakah pertunjukan secara komersial terhadap tari Bali yang disakralkan merupakan suatu pelanggaran hak cipta.8
7
Mas Aryani, Nyoman,2006, Efektivitas Undang-Undang No.31 Tahun 2000 Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Karya Desain Di Bali , Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar 8 Sandhi Sudarsana, I Ketut, 2009, Perlindungan Hukum Terhadap Pertunjukan Karya Cipta Seni Tari Bali Yang Disakralkan, Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar
14
5. Landasan Teori dan Kerangka Berfikir 5.1. Landasan Teoritis Perkembangan negara telah melewati batas-batas negara, ruang dan waktu dimana dengan adanya gerakan perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa kebutuhan perlindungan terhadap Hak Atas Kekeyaan Intelektual yang sifatnya tidak lagi timbal balik tetapi sudah bersifat antar negara secara global. Pada akhir abad ke 19, perkembangan pengaturan masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual Mulai melewati batas- batas negara. Kalau dilihat secara historis, Upaya harmonisasi dalam bidang HKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886. Hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan bagian hukum harta benda (hukum kekayaan). HKI bersifat sangat abstrak jika di bandingkan dengan hak atas kekayaan benda bergerak pada umumnya. Menurut David I. Bainbride “intellectual property is the collective name given to legal rights which protect the product of the human intellect”. 9 yang artinya hak atas kekayaan intelektual manusia yaitu hak yang berasal dari hasil kreatif, yaitu kemampuan daya fikir manusia yang diekspresikan kedalam berbagai bentuk karya, yang bermanfaat seta berguna untuk menunjang kehidupan manusia, dan mempunyai nilai ekonomi. Dalam ilmu hukum, HKI akan mendapat perlindungan hukum apabila ide dan kemampuan seseorang telah dituangkan atau telah diwujudkan dan diekspresikan 9
Muhammad Djumhana, R. Djubaidllah, Op Cit, hal. 16
15
dalam suatu bentuk karya yang dapat dilihat / nyata , didengar, maupun dipergunakan secara praktis. Adapun wujud nyata dari suatu kemampuan intelektual manusia tersebut dapat dilihat dalam bentuk penemuan teknologi, ilmu pengetahuan, karya cipta seni dan sastra, serta karya – karya desain10. Demikian juga halnya dengan hak cipta yang merupakan salah satu jenis dari HKI, karya – karya cipta dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, pada dasarnya adalah karya intelektual manusisa yang dilahirkan sebagai perwujudan kwalitas rasa, karsa dan ciptanya. Mengacu pada pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa hak cipta adalah hak khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada seseorang yang telah menciptakan sesuatu berdasarkan pemikiran dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra11. Pasal 1 ayat 1 UUHC No 19. Tahun 2002 menjelaskan bahwa, Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan – pembatasan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Sedangkan dalam ayat 2 dijelaskan bahwa pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama – sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.pada ayat 3 dijelaskan
10
Ida Bagus Wyasa Putra dkk.2001, Hukum Bisnis Pariwisata, Rafika Aditama, Bandung,
11
Richard Burton Simatupang, 1995, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, hal
hal.108. 87.
16
ciptaan adalah hasil karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, sastra. Menurut Miller dan David, pemberian hak cipta didasarkan pada kriteria keaslian dan kemurnian (originality), pada intinya suatu ciptaan tersebut berasal dari pencipta yang sebenarnya, dan bukan merupakan hasil dari jiplakan atau peniruan dari karya pihak lain12. Dalam konsep ilmu hukum, hak cipta dibagi menjadi dua yaitu hak moral dan hak ekonomi. Selain memiliki hak ekonomi, pencipta itu sendiri memiliki hak moral (moral right), adalah hak pencipta yang tetap melekat pada karyanya atau ciptaannya meskipun karya tersebut telah dialihkan kepada pihak lain. Tonggak awalnya perlidungan Hak Cipta di Indonesia dimulai dengan adanya Conventie Berne, yaitu Berne Convetionfor the Protection of and Artistik Work. Indonesia ikut berpartisipasi menjadi angota pada tahun 1959 dan kemudian keluar. Pada tahun 1997 Indonesia kembali bergabung menjadi angota Conventie Berne, HKI ini berarti Indonesia wajib mentaati ketentuan Berne Convention. Pada dasarnya Berne Convention di bagi menjadi tiga prisip : 1. Perlakuan Nasional (National treatment) 2. Perlindugan otomatis (automatic protection) 3. Kebebasan perlindungan (independentprotection)13
12 13
Ida Bagus Wyasa Putra dkk, Op Cit, hal.118 Sanusi Bintang, 1998, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 67.
17
Selain dalam Berne Convention Hak Cipta juga diatur dalam The agreement on trade releted Aspect of Intelektual Property Rigths (TRIPs), adalah suatu perjanijian multilateral terpenting yang berkaitan dengan Hak kekayaan Intelektual. TIPRs ini berlaku sejak 1 Januari 1995, diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1994 dan mulai berlaku sejak tahun 2000. Hak cipta dapat dikaji baik dari aspek teoritis maupun implementasi ilmu hukum secara empiris, secara garis besar, ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books dan studi law in action dari uraian Roman Tomasic berikut ini : The focus of the sociology of law, however it is defined, need to be seen as the study of “law in Action “ rather than the traditional lawyer’s concern with “ the law in the books”14 Studi law in action merupakan studi social yang bersifat empiris bukan normative. Studi demikian itu, hukum tidak dikonsepkan sebagai suatu gejala normative yang otonomi (seperti study law in books) tetapi di konsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil di kaitkan dengan variable-variabel social yang lain. Apabila hukum sebagai sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variable bebas yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial. Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi, dan proposi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan merumuskan hubungan
14
Amiruddin Dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 197.
18
antar konsep15. Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dau fakta atau lebih atau pengturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat di uji secara empirisoleh sebab itu, dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang telah di uji kebenarannya. Berlakunya hukum dapat dilihat dari berbagai perspektif, seperti perspektif yuridis normatif, Filosofis, dan sosiologis. Perspektif yuridis normatif, berlakunya hukum jika sesuai dengan kaedah yag lebih tinggi (teori Stufenbau dari Hans Kelsen)atau terbentuknya sesuai dengan cara-cara yang ditetapkan (teori W. Zevenbergen). Perspektif filosofis, berlakunya hukum jika sesuai dengan cita-cita hukum. Sedangkan berlakunya perspektif sosiologis menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, intinya adalah efektifitas hukum16. Inti berlakunya hukum dari perspektif sosiologis adalah mengenai efektifitas hukum yang akan melihat pengaruh dari kaedah hukum, dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang diterapkan dalam masyarakat diman kaedah hukum tersebut dapat berpengaruh positif ataupun negatif. Pengaruh positif berlakuya hukum disebut efektifitas sedangakan negatifnya disebut dampak Menelaah efektifitas suatu perundang-undangan (berlakunya umum) pada dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan ideal hukum. Dengan di undangkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini berarti
15 16
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19. Amiruddin Dan Zainal Asikin, Op Cit. hal 135
19
hak atas ciptaan telah dilindungi secara hukum namun masih tetap ada keengganan dari pencipta untuk mendaftarkan karyanya walaupun Undang-undang berlaku fiktie dalam arti masyarakat dianggap tahu hukum sehingga dalam terjadinya pelanggaran seseorang tidak boleh berdalih denan alasan tidak tahu17. Hal serupa di kemukakan oleh Roscoe Pound, seorang ahli dari Amerika. Pokok pikirannya berkisar pada tema bahwa hukum bukanlah suatu keadaan yang statis melainkan suatu proses. Suatu pembentukan hukum, intepretasinya maupun penerapannya hendaknya dihubungkan denan fakta-akta sosial pound sangat menekankan efektifitas bekerjanya hukum dan untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya hukum didalam masyarakat. Oleh karena itu pound membedakan pengertian law in books dengan law in action di pihak lain. Ajarannya lebih menonjolkan masalah apakah hukum yang diterapkan sesuai dengan pola-pola perilakuan. Ajarannya tersebut diperluas lagi sehingga mencakup masalah-maslah keputusan pengadilan serta pelaksanaannya dan juga antar isi suatu peraturan dengan efektifitasnya yang nyata.18 Roscoe Pound berpendapt bahwa hukum adalah suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim. Pound mengemukakan idenya tentang hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan mebina masyarakat dimana hukum tidak pasif tetapi harus mampu digunakan untuk mengubah suatu keadaan dan kondisi tertentu ke arah yang dituju
17
Kansil dan Christine, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 1, Rineka Cipta, Jakarta, h.33. 18 Otje Salman, 1989, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, h.35
20
sesuai dengan kemauan masyarakatnya19 . Fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial merupakan salah satu ide dari Pound yang terkenal dengan nama law as a tool of social engeneering20. Hukum menurut Donald Black adalah kaidah hukum yang dirumuskan dalam undang-undang atau keputusan-keputusan hakim. Dengan merujuk principle of efektiveness dari Hans Kelsen, realita hukum artinya orang seharusnya bertingkah laku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum atau, dengan kata lain realita hukum adalah hukum dalam tindakan. Demikian pula menurut Eugen Ehrlich, hukum positif hanya akan efektif jika selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). The living law concept was heart of Ehrlich,s thingking, it was the “living law” that dominated society,s life even though it had not always been reduced to formal legal, preposition. It reflected the values of society.21 Tujuan pokok yang dikemukakannya adalah meneliti latar belakang aturan-aturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturanaturan tersebut merupakan norma-norma sosial actual yang mengatur semua aspek kemasyarakatan yang olehnya disebut sebagai hukum yang hidup. Atri dari hukum yang hidup disini adalahhukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai hukum yang diterapkan oleh negara.selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif oleh karena ketertiban terletak pada pengakuan sosial terhadap hukum dan bukan 19
L.Freedmen, 1960, Legal Theory, Stevan, & Sons Limited, h.293 Lili Rasjidi, 1996, Dasar – Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya, Bandung, h.83 21 Curzon, 1979, Jurisprodence, Macdonald & Even LTD.Estover, Playmount, PL67Pz 20
21
pada penerapannya secara resmi oleh Negara.bagi Ehrlich tertib sosial didasarkan fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam system hukum. Secara konsekwen ia berangapan bahwa mereka yang berperan sebagi pihak yang mengeembangkan system hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang di anut dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran ini harus ada pada setiap anggota profesi hukum yang bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup hukum positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup. Dalam meneliti efektifitas hukum , menjadi relevan memanfaatkan teori aksi dari Max Weber yang dikembangakan oleh Talcott Parsons. Menurut teori aksi, perilaku adalah hasil suatu keputusan subyektif dari pelaku atau aktor. Dalam bukunya The structure of social action, Parsons mengemukakan karakteristik tidakan sosial sebagai berikut : 1. adanya individu sebagai actor 2. aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan 3. aktor memilih cara, alat, teknik untuk mencapai tujuannya 4. aktor berhubungan dengan sejumlah kondisi-kondisi situasional yang membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu. 5. aktor berada di bawah kendala nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempenaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan.
22
Sejalan dengan teori aksi dari Max Weber dan Parsons, relevan pula dikemukakan pandangan dari Soerjono Soekanto tentang efektifitas hukum. Soerjono Soekanto menyatakan ada empat factor seseorang berprilaku tertentu : 1. memperhitungkan untung rugi 2. menjaga hubungan baik dengan sesama penguasa 3. sesuai dangan hati nurani 4. ada tekanan-tekanan tertentu.22 Efektifitas berfungsinya hukum dalam suatu masyarakat sesungguhnya erat kaitannyadengan kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis ditemukan dalam ajaran –ajaran tentang Rechtsgehful yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. Hal tersebut merupakan suatu aspek dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa kesadaran hukum sering kali dikaitkan dengan penataan hukum, pembentukan hukum dan efektifitas hukum. Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh
dan
berkembang dalam suatu masayarakat, sesuai dengan pendapat Sorjono Soekanto, bahwa masayarakat mentaati hukum sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masayarkat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam
22
h. 19
Soerjono Soekanto, 1985, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung,
23
masyarakat yang diartikan kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap pada diri masyarakat. Terdapat empat indicator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu: 1. Pengetahuan Hukum 2. Pemahaman Hukum 3. Sikap Hukum 4. Pola Prilaku Hukum
Ad. a. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan prilaku yang dilarang atau prilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Pengetahuan hukum erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan. Ad. b. Pemahaman Hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis serta manfaatnya bagi pihakpihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.
24
Ad. c. Sikap Hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati Ad. d. Pola Prilaku Hukum adalah merupakan hal utama dalam kesadaran hukum karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.23
Dari uraian landasan teori diatas, dapat dikemukakan bahwa untuk dapat mewujudkan perilaku yang sesuai dengan hukum sangatlah dipengaruhi oleh motif, gagasan maupun berbagai indikator kesadaran hukum. Lawrence M. Friedman sebagaiman dikutip Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa system hukum yang beroperasi dapat di anggap sebagai suatu sistem yang terdiri atas tiga komponen, yaitu substansi, structural,cultural. Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari keadailan. Struktural mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang umpamanya, mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Kultural pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konspesi-konsepsi abstrak mengenai apa yang di anggap buruk.
23
Ibid hal. 21.
25
Aplikasi pendekatan sistem terhadap penegakan hukum ditegaskan oleh Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. faktor hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan di batasi pada undangundang saja. 2. faktor penegak hukum , yakni pihak-pihak yang membentuk hukum maupun menerapakan hukum 3. faktor sarana atau failitas yang mendukung penegkan hukum 4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidupnya.24 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas berlakunya hukum. Berdasarkan kajian teori diatas, menjadi relevan jika dikaitkan dengan perlindungan hukum atas karya cipta seni karawitan terutama seni karawitan bali. Ditegakkannya perlindungan hukum terhadap karya cipta seseorang terutama mempertunjukkan karya cipta seni karawitan oleh pelaku pertunjukkan, sangatlah dipengaruhi oleh factor-faktor apakah pihak pelaku yang mempertunjukkan karya 24
Ibid, hal 8.
26
cipta tersebut sudah mengetahui perlunya perlindungan hukum terhadap karya cipta tersebut, juga dapat disebabkan oleh seberapa besar pemahaman tentang Undangundang dari penegak hukum itu sendiri, dan tidak kalah pentingnya apakah ketentuan itu sudah cukup jelas atau tidak, karena hukum hanya bisa berlaku efektif bila selaras dengan kehendak masyarakat, dan dalam penegakan hukum HKI itu apakah Indonesia dapat menerima HKI yang berasal dari budaya barat yang menganut konsep hukum Individual Right, sedangkan konsep hukum Negara timur termasuk Indonesia menganut konsep hukum komunal. Penegakan hukum yang berkaitan dengan nudaya hukum ini, dalam praktiknya sering kali menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pelangaran hukum dalam hukum HKI. Dalam hal terjadinya pelanggaran hukum HKI, khususnya pelanggaran hukum Hak Cipta, maka upaya –upaya yang dapat dilakukan adalah : 1. Upaya hukum Preventif artinya, untuk menghidari terjadinya pelanggaran terhadap suatu karya cipta, khususnya karya cipta seni karawitan bali dapat dilakukan dengan cara : a. Melalui pendaftaran Konsep perlindungan hukum Hak Cipta secara otomatis, dilandasi oleh Konvensi Berne, salah satu prinsip dari Konvensi Berne (Berne Convention) adalah Automateclly Protectiaon. Menurut konsep perlindungan ini, Hak Cipta boleh didafar boleh tidak. Menurut pasal 35 ayat (4) UUHC 2002, menentukan bahwa pendaftaran
suatu
ciptaan
tidak
merupakan
suatu
kewajiban.
Jadi
27
berdasarkanketentuan
tersebut
pendaftaran
Hak
Cipta
bersifat
Tidak
Mutlak.Meskipun menurut hukum perlindungan Hak Cipta secara otomatis diperoleh Pencipta sejak ciptaannya lahir, dan tidak harus melalui proses pendaftaran, namun kalau dilakukan pendaftaran akan lebih baik dan lebih menguntungkan, karena dengan pendafaran hak, setidaknya akan ada bukti formal sebagai tanda adanya Hak Cipta jika tidak terbukti sebaliknya. Dengan adanya proses pendaftaran ini, memberikan jaminan kepastian hukum dan menguatkan adanya perlindungan hukum atas karya cipta, jika terjadi peniruan atau penjiplakan karya cipta, sehingga si pencipta lebih mudah membuktikan dan mengajukan tuntutan karena ada bukti formal pendaftaran secara lengkap. b. Melalui Pernjanjian Perlindungan hukum terhadap karya cipta seni karawitan bali selain melalui pendaftaran, juga dapat dilakukan dengan cara melalui perjanjian. Perlindungan hukum karya cipta seni karwitan bali secara preventif melalui perjanjian sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) huruf e UUHC 2002. suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu, dan suatu sebab yang halal, sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya
28
perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya25 Berkaitan dengan upaya hukum preventif, yaitu untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap Hak Cipta, tertuama karya cipta seni karawitan Bali, dengan cara melalui perjanjian, selain berdasarkan pasal 1313 dan 1320 KUHPerdata, dapat pula merujuk pada pasal 45 UUHC 2002 yang menyatakan, bahwa pemegang Hak Cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUHC 2002. Sedangkan yang dimaksud dengan lisensi dalam UUHC 2002 adalah, mengacu pada pasal 1 angka 14 yang menjelaskan bahwa lisensi adalah, izin yang diberikan oleh pemegang Hak Cipta atau pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Mengkaji lebih jauh tentang Lisensi Hak Cipta, menurut Pasal 45 UUHC 2002 dapat diketahui bahwa pelisensian hak cipta dapat dilakukan dengan atau berdasarkan surat perjanjian Lisensi, yang isinya pemegang Hak Cipta membrikan hak khusus kepada orang lain untuk menikmati nilai ekonomis suatu ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta. Dengan demikian surat perjanjian lisensi hanya bersifat pemberian izin atau hak untuk dalam jangka waktu tertentu pula. Persyaratan tertentu
25
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, hal.1,
29
yang berkaitan dengan jangka waktu Lisensi dan Royalty fee, dalam hal ini Lisensi dibuat secara tertulis.26 Berkaitan dengan pemberian Lisensi, apabila pada pemberian Lisensi pemegang Hak Cipta dapat melaksanakan hak ciptanya dan dapat memberikan lisensi yang sama kepada pihak ketiga untuk melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh pemegan hak cipta, maka sifat lisensi tersebut adalah terbuka, perjanjian lisensi dapat pula dibuat secara khusus, artinya bahwa lisensi hanya dapat diberikan kepada pemegang lisensi saja (Ekslusive Lecense).27 Sifat ekslusif dari lisensi hak cipta ini dapat mengacu pada pasal 46 UUHC 2002, yang menyatakan bahwa kecuali diperjanjikan lain, Pemegang hak cipta dapat melaksanakan perbuatan sebaimana yang dimaksud pada pasal 2 UUHC 2002. Sifat ekslusif dapat dilihat dalam kalimat kecuali “diperjanjikan lain” ini berarti dapat melakukan perjanjian lain yang sifatnya lebih khusus dalam perjanjian lisensi karena lisensi biasanya diberikan secara terbuka. 2.
Upaya Hukum Represif Upaya hukum secara represif adalah merupakan suatu upaya hukum yang
dilakukan oleh pencipta dan pemegang hak cipta karena karya cipnya dipergunakan pihak lain tanpa seizin penciptanya secara komersiil, sehingga Pencipta dan pemegang Hak Cipta dirugikan secara ekonomis. Untuk menghindari terjadinya
26 27
Rachmadi Usman, Op.Cit. hal. 148 Ibid. hal. 149
30
pelanggaran hak cipta tersebut maka pencipta atau pemegang hak cipta dapat menegakkan hak-hak mereka secara litigasi yaitu : a. Dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Niaga. (pasal 56 UUHC 2002). Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat 1 UUHC 2002 menyatakan, bahwa pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta pertunjukkan tersebut dihentikan selama belum mendapat ijin dari penciptanya. b. Selain upaya secara perdata diatas, masih ada upaya hukum yang disediakan oleh UUHC 2002, yaitu melalui tuntutan secara pidana. UUHC 2002 Indonesia menempatkan tindak pidana yang berkaitan dengan hak cipta sebagai delik biasa, maksud dari undang-undang ini adalah untuk menjamin perlindungan lebih baik dari sebelumnya, dimana sebelumnya dalam UUHC 1997, tindak pidana tentang hak cipta dikategorikan delik aduan. Perubahan sifat ini adalah merupakan kesepakatan masayrakat yang menyebabkan suatu pelanggaran bisa diperkarakan di Pengadilan secara cepat dan tidak perlu menunggu pengaduan terlebih dahulu dari pemegang hak cipta.28 c. Sanksi Pidana untuk pelanggaran hak cipta seni karawitan juga diberlakukan bagi pelanggar yang dengan sengaja melanggar ketentuan-ketentuan hak cipta di Indonesia akan diterpakan sanksi yang cukup berat, segaimana diatur dalam
28
OK.Saidin, 1995, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 59.
31
pasal 72 sampai dengan 73 UUHC 2002. Pasal 72 menjelaskan, bahwa setiap pelanggaran hak cipta akan dikenakan sanksi pidana dan/atau pidana denda, sedangkan pasal 73 UUHC 2002 menyatakan bahwa terhadap ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan. d. Melalui jalur Non Litigasi Berkaitan dengan upaya perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak cipta secara represif ini, selain upaya tersebut diatas, masih ada upaya hukum yang lain yaitu dengan melalui jalur Non Litigasi yang diatur melalui pasal 65 UUHC 2002, menyatakan selain penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan sengketa melalui Arbitrase atau Alternative Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa alternative ini merujuk pada ketentuan UU.No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaoan Sengketa. Adapun tujuan UU>No.30 tahun 1999 ini adalah apabila dalam hal terjadinya pelanggaran hak cipta, para pihak dapat menyelesaiakan masalahnya secara sepakat melalui jalur Non Litigasi dan tidak melakukan upaya hukum represif seperti tersebut diatas.
5.2. Kerangka berfikir Berdasarkan landasan teori yang diacu untuk pengkajian permasalahan dapat diajukan kerangka berfikir bahwa adanya ketentuan-ketentuan peraturan di bidang
32
Hak Cipta dimaksudkan sebagai alat rekayasa terhadap masyarakat Indonesia yang budaya hukumnya komunal dalam kaitannya dengan perlindungan hukum Hak Cipta. Adanya ketentuan - ketentuan peraturan di biang hak cipta merupakan produk yang berasal dari negara barat melalui Convensi Berne dan selanjutnya dituangkan kedalam TRIPs Agreement, selanjutnya oelh negara Indonesia diratifikasi melalui Undang-undang No.7 tahun 1994, sebagai konsekwensinya negara Indonesia berkewajiban untuk mnegharmonisasikan sistim hukum HKI sesuai dengan standar – standar yang diterapkan dalam TRIPs. Adapaun system perlindungan yang dianut adalah system Individual Right yaitu suatu karya intelektual harus dihargai dan di berikan perlindungan secara eksklusif darena dihasilkan melalui proses yang panjang dan berat baik dari segi wktu, tenaga, pikiran, biaya yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi. Di sisi lain Indonesia sebagai bagian dari negara timur memiliki sistem perlindungan HKI yang menganut konsep komunal (komunal Right) artinya bahwa suatu hasil karya intelektual seseorang adalah milik bersama, artinya jika orang lain mempergunakan hasil karya intelektual tanpa seijin pemiliknya dianggap bukan suatu pelanggaran. Namun dengan diberlakukannya UUHC No.19 tahun 2000, maka terhadap hak cipta termasuk karya cipta seni karawitan (instrumental) akan diberikan perlindungan hukum oleh ketentuan UUHC No.19. tahun 2002. Menurut pendapat dari Ehrlich yang menyatakan bahwa hukum dalam pelaksanaanya biasa berjalan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jika teori diatas dikaitkan dengan perlindungan hukum di Indonesia, maka konsep perlindungan HKI yang tertuang dalam perundang-undangan belum
33
berakar dari konsep hukum Indonesia yang lazim menganut konsep komunal, namun system perlindungan HKI yang berasal dari Negara barat menganut konsep Individual Right. System perlindungan HKI yang dianut oleh negara barat mengacu pada teori Robert M. Sherwood yaitu : 1. Reward Theory, berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/ pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upau-upaya kreatif dalam menemukan/ menciptakan karya – karya intelektual.tersebut. 2. Recovery Theory, berpa pengembalian terhadap apa yang telah dikeluarkan penemu/pencipta/pendesain yakni biaya, waktu dan tenaga dalam proses menghasilkan suatu karya. 3. Incentive
Theory,
berupa
penemu/pencipta/pendisain
untuk
insentif
yang
mengembangkan
diberikan
kepada
kreatifitas
dan
mengupayakan tercapainya kegiatan – kegiatan penelitian yang berguna. 4. Risk Theory, berupa resiko yang terkandung pada setiap karya yang dihasilkan. Suatu penelitian mengandung resiko yang dapat memungkinkan orang lain
menemukan karya yang dihasilkan atau memperbaikinya dan
resiko mungkin timbul dari pergaulan secara illegal. 5. Economic Grouth Stimulus Theory, perlindungan hak merupakan alat untuk pembangunan ekonomi29.
29
Ranti Fausa Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri, Di Indonesia, PT. Gramedia Widiarsana Indonesia, Jakarta, h.44
34
Perbedaan konsep perlindungan HKI seperti itu, tentu sangat berpengaruh terhadap efektifitas pelaksanaan hukum atas karya cipta seni karawitan, yang dituangkan dalam Undang-undang Hak Cipta di Indonesia yang menganut konsep hukum Komunal. Berkaitan dengan efektifitas, suatu ketentuan perundang-undangan yang berlaku pada masyarakat dapat mengacu pada terorinya Max Webber yang dikembangakan oleh Talcott Parsons. Menurut teori aksi, perilaku adalah hasil suatu keputusan subyektif dari pelaku atau aktor. Dalam bukunya The structure of social action, Parsons mengemukakan karakteristik tidakan sosial sebagai berikut : 1. adanya individu sebagai actor 2. aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan 3. aktor memilih cara, alat, teknik untuk mencapai tujuannya 4. aktor berhubungan dengan sejumlah kondisi-kondisi situasional yang membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu. 5. aktor berada di bawah kendala nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempenaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan. Sehingga efektivitas berfungsinya hukum dalam masyarakat erat kaitannya dengan kesadaran hukum dari warga masayarakat itu sendiri. Kesadaran hukum masyarakat berimplikasi pada penegakan hukum pada masyarakat tersebut. Menurut Soerjono Soekanto yang menyatakan aplikasi pendekatan system penegakan hukum terletak pada faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
35
1. faktor hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan di batasi pada undangundang saja. 2. faktor penegak hukum , yakni pihak-pihak yang membentuk hukum maupun menerapakan hukum 3. faktor sarana atau failitas yang mendukung penegkan hukum 4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidupnya.30 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas berlakunya hukum. Berdasarkan kajian teori diatas, menjadi relevan jika dikaitkan dengan perlindungan hukum atas karya cipta seni terutama seni karawitan bali. Upaya yang dapat dilakukan adalah Upaya hukum Preventif atau upaya hukum Represif. Upaya perlindungan hukum secara Preventif adalah melalui pendaftaran dan perjanjian Lisensi. Sedangkan upaya perlindungan Represif dapat dilakukan dengan cara menggunakan jalur Litigasi yaitu, mengajukan gugatan secara Perdata ke Pengadilan Niaga, atau mengajukan tuntutan Pidana ke Pengadilan Umum, dan dapat juga menggunakan jalur Non Litigasi sesuai dengan UU.No.30 tahun 1999.
30
Ibid, hal 8.
36
6.
Hipotesis Hipotesis adalah dugaan sementara mengenai suatu permasalahan yang
harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan fakta/data atau informasi yang diperoleh dari hasil penelitian yang valid dan riabel dengan menggunakan cara yang sudah ditentukan31. Dari landasan teori tersebut maka dibuat hipotesis sebagai berikut: 1. Jika suatu bentuk norma baru (UUHC No.19 tahun 2002) yang dikeluarkan dirasakan sesuai dengan hukum yang mendominasi kebutuhan kehidupan masyarakat, maka penerapan UUHC No.19 Tahun 2002 ini akan menjadi efektif. 2. Jika terjadi suatu pelangaran – pelanggaran terhadap karya cipta seni karawitan (instrumental bali) Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pencipta adalah : Mendaftarkan karya ciptaannya pada Dirjen HKI Melalui perjanjian terutama perjanjian dengan Lisensi Mengajukan gugatan Perdata ke Pengadilan Niaga Mengajukan tuntutan Pidana ke Pengadilan Umum Melalui jalur Non Litigasi. ( Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan).
7. Metode penelitian
31
Sudarmayanti dan Syarifudin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal. 108
37
7.1. Jenis penelitian Penelitian mengenai “Perlidungan Hukum Undang – Undang No. 19 Tahun 2002 terhadap Pencipta Seni Karawitan Bali” adalah penelitian yuridis empiris yang menggunakan data sekunder sebagai data awal untuk kemundian di lanjutkan dengan data primer atau data lapangan. Ini berarti penelitian yuridis empiris tetap bertumpu pada premis normatif diman definisi oprerasionalnya dapat diambil dari peraturan perundang-undangan untuk kemudian melihat pada kenyataanya yang terjadi di lapangan.
7.2. Sifat Penelitian Penelitian tentng “Perlidungan Hukum Undang – Undang No. 19 Tahun 2002 terhadap Pencipta Seni Karawitan Bali” adalah penelitian yang bersifat deskriptif, bertujuan untuk menggambarakan secara tepat sifat – saifat individu, keadaa, gejala, atau kelompok tertentu, atau menentukan penyebaran, suatugejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan anatara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat32.
7.3. Data dan Sumber Data 7.3.1. Data Dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari pihak-pihak yang terlibat dalam kasus atau 32
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op cit , h.25.
38
masalah yang menjadi obyek penelitian dengan kata lain data yang diperoleh dari penelitian lapangan. Sedangkan data sekunder terdiri dari bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum, bahan hukum sekunder yang bersumber dari buku-buku ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum33.
7.3.2. Sumber data a. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian di lapangan yang didapat langsung dari masyarakat, dalam dal ini yaitu masyarakat pencipta yang menghasilkan karya-karya cipta. b. Data sekunder adalah data yang besumber dari penelitian kepustakaan yaitu dengan meneliti bahan-bahan hukum.
7.4. Teknik Pengumpulan Data 7.4.1.Teknik Pengumpulan Data Sekunder dilakukan dengan cara Studi kepustakaan yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarisifikasikan, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan, konvensi serta buku literatur yang ada dengan permasalahan diatas, hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian di buat ringakasan secara sistematis sebagai intisari hasil pengkajian studi dokumen.
33
hal. 202
Abdulkdir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Badung,
39
7.4.2.Teknik Pengumpulan Data Primer dilakukakan dengan studi lapangan yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan cara terjun langsung ke lapangan. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data primer yang dilakukan dengan wawancara.
7.5. Lokasi Penelitian dan Tehnik Pengambilan Sampel 7.5.1. Lokasi penelitian Adapun lokasi penelitian meliputi (2)dua lokasi yaitu Kabupaten Gianyar, Kota Madya Denpasar. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa kedua lokasi tersebut mempunyai banyak seniman alam yang membidangi seni karawitan yang dapat dijadikan obyek penelitian, Perusahaan Rekaman Maharani Record, Bali Record, Bali TV, TVRI dan Departemen Kebudayaan Provinsi Bali, Kantor Wilayah
Hukum dan HAM Provinsi Bali, sebagai instansi yang terkait
dengan keberadaan HKI, ISI Denpasar, sehingga lokasi tersebut memenuhi kriteria yang diperlukan dan dapat mewakili karakteristik penelitian yang dilakukan.
7.5.2. Teknik Pengambilan Sampel Secara metodelogis, pengambilan sample dapat dibedakan menjadi teknik probility sampling dan teknik non probolity sampling. Salah satu teknik dari non probility sampling adalah secara proposive sampling yang mana sample dipilih berdasarkan pertimbangan/ penelitian suibyektif dari penelitian, dalam hal ini peneliti menentukan sendiri responden dan informan mana yang dianggap dapat mewakili
40
populasi. Dalam penelitian ini, responden dan informan yang akan dipilih menjadi sampel adalah responden yang memiliki karakteristik pemilihan yaitu pemilik karya cipta dan informanya adalah pihak –pihak dari instansi terkait, produser rekaman, termasuk para akademisi dan pengamatperkembangan Hak Kekayaan Intelektual, damana pengambilan data akan dihentikan apabila data telah mendekati kesamaan. 7.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Untuk pengolahan dan analisis data yang diperoleh dari penelitian baik penelitian kepustakaan atau penelitian lapangan akan diolah dan di analisis secara deskriptif kwalitatif yaitu penyusunan, intepretasi, pemahaman makna dengan mengkaitkan ketentuan yang berlaku dengan kondisi masyarakat kemudian disajikan secara secara sitematis.
41
BAB II TINJUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA, SENI KARAWITAN DAN KONSEP PERLINDUNGAN HUKUMNYA
2.1
Hak Cipta dan Konsep Perlindungannya
2.1.1
Pengertian Hak Cipta. Istilah hak cipta di usulkan pertama kali oleh St. Moh. Syah Pada Kongres
Kebudayaan di Bandung tahun 1951 yang kemudian diterima oleh Kongres tersebut, sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiaanya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteurs Rechts 34 Secara yuridis istilah hhak cipta telah dipergunakan dalam UUHC No.6 Tahun 1982, UUHC No.7 Tahun 1987, UUHC No. 12 Tahun 1997 dan UUHC No. 19 Tahun 2002. Sebagai istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet1912. Pengartian Hak Cipta yang lebih luas, diatur dalam pasal 1 butir 1 UUHC No. 19 Tahun 2002, yang menyatakan, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta maupun penerima hak cipta utnuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
34
Ajip Rasidi,1984, Udang-Udang Hak Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam, Djambatan, Jakarta, hal 3.
42
Hak eksklusif yang dimaksud pada pasal 1 butir 1 UUHC 2002, adalah tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut kecuali dengan izin dari penciptanya. “Istilah tidak ada pihak lain” mempunyai pengertian yang sama dengan hak tunggal, yang menunjukkan hanya pencipta saja yang boleh mendapatkan hak semacam itu, dan inilah yang dimaksud dengan hak yang bersifat eksklusif. Eksklusif berarti khusus, unik. Keunikan itu sesuai dengan sifat dan cara menghasilkan hak cipta. Tidak semua orang bias dengan serta merta menjadi seorang peneliti, komponis,
atau
sastrawan.
Hanya
orang-orang
tertentu
saja
yang
dapat
memilikinya.35 Hak cipta merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, disamping Hak Cipta hak kekayaan intelektual juga mengenal hak milik perindustrian yang terditi dari Hak Merek, Hak Paten, Desain Industri, Desai Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Perlindungan Varietas Tanaman. Sementara itu pengertian hak cipta menurut World Intellectual Property Organization adalah : “ Copyright is alegal form dicribing right given to creator for the literary and artistic work” Hak Cipta adalah terminology hukum yang menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya mereka dalam bidang seni dan sastra.36
35
Budi Agus Riswandi. M. Syamsudin, 2004, Hak kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 2. 36 Husain Audah 2004, Hak Cipta & Karya Cipta Musik, PT. Pustaka Litera Antara Nusa, Bogor, hal 6.
43
Menurut Hanafi, secara hakiki hak cipta termsuk hak milik immaterial karena menyangkut ide, gagasan pemikiran, imajinasi dari seseorang yang dituangkan ke dalam bentuk karya cipta, seperti buku ilmiah, karangan sastra, maupun karya seni.37 Pengertian hak cipta menurut Copyright Convention Universal dalam pasal V menyatakan bahwa, hak cipta meliputi hak tunggal si Pencipta untuk membuat, menerbitakan, dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.38 Pengertian hak cipta menurut Universal Copyrigt Convention, ini juga memberikan pengertian tentang hak cipta lingkupnya masih sempit, sebab yang dimasukkan dalam pengertian ini hanya hak pencipta dari hasil karya tulis saja, namun sebenarnya cakupan dari hak cipta lebih luas dari itu, termasuk juga hasil karya di bidang seni, yang bukan merupakan suatu karya tulis, seperti karya lukis, seni tari, seni karawitan, dan lain-lainnya. Menurut Hutauruk ada dua unsur penting yang terkandung dari pemahaman hak cipta yaitu : 1. Hak Ekonomi, hak yang dapat dipindahkan, dialihkan pada pihak lain 2. Hak Moral, dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan haknya pada barang atau benda tersebut ( seperti,
37
Insan Budi Maulana dkk, 2000, Tindak Pidana Hak Cipta Dan Problematika Penegakan Hukumnya, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual, Pusat Studi Hukum UII, Jogyakarta, hal. 189 (selanjutnya disebut Insan Budi Maulana II) 38 OK. Saidin, Op Cit, hal. 59.
44
mengumumkan karyanya, menetapakan judul-judlnya, mencantumkan nama sebenarnya, atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan dan integritas ceritanya)39 Hak moral tercantum dalam pasal 24 UUHC 2002, yang menurut ketentuan pasal diatas dapat merujuk pada Konvensi Berne dalam pasal 6 bis yang berbunyi : “ The moral right or paternity or attribution and the right of integrity”40 Hak Cipta sesuai dengan Konvensi Berne selain di rujuk di Indonesia juga dirujuk oleh Negara lainnya seperti Negara Australia yang memberikan pengertian Hak Cipta Copyright is : The basic principle behind copyright protection int the concept that an outhor for artist, ( musicion, play wrigth or film maker), should have the right to exploit their work without other being allowed to copy that creative output. 41 Hak Cipta walupun hak isitmewa yang hanya dimiliki oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UUHC 2002, namun penggunaan dan pemanfaatan hendaknya berfungsi social, artinya hasil karya cipta atau ciptaan bukan hanya dinikmati oleh pencipta saja, melainkan dapat dinikamati, dimanfaatkan, dan digunakan oleh masyarakat luas, sehingga ciptaan itu mempunyai nilai guna di samping nilai moral dan ekonomis.
39
Hutauruk, 1982, Pengaturan Hak Cipta Nasional, Erlanga, Jakarta, hal. 11 Anne Fitzgerald, 1999, Intellectual Property, LBC Information Services NSW, Sydney, Hal. 62 41 Mc Keough Stewart, 1997, Intellectula Property In Australia, Butter Wrths Sydney, hal. 40
119.
45
2.1.2
Konsep Perlindungan Hak Cipta. Perlindungan hukum terhadap karya-karya intelktual manusia sangat penting
artinya, terutama masyarakat barat serta masyarakat industri maju yang memelopori perkembangan system hukum HKI ini sangat concern menyikapi perlindungan hukumnya, mengngat karya-karya yang masuk dalam lingkuo HKI baik yang berupa karya seni, sastra, penemuan teknologi, desain, merek dan karya HKI lainnya adalah merupakan hasil kreativitas intelektual manusia yang lahir dari proses yang sangat panjang, dengan pengorbanan berat, baik dari segi waktu, tenaga, biaya dan pikiran. Hasil kreativitas intelektual dengan proses yang demikian mendalam sebagaimana disebutkan diatas, memeiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, hasil karya pada hakekatnya merupakan kekayaan pribadi dari mereka uang menemukannya, menciptakan, maupun mendesain. Oleh karena itu sudah sepatutnya kepada mereka diberikan perlindungan hukum secara individual yaitu dalam bentuk Hak Ekskusif atas karya yang dilahirkannya42. Perlindungan terhadap hasil karya Hak Cipta seni karawitan, secara nasional terdapat pada UUHC 2002. Mengacu pada pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Hak Cipta adalah, hak eksklusif bagi Pencipta atau Penerima Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memrberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
42
Richard Burton Simatupang, Op Cit, Hal. 85
46
Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa, Hak Cipta dapat beralih atau dapat dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena : 1. Pewarisan 2. Hibah 3. Wasiat 4. Perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002, menyatakan bahwa Ciptaan yang dilindungi adalah : a. buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out), karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis yang lain; b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama musical,tari,koreografi, pewayangan dan pantomime; e. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung kolase dan seni terapan; f. Arsitektur; g. Peta; h. Seni batik; i. Foto grafi; j. Simatografi;
47
k. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, data base dan data karya lainnya dari hasil pengalihwujudan. Ayat (2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf I, dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan Asli. Ayat (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu. Pasal 45 ayat (1) menyatakan bahwa, Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUHC 2002. Perlindungan karya cipta selain diberikan pada karya cipta manusia yang berbentuk karya cipta nyata, yang bersumber dari intelektualnya juga harus mengandung unsure keaslian (original). Konsep keaslian atau originalitas sebagai salah satu unsure perlindungan hak cipta dalam UUHC 2002 dituangkan dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) menyatakan kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah : a. orang yang terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jendral; atau b. Orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.
48
Menurut Miller dan Davis mengemukakan pemberian Hak Cipta didasarkan pada kriteria keaslian atau kemurnian (originality), yang pentung ciptaan tersebut benar-benar berasal dari Pencipta yang sebenarnya, dan bukan merupakan hasil jiplakan atau peniruan dari hasil karya orang lain.43. Senada dengan Miller dan Davis, Rahmi Jened dalam bukunya menyatakan bahwa Undang-undang Hak Cipta Indonesia menetapkan perlindungan hak cipta diberikan pada yang bersifat pribadi dengan memenuhi pesyaratan keaslian (originality), berdasarkan kemampuan piliran. Imajinasi, kreativitas (creativity) dan dalam bentuk khas (fixion).44 Kriteria originality dalam ketentuan Hak Cipta sesuai dengan teori hukum dalam Hak Cipta yang mengatur suatu standar perlindungan Hak Cipta (Standart of Copyrhights ability) yang dikemukakan oleh Earl W. Kintner dan Jack Lahr, menjelaskan bahwa : 1 Originality: the world “ originality” ..or the test of “originality” is not that the work to be novel or unique. Even a work based upon something already in public domain may well original. 2 Creativity: creativity as a standart of copyright ability is to great degree simply measure of originality. Although a work that merely copies exactly a prior work may be held not to be origil, if the copy entails the
43
Ida Bagus Wyasa Putra, Op Cit, hal. 118. Rami Jened, 2006, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Ekslusif, Air Langga Universitas Press, Surabaya, hal. 60. 44
49
independent creative judgement of the author in its production, that creativity will render the work original; 3 Fixation : A work is fixed in a tangible medium of expression its embodiment in a copy or phonerecord by on under the outhirity of author, is sufficient permanent or stable to permit to be perceived, reproduced or otherwise communicated for a period of more than transitory duration. A work consisting of sound imeger or both, that a being made simultaneously with transmision45 Berdasarkan Standar Copyrights of Ability dapat diketahui bahwa, Ciptaan atau karya cipta yang mendapatkan perlindungan hak cipta adalah karya cipta yang dalam penuangannya harus memiliki bentuk khas dan menunjukkan keasliannya sebagai Ciptaan seseorang yang bersifat pribadi. Selain keaslian dari suatu Ciptaan sebagai lingkup konsep perlindungan Hak Cipta, juga perlindungan hukumterhadap hasil karya cipta diperoleh oleh Pencipta secara otomatis, artinya tanpa melalui proses pendaftaran terlebih dahulu Pencipta secara otomatis sudah mendapat perlindungan hukum atas karya ciptaanya tersebut sudah diwujudkan dalam bentuk karya nyata. Konsep perlindungan otomatis dalam Undang-Undang Nasional Indonesia terdapat pada ketentuan pasal 35 ayat (4) UUHC 2002 yang menentukan bahwa pendaftaran
45
Earl W. Kintner dan Jack Lahr, 1983, An Intellectual Property Law Primer, Clark Boerdman, New York, hal. 346
50
suatu ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban. Berdasarkan ketentuan tersebut pendaftaran Hak Cipta bersifat tidak mutlak, pendaftaran Perolehan dan perlindungan Hak Cipta bersifat otomatis, tersirat dalam article 5 (2) ini, yang menyatakan Pencipta akan menikmati perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka daalam Negara sendiri pada Negara-negara lain yang tergabung dengan Konvensi Berne46 Menurut Sudargo Gautama, perlindungan yang diberikan oleh article 5 (2) Konvensi Berne, adalah terutama dari orang-orang untuk karya pada Negara-Negara lain, si Pencipta diberikan perlindungan dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidak ada perlindungan yang diberikan oleh Negara asal. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa Pencipta yang tergabung dalam Negra-negara yang terkait dalam Konvensi Berne memperoleh hak yang sama dengan Negara diaman mereka mengumumkan karya ciptanya. Meskipun menuruthukum hak cipta perlindungan hukumnya bersifat otomatis yang diperoleh pencipta sejak ciptaan lahir, dan tidak harus melalui proses pendaftaran, namun kalau dilakukan pendaftaran akan lebih baik dan lebih menguntungkan, karena dengan pendaftaran hak, setidaknya akan ada bukti formal sebagai anggapan adanya hak cipta jika tidak terbukti sebaliknya47 Berkaitan dengan perlindungan hak cipta ini, menurut Holmes, menyatakan bahwa, while regritation is not mandatary, it it highlydesirable for a number
46 47
Rahmi Jened, Op Cit, hal. 74 Ni Ketut Supasti Dharmawan dkk, Op cit, hal. 16-17.
51
omportant reasons. Registration of the copyright is a statutory prerequisite to instituting an infringement action. It is also a prerequisite to recovering special statutory damages is additions, a certificate,” prima” avidence of the validity of the copyright, Finally, registration is necessary for transfer of ownership48. Holmes
pada
prinsipnya
mengemukakan
bahwa
pendaftaran
tidak
merupakan keharusan, karena tanpa pendaftaran hak cipta telah ada, diakui dan dilindungi. Meski pendaftaran tidak merupakan kewajiban, namun ada keinginan yang sangat besar untuk mendaftarkan ciptaan dengan alasan yaitu pendaftaran adalah persyaratan untuk menetapakan adanya gugatan atas pelanggaran. Pendaftaran juga merupakan pesyaratan untuk memperoleh ganti rugi. Surat pendaftaran Hak Cipta menetapkan bukti awal bagi si Pencipta akan hak ciptanya. Pendaftaran dibutuhkan untuk peralihan kepemilikan untnuk memberikan pengumuman bagi pihak ke tiga tentang adanya peralihan kepentingan. Sehubungan dengan pendapat Holmes diatas, maka dengan adanya proses pendaftaran jika terjadi pelanggaran karya cipta, si Pencipta lebih mudah membuktikan dan mengajukan tuntutan, karena ada bukti formal pendaftaran. Dalam hak cipta untuk lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan menguatkan adanya perlindungan hukum atas karya cipta, si Pencipta atau pemegang hak cipta umumnya akan membubuhkan tanda huruf c dalam karya ciptaanya, sebagai bukti bawha karya ciptanya tersebut sudah mendapatkan perlindungan hak cipta.
48
William C.Holmes, 1983, Intellectual Property and Antitrust Law, Clark Boardman, New York, hal. 31
52
Pentingnya perlindungan Hak Cipta dan rezim perlindungan HKI, selain dapat diketahui melalui ketentuan secara khusus yang pengaturan perlindungan HKI termasuk Hak Cipta dapat diketahui melalui ketentuan yang bersifat umum yaitu pada Declration of Human Right, Pasal 27 ayat (1) yang bunyinya sebagai berikut : “ everyone has the right freely to participate in the culture life of the community, to enjoy the and to share in scientific advancementand its benefits”49 Suatu hasil karya intelektual yang mendapatkan perlindungan hak cipta adalah karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya –karya tersebut baru mendapat perlindungan hukum apabila telah diwujudkan sebagai ciptaan yang berwujud atau berupa ekspresi yang sudah dapat dilihat, dibaca, didengarkan. Hukum Hak Cipta tidak melindungi ciptaan yang masih berupa ide (idea) semata, bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya sebagai ciptaan seseorang yang bersifat pribadi.
Pengaturan Hak Cipta 2.2.1
Pengaturan Hak Cipta Di Indonesia
a. UUHC No. 6 Tahun 1982 ( UUHC 1982) UUHC No. 6 Tahun 1982, adalah sebagai pengganti dari Auteurswet 1912 yang merupakan UUHC zaman kolonial Belanda. Latar Belakang dikeluarkannya UUHC 1982 adalah : Dalam rangka pembangunan dibidang hukum demi mendorong
49
Hendra Tanu Atmaja, 2004, Perlindungan Hak Cipta Musik atau Lagu, Hatta Internasional, Jakarta, hal.20.
53
dan melindungi pencipta, penyeberluasan hgasil karya cipta,seni sastra dan ilmu pengetahuan, serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa perlu dibentuk Undang-undang tentang Hak Cipta, sebagai pengganti Auteurswet 1912, karena sudah tidak relevan (tidak sesuai) lagi dengan kebutuhan dan cita-cita hukum Nasional. Selain itu UUHC 1982, juga memasukan unsure-unsur perkembangan teknologi dan unsure kepribadian bangsa yang menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat. Lebih lanjut dengan terbentuknya UUHC 1982, memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta, walupun dalam konsep perlindungan hak cipta tahun 1982 menganut system pendaftaran diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian mengenai hak pemohon, kecuali sudah jelas adanya pelangaran hak cipta.50 b.
UUHC No. 7 Tahun 1997 UUHC 1982, setelah berjalan kurang lebih 5 tahun, menemui banyak
permasalahan, terutama sebagai akibat kemajuan teknologi elektronik pada abad ke dua puluh ini, khususnya setelah adanya program computer sebagai perangkat lunak, merupakan hasil ciptaam yang memerlukan perlindungan hukum.51 Dalam pelaksanaan UUHC No 6 tahun 1982, sering dijumpai adanya tindak pidana pembajakan terhadap hak cipta. Laporan masyarakat khususnya yang tergabung dalam berbagai asosiasi profesi yang berkepentingan dengan hak cipta di
50 51
Hendra Tanu Atmaja, Op Cit, hal. 56 Hutauru, Op Cit, hal. 105
54
bidang lagu, music, buku, penerbit, film, rekaman video, computer menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak cipta sudah berlangsung lama, semakin marak dan meluas. Hal ini dapat mengurangi kreativitas dan produktivitas Pencipta, disamping kerugian Negara akibat hilangnya penerimaan pajak. Selain alasan diatas UUHC1982 perlu diubah karena beberapa factor antara lain : 1. Meningkatnya jumlah pelanggaran yang sampai pada tingkat yang membahayakan. 2. Kurangnya perlindungan hukum atas ciptaan yang berasal dari dalam negeri. 3. Ancaman pidana terlalu ringan sehingga di anggap kurang mampu menangkal pelanggaran Hak Cipta. 4. Bentuk ancaman pidana yang pada UUHC1982 adalah delik aduan, sedangkan UUHC1987 menjadi delik biasa. Perubahan
yang
penting
lainnya
adalah
mengenai
jangka
waktu
perlindungan hak cipta UUHC1982, menentukan perlindungan hukum selama hidup pencipta dan ditambah 25 tahun setelah pencipta meninggal dunia, dan khusus untuk karya cipta fotografi dan sinematografi jangka waktu perlindungannya adalah 15 tahun terhitung sejak ciptaan itu diumumkan pertama kalinya. Namanu dalam UUHC1987,
jangka waktu perlindungan diperpanjang menjadi seumur hidup
ditambah 50 tahun setelah si pencipta meninggal dunia, untuk karya cipta yang bersifat turunan dan derivative jangka waktu perlindungan adalah selama 50 tahun terhitung sejak karya cipta tersebut diumumkan.
55
Disamping itu digantinya UUHC1982 dengan UUHC1987 adalah karena adanya tekanan-tekanan internasional,terutama dari Negara Amerika, karena Dr. Arpad Bogch salah satu anggota komisi Eropa dan World Intellectual Property Organisation (WIPO) dari Amerika mengunjungi Indonesia untuk mengadakan pembicaraan tentang kemungkinan perubahan Undang-undang HKI di Indonesia, termasuk Hak Cipta.52 Karena Amerika dihadapkan pada pembajakan besar-besarab dan tindakan peniruan dan pemalsuan produksi di Indonesia. Amerika memanfaatkan kebijakan perdagangan sebagai alat dalam menekan pemerintah Indoenesia untuk melakukan perbaikan-perbaikan di bidang perlindungan HKI. Berkaitan dengan UHC1987, yang sangat penting dicermati adalah penyempurnaan yang mencakup ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan terhadap karya cipta yang tidak diketahui penciptanya, maka Negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut kecuali terbukti sebaliknya sebagaimana termuat dalam pasal l0A UUHC 1987.53 c. Undang-undang Hak Cipta No.12 Tahun 1997 (UUHC 1997) UUHC 1997 lahir karena desakan dari dunia Internasional terutama dari Negara Amerika Serikat, Uni Eropa. Namun karena adanya perkembangan baru, dirasakan perlu untuk mengadakan perubahan-perubahan lagi dan penyempurnaan atas UUHC 1987.
52
Bambang Kesowo, `994, Ketentuan-Ketentuan GATT yang Berkaitan Dengan Hak Milik Intelekual ( TRIPs), makalah dalam seminar sehari, “ Dampak GATT/Putaran Uruguay Bagi Dunia Usaha, “Departemen Perdagangan RI, Jakarta, hal.36 53 Hendra Tanu Atmaja, Op Cit, hal.69
56
Penyempurnaan
UUHC1987,
dilaksanakan
melalui
UUHC
1997.
Penyempurnan ini bertujuan untuk memyesuaikan UUHC tersebut dengan TRIPs, karena partisipasi Negara Indonesia sebagai salah satu Negara peserta Organisasi Perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO), yang memberikan konsekwensi bahwa Indonesia berkewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan
di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan persetujuan
Internasional.54 Secara umum bidang dan arah penyempurnaan yang dilakukan terhadap UUHC1987 menjadi UUHC 1997 adalah : 1. Berdasarkan UUHC 1997 ada ketentuan baru pada pasal 2, yaitu tentang pengaturan hak penyewaan (Rental Right). Penambahan ini karena keikut sertaan Indonesia pada persetujuan TRIPs, dalam TRIPs menyatakan bahwa untuk karya cipta seperti program computer dan karya sinematografi, ditentukan oleh penyewaan yang diberikan kepada pencipta atas penyewaan karya tersebut. Berdasrkan ketentuan ini pemilik hak cipta berhak atas bagian penghasilan dari usaha-usaha penyewaan video, film, dan program computer. 2. Memasukan ketentuan Konvensi Interbasional 3. Penambahan ketentuan mengenai perlindungan terhadap hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta (Nighboring Right) yang meliputi perlindungan terhadap : 54
Hendra Tanu Atmaja, Loc Cit, hal.75
57
- Produsen Rekaman (Producers of Phonogram) - Pelaku (Performer) - Lembaga Penyiaran (Broadcasting Organization) 4. Undang-Undang HAk Cipta No.12 Tahun 1997 mebambah pasal dengan satu pasal baru yaitu pasal 38A tentang pemberian Lisensi dengan maksud sebagaimana diuraikan dalam penjelasan yang berbunyi sebagai berikut : Penambahan pasal baru mengenai Lisensi ini di maksudkan untuk memberikan landasan pengaturan bagi proyek pelesensian yang berlangsung di bidang hak cipta. 5. Undang-Undang HAk Cipta No.12 Tahun 1997, menambah Bab V, yaitu Bab V yang berjudul hak-hak yang berkaitan dengan Hak Cipta dalam satu pasal yakni pasal 43 C. Penambahan ini sebagai tindak lanjut keikut sertaan Indonesia pada persetujuan TRIPs yang diatur dalam pasal 14 tentang perlindungan terhadap pelaku (Performer), produser rekaman suara dan lembaga-lembaga siaran. Selanjutnya, pasal 38 C menyebutkan agar dapat mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, maka perjanjian lisensi wajib didaftarakan pada kantor hak cipta. d. Undang – undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 (UUHC2002). Penyempurnaan UUHC 2002 didasarkan pada berbagai pertimbangan yang pada intinya dimaksudkan lagi untuk lebih memberikan perlindungan kepada para pencipta dan pemegang hak terkait dengan keseimbangan untuk kepentingan masyarakat pada umumnya. Termasu dalam hal ini adalah untuk kepentingan
58
masyarkat pada umumnya. Termasuk dalam hal ini adalah untuk mengakomodasi beberapa ketentuan dalam TRIPs dan WIPO yang belum dempat diakomodasi kedalam UUHC1997. UUHC 2002, dapat dikatakan secara signifikan berbeda dengan UHHC 1997. UUHC 2002 berupaya agar ketentuan –ketentuannya lebih disesuaikan dengan pedoman standar yang digariskan olehTRIPs. Undang-Undang Hak Cipta yang baru ini, disamping penyempurnaan juga terdapat penambahan yang diatur dalam UndangUndang sebelumnya, antara lain; data base merupakansalah satu Ciptaan yang dilindungi (pasal 12 UUHC2002). Penggunaan alat baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optic (optical disk) melalui media audio, media audio visual dan/sarana telekomunikasi (pasal 28 UUHC 2002). Perubahan yang lain diatur dalam UUHC 2002 adalah adanya penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, Arbitrase, atau penyelesaian sengketa alternative (pasal 56 dan 65 UUHC 2002). Penetapan sementara untuk mencegah kerugian lebih besar bagi pemegang hak cipta datur dalam pasal 67 UUHC 2002, sedangkan dalam pasal 59 dan pasal UUHC 2002, mengatur tentang batas waktu proses perkara perdata dibidang hak cipta dan hak terkait, baik Pengadilan Niaga maupun Makamah Agung. Pasal 25 dan pasal 27 UUHC 2002 mengatur tentang, mencantumkan hak informasi manajemen elektronik dan sarana control teknolog, sedangkan dalam pasal 72 UUHC 2002, mengatur tentang ancaman pidana dan denda minimal, ancaman pidana terhadap perbanyakan pengunaan program computer untuk kepentingan
59
komersiil secara tidak sah dan melawan hukum, dan pasal 73 UUHC 2002 mengatur tentang alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana hak cipta di rambil oleh Negara untuk dimusnahkan. Dimulai dari Bab I, tentang ketentuan umum, banyak terminology hak cipta yang baru disisipkan kedalamnya, seperti pasal 1 yang sebelumnya tidak ada, hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan ketentuan standar yang ditetapkan TRIPs. Terminologi dan pengertian yang dimasukan ke dalam UUHC 2002, antara lain Hak Cipta, pengumuman, perbanyakan, Hak Terkait, Permohonan, Lisensi dan Kuasa. Bab II, lingkup Hak Cipta yang sama sekali baru dan tidak terdapat dalam UUHC sebelumnya adalah pasal 4 ayat (2) UUHC 2002, memuat tentang : hak cipta yang tidak atau belum diumumkan setelah penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya ataumilik penerima wasiat, dan hak tersebut tidak dapat disita, kecuali hak itu diperoleh secara melawan hukum, sedangkan dalam pasal 10 ayat (3), menyatakan untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2) orang bukan Negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapt ijin dari istansi yang terkait dalam masalah tersebut, dalam pasal 11 ayat (3) : menyatakan, jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya dan/atau penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. 55
55
Hendra Tanu Atmaja, Op Cit, hal. 89-90.
60
2.2.2
Konvensi – Konvensi Internasional Hak Cipta
a. Konvensi Berne ( Berne Convention ) Mengenai perlindungan hukum HAk Cipta sesuai dengan ketentuan internasional, ada beberapa konvensi yang mengatur tentang Hak Cipta. Setelah diadakannya Konvensi Paris ( Paris Convention) pada tahun 1883 di Paris, yang mengatur tentang HKI secara umum, maka pada tahun 1886 dibentuk sebuah konvensi di bidang hak cipta yang dikenal dengan International Convention for the Protection of Literary and Artistic Works ( sering disingkat dengan ( Berne Convention) yang ditanda tangani di Berne56. Berne Convention adalah Konvensi multilateral terpenting dalam Hak Cipta. Indonesia pernah menjadi anggota Konvensi Bernepada tahun 1959, namun kemudian keluar dan kembali menjadi anggota melalui Keppres No. 8 Tahun 1997. dengan kembalinya Indonesia menjadi anggota Konvensi Berne, berarti sejak tahun 1997 Indonesia wajib mentaati ketentuan-ketentuan Berne Konvention. Konvensi Berne berpegang pada tiga prinsip dasar yaitu :
56
hal.27.
1.
Perlakuan Nasional ( Nasional Treatment )
2.
Perlindungan Otomatis ( Automatic Protection )
3.
Kebebasan Perlindungan ( Independentce of Protection )
Afrilliayana Purba dkk, 2005, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia, Rineca Cipta, Jakarta,
61
b. Universal Copyright Convention ( UCC) Universal Copyright Convention ( UCC) adalah suatu konvensi hak cipta yang lahir karena adanya gagasan dari peserta Konvensi Berne di antara Amerika Serikat yang disponsori oleh PBB khususnya UNESCO, yaitu untuk menyatukan suatu system hukum hak cipta secara universal. UCC ini dicetuskan dan ditandatangani di Jenewa pada bulan September 1952, dan telah mengalami revisi di Paris pada tahun 1971. Standar perlindungan yang ditawarkan UCC lebih rendah dan lebih fleksibel dari pada yang ditentukan oleh Berne Convention. Menurut article 2 UCC perlindungan hak cipta menganut prinsip Nasional Treatment. Konvensi Berne menganut system system perlindungan secara otomatis, sebaliknya UCC mensyaratkan ketentuan formal untuk adanya perlindungan hukum dibidang hak cipta. Ketentuan yang monumental dari konvensi universal adalah adanya ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap karya yang ingin dilindungi harus mencantumkan tanda C (dalam lingkaran), disertai nama penciptanya, dan tahun karya tersebut mulai dipublikasikan. Simbul tersebut menunjukkan bahwa karya tersebut telah di lindungi dengan hak cipta Negara asalnya, dan telah di daftar di bawah perlindungan hak cipta. c. Konvensi Roma ( Roma Convention 1961 ) Berlakunya Konvensi Roma 1961 terhadap Negara-Negara anggota persetujuan TRIPs, adalah karena di tunjukkan oleh persetujuan TRIP situ sendiri. Konvensi
Roma
berisikan
pengaturan
tentang
perlindungan
bagi
pelaku
pertunjukkan, produsen, rekaman suara dan organisasi penyiaran. Konvensi Roma
62
yang dirujuk pada TRIPs tidaklah merupakan keseluruhan dari ketentuan Konvensi tersebut. Pasal-pasal yang dirujuk pada TRPIs Agreement antara lain : Pasal 1,2,3,4,5,610,12,13,14,15 dan 19.57 d. The Agreement on Trade Relected Aspect of International Property Right ( TRIPs). Berkaitan dengan perlindungan HKI di Negara-negara berkembang muncul suatu isu baru dalam system perdagangan internasional. HKI sebagai isu baru dibawah topic The Agreement on Trade Relected Aspect of International Property Right (TRIPs) atau aspek perdagangan hak kekayaan intelektual (HKI). Perjanjian tersebut merupakan suatu yang komplek, komprehensif dan ekstensif58. TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum HKI guna mendorong timbulnya inovasi, pengalihan serta penyebaran teknologi, diperolehnya manfaat bersama pembuat dan pemakaian pengetahuan teknologi dengan cara menciptakan kesejahteraan social, ekonomi, serta keseimbangan anatara hak dan kewajiban. Berkaitan dengan kebutuhan Nergara untuk melindungi
HKI-nya
makakehadiran TRIPs akan menjadi suatu acuan dalam pembentukan UndangUndang nasional di bidang HKI bagi setiap Negara termasuk Indonesia.59 Ketentuan mengenai hak cipta dan hak-hak yang terkait dengan hak cipta, diatur dalam BAB II bagian pertama pasal 9 – 14 TRIPs, dan perlindungan hak cipta
57
Muhamad Djumhana, R Djubaidah, Op Cit, hal. 43 Ok. Saidin, Op Cit, hal.123 59 Eddy Damian dkk, 2002, Hak Kekayaan Intelektual suatu Pengantar, Asian Law Goup Pty Ltdm Alumni, Bandung, hal.36. 58
63
pada TRIPs mengacu pada Konvensi Berne, sebagai suatu konvensi yang khusus memberi perlindungan pada karya seni dan sastra. 60
2.2
Subyek dan Objek Hak Cipta
2.2.1
Subyek Hak Cipta Sebagai subyek hak cipta, adalah perorangan dan badan hukum.termasuk
subyek hak cipta adalah pencipta dan pemegang hak cipta. Menurut Volmar, setiap mahluk hidup mempunyai kewenangan atau hak, yaitu kewenangan untuk memberikan hak-hak dan setiap hak tentu ada subyek haknya sebagai pendukung hak tersebut.61 Setiap ada hak tentu ada kewajiban, sebagai pendukung hak dan kewajiban disebut dengan subyek hukum yang terdiri atas, manusia (natuurlijk person) dan badan hukum (rechtperson).62 Berkaitan dengan subyek hukum, maka yang menjadi subyek hak cipta,adalah manusia dan badan hukum. Pasal 1 angka 1 UUHC2002 menyatakan bahwa, pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan suatu kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan dan keahlian dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Pasal 1 angka 2 UUHC 2002 menyatakan bahwa pencipta adalah, seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama melahirkan suatu ciptaan dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. 60
Eddy Damian dkk, Loc Cit, hal. 102 OK. Saidin, Op Cit, hal.70. 62 Mahadi, 1981, Hak Milik Dalam Sistim Hukum Perdata Nasional, BPHN, Jakarta, hal.63. 61
64
Berdasarkan bunyi pasal 1 angka 1 UUHC 2002, menurut Rachmadi Usman, bahwa sudah jelas pencipta juga dapat menjadi pemegang hak cipta. Namun tidak semua pemegang hak cipta adalah pencipta.63 Pengertian pemegang hak cipta dapat dilihat dalam pasal 1 angka 4 UUHC 2002, yang menyatakan bahwa, Pemegang hak cipta adalah, Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. Dengan demikian, Pencipta hak cipta secara otomatis menjadi pemegang hak cipta, yang merupakan pemilik hak cipta, sedangkan yang menjadi pemegang hak cipta harus dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut dari Pencipta atau pemegan hak cipta yang bersangkutan.\ UUHC 2002 membedakan penggolongan Pencipta Hak Cipta dalam beberapa kwalifikasi sebagai berikut : 1. Seseorang, yakni: a. Orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum Ciptaan pada direktorat Jendral HKI, b. Rang yang namanya tersebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan, c. Seseorang yang beceramah tidak menggunakan bahan atau secara tidak tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya.
63
Rachmdi Usman Op Cit, hal.114
65
d. Seseorang yang membuat ciptaan dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaanya atau hubungan dinas berdasarkan pesanan atau hubungan kerja atau berdasarkan atau pesanan.64 Sesuai dengan pasal 5 UUHC 2002 menyatakan : 1. Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah : a. Orang namanya tercantum dalam daftar umum ciptaan pada Direktorat Jendral atau: b. Orang yang namanya tersebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu ciptaan. 2. Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya, maka orang yang beceramah dianggap sebagai pencipta ceramahnya. Pasal 8 UUHC 2002 menyatakan : 1. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang hak cipta adalah, pihak yang untuk dan dalam dinasnya, ciptaannya itu dikerjaan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan ciptaan diperluas sampai keluar hubungan dinas. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas 64
Ibid. hal 115
66
3. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai pencipta atau pemegang hak cipta kecuali apa diperjanjikan lain antara kedua belah pihak.
2. Dua orang atau lebih Jika suatu ciptaan oleh beberapa orang, maka yang dianggap sebagai Penciptanya : a. Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan yang bersangkutan atau penghimpunnya: b. Perancang ciptaan yang bersangkutan Pernyataan diatas sesuai dengan ketentuan pasal 6 dan 7 UHHC 2002. Secara lengkap Pasal 6 UUHC 2002 menyatkan bahwa jika suatu ciptaan terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang menghimpunnya, dengan tidak mengurangihak cipta masing-masing baagian ciptaannya. Pasal 7 UUHC 2002 menyatakan bahwa, jika suatu ciptaan dirancang seseorang, diwijudkan dan dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, penciptanya adalah orang yang merancang ciptaan itu.
67
3. Lembaga atau Instansi Pemerintah Pasal 8 UUHC 2002 menyatakan, 1. Jika suatu ciptaan dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaanya, pemegang hak cipta adalah, pihak yang untuk dan dalam dinasnya, ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua belah pihak dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan ciptaan itu diperluas sampai keluar hubungan dinas. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas. 3. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai pencipta atau pemegang hak cipta, kecuali diperjanjikan lan antara kedua belah pihak. 4. Badan Hukum Pasal 9 UUHC 2002 menyatakan ; jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa ciptaan berasal dari padanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum tersebut dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika dibuktikan sebaliknya. Berkaitan dengan subyek hak cipta, berdasarkan ketentuan pasal-pasal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dapat sebagai subyek hak cipta adalah
68
Pencipta dan Pemegang Hak Cipta. Menurut Rachmadi Usman ada tiga cara untuk menentukan Pencipta atas ciptaan, yaitu : 1. Cara Pertama: UUHC merumuskan secara tegas siapa saja yang dapat dikatakan sebagai pencipta yaitu : a. Orang yang namanya terdaftar sebagai pencipta b. Orang yang namanya disebut dalam ciptaan c. Orang yang namanya dumumkan sebagai Pencipta d. Penceramah e. Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan yan terdiri atas beberapa bagian tersendiri f. Penghipunan seluruh ciptaan yang terdiri atas beberapa bagian ciptaan g. Perancang atau pencipta h. Lembaga instansi dari pembuat atau pembuat suatu ciptaan dalam lingkungan pekerjaannya atau hubungan dinas berdasarkan pesanan i. Badan hukum yang mengumumkan suatu ciptaan yang berasal darinya. 2. Cara kedua adalah : UUHC 2002 secara tidak tegas juga merumuskan siapa yang menjadi Pencipta, dalam hal ini yang bersangkutan dianggap sebagai Pencitpa, kecuali pihak lain dapat membuktikan sebaliknya bahwa yang bersangkutan tidak terbukti sebaliknya, seseorang tetap dianggap sebagai pencipta dari suatu ciptaan yaitu : a. seseorang yang namanya terdaftar sebagai penciptanya b. seseorang yang namanya yag disebut delam ciptaan
69
c. penceramah d. badan hukum yang mengumumkan suatu ciptaan yang berasal darinya. Sedangkan cara yang ketiga: UHHC menyerahkan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan bersama untuk menentukan siapa yang menjadi pencipta dan pemegang hak ciptanya. Sebagai pemegang hak cipta atas ciptaan dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra bukan saja penciptanya sendir, baik sendiri-sendiri, maupun bersama-sama, lembaga atau instansi dan badan hukum, melainkan juga Negara, yakni tidak diketahui siapa penciptanya, sehingga akan mengakibatkan kesulitan dalam menentukan kepada siapa perlindungan hukum hak cipta harus diberikan (pasal 10 UUHC 2002).65
2.3.2
Obyek Hak Cipta Menurut Prof. Mahadi, setiap ada subyek pasti ada obyek, kedua-duanya
tidak lepas satu sama lain, melainkan ada relasi (hubungan) antara satu sama lainnya, selanjutnya disebut dengan hubungan eigendom atau hak milik.66 Selanjutnya menurut Pitlo, disatu pihak ada seseorang (kumpulan orang/ badan hukum) yakni subyek hak, dan pada pihak lain ada benda yaitu obyek hak, dengan kata lain kalau ada sesuatu hak maka harus ada benda sebagai obyek hak, tempat hal itu melekat.67
65
Rachmadi Usman , Op Cit, hal. 118 Mahadi, Op Cit, hal. 64. 67 OK.Sidin, Op Cit, hal 70. 66
70
Jika dikaitakan dengan obyek dari hak cipta, adalah hasil karya cipta itu sendiri. Ekspresi dari sebuah ide, bukan melindungi idenya, artinya yang dilindungi hak cipta adalah sudah dalam bentuk nyata sebagai suatu ciptaan, bukan masih merupakan gagasan.68 Pasal 1 angka 3 UUHC 2002, menyatakan bahwa, Ciptaan adalah hasil karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dari bunyi pasal 1 angka 3 UUHC 2002 ini menjelaskan bahwa Ciptaan atau karya cipta yang mendapat perlindungan hak cipta atau sebagai obyek dari hak cipta adalah 1. ciptaan yang merupakan hasil proses penciptaan atas inspirasi, gagasan atau ide berdasarkan kreatifitas pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian pencipta; 2. dalam penuangannya harus memliki bentuk yang khas dan menunujukkan keaslian (orginal) ciptaan seseorang yang bersifat pribadi, dalam bentuk yang khas, artinya karya tersebut harus telah selesai diwujudkan, sehinga dapat dilihat, didengar atau dibaca.69 Berdasarkan penjelasan diatas maka terdapat dua persyaratan pokok untuk mendapatkan perlindungan hak cipta yaitu unsure keaslian dan kreatifitas dari suatu karya cipta. Bahwa hasil dari suatu karya cipta adalah hasil dari kreatifitas
68 69
Muhamad Djumhana dan R. Djubaidilah, Op Cit, hal. 56 Rahmadi Usman, Op Cit, hal. 121
71
penciptanya itu sendiri dan bukan tiruan.berdasarkan pasal 12 UUHC 2002, ruang lingkup ciptaan yang dilindungi : 1. Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup : a. Buku, program computer, pamphlet, perwajahan), ( lay Out), karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan karya cipta lain yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidkan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu atau music dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime f. Seni rupa dalam segala bentuk, seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat,seni patung, kolase, seni terapan; g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi; l. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. 2. Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf I dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan asli.
72
3. Perlindungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum dirumuskan tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbnanyakan hasil karya itu. Berkaitan dengan obyek hak cipta yang mendapat perlindungan Undangundang Hak Cipta di Indonesia, dikaitkan dengan dengan obyek Hak Cipta yang mendapat perlindungan di Negara Jepang, terdapat pada Chapter II Right of Outhors, Section (i) Works (Clasification of Works). Article 10 i. As used in this law “works” shall include, in particular the following; ii. Musical; iii. Choreographic works and pantomimes; iv. Painting, sculptures and orther bartistic works; v. Architectural works; vi. Maps as well as figurative works of all a scientific nature such as plans, charts, and models; vii. Cinematographyc works; viii. Photographyc works; ix. Program works.70
70
Yukifusa Oyama at al (Transliter), 1999, Copyright Law of Japan, Copyright And Informations Center Tokyo Japan, hal. 24
73
2.4
Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta. Sejarah perkembangan hak cipta di Indonesia sama seperti di luar Negeri,
yakni dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun landasan berpijaknya tetap dilandasi filosofis dan budaya hukum. Demikian juga halnya pada jangka waktu perlindungan hak cipta, akan mengacu pada sejarah perkembangan ketentaun hak cipta secara internasional. Sesuai dengan ketentua Auteurswet 1912 hak cipta hanya dibatasi jangka waktu perlindungannya sampai 50 tahun, tetapi dalam UUHC 1982 jangka perlindungan hak cipta adalah 25 tahun, kemudain UUHC 1987 dan UUHC 1997 jangka perlindungan hak cipta adalah kembali menjadi seumur hidup dan ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, karena mengikuti ketentuan Berne Convention.71 Suatu ciptaan yang memenuhi persyaratan perlindungan hak cipta sesuai dengan standart of copy right ability secara otomatis akan dilindungi selama jangka waktu tertentu. Berne Convention ( Article 7 (1) menetapakan, “ The term of protection granted by this convention shall be tehe life of the author and fifty years after death “. Jangka waktu 50 tahun dihitung dari suatu peristiwa timbulanya hak cipta adalah jangka waktu yang wajar, meskipun ada pengecualian bagi materi siaran (Article 14 (5) Berne Convention. Penentuan jangka waktu perlindungan terkait dengan pembenaran secara historis, untuk memenuhi moril dan materiil dari Pencipta dan ahli warisnya, termasuk pertimbangan bagi ahli waris dari pencipta yang terlama 71
H.OK. Saidin, Op Cit, hal. 106
74
hidupnya, agar pencipta dan ahli warisnya menikmati manfaat ekonomi hak cipta sampai dua generasi.72 Sesuai dengan jangka waktu perlindungan yang ditentukan oleh Konvensi Berne, Inodonesia melalui ketentan UUHC 2002, bahwa jangka waktu perlindungan berlangsung selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah Pencipta meninggal dunia untuk ciptaan sebagai berikut : a. Buku, program computer, pamphlet, perwajahan), ( lay Out), karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; b. Ceramah, kuliah, pidato, dan karya cipta lain yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidkan dan ilmu pengetahuan; d. Lagu atau music dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime f. Seni rupa dalam segala bentuk, seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat,seni patung, kolase, seni terapan; g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi;
72
Rahmi Jened, Op Cit, hal. 100
75
l. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Ciptaan yang sama dimilki oleh dua orang atau lebih, berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 tahun sesudahnya ( pasal 30 UUHC 2002 ). Hak Cipta atas ciptaan yang diumumkan bagian demi bagian dihitung mulai tanggal pengumuman bagian yang terakhir yang terdiri atas dua jilid atau lebih, demikian pula ikthisar dan berita yang diumumkan secara berskala dan tidak bersamaan waktunya, dan berita yang diumumkan secara berkala dan tidak bersamaan waktunya, setiap jilid atau iktisar dan berita itu masing-masing dianggap sebagai ciptaan tersendiri ( pasal 32 UUHC 2002). Terhadap karya cipta derivative ( Pasal 31 UUHC 2002) yakni, ciptaan : a. Program Komputer; b. Sinematografi; c. Fotografi; d. Data ; dan e. Ciptaan hasil pengalihwujudan sinematografi, Berlaku 50 tahun sejak pertama diterbitkan atau diumumkan. Hak cipta atas ciptaan yang dipegang dan dilaksanakan oleh Negara untuk ciptaan peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasioanal, folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama berlaku tanpa batas waktu (pasal 31 ayat (1) huruf a. UUHC 2002), ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu tidak diterbitkan berlaku 50 tahun sejak ciptaan itu pertama kali
76
diketahui oleh umum (Pasal 31 ayat (1) huruf b. UUHC 2002), ciptaan yang tidak diketahui penciptanya atau hanya nama samara dilaksanakan oleh penerbit dan dilindingi selama 50 tahun sejak pertama kali ciptaan itu diterbitkan. (pasal 31 ayat 2 UUHC 2002). Ciptaan yang diumumkan bagian demi bagian dihitung mulai tanggal pengumuman bagian yang terkahir. Hak cipta atas ciptaan yang berseri atau berjilid atau ikhtisar yang diumumkan secara berkala dan tidak bersamaan waktunya, masingmasing dianggap sebagai ciptaan tersendiri (pasal 33 UUHC 2002). Jangka waktu perlindungan hak moral berlangsung tanpa batas waktu (pasal 33 huruf b UUHC 2002), dalam hal ini termasuk perlindungan atas pencantuman dan perubahan nama atau nama samara Pencipta tanpa batas waktu. Menurut Rahmi Jened, perbedaan jangka waktu perlindungan merupakan masalah yang sangat penting dan krusial, lebih-lebih jika dihadapkan kasus hak cipta. Hak cipta yang bersifat kintas Negara, misalnya di Jerman perlidungan hak cipta berlangsung seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun, sedangkan di Indonesia berlangsung seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun. Jika diterpakan prinsip national treatment, maka Jerman harus melindungi ciptaan Indonesia di Jerman dalam jangka waktu yang sama dengan ciptaan warga negaranya yaitu seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah meninggal dunia, sedangkan apabila diterapkan reciprocal treatment, maka atas
ciptaan yang sama dari pencipta Indonesia yang
77
ada di Jerman akan dilindungi dalam jangka waktu seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah meninggal dunia sebagai jangka waktu yang diberikan Indonesia.73 Hak cipta yang mengenal paham dualisme yaitu hak moral dan hak ekonomi, dimana perlindungan terhadap hak moral dari hak cipta tidak mengenal batas waktu (pasal 33 UUHC 2002 ), sedangkan yang mengenal batas waktu perlindungan adalah hak ekonomi dari hak ciptt tersebut. Setelah jangka waktu perlindungan terlampaui, maka ciptaan-ciptaan tersebut akan menjadi public domain, artinya ciptaan-ciptaan tersebut bebas digunakan oleh orang lain, tanpa ada pembayaran royalty bagi pemegang hak cipta, namun tetap mengingat dan menjungjung tinggi kepentingan pribadi Pencipta atas ciptaannya.
2.5.
Pengalihan dan Lisensi Karya Cipta
2.5.1
Pengalihan Karya Cipta Hak cipta adalah sebagai perkembangan Hukum Perdata ( dalam konsepsi
kebendaan), walaupun sesungguhnya Hak Cipta merupakan obyek yang tidak berwujud (tangible), maka hak cipta dapat dimiliki sebagaimana layaknya hak kebendaan. Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak, oleh karena itu maka Hak Cipta dapat dialihkan oleh pemiliknya atau pemegang Hak Cipta.74 Copyrights are freely transferable, just like all other types of personal property. They can be transfered out right, in transaction usually denominated as an 73
Rahmi Jened, Op Cit, hal. 102. Suyud Margono , 2003, Hukum & Perlindungan Hak Cipta, CV. Nivindo Pustaka Mandiri, Jakarta. Hal.70 74
78
assignment, or the owner can merely give another party the right to exercise certain rights of copy right ownership by granting either an exclusive or non exclusive license.75 Sesuai pasal 3 ayat (2) UUHC 2002, Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik keseluruhan maupun sebagaian melalui : a. Pewarisan adalah pemberian harta peninggalan kepada ahli waris oleh pewaris. Sedangkan pengertian pewarisan menurut pasal 830 KUHPerdata menjelaskan pengertian pewarisan adalah pewarisan berlangsung karena kematian Pasal 832 KUHPerdata, menurut Udang-undang yang berhak menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dari si suami atau istri yang hidup terlama. Bila mana keluarga sedarah yang hidup terlama diantara suami atau istri tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal menjadi milik Negara, yang mana wajib akan melunasi segala hutang hanya harta peninggalan untuk itu. b. Hibah, adalah pemindahan hak dari seseorang kepada orang lain pada saat si pemberi hibah masih hidup76. Pasal 1666 KUHPerdata menjelaskan adalah suatu perjanjian dimana si penghibah diwaktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
75
Roger E. Schecter and Jhon R. Thomas, 2003, Intellectual Property The Law Of Copy Right, Patents, And Trademarks, Hoornbook Series, West Group, hal 104 76 Yulianus, 1980, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, hal. 93.
79
c. Wasiat, adalah pesan terakhir seseorang sebelum meninggal dunia dan pesan itu harus dilakukan oleh anggota keluarganya. Menurut Pasal 875 KUHPerdata, Wasiat atau Testament adalah suatu akte yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki nya akan terjadi setelah dia meninggal dunia dan yang olehnya akan dapat dicabut kembali. Berkaitan dengan beralihnya hak cipta, menurut penjelasan pasal 3 ayat (2) UUHC 2002, beralih atau dialihkannya Hak Cipta tidak dapat dilakukan secara lisan, tetapi harus dilakukan secara tertulis baik dengan maupun tanpa akte notiil. Terhadap hak cipta yang mengacu pada pasal 26 UUHC 2002 1. Hak cipta suatu ciptaan tetap berada di tangan Pencipta selama kepada pembeli ciptaan itu tidak diserahkan seluruh Hak Cipta dari Pencipta itu sendiri. 2. Hak cipta yang dijual untuk seluruhnya atau sebagian tidak dapat dijual untuk kedua kalinya oelh penjual yang sama. 3. Dalam hal timbul sengketa antara beberapa pembeli Hak Cipta yang sama atas suatu ciptaan, perlindungan diberikan kepada pembeli yang terlebih dahulu membeli Hak Cipta itu. Sesuai dengan pasal 26 UUHC 2002, hal ini berarti bahwa pembelian hasil ciptaan tidak berarti Hak Cipta dari ciptaan tersebut berpindah kepada pembeli, akan tetapi Hak Cipta atas suatu Ciptaan tersebut ada di tangan Penciptanya. Bagaimanapun juga suatu karya cipta melekat dengan Penciptanya, karena dalam pengaturan Hak Cipta si Pencipta memiliki hak moral dan hak ekonomi. Beralihnya
80
Hak Cipta dari Pencipta ke Penerima Hak Cipta adalah hak ekonominya, sedangkan hak moral masih tetap melekat pada si Pencipta.77 Berkaitan dengan kepemilikan terhadap suatu benda, termasuk dalam hal ini Hak Cipta, memiliki sisi hukum yang lebih pasti dan jelas. Kepemilikan juga menunjukkan hubungan antara seseorang dengan obyek yang menjadi sasaran kepemilikan itu. Cirri-ciri kepemilikan tersebut antara lain : a. Pemilik berhak untuk memiliki bendanya, ia mungkin tidak memegang atau menguasai benda itu, mungkin direbut, dicuri, atau disewakan pada orang lain, namun hak atas benda tetap ada pada pemilik hak semula. b. Pemilik biasa berhak untuk menggunakan dan menikmati benda yang dimilikinya yang pada dasarnyamerupakan kemerdekaan bagi pemilik untuk berbuat terhadap bendanya. c. Pemilik berhak untuk menghabiskan, merusak atau mengalihkan bendanya, termasuk dalam hal ini adalah Hak Cipta.78 Hak Cipta menurut asas Droit de Suit adalah hak yang tidak bisa dicabut dan diberikan oleh Undang-undang kepada Pencitpta atau ahli warisnya atau instansi lain yang dijamin oleh Undang-undang, setelah meninggalnya pencipta, ahli waris diberikan hak untuk menuntut bagian hasil dari penjualan ulang dari copy asli ciptaan seni dalam jangka waktu perlindungan hak cipta, hal ini dapat pula diperluas terhadap penjualan umum atas naskah asli, dan pencipta berhak pula mengontrol ciptaannya
77 78
Suyud Margono, Op Cit, hal. 72. Sujipto Raharjdjo, 1996, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya, Bakti, Bandung, hal. 65
81
dan berhak juga melarang orang lain mengubah ciptaannya ke dalam bentuk apapun yang dapat berakibat buruk pada reputasi seninya.79
2.5.2. Lisensi Karya Cipta Secara umum pengertian Lisensi menurut Black,s Law Dictionary, Lesensi diartikan sebagai a permission use revocable, to commit some act that would otherwise be unlawful, esp, an agreement ( not a mounting to the lease or profit a prende) that is lawful for leceense to enter the lesencor,s land to do some act that would otherwise be illegal, sich as hunting game.80 Berdasarkan pengertian seperti tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa Lisensi selalu dikaitkan dengan kewenangan dalam privilege untuk melakukan sesuatu oleh seseorang atau pihak tertentu. Pengertian dari lisensi secara umum ini pada awalny selalu dikaitkan dengan penggunaan tanah atas izin yang diberikan oleh otoritas atau pihak berwenang, dalam hal ini adalah pejabat atau pihak yang terkait.81 Melalui lisensi, pengusaha memberikan izin kepada suatu pihak untuk membuat produk yang akan dijual tersebut. Izin utnuk membuat produk tersebutbukan diberikan dengan Cuma-Cuma, sebagai imbalan dari pembuatan produk dan biasanya juga meliputi izin penjualan produk yang dihasilkan tersebut,
79
Rooseno Harjowidigdo, 2005, Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik Dalam Pembuatan Rekaman, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, hal. 7 80 Bryan A. Garner, Editor in Chief, 2001, Black,s Law Dictionary, Thomson West, hal. 418 81 Gunawan Widjaya, 2004, Black,s Law Dictionary atau Waralaba, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal .9.
82
pengusaha yang memberkan izin memperoleh pembayaran yang disebut sebagai royalty.82 Selanjutnya dalam Black,s Law Dictionary menyatakan, Lisensing, the sale of lecence the use of patent, trademarks, Copy Right or technology to another firm. Berdasarkan pengertian Lisensi diatas, gunawan Widjaya berpendapat bahwa makna lisensi secara tidak langsung sudah bergeser ke arah “ Penjualan”. Izin untuk mempergunakan paten, hak merek, Hak Cipta, kepada pihak lain, sehingga dala hal ini lisensi yang merupakan hak privilege yang bersifat komersial, dalam arti, memberikan hak dan kewenangan untuk memanfaatkan paten, Hak Atas merek, Hak Cipta, dan lain-lain yang dilindungi secara ekonomi.83 Berkaitan dengan Hak Cipta, pengertian Lisensi diatur dalam pasal 1 (14) UUHC 2002 menjelaskan bahwa, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Pengaturan lisensi pada UUHC 2002, diatur secara lengkap dalam pasal 45 sampai pasal 47. 1. Pasal 45 UUHC 2002, menyatakan bahwa pemegang Hak Cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lesensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.
82 83
Gunawan Widjaya I, Op Cit, hal. 4 Gunawan Widjaya, Lisensi, Seri Hukum Bisnis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8
83
2. Kecuali deiperjanjikan lain, lingkup lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 berlangsung selama jangka waktu lesensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. 3. Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pemberian royalty kepada pemegang lisensi oleh penerima lisensi. 4. Jumlah royalty yang wajib dibayarkan kepada pemegang Hak Cipta oleh penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi. Pasal 46 menyatakan, kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2. Pasal 47 menyatakan : 1. Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadapa pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatat di Direktorat Jendral HKI. 3. Direktorat Jendral HKI wajib menolak pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1).
84
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian lisensi diatur dengan Keputusan Presiden. Berkaitan dengan pasal-pasal diatas, pada prinsipnya bahwa lisensi haruslah dilakukan melalui suatu perjanjian. Perjanjian lisensi mengacu pada pengaturan perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat sahnya suatu perjanjian secara umum. Sesuai dengan KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian secara umum hendaknya memnuhi unsur-unsur : - Adanya Kesepakatan - Adanya Pihak-Pihak - Adanya obyek tertentu - Adanya sebab tertentu
Secara umum lisensi dapat dibedakan menjadi lisensi eksklusif dan lisensi non eksklusif. - Lisensi Ekslusif adalah, pihak pemberi lisensi hanya memberikan lisensinya pada satu penerimaan lisensi, dan tidak boleh lagi membrikan lisensi pada pihak lain, sedangkan lisensi non eksklusif adalah pemberi lisensi dapat melisensikan hasil karyanya pada lebih dari satu penerima lisensi .84
84
Suyud Margono dan Longginus Hadi, 2002, Pembaharuan Perlidungan Hukum Merek, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, hal. 74.
85
- Lisensi dalam Hak Cipta, juga mengenal lisensi Eksklusif dan Non Eksklusif Secara eksklusif, Si Pencipta atau pemegang Hak Cipta hanya dapat melisensikan ciptaannya kepada penerima lisensi sekali saja, sedangkan lisensi nen eksklusif, Si Pencipta dapat melisensikan ciptaanya lebih dari satu kali kepada pihak lain. Secara tersirat lisensi eksklusif Hak Cipta dapat dilihat dalam pasal 46 UUHC 2002, yang menyatakan kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta dapat boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi pada pihak ketiga. Mengacu pada pasal 46 UUHC 2002 ini, dapat diartikan bahwa jika diperjanjikan lain, maka lisensi eksklusif juga dapat dilaksanakan.
2.6 Pengertian tentang Seni Karawitan dan Jenis-Jenis Seni Karawitan 2.6.1
Pengertian Seni Karawitan Sebagaimana ketentuan Pasal 12 UUHC 2002, secara tegas menentukan
bahwa satu obyek Hak Cipta yang mendapatkan perlindungan adalah seni musik (seni karawitan). Untuk membatasi apa yng disebut dengan seni karawitan, maka lahirlah bermacam definisi seni karawitan. Berkaitan dengan pengertian seni karawitan yang terdiri dari kata seni dan karawitan.
86
Aristoteles beranggapan karya seni adalah karya nyata yang dapat diserap secara sensoris (inderawi).85. Sementara itu, Raymond Piper memberikan definisi bahwa karya seni adalah sebuah bentuk tampak tersendiri yang dibentuk secara mahir dalam bahan yang cocok oleh suatu probadi kreatif untuk memberikan suatu pengungakapan atau perwujudan yang serasi mungkin dan dapat berdiri sendiri bagi suatu gagasan, khayalan, atatu keinginan yang mengharukan. Sedangkan menurut Moris Weitz memberikan batasan nyata bahwa karya seni merupakan suatu kebulatan organis yang disajikan dalam suatu medium inderawi, kebulatan tersebut tersusun dari unsure-unsur , cirri-ciri ekspresifnya dan hubungan – hubungan yang diperoleh diantara mereka.86 Sudarmadji memberikan pengertian seni adalah, suatu ekspresi, suatu ungkapan, sebagai pernyataan suatu maksud, perasaan atau pikiran dengan suatu medium indra/sense, yang dialami lagi oleh yang mengungkapkan dan bagi orang lain yang dituju. Secara etimologi, seni berasal dari kata sani yang dalam bahasa sansekerta artinya persembahan, pelayanan, atau pemberian. Pendapat lain mengatakan bahwa kata seni berasal dari bahasa Belanda “ Genei” berasal dari kata genius. Orang genius adalah orang yang dari kelahirannya punya keuggulan yang menakjubkan, sehingga
85 86
Soemardjo, Jakob. 2002, Filsafat Seni. Bandung, hal. 274 Gie, The Liang. 1996, Filsafat Seni. Yogyakarta, hal. 15-16
87
seniman mahluk yang memiliki kelebihan dan kehalusan jiwa dalam menikmati dan mencipta melebihi orang awam.87 Cassirer memberikan pemahaman tentang seni yaitu, seni sudah bersifat formatif jauh sebelum menjadi indah, seperti suku-suku primitive membuat rumah, menggambari badan mereka sendiri dengan corak-corak yang ganjil meskipun bentuknya tidak proporsional, namun bagian-bagiannya tampak menyatu dan itu sudah merupakan sautu seni.88 Dalam konteks penelitian ini, istilah karya seni tersebut dimaksudkan sebagai hasil ciptaan berupa gending / tabuh (lagu) kawitan Bali, baik yang berupa tergolong gending instrumental (konser), gending iringan tari, gending iringan pragmentari, gending iringan sendratari, gending iringan gegitaan. Secara umum, music bangsa – bangsa di dunia dapat dikelompokkan menjadi Western Musc dan Non Western Music. Western Music atau music barat adalah seni music yang menggunakan tangga nada diatonic
(tempere scale),
sedangkan Non Western Music atau seni music diluar music barat atau no diatonic. Merujuk pada negeri kita Indonesia music tradisi yang di kenal dengan istilah karawitan sebab tangga nada yang digunakan bukanlah tangga nada diatonic. Istilah karawitan baru diperkenalkan di dunia ilmu pengetahuan (music) kira kira pada tahun 1950, yaitu sejak didirikannya konservatori karawitan Indonesia di Surakarta. Bagi mereka yang awam, istilah karawitan lebih dikenal dengan seni
87
Sudarmaji, Dasar-Dasar Kritik Seni, STSI-ASRI, Yogyakarta, hal.9. Agus Sachari, 2002, Estetika Makna Simbol dan Daya, ITB, Bandung, hal. 15.
88
88
gambelan atau tetabuhan temasuk seni tembang (Vokal) didalamnya. Untuk mempermudah pengertian tersebut, maka seorang ahli music barat mempergunakan istilah musikologi tradisin Indonesia sebagai padanan ilmu karawitan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimakdsud dengan istilah karawitan adalah seni suara tradisi indonesai baik vocal maupun instrumental yang berlaras pelog dan /atau selendro, atau dengan kata lain yang non diatonic (Monografi Daerah Bali, 1985 : 88). Sementara menurut Supanggah istilah karawitan dapat digunakan untuk menyebut atau mewadahi beberapa cabang seni yang memiliki karakter yang halus, kecil, rumit, atau sejenisnya. Pengertian ini didasarkan atas kata dasar yang digunakannya yaitu rawit yang berarti kecil, halus atau rumit. Secara luas pengartian karawitan tersebut melingkupi suatu genre music “baru” , tradisi dan/atau modern yang merujuk pada karakteristik atau nilai budaya ketimuran, menggunakan kebiasaan kerja secara oral atau lisan dengan dilandasi oleh semangat kebersamaan dan/ atau kekeluargaan serta mengutamakan pendekatan dan ungkapan rasa dari pada nalar atau piker. Sedangkan secara sempit pengertian karawitan dipergunakan untuk menyebut suatu jenis suara atau music yang mengandung salah satu atau kedua unsur sebagai berikut : 1. menggunakan alat music gamelan, sebagian atau seluruhnya , baik berlaras selendro atau pelog, atau laras lain sebagian atau semuanya.
89
2. Menggunakan laras (tangga nada) selendro dan /atau pelog, baik instrumental, gambelan atau non gambelan, maupun vocal atau campuran dari keduanya89
Dalam bukunya, Mcphee yang mengutip perkataan V.C Mahillon mengenai cara untuk memproduksi suara/bunyi, gamelan bali dapat dibedakan menjadi empat kategori : 1. Idiophones ; primarily self – sounding and percussive, including gongs, metallophones, cymbals, bels, xylophones, rattles, slit drums, stamping tubes. 2. Membranophones ; drums with a membrane stretched over an opening 3. Aerophones ; now limited to the family of end- blown fluets but formerly including a form of oboe 4. Chordophone ; here consisting of the bowed lute and the tube zither.90
Menurut Aryasa, pengertian karawitan tersebut tidak jauh dengan pengertian “music tradisi daerah indonesia” yang menggunakan laras selendro dan laras pelog. Music tradisi daerah di Indonesia juga mengandung pengertian music tradisi daerah Bali, yang mencakup masalah “ tembang dan tabuh atau music vocal dan music instrumental.91 Yang dimakud dengan music vocal adalah musik yang mengunakan
89
Supanggah, Rahayu. 2002. Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, Jakarta. Hal. 5 Colin McPhee, 1966, Music In Bali, New Haven and London, Yale University, hal. 27 91 Aryasa, I W. M, 1976, Perkembangan Seni Karawitan Bali, Denpasar : Proyek Sasana Budaya Bali, h. 2 90
90
suara manusia sebagai sumber bunyi, artinya dengan suara manusia dapat disusun suatu music yang mencakup persyaratan – persyaratan umum seni suara seperti adanya pola melodi, pola ritme, dan pola garapan. Sedangkan yang dimaksud dengan music instrumental adalah music tradisi yang memprgunakan alat – alat sebagai sumber bunyi, artinya dengan mempergunakan alat – alat dapat disusun suatu music yang didalamnya mengandung adanya unsure – unsure seperti pola melodi, pola ritme, dan pola garapan. Pola melodi merupakan rangkaian nada secara beruntun yang berbeda panjang pendek dan tinggi rendahnya, teratur susunannya dan memiliki irama ( tempo dan isi ). Pola ritme adalah rangakaian beberapa bunyi/ nada yang berbeda panjang pendeknya. Pola garapan adalah merupakan bentuk pernyataan music yang mencerminkan adanyasistem laras, hokum tata nada, norma – norma keindahan / estetik, peraturan – peraturan mengenai komposisi, orkestrasi, teori dan profesionalisme.92. Menurut Sinti, Seni karawitan ialah seni yang membicarakan prihal keberadaan seni suara tradisionil baik vocal maupun instrumental, yang berlaraskan slendro, pelog, ataupun yang lainnya yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara (Indonesia). Pengertian Karawitan adalah music tradisional yang didalamnya dapat berbagai unsur yang terkait dengan budaya dan masyarakat. Bentuk seni karawitan Bali secara umum terdiri dari seni suara vocal dan instrumental. 92
Aryasa, I W. M, 1983, Pengetahuan Karawitan Bali, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, hal. 1
91
1. Seni suara vocal yaitu seni suara yang diwujudkan melalui suara manusia, yang dikelompokkan atas 4 golongan, yaitu: sekar rare (lagu rakyat). sekar alit/macapat. sekar madya/kidung, dan sekar ageng, dimana setiap kelompok memiliki bentuknya masing-masing. 2. Seni suara instrumental yaitu seni suara yang diwujudkan melalui alat (gamelan) yang banyak macam dan jenisnya, yaitu lebih dari 30 barungan besar dan kecil, dimana setiap barungan memiliki bentuk lagunya maingmasing. Keberadaan gamelan masyarakat Bali mempunyai fungsi dan peranan yang sangat strategis dalam berbagai
aktivitas budaya, social,
kemasyarakatan (Wawancara 1 Januari 2010). Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan istilah karawitan adalah seni music instrumental tradisional daerah Bali ( Gamelan diantaranya adalah Gong Kebyar, Semar Pagulingan, Pelegongan, Baleganjur, Manikasanti, dan Siwa Nada).
2.6.2 Fungsi Seni Karawitan Keberadaan gamelan masyarakat Bali mempunyai fungsi dan peranan yang sangat strategis dalam berbagai
aktivitas budaya, social, kemasyarakatan. Sinti
mengatakan Gamelan dapat berfungsi sebagai bagian dari upacara adat (wali), sebagai sarana pendukung berbagai bentuk upacara adat (bebali), dan sebagai sarana hiburan ( balih - balihan) bagi masyarakat. Secara umum seni pertunjukkan dapat di bedakan menjadi dua antara lain : 1. Seni sakral : seni yang ada kaitannya dengan pelaksanaan upacara yadnya.
92
2. Seni Provan (sekuler ) : seni yang dipertunjukkan untuk hiburan . ( Wawancara 15 Desember 2009).
Menurut Alan P. Merriem dalam bukunya berjudul The Antrophology of Music (1964), mendifinisikan tentang fungsi music sebagai seni pertunjukan yaitu : 1.
fungsi mengungkapkan emosional
2.
fungsi penghayatan estetis
3.
fungsi hiburan
4.
fungsi komunikasi
5.
fungsi pengesahan lembaga social atau keagamaan
6.
fungsi reaksi jasmani
7.
fungsi kesinambungan kebudayaan
8.
fungsi perlambangan
9.
fungsi pengintegrasian masyarakat
2.7 Seni Karawitan Sebagai Bagian dari Hak Cipta. Seni karawitan merupakan bagian dari kehidupan manusia sejak dulu. Seni karawitan erat kaitannya dengan kebudayaan. Kebudayaan menurut Prof. Kunjaraninggrat adalah hasil dari olah pikir yang bersumber dari cipta, rasa, karsa manusia.
93
93
senua yang merupakan hasil dari olah piker manusia baik itu merupakan
Kunjaraninggrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal 181.
93
suatu benda yang kelihatan maupun sesuatu hasil yang tidak dapat dilihat adalah merupakan hasil dari kebudayaan, termasuk seni karawitan. Pengertian diatas mempunyai makna yang sama dengan pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Jika dibandingkan Pengertian Hak Kekayaan Intelektual menurut David Brigde, adalah Hak atas kekayaan yang berasal dari karya intelektual manusia, yaitu hak yang berasal dari kreatif kemampuan daya fikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk karya yang bemanfaat dan berguna untuk menunjang kehidupan manusia dan mempunyai nilai ekonomis.94 Letak perbedaan antara pengertian kebudayaan dengan pengetian HKI adalah dimana obyek HKI adalah hasil karya manusia yang mempunyai nilai ekonomis saja, namun hampir semua karya manusia yang bersumber dari daya fikirnya yang baik, yang bernilai ekonomis maupun tidak adalah merupakan suatu kebudayaan. Pengertian kebudayaan jika dibandingkan dengan pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HKI), obyeknya sama, yaitu suatu hasil karya yang bersumber dari hasil daya fikir manusia yang berasal dari akal, nalar yang mempunyai pengertian sama dengan rasa, karya , cipta manusia, termasuk juga seni karawitan yang merupakan salah satu hasil karya intelektual manusia. Dalam UUHC 2002 Karawitan sebagai obyek perlindungan Hak Cipta tertuang dalam Pasal 12 Huruf D …
94
Muhamma Jumhana, Op Cit, hal. 16
94
Menurut Sinti, Seorang composer jika ingin menciptakan sebuah karya cipta (gending), haruslah menguasai pengetahuan yang berhubungan dengan seni karawitan baik seni karawitan klasik ataupun modern Dalam menciptakan gending, kita harus kaya dengn materi, ya, sudah tentu harus banyak melakukan penelitian pra penciptaan. Proses penciptaan gending melalui tahapan-tahapan, antara lain: Ide penciptaan, maksudnya apakah gending yang diciptakan untuk iringan tari atau tidak. Kalau untuk iringan tari, apakah untuk tari Putra atau Putri halus, sedang atau keras. Kalau untuk tabuh instrumental, pada barung gamelan apa, maksudnya apakah pada gamelan: gong gede, gong kebyar, smar pegulingan, pelegongan, dsbnya. (Wawancara 7 Januari 2010). Berdasarkan pendapat Sinti, maka jelas bahwa suatu karya seni karawitan merupakan bagian dari karya cipta, oleh sebab itu si Pencipta akan mendapatkan perlindungan dalam UUHC 2002.
95
BAB III IMPLEMENTASI DAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA CIPTA SENI KARAWITAN BALI
3.1 Pertunjukkan Atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali. Semenjak Bali dibuka menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia pada akhir tahun 1960, semakin banyak kesenian bali khususnya Tari dan Karawitan Bali dikembangkan menjadi seni pertunjukkan wisata. (touristic performing art) Menurut Dibia memberikan pengertian tentang seni Pertunjukkan pada dasarnya adalah, presentasi, ide, gagasan, atau pesan kepada penonton oleh pelakunya melalui peragaan.95 Seni pertunjukkan merupakan kesenian yang sangat tergantung pada kehadiran seniman/seniwati pelakunya. Kesenian ini tidak akan pernah ada jika tidak ada pelakunya yaitu penari, pemusik, dan actor yang secara langsung memperagakan dan menyajikan pertunjukkan pada penonton.96 Menurut Sinti memberikan pengertian tentang seni pertunjukkan adalah pementasan yang mencakup music (tabuh), tari, drama (sendratari) (wawancara 1 Januari 2010) . Secara umum music bangsa-bangsa didunia sering disebut dengan istilah world misic -dapat dikelompokkan menjadi Musik Barat (Western Music) dan Bukan 95
I Wayan Dibia, 2004, Pragina, Sava Media, Malang, hal. 3 (selanjutnya disebut dengan I Wayan Dibia II). 96 Ibid
96
Non- Western Musik. Music barat ( Western Musik) adalah seni musik yang menggunakan tangga nada diatonic sedangkan Non- Western Music adalah seni music diluar music barat atau non diatonic. Merujuk pada negeri kita Indonesia music tradisi dikenal dengan istilah Karawitan. Sebab tangga nada yang digunakan bukanlah tangga nada diatonik. Istilah Karawitan Bali diperkenalkan didunia ilmu pengetahuan kira-kira pada tahun 1950, yaitu sejak didirikannya konservatori karawitan Indonesia di Surakarta. Karawitan adalah seni suara tradisi Indonesia baik vokal maupun instrumental yang berlaraskan pelog dan/ selendro, denga kata lain non diatonic. Menurut Sinti, salah satu pakar karawitan Bali yang merupakan salah satu pengajar seni karawitan bali di luar negeri, menyebutkan dalam wawancara dengan penulis bahwa Karya cipta seni karawitan bali secara umum sesuai fungsinya dapat dibagi menjadi: Instrumen yang digunakan untuk mengiringi proses upacara keagamaan, dalam hal ini lagu yang dimainkan seperti gending - gending (lagu) Gambang, Saron, Caruk, Gong Gede. Instrumen yang dipertunjukan kehadapan penonton dan selanjutnya dapat memperoleh tanggapan dari penontonnya. Seperti Gending Semar Pegulingan, Gending Angklung, Gending Gong Kebyar.
97
Dilihat dari golongannya seni karawitan (instrumental ) bali dapat dibedakan menjadi tiga (3) : Seni Karawitan klasik / kuno , adapun yang termasuk seni karawitan klasik seperti Gambang, Selonding, Caruk , Genggong, Gong Gede Seni Karawitan Modern, adapun yang termasuk seni karawitan modern adalah gending – gending Gong Kebyar, Angklung, Jegog, Semar Pegulingan, dll Seni Karawitan baru , yang termasuk seni karawitan baru adalah Gamelan siwa nada, Semara Dana, Manikasanti, Bumbang, dll. Jika dilihat dari kedua fungsi karawitan, maka seni karawitan adalah instrumental yang digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan dan untuk mengiringi pertunjukkan tari – tarian. Berbagai Festival gamelan digelar dimana – mana di luar Indonesia. Festival Gamelan Internasional yang pertama juga diselenggarakan diluar negeri, tepatnya di Voncouver, B.C. Canada, pada tahun 198697 Dalam perkembangannya sejak dibukanya Hotel Grand Bali Beach pada tahun 1966. Wisatawan asing mulai banjir datang ke Bali. Hal ini mempunyai pengaruh positif terhadap seni pertunjukkan baik seni tari maupun seni karawitan. Pertunjukkan Kesenian Tradisional di kemas secara khusus bagi wisatawan Asing
97
Supanggah Rahayu, 2002. Bothekan Karawitan I. Jakarta : Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, hal 8.
98
mampu menjadi industri yang maju pesat, disukai wisatawan Asing dan sangat menguntungkan. Berdasarkan wawancara dengan Bapak I Ketut Gede Sudarsana (Humas, Hotel Grand Bali Beach) menjelaskan, bahwa di Grand Bali Beach Hotel sering mempertunjukkan kesenian Bali yang bersifat sakral, adapun tujuannya adalah untuk menarik tamu agar bisa betah menginap di Hotel Grand Bali Beach. Biasanya pertunjukkan tersebut dilakukan pada malam hari yakni pada saat makan malam atau pesta kebun. Selain hal diatas tujuan mempertunjukkan kesenian bali adalah untuk melesatarikan kesenian itu sendiri agar tidak punah dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan para seniman. Biasanya Pertunjukkan kesenian Bali yang bersifat tradisional dilakukan di hotel waktu yang di berikan sekitar 45 sampai 60 menit. (wawancara tanggal 15 Februari 2010) Hal senanda juga disampaikan oleh I Ketut Gita Kusuma (Recreation Coodinator Plaza Paradise Hotel), biasanya pada event-event tertentu seperti penyambutan tamu, terutama tamu Manca Negara, makan malam sering diiringi oleh pertunjukkan tabuh instrumental bapang sisir, lengker, sebagai pembukaan dan dilanjutkan dengan pertunjukkan tari semacam tari penyambutan seperti Pendet. Tujuan dari pertunjukkan tersebut selain merupakan permintaan para tamu travel yang bekerjasama dengan pihak hotel adalah untuk melestarikan kesenian tradisonal Bali itu sendiri. Dalam penyuguhan kesenian tradisional bali pihak hotel biasanya bekerjasama dengan pihak luar apakah itu Sekeha , ataupun Sanggar untuk
99
mempertunjukkan kesenian bali yang di minta oleh wisatawan asing ( wawancara 20 Februari 2010). Selain pertunjukkan kesenian tradisional bali sering dipentaskan di Hatelhotel, pertunjukkan tersebut biasanya ditayangkan melalui media Televisi. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Ketut Leneng (Kepala Bidang Program TVRI) menjelaskan bahwa dalam Program TVRI memang ada menayangkan acara kesenian Bali yang besifat sakral, hiburan dan pertunjukkan. Tujuan TVRI memasukan program kesenian Bali selain untuk melestarikan juga untuk menarik pemirsa agar lebih betah menonton jika ada pertunjukkan kesenian bali, terutama penonton yang berada di pedesaan. Penayangan Kesenian Bali di Televisi ini belum pernah meminta izin pada Pencipta, namun dalam penayangannya nam pencipta sudah di cantumkan (wawancara 24 Februari 2010). Berdasarkan wawancara diatas dengan adanya penayangan kesenian bali di media televisi membuat penonton televisi menjadi lebih betah untuk menonton yang tujuannya adalah untuk meningkatkan penayangan iklan sebagai sponsor yang pada akhirnya akan meningkatkan pendatan TVRI, sehingga akan membawa pengaruh pada keuntungan yang didapat TVRI. Secara tidak langsung penayangan kesenian Bali di televisi juga mempunyai tujuan komersiil. Senada dengan penjelasan Bapak Ketut Leneng dari TVRI, berdasarkan wawancara dengan Bapak I Gede Sudarsana (Humas Hotel Grand Bali Beach) menjelaskan bahwa, hotelnya sering mengadakan pertunjukkan kesenian bali yang sudah diketahui Penciptanya. Namun selama ini belum pernah meminta izin pada
100
Pencipta yang karyanya dipentaskan. Hal ini disebabkan pihak hotel biasanya menyewa pihak lain (sekeha/ sanggar) untuk mengadakan pertunjukkan tersebut untuk suguhan tamu hotel dan pihak hotel akan membayar kepada sekeha sesuai dengan kesepakatan yang diperjanjikan. Perjanjian yang dibuat secara lisan, itu dikarenakan adanya rasa saling percaya anatara kedua belah pihak ( wawancara tanggal 15 Februari 2010).
3.2 Perlindungan Hukum bagi Pencipta atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali Yang Dipertunjukkan Secara Komersiil. Seniman dan karya seninya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling menentukan dan saling membutuhkan. Seniman dalam keadaan tertentu dapat dikatakan sebagai sebagai manusia biasa yang memiliki kemampuan “ luar biasa”. Dalam kehidupan sehari-hari seniman adalah bagian dari anggota masyarakat, ia harus berinteraksi dengan warga masyarakat lainnya, namun dalam hal tertentu tertutama dalam hal berkesenian seniman tergolong orang-orang yang memiliki bakat, kemampuan, dan ketrampilan. Menurut Sinti , Seniman terutama seniman kerawitan ( pengrawit) dalam hal menciptakan sebuah karya (gendig) memerlukan waktu dan perenungan yang mendalam agar sebuah hasil karya yang dihasilkan betul-betul memuaskan. Proses untuk menciptakan sebuah lagu (gending) oleh pengrawit sangat menguras tenaga, fikiran, waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Maka sudah seharusnya para pencipta dan hasil ciptaannya mendapatkan penghargaan. Karya cipta karawitan bali merupakan salah satu dari hasil karya
101
intelektual manusia yang mendapat perlindungan hak cipta. Untuk mewujudkan tanda penghargaan terhadap pencipta dan karya ciptanya, maka atas hasil karya cipta tersebut perlu mendapatkan perlindungan dari Negara. Para Pencipta seperti Wayan Beratha, Wayan Sinti, Komang Astita, Ketut Gede Asnawa, Ketut Swandita, Made Murna, Ketut Suarta Jaya, I Nyoman Windha, I Wayan Suweca, Made Kartawan. Menjelaskan bahwa dalam membuat suatu karya cipta (gending) membutuhkan waktu 3 sampai 6 bulan dari ide sampai proses pembuatannnya. Tentang biaya yang dikeluarkan kurang lebih 30-50 juta termasuk kostum penabuh, konsumsi selama latihan. Para Pencipta menjelaskan biaya yang tinggi kadang-kadang tidak dipikirkan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Biaya yang dikeluarkan diperoleh melalui sponsor, melalui pemerintah dengan cara mengajukan proposal, atau menggunakan biaya sendiri ( Wawancara 12 Januari 2010). Berdasarkan atas wawancara dengan para Pencipta diatas, untuk menciptakan suatu karya cipta Karawitan Bali yang tidak sedikit membutuhkan biaya, waktu, tenaga, maka para Pencipta Karawitan wajiblah mendapatkan penghargaan dan perlindungan Hak Cipta. Penghargaan diberikan pada Pencipta karya seni Karawitan Bali sesuai dengan Teori dari M. Sherwood, yang mendasari perlunya perlindungan hak yaitu sebagai berikut: 1. Reward Theory, berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/ pencipta atau pendesain
102
harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upau-upaya kreatif dalam menemukan/ menciptakan karya – karya intelektual.tersebut. 2. Recovery Theory, berpa pengembalian terhadap apa yang telah dikeluarkan penemu/pencipta/pendesain yakni biaya, waktu dan tenaga dalam proses menghasilkan suatu karya. 3. Incentive
Theory,
berupa
penemu/pencipta/pendisain
insentif
untuk
yang
diberikan
mengembangkan
kepada
kreatifitas
dan
mengupayakan tercapainya kegiatan – kegiatan penelitian yang berguna. 4. Risk Theory, berupa resiko yang terkandung pada setiap karya yang dihasilkan. Suatu penelitian mengandung resiko yang dapat memungkinkan orang lain menemukan karya yang dihasilkan atau memperbaikinya dan resiko mungkin timbul dari pergaulan secara illegal. 5. Economic Grouth Stimulus Theory, perlindungan hak merupakan alat untuk pembangunan ekonomi.98 Alasan lain terkait dengan perlunya perlindungan hukum atas Hak Cipta yang tidak terlepas dari perlindungan HKI pada umumnya yaitu karena adanya hak-hak alamiah, perlindungan HKI atas reputasi, mendorong dan menghargai penemuan dan kreasi. 1. Hak-hak alamiah, alasan yang paling mendasar bagi Hak Kekayaan Intelektual adalah bahwa seseorang yang telah mencurahkan usahanya untuk menciptakan sesuatu mempunyai hak alamiah /dasar untuk memiliki dan
98
Ranti Fausa Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri, Di Indonesia, PT. Gramedia Widiarsana Indonesia, Jakarta, h.44
103
mengontrol apa-apa yang telah telah diciptakaannya. Pendekatan ini menyiratkan kewajaran dan keadilan akan nampak apabila mencuri usaha seseorang tanpa meminta izinya terlebih dahulu. Menurut pasal 27 ayat (2) dari Deklarsi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia ( Universal Declaration of Human Right ) setiap orang mempunya hak untuk melindungi kepentingan moral dan materiil yang berasal dari ilmu pengetahuan, sastra atau hasil seni yang mana merupakan Penciptanya. 2. Perlindungan atas reputasi, perusahaan sering menghabiskan banyak waktu dan uang untuk membangun sebuah reputasi bagi produknya. Perusahaanperushaan lain mungkin menggunakan nama-nama yang hampir sama atau mirip logo atau citra yang digunakan oleh sebuah perusahaan terkenal untuk menarik konsumen. Dengan cara ini, perusahaan yang meniru reputasi perusahaan lain telah “mencuri” konsumen dari perusahaan terkenal tersebut. Hukum merek berusaha mencegah tindakan tersebut. Perlindungan penting karena reputasi bisnis yang diperoleh melalui merek, nama dan tampilan luar dari suatu produk, mungkin bisa bernilai lebih dari asset fisik yang dimiliki perusahaan. 3. Mendorong dan menghargai penemuan dan kreasi, orang yang menulis buku, music, tari, atau orang yang menciptakan seni lainnya yang sering kali melakukannya sebagai mata pencaharian, sama saja dengan penemu, besar kemungkinan mereka menemukan sesuatu untuk mendapatkan keuntungan. Baik Pencipta sering memerlukan banyak dana dan waktu untuk
104
menciptakan sesuatu. Jika orang lain bebas memperbanyak dan menjual karya-karya tersebut, mereka tidak mendapatkan keuntungan dari ciptaan mereka (paling tidak hanya dari konpensasi dan waktu serta dana yang telah mereka keluarkan. Jika tidak ada hukum HKI, para Pencipta dan Para penemu mungkin memutuskan tidak menciptakan atau tidak menemukan sesuatu.99 Berdasarkan atas teori-teori perlindungan HKI sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka relevan untuk diketahui sistim perlindungan Hak Cipta. Bentuk perlindungan Hak Cipta yang diberikan oleh Negara melalui ketentuan UUHC 2002. Menurut hukum hak cipta, perlndungan hukum terhadap hasil karya termasuk karya cipta seni karawitan Bali diperoleh Pencipta secara otomatis, artinya tanpa melalui proses pendaftaran terlebih dahulu Pencipta atas karya ciptanya, begitu karya tersebut sudah terwujud dalam bentuk nyata. Konsep perlindungan otomatis dilandasi oleh Konvensi Berne. Salah satu prinsip Konvensi Berne adalah Automaticlly Protection. Sistim perlindungan ini Hak Cipta boleh didaftarkan boleh juga tidak. Pasal 35 ayat (4) UUHC 2002 menentukan bahwa pendaftaran suatu ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban. Selain pasal 35 ayat (4) UUHC 2002 perlindungan Hak Cipta dapat dilihat pula pada ketentuan pasal 1 ayat (1) UUHC 2002, yang menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya
99
Budi Santoso, 2005, Butir-Butir Berserakan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Disain Industri), Mandar Maju,Bandung, hal. 65.
105
atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan terhadap Hak Cipta dan Pemegang Hak Cipta juga dapat dilihat dalam ketentuan pasal 3 ayat (2) UUHC 2002, mengatur mengenai peralihan Hak Cipta. Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik secara keseluruhan maupun sebagian karena ; pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh Undang-undang. Disamping itu perlindungan hak cipta dapat dilihat pada Pasal 45 UUHC 2002, yang mengatur tentang Lisensi, termasuk karya cipta Seni Karawitan Bali. Pasal 56 UUHC 2002 , melalui gugatan perdata melalui Peradilan Niaga untuk ganti rugi atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu sendiri. Perlindungan Hak Cipta dapat pula melalui pasal 72 dan Pasal 73 UUHC 2002, yang mengatur mengenai ketentuan pidana dari adanya pelanggaran Hak Cipta oleh pihak lain tanpa seizing Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Perlindungan terhadap karya cipta yang mengacu pada ketentuan diatas, seharusnya dapat pula diterapakan pada karya cipta Seni Karawitan Bali. Namun dalam kenyataannya Baik si Pencipta maupun karya cipta Seni Karawitan Bali belumlah mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan UUHC 2002. Perlindungan Hak Cipta yang didapatkan oleh Pencipta secara eksklusif adalah hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada si Penciptanya dan tidak dapat dialihkan dengan cara apapun juga, hak moral lebih ditijukan pada manifestasi dari adanya pengakuan terhadap hasil karya orang lain yang tidak dapat
106
dinilai dengan uang. Sedangkan hak ekonomi sangat berkaitan dengan pemanfaatan secara ekonomi suatu karya cipta yang dipandang sebagai investasi mesti dikelola secara komersiiluntuk pengembalian modal yang dikeluarkan.100 Tujuannya adalah selain untuk meningkatkan kesejahteraan bagi si Pencipta juga untuk merangsang kreatifitas intelektual Pencipta dalam meningkatkan kwantitas dan kwalitas karya ciptanya. Berdasarkan Wawancara 12 Januari 2010 dengan Composer seperti I Wayan Beratha, Wayan Suweca, Wayan Rundu, Komang Astita, Ketut Gede Asnawa, Nyoman Windha, Ketut Suarta Jaya, Made Murna, Wayan Widya, Ketut Swandita, Ketut Rudita, mengatakan bahwa selama ini belum pernah ada pihak lain yang mempertunjukkan karya ciptanya meminta izin kepada mereka sebelum karya ciptanys dipertunjukkan, para composer tersebut juga menyatakan bahwa mereka memang tidak tahu bahwa dengan dipertunjukkan karya cipta mereka tertutama pertunjukkan secara komersiil, seharusnya meminta izin pada mereka, apalagi mengadakan perjanjian sesuai dengan ketentuan UUHC 2002, untuk membayar royalty sama sekali tidak terfikirkan olehnya. Bagi para Pencipta jika karya ciptanya semakin banyak dpertunjukkan oleh pelaku pertunjukkan secara komersiil ataupun non komersiil tidak dipermasalahkan, malahan mereka bangga karya ciptaanya dapat diterima oleh warga masyarakat termasuk warga Negara Asing dan mereka juga tidak mereka juga tidak mengetahui
100
Wirawan, 2003, Dari Untuk Bali: Pengaruh Ajaran Agama Terhadap Kaidah Berfungsinya Undang-Undang Hak Cipta Pada Seniman Bali, Pro Fajar, Denpasar, hal. 131
107
karya cipta mereka mendapatkan perlindungan secara otomatis. Pencipta / composer mengira untuk mendapatkan Hak Cipta harus terlebih dahulu mendaftarkan karya ciptaannya kepada Negara, namun instansi tempat pendaftaran yang pasti tidak ditahui (wawancara 20 Januari 2010). Sementara dari penjelasan Sinti, karya cipta karawitannya sering dipertunjukkan oleh pelaku pertunjukkan dan sebelum pertunjukkan memang ada pemberitahuan secara lisan kepada sinti. Secara formal untuk pembayaran royalty belum pernah diperjanjikan, namun sesuai penjelasan Sinti, kadang kala pihak pelaku pertunjukkan memberikan sejumlah uang sebagai tanda terimakasih karena karya ciptanya dipertunjukkan secara komersiil baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pemberian uang sebagai tanda terimakasih tidak setiap pertunjukkan diberikan, hanya sekali dua kali saja (wawancara 25 Maret 2010).
3.3 Implementasi ketentuan Pasal 1, Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 45 UUHC 2002 mengenai Perlindungan Hukum Atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali di Bali. Suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, kesiapan system hukum nasional merupakan hal yang penting dan memasuki era globalisasi. Peranan hukum sangat penting dalam kehidupan bangsa dan bernegara, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana ketertiban dan keamanan masyarakat serta stabilitas nasional, akan tetapi lebih dari itu, hukum dibutuhkan sebagai sarana pembangunan nasional. Dengan kata lain hukum merupakan transformasi msyarakat menuju struktur, organisasi, dan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
108
naungan Republik Indonesia yang pada saatnya bersamaan hidup dalam suasasna globalisasi msadysrakat dunia.101 Selanjutnya Rouscoe Pound dalam bukunya yang berjudul An Intruduction to the Philosophy of law, mengatakan hukum sebagai suatu sarana perekayasaan masyarakat (Tool of Social Engneering) dan tidak sekedar sebagai alat penertiban masyarakat semata-mata, menurut Rouscoe Pound hukum adalah : 1. Hukum bertujuan untuk mempertahankan kedamaian di dalam masyarakat 2. Hukum bertujuan untuk mempertahankan status quo social yaitu dengan menempatkan manusia sesuai dengan “ sophrosynenya “ masing-masing atau sesuai dengan bidang dan tempat masing-masing orang di dalam masyarakat, dengan ini dimaksudkan supaya tidak terjadi bentrokan antar sesame warga masyarakat. 3. Hukum juga bertujuan untuk memungkinkan tercapainya perkembangan pribadi
secara
maksimum
baik
mengenai
kehendaknya
maupun
kewenangannya serta kemampuannya. 4. Akhirnya hukum bertujuan untuk memenuhi sebanyak mungkin kebutuhan masayarakat.102 Senada dengan Rouscoe Pound, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan, bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada suatu
101
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Suatu Sistem Hukum Nasional. Alumni, Bandung.
102
Ibid.
hal.96.
109
anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban ini merupakan suatu hal yang diinginkan bahkan dipandang perlu. Lebih jauh lagi anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum yang memang berfungsi sebagai alat (pengatur) atat sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kea rah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.103 Dari konsep tentang hukum dan fungsi hukum, ia berpendapat bahwa pembinaan hukum nsional harus diarahkan pada usah-usaha : 1. Memperbaharui peraturan-peraturan hukum termasuk penciptaan yang baru dengan
menyesuaikan
pada
tuntutan
perkembangan
jaman
tanpa
mengabaikan kesadaran hukum dalam masyarakat. 2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum sesuai proporsisinya masingmasing. 3. Meningkatkan kemampuan dan kewajiban para penegak hukum 4. Membina kesadaran hukum dalama masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat manusia dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.104
103
Mochtarkusumaatmaja, 1976, Hukum, Masayarakat dan Pembinaan HukumNasional, Bina Cipta, Bandung, hal. 183 104 Johanes Ibrahim dan lindawati Sewu, 2003, Hukum Bisnis (Dalam Persepsi Manusia Modern), Rafika Aditama, Bandung, hal. 55
110
Dalam kaitannya dengan pembangunanSuryati Hartono menyebutkan afa empat fungsi hukum dalam pembangunan yaitu : 1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan 2. Hukum sebagai sarana pembangunan 3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan, dan 4. Hukum sebagai sarana pendidikan105 Berdasarkan tentang uraian fungsi
hukum diatas, akan menjadi sangat
relevan apabila fungsi hukum tersebut bermanfaat diterapkan dalam masyarakat. Impelementasi suatu ketentuan dapat berjalan efektif atau tidak efektif tergantung dari kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang kesadaran warga masyarakat swbagai dasar sahnya hukum positif terlukis ditemukan dalam ajaran Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga masyarakat kecuali atas kesadaran hukumnya. Kesadaran hukum sering kali dikatikan dengan penataan hukum, pembentukan hukum dan efektifitas hukum. Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat, sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto, bahwa masyarakat mentaati hukum karena sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa
105
hal. 20.
Mushin dan Fadilah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang,
111
kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap pada diri masyaakat. Terdapat empat indicator kesadaran hukum dalam masyarakat, yaitu : a. Pengetahuan hukum b. Pemahaman hukum c. Sifat hukum d. Pola prilaku hukum Ad. a. Pengetahuan hukum Pengetahuan hukum adalah adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa prilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang atau perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Pengetahuan hukum erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan. Ad. b. Pemahaman Hukum Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, dengan kata lain pemahaman hukum dalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu hukum tertentu baik tertulis maupun tidak tertulis serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.
112
Ad. c. Sikap Hukum Sikap hukum , suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika itu ditaati. Ad. d. Pola prilaku hukum Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran hukum karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.106
Berdasarkan uraian dari pendapat Soerjono Soekanto diatas, jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 1, pasal 3ayat (2) dan pasal 45 UUHC 2002 mengenai pengimplementasiannya di Bali, khususnya pada pencipta karya cipta seni Karawitan Bali. Idealnya ketentuan yang berlaku hendaknya dapat ditaati oleh masyarakat dengan baik, sehingga pelaksanaan suatu aturan akan menjadi efektif. Berkaitan dengan pelaksanaan hukum Hak Cipta ini, jika berdasarkan pasal 1 ayat (1) UUHC 2002 menyatakan bahwa, Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan bunyi pasal 1 ayat (1) ini, yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata deiperuntukkan bagi
106
Soerjono Soekanto II, Op Cit, hal. 21
113
pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Berdasarkan dari hasi wawancara dengan para Pencipta seni Karawitan Bali, bahwa sering terjadi karya cipta karawitan yang dipertunjukkan oleh pelaku pertunjukkan, terutama pertunjukkan secara komersiil baik didalam maupun diluar negeri tanpa melalui persetujuan para penciptanya, dan tidak jarang para Pencipta tidak mengetahui kalau ciptaannya dipertunjukkan secara komersiil di dalam maupun diluar negeri. Walaupun sesekali ada pemberitahuan dari pelaku pertunjukkan, bahwa karya ciptaannya akan dipertunjukkan diluar negeri. Bagi para Penciptaada atau tidaknya permintaan izin oleh perlaku pertunjukan sudah menjadi hal yang biasa. Hal ini terjadi dikarenakan ketidaktahuan para Pencipta bahwa karya ciptanya mendapat perlindungan hukum oleh Undang-undang dan juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pada prinsipnya Pencipta sangat merasa kebratan jika karya ciptaan karawitan (gending) mereka tidak dipertunjukkan sesuai dengan aslinya. Demikian juga implementasi pasal 3 ayat (2) UUHC menytakan bahwa, Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena ; Pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang debenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Berdasarkan bunyi pasal 3 ayat (2) UUHC 2002 bahwa beralih atau dialihkan Hak Cipta tidak dapat dilakukan secara lisan , tetapi harus dilakukan secara tertulis dengan maupun tanpa akte notariil. Berdasarkan ketentuan dan penjelasan dari pasal 3 ayat (2) UUHC 2002, jika dikaitkan dengan penelitian dilapangan baik para Pencipta Gending maupun para pelaku pertunjukkan,
114
dapat dijelaskan dengan penjelasan para Pencipta Gending sering terjadi pelaku pertunjukkan tidak meminta izin pada para Pecipta jika karya ciptanya dipertunjukkan secara komersiil. Memang kadang-kadangsekali dua kali ada pihak pelaku pertunkukkan sekedar pemberitahuan melalui telepon, yang menyatakan jika karya ciptanya (gending ) akan dipertunjukkan, dan para Pencipta sudah merasa cukup karena ada rasa puas jika karya ciptanya di gunakan. Berdasarkan wawancara dengan I Gede Eka Very Purnama (Produser Lila Cita) menyatakan bahwa dalam menayangkan kesenian Bali Khususnya karawitan bali di Bali TV yang penciptanya diketahui, sampai sekarang belum pernah meminta izin kepada Penciptanya. Biasanya konser (istilah pertunjukkan gamelan Bali) yang ditayangkan di Bali TV, pertama didapat dari merekam suatu event tertentu yang mempertunjukkan kesenian karawitan bali, kedua didiapat dari CD maupun VCD yang dibeli sendiri. Biasanya dalam konser karawitan Bali terutama yang dipertunjukkan melalui CD/ VCD, sudah tercantum nama Penciptanya, namun jika direkam sendiri oleh Bali TV, ditayangkan tanpa mencantumkan si Penciptanya. hal tersebut dikarenakan memang tidak tahu bahwa jika menayangkan karya cipta orang lain terutama melalui media TV, wajib meminta izin pada si Penciptanya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa I Gede Eka Very Purnama tahu tentang adanya UUHC 2002, namun belum memahami secara lebih mendalam tentang UUHC 2002. ( wawancara 25 Februari 2010). Penjelasan senada diberikan oleh A.A Istri Suryani (Produser Pertunjukkan di TVRI), bahwa selama ini belum pernah mengadakan kesepakatan baik secara tertulis maupun tidak tertulis kepada pencipta khususnya pencipta
115
kerawitan Bali dalam hal karya ciptanya ditayangkan di TVRI, dengan alasan karena memang tidak mengetahui wajib meminta izin pada pencipta dan juga tidak pernah ada Pencipta merasa dirugikan atau berkeberatan jika karya ciptanya ditayangkan di TVRI. Sehingga penayangan karya cipta karawitan bali hanya mencantumkan nama Penciptanya (wawancara 28 Februari 2010). Berdasarkan kenyataan diatas secara otomatis kesepakatan yang dilakukan secara tertulis belum pernah terjadi termasuk juga mengacu pada ketentuan pasal 45 UUHC 2002, yang mengatur lisensi. Berdasarkan dari pemaparan kenyataan yang ada dilapangan, dapat dikatakan bahwa implementasi tentang pasal 1, pasal 3 ayat (2) dan pasal 45 UUHC 2002, terhadap perlindungan hukum atas karya cipta seni karawitan bali tidak berlaku efektif dimasyarakat khususnya di Bali, karena kurangnya pengetahuan baik bagi Pencipta maupun para pelaku pertunjukkan atas karya cipta seni karawitan Bali terhadap ketentuan pasal 1, pasal 3 ayat (2) dan pasal 45 khususnya , dan UUHC 2002 pada umumnya.
3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan UUHC 2002, Bagi Pencipta atas pertunjukkan Karya Cipta Seni Karawitan Bali. Mengkaji pelaksanaan hukum UUHC 2002 dalam rangka perlindungan karya cipta seni karawitan Bali, focus kajian sebenarnya terletak pada
bagaimana
ketentuan UUHC 2002 diterapkan dalam kaitannya dengan penegakan hukum.
116
Penegakan hukum Hak Cipta merupakan suatu system yang terdiri dari komponenkomponen atau subsistim sebagai bagian untuk mewujudkan sinergi dalam rangka mencapai tujuan diterbitkannya UUHC 2002. Aplikasi pendekatan sistim terhadap penegakan hukum ditegaskan oleh Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu sendiri. Factor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negative atau positifnya terletak pada isi factor-faktor tersebut. Factor-faktor tersebut meliputi: a) Factor hukumnya sendiri b) Factor penegak hukumnya c) Factor sarana atau fasilitas yang medukung penegakan hukum d) Factor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau diterapkan. e) Factor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidupnya107. Kelima factor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena itu merupakan esensi penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas penegakan hukum108.
107 108
Soerjono Soekanto III, Op Cit, hal.3 Siti Soetami, 2001, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, hal. 23
117
Efektifitas berfungsinya hukum alam masyarakat juga tidak terlepas dari kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Mengenai berlakunya hukum sebagai suatu kaidah dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi 2. Kaidah hukum berlaku ecara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat 3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya hukum dibenarkan berlaku atas dasar keyakinan filosofis yakni bahwa kaidah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.109 Berlakunya suatu kaidah hukum dapat ditinjau darimasing-masing sudut, agar kaidah hukum dapat berfungsi secara efektif, maka kaidah hukum harus mengandung tiga unsur diatas, sebab apabila tidak terpenuhi dapat berakibat pelaksanaan kaidah hukum dalam masyarakat akan mengalami hambatan. Disamping itu berfungsinya hukum melibatkan banyak factor yang ikut mendukung pelaksanaan berlakunya suatu peraturan, setidaknya ada empat factor anatara lain ; a. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri harus sistematis, tidak bertentangan baik secara vertical maupun secara horizontal, dan
109
Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung, hal. 22
118
pembautannya harus disesuaikan dengan persyaratan yuridis yang telah ditentukan. Keadaan demikian harus dipenuhi untuk menjamin jangan sampai terjadi kesimpangsiuran atau tumpang tindih dalam peraturan, baik yang mengatur idang-bidang tertentu maupun bidang dalam kehidupan lainnya yang saling berkaitan, walaupun diakui bahwa untuk mewujudkan kaidah hukum seperti tersebut diatas bukan hal yang mudah , karena dihadapkan dengan penelitian yang mendalam. b. Penegak hukum haruslah mempunyai pedoman berupa peraturan tertulis yang menyangkut ruang lingkup tugasnya dengan menentukan batasbatas kewengan dalam pengambilan kebijakan. Kwalitas petugas memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum, karena masalah akan timbul apabila kwalitas dan mental petugas kurang baik, walaupun peraturannya sudah dibuat sebaik mungkin. c. Ada fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelakasanaan kaidah hukum yang ditetapkan. Fasilitas disni terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai factor pendukung untuk mencapai tujuan. d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut. Masalah yang dihadapi pada factor ini adalah derajat kepatuhan atau ketaatan masyarakat terhadap hukum.110
110
Soerjono Soekanto dan MustafaAbdullah, 1982, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, hal 17. (selanjutnya disebud dengan Soerjono Soekanto IV)
119
Menurut Soerjono Soekanto, factor yang menghambat penegakan hukum berasal dari undang-undang dapat disebabkan karena ; a. Tidak diikutinya asas-asa yang berlakunya undang-undang b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkandalam menerapka undang-undang c. Ketidak jelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpang siuran didalam penafsiran serta penerapan.111 Berdasarkan dari pemaparan tentang penegakan hukum diatas, jika dikaitkan dengan UUHC 2002, lahirnya UUHC 2002 merupakan tuntutan dari perubahan jaman serta kebutuhan masyarakat terhadap perlindungan dalam penciptaan suatu kreasi seni, ataupun perlindungan tehadap penciptanya. perubahan jaman yang semakin global membawa pengaruh kedalam kehidupan ekonomi masyarakat. Lahirnya UUHC 2002 tidak terlepas dari implementasi TRIPs Agreement (Section 4 Article 25-26), hal ini dikarenakan Indonesia sebagai anggota WTO dan telah meratifikasi TRIPs melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1997. Disamping itu lahirnya UUHC 2002 karena dalam perkembangannya suatu karya cipta termasuk karya cipta seni karawitan bali mempunyai nilai ekonomis /komersiil, serta sedapat mungkin untuk mencegah terjadinya pelanggaran Hak Cipta termasuk karya cipta seni karawitan Bali. Mendorong serta meningkatkan kreativitas para Pencipta untuk meningkatkan hasil karyanya yang berkualitas dan original tanpaada persaan takut jika karyanya ditiru atau dipergunakan oleh pihka dengan etikad baik. 111
Soerjono Soekanto III, Op Cit, hal. 17
120
Berdasarkan hasil wawancara dengan para Pencipta, karya cipta seni karawitan Bali yang karyanya dipertunjukkan secara komersiil oleh pihak lain tanpa seizin pada mereka, tidak dapat berbuat banyak, walaupun pada prisipya mereka merasa keberatan, karena para pencipta memang tidak mengetahui jika karyanya dipergunakan orang lain harus meminta izin terlebih dahulu. Demikian juga dengan pihak pelaku pertunjukkan, mereka tidak meminta izin kepada Pencipta atas konser karya ciptanya, karena mereka tidak mengetahuinya. Baik Pencipta dan Pelaku samasama mengatakan tidak tahu jika suatu karya cipta salah satubentuk perlindungannya adalah dengan meminta izin pada Pencipta, walaupun mereka mengatakan bahwa tahu tentang UUHC 2002, namun tidak memahami secara mendalam. Lebih lanjut para Pencipta menjelaskan bahwa meeka tidak dapat melindungi karya cipta karawitannya, karena mereka tidak mengetahui kemana akan mendaftar, kalupun tahu mereka tidak punya uang untuk mendaftarkan karyanya tersebut. Berdasarkan Haryanto.SH.MS.MH
hasil (Kepala
wawancara Divisi
dengan
Pelayanan
Ibu Hukum
Drs. dan
Lilik HAM
Sri Bali)
menjelaskan, bahwa penerapan UUHC di Bali juga dipengaruhi oleh factor kurang efektifnya sosialisasi tentang UUHC 2002 itu sendiri, baik pada masyarakat maupun para penegak hukumnya sendiri. Kenyataan yang ada banyak para penegak hukum yang kurang memahami keberadaan UUHC 2002 tersebut. Selanjutnya menurut bapak (Kasubdit, Departemen Hukum dan HAM) menjelaskan, bahwa penerapan UUHC 2002 dipengaruhi oleh factor intern yaitu dari si Pencipta itu sendiri, yang tidak memahami betul keberadaan UUHC 2002, sehingga banyak karya cipta mereka
121
yang dipergunakan pihak lain tanpa sepengetahuan para pencipta, karena mereka tidak tahu kalo karya ciptanya mendapatkan perlidungan hukum dari Negara. Factor yang lain adalah factor extern yaitu dalam penerapan UUHC 2002, juga sangat dipengaruhi oleh pemerintah, termasuk para penegak Hukumnya seperti Polisi, Hakim. Sesuai dengan UUHC 2002, bahwa pelanggaran Hak Cipta bukanlah merupakan delik aduan melainkan delik biasa, artinya bahwa tanpa ada pengaduan jika sudah diketahui kenyataan ada pelanggaran Hak Cipta, maka pihak berwenang seharusnya sudah bertindak bagaimana mestinya. Terutama pada karya cipta seni karawitan Bali. Sudah sering terjadi pelanggaran terhadap karya cipta seni karawitan Bali oleh pelaku konser, namun sejauh ini pihak yang berwajib belum mengambil sikap untuk melakukan tindakan terhadap pelanggar. Demikian juga hakim dalam memutus Pekara tentang pelanggaran Hak Cipta secara umum, menerapkan sanksi yang sangat ringan, sehingga tidak dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku pelanggaran. (wawancara 27 Februari 2010) Selanjutnya berdasarkan wawancara dengan Bapak I Ketut Wirtha, SH. MH.(Hakim Pengadilan Negeri di Denpasar) menjelaskan bahwa, factor yang mempengaruhi penerapanUUHC 2002 adalah selain pemahaman hukum baik bagi Pencipta maupun Penegak Hukumnya, juga sangat dipengaruhi oleh factor ekonomi. Terjadinya pelanggaran terhadap Hak Cipta dikarenakan kondisi ekonomi dari pelaku pelanggar untuk cepat mendapatkan uang tanpa harus mengeluarkan uang yang lebih banyak. Karena jika mereka meminta izin kepada Pencipta tentu saja akan mengeluarkan uang untuk diberikan kepada Pencipta dan pelaku pelanggaran sedikit
122
mendapatkan keuntungan. Namun sampai saat ini tentang pengajuan kasus tentang pelanggaran karya cipta seni karawitan belum pernah ada di Pengadilan Negeri Denpasar (wawancara tanggal 7 April 2010) Berdasarkan kenyataan yang ada dilapangan, bahwa factor-faktor yang mempengaruhi penerapan UUHC 2002 bagi Pencipta terhadap karya cipta seni karawitan Bali adalah, kurangnya pemahaman terhadap UUHC 2002 bagi Pencipta itu sendiri, walaupun Pencipta mengetahui adanya UUHC 2002 akan tetapi secara mendalam belum memahami isi dari UUHC 2002. Selam ini para Pencipta seni karawitan Bali yang ada di Institut Seni Indonesia (ISI) Kurang mendapatkan secara khusus mengenai sosialisasi tentang UUHC 2002. Selain factor tersebut diatas, factor lain yang mempengaruhi penerapan UUHC 2002 bagi Pencipta adalah dari Penegak Hukum. Penyebab tidak terlaksananya penegakan hukum oleh catur wangsa adalah sebagai berikut : a. Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat, b. Rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum, c. Tidak ada mekanismepenegakan hukum yang baik dan modern d. Kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan kedalam dunia catur wangsa, terutama ke dalam badan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman,
123
e. Kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime anggota catur wangsa tersebut berupa tuduhan “mafia peradilan”. 112 Senada dengan pendapat Munir Fuady diatas, dikaitkan dengan kenyataan dilapangan, bahwa para pihak yang berwajib belum pernah memberikan sanksi, atau paling sedikit memberikan peringatan kepada pihak pelaku konser seni karawitan Bali, bahwa apa yang mereka lakukan merupakan perbuatan yang melanggar hukum Hak Cipta. Sementara itu factor kebudayaan yang diberikan oleh Soerjono Soekanto, jika dikaitkan dengan konsep hukum HKI, dimana hukum HKI yang berasal dari Negara barat menganut konsep hukum Individual Raight, sangat menghargai hasil karya intelktual seseorang dan perlu mendapatkan perlindungan dari Negara melalui Undang-undang Hak Cipta kepada siapa saja yang telah menghasilkan suatu karya intelektual yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi, dimana karya tersebut lahir dengan proses yang sangat panjang, penuh dengan pengorbanan tenaga, waktu, maupun uang. Berbeda sekali dengan konsep hukum di Negara timur termasuk Indonesia yang sangat menganut konsep hukum komunal yang berkembang dalama masyarakat, lebih menekankan bahwa terhadap Karya-karya Intelektual seperti Hak Cipta adalah untuk kepentingan orang banyak dan bukan hanya untuk
112
Aditya.
Munir Fuadi, 2003, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra
124
individu semata. Konsep komunal beranggapan bahwa hasil karya intelektual adalah merupakan milik bersama.113
113
Supasti Dharmawan dkk, Op Cit, hal 2
125
Bab IV Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pencipta Dalam Kaitannya Terhadap Penyelesaian Pelanggaran Atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali
4.1. Pelanggaran Karya Cipta Seni Karawitan Bali Sesuai dengan Konsep Perlindungan Hak Cipta. Dengan ditandatangani persetujuan pembentukan WTO ( Agreement Establish The World Trade Organization ) pada pertemuan tingkat mentri di Marakesh dalam Rangka Peralihan dari General Agreement of Tariffs and Trade (GATT) ke WTO ( World Trade Organization), yang menyetujui WTO akan melaksanakan seluruh aturan perdagangan Internasional. Dalam hal ini WTO akan bertindak sebagai organisasi pelaksana seluruh hasil perundingan Putaran Uruguay yang meliputi perdagangan barang, perdangan jasa, masalah yang berkaitan dengan ivestasi (Trims) dan hak kekayaan intelektual / HKI (TRIPs)114 Sebagaiman telah diuraikan diatas, bahwa perlindungan HKI sudah merupakan komitmen dunia (Internasional) untuk menciptakan iklim proteksi yang lebih berkeadilan,kepastian hokum dan membawa manfaat bagi masyarakat diseluruh jagat raya terhadap perlindungan karya intelktual.115
114
Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri Departemen Luar Negeri, 1994, WTO dan Masa Depan Sistem Perdagangan Dunia : Bidang Persoalan Baru, Pokok-Pokok Paparan Jendral Heln, Departemen Luar Negeri pada Seminar “Benang Merah Putaran Uruguay”. Jakarta. 15 Juni. 115 OK. Saidin. Op Cit. hal 28.
126
HKI perlu mendapat perlindungan Karena HKI merupakan hak yang diberikan kepada pencipta yang bersumber dari daya kreatif intelektualnya yang merupakan suatu penghargaan dan pengakuan atas keberhasilannya dalam melahirkan karya yang inovatif. Demikian halnya dengan karya cipta seni karawitan Bali yang merupakan suatu karya intelektual sebagai salah satu obyek dari Hak Cipta yang diatur dalam pasal 12 ayat 1 huruf d UUHC No.19 Tahun 2002. Salah satu issu penting yang berkaitan dengan HKI khususnya dibidang Hak Cipta adalah pelanggaran Hak Cipta. Factor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran antara lain factor ekonomi, seperti ketidakmampuan membeli produk barang asli, kemajuan teknologi misalnya mudahnya menggandakan buku-buku dengan mesin photo copy, serta kuatnya konsep kepemilikan secara komunal dalam masyarakat, adanya anggapan bahwa hasil karya cipta adalah untuk kepentingan orang banyak dan bukan semata untuk kepentingan individu. Sedangkan di Negara maju seperti Amerika, Australia dan Jepang, yang masyarakatnya sudah banyak menghasilkan karya intelektual, serta didukung dengan kesadaran masyarakat yang tinggi di bidang hokum HKI, merasa sangat dirugikan atas kasus pelanggaran karya intelektual, termasuk didalamnya pelanggaran hak cipta karya seni Karawitan Bali. Disadari bahwa kerugian yang ditimbulkan berkaitan dengan kasus pelanggaran Hak Cipta baik secara moral maupun ekonomi memang sangat besar.
127
Menurut WIPO (World Intelctual Property Organization) pihak-pihak yang dapat dirugikan akibat dari pelanggaran Hak Cipta adalah : 1. Pencipta termasuk Pencipta Seni Karawitan 2. Pemegang Hak Cipta, seperti penerbit, produser rekaman dank arena tidak mendapatkan keuntungan dari investasi financial dan keahlian yang telah merak tanamkan 3. Penjual dan distributuor, karena mereka tidak dapat bersaing secara sehat dengan pihak lain yang melakukan pelanggaran 4. Konsumen yang membeli ciptaan yang berkualitas rendah 5. Pemerintah berkaitan dengan hukum perpajakan116 Pelanggaran Hak Cipta, khususnya seni karawitan Bali, menimbulkan implikasi kerugian-kerugian baik secara moral maupun secara ekonomi terutama bagi pencipta, dan implikasi hukum bagi Negara yang masyarakatnya sangat potensial melakukan pelanggaran itu Hak Cipta. Sistim perlindungan HKI yang baik adalah di dalam penegakan hukumnya dapat melindungi Exlusive Right yang dimiliki oleh pencipta dan atau Pemegang Hak Cipta. Adapun salah satu bentuk perlindungan hukum yang baik bagi Pencipta adalah apabila dimanfaatkannya karya ciptanya oleh pihak lain dengan melalui mekanisme perjanjian Lisensi baik Exklusive Lecences ataupun Non Exklusive Lecences. Exklusive Lecences, adalah lisensi dalam tenggang waktu perjanjian lisensi Si Pencipta tidak dapat melisensikan kembali hak ciptanya kepada pihak ketiga sampai 116
Sanusi Bintang, Op Cit, hal. 59-60
128
batas waktu perjanjian lisensi dengan pihak kedua berakhir. Sedangkan Non Exklusive Lecencesi adalah Si Pencipta setelah mengadakan perjanjian lisensi pada pihak lain, masih bisa mengadakan perjanjian lisensi dengan pihak ketiga lainnya dalm waktu yang bersamaan. Di Indonesia melalui UUHC 2002, pemberian Hak Cipta melalui perjanjian lisensi dapat dilihat pada pasal 45 UUHC 2002, sedangkan pengalihan Hak Cipta dengan cara : waris, wasiat, hibah dan perjanjian lain yang dibenarkan oleh undangundang terdapat pada pasal 3 ayat (2) UUHC 2002. Beralihnya Hak Cipta sesuai dengan ketentuan-ketentuan UUHC 2002, maka Hak Cipta dapat digunakan oleh pihak lain secara illegal. Pengambilan Hak Cipta tanpa cara-cara diatas, serta tidak meminta izin dari penciptanya, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar Hak Cipta (Copyright Infringement). Terjadinya pelanggaran atau ditaatinya suatu ketentuan dalam masyarakat tergantung dari kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Sesuai dengan ajaran tentang kesadaran hukum yaitu Recthsgefuhl atau Recthsbewusstzijn yang pada intinya, adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. Hal tersebut merupakan suatu aspek dari kesadaran hukum, aspek hukum lainnya adalah bahwa kesadaran hukum sering dikaitkan dengan efektivitas hukum. Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto, bahwa masyarakat mentaati hukum karena sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
129
Menurut Soerjono Soekanto ada empat indicator yang mempengaruhi kesadaran hukum diatas, di Indonesia khususnya di Bali dengan berlakunya UUHC 2002, kesadaran hukumnya termasuk indicator yang pertamadan kedua yaitu berdasarkan dari hasil di lapangan, bahwa kenyataannya pengetahuan hukum dengan pemahaman hukum dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, Penegak Hukumnya terhadap UUHC 2002 masih rendah, sehingga memberikan peluang bagi masyarakat untuk melakukan pelanggaran Hak Cipta, khususnya karya cita Seni Karawitan Bali di Bali. Ada pengecualian mengenai pelanggaran Hak Cipta termasuk karya cipta seni karawitan Bali, hal tersebut diatur dalam pasal 15 UUHC 2002 menyebutkan apabila pengambilan ciptaan orang lain baik seluruhnya ataupun sebagaian digunakan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan, misalnya ceramah, atau penggunaan ciptaan orang lain untuk keperluan penelitian atau penulisan karya ilmiah tidak termasuk pelanggaran Hak Cipta sepanjang sumbernya disebut dan dicantumkan. Pasa 15 c (ii) juga menyebutkan bahwa pengambilan karya cipta orang lain dengan tujuan pertunjukkan dan pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Pencipta juga di anggap tidak melanggar Hak Cipta. UUHC 2002 tidak menentukan secara jelas mengenai apa sesungguhnya criteria pelanggaran Hak Cipta. Namun jika dilihat dari ketentuan pasal 1(6) menyebutkan bahwa perbanyakan adalah adalah penambahan jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama atupun tidak sama, termasuk pengalihwujudan
130
baik secara permanent maupun temporer. Bedasarkan ketentuan pasal 1(6) dikaitkan dengan ketentuan pasal 1(5) tentang pengumuman,pasal 3 tentang pengalihan Hak Cipta dan pasal 45-47 tentang lisensi, pasal 24 tentang Hak Moral, dapatlah disebutkan bahwa termasuk salah satu pelanggaran Hak Cipta jika dilakukan pengumuman, perbanyakan, pertunjukkan suatu hasil karya cipta untuk tujuan komersial tanpa seijin dan tanpa persetujuan baik dengan perjanjian jual beli maupun perjanjian lisensi dari Pencipta atau cara pengalihan yang sah lainnya dari Pencipta, atau pelanggaran yang berkaitan dengan tidak dicantumkannya hak moral Pencipta. Sebagai pembanding dalam Undang-undang Hak Cipta Australia (Copyright Act 1968) disebutkan bahwa infringement can occur if : 1. A “ substansial part “ is reproduced 2. There is an “ obyective similararity” between the alleged copy and the original copyright material 3. And there is a causal connection between the alleged copy and the original copyright material. Berdasarkan section 14 ditegaskan bahwa pengambilan “substansial part” lebih di titik beratkan pada substansi kwalitas karya cipta yang diambil, bukan semata-mata aspek kwantitas. Undang-undang Australia mengenal pengecualian yaitu tidak harus meminta izin dan tidak dianggap pelanggaran Hak Cipta “Fair Dealing” dalam hal memfotocopy suatu buku hasil karya cipta untuk tujuan penelitian, kritik, dan review, pemberitaan serta untuk bantuan hukum. Dalam hal ini walaupun ada pengecualian dan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, namun masi ada pembatasan-
131
pembatasannya yaitu untuk memfotocopy sebuah buku atau jurnal, hanya dibolehkan dalam jumlah yang masuk akal, dalam hal ini sebanyak 10 persen dari buku atau jurnal tersebut atau paling banyak sepuluh lembar atau lebih.117 Di Indonesia yang boleh memfoto copy untuk keseluruhan buku sepanjang untuk tujuan pendidikan, penelitian, serta untuk penulisan karya ilmiah sesuai dengan ketentuan pasal 15 a UUHC 2002, ukurannya sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Penciptanya. Sementara pelanggaran Hak Cipta di Australia dapat terjadi dengan cara sebagai berikut yaitu, Direct infringement, adalah apabila orang dengan sengaja dan tanpa izin dar penciptanya secara langsung memperbanyak , mengumumkan, menyiarkan suatu karya cipta. Authorization of infringement dimaksudkan apabila pihak-pihak yang berdasarkan kewenangannya dalam suatu lembaga atau institusi membiarkan orang lain untuk melakukan pelanggaran Hak Cipta, contohnya seorang pegawe perpustakaan di Australia membiarkan mahasiswa memfoto copy sebuah buku secara penuh, padahal ia memiliki kewenangan untuk mencegahnya, sebab seseuai dengan ketentuan Copy Right Act seseorang hanya boleh memfoto copy 10 persen dari keseluruahan buku, atau paling banyak hanya satu bab. Sedangkan Indirect Infringement, apabila orang mendistribusikan, memngumumkan, suatu barang hasil pelanggaran Hak Cipta, misalnya pedagang buku dan CD bajakan.
117
Attoerny General Departement, 2000, Copy Right Law in Australia, A Short Guide , Commonwealth of Australia, hal.23.
132
Pelanggaran Hak Cipta dapat terjadi apabila : - Orang dengan sengaja atau tanpa izin secara langsung memperbanyak, mengumumkan dan menyiarkan suatu karya cipta (Direct Infringement) - Pihak-pihak yang berdasarkan kewenangannya dalam suatu pelanggaran Hak Cipta (Authorization of Infringement) - Orang yang dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual barang hasil pelanggaran Hak Cipta (Indirect Infringement) 118 Berdasarkan bentuk-bentuk pelanggaran Hak Cipta, dapat disebutkan bahwa orangorang atau pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Cipta pada dasarnya : - Orang mempohoto copy buku orang lain, atau meniru hasil karya lukisan tanpa izin Pencipta - Orang yang secara tidak langsung melakukan perbuatan pelanggaran Hak Cipta, misalnya menjyal barang hasil jiplakan atau pegawai perpustakaan yang membolehkan seseorang memphoto copy sebuah buku melebihi dari batas kewajaran. Prinsip dasar hukum Hak Cipta adalah melindungi karya cipta nyata atau riil atau ide yang sudah diwujudkan dalam kreatifitas karya (expression work), dan bukan melindungi ide semata. Pemilik atau Pemegang Hak Cipta apabila haknya dilanggar dapat mengajukan gugatan untuk menuntut ganti rugi kepada pihak yang telha melanggar haknya, diamana gugatan perdata sama sekali tidak mengurangi hak 118
Mc. Keough Stewart, Op Cit, hal. 109-204
133
Negara untuk melakukan tuntutan pidana. Menurut UUHC pemilik Hak Cipta yang haknya dilanggar, gugatan perdatanya dapat dilakukan ke Pengadilan Niaga, sedangkan yang berkaitan dengan pelanggaran tindak pidana diajukan ke Pengadilan Negeri, tindak pidana dalam UUHC 2002 adalah merupakan Delik biasa.
4.2 Langkah-Langkah Preventif Bagi Pencipta Berkaitan Dengan Pelindungan Karya Cipta Seni Karawitan Bali. Tujuan dan eksistensi ketentuan UUHC 2002 adalah untuk mengurangi sebanyak mungkin terjadinya pelanggaran Hak Cipta di Indonesia. Namun dalam kenyataannya dilapangan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan terutama di Bali, ternyata banyak terjadi pelanggaran Hak Cipta khususnya karya cipta sen karawitan bali. Untuk mengantisipasi diwaktu yang akan datang, agar pelanggaran Hak Cipta dapat dihindari, atau sedapat mungkin tidak terjadi lagi sehingga tidak merugikan Bagi Pencipta seni karawitan bali, perlu dilakukan langkah-langkah atau upaya-upaya hukum preventif untuk menghindari terjadinya pelanggaran Hak Cipta atas karya cipta seni arawitan Bali. Upaya hukum Preventif artinya, untuk menghidari terjadinya pelanggaran terhadap suatu karya cipta, khususnya karya cipta seni karawitan bali dapat dilakukan dengan cara : a. Melalui pendaftaran Konsep perlindungan hukum Hak Cipta secara otomatis, dilandasi oleh Konvensi Berne, salah satu prinsip dari Konvensi Berne (Berne Convention)
134
adalah Automateclly Protectiaon. Menurut konsep perlindungan ini, Hak Cipta boleh didafar boleh tidak. Menurut pasal 35 ayat (4) UUHC 2002, menentukan bahwa pendaftaran suatu ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban. Jadi berdasarkanketentuan tersebut pendaftaran Hak Cipta bersifat Tidak Mutlak. Meskipun menurut hukum perlindungan Hak Cipta secara otomatis diperoleh Pencipta sejak ciptaannya lahir, dan tidak harus melalui proses pendaftaran, namun
kalau
dilakukan
pendaftaran
akan
lebih
baik
dan
lebih
menguntungkan, karena dengan pendafaran hak, setidaknya akan ada bukti formal sebagai tanda adanya Hak Cipta jika tidak terbukti sebaliknya. Dengan adanya proses pendaftaran ini, memberikan jaminan kepastian hukum dan menguatkan adanya perlindungan hukum atas karya cipta, jika terjadi peniruan atau penjiplakan karya cipta, sehingga si pencipta lebih mudah membuktikan dan mengajukan tuntutan karena ada bukti formal pendaftaran. b. Membuat rekaman rangkuman lagu hasil karya cipta seni karawitan bali dalam Sebuah CD audio. Untuk
menghidari
biaya
pendaftaran
yang
jumlahnya
besar,
jika
Pencipta memiliki karya cipta lebih dari sepuluh karya cipta, maka sesuai dengan penjelasan Bapak Bekti, SH (jabatan), pencipta dapat membuat rekaman rangkuman karya cipta (lagu) ke dalam CD audio yang isinya memuat tentang keseluruhan tentang karya cipta mereka, termasuk judul, penjelasan secara singkat tentang makna karya ciptanya dari ciptaan mereka
135
masing-masing, dan kemudian cd rekaman tersebut didaftarkan ke Direktorat Jenderal HKI di Jakarta, untuk mendapatkan sertifikat hak cipta. Jadi berdasarkan dari Hak Cipta Rekaman CD tersebut sudah termasuk karya cipta seni karawitan bali mereka mendapat perlindungan sesuai dengan UUHC 2002. (wawancara 5 Desember 2009). c. Melalui Pernjanjian Perlindungan hukum terhadap karya cipta seni karawitan bali selain melalui pendaftaran, juga dapat dilakukan dengan cara melalui perjanjian. Perlindungan hukum karya cipta seni karwitan bali secara preventif melalui perjanjian sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UUHC 2002. Pengertian perjanjian menurut ketentuan pasal 1313 KUHPerdata tentang perikatan, adalah pada hakekatnya menyatakan bahwa seseorang atau lebih melakukan perbuatan untuk mengikatkan dirinya pada seseorang atau lebih. Dalam ketentaun pasal 1313 KUHPerdata ini, mwngandung peengertian yang sangat luas dan seakan akan hanya satu pihak saja yang berkeinginan untuk mengikatkan dirinya dengan pihak yang lain. Padahal orang melakukan perjanjian dengan mengkatkan kedua belah pihak, atas persetujuan yang dibuatnya. Menurut suharnoko, suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu, dan suatu sebab yang halal, sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat
136
syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.119 Untuk melaksanakan suatu perjanjian sesuai denga pasal 1320 KUHPerdata harus ada kaidah yang mengaturnya. Kaidah-kaidah yang mengatur tentang terlaksananya perjanjian tersebut dengan hukum kontrak.120 Selanjutnya dalam bukunya Salim, memberikan pengertian tentang hukum kontrak sesuai dengan Ensiklopedi Indonesia adalah, Rangkaian kaidah-kaidah hukum yang mengatur berbagai pesetujuan dan ikatan antara warga hukum. Difinisi hukum kontrak yang tercantum dalam Ensiklopedia Indonesia, mengkajinya dari aspek ruang lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan warga hukum. Tampaknya definisi ini menyamakan pengertian antara kontrak (perjanjian) dengan persetujuan padahal antara keduanya adalah berbeda. Kontrak (perjanjian) merupakan salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan merupakan salah satu syarat sahnya suatu konrak ( perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata). Pengertian hukum kontrak (perjanjian), menurut Van Dunne adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Van Dunne tidak hanya mengkaji kontrak pada tahap kontrak tual semata tapi juga harus diperhatikan perbuatan sebelumnya mencakup pracontractual dan post contractual. Pracontractaul, merupakan tahapa penawaran dan penerimaan, sedang 119
Suharnoko, Op Cit, hal. 1 Salaim, 2003, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.4 120
137
kan Post Contractual adalah pelaksanaan perjanjia. Dengan adanya suatu perjanjian maka akan menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban. Hak merupakan sebuah kenikmatan sedangkan kewajiban merupakan sebuah beban. Dari beberapa definisi diatas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut : 1. Adanya kaidah hukum, yaitu kaidah dalam hukumkontrak dapat dibagi menjadi dua macam yaitu tertuli dan tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundangudangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 2. Subyek hukum atau Recht Person, adalah parr pihak yang mengadakan kontrak, dalam hal ini dapat orang atau badan hukum. 3. Prestasi, adalah apa yang menjadi hak di saut pihak dan kewajiban dipihak lain. Prestasi terdiri dari, memberikan sesuatu, tidak berbuat 4. Kata sepakat, sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata. 5. Akibat hukum, yaitu, setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Jadi akibat hukum adalah hak dan kewajiban.121 Berkaitan dengan upaya hukum preventif, yaitu untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap Hak Cipta, tertuama karya cipta seni karawitan Bali, dengan 121
Salaim. Loc Cit, hal.4-5
138
cara melalui perjanjian, selain berdasarkan pasal 1313 dan 1320 KUHPerdata, dapat pula merujuk pada pasal 45 UUHC 2002 yang menyatakan, bahwa pemegang Hak Cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUHC 2002. Sedangkan yang dimaksud dengan lisensi dalam UUHC 2002 adalah, mengacu pada pasal 1 angka 14 yang menjelaskan bahwa lisensi adalah, izin yang diberikan oleh pemegang Hak Cipta atau pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Mengkaji lebih jauh tentang Lisensi Hak Cipta, menurut Pasal 45 UUHC 2002 dapat diketahui bahwa pelisensian hak cipta dapat dilakukan dengan atau berdasarkan surat perjanjian Lisensi, yang isinya pemegang Hak Cipta membrikan hak khusus kepada orang lain untuk menikmati nilai ekonomis suatu ciptaan yang dilindungi oleh Hak Cipta. Dengan demikian surat perjanjian lisensi hanya bersifat pemberian izin atau hak untuk dalam jangka waktu tertentu pula. Persyaratan tertentu yang berkaitan dengan jangka waktu Lisensi dan Royalty fee, dalam hal ini Lisensi dibuat secara tertulis. Mengenai isi dari perjanjian Lisensi, secara khusus tidak diatur pada UUHC 2002, namun nudang-undang memberikan kebebasan untuk melakukan perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerdata. Kebebasan membuat isi perjanjian, dikenal dengan asas kebebasan berkontrak yang ketentuannya merujuk pada pasal 1338 KUHPerdata, menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
139
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cukup untuk itu. Berkaitan dengan Lisensi ini, maka isi perjanjian Lisensi atas persetujuan kedua belah pihak mengacu pada pasal 1338 KUHPerdata, adalah merupakan undang-undang bagi merekat, dan ini merupakan Lex Spesialis terhadap UUHC 2002. Berdasarkan langkah-langkah preventif yang dilakukan oleh pencipta karya cipta seni karawitan bali untuk melindungi hak merek sesuai dengan ketentuan UUHC 2002 yang sedang berlaku, namun kenyataan di lapangan, langkah-langkah preventif tersebut sangat jarang dilakukannya, dengan alasan bahwa mereka tidak tahu bahwa UUHC 2002 memberikan perlindungan preventif bagi pencipta seni karawitan bali, karena mereka juga tidak mengetahui bahwa dengan mempertunjukkan karya cipta seni karawitan orang lain secara komersiil, tanpa seizin Penciptanya adalah merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta.
4.3 Upaya Hukum Bagi Pencipta Berkaitan Dengan Pertunjukkan Karya Cipta Seni Karawitan Bali. Negara berfungsi dan berperan dalam menjaga ketertiban, keamanan, dan memberikan
kesejahteraan
kepada
masyarakatnya
termasuk
didalamnya
berkewajiban untuk selalu berupaya dalam rang memberikan perlindungan hukum terhadap Pencipta dan Pemegang Hak Cipta karya Cipta seni Karawitan Bali, sebagai salah satu bentuk kepedulian Negara pada masyarakat.
140
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, merupakan realisasi Negara untuk melindungi warganya dibidang Hak Cipta. Namun dakam perkembangannya walaupun sudah dibuatkan Undang-Undang, pelanggaran tentang Hak Cipta tetap terjadi termasuk pelanggaran atas pertunjukkan karya cipta seni Karawitan Bali. Pelanggaran ini terjadi dikarenakan kurangnya pemahaman hukum Hak Cipta baik bagi Pencipta itupun sendiri maupun bagi pelaku pertunjukkan. Untuk menghindari dan mengurangiterjadinya pelangaran Hak Cipta terhadap karya cipta seni Karawitan Bali, upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pencipta adalah : a. Dengan cara perdata. Upaya hukum yang dilakukan oleh Pencipta untuk melindungi Hak Cipta dalam hal terjadinya pelanggaran oleh pihak lain dengan cara melakukan gugatan secara perdata ke pengadilan Niaga. Upaya hukum melalui gugatan perdata diatur dalam Pasal 56 UUHC2002, yang menyatakan bahwa : 1) Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyak ciptaan itu. 2) Pemegang Hak Cipta berhak juga memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari pelanggaran ceramah, pertemuan
141
ilmiah, pertunjukkan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta Pengambilan Hak Cipta tanpa seizing dari pemiliknya atau dari yang berhak, dapat pula digugat berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, tentang perbuatan melawan hukum. Adapun isi dari pasal 1365 KUHPerdata adalah sebagai berikut ; setiap perbuatan melawan hukum, oleh karenanya menimbulkan kerugian pada pihak lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menyebabkan kerugian itu menggantinya. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa yang termasuk perbuatan melawan hukum termasuk perbuatan yang melanggar peraturan lain diluar bidang hukum. Yang dimaksudakan lain ialah, peraturan dilapangan kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun.122 Dari rumusan pasal 1365 KUHPerdata dapat dilihat bahwa suatu perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsure-unsur dibawah ini : a. Perbuatan itu harus melawan hukum ( onrechtmatig ) Perbuatan melawan hukum menurut Arrest 1919, merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum, jika melanggar Hak Cipta orang lain yang merupakan hak subyektif yaitu hak-hak perorangan, seperti kebebasan, kehormatan, dan nama baik.
122
Wirjono Prodjodikoro, 2000, Perbuatan Melangar Hukum, Dipandang dariSudut Hukum Perdata, Bandar Maju, Bandung, hal.6
142
b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil ataupun kerugian inmateriil. Pasal 1246 sampai pasal 1248 KUHPerdata mengenai ganti kerugian dalam hal wanprestasi tidak dapat diterapkan pada perbuatan melawan hukum, melainkan dibuka kemungkinan penerapan secara analogis. Mengenai pasal-pasal ganti kerugian akibat wanprestasi, kerugian meliputi tiga unsure yaitu ; biaya, kerugian yng sesungguhnya dan keuntungan yang duharapkan (bunga), sedangkan ukuran yang dipakai adalah uang, dalam perbuatan melawan hukum usnur kerugian dan ukuran penilaiannya dengan uang dapat diterapka secara analogis. Dengan demikian perhitungan ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum didasarkan pada kemungkinan adanya ketiga unsur tersebut dan kerugian dihitung secara jumlah uang. c. Perbuatan ini harus dilakukan dengan kesalahan. Pengertian kesalahan ini adalah pengertian dalam hukum Perdata, bukan hukum
Pidana. Kesalahan dalam pasal
1365 KAUHPerdata ini
mengandung semua garadasi dari kesalahan dalam arti “sengaja” sampai pada kesalahan dalam arti “tidak sengaja” (lalai). d. Antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan harus ada hubungan kausal. Adanya hubungan kausal dapat disimpulkan dari kalimat dalam pasal 1365 KUHPerdata, perbuatan yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian,
143
kerugian itu harus timbul sebagai akibat dari perbuatan orang itu, jika tidak ada perbuatan, tidak ada kerugian.123 Dikaitkan dengan pelanggaran Hak Cipta, sesuai dengan pasal 56 UUHC 2002, bahwa Pencipta berhak melakukan gugatan ganti rugi ke PEngadiloan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan menerima penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil-hasil pembajakan ciptaan. Meskipun dalam menentukan dan membuktikan besar kecilnya kerugian itu mengalami kesulitan, namun hakim dapat menentukan “ex aequo et bono” atau berdasarkan kepatutan dan kepantasan dalam nilai uang, apa benar-benar menderita kerugian, hal ini dapat dibuktian oleh Penggugat seperti dalam karya cipta seni Karawitan, adanya konser seni karawitan secara komersiil tanpa seizin Pencipta dengan mengurangi atau memodifikasi atau mempersingkat waktu jalannya lagu sehinga membuat kwalitas gending terkesan seperti asal-asalan, yang dapat mengakibatkan kerugian baik materiil maupun imateriil bagi Pencipta Seni Karawitan itu sendiri. b. Upaya hukum melalui tuntutan secara Pidana Upaya hukum secara pidana dapat merujuk pada pasal 72 – 73 UUHC2002 yang menyatakan bahwa : (1). Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1)
123
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 252-257.
144
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan /atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- ( lima milyar rupiah ). (2).
Barang
siapa
dengan
sengaja
menyiarkan,
memamerkan,
mengedarkan, atau menjual umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). (3). Barang siapa dengan dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program computer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). (4). Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 17 UUHC 2002 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (1 milyar rupiah). Sampai ayat (9). Tuntutan yang dapat dilakukan oleh Pencipta secara Pidana dapat dilakukan melalui pengadilan umum.
145
Adapun cara penyelesaian upaya hukum diatas dapat dilakukan dengan cara Litigasi dan Non Litigasi. a. Cara Litigasi, adalah cara penyelesaian pelanggaran Hak Cipta melalui Pengadilan. Namun penyelesaian pelanggaran Hak Cipta melalui Pengadilan umum ini, biasanya dilakukan oleh pihak Pencipta yang karya ciptanya dilanggar secara pidana. Penyelesaian pelanggaran Hak Cipta secara perdata sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat 1 UUHC 2002, dapat diselesaikan di Pengadilan Niaga, namun kenyataan ini selama dilapangan menurut Bapak Ketut Wiartha SH (Hakim Pengadilan Negeri Denpasar) menyatakan bahwa sampai saat ini kasus yang masuk ke Pengadilan Negeri Denpasar baru pelanggaran Hak Cipta atas milik Joger, Karya Cipta seni lukis Nyoman Gunarsa, namun sampai saat ini belu ada pihak Pencipta karya seni karawitan bali yang mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri Denpasar karena Hak Ciptanya dilanggar. b. Cara Non Litigasi, adalah cara yang dilakukan oleh Pencipta untuk menyelesaian upaya hukumnya melalui cara diluar peradilan. Cara Non Litigasi ini, hanya dapat digunakan pada pelanggaran Hak Cipta secara Perdata. Cara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 65 UUHC 2002 yang menyatakan bahwa, selain penyelesaian sengketa yang dimaksud pada pasal 55 dan pasal 56, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa. Selain itu dapat merujuk melalui ketentuan Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang
146
alternative penyelesaian sengketa. Pasal 1 angka 10 Undang-undang ini membahas tentang alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar persidangan dengan cara Konsoldasi, Negosiasi, Mediasi, atau penilaian ahli. Selain dengan cara-cara diatas UU. No.30 Tahun 1999, juga mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase. Pengertian Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam perkembangan dunia bisnis, para pihak yang bersengketa lebih banyak menempuh jalan dengan cara penyelesaian sengketa melalui cara Non Litigasi. Alasan-alasan yang mengemuka para pihak cenderung mempergunakan cara Non Litigasi antara lain : 1. Waktu yang cepat Waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah adalah waktu yang sangat berharga, sedangkan jalan untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan sangat tidak menguntungkan, karena menggugat di Pengadilan Perdata merupakan jalan yang sangat panjang. Putusan pengadilan belum merupakan kekuatan hukum yang mengikat, sebab masih ada tingkatan Banding ke Pengadilan Tinggi hingga Kasasi
147
bagi mereka yang merasa belum puas atas putusan tingkat Pengadilan Negeri. 2. Adanya orang-orang yang ahli Dengan lembaga alternative penyelesaian sengketa, para pihak dapat menunjuk orang ahli dibidangnya, yang mengetahui tentang masalah yang menjadi sengketa. Dengan demikian putusan yang akan diambilnya didukung oleh pengetahuan yang mendalam tentang hal-hal yang dipersengketakan. 3. Rahasia para pihak terjamin Para pihak yang bersengketa dapat meminta LEmbaga alternatif, untuk tidak menyebarkan masalah tersebut pada public.124 Berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa dalam pelanggaran kasus Cipta Seni Karawitan Bali, sangat relevan apabila cara-cara tersebut diatas dapat diterapkan. Namun kenyataannya dilapangan sesuai dengan penelitian, hingga kini penyelesaian sengketa atas pelanggaran karya cipta seni Karawitan bali baik melalui Litigasi maupun Non Litigasi belu pernah ada. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman Pencipta dan Para Pelaku Konser karya cipta seni karawitan Bali terhadap UUHC2002.
124
Richard Burton Simatupang, Op Cit, hal. 57-58.
148
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Berdasarkan dari pemaparan permasalahan Bab III sampai Bab IV sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan ketentuan Undang- Undang Hak Cipta 2002 belum efektif untuk memberikan perlindungan hukum bagi pencipta berkaitan dengan Karya Cipta Seni Karawitan Bali. Hal ini terlihat dari banyaknya penggunaan Karya Cipta seseorang yang dipertunjukkan secara komersill tanpa meminta izin terlebih dahulu dari Pencipta Karya tersebut. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadinya pelanggaran atas Hak Cipta. 2. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pencipta yakni dengan mengklaim bahwa pertunjukan yang dilakukan oleh pelaku pelanggaran hak cipta adalah hasil ciptaanya . dan meminta pihak pelaku pelanggaran untuk menghentikan
mempertunjukkan karya ciptaanya, sebelum ada
pembicaraan lebih lanjut kepada pencipta. Dalam hal ini pihak pelaku pertunjukkan hendaknya meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta sebelum mempertunjukkan karya ciptaan si pencipta. Permintaan izin tersebut tertuang dalam perjanjian yang isinya memuat tentang Royalti yang akan diterima oleh si Pencipta itu sendiri. Apabila hal tersebu tidak dituruti oleh pihak pelaku pertunjukkan Upaya hukum yang digunakan oleh
149
Pencipta terhadap pelanggaran atas karya Cipta nya adalah dengan melakukan gugatan Perdata ke Pengadilan Niaga yang diatur pada Pasal 56 UUHC 2002, Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum dan dengan melakukan tuntutan secara pidana yang di atur pada Pasal 72 73 UUHC 2002.
5.2
Saran 1. Diharapkan kepada pihak-pihak terkait baik Dirjen HKI, maupun Departemen Perindustrian dan Departemen Hukum dan HAM, untuk lebih meningkatkan sosialisasi tentang UUHC 2002 khususnya kepada Pencipta seni Karawitan Balidan pihak yang mengorganisir konser karya cipta senii karawitan Bali secara komersiil, seperti pada pengelola hotel, pengelola media visual, dan pemilik tempat pertunjukkan secara komersiil yang ada dibali. 2. Perlu adanya suatu organisasi atau peguyuban YKCSB( Yayasan Karya Cipta Seni Bali ) oleh para Pencipta Seni Karawitan Bali, semacam YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) dalam Karya Cipta Musik dan Lagu, untuk memberikan perlindungan secara ekonomis kepada para Pencipta yang menjadi anggota Paguyuban.