BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lingkungan peradilan yang diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman dan yang terakhir telah diganti dengan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, merupakan lembaga peradilan khusus yang ditujukan kepada umat Islam dengan lingkup kewenangan yang khusus pula, baik mengenai perkaranya ataupun pencari keadilannya. Kewenangan absolut dari pengadilan agama dituangkan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yaitu pengadilan agam bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang Islam di bidang: 1. Perkawinan; 2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam 3. Wakaf dan shadaqah Lahirnya penerapan sistem ekonomi syariah di Indonesia pada gilirannya menuntut adanya perubahan di berbagai bidang, terutama berkenaan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur ihwal ekonomi dan keuangan. Lebih dari itu, kehadiran system perbankan syariah di Indonesia ternyata juga tidak hanya
12
menuntut perubahan peraturan perundang-undangan dalam bidang perbankan saja, tetapi berimplikasi juga pada peraturan perundang-undangan yang mengatur institusi lain, misalnya lembaga peradilan. Kewenagan baru bagi lembaga peradilan agama yang terlahir dari Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dapat dikatakan sebagai peluang dan sekaligus tantangan. Dikatakan sebagai peluang, karena dengan semakin luasnya kewenangan yang dimiliki, maka semakin jelaslah eksistensi lembaga peradilan agama bagi pencari keadilan. Dikatakan sebagai tantangan, karena dewasa ini pengadilan agama belum memiliki pengalaman hukum dalam menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah. Sehingga terhadap kewenangan baru dibidang ekonomi syariah ini, lembaga Peradilan Agama perlu mempersiapkan institusinya dengan seperangkat peraturan, serta norma yuridis yang tepat terkait sengketa dibidang ekonomi syariah. Salah satu poin penting dari adanya amandemen terhadap undang-undang Peradilan Agama adalah adanya perluasan kewenangan Peradilan Agama. Berdasarkan pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama juga berwenang untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa di bidang ekonomi syariah. Mengingat transaksi (akad) ekonomi syaraiah yang dilakukan adalah berdasarkan kepada syariat Islam, sehingga sudah pada tempatnya apabila terjadi persengketaan, maka lembaga peradilan agama diberi
13
kepercayaan berupa kewenangan absolute untuk mnyelesaikan sengketa perbankan syariah. Dalam penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan antara orang-orang yang
beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: a. bank syari’ah; b. lembaga keuangan mikro syari’ah. c. asuransi syari’ah; d. reasuransi syari’ah; e. reksa dana syari’ah; f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g. sekuritas syari’ah; h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. bisnis syari’ah. Dalam hal terjadi sengketa keperdataan termasuk hak milik antara orang beragama Islam dan non Islam mengenai obyek sengketa sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
14
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, maka cara penyelesaiannya diatur dalam Pasal 50 yang isinya sebagai berikut: a. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009, khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pegadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. b.
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009. Persiapan lembaga Peradilan Agama dalam sengketa baru di bidang ekonomi
syariah tersebut, sejalan dengan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Islam merumuskan suatu sistem ekonomi yang sama sekali berbeda dari sistem-sistem lainnya. Berkembangnya lembaga keuangan syariah di negara-negara Islam
berpengaruh
ke
Indonesia.
Pesatnya
perkembangan bank syariah
menimbulkan ketertarikan bank konvensional untuk menawarkan produk-produk bank syariah. Hal tersebut terlihat dari tindakan beberapa bank konvensional yang membuka sistem tertentu di dalam masing-masing bank dalam menawarkan produk bank syariah.
15
Berdasarkan konsep syariah, pada dasarnya sistem ekonomi atau perbankan syariah memiliki tiga ciri yang mendasar, yaitu prinsip keadilan, menghindari kegiatan yang dilarang, dan memperhatikan aspek kemanfaatan.5 Ketiga ciri sistem perbankan syariah yang demikian, tidak hanya memfokuskan perhatian pada diri sendiri untuk menghindari praktik bunga, tetapi juga kebutuhan untuk menerapkan semua prinsip syariah dalam sistem ekonomi secara seimbang. Para ahli hukum dan para ahli ekonomi muslim telah mengembangkan instrumen-instrumen keuangan yang sesuai dan yang bertujuan melaksanakan tujuan-tujuan yang telah digariskan oleh perbankan syariah. Salah satu jasa yang diberikan oleh perbankan syariah adalah mudharabah. Mudharabah merupakan wahana utama bagi lembaga keuangan syari'ah untuk memobilisasi dana masyarakat dan untuk menyediakan berbagai fasilitas, antara lain fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha. Mengenai akad mudharabah, maka berlaku ketentuan-ketentuan sebagaimana terdapat dalam Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Mudharabah dan No. 43/DSN-MUI/IV/2004 Tentang Ganti Rugi. Mudharabah adalah suatu transaksi pembiayaan berdasarkan syari'ah, yang juga digunakan sebagai transaksi pembiayaan ekonomi syari'ah yang pada dasarnya dilakukan atas dasar kepercayaan. 6 Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi pembiayaan mudharabah, yaitu kepercayaan dari pemilik modal (shahibul maal) kepada penerima modal (mudharib). Shahibul maal memercayakan sejumlah
5
Zainuddin Ali, 2008, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 20 Sutan Remy Sjahdeini, 2005, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, PT. Kreatama, Jakarta, hlm. 27 6
16
dana kepada mudharib, untuk menjalankan suatu aktivitas usaha yang mana pembagian keuntungan telah disepakati sebelumnya. Apabila usaha dalam mudharabah mengalami kegagalan, sehingga karena itu terjadi kerugian yang sampai mengakibatkan sebagian atau, bahkan, seluruh modal yang ditanamkan oleh shahibul maal habis, maka yang menanggung kerugian keuangan hanya shahibul maal sendiri, sedangkan mudharib tidak menanggung atau tidak harus mengganti kerugian atas modal yang hilang. Kecuali kerugian tersebut terjadi akibat dari kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan yang dilakukan oleh mudharib. Terjadinya sengketa dalam aplikasi pembiayaan syariah, secara umum berkaitan erat dengan resiko dalam bisnis. Dan resiko pada dasarnya merupakan tingkat ketidakpastian mengenai suatu hasil (keuntungan) yang diperkirakan dan atau diharapkan akan diterima oleh lembaga keuangan syariah sebagai salah satu bagian unit dalam aktivitas ekonomi berbasis syariah. Sengketa akibat wanprestasi karena pembiayaan yang macet harus diselesaikan dengan mencermati isi akad dan aturan hukum yang berkaitan dengan perjanjian atau akad syariah. Keberadaan akad sangat penting untuk mengetahui apakah salah satu pihak telah melakukan wanprestasi dan kewajiban apa yang harus ditanggung jika wanprestasi dilakukan. Apabila salah satu pihak yang terikat akad tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, tentu timbul kerugian pada pihak lain yang mengharapkan dapat mewujudkan kepentingannya melalui pelaksanaan akad tersebut. Oleh karena itu, hukum melindungi kepentingan dimaksud dengan membebankan tanggung
17
jawab untuk memberikan ganti rugi atas pihak yang ingkar janji (wanprestasi) bagi kepentingan pihak yang berhak. Tanggung jawab akad itu memiliki tiga unsur pokok, yaitu adanya perbuatan ingkar janji yang dapat dipersalahkan, perbuatan ingkar janji itu menimbulkan kerugian kepada kreditur, dan kerugian kreditur disebabkan oleh (memiliki hubungan sebab akibat dengan) perbuatan ingkar janji debitur. Dari hasil penelusuran dokumen sementara yang Penulis lakukan, Pengadilan Agama di kabupaten Bantul, pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undanh-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berdasarkan Pasal 49 Undang-undang No.3 Tahun 2006 telah menerima, memutus dan menyelesaikan perkara sengkata ekonomi syariah. Salah satunya sengketa ekonomi syariah dengan No. Register perkara 0318/Pdt.G/2011/PA.Btl. Putusan perkara No. 0318/Pdt.G/2011/PA.Btl merupakan bentuk dari aktivitas ekonomi syariah dalam bentuk pembiayaan mudharabah. Didalam akad pembiayaan tersebut, pihak Penggugat sebagai shahibul maal dan para tergugat adalah orang yang berkapasitas selaku mudharib atau yang menjalankan usaha. Penggugat membiayai modal kerja Para Tergugat yang kemudian oleh Para Penggugat diperuntukkan untuk membiayai sebuah proyek. Segala bentuk kegiatan dalam akad penyertaan tersebut didasarkan pada prinsip syariah dalam bentuk akad pembiayaan dengan mudharabah. Dengan menganalisa perkara tersebut di atas, ingin diketahui bagaimana penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Disamping itu penulis juga meneliti bagaimanakah pelaksanaan putusan tersebut. Apakah putusan dilaksanakan secara
18
sukarela ataukah dengan permohonan pengajuan eksekusi. Permasalahanpermasalahan tersebut mendorong penulis untuk menyusun tesis dengan judul “PENYELESAIAN
GUGATAN
WANPRESTASI
DALAM
EKONOMI
SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA BANTUL (Analisis Putusan Perkara No. 0318/Pdt.G/2011/PA.Btl).”
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan perspektif dan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana penyelesaian gugatan wanprestasi dalam ekonomi syariah di Pengadilan Agama Bantul Perkara No. 0318/Pdt.G/2011/PA.Btl?
2.
Bagaimana pelaksanaan putusan Pengadilan Agama Bantul atas gugatan wanprestasi dalam ekonomi syariah Perkara No. 0318/Pdt.G/2011/PA.Btl?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk menganalisis mengenai penyelesaian gugatan wanprestasi dalam ekonomi syariah atas putusan Pengadilan Agama Bantul Putusan Perkara No. 0318/Pdt.G/2011/PA.Btl.
2.
Untuk mengetahui pelaksanaan putusan mengenai gugatan wanprestasi dalam ekonomi syariah atas putusan Pengadilan Agama Bantul Putusan Perkara No. 0318/Pdt.G/2011/PA.Btl.
19
D. MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Secara teoritis, sebagai bahan masukan dan memberikan kontribusi pemikiran dibidang hukum, khususnya mengenai penyelesaian ekonomi syariah.
2.
Secara praktis, memberikan informasi pada praktisi agar lebih dapat menganalisis terjadinya sengketa ekonomi syariah sekaligus mengumpulkan bahan untuk memberi nasehat maupun solusi hukum dalam upaya mendamaikan atau menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam praktik pembiayaan syariah.
Bagi masyarakat,
diharapkan
lebih mengetahui
perkembangan kesadaran hukum dan dapat mengahayati segala potensi resiko kemungkinan terjadi dalam aktifitas ekonomi syariah, sehingga pelaku pasar dapat mengambil kebijakan terbaik untuk menjaga kelangsungan usaha ekonominya dengan tanpa merugikan partner bisnisnya.
E. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian mengenai Penyelesaian Gugatan Wanprestasi Dalam Ekonomi Syariah
di
Peradilan
Agama
Bantul
(Analisis
Putusan
Perkara
No.
0318/Pdt.G/2011/PA.Btl) dengan rumusan masalah seperti di atas menurut sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan, namun penelitian yang terkait dengan tema penyelesaian ekonomi syariah dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:
20
1.
Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Dalam Akad Pembiayaan Mudharabah pada PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bangun Drajat Warga di Yogyakarta, Supatmi pada tahun 2011. Permasalahan yang diangkat adalah:7 a. Bagaimana penyelesaian pembiayaan bermasalah dalam akad pembiayaan mudharabah pada PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bangun Drajat Warga? b. Faktor-faktor apa saja yang menghambat penyelesaian pembiayaan bermasalah dalam akad pembiayaan mudharab pada Pt. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bangun Drajat Warga? Hasil penelitian : a. Cara penyelesaian pembiayaan bermasalah dalam akad pembiayaan mudharabah yaitu dengan tahap awal melakukan komunikasi dengan cara musyawarah kepada pihak nasabah tentang apa yang terjadi didalam usaha. Jika tidak terjadi kata mufakat maka dengan persetujuan nasabah akan dilakukan penjualan barang agunan yang sebelumnya telah dijaminkan. Cara lainnya yang dapat dilakukan yaitu dengan merestrukturisasi pembiayaan bagi nasabah dengan penataan kembali pembiayaan. b. Didalam
menghadapi
permasalahan
dan
hambatan
penyelesaian
pembiayaan bermasalah dalam akad pembiayaan mudharabah, PT. Bank Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bangun Drajat Warga berusaha untuk melakukan pendekatan persuasif kepada pihak terkait terutama nasabah untuk dapat menyelesaiakan permasalahan pembiayaan mudharabah 7
Supatmi, 2011, “Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Dalam Akad Pembiayaan Mudharabah Pada PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bangun Drajat Warga di Yogyakarta”, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 8
21
tersebut dengan cara kekeluargaan dan memberikan upaya-upaya penyelamatan usaha. 2.
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Prespektif Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, disusun oleh Lusi Ariyanti pada tahun 2009. Permasalahan yang diangkat adalah:8 a. Bagaimanakah pelaksanaan penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam prespektif Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. b. Bagaimanakah sikap Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah ketika kepastian hukum acara dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah tersebut belum ada.
Hasil penelitian: a. Dengan adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Hanya saja dalam undang-undang tersebut belum cukup menjabarkan kewenangan Pengadilan Agama. Sehingga dalam praktik Hakim Agama menjadi bias dalam menafsirkan perjanjian yang menjadi pokok perselisihan. Oleh karena itu Mahkamah Agung pada saat ini sedang membahas Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang nantinya menjadi acuan bagi para Hakim Pengadilan Agama dalam memutus sengketa ekonomi syariah. b. Sikap Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah ketika kepastian hukum acara dalam menyelesaikan sengketa ekonomi 8
Lusi Ariyanti, 2009, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Dalam Prespektif UndangUndang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Tesis, Magister Hukum Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 8
22
syariah tersebut belum ada yaitu dengan mempersiapkan sumber daya manusia. Pada saat ini Hakim Pengadilan mengambil sikap menggunakan hukum acara yang sudah ada dalam memutuskan perkara ekonomi syariah. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah disebutkan diatas berbeda dengan penelitian yang diangkat oleh peneliti mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah walaupun masih ada keterkaitannya, adapun perbedaan antara peneliti dengan penelitian ini adalah: 1.
Perbedaan dengan peneliti pertama lebih membahas penyelesaian sengketa pembiayaan mudharabah yang diselesaikan oleh pihak PT. Bank PT. Bank Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bangun Drajat Warga, sedangakan dalam penelitian ini peneliti membahas mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara litigasi yaitu melalui Pengadilan Agama.
2.
Perbedaan dengan peneliti kedua, yaitu peneliti kedua lebih membahas penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara umum yang didasarkan pada No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, sedangkan dalam penelitian ini akan lebih khusus membahas penyelesaian sengketa ekonomi syariah atas putusan
Pengadilan
0318/Pdt.G/2011/PA.Btl,
Agama baik
Bantul mengenai
No.
Register
penyeleaian
perkara
sengketa
dan
pelaksanaan putusan pengadilan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian sekiranya belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya oleh penulis lain, oleh karenanya peneliti merumuskan judul penelitian yang diangkat yaitu:
23
“PENYELESAIAN
GUGATAN
WANPRESTASI
DALAM
EKONOMI
SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA BANTUL (Analisis Putusan Perkara No. 0318/Pdt.G/2011/PA.Btl).”
24