BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hubungan kakak-adik atau sibling relationship adalah hubungan yang unik dengan adanya karakteristik berupa cinta dan kehangatan, tetapi juga terdapat konflik dan persaingan di dalamnya (Buist, Dekovic, dan Prinzie, 2012). Hubungan kakak-adik juga menjadi hal yang penting karena kakak atau adik (sibling) adalah bagian dari keluarga yang merupakan mikrosistem yang memiliki pengaruh langsung pada individu. Namun terdapat hal yang menarik dimana sibling relationship ini ternyata tidak banyak diangkat dalam penelitian maupun penerapan ilmu psikologi (Buist, Dekovic, dan Prinzie, 2012). Milevsky (dalam Buist, Dekovic, dan Prinzie, 2012) menyatakan bahwa sekitar 90% orang di dunia memiliki sibling. Data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas adalah sebanyak 2,45% (www.depkes.go.id). Sementara itu data dari Survey Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) dari tahun 1999-2012 menyatakan bahwa tiap keluarga Indonesia rata-rata memiliki 2 sampai 3 anak. Dari data tersebut dapat diasumsikan bahwa setiap individu dengan disabilitas setidaknya memiliki satu sibling. Pada dasarnya setiap orang pasti ingin memiliki keluarga yang sehat, tanpa kekurangan suatu apapun. Namun akan lain halnya jika dalam sebuah keluarga kemudian hadir salah seorang anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam berbagai hal kebanyakan orang biasanya memberikan perhatian lebih pada kehadiran si anak dengan kebutuhan khusus
1
2
tersebut atau kepada orang tuanya yang dianggap mendapatkan tanggung jawab yang lebih untuk merawat si anak. Sementara itu tidak banyak orang yang memperhatikan saudara dari anak berkebutuhan khusus tersebut. Hal ini dapat dilihat dari jenis-jenis buku yang dijual di toko-toko buku tentang keluarga. Dari banyaknya buku yang bercerita tentang keluarga, sangat sedikit kita temukan buku-buku yang membahas tentang sibling. Sementara buku tentang strategi menjadi orang tua yang baik atau strategi membesarkan anak dengan kebutuhan khusus seperti autis, tuna rungu, tuna netra, atau tuna wicara, akan dengan mudah kita temukan terpajang rapi di rak-rak buku di toko-toko. Selain itu dalam penelitian yang dilakukan Herrick, Piccus, Lockwood, dkk. pada tahun-tahun yang berbeda (dalam Mota, dan Matos, 2015) menyebutkan bahwa peran dari seorang sibling kaitannya dengan anak-anak dan generasi muda beresiko tinggi belum dieksplor dengan baik dalam berbagai literatur. Padahal dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa seorang sibling dapat menyediakan rasa aman bagi saudaranya dalam menghadapi kesulitan. Di sisi lain penelitian dari Dosen (dalam Hosseinkhanzadeh; Esapoor, dkk, 2014) menyatakan bahwa seorang sibling dari anak berkebutuhan khusus atau pengidap penyakit kronis memiliki resiko akan mengalami behavioral disorder dan masalah kesehatan mental sebanyak 1,6 sampai 2 kali lebih banyak dari pada sibling dari seorang anak yang sehat dan normal. Salah satu orang yang merasakan hidup sebagai saudara atau sibling dari individu berkebutuhan khusus adalah Kate Strohm. Kate Strohm adalah seorang adik dari penyandang cerebral palsy di Australia dan pendiri Sibling Australia Inc. yang merupakan sebuah program yang menyediakan pelayanan untuk orang tua dan sibling. Dalam bukunya yang berjudul Siblings: Brothers and Sisters of Children with Special Needs yang diterbitkan pada tahun 2004, Kate memberikan sebuah perspektif seorang saudara penyandang disabilitas tentang
3
kehidupan dalam keluarganya. Kate menceritakan dirinya yang sempat merasa terisolasi walaupun perasaan tersebut mungkin tidak dapat dilihat oleh orang lain. Orang lain melihat Kate sebagai pribadi yang percaya diri dan sukses, namun di dalam hatinya ia merasa takut dan panik. Perasaan itu menghantuinya selama 30 tahun sebelum akhirnya ia menemukan seorang profesional yang mampu membuatnya memahami perasaannya. Uniknya, dalam bukunya itu Kate menyebutkan bahwa semua perasaan yang menggangunya itu ia rasakan di dalam keluarga yang hangat dan penuh cinta. Lebih lanjut, dalam buku ini Kate juga memasukkan kisah orang-orang yang merupakan sibling dari penyandang disabilitas lainnya dan juga berbagai penelitian internasional mengenai sibling. Kate membuat buku ini dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan isu tentang sibling, dan memberikan para sibling ini dukungan sosial agar mereka bisa menjadi lebih kuat dan tidak merasa sendirian. Selain Siblings, Kate Strohm kembali membuat buku untuk memberikan dukungan kepada para sesama saudara dari penyandang disabilitas pada tahun 2005 berjudul Being the Other One: Growing Up with a Brother or Sister who Has Special Needs. Selain buku karya Kate Stohm, peneliti juga menemukan buku berjudul Special Brothers and Sisters: Stories and Tips for Siblings of Children with Disability or Serious Illness. Buku ini berisi kumpulan kisah-kisah dari 40 orang yang memiliki saudara dengan kebutuhan khusus atau disabilitas. Serupa dengan buku karya Kate Strohm, Annette Hames, Monica Mccaffrey, dan Brendan Mccaffrey selaku penulis buku ini juga mempersembahkan buku ini sebagai dukungan bagi para sibling dari penyandang disabilitas agar mereka tak pernah merasa sendirian. Dalam buku ini juga terdapat saran-saran dan juga kontak dari organisasi-organisasi yang mungkin dapat membantu para sibling menghadapi masalahnya. Selain itu penulis juga menyampaikan pesannya untuk para orang tua agar mereka dapat
4
mengerti, menjaga, dan memahami perkembangan anak mereka yang normal. Lebih lanjut, dalam buku ini juga dituliskan bahwa seluruh hasil penjualan buku ini akan disalurkan kepada Sibs, sebuah organisasi di Inggris yang bergerak di bidang sibling dengan kakak atau adik seorang penyandang disabilitas atau penyakit kronis. Sibs memiliki visi untuk membuat setiap pemegang otoritas lokal di Inggris menyediakan pelayanan bagi sibling yang masih muda dan mendukung terjalinnya jaringan bagi sibling dewasa dengan beberapa cara diantaranya (www.sibs.org.uk) :
Menjadi sumber informasi, pelatihan dan penelitian terkait isu tentang sibling di Inggris.
Mempengaruhi kebijakan pemerintah dan penyedia layanan lainnya.
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu sibling.
Dalam website-nya Sibs juga memiliki berbagai artikel yang dibuat berdasarkan penelitianpenelitian mengenai isu sibling. Salah satu artikel berjudul The Need of Siblings menyatakan bahwa siblings dari anak-anak berkebutuhan khusus atau pengidap penyakit kronis memiliki resiko akan efek negatif terhadap kondisi psikologisnya (Rossiter dan Sharpe dalam Sibs.org.uk). Selain berbagai artikel, Sibs juga menyediakan forum untuk para siblings dapat saling berinteraksi dan berbagi pengalaman serta dukungan. Berdasarkan temuan-temuan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa menjadi seorang yang tumbuh normal namun memiliki saudara kandung dengan kebutuhan khusus merupakan suatu tantangan tersendiri. Masalahnya bukan terletak pada kekurangan diri individu tersebut, tetapi pada kenyataan bahwa saudara kandung dari individu tersebut memiliki kondisi yang berbeda dan lebih rentan dari pada orang lain. Selain itu individu tersebut mau tidak mau juga
5
harus menerima bahwa perhatian keluarga dan orang tua yang akan lebih banyak tercurah pada saudara dengan kebutuhan tersebut walaupun status mereka sama-sama anak dalam keluarga. Selain berdasarkan data di atas penelitian ini juga dilatar belakangi oleh identitas peneliti sebagai orang yang memiliki sibling. Peneliti merupakan seorang anak bungsu dari empat bersaudara. Peneliti memiliki tiga orang kakak, dua perempuan dan satu laki-laki. Namun sayangnya kakak kedua peneliti terlebih dahulu meninggal dunia ketika peneliti berusia satu tahun. Kehilangan salah satu kakak pada usia yang masih sangat muda, dan bahkan belum sempat melihat secara langsung wajah sang kakak tidak membuat peneliti menganggap bahwa ia hidup sebagai tiga bersaudara. Semakin beranjak dewasa, peneliti malah semakin memahami adanya rasa kosong karena kehilangan salah satu anggota keluarga walaupun anggota keluarga itu sama sekali belum pernah peneliti lihat secara langsung. Peneliti sempat menyayangkan bahwa dirinya tidak pernah merasakan menjadi saudara kandung dari almarhumah kakaknya tersebut. Tanpa kakak keduanya, peneliti tumbuh besar dengan dua orang kakak, satu perempuan dan satu laki-laki. Kakak perempuan peneliti yang merupakan kakak sulungnya terpaut usia cukup jauh dari peneliti, yakni sepuluh tahun. Kepribadian kakak sulung peneliti yang dianggap galak membuat peneliti yang saat itu masih kecil merasa takut pada kakak sulungnya tersebut. Selain itu perbedaan usia juga menyebabkan peneliti dan kakak sulungnya harus hidup terpisah di usia peneliti yang masih muda karena kakak sulung peneliti melanjutkan SMA di Yogyakarta. Meskipun peneliti menganggap kakaknya galak dan menyeramkan, harus tinggal jauh dari kakaknya tetap membuat peneliti kecil sedih. Dengan keberadaan kakak perempuan yang jauh darinya, jadilah peneliti lebih banyak merasakan
6
kehadiran seorang kakak dari kakak ketiganya, seorang kakak laki-laki. Secara garis besar interaksi peneliti dengan kakak laki-laki peneliti pun tidak terlalu banyak dan intim walaupun mereka tumbuh bersama hingga akhirnya juga harus tinggal terpisah karena kakak laki-laki peneliti melanjutkan kuliah di Bogor. Namun dengan segala keterbatasan yang ada dalam dinamika keluarganya, peneliti tetap menyayangi, mensyukuri serta menikmati perannya sebagai anak bungsu. Sebagai individu yang tumbuh normal, peneliti memahami kompleksnya hubungan peneliti dengan kakak-kakaknya yang juga tumbuh normal. Berawal dari pemahaman akan kompleksitas itu peneliti mulai memiliki ketertarikan untuk memahami lebih dalam bagaimana dinamika sibling relationship pada seseorang yang memiliki sibling berkebutuhan khusus, bagaimana perasaan serta pemaknaan akan hubungan juga peran seorang saudara dari penyandang disabilitas. Ketertarikan pada individu berkebutuhan khusus sendiri muncul karena pengalaman peneliti melakukan kegiatan sosial dan berinteraksi dengan orang-orang berkebutuhan khusus. Berdasarkan pemaparan di atas peneliti ingin meneliti tentang “Pemaknaan Sibling Relationship pada Individu dengan Saudara Penyandang Disabilitas”. B. Rumusan Masalah Kurangnya perhatian peneliti dan masyarakat terhadap kondisi psikologis dari seorang sibling dari penyandang disabilitas menyebabkan kurang luasnya eksplorasi dan pemahaman tentang bagaimana perspektif seorang sibling terhadap kehadiran saudaranya yang merupakan penyandang disabilitas. Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan sebelumnya, pertanyaan dari penelitian ini adalah: Bagaimanakah pemaknaan seseorang yang memiliki saudara berkebutuhan khusus terhadap peran dan hubungan persaudaraannya (sibling relationship)?
7
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana seorang sibling memaknai peran dan posisi serta hubungannya dengan saudaranya yang merupakan penyandang disabilitas. D. Manfaat Penelitian. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan yang membahas tentang hubungan sibling yang selama ini kurang mendapat perhatian baik oleh praktisi maupun peneliti. 2. Manfaat Praktis Dengan adanya penelitian ini diharapkan adanya peningkatan perhatian terhadap kondisi psikologis dari seorang sibling dari penyandang disabilitas sehingga juga dapat meningkatkan dukungan sosial kepada orang tersebut. Dengan meningkatnya perhatian terhadap sibling diharapkan penelitian ini dapat memberikan kesadaran terhadap orang tua untuk memperhatikan perkembangan sibling. Dukungan sosial tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk psikoedukasi tentang sibling dari anak berkebutuhan khusus.