BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Maraknya pemberitaan tentang Rancangan KUHP pada tahun 2013 yang di berbagai media, terutama mengenai kumpul kebo merupakan wacana yang menarik untuk disimak. Draft yang diajukan Pemerintah kepada Komisi III DPR RI ini menuai kontroversi terutama terkait beberapa pasal yang dianggap terlalu mencampuri urusan privat warga negara. Pasal yang mengundang perdebatan tersebut adalah pasal 422 ayat 1 dijelaskan. Dalam rancangan tersebut tertulis: Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah dan karenanya menganggu perasaan kesusilaaan masyarakat setempat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Draf KUHP tersebut memuat ancaman hukuman bagi pasangan yang melakukan kumpul kebo, hidup bersama laki-laki dengan perempuan di luar pernikahan. Draft tersebut memancing kontroversi justru disaat banyak terungkap pejabat-pejabat yang melakukan praktik-pratik perzinahan, kumpul kebo, atau bentuk perselingkuhan yang lain. Simak saja pemberitaan mengenai mantan Kepala Korlantas Djoko Susilo, tersangka korupsi simulator SIM, yang terungkap memiliki lebih dari satu istri (Kompas, 3 Februari 2013). Kasus lain, misalnya, terungkapnya Bupati Garut Aceng Fikri yang memiliki “istri kilat” seorang perempuan dibawah umur (Koran Tempo, 14 Januari 2010). Jika dilacak dari pemberitaan-pemberitaan yang pernah ada di media elektronik, banyak kasus-kasus mencuat tentang simpanan-simpanan para tokoh terkemuka. Kasus-kasus itu tidak hanya melibatkan wanita pada usia dewasa,
1
bahkan
beberapa
diantaranya
tergolong
remaja.
Tahun
2010,
publik
digemparkan oleh skandal pejabat tinggi, salah satu anggota DPR RI Yahya Zaini yang memiliki wanita simpanan bernama Maria Eva yang rekaman perselingkuhannya beredar di masyarakat luas. Yahya Zaini kemudian diberhentikan oleh Badan Kehormatan DPR (Abdullah, 2013). Tahun 2011 Sidah Paripurna DPRD Jawa Tengah, Senin, 10 Oktober 2011, dihebohkan oleh kedatangan Riana dan dua anaknya. Perempuan berparas cantik itu mengaku sebagai wanita simpanan Kepala Badan Penanaman Modal Daerah Jawa Tengah, Maryanto. Di DPRD, Riana yang ingin mengadukan nasibnya. Riana mengaku sudah hampir enam tahun menjalani hubungan gelap dan dikaruniai dua anak dari hubungannya dengan Maryanto. Namun, Maryanto mencampakkannya. Kedatangan Riana ke DPRD untuk menemui wakil rakyat dan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, dengan tujuan agar Maryanto mengakui kedua anaknya. Dan kedua anaknya mempunyai akta kelahiran yang asli (Abdullah, 2013). Kasus besar lain yang pernah heboh masyarakat dan media, adalah kasus antara Moerdiono, Mantan Menteri Sekretaris Negara dengan artis Machica Mochtar. Hubungan itu menghasilkan seoarang anak lelaki yang bernama Igbal. Machica menuntut secara hukum agar anaknya diakui oleh Moerdiono. Pembuktian ini bahkan harus melalui tes DNA (Hidayat, 2013). Kasus perselingkuhan pejabat juga menyeret mahasiswi di pusaran arus kekuasaan yang dilakukan orang besar di negeri ini, sebagaimana kasus Lutfi Hasan. Nikah siri dengan perempuan lain, mahasiswi yang dijadikan gratifikasi seks untuk pejabat dan pengusaha, serta wanita simpanan adalah sekian dari bentuk-bentuk fenomena dari perselingkuhan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat.
2
Beberapa cuplikan pemberitaan di atas menunjukkan betapa praktik perselingkuhan banyak terjadi di kalangan pejabat. Jika melihat dari realitas tersebut, hal ini hanya bermakna bahwa yang terbuka ke publik adalah hal-hal yang hanya disampaikan oleh media massa, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa hal-hal yang tidak tersampaikan oleh media massa ke publik justru jauh lebih banyak jumlahnya. Dengan demikian persoalan wanita simpanan sebagai sebuah bentuk dalam pola relasi antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah ikatan interpersonal ini rasanya seperti fenomena gunung es. Perselingkuhan adalah fenomena besar yang tidak saja terjadi di kalangan pembesar, tetapi juga di dalam masyarakat secara umum. Praktik itu sebagaimana dalam beberapa kutipan pemberitaan di atas membawa dampak yang serius terhadap gugatan secara hukum, dampak dalam keluarga, hingga berujung pada perceraian pada keluarga resmi. Laporan yang dirilis Direktorat Jendral Pembinaan Agama, tahun 2005
menunjukkan bahwa selingkuh
menempati urutan keempat yang menyebabkan perceraian (Mualim, 2007). Lima tahun kemudian, pada tahun 2010, selingkuh bergerak di urutan kedua, setelah persoalan ekonomi, yang mengakibatkan keretakan dan perceraian (Saputra, 2011). Jika tiga tahun yang lalu perselingkuhan yang terdeteksi melalui Badan Peradilan Agama MA jumlahnya sebanyak, 20.199 kasus. Data-data tersebut menunjukkan bahwa perselingkuhan ini semakin meningkat setiap tahunnya, namun sekali lagi, data-data tersebut adalah data-data yang terungkap dan tercatat melalui lembaga yang terkait. Hal ini berarti masih ada data-data yang belum terungkap atau belum tercatat melalui lembaga-lembaga tersebut yang bisa jadi jumlahnya akan semakin meningkat jika melihat dari tren peningkatan jumlah kasus tersebut.
3
Sudah sedemikian rapuhkan pola dan sistem keluarga sehingga praktikpraktik perselingkuhan dan menyimpan wanita banyak terjadi dalam masyarakat Indonesia? Sudah cairkah norma-norma hidup masyarakat sehingga kasuskasus gratifikasi dan wanita simpanan banyak bermunculan? Meskipun ada perbedaan antara perselingkuhan, kumpul kebo, dan simpanan, ketiga hal itu saling berkaitan dan berkelindan.Wanita simpanan, merupakan salah satu bentuk perselingkuhan, yaitu hubungan antara suami atau istri dengan lelaki atau perempuan tanpa ikatan perkawinan yang sah. Demikian juga dengan kumpul kebo yang dimaknai sebagai ikatan atara laki-laki dan perempuan tanpa diikuti oleh sebuah ikatan resmi oleh negara. Menarik ditelusuri lebih lanjut bagaimana wanita simpanan dalam pola hidup masyarakat kita yang selalu memasang pihak ketiga sebagai orang yang selalu disalahkan. Dependensi antara wanita simpanan dan lelaki yang menyimpannya menarik pula untuk dikaji lebih lanjut. Dari data-data yang diperoleh oleh peneliti, peneliti kemudian tertarik untuk melakukan penelitian awal (pre eliminary). Hasil dari pre eliminary tersebut, salah satunya mengungkap mengenai proses awal terjadinya relasi tersebut (persimpanan) serta alasan-alasannya. Hal tersebut terungkap dalam kutipan wawancara di bawah ini: “Waktu awal kenal sih, aku ngga ada tertarik-tertariknya sama dia mbak. Apalagi udah meried gitu, tapi dia itu care banget. Dari mulai makanan sampai vitamin pun dia tiap hari ingetin. Bahkan pernah dia datang ke rumah tengah malem cuman buat nganterin Mc. Donalds buat aku gara-gara aku bilang laper tapi udah ngga boleh keluar oleh orangtua gara gara malem, disitu akhirnya aku liat kok dia tulus banget perhatiin aku.” (NCH, 24 tahun, mahasiswi)
4
Banyak proses, motif, dan penyebab yang menjadikan perempuan atau wanita mau menjadi simpanan orang-orang yang mempunyai uang. Alasan seperti yang disampaikan oleh NCH diatas karena sang lelaki, seorang pengusaha diusia setengah baya, begitu perhatian terhadapnya. Alasan lain yang sering digunakan adalah ekonomi, kenyamanan, cinta, petualangan. Alasan ekonomi dimaknai sebagai cara perempuan untuk mendapatkan finansial yang lebih. Kenyamanan dimaknai sebagai kebutuhan psikologis untuk mendapatkan rasa nyaman misalnya, perhatian lebih dari pasangan, pengertian dan kasih sayang serta merasa dicintai oleh seseorang. Sedangkan petualangan dimaknai sebagai sensasi berhubungan dengan orang yang sudah menjadi milik orang lain. Jika dilacak lebih jauh, sesungguhnya bentuk simpanan bukan hal baru. Tetapi praktik ini sudah ada pada masa kerajaan-kerajaan, dan masa kolonial. Di kerajaan, para raja memiliki selir yang jumlahnya bisa jadi tidak terhitung. Perempuan-perempuan pada masa itu justru bangga menjadi selir raja, orang nomor satu dalam sebuah kerajaan. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara) (Moedjanto, 1990). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka sering dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tapi juga nyawa hamba sahaya mereka. Adalah hak istimewa sang raja untuk mempunya selir yang dia sukai.
5
Berlanjut pada masa kolonial, pergundikan merupakan cara perempuan untuk dekat dengan penguasa-penguasa di negara Eropa, meskipun kadang ada juga di antara mereka yang melakukannya karena terpaksa. Orang-orang Eropa, yang pada masa itu menjadi petinggi di tanah Hindia Belanda mencari perempuan-perempuan asli Indonesia sebagai gundik-gundik mereka. Petinggipetinggi Eropa merasa bahwa perempuan-perempuan Indonesia memiliki daya tarik tersediri, sehingga layak dijadikan sebagai gundik-gundik mereka. Hal lain yang dapat dijumpai adalah praktik-praktik prostitusi maupun pergundikan di pedesaan. Berdasarkan sumber lisan, pada masa Portugis di daerah-daerah perkebunan di Jepara Utara, sebagai contoh juga banyak praktik prostitusi dan pergundikan, juga perkawinan silang antara laki-laki Portugis dan perempuan penduduk asli. Bukti-bukti sekunder dapat dilacak pada tipologi masyarakat keturunan Portugis sekitar Sambungoyot dan lereng Gunung Danaraja Pada masa Belanda, banyak terjadi perekrutan pekerja perempuan di perkebunan tebu, kopi dan juga karet di Daerah Balong, Keling, Jepara (PSPK, 2012). Sebuah laporan di Belanda
yang berkaitan dengan praktik-praktik
prostitusi dan pergundikan di Jawa sangat sedikit sekali. Perceraian yang ditemukan banyak terjadi di daerah Krawang, Cirebon dan Batavia jarang dilaporkan di daerah lain seperti di Jepara, Pati, Juwana, Rembang, dan kotakota kecil lainnya (Boomgaard, 1989 dalam PSPK, 2012). Sampai pada masa kemerdekaan, masyarakat Indies yang menjadi bukti perilaku pergundikan (perNyai-an) pada zaman Belanda banyak ditemukan, di daerah Semarang, Batavia dan Surabaya. Di Yogyakarta, banyak terjadi praktik poligami yang sangat populer pada tahun 1920 (1,4 % dari toral penduduk DIY) dan 1930 (2,4 %). Jika
6
dibandingkan dengan Jawa Timur pada tahun yang sama hanya 1,6 %, Jawa Tengah 2,3% dan Jawa Barat 1,8 %(PSPK, 2012). Pada masa revolusi dan awal kemerdekaaan sudah tidak asing lagi bahwa Presiden pertama Indonesia adalah presiden yang flamboyan dan menyukai banyak perempuan didalam hidupnya. Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno adalah pelaku poligami dan dikenal sebagai pemuja perempuan. Kesukaan Soekarno pada perempuan ini yang dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk menyerang atau menghancurkan nama baiknya melalui pembunuhan
karakter.
Gie
(1987)
dalam
buku
catatan
hariannya
menggambarkan bagaimana isu perempuan di sekitar Soekarno menjadi sangat politis saat itu.
...ada suatu otak yang secara sistematis berusaha ‘mendekadensikan’nya (Soekarno). Ia terus menerus disupply dengan wanita-wanita cantik yang lihai. Hartini muncul, (siapa yang mempertemukannya?) dan membuat Bung Karno ‘dihancurkan’. Sejak itu wanita-wanita cantik keluar-masuk istana : Baby Huwae, Ariati, Sanger, Dewi dan lain-lainnya. Seolah-olah Bung Karno mau dialihkan hidupnya dari insan yang cinta tanah air menjadi kaisar yang punya harem. Tiap minggu diadakan pesta-pesta yang dekaden di Istana dengan ngomong cabul dan perbuatan-perbuatan cabul.Ya, dalam keadaan ini siapa yang tidak terpengaruh. (Ahmad) Yani juga mengalami nasib yang sama. Yani adalah perwira yang brilliant sekali. Dia tegas dan berani. Tidak ada seorang pun yang mengancamnya atau menyogoknya. ..Popularitas Yani sangat besar. Tetapi hal ini ruparupanya tidak disenangi oleh ‘somebody’ dalam Istana yang juga telah menjatuhkan moral Presiden. Yani mulai dipancing dan akhirnya, ia memelihara isteri muda.....menjadi Menteri di Indonesia sulit sekali. Di samping ia harus pintar, ia harus pula kebal terhadap uang sogokan, pangkat....dan wanita-wanita cantik ( Gie, 1987: 130). Dalam sejarah, istilah wanita simpanan ini digunakan bagi wanita yang disimpan dengan gaya hidup mewah oleh lelaki kaya agar wanita ini senantiasa bersedia melayani kebutuhan seksualnya. Wanita demikian dapat berganti
7
peranan dari perempuan simpanan dan pelacur tergantung pada keadaan diri dan sekelilingnya. Namun, di masa kini, istilah wanita simpanan digunakan untuk merujuk pada pasangan wanita milik lelaki yang sudah menikah. Laporan investigasi yang dilakukan oleh Kompas 9 Desember 2012 menunjukkan bagaimana mahasiwi-mahasiswi menjadi ayam kampus, wanita simpanan, dan atau pekerja prostitusi kelas tinggi.
"Dari teman-teman aku yang masuk ke dunia itu (ayam kampus), mayoritas karena sudah tidak perawan sejak SMP. Ada yang sejak SMA. Saat pacaran, sang pacar mengajak berhubungan. Ancaman jika tak mau (berhubungan intim) akan diputus. Terpaksa harus mau karena saat itu masih cinta monyet," aku DY (20), salah seorang mahasiswi yang ditemui Kompas.com, di sebuah kafe di Kota Malang, Minggu (28/10/2012) malam. Sebutan ayam kampus itu sudah menjadi istilah umum bagi para mahasiswi yang menyambi menjadi pekerja seks komersial (PSK) terselubung atau menjadi wanita simpanan para pejabat dan pengusaha. (Kompas, 9/12/12) Dalam pemberitaan itu juga dilaporkan bahwa kebanyakan "ayam kampus" tergiur dengan pola hidup mewah, glamour, dan serba instan. Pernyataan itu diperkuat oleh Tylor (2013) yang melaporkan bahwa sebanyak 30 persen barang-barang mewah adalah konsumsi para wanita simpanan. Pengakuan lain juga dilansir oleh Surya (2009) dalam sebuah berita bertajuk “ Pengakuan wanita simpanan: ingin hidup enak. Berikut kutipan berita tersebut: “Sejak bergaul dengan sejumlah temannya yang kerap berpenampilan seksi, gadis desa ini jadi ikutan mengubah penampilan dan gaya hidupnya. Ia ikut berpakaian seksi dan bergaul dengan wanita-wanita yang kerap kelayapan saat malam hari. “Berawal dari situ, aku berkenalan dengan salah satu lelaki yang usianya jauh di atas aku,” aku Diona. Hubungan mereka pun semakin dekat. Sering jalan berdua, makan, dan berbelanja. Bahkan, sejak dekat dengan pengusaha ini, Diona dibelikan ponsel baru, baju-baju model terbaru, dan tempat kosnya pindah ke tempat yang lebih mewah. “Sampai hubungan kami lebih dari sekadar berteman,” tuturnya.
8
Selama menjadi simpanan, gaya hidup Diona berubah total, semakin gaul dan wah. Termasuk untuk biaya hidup dan kuliah, sama sekali sudah tidak pernah menjadi beban dalam kesehariannya. “Awalnya aku memang pengin seperti teman-teman, hidup enak dan tidak susah. Setelah berhubungan dengan lelaki ini, semua keinginanku bisa terwujud,” katanya terus terang. sejak bergaul dengan sejumlah temannya yang kerap berpenampilan seksi, gadis desa ini jadi ikutan mengubah penampilan dan gaya hidupnya. Ia ikut berpakaian seksi dan bergaul dengan wanita-wanita yang kerap kelayapan saat malam hari. “Berawal dari situ, aku berkenalan dengan salah satu lelaki yang usianya jauh di atas aku,” aku Diona. Hubungan mereka pun semakin dekat. Sering jalan berdua, makan, dan berbelanja. Bahkan, sejak dekat dengan pengusaha ini, Diona dibelikan ponsel baru, baju-baju model terbaru, dan tempat kosnya pindah ke tempat yang lebih mewah. “Sampai hubungan kami lebih dari sekadar berteman,” tuturnya. Selama menjadi simpanan, gaya hidup Diona berubah total, semakin gaul dan wah. Termasuk untuk biaya hidup dan kuliah, sama sekali sudah tidak pernah menjadi beban dalam kesehariannya. “Awalnya aku memang pengin seperti temanteman, hidup enak dan tidak susah. Setelah berhubungan dengan lelaki ini, semua keinginanku bisa terwujud,” katanya terus terang (Kompas, 29/7/2009). Kutipan berita di atas menunjukkan proses menjadi wanita simpanan. Lingkungan pergaulan menjadi salah satu sebab dan cara masuk bagi wanitawanita yang tertarik untuk disimpan lelaki dari rumah tangga orang lain. Wanita atau perempuan simpanan adalah pasangan seks wanita jangka panjang milik seorang lelaki dan mitra yang tidak dinikahi oleh lelaki tersebut. Hubungan tersebut stabil dan sekurang-kurangnya semi permanen. Namun, pasangan ini tidak hidup bersama secara terang-terangan. Hubungan ini juga biasanya tidak senantiasa rahasia. Terdapat banyak lelaki pada masa lalu yang memiliki wanita simpanan bersama istri mereka. Dalam sejarah hadirnya para pemain ronggeng, taledhek atau ledhek di Jawa, dan praktik-praktik pergundikan serta prostitusi sangat kuat diduga bermunculan bersamaan dengan tidak hanya karena proses “involusi” ekonomi pertanian, tetapi juga munculnya gejala urbanisasi akibat jaringan ekonomi desa-
9
kota yang semakin intensif. Praktik-praktik itu ada yang dilakukan disekitar perkebunan
dan Stasiun. Seperti stasiun Tawang Semarang, (Stasiun Beos
(Stasiun Kota, Jakarta), Stasiun Senin (Jakarta), Stasiun Kestalan (Stasiun Balapan Solo). Disamping itu juga muncul beberapa tempat prostitusi seperti Bendungan Hilir, Bongkaran, Kali Malang, Kaligot,
Gang Mangga dan
Petamburan, dan Gang Hamber yang semuanya di Batavia (PSPK, 2012). Melalui beberapa eksplorasi di atas dapat ditarik benang merah bahwa ada banyak alasan ketika perempuan mau atau tertarik menjadi wanita simpanan. Pertama, faktor ekonomi dan gaya hidup. Wanita yang menjalani dirinya sebagai wanita simpanan didorong oleh motif-motif uang, ekonomi, dan upaya menaikkan gaya hidup, sebagaimana tampak dalam beberapa kutipan pemberitaan di atas. Kedua, faktor kasih sayang, rasa aman. Hal ini tampak pada kondisi psikologis pada NCH, sebagaimana dalam kutipan di atas. Wanita simpanan tidak dianggap pelacur. Pelacur mendapatkan uang dengan layanan seks, tetapi perbedaan mendasar adalah perempuan simpanan menyimpan dirinya khusus bagi satu lelaki, sama seperti seorang istri. Terdapat juga kemungkinan adanya hubungan sosial dan emosi antara lelaki dan perempuan, sementara pelacur hanyalah khusus secara seksual. Dari paparan sejarah dan fakta kekinian tentang wanita simpanan di atas menarik untuk diteliti lebih lanjut. Terutama terhadap perempuan dewasa yang masih berstatus mahasiswi ketika memilih untuk menjadi wanita simpanan oleh pengusaha atau pejabat. Menjadi wanita simpanan tentu bukan semata kemudahan-kemudahan yang rasakan tetapi juga barangkali pertentangan batin bagi perempuan yang berada di dalam norma sosial yang ada di lingkungan masyarakat. Maka sesungguhnya ada hal yang penting untuk meneliti lebih lanjut tentang
personal-personal
perempuan
atau
wanita
simpanan
secara
10
keseluruhan. Langkah itu diperlukan untuk kemudian menganalisa secara detail bagaimana pola dependensi wanita simpanan terhadap pasangannya. Di sisi yang lain, terjadi hubungan timbal balik antara wanita simpanan dengan lelaki yang menyimpannya. Lelaki yang menyimpan biasanya sudah memiliki istri yang sah secara hukum positif atau hukum agama. Beberapa alasan yang muncul dalam wawancara awal antara peneliti dengan lelaki yang mempunyai wanita simpanan adalah hal-hal yang terkait dengan pemenuhan rasa mengayomi dan mengasihi atau mencari bentuk kasih sayang lain diluar yang diberikan oleh istri sahnya. “Yah, K*** melihat menyayangi dia. Rasanya dia memberi sesuatu yang lain yang tidak bisa K*** dapat dari istri. Kemanjaannya, dan apanya, ya…jadi rasanya dibutuhkan sebagai seorang lelaki bagi dia. Ya uang, perempuan pasti lah butuh uang. Tapi K*** membutuhkan itu dari dia (AT, 50 tahun, pasangan NCH).
Kutipan
pernyataan
AT
diatas
menunjukkan
bahwa
ada
saling
membutuhkan antara wanita simpanan dan pasangannya. NCH dalam kutipan pada bagian awal menyebutkan bahwa perhatian-perhatian kecil dalam pemberian-pemberian kecil membuatnya semakin menyayangi pasangannya. Sebaliknya AT, membutuhkan kemanjaan-kemanjaan NCH yang membuat dia menjadi lelaki yang lebih berarti di hadapan NCH. Hal ini dalam pandangan peneliti kemudian menciptakan saling ketergantungan, saling membutuhkan satu dengan lainnya. Wanita simpanan mulai tergantung dengan pasangannya. Baik perhatian, uang, maupun bentuk yang lainnya. Sementara pasangan dari wanita simpanan juga memiliki ketergantungan terhadap eksistensi dan kebutuhan lain terhadap wanita simpanan.
11
Dengan beberapa pertimbangan tersebut diatas maka peneltian ini penting dilakukan untuk mengetahui gambaran-gambaran pola dependensi wanita
simpanan
terhadap
pasangannya.
Bagaimana
gambaran
wanita
simpanan dan pasangannya dari sisi relasi, psikologis, gaya hidup sehingga para wanita simpanan tersebut memutuskan untuk menjadi simpanan. Dengan pertimbangan diatas maka penelitian ini akan berfokus pada pola-pola relasional dan dependensi wanita simpanan terhadap pasangannya. Meneliti dan mendalami diri wanita simpanan dan hubungannya dengan pasangannya secara keseluruhan diharapkan mampu memberikan gambaran yang utuh tentang potret, motif, proses dependensi wanita simpanan terhadap pasangannya. Dengan alasan tersebut maka peneliti memberikan penelitian ini dengan judul: Dependensi Wanita Simpanan terhadap Pasangannya.
B. Pertanyaan Penelitian Menjadi wanita simpanan tentu mempunyai suka dan duka. Begitu pula Menjadi lelaki yang memiliki wanita simpanan bukan berarti mereka tidak memiliki resiko. Hubungan yang dirahasiakan kepada umum, stigma masyarakat, bagi wanita simpanan dan pasangannya menambah beban pada pola hubungan keduanya. Mendapat cibiran, perceraian pada sang lelaki, hingga kasus hukum, dan lainnya adalah resiko membangun hubungan tanpa ikatan resmi hukum positif. Maka penelitian ini mengajukan pertanyaan penelitian yang hendak dijawab dalam proses penelitian nantinya: 1. Bagaimana bentuk dependensi wanita simpanan terhadap pasangannya? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mendasari kedekatan dalam relasi antara wanita simpanan dan pasangannya?
12
C. Tujuan penelitian Dengan menentukan latar dan rumusan pertanyaan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah pertama, untuk memahami fenomena dependensi wanita simpanan terhadap pasangannya. Kedua, mengetahui faktor-faktor yang mendasari kedekatan dalam relasi antara wanita simpanan dan pasangannya.
D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam peningkatan ilmu pengetahuan terutama di bidang psikologi sosial dan psikologi perkembangan. Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran pengetahuan tentang potret dependensi wanita simpanan terhadap pasangannya Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam beberapa hal, terkait dengan dependensi khususnya dalam hubungan persimpanan..
13