BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kajian ilmiah terhadap kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang bersifat patogen merupakan prioritas utama untuk dilakukan pada bidang kesehatan, dalam hal ini kesehatan manusia dan kesehatan hewan. Tidak sedikit dari agen patogen tersebut dapat menyebabkan penyakit dan bersifat zoonosis. Ada beberapa mikroorganisme patogen yang menyebabkan penyakit seperti bakteri, protozoa, virus, dan nematoda (Sutrisno dan Suciastuti, 1987). Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme yang menyebabkan penyakit. Bakteri membutuhkan lingkungan dan media yang baik untuk pertumbuhan. Bakteri membutuhkan zat makanan berupa bahan organik dan anorganik untuk tumbuh. Bahan organik seperti karbon, hidrogen, nitrogen, fosfor, belerang, dan oksigen serta bahan anorganik seperti kalium, natrium, besi, magnesium, kalsium klorida, dan vitamin. Zat makanan, pH, suhu, udara, serta ion-ion anorganik perlu diperhatikan untuk mendukung pertumbuhan bakteri (Sambrook and Russel, 2001). Escherichia coli merupakan bakteri flora normal dalam saluran pencernaan hewan dan manusia dengan populasi terbanyak pada saluran pencernaan bagian bawah (Fardiaz, 1989). Escherichia coli umumnya tidak menimbulkan penyakit dan di dalam usus berperan terhadap fungsi dan nutrisi normal, akan tetapi ada virotipe tertentu dari E.coli yang bukan merupakan flora normal pada saluran pencernaan dan menyebabkan diare. Escherichia coli dapat berubah menjadi oportunis patogen jika berada di luar habitat aslinya (Jawetz et al.,1996 dalam Mahayani, 2004). 1
2
Virotipe tertentu dari Escherichia coli yang dapat menyebabkan penyakit pada saluran cerna antara lain enterophatogenic Escherichia coli (EPEC), entero-aggregatif Escherichia coli (EaggEC), enteroinvasif Escherichia coli (EIEC), enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC), enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) dengan setiap kelas memiliki ciri-ciri patogenesis tersendiri (Todar,1997). Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) dapat menimbulkan diare pada anak sapi terutama umur dua minggu sampai dua bulan dan hanya sebagai karier terutama pada sapi dewasa. Virotipe Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) yang bersifat zoonosis adalah O157:H7 (Mahayani, 2007). Escherichia coli O157:H7 mempunyai fimbrie untuk menginvasi sel inang, menghasilkan toksin yang identik dengan shigella dysentriae tipe I sehingga dikenal dengan shiga-like toxin (Heuvelink et al., 1999; Acheson, 2000). Beutin et al. (1993) lebih lanjut menyampaikan bahwa shiga-like toxin sering bersifat karier pada hewan seperti sapi, kambing, domba, babi, ayam, anjing, rusa, dan kucing. Menurut Suardana et al. (2011) ada tingkat kemiripan yang tinggi (96,6%) antara isolat E.coli O157:H7 asal feses manusia klinis dengan isolat asal feses sapi dan isolat asal manusia klinis dengan isolat asal feses ayam. Hal ini mengindikasikan bahwa sapi dan ayam berpotensi sebagai sumber penularan dari agen zoonosis. Peluang terjadinya perpindahan agen dari orang ke orang juga dapat terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi, meskipun hewan sapi, kambing, domba, babi, kucing, anjing, dan unggas merupakan reservoir alamiah infeksi E.coli O157:H7 (Nataro dan Kaper, 1998). Sapi merupakan reservoir utama dari E.coli O157:H7 sebagai bakteri penghasil shiga toxin Escherichia coli (STEC). Faktor yang berpengaruh terhadap infeksi E.coli O157:H7 antara lain umur sapi, suhu tubuh, kebersihan sapi, produksi susu, kebersihan lantai kandang, jarak
3
sumber air dari kandang, kebersihan pemilik, kebersihan di sekitar lantai kandang, kebersihan air, tempat penampungan kotoran, dan sumber air (Sumiarto et al., 2003). Verocytotoxin-producing E.coli O157:H7 mampu tumbuh pada pH 4,5 dengan kadar garam 6,5% dan bersifat tahan asam. Bakteri ini mati pada suhu 72OC selama 16,2 detik atau 70OC selama 2 menit (Berry and Cutter, 2000). Verocytotoxin E.coli O157:H7 mampu bertahan pada suhu pembekuan -80OC dan -20OC selama 9 bulan (Doyle dan Schoeni,1984). Penemuan lain juga menunjukkan bahwa Escherichia coli O157:H7 dapat hidup dalam feses pada suhu 37OC dengan kelembaban relatif 10% dalam jangka waktu 42 sampai 49 hari atau pada suhu 22OC dengan kelembaban relatif 10% dalam jangka waktu 49 sampai 56 hari (Wang et al.,1996). Escherichia coli O157:H7 secara efektif dapat berkolonisasi pada ayam umur 1 hari dengan dosis hanya 2,6 x 101 CFU dan bertahan sampai 11 bulan dengan dosis 108 CFU (Schoeni and Doyle, 1994). Kajian ilmiah terhadap keberadaan Escherichia coli O157:H7 di Indonesia yang menghasilkan gen shiga-like toxin sebagai agen zoonosis pada feses dan daging ternak sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti pada feses sapi (Sumiarto et al., 2002), feses manusia (Suardana et al., 2008), dan feses serta daging sapi isolat lokal (Suardana et al., 2009). Wilayah Kecamatan Kuta Selatan sebagian besar berupa tegalan dengan luas 4.140,01 Hektar dari luas wilayah secara keseluruhan. Potensi ini dimanfaatkan dengan baik oleh para peternak untuk pengembangbiakan ternak khususnya ternak sapi, sehingga berdampak pada peningkatan jumlah ternak sapi yang mencapai 10.958 ekor pada tahun 2012 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2012).
4
Wilayah Kecamatan Kuta Selatan juga dikenal sebagai salah satu ikon pariwisata di Bali yang sangat popular dikalangan masyarakat lokal, nasional maupun internasional. Keberadaan agen zoonosis yang membayakan kesehatan masyarakat seperti E.coli O157:H7 tentunya menggangu kenyamanan masyarakat setempat dan pengunjung sehingga permasalahan ini dirasa perlu mendapat perhatian serius, apalagi jika di tinjau dari sisi pariwisata yang akan menurunkan daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung ke Bali. Keberadaan Escherichia coli O157:H7 di Kecamatan Kuta Selatan diperkirakan berasal dari sapi atau manusia yang terinfeksi kemudian mencemari lingkungan. Penyebaran E.coli O157:H7 pada sapi di Kecamatan Kuta Selatan terjadi karena sistem pemeliharaan ternak sapi yang sebagian besar dilepas atau tidak dikandangkan. Sapi dengan sistem pemeliharaan dilepas atau tidak dikandangkan cenderung akan berdampak pada kotoran ternak yang secara bebas berada di alam. Apabila kotoran yang mengandung E.coli O157:H7 secara bebas berada di alam akan mencemari lingkungan sekitar, terutama rumput sehingga ternak sapi di Kecamatan Kuta Selatan diduga terinfeksi dari rumput yang sudah terkontaminasi feses yang mengandung E.coli O157:H7 sehingga penelitian mengenai analisis faktor resiko penyebaran E.coli O157:H7 di Kecamatan Kuta Selatan menarik untuk dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa saja faktor-faktor yang mempunyai resiko terhadap penyebaran Escherichia coli O157:H7 di Kecamatan Kuta Selatan?
5
2. Bagaimana signifikansi di antara faktor-faktor tersebut terhadap pola penyebaran infeksi Escherichia coli O157:H7 di Kecamatan Kecamatan Kuta Selatan?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempunyai resiko terhadap penyebaran Escherichia coli O157:H7 di Kecamatan Kuta Selatan. 2. Untuk mengetahui signifikansi diantara faktor-faktor tersebut terhadap pola penyebaran Escherichia coli O157:H7 di Kecamatan Kuta Selatan. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi berupa data mengenai faktorfaktor sekaligus signifikansi diantara faktor-faktor tersebut terhadap penyebaran Escherichia coli O157:H7 di Kecamatan Kuta Selatan sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan atau pengobatan. 1.5 Kerangka Konsep Escherichia coli secara umum dianggap sebagai flora normal pada saluran pencernaan hewan maupun manusia. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar karena bakteri E.coli dapat menjadi bakteri yang patogen jika berada di luar habitat aslinya yaitu saluran pencernaan (Jawetz et al., 1996). Penyebaran Escherichia coli dapat ditularkan bersama air dan makanan yang tercemar oleh feses sehingga mikroorganisme ini sering dijadikan indikator untuk analisis air,
6
kehadirannya merupakan bukti bahwa air tersebut tercemar oleh feses hewan atau manusia (Merchant and Parker, 1996). Keberadaan E.coli dalam bahan pangan dan bidang mikrobiologi mengarahkan bahwa bahan tersebut tercemar feses (Supardi dan Sukamto, 1999). Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu serotipe dari E.coli yang bertindak sebagai agen zoonosis. Adanya infeksi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa agen ini bersifat zoonosis. Escherichia coli O157:H7 memiliki sifat biokimia dan morfologi yang hampir sama dengan E.coli pada umumnya, oleh karena itu E.coli O157:H7 tentunya memiliki sifat pertumbuhan yang juga hampir sama dengan E.coli pada umumnya. Ada enam faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri yaitu waktu, makanan, kelembaban, temperatur, udara, dan pH (Hudson dan Symonds, 1996 dalam Ghautama, 2007). Menurut Suardana et al. (2009), persentasi toksin dari Escherichia coli O157:H7 pada feses sapi menunjukkan 42,86 % isolat positif terhadap shiga like toxin 1 (Stx1) dan 57,14% posif menghasilkan shiga like toxin 2 (Stx2) dengan prevalensi 2,5% pada feses sapi di Kabupaten Badung Bali (Suardana et al., 2013). Hasil survei membuktikan bahwa sekitar 1 sampai 5% dari sejumlah sapi akan melepaskan E.coli O157:H7 dalam fesesnya dengan tingkat kontaminasi kurang dari 102 cfu/g sampai 105 cfu/gram (Jiang et al., 2003). Sapi yang berumur lebih dari 4 bulan dan lebih dari 12 bulan lebih banyak mengeluarkan E.coli O157:H7 (Sumiarto et al., 2004). Verocytotoxin dari E.coli O157:H7 mampu tumbuh pada pH 4,5 dengan kadar garam 6,5%. Bakteri ini mati pada suhu 72OC selama 16,2 detik atau 70OC selama 2 menit (Berry dan Cutter, 2000). Verocytotoxin O157:H7 tahan terhadap pembekuan pada suhu -80OC dan -20OC selama 9 bulan (Doyle dan Schoeni, 1984) dan pada yogurt mampu tumbuh pada pH 4,17
7
dengan jangka waktu 8 hari (Hudson et al.,1997 dalam Ghautama, 2007). Penelitian lain juga membuktikan bahwa E.coli O157:H7 dapat bertahan hidup dalam feses pada suhu 37OC dengan kelembaban relatif 10% selama 42 sampai 49 hari atau pada suhu 22OC dengan kelembaban relatif 10% selama 49 sampai 56 hari (Wang et al.,1996). Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kecamatan Kuta Selatan menyatakan bahwa pada tahun 2012, jumlah ternak sapi di wilayah Kecamatan Kuta Selatan sebanyak 10.958 ekor. Jumlah populasi terbanyak berada di Desa Pecatu dengan jumlah 4.139 ekor, sedangkan populasi terkecil berada di Kelurahan Tanjung Benoa hanya 35 ekor (Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2012). Menurut data yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG Wilayah III Denpasar) secara geografis kelembaban udara di Kecamatan Kuta Selatan dari tahun 2009 sampai 2013 rata-rata 82,03%, curah hujan rata-rata 165,89 milimeter dan suhu udara ratarata 27,14 0C. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yaitu 379,28 milimeter, sedangkan yang terendah 22,5 milimeter terjadi pada bulan Agustus. Keadaan suhu dan populasi ternak serta sistem pemeliharaan akan menjadi faktor yang mendukung pertumbuhan dan ketahanan E.coli O157:H7 di Kecamatan Kuta Selatan. 1.6 Hipotesis 1. Terdapat beberapa faktor resiko yang mempengaruhi penyebaran Escherichia coli O157:H7 di Kecamatan Kuta Selatan. 2. Terdapat signifikansi antara faktor-faktor resiko yang berkontribusi dalam pola penyebaran Escherichia coli O157:H7.