BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, pada Pasal 19 dinyatakan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum pertanahan, pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah. Atas tanah yang telah didaftarkan selanjutnya diberikan tanda bukti hak atas tanah yang merupakan alat bukti yang kuat mengenai kepemilikan tanah. Dalam pendaftaran tanah, girik yaitu tanda bukti pembayaran pajak atas tanah dapat disertakan untuk proses administrasi. Dengan demikian girik bukan merupakan tanda bukti kepemilikan hak atas tanah, namun sematamata hanyalah merupakan bukti pembayaran pajak-pajak atas tanah. Dengan demikian, apabila di atas bidang tanah yang sama, terdapat klaim dari pemegang girik dengan klaim dari pemegang surat tanda bukti hak atas tanah (sertifikat), maka pemegang sertifikat atas tanah akan memiliki klaim hak kebendaan yang lebih kuat. Namun demikian, persoalan tidak sesederhana itu. Dalam hal proses kepemilikan surat tanda bukti hak atas tanah melalui hal-hal yang bertentangan dengan hukum, maka akan ada komplikasi Hak menguasai tanah oleh Negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada Negara, sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:1 bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara konstitusional Negara 1
Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.
1
memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat. Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh Negara, terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk: 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling dasar, tanah bisa dikatakan mempunyai nilai ekonomis dan juga fungsi sosial sehingga kepentingan pribadi atas tanah kadang dikorbankan untuk kepentingan umum. Dengan demikian tanah bisa dikatakan mempunyai nilai ekonomis maupun sosial, tetapi negara haruslah menghormati dan menjamin hak-hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat sesuai dengan undang-undang. Kepemilikan tanah selama ini sudah diatur di dalam undang-undang dan dijamin oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam UUPA akan tetapi masih saja terjadi konflik dan sengketa. Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik kepentingan atas tanah. Sengketa tanah tidak dapat dihindari di
2
zaman sekarang, ini disebabkan karena berbagai kebutuhan tanah yang sangat tinggi di zaman sekarang sementara jumlah bidang tanah terbatas.2 Penguasaan tanah oleh Negara adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggung jawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Disisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan kewenangan dan tanggung jawab.3 Dinamika pembangunan nasional, seringkali menuntut Negara untuk melakukan penataan kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan bagi kepentingan umum. Pembangunan prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian dan sebagainya adalah beberapa diantara dasar legitimasi yang digunakan oleh Negara dalam pengambilalihan tanah masyarakat. Dalam kehidupan manusia, keberadaan tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri, sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Oleh karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Dalam hukum adat, tanah merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat seperti yang telah dijelaskan di atas, tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.4
2
Gunawan Wiradi, tanggal 4 Mei 2001 “Satu Abad Bung Karno”, Masalah Pembaruan Agraria: Dampak Land Reform Terhadap Perekonomian Negara, Bogor, hlm. 4. 3 Adrian Sutedi, 2010, Op.Cit, hlm 31. 4 Busar Muhammad, 1986, Asas-asas Hukum Adat: Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 107, 109.
3
Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting bagi Negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria yang sedang membangun kearah perkembangan industri dan lain-lain. Akan tetapi, tanah yang merupakan kehidupan pokok bagi manusia akan berhadapan dengan berbagai hal, antara lain: 1. Keterbatasan tanah, baik dalam jumlah maupun kualitas dibanding dengan kebutuhan yang harus dipenuhi 2. Pergeseran pola hubungan antara pemilik tanah dan tanah sebagai akibat perubahanperubahan yang ditimbulkan oleh proses pembangunan dan perubahan-perubahan sosial pada umumnya 3. Tanah di satu pihak telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting, pada lain pihak telah tumbuh sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi 4. Tanah di satu pihak harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat lahir batin, adil dan merata, sementara di lain pihak harus dijaga kelestariannya. Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, hukum tanah di Indonesia bersifat dualisme, artinya selain diakui berlakunya hukum tanah adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan atas hukum barat. Setelah berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang berlaku di Indonesia menjadi suatu unifikasi hukum tanah. Hak milik sebagai suatu lembaga hukum dalam hukum tanah telah diatur dalam hukum tanah sebelum UUPA maupun dalam UUPA. Sebelum berlakunya UUPA, ada dua golongan besar hak milik atas tanah, yaitu hak milik menurut hukum adat dan hak milik menurut hukum perdata barat yang dinamakan Hak Eigendom. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
4
pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Demikian pengertian pendaftaran tanah dalam ketentuan umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah diselenggarakan untuk menjamin kepastian hukum, pendaftaran tanah ini diselenggarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah. Dalam memenuhi kebutuhan pemerintah melakukan data penguasaan tanah terutama yang melibatkan para pemilik tanah. Pendaftaran tanah semula dilaksanakan untuk tujuan fiskal (fiscal kadaster) dan dalam hal menjamin kepastian hukum seperti diuraikan di atas maka pendaftaran tanah menjadi recht kadaster. Untuk pertama kali di Indonesia mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, dan baru berlaku 8 Oktober 1997. Sebelum berlaku peraturan pemerintah untuk hak-hak atas tanah yang tunduk pada Kitab UndangUndang Hukum Perdata Barat. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tersebut merupakan perintah dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960 yang berbunyi sebagai berikut: 1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah dilakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur diatur dengan peraturan pemerintah 2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a. Pengukuran, penetapan, dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
5
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat,
keperluan
lalu
lintas
sosial
ekonomi
serta
kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria 4. Dalam pendaftaran tanah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Di dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan orang yang seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari orang yang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi, cara pendaftaran tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidaklah positif, tetapi negatif. Di dalam peralihan hak dikenal asas nemo plus yuris melindungi pemegang hak yang sebenarnya dan asas iktikad baik yang berarti melindungi orang dengan iktikad baik memperoleh suatu hak dari orang yang disangka sebagai pemegang hak yang sah. Asas ini dipakai untuk memberi kekuatan pembuktian bagi peta dan daftar umum yang ada di kantor Badan Pertanahan. Dalam melakukan pendaftaran hak kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk tanah milik adat, pemohon wajib memenuhi kelengkapan data sebagaimana diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 24 ayat (1) yang isinya “Untuk keperluan pendaftaran hakhak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam
6
pendaftaran tanah secara sporadic, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.” Dalam proses pendafataran, Badan Pertanahan Nasional/ Kantor Pertanahan setempat harus mencermati kelengkapan dan otentisitas data pemohon agar dikemudian hari tidak terjadi kekhilafan yang dapat mengakibatkan produk yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional/ Kantor Pertanahan menjadi cacat hukum. Ketidakcermatan Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan produk hukum dapat menimbulkan sengketa, terlebih jika produk hukum yang dikeluarkan diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional kepada pihak yang tidak berhak dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain yang mempunyai hak terhadap tanah tersebut. Sengketa pertanahan dapat diselesaikan pada peradilan umum, namum proses peradilan yang tidak jarang memakan waktu yang lama membuat status tanah objek sengketa menjadi terabaikan. Tanah yang seharusnya dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat menjadi seakan tidak bertuan karena banyaknya pihak yang mengklaim kepemilikan atas tanah tersebut. Tanah yang dapat difungsikan untuk berbagai macam kegiatan perekonomian menjadi terabaikan dan tentunya akan menghambat proses ekonomi disuatu daerah. Salah satu asas dalam peradilan di Indonesia adalah pengadilan dilarang menolak perkara yang masuk, dampaknya terhadap sengketa pertanahan adalah banyaknya perkara-perkara yang masuk ke pengadilan terhadap suatu objek tanah terus menerus terjadi sehingga menghambat pemanfaatan atas tanah dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dibidang pertanahan. Putusan demi putusan dikeluarkan oleh lembaga peradilan mengenai suatu objek sengketa yang sama/ sejenis namun antar putusan yang satu dengan lainnya tidak ada keselarasan sehingga dampaknya
7
menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan hukum, hal ini tentunya tidak selaras dengan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga administrasi pertanahan tidak dapat mengeluarkan produk hukum berupa sertifikat jika diatas suatu tanah yang akan didaftarkan masih dalam keadaan sengketa, namun jika muncul banyak putusan baik putusan yang sifatnya keperdataan, pidana, maupun tata usaha Negara mengenai suatu objek tanah yang sama tetapi antar isi putusan tersebut bertolak belakang maka akan berdampak pada kepemilikan atas tanah yang akan menyulitkan tugas Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan sertifikat bagi pemilik yang sah atas suatu tanah tersebut. Salah satu sengketa tanah yang menarik adalah sengketa pertanahan di Jl. Jend. Sudirman, Jakarta Selatan yang setempat dikenal dengan tanah Kav. 67 Sudirman. Sengketa ini melibatkan dua pihak yang berperkara yaitu PT. Graha Metropolitan Nuansa dengan ahli waris Musa bin Tojib, keduanya mengklaim memiliki tanah adat di Kav. 67 Jl. Jend. Sudirman. Puluhan produk hukum berupa putusan dikeluarkan oleh lembaga peradilan terkait sengketa pertanahan antar keduabelah pihak, namun antara putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling bertentangan sehingga kepemilikan atas tanah menjadi tidak jelas. Kasus ini bermula sejak putusan pidana H. Abdul Aziz yang masih merupakan kongsi dari PT. Graha Metropolitan Nuansa berdasarkan Putusan No. 05/Pid.B/1991/PNJS. Bahwa H. Abdul Aziz telah menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta otentik itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta otentik itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran dan pemakaian akta otentik tersebut dapat menimbulkan kerugian. H. Abdul Aziz pada bulan Mei 1983 memberitahukan kepada notaris bahwa ia akan membeli tujuh bidang tanah dari tujuh orang penjual yang
8
salah satunya adalah Musa bin Tojib. Musa bin Tojib adalah pemilik tanah hak milik adat No. C. 568 seluas 2.338 m² di Jl. Jend. Sudirman, H. Abdul Aziz menyatakan bahwa surat girik tanah tersebut hilang. Bahwa laki-laki yang dikenalkan oleh H. Abdul Aziz sebagai Musa bin Tojib ternyata bukan Musa bin Tojib yang asli. Musa bin Tojib yang merupakan pemilik asli tanah tersebut tidak pernah menjual tanah tersebut kepada H. Abdul Aziz sehingga Akta Jual Beli No. 10/1983 berisi keterangan palsu sehingga pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung menyatakan menghukum H. Abdul Aziz terbukti melakukan tindak pidana memberikan keterangan palsu kedalam akta otentik dan menyatakan bahwa Akta No. 10/1983 adalah akta palsu. Dari Akta No. 10/1983 yang telah dinyatakan palsu berdasarkan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap terbit SHGB No. 5/HGB/BPN.RI/1997 atas nama PT. Graha Metropolitan Nuansa yang oleh ahli waris Musa bin Tojib dimohonkan pembatalannya karena didalam SHGB No. 5/HGB/BPN.RI/1997 terdapat cacat hukum administrasi berupa akta palsu yang menjadi dasar penerbitan sertifikat tersebut. Badan Pertanahan Nasional kemudian mengeluarkan SK No. 3/Pct/BPN.RI/2013 yang mencabut SK pemberian SHGB No. 5/HGB/BPN.RI/1997 karena cacat hukum administrasi. PT. Graha Metropolitan Nuansa kemudian menggugat Badan Pertanahan Nasional dan ahli waris Musa bin Tojib di Pengadilan Tata Usaha Negara. Hingga tingkat kasasi dan PT. Graha Metropolitan Nuansa dinyatakan menang oleh hakim pemeriksa perkara tersebut. Diranah perdata pihak PT. Graha Metropolitan Nuansa dan Ahli Waris Musa bin Tojib juga terus berperkara mengenai kepemilikan atas tanah di Jl. Jend. Sudirman. Sengketa berawal dari sengketa kewarisan antara ahli waris Musa bin Tojib dengan ahli waris Bani dengan objek sengketa tanah seluas 10.320 m² di Jl. Jend. Sudirman, Jakarta
9
Selatan sebagai bagian dari harta peninggalan Tojib bin Kiming dimana ahli waris Bani merasa berhak atas tanah warisan tersebut. Bahwa sengketa tersebut telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan perkara No. 605/Pdt.G/2004/PN.JKT.SEL dimana gugatan ahli waris Musa bin Tojib dikabulkan dan tanah seluas 10.320 m² dinyatakan sah sebagai milik ahli waris Musa bin Tojib. Atas dasar putusan No. 605/Pdt.G/2004/PN.JKT.SEL yang telah inkracht tersebut, maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membuat Surat Penetapan Eksekusi No. 605/Pdt.G/2004/PN.JKT.SEL tanggal 15 Maret 2006 dan teguran (aanmaning) tanggal 29 Maret 2006 kepada Tergugat/ ahli waris Bani. PT. Graha Metropolitan Nuansa kemudian menggugat penetapan eksekusi tersebut dengan nomor register perkara 1080/Pdt.G/2006/PN.JKT.SEL. Dalam gugatannya PT. Graha Metropolitan Nuansa mendasarkan kepemilikan haknya berdasarkan peralihan yang salah satunya adalah Akta No. 10/1983 (yang telah diputus palsu dalam putusan pidana inkracht). Bahwa dalam perkara gugatan PT. Graha Metropolitan Nuansa terhadap Ahli waris Musa bin Tojib dimaksud, Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan menolak gugatan PT. Graha Metropolitan Nuansa untuk seluruhnya dan telah inkracht hingga ke tingkat Peninjauan Kembali. Bahwa setelah PT. Graha Metropolitan Nuansa mengetahui gugatan terhadap ahli waris Musa bin Tojib ditolak dengan putusan PK No. 46/PK/Pdt/2014 tanggal 28 Mei 2014 tersebut, maka PT. Graha Metropolitan Nuansa mengadakan kembali sengketa baru tanah Kav. 67 Sudirman dengan hanya mengambil pihak H. Abdul Aziz dan PT. Indonesian Sales Organization sebagai Tergugat pada tanggal 12 Juni 2014 dalam perkara No. 352/Pdt.G/2014/PN.JKT.SEL padahal H. Abdul Aziz dan PT. Indonesia Sales Organization
telah
menjadi
pihak
Tergugat
dalam
perkara
No.
1080/Pdt.G/2006/PN.JKT.SEL jo. No. 46/PK/Pdt/ 2014/MA, kemudian secara singkat
10
perkara No. 352/Pdt.G/2014/PN.JKT.SEL diputus PT. Graha Metropolitan Nuansa menang melawan H. Abdul Aziz dan PT. Indonesian Sales Organization (verstek). Bahwa atas putusan verstek No. 352/Pdt.G/2014/PN.JKT.SEL, H. Abdul Aziz dan PT. Indonesian
Sales
Organization
mengajukan
PK
dengan
nomor
register
31/PK/Pdt/2015/MA amarnya adalah menolak permohonan PK H. Abdul Aziz dan PT. Indonesian Sales Organization serta menguatkan putusan ditingkat pertama (PT. Graha Metropolitan Nuansa menang) sehingga terdapat dua putusan PK yang memutus objek sengketa yang sama namun putusannya saling bertentangan yaitu putusan No 46/PK/Pdt/2014/MA yang memenangkan Ahli Waris Musa bin Tojib dan putusan No. 31/PK/Pdt/2015/MA yang memenangkan PT. Graha Metropolitan Nuansa. Sengketa pertanahan yang terus menerus karena ketidakpastian hukum di Indonesia menyebabkan banyaknya lahan-lahan yang potensial untuk dikembangkan demi pembangunan di Indonesia menjadi terlantar dan sia-sia. Pengadilan di Indonesia yang menganut asas dilarang menolak perkara menjadi salah satu celah yang menyebabkan sengketa pertanahan terjadi terus menerus karena banyaknya pihak maupun oknum yang selalu mengajukan gugatan maupun keberatan atas suatu tanah/ lahan yang mengakibatkan pembangunan menjadi terhambat. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna penyusunan tesis dengan mengambil judul “INKONSISTENSI PUTUSAN LEMBAGA PERADILAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP STATUS KEPEMILIKAN TANAH (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 46/PK/Pdt/2014 dan No. 31/PK/Pdt/2015)” B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengapa terjadi inkonsistensi putusan lembaga peradilan dalam sengketa tanah? 11
2. Bagaimana implikasi yuridis terhadap status kepemilikan tanah dengan adanya inkonsistensi putusan lembaga peradilan?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menganalisis inkonsistensi putusan lembaga peradilan dalam sengketa tanah. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi yuridis terhadap status kepemilikan tanah dengan adanya inkonsistensi putusan antar lembaga peradilan. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya dan Hukum Acara Perdata serta Hukum Agraria sebagai bagian dari studi ilmu hukum, pada khususnya di bidang penanganan sengketa dibidang pertanahan dan pengkajian hukum. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan pertimbangan dalam menangani kasus keperdataan dibidang pertanahan dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para praktisi maupun instansi-instansi terkait dalam menyelesaikan kasus serupa.
12
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan penulis, penelitian tentang Inkonsistensi Putusan Lembaga Peradilan Dan Implikasinya Terhadap Status Kepemilikan Tanah (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 46/PK/Pdt/2014/MA dan No. 31/PK/Pdt/2015/MA) sampai saat ini belum pernah ada. Akan tetapi apabila ternyata pernah dilaksanakan penelitian yang sama atau sejenis, maka penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya.
13