BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hukum pertanggungan laut merupakan suatu bagian dari Hukum Dagang dan dimuat di dalam KUHD Buku II title ke 9. Semula adanya pertanggungan di laut itu karena adanya bahaya di laut. Pada dewasa ini sehubungan dengan pengangkutan di laut maka pertanggungan itu semakin dirasakan sebagai suatu hal yang penting demi kepentingan pemilik dan keselamatan barang-barangnya yang diangkut. Terlebih dengan meningkatnya frekuensi pengangkutan barang-barang di dalam dan dari/ ke luar negeri, maka pertanggungan atas barang-barang yang diangkut tersebut merupakan suatu kebutuhan yang semakin diperlukan.1 Di dalam pengangkutan laut pemilik barang selalu menghadapi resiko bahwa barang-barang yang diangkut itu kemungkinan sampai di tempat tujuan nilai dan barangnya itu akan berkurang, baik karena hilang, karena kerusakan selama berlangsungnya pengangkutan, karena musnah ataupun karena sebabsebab yang lain. Keadaan sebagai demikian itu sudah barang tentu telah ia sadari sebelumnya. Adapun kemungkinan bahwa berkurangnya nilai dari barang-barang tersebut tidak seperti yang disadari oleh pemilik barang tersebut, tetapi berkurangnya nilai dari barang-barang tersebut karena sesuatu sebab yang secara normal tidak diharapkan terjadinya. Terhadap semua kerugian yang mungkin terjadi, pemilik barang yang mengalami kerugian dapat mengurangi atau
Universitas Sumatera Utara
meringankan kerugian, bahkan kerugian dapat ditanggung orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya. Perjanjian yang terjadi antara mereka yang memiliki barang karena khawatir akan mengalami kerugian sebagai akibat pelaksanaan pengangkutan karena ancaman bahaya di laut dengan mereka yang mau menanggung kerugian itu di sebut perjanjian pertanggungan (laut).2 Dengan diadakannya perjanjian pertanggungan itu mengakibatkan terjadinya peralihan risiko karena mungkin adanya bahaya yang akan mengancam barang-barang yang diangkut dan secara normal tidak diharapkan terjadi kepada orang lain yang mengambil-alih risiko tersebut untuk mengganti kerugian. Di dalam praktik, perjanjian pertanggungan itu dilaksanakan di bursa melalui makelar. Peraturan makelar terdapat di dalam Buku II KUHD title 9 bagian keenam meliputi Pasal 681-685, yang isinya mengatur tentang syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan
yang
berkaitan
dengan
SK
Menteri
Keuangan
No. Kep. 457/MK/IV/5/1975 tanggal 2 Mei 1875 tentang Perizinan Usaha Perantaraan
Asuransi
Kerugian
jo.
SK
Menteri
Keuangan
No.
Kep.
595/MK/IV/8/1969, tentang Pendaftaran semua Usaha Perantaraan dalam Bidang Perasuransian jo SK Menteri Keuangan No. Kep. 932/MK/IV/ 12/ 1971 tanggal 2 Desember 1971 tentang Penerimaan Usaha Adjuster dalam Bidang Asuransi Kerugian.3
1
Wiwoho Soedjono, Hukum Pertanggungan Laut, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1993), hal. 1. Ibid, hal.2. 3 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan (Pokok-pokok pertanggungan kerugian, kebakaran dan jiwa) (Jakarta : Pradnya Paramita, cetakan keempat tahun 1980) hal. 114. 2
Universitas Sumatera Utara
Di dalam perjanjian asuransi laut itu yang dipertimbangkan adalah hubungan sebab akibat antara timbulnya kerugian yang diderita oleh barangbarang yang dipertanggungkan dengan prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak penanggung. Jadi apabila suatu kerugian itu adalah akibat dari suatu evenement yang ditanggung di dalam polis, maka penanggung harus mengganti kerugian. Ini berarti, bahwa tertanggung tidak dapat hanya mengatakan begitu saja secara mudah bahwa karena timbulnya suatu evenement lalu si penanggung diharuskan mengganti kerugian dengan mengadakan penyidikan lebih dahulu atau dilakukan pemeriksaan secara bersama-sama antara pemilik barang dengan pihak pengangkut dan disaksikan oleh pihak asuransi
sebagai penanggung tentang
kausa dari adanya kerugian tertentu itu. Hal ini perlu diketahui untuk menentukan apakah penanggung itu wajib mengganti kerugian yang timbul atau tidak. Dari apa yang diuraikan di atas pertanggungan laut atau Marine Inssurance Act itu adalah suatu pertanggungan yang diadakan untuk menanggung adanya bahaya selama diangkut dan termasuk di dalamnya adanya bahaya yang berkaitan dengan pengangkutan di laut itu. Pertanggungan laut atau Ocean Marine Insurance itu merupakan jenis pertanggungan yang sudah sangat tua apabila dibandingkan dengan jenis-jenis pertanggungan yang lain. Ini mengandung arti bahwa bahaya-bahaya yang timbul atau yang mungkin timbul selama terselenggaranya pengangkutan di laut pada waktu itu sudah diusahakan untuk tidak dipikul sendiri oleh pihak pemilik barang melainkan sedapat mungkin risikonya diperalihkan kepada orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam praktik di jumpai beberapa badan-badan usaha yang bergerak di bidang asuransi laut yang di dalam perkembangannya yang pesat dikelola secara khusus, bahkan bentuk polis di dalam pertanggungan laut (marine insurance) yang sekarang ini telah dikenal di dalam praktik internasional sebenarnya berpangkal pada bentuk perjanjian atas polis Lloyd dari Inggris yang dibuat pada Tahun 1779. Menurut Ocean Marine Insurance, jenis polis yang diadakan, yaitu:4 1. Hull policy 2. Cargo policy 3. Freight policy 4. Liability policy Jenis-jenis polis itu didasarkan atas perkembangan tentang apa yang menjadi obyek yang dilindungi oleh Ocean Marine Insurance seperti: 1. 2. 3. 4.
rangka kapal (hull atau cascoring); barang-barang (cargo); biaya atau freight atau biaya angkutan dan laba yang diharapkan; dan pertanggungan jawab dari pemilik barang atau seseorang yang mempunyai kepentingan atas barang-barang atau harta kekayaan yang diangkut.5 Biasanya perusahaan pertanggungan laut itu sudah membuat suatu
standard form untuk polis perusahaan itu. Pertanggungan pada mulanya mempunyai tujuan ekonomis semata, dalam arti seseorang yang menghendaki supaya risiko yang diakibatkan oleh sesuatu peristiwa tertentu dapat diperalihkan kepada orang lain dengan cara
4
Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya, cetakan pertama, (Jakarta: BPHN, 1980), hlm. 57. 5 Ibid
Universitas Sumatera Utara
memperjanjikan sebelumnya dengan syarat-syarat yang mereka sepakati bersama. Hal ini dijumpai pada asasnya di dalam perjanjian pertanggungan kerugian.6 Peralihan risiko kepada orang lain dengan diadakannya pertanggungan dapat terjadi untuk seluruhnya ataupun untuk sebagian sesuai dengan isi perjanjian yang dimuat oleh tertanggung dan penanggung. Ada kalanya bahwa risiko yang ditanggung itu terlalu besar untuk dipikulnya, maka risiko dapat diralihkan kepada penanggung yang lain dengan cara membagi risiko tersebut. Hal ini disebut adanya re-assuransi.7 Dari ketentuan Pasal 246 KUHD yang memberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan asuransi, maka di jumpai beberapa unsur sebagai berikut: 1. Asuransi sebagai suatu perjanjian Di dalam perumusan Pasal 246 KUHD tentang arti asuransi atau pertanggungan itu ada unsur suatu perjanjian , maka dapatlah dikatakan asuransi itu juga mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam hukum perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Berdasarkan
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
disebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (te goeder trouw good faith). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. 2. Asuransi sebagai perjanjian ganti rugi (contract of indemnity)
6 7
Wiwoho, op cit, hal. 7 Ibid, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
Di dalam perjanjian pertanggungan pihak penanggung terikat untuk memberikan ganti rugi kepada tertanggung sehingga sebenarnya asuransi itu merupakan perjanjian ganti rugi (contract of indemnity). 3. Di dalam asuransi juga dikenal adanya asas kepentingan (insurable interest) Salah satu syarat di dalam perjanjian pertanggungan adalah bahwa pihak tertanggung
diharuskan
mempunyai
kepentingan
atas
benda
yang
dipertanggungkan. Dalam hal ini penanggung akan memberikan ganti rugi kepada tertanggung sebagai akibat suatu kerugian yang mungkin dideritanya, karena suatu kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Dari rumusan ini dapat disimpulkan,bahwa penggantian kerugian harus dibayar oleh penanggung kepada tertanggung yang menderita kerugian. Hal ini dengan
sendirinya
akan
terlaksana,
apabila
tertanggung
benar-benar
mempunyai kepentingan terhadap kerugian yang diderita tersebut; jadi harus ada hubungan hukum tertentu antara tertanggung dengan benda yang diasuransikan/ dipertanggungkan. Asas kepentingan seperti yang dimaksud tersebut dapat di jumpai dalam Pasal 250 KUHD: “Bilamana seseorang yang mempertanggungkan untuk diri sendiri atau seseorang, untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh seorang lain, pada waktu pertanggungan tidak mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan, maka penanggung tidak berkewajiban mengganti kerugian”. 4. Adanya unsur pembayaran premi Di dalam perjanjian pertanggungan juga diharuskan adanya pembayaran premi oleh tertanggung.
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya besarnya pembayaran premi yang dibebankan kepada tertanggung jauh lebih kecil dari jumlah yang dipertanggungkan dan yang merupakan maksimum tanggung jawab penanggung untuk membayar ganti rugi bila terjadi kerusakan atau kerugian secara keseluruhan (totally lost). 5. Di dalam perjanjian pertanggungan juga dijumpai unsur peristiwa dan kausalitas Di dalam perjanjian pertanggungan harus ada peristiwa tertentu, peristiwa mana harus diharapkan secara normal tidak akan terjadi. Jadi dengan kata lain bahwa peristiwa itu bisa mungkin terjadi (incidents which may happen) dan bukan suatu peristiwa yang harus atau mesti terjadi (events which must happen). Atau dengan kata lain peristiwa yang dimaksudkan dalam perjanjian pertanggungan, haruslah peristiwa yang tidak diduga-duga (fortuitous accidents). Dan peristiwa yang menimbulkan kerusakan atau kerugian yang diderita tertanggung itu harus ada hubungan kausal dengan bahaya tadi. Hubungan kausal sedemikian itu dalam praktik di jumpai di dalam pertangungan laut yang menganut doktrin kausalitas Inggris, yaitu “causa proxima non remota spectatuur” sedang Indonesia menganut ajaran kausalitas
teori subjektif adequate dari Von Kriest seperti yang terdapat
dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Di samping asas-asas dan unsur-unsur penting yang terdapat dalam pengertian pertanggungan pada Pasal 246 KUHD tersebut terdapat suatu ketentuan tentang subrogasi seperti yang di tegaskan dalam Pasal 284 KUHD,
Universitas Sumatera Utara
pasal mana sangat erat hubungan dengan Pasal 1366 KUH Perdata. Pasal 284 KUHD tersebut berbunyi: “Penanggung yang membayar kerugian dari suatu benda yang dipertanggungkan mendapat semua hak-hak yang ada pada si tertanggung terhadap orang-orang ketiga mengenai kerugian itu, dan tertanggung bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan hak dari penanggung terhadap orang ketiga itu”. Pasal 284 KUHD tersebut seperti diketahui sangat erat hubungannya dengan Pasal 1366 KUH Perdata, pasal mana berbunyi antara lain: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Kalau diteliti lebih mendalam rumusan Pasal 284 KUHD itu maka dapat diketahui adanya keharusan dari tertanggung untuk menyelamatkan hak-hak tuntutannya kepada pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian yang dideritanya dan hak tuntutan tersebut segera beralih kepada penanggung segera setelah penanggung membayar ganti rugi kepadanya. Jika tertanggung lalai dalam hal ini, maka tertanggung bertanggung jawab kepada penanggung untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap pihak ketiga tersebut. Dengan demikian setiap orang yang mempertanggungkan benda-benda atau kepentingan kepada penanggung secara tidak langsung didorong untuk berbuat sesuai dengan kehendak hukum yang berlaku. Di lain pihak, dengan adanya tuntutan dari orang yang dirugikan itu, maka pihak ketiga yang bertanggung jawab itu akan semakin sadar perlunya menghormati hak-hak orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Era Containerisasi di dalam pengangkutan laut telah banyak manfaat yang diberikan termasuk di dalamnya adalah meminimalisir kerusakan dan atau kerugian terhadap cargo yang diangkut di dalamnya. Akan tetapi seringkali terjadi kerugian (loss) yang berupa kehilangan barang (shortage claim). Sering kali consignee sebagai buyer tidak menerima barang dalam jumlah yang disepakati di dalam sales and purchase contract atau seperti yang dideklarasikan oleh seller sebagai shipper kepada pengangkut di dalam packing list. Dasar hukum yang digunakan dalam kasus kerugian yang berupa kehilangan barang adalah perjanjian pengangkutan Bill of Lading, Haque Rules 1924/1968, Sales and purchase contract jika kerugian yang berupa kekurangan barang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian dari penjual (seller). Dalam menentukan Pihak yang bertanggung jawab maka harus ditentukan Pertama ; pihak-pihak yang terlibat di dalam pengangkutan. Kedua ; apakah kondisi seal container dalam keadaan utuh (seal intact). Ketiga ; Bagaimanakah perjanjian yang disepakati oleh pengirim barang dengan pihak pengangkut yang berkaitan dengan klaim kehilangan barang.8 Proses pengangkutan adalah sebagai berikut: Pertama, eksportir akan memuat (stuffing) cargonya ke dalam container digudangnya/ gudang CFS (Container Freight Station)
pihak yang terlibat disini adalah eksportir atau
Warehousing, Ke-dua, cargo dibawa dengan truk ke container yard pelabuhan
8
Prima, “Klaim kehilangan barang, Siapa Yang Bertanggung jawab”, Dikutip dari http://hukumpengangkutan.blogspot.com/, Diakses tanggal 20 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
muat (port of loading) pihak yang terlibat adalah Perusahaan Trucking dan Pihak Pelabuhan muat, Ke-tiga, cargo dimuat ke atas kapal dan dibongkar di container yard pelabuhan bongkar (port of discharge) yang terlibat adalah perusahaan pelayaran (Shipping Line) dan pihak pelabuhan bongkar, Ke-empat, Cargo dibawa ke Gudang dengan truk ke gudang importir/ gudang CFS pihak yang terlibat adalah Perusahaan Trucking dan importir/warehousing. Untuk melaksanakan pengangkutan
tersebut
maka
pihak
eksportir/importir
biasanya
akan
mensubkontrakan ke satu pihak yaitu freight forwarder dan freight forwarder akan mensubkontrakan ke pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengangkutan seperti disebut dalam tahap pertama sampai dengan tahap keempat. Melihat dari proses tersebut maka potensi terjadinya kehilangan cargo ada pada setiap tahap tersebut dan pihak-pihak yg terlibat tersebut adalah pihak yang berpotensi untuk bertanggungjawab9 Untuk memperjelas proses di atas maka sebagai contoh adalah sebagai berikut Eksportir pada saat stuffing ia mendeklarasikan jumlah yang dimuat adalah 15 (lima belas) bale dengan per bale 400 (empat ratus) pcs kemudian setelah dimuat di dalam container maka container kemudian di-seal dan diangkut dengan trucking ke container yard pelabuhan muat seterusnya sampai kontainer tersebut dibongkar di gudang consignee atau Jika shipment dari shipper adalah LCL ((muatan Less than container load) dimana konsolidasi di CFS (Container Freight Station) maka ada kemungkinan proses transhipment dimana kargo akan 9
9 Ibid
Universitas Sumatera Utara
destuffing
dan
di-restuffing
lagi
ke
container
baru
sesuai
dengan
tujuan/destination dari cargo tersebut sehingga potensi terjadinya kehilangan cargo ada pada proses destuffing dan restuffing tersebut. Apabila ketika dilakukan destuffing di gudang consignee atau CFS pelabuhan bongkar jumlah barang berkurang tidak seperti yang dideklarasikan misal hilang 3 bale maka timbullah hak tuntutan ganti rugi dari importir atau penerima barang. Terhadap contoh kasus di atas siapakah yang harus bertanggung jawab untuk menentukan hal tersebut harus diperoleh bukti dalam kondisi seperti apakah seal container tersebut beralih dari satu pihak ke pihak lainnya. Apabila kondisi seal dalam penguasaan pihak trucking dalam keadaan sudah rusak kemudian diadakan survey ternyata jumlah barang berkurang maka tanggung jawab ada pada pihak trucking tersebut. Sehingga pada saat proses peralihan cargo adalah saat yang sangat penting untuk memeriksa kondisi seal, apabila kondisi seal rusak atau diganti dengan seal baru atau ada sesuatu yang tidak wajar segera dilakukan pemeriksaan dan atau survey sebelum beralih ke pihak berikutnya. Rusaknya seal bisa disebabkan karena rough handling terhadap container dan biasanya cargo masih dalam jumlah yang utuh. Apabila rusaknya seal adalah karena tindak pencurian (pilferage) maka jumlah cargo akan berkurang. Terhadap kasus di atas bagaimanakah jika kondisi seal masih dalam keadaan utuh dari gudang shipper sampai gudang consignee akan tetapi ketika cargo dibongkar di gudang consignee atau CFS ternyata jumlah kargo berkurang. Terhadap hal tersebut adalah sulit untuk menentukan pihak yang bertanggung
Universitas Sumatera Utara
jawab, akan tetapi terhadap hal tersebut ada kemungkinan bahwa jumlah barang yang tidak sesuai antara yang dideklarasikan shipper dengan yang diterima oleh consignee adalah karena kesengajaan dan atau kelalaian dari shipper di dalam menghitung jumlah barang yang ia muat ke dalam container. Dalam contoh kasus di atas shipper sengaja dan atau lalai tidak memuat atau men-stuffing 3 bale sehingga consignee hanya menerima 12 bale. Apabila shipment dari shipper adalah LCL dan terjadi proses transshipment dimana barang di-destuffing kemudian di-restuffing ke kontainer baru bersama cargo-cargo shipper lainnya untuk dikapalkan sesuai tujuannya (destinasinya) maka ada kemungkinan cargo hilang pada saat proses destuffing dan restuffing tersebut dengan kemungkinan karena kesengajaan dan atau kelalaian pihak consolidator di transhipent port atau karena faktor di luar itu misal tindak pencurian (pilferage). Apabila terhadap hal tersebut bisa dibuktikan maka pihak shipper atau CFS di transhipment port adalah pihak yang bertanggung jawab10. Terhadap kasus seperti tersebut apakah tuntutan ganti rugi bisa diajukan ke pelayaran (shipping Line) sebagai carrier. Terhadap hal tersebut tentu harus mengacu pada klausul-klausul yang diatur di dalam bill of lading. Pada umumnya Pihak pelayaran menerapkan ketentuan Shipper load, count and seal yang menentukan bahwa pihak shipper lah yang memuat, menghitung dan memasang seal terhadap muatannya sehingga carrier tidak bertanggung jawab apabila jumlah
10 Ibid
Universitas Sumatera Utara
yang dikirim berkurang karena yang melakukan pemuatan, penghitungan dan pemasangan seal adalah pihak shipper sendiri dan Pihak pelayaran tidak mengetahui hal tersebut. Di dalam clause shipper, load, count and seal maka Pelayaran membebaskan diri dari tanggung jawab tersebut termasuk di dalamnya karena pihak pelayaran tidak mengetahui tentang tanda-tanda dan jumlah, jenis pengepakan, kualitas, kuantitas, ukuran, berat, sifat dan seterusnya dari cargo tersebut. Pihak pelayaran sebagai pengangkut hanya mengetahui dan mengakui telah menerima sejumlah barang dari pengirim, dalam keadaan baik dilihat dari luar (in apperant good order and condition) sesuai jumlah partai kemasan barang yang dimuat ke atas kapal atau sejumlah contanier yang ia terima seperti yang disebutkan di dalam bill of lading, dimana pengangkut secara nyata tidak mengetahui isi yang sebenarnya dari barang dalam kemasan (Prima Facie Evidence). Sehingga terhadap tuntutan ganti rugi hilangnya atau berkurangnya barang pihak pelayaran tidak bertanggung jawab kecuali dapat dibuktikan bahwa barang hilang atau berkurang jumlahnya karena kesengajaan dan atau kelalaian pihak pelayaran ketika barang tersebut dalam penguasaannya (Carrier’s care and custody). Atas
dasar uraian
yang penulis
kemukakan
di
muka mengenai
permasalahan klaim dari pemilik barang, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hukumnya, mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan Perlindungan Hukum atas Klaim dari Pemilik Barang kepada Freight Forwarder/ UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
pengaturan
Freight
UJPT
Forwarder/
(Usaha
Jasa
Pengangkutan dan Transportasi) di Indonesia? 2. Bagaimanakah bentuk Dokumen Klaim
barang (muatan) serta cara
penanganannya? 3. Bagaimanakah perlindungan Hukum atas Klaim dari Pemilik Barang kepada Freight Forwarder/ UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi)? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengaturan Freight Forwarder/ UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi) di Indonesia. 2. Untuk mengetahui bentuk Dokumen Klaim barang (muatan) serta cara penanganannya. 3. Untuk mengetahui perlindungan Hukum atas Klaim dari Pemilik Barang kepada
Freight
Forwarder/
UJPT
(Usaha
Jasa
Pengangkutan
dan
Transportasi).
Universitas Sumatera Utara
D. Manfat Penelitian Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Dapat mengetahui peraturan hukum apa yang dipakai pemilik barang dan pihak-pihak yang berwenang untuk tercapainya perlindungan Hukum bagi pemilik barang kepada Freight Forwarder/ UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi di Indonesia sekarang ini. 2. Secara Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat) serta pihak pelabuhan, sehingga aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi mempunyai persepsi yang sama. Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai dasar perlindungan Hukum atas Klaim dari Pemilik Barang kepada
Freight
Forwarder/
UJPT
(Usaha
Jasa
Pengangkutan
dan
Transportasi).
E. Keaslian Penulisan Berdasarkan
pemeriksaan
yang
telah
dilakukan
oleh
peneliti
di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang
Universitas Sumatera Utara
“Perlindungan Hukum atas Klaim dari Pemilik Barang kepada Freight Forwarder/ UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi)”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi). Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional,
obyektif
dan
terbuka.
Sehingga
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak perseorangan dilindungi oleh hukum. Hak perseorangan adalah relatif, sifat perseorangan dalam hukum perjanjian menimbulkan gejala-gejala hukum sebagai akibat hubungan hukum antara persoon dengan persoon lainnya. Konsep hukum dan teori hukum dalam sistem mendekatkan hukum pada permasalahan peran
Universitas Sumatera Utara
sekaligus fungsi hukum. Orang (termasuk dalam pengertian kelembagaan) dapat melakukan sesuatu kehendak melalui pemanfaatan hukum.11 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice), Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of the justice to secure from enjury).12 Menurut G.W. Paton, hak yang diberikan oleh hukum ternyata tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi juga unsur kehendak (the element of will).13 Maka teori hukum perlindungan dan kepentingan bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya
adalah
kebaikan,
kebahagiaan
yang
sebesar-besarnya
dan
berkurangnya penderitaan.14 Akan tetapi menurut John Rawls ada ketidaksamaan antara tiap orang, contohnya dalam hal tingkat perekonomian, ada tingkat perekonomian lemah dan
11
Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal. 69., Lihat Buku Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 7. 12 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”, (Medan: Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004), hal. 4-5. 13 George Whitecross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, edisi kedua, (London: Oxford University Press, 1951), hal. 221. 14 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
ada tingkat perekonomian kuat. Jadi negara harus bertindak sebagai penyeimbang terhadap ketidaksamarataan kedudukan dari status ini dan negara harus melindungi hak dan kepentingan pihak yang lemah. Lalu Rawls mengoreksi juga bahwa ketidakmerataan dalam pemberian perlindungan kepada orang-orang yang tidak beruntung itu.15 Teori ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun terdapat perbedaan bangsa, kekuasaan, jabatan, kedudukan, dan lain-lain. Teori ini sangat penting terutama dalam Perlindungan Hukum atas Klaim dari Pemilik Barang kepada Freight Forwarder/ UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi). Dalam pembahasan mengenai Perlindungan Hukum atas Klaim dari Pemilik Barang kepada Freight Forwarder/ Freight Forwarder/ UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi), teori utama yang digunakan adalah teori Perlindungan Hukum. Teori perlindungan hukum dalam penelitian ini tentunya didasari pada teori perlindungan hukum yang dikemukakan olek Philipus M. Hardjon, dimana perlindungan hukum dapat dilakukan dalam wujud perlindungan hukum preventif. Artinya ketentuan hukum dapat dihadirkan sebagai upaya pencegahan
atas
tindakan
pelanggaran
hukum.
Upaya
pencegahan
ini
diimplementasikan dengan membentuk aturan-aturan hukum yang sifatnya normatif. Dalam bahasa lain dikenal dengan istilah insabstrakto.
15
O.K. Thariza, “Teori Keadilan: Perspektif John Rawls”, www.okthariza.multiply.com/journal/item, Diakses tanggal 2 November 2009.
Dikutip
dari
Universitas Sumatera Utara
Teori pendukung untuk meneliti Perlindungan Hukum atas Klaim dari Pemilik Barang kepada Freight Forwarder/ UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi), adalah sebagai berikut: Teori Perlindungan yang dikemukakan oleh Telders, Vander Grinten dan Molengraaf, suatu norma baru dapat dianggap dilanggar, apabila suatu kepentingan yang dimaksudkan untuk dilindungi oleh norma itu dilanggar. Teori ini menjadi pegangan yang kuat untuk menolak suatu tuntutan dari seseorang yang merasa dirugikan kepentingannya oleh suatu perbuatan melanggar hukum. 2. Kerangka konsepsi Penelitian tesis ini menggunakan sejumlah konsep hukum yang terkandung dalam variabel penelitian maupun dalam rumusan permasalahan penelitian. Agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai konsep-konsep tersebut, maka perlu diuraikan defenisi operasional sebagai berikut: Pengertian Jasa Freight Forwarding pernah didefinisikan dalam PER178/PJ/2006 (yang kemudian dicabut dengan terbitnya PER-70/PJ/2007) yaitu mengacu pada Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. KM/10 Tahun 1988 tentang Jasa Pengurusan Transportasi. Berdasarkan SK Menhub tersebut, yang dimaksud dengan Jasa Freight Forwarding adalah : “usaha yang ditujukan untuk mewakili kepentingan Pemilik Barang, untuk mengurus semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat, laut dan udara yang dapat mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan, penandaan pengukuran, penimbangan, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, klaim asuransi, atas
Universitas Sumatera Utara
pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenan dengan pengiriman barang-barang tersebut sampai dengan diterimanya barang oleh yang berhak menerimanya.” Perlindungan Hukum itu sendiri yaitu segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada 16 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, WJS Purwadarminta edisi kedua, hal 506 klaim adalah tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (untuk memiliki atau mempunyai) atas sesuatu, “pemerintah Indonesia akan mengajukan klaim ganti rugi kepada pemilik kapal asing itu“17 Agar dapat memahami konsep pengangkutan secara komprehensif, perlu dikaji terlebih dahulu aspek-aspek yang tersirat dalam konsep pengangkutan. Konsep pengangkutan meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu: 1. Pengangkutan sebagai usaha (business); 2. Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement); dan 3. Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process).18 Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Tujuan kegiatan usaha pengangkutan 16
http:www//wikipedia.com Pengertian perlindungan hukum, diakses tanggal 3 Juni 2010 WJS Purwadarminta, kamus besar bahasa Indonesia edisi kedua, (Jakarta : Rineka Sipta, 1999) hal 506 18 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2008) hal 1. 17
Universitas Sumatera Utara
adalah memperoleh keuntungan dan/ atau laba; tujuan kegiatan perjanjian pengangkutan adalah memperoleh hasil realisasi yang diinginkan oleh pihak-pihak dan tujuan kegiatan pelaksanaan pengangkutan adalah memperoleh keuntungan dan tiba dengan selamat di tempat tujuan. Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan pelakunya. Tanpa kegiatan tidak mungkin tujuan dapat dicapai. Kata yang paling tepat untuk menyatakan ketiga aspek kegiatan dan hasilnya itu adalah “pengangkutan” karena sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, bukan “angkutan”. Istilah angkutan artinya hasil dari perbuatan mengangkut atau menyatakan apa yang diangkut (muatan). Jika dipakai dengan istilah hukum, yang tepat adalah “hukum pengangkutan” (transportation law), bukan “hukum angkutan”. Ad 1. Pengangkutan sebagai Usaha ( Business ) Pengangkutan sebagai usaha (business) adalah kegiatan usaha dibidang jasa pengangkutan yang menggunakan alat pengangkut mekanik. Alat jasa pengangkut mekanik contohnya ialah gerbong untuk mengangkut barang kereta untuk mengangkut penumpang, truk untuk mengangkut barang, pesawat penumpang untuk mengangkut penumpang, kapal kargo untuk mengangkut barang, dan kapal penumpang untuk mengangkut penumpang. Kegiatan usaha tersebut selalu berbentuk perusahaan perseorangan, persekutuan, atau badan hukum. Karena menjalankan perusahaan, untuk jasa pengangkutan bertujuan memperoleh keuntungan dan / atau laba.
Universitas Sumatera Utara
Setiap perusahaan
yang bergerak di bidang jasa pengangkutan harus
memperoleh izin usaha dari pemerintah sesuai dengan jasa pengangkutan yang dijalankannya. Perusahaan bidang jasa pengangkutan lazim di sebut perusahaan pengangkutan. Perusahaan pengangkutan meliputi kegiatan usaha bidang jasa: a. Pengangkutan dengan kereta api (railway); b. Pengangkutan dengan kendaraan bermotor umum (highway); c. Pengangkutan dengan kapal laut, kapal penyeberangan, kapal danau, dan kapal sungai (waterway); dan d. Pengangkutan dengan pesawat udara (airway)19 ad 2. Pengangkutan sebagai Perjanjian (Agreement) Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara pihak pengangkut dan pihak penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi kewajiban dan hak, baik pengangkutan dan penumpang maupun pengirim. Kewajiban pengangkut adalah mengangkut penumpang atau barang sejak tempat pemberangkatan sampai ke tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat. Sebagai imbalan, pengangkut berhak memperoleh sejumlah uang jasa atau uang sewa yang disebut biaya pengangkutan. Kewajiban penumpang atau pengirim adalah membayar sejumlah uang sebagai biaya pengangkutan dan memperoleh hak atas pengangkutan tujuan dengan selamat.20
19 20
Ibid, hal 2. Ibid, hal 2.
Universitas Sumatera Utara
ad 3. Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process) Pengangkutan sebagai proses terdiri atas serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat pengangkut, kemudian dibawa oleh pengangkut menuju ke tempat tujuan yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Di samping pengertian di atas ada beberapa konsep pengertian yang terdapat di dalam Undang-undang, sebagai berikut: 1. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.21 2. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya. 22 3. Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.23 4. Trayek adalah rute atau lintasan pelayanan angkutan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.24 21
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 1. 22 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 2. 23 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 3. 24 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 6.
tentang Pelayaran, Lembaran Lembaran Negara Republik tentang Pelayaran, Lembaran Lembaran Negara Republik tentang Pelayaran, Lembaran Lembaran Negara Republik tentang Pelayaran, Lembaran Lembaran Negara Republik
Universitas Sumatera Utara
5. Agen Umum adalah perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional yang khusus didirikan untuk melakukan usaha keagenan kapal, yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing untuk mengurus kepentingan kapalnya selama berada di Indonesia.25 6. Usaha Jasa Terkait adalah kegiatan usaha yang bersifat memperlancar proses kegiatan di bidang pelayaran.26 7. Angkutan Multimoda adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari satu tempat diterimanya barang oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut.27 8. Usaha Pokok adalah jenis usaha yang disebutkan di dalam surat izin usaha suatu perusahaan.28 9. Hipotek Kapal adalah hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain.29 25
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 7. 26 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 9. 27 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 10. 28 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 11.
Universitas Sumatera Utara
10. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.30 11. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.31 12. Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan
kegiatan
kepelabuhanan,
dan
pemberian
pelayanan
jasa
kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.32 29
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 12. 30 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 16. 31 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 17. 32 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, dan Tambahan Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 27.
tentang Pelayaran, Lembaran Lembaran Negara Republik tentang Pelayaran, Lembaran Lembaran Negara Republik tentang Pelayaran, Lembaran Lembaran Negara Republik tentang Pelayaran, Lembaran Lembaran Negara Republik
Universitas Sumatera Utara
13. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.33 14. Perlindungan Lingkungan Maritim adalah setiap upaya untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang terkait dengan pelayaran.34 15. Mahkamah Pelayaran adalah panel ahli yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal.35
G. Metode Penelitian Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.36 Metode yang digunakan dalam
33
Republik Indonesia, Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Republik Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 32. 34 Republik Indonesia, Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Republik Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 57. 35 Republik Indonesia, Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Republik Indonesia Nomor 4849, Pasal 1 angka 58. 36 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Rineka Cipta, 1994), hal. 105.
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Nomor 64, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Nomor 64, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Nomor 64, dan Tambahan Lembaran Negara Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung :
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).37 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.38 Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 39 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. 37 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafitti Press, 2006), hal. 118. 38 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok
tertentu.40
Deskriptif
analitis
berarti
bahwa
penelitian
ini
menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan dalam kasus Perlindungan Hukum atas Klaim dari Pemilik Barang kepada Freight Forwarder/ UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi). 2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.41 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan
pendekatan
perundang-undangan,
akan
menghasilkan
suatu
penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan “Perlindungan Hukum atas Klaim
39
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57. 40 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Prenada Media, 1997), hal. 42. 41 Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal 302.
Universitas Sumatera Utara
dari Pemilik Barang kepada Freight Forwarder/ UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi)”. 3. Sumber Data Penelitian Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, serta bahan-bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini. a. Bahan Hukum Primer terdiri dari: Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan misalnya UndangUndang Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, Peraturan Presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan. b. Bahan Hukum Sekunder: Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.42
Universitas Sumatera Utara
c. Bahan hukum tersier : Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.43 Serta dokumen-dokumen yang diperoleh penulis dari importir/ eksportir maupun dari UJPT. Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundangundangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.44 Selain itu juga dilakukan riset lapangangan tentang studi mengenai dokumen dari perusahaanperusahaan seperti PT. Genta Harapan Perkasa dan PT. Cemara Cahaya Cemerlang.
42 43
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hal 141. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Op. Cit., hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
5. Analisis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.45 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif.
44 45
Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, (Bandung : Bina Cipta, 2004), hal. 97. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafindo, 2006), hal. 225.
Universitas Sumatera Utara