1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Media massa menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Kelekatan masyarakat dengan media massa itu terkait dengan beragamnya fungsi yang bisa dijalankannya. Enam fungsi yang paling penting adalah menghibur, meyakinkan atau persuasi, menginformasikan, menganugerahkan status, membius, dan
menciptakan rasa kebersamaan
(DeVito,1997: 515). Salah satu media massa yang cukup jamak digunakan adalah surat kabar selain televisi, radio, dan majalah. Sebagai salah satu bentuk media massa, tentu saja surat kabar juga menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Surat kabar pada umumnya dimanfaatkan untuk memperoleh berbagai informasi yang disajikan dalam wacana berita. Dalam kajian media, berita mendapatkan perhatian yang besar karena merupakan sumber utama informasi. Berita sering dianggap memiliki berbagai kualitas netralitas dan otoritas yang pada kenyataannya tidak dimilikinya dan tidak dapat diharapkan secara logis untuk dimilikinya (Burton, 2008:153).
Menurut Prisgunanto (2004: 48),
mewujudkan pemberitaan yang objektif adalah sesuatu yang sulit bagi media massa. Wartawan media massa cenderung memilih perangkat asumsi tertentu yang berimplikasi pada pemilihan judul berita, struktur berita, dan keberpihakan kepada seseorang atau sekelompok orang meskipun keberpihakan tersebut sering bersifat subtil dan tidak sepenuhnya disadari (Mulyana dalam Eriyanto, 2002).
1
2
Hal yang sama juga disampaikan van Dijk (1988a:7) bahwa ”News is not characterized as a picture of reality, which may be correct or biased but as a frame through which the social world is routinely constructed.” Jadi, berita bukanlah gambaran atas realitas, melainkan pengonstruksian realitas yang mengandung ketidaknetralan. Ketidaknetralan berita tersebut tidak lepas dari peran subjektivitas wartawan dalam memandang objek yang diberitakan. Piliang (2009: 133) menyampaikan bahwa perbincangan mengenai media tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada di balik media tersebut, khusunya kepentingan terhadap informasi yang disampaikan. Lebih lanjut, Piliang (2009) mengidentifikasi dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi dan kepentingan kekuasaan yang membentuk isi media, informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Dominasi kedua kepentingan tersebut dalam media membuat kepentingan yang lebih mendasar justru terabaikan, yakni kepentingan publik. Kepentingan publik dikatakan terabaikan karena publik tidak lagi disuguhi informasi yang
netral, objektif, jujur, adil, dan terbuka, tetapi
informasi yang sudah sarat dengan kepentingan sehingga menjadi tidak netral dan tidak objektif.
Karena ketidaknetralan media, sering kali suara pihak-pihak
dengan kekuatan yang lebih kecil atau oposisi mendapat perhatian yang kurang, bahkan memiliki kemungkinan besar untuk dihapus atau diabaikan (van Dijk, 1988: 136). Perbincangan mengenai media sebagai sebuah discourse (wacana) tidak dapat dipisahkan dari kesalingterkaitan antara bahasa yang digunakan di dalamnya, pengetahuan (knowledge) yang melandasinya, serta bentuk-bentuk
3
kepentingan dan kekuasaan (power) yang beroperasi di balik bahasa dan pengetahuan tersebut (Piliang, 2009: 134). van Dijk (1988b: 11) menegaskan bahwa “The media are not a neutral, common-sense, or rational mediator of social events, but essentially help reproduce preformulated ideologies.” Dengan demikian, perbincangan mengenai media termasuk wacana berita yang merupakan bagian darinya tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang membentuknya. Untuk dapat memahami wacana berita yang disajikan media secara komprehensif, diperlukan perspektif kritis sehingga bahasa dan praktik kebahasaan tidak lagi dipahami sebagai alat atau medium yang netral. Hikam (1996: 77-93) menguraikan tiga perspektif mengenai bahasa dalam wacana, yaitu empirisme-positivisme, fenomenologi, dan discursive-practice. Dalam perspektif pertama, empirisme-positivisme, terjadi pemisahan yang tegas antara pemikiran dan realitas. Yang dipentingkan adalah apakah suatu pernyataan dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Dengan kata lain, gramatikal menjadi fokus kajian empirisme-positivisme. Perspektif kedua, fenomenologi sangat keberatan dengan pemisahan subjek dan objek pada perspektif empirismepositivisme karena fenomenologi menganggap peran subjek sangat sentral dalam kegiatan wacana dan hubungan-hubungan sosialnya. Bahasa, di tangan fenomenologi, tidak hanya diterima secara apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai perantara bagi pengungkapan maksud dan makna tertentu (Hikam, 1996: 81). Perspektif
ketiga,
discursive-practice,
beranggapan
bahwa
perspektif
fenomenologi masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang terdapat dalam setiap wacana. Bahasa masih dilihat sebagai suatu benda yang
4
terletak di luar atau sebagai medium antara subjek dan objek meskipun dalam hal ini subjek telah dilibatkan karena posisinya sebagai pencipta. Perspektif ketiga ini lebih menekankan konstelasi kekuatan apa yang ada dalam proses pembentukan dan reproduksi makna. Bahasa sebagai representasi berperan pula dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, dan strategi-strategi di dalamnya. Perspektif ketiga ini disebut perspektif kritis oleh Eriyanto (2006: 6). Karena menggunakan perspektif kritis, analisis wacana kategori yang ketiga ini juga disebut sebagai analisis wacana kritis. Wodak (2001: 2) menyebutkan bahwa analisis wacana kritis secara khusus mengkaji hubungan antara bahasa dan kekuasaan. Meyer (2001: 15) menyatakan bahwa dalam pandangan analisis wacana kritis, hubungan antara bahasa dan masyarakat tidak bersifat sederhana, tetapi melibatkan gagasan mengenai penghubung di antara keduanya. Salah satu model analisis wacana kritis ini adalah model kognisi sosial yang ditawarkan oleh Teun A. van Djik. van Dijk memperkenalkan analisis kognisi sosial, yang menjadi penghubung antara wacana dan masyarakat (Meyer, 2001: 15). Model ini menarik sebab mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis (Eriyanto, 2000). Pendekatan van Dijk ini juga menganalisis aspek kebahasaan secara terperinci, paling detail jika dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Hal ini sangat relevan dengan bidang yang peneliti pelajari. Seperti ditulis Thornborrow (2007: 80) bahwa satu hal yang penting untuk ditelaah ahli linguistik adalah institusi media bisa memengaruhi cara menyajikan berita dan kerangka yang digunakan untuk menampilkan orang-orang yang berbicara dalam media.
5
van Dijk (1988b: 18) menyatakan ketika wacana didefinisikan sebagai interaksi verbal atau peristiwa komunikasi, proses dan konteks sosial komunikasi harus dilibatkan dalam pendekatan yang integratif. Oleh karena itu, pendekatan kognisi sosial menyajikan penghubung yang unik dan diperlukan di antara aspek makro masyarakat dan aspek mikro wacana dan interaksi (van Dijk, 2005: 87). Pendekatan yang interdisipliner dalam mengkaji wacana tidak dibatasi hanya pada analisis struktur wacana, tetapi juga dibutuhkan analisis proses kognitif dan representasi memori dalam wacana (van Dijk, 1985g: 5). van Dijk (2008: ix) memfokuskan tiga dimensi wacana untuk menganalisis wacana secara komprehensif, yaitu wacana, kognisi, dan masyarakat. Namun, fokus asumsi teoretis pada kajian yang rumit ini adalah partisipan komunikasi berita
(jurnalis
dan pengguna media massa) sebagai aktor sosial dan anggota kelompok (van Dijk, 1988b: 19). Analisis dilakukan pada berita-berita mengenai Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali
dalam harian Bali Post yang terbit sejak
pertengahan April hingga Juni 2009. Dalam jangka waktu itu berita-berita mengenai RTRWP menjadi berita utama harian Bali Post. Pemerintah berada pada posisi mendukung keberadaan RTRWP, sedangkan tokoh-tokoh masyarakat Bali cenderung menolak (beberapa substansi) keberadaan RTRWP. Berita-berita yang dimuat harian Bali Post cenderung menolak keberadaan RTRWP ini sehingga dari segi kuantitas, jumlah berita yang mendukung dan menolak keberadaan RTRWP ini menjadi tidak seimbang.
6
Berita
RTRWP
mengandung
nilai
berita,
yaitu
nilai
berita
deviansi/kenegatifan dan nilai berita kedekatan. Disebut memiliki nilai berita kenegatifan karena berita-berita tersebut sempat menimbulkan konfik. Konflik dalam hal ini bukanlah konflik fisik, melainkan konflik pemikiran (Ishwara, 2005). Nilai kedekatan berarti bahwa masalah RTRWP ini, baik secara geografis maupun psikologis, memiliki kedekatan dengan masyarakat Bali. Berita-berita ini menjadi penting artinya bagi masyarakat Bali sehingga mendapat sorotan dan perhatian karena adat, budaya, dan agama merupakan elemen utama dalam pembentukan identitas budaya Bali. Namun, ketika masyarakat Bali sampai pada wacana identitas dan modernitas, persoalan selalu muncul mengenai adat dan tradisi yang manakah yang harus dipertahankan dan mana yang mesti ditransformasi
(Putra, 2004: xi). Beberapa substansi RTRWP dinilai para
tokoh masyarakat mencoba menggeser nilai-nilai yang mengorbankan budaya masyarakat Bali. Dalam konteks ini, harian Bali Post sebagai media nasional yang ada di Bali memegang peranan penting dalam mengendalikan wacana dan memengaruhi paradigma pembacanya. Untuk itulah, dipandang sangat perlu dilakukan analisis wacana dengan paradigma kritis terhadap berita-berita tentang RTRWP Bali.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah struktur teks berita-berita RTRWP dalam harian Bali Post?
7
2. Kognisi sosial apakah yang dicerminkan oleh wartawan penulis beritaberita tentang RTRWP dalam harian Bali Post? 3. Konteks sosial apakah yang digambarkan dalam berita-berita tentang RTRWP dalam harian Bali Post?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi pemberitaan mengenai RTRWP Bali pada harian Bali Post. Gambaran mengenai strategi pemberitaan akan menunjukkan kecenderungan keberpihakan media dalam pemberitaan mengenai RTRWP Bali pada harian Bali Post. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini dirumuskan sesuai dengan rumusan masalah penelitian yaitu sebagai berikut. 1) Mendeskripsikan struktur teks berita-berita tentang RTRWP dalam harian Bali Post. Struktur teks berita yang dimaksud meliputi tiga struktur, yakni struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. 2) Mendeskripsikan kognisi sosial wartawan penulis berita-berita tentang RTRWP dalam harian Bali Post. 3) Mendeskripsikan konteks sosial berita-berita tentang RTRWP dalam harian Bali Post.
8
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Adapun kedua manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain, khususnya dalam bidang wacana. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam melakukan penelitian lain yang sejenis sehingga dapat dihasilkan kajian wacana yang lebih komprehensif. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi pekerja media. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan refleksi atau evaluasi bagi para pekerja media, baik wartawan maupun redaktur untuk lebih netral dan objektif dalam memproduksi berita. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ketidaknetralan atau ketidakobjektifan wartawan dilakukan secara tidak sengaja karena telah terbiasa dengan cara berpikir yang digunakan selama ini. Setiap wartawan kemungkinan besar memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda tentang sebuah perisitiwa, dan hal ini sangat memengaruhi pemberitaannya. Dengan adanya hasil penelitian ini, wartawan akan lebih berhati-hati dalam memproduksi sebuah teks. Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi masyarakat. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran posisi media, khususnya Bali Post dalam berita tentang RTRWP kepada masyarakat. Hasil penelitian ini sekaligus bermanfaat untuk menyadarkan masyarakat bahwa dalam membaca berita-berita
9
dalam media cetak, khususnya surat kabar, sangat diperlukan sikap yang kritis, sehingga masyarakat tidak terlalu mudah terpengaruh oleh pemberitaanpemberitaan di media.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Salah satu aspek penting yang perlu diupayakan dalam sebuah penelitian adalah originalitas. Untuk mengetahui tingkat originalitas sebuah penelitian, diperlukan tinjauan terhadap penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan. Berikut ini disajikan tinjauan singkat terhadap penelitian-penelitian sejenis di bidang analisis wacana. Analisis terhadap wacana dalam media cetak dilakukan oleh Mulyawan (2005) dalam tesisnya “Wacana Iklan Komersial Media Cetak: Kajian Hipersemiotika”. Penelitian yang memanfaatkan teori struktur wacana van Dijk dan teori hipersemiotika oleh Yasraf Amir Piliang ini bertujuan untuk (1) mengetahui komposisi struktur iklan komersial media cetak, (2) struktur gramatika dan leksikalnya, (3) makna dan pesan iklan, serta (4) ideologi yang melatarbelakangi pembuatan iklan tersebut. Kesamaan
penelitian
Mulyawan
dengan
penelitian
ini
adalah
menggunakan teori analisis wacana van Dijk, tetapi terdapat beberapa perbedaan mendasar. Pertama, subjek penelitian Mulyawan adalah iklan komersial pada media cetak sementara penelitian peneliti menggunakan berita pada harian Bali Post khususnya mengenai Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Bali (RTRWP Bali) sebagai subjek. Kedua, objek penelitian Mulyawan adalah struktur
10
11
iklan, struktur gramatikal dan leksikal, serta makna dan ideologi yang melatari iklan. Sementara, objek penelitian ini adalah struktur teks, kognisi wartawan, dan konteks sosial yang melatari pemberitaan mengenai RTRWP di Bali Post. Perbedaan lainnya adalah terdapat perbedaan penerapan teori van Dijk. Mulyawan menerapkan teori van Dijk hanya pada tataran struktur teks yang diajukan van Dijk yang terdiri atas tiga elemen yaitu struktur makro, superstruktur/skema, dan struktur mikro. Pada tahap analisis, tiap-tiap struktur dianalisis dengan teori lain. Struktur makro dianalisis dengan teori hipersemiotika yang diajukan oleh Yasraf Amir Piliang; superstruktur dianalisis dengan teori struktur iklan. Sementara, penelitian ini dirancang untuk meneliti ketiga elemen analisis wacana yang disampaikan van Dijk, yaitu analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Dengan demikian, penelitian ini dirancang untuk menerapkan analisis wacana van Dijk secara lebih menyeluruh. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan van Dijk (2006) “… none of these approaches can be reduced to the other and all three of them are needed in an integrated theory that also establishes explicit links between the defferent dimensions of manipulation.” Lebih lanjut, van Dijk (2008: 16) menyatakan bahwa tidak satu pun dari ketiga dimensi wacana ini benar-benar dapat dipahami tanpa yang lain. Jadi, sangat penting untuk menerapkan ketiga dimensi analisis wacana ini secara bersama agar analisis wacana dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan baik. Wacana iklan juga menjadi topik tesis berjudul “Wacana Iklan Komersial Kecantikan Wanita” oleh Astini (2008). Astini khusus membahas iklan kecantikan wanita dengan teori struktur wacana van Dijk dan teori semiotika sebagaimana
12
yang digunakan oleh Mulyawan. Masalah penelitian ini pun sama dengan penelitian Mulyawan, yaitu (1) bagaimanakah komposisi struktur iklan komersial kecantikan wanita, (2) bagaimanakah struktur gramatikal dan leksikalnya, (3) makna dan pesan apakah yang ingin disampaikan, dan (4) ideologi apakah yang melatarbelakanginya. Penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut. Pertama, iklan komersial kecantikan wanita terdiri atas iklan untuk rambut, mata, pipi, wajah, bibir, kuku, kaki, tubuh secara keseluruhan, dan wewangian. Iklan rambut, mata, bibir, wajah, kaki, dan tubuh secara keseluruhan memiliki struktur yang lengkap yaitu illustration, body copy, signature line, dan standing details. Di pihak lain, struktur iklan untuk pipi, kuku, dan wewangian terdiri atas tiga struktur yaitu headline, body copy dan signature line. Kedua, secara gramatikal setiap iklan mengoptimalkan penggunaan semua bentuk kaidah gramatikal yang ada, seperti referensi, substitusi, elipsis, dan perangkaian. Ketiga, makna dan pesan dalam iklan terdiri atas unsur verbal dan unsur nonverbal. Kedua unsur ini saling mendukung sehingga mudah diingat oleh konsumen. Keempat, ideologi setiap iklan kecantikan pada umumnya bersifat konsumerisme karena wanita cenderung lebih konsumtif soal kecantikan. Penelitian Astini (2008) mengkaji iklan dengan menggunakan analisis wacana yang dikemukanan van Dijk. Namun, sama halnya dengan penelitian Mulyawan, analisis wacana yang diterapkan hanya pada tataran analisis teks yang meliputi tiga struktur, yakni struktur mikro, superstruktur, dan struktur makro. Sementara, analisis kognisi dan konteks sosial tidak dilakukan, padahal dalam
13
pandangan van Dijk, ketiga level ini (analisis teks, kognisi, dan konteks sosial) mesti dilaksanakan secara komprehensif sebagai tahapan yang terintegrasi dalam analisis wacana agar analisis lebih komprehensif dan bersifat kritis. Selain penelitian terhadap wacana iklan, juga ditemukan penelitian terhadap wacana berita media cetak, yaitu majalah Sabili oleh Khotimah (2004) yang berjudul “Analisis Wacana Ideologi Tandingan (Wacana Terorisme dalam Media-Analisis Kritis Pemberitaan Abu Bakar Ba’asyir)”. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis khususnya yang dikemukakan oleh van Dijk. Penelitian yang berdasar pada teori analisis wacana van Dijk ini menemukan beberapa hal. Pertama, struktur dan skema strategi wacana secara tekstual yang ditulis wartawan Sabili dalam pemberitaan Ba’asyir secara keseluruhan mendukung argumen pembelaan atas Ba’asyir sebagai representasi umat Islam; Strategi wacana secara ideologis juga mewarnai struktur wacana teks yang ditampilkan Sabili. Teks-teks yang menggunakan argumen melalui data-data, fakta yang ditampilkan Sabili pun menampakkan sikap Sabili baik secara ideologis maupun psikologis penulisnya. Kedua, kognisi sosial wartawan Sabili sebagai representasi mentalnya terekspresikan dalam struktur teks yang ditampilkan. Lebih dari itu, struktur wacana bahasa ini juga mengekspresikan sikap, keyakinan, pandangan, norma, nilai, aturan, dan pengetahuan yang dimiliki wartawan Sabili. Islam sebagai ideologi religius tampak baik pada teks, struktur kognisi, maupun aspek-aspek behavioral yang ditunjukkan oleh wartawan Sabili. Sikap-sikap kontra Amerika Serikat dan sekutunya yang ditunjukkan secara tegas dalam teks berita juga
14
menjadi skema mental para wartawan Sabili dalam hal memandang kebijakankebijakan AS, sekutunya, dan pemerintah Indonesia yang kerap memarginalkan umat Islam khususnya dalam wacana terorisme. Ketiga, media massa pada penelitian Khotimah ini terbukti menjadi wilayah yang dipertarungkan oleh berbagai kalangan, baik untuk mengukuhkan hegemoni maupun pihak yang ingin mendobrak atau menumbangkan hegemoni sebagaimana wacana yang ditampilkan Sabili. Wacana hegemonik tentang terorisme juga telah menyebabkan media massa cenderung melakukan trial by the press terhadap Abubakar Ba’asyir dan Jamaah Islamiyah. Di samping itu, Islam dan kelompok Islam dimarjinalkan dalam konteks perpolitikan di Indonesia juga pada wacana politik global. Hal lainnya yaitu bias ideologis (anti-Islam lebih spesifik anti-Islam radikal) dalam wacana terorisme terbukti ‘powerful’ dalam membangun sentimen anti-Islam pada satu sisi. Namun, pada sisi lain telah menjadi salah satu bentuk publisitas yang ‘powerful’ juga bagi Islam sebagai ideologi dominan politik internasional. Selain penelitian terhadap wacana tertulis, juga ditemukan penelitian sejenis terhadap wacana lisan sebagai berikut. “Wacana Kantola di Kabupaten Muna dalam Perspektif Linguistik Kebudayaan” oleh La Ode Bardia (2006) yang mendeskripsikan struktur linguistik, struktur tematik, struktur skematik, makna lingual-kultural, dan nilai budaya Kantola yang berdasar pada teori wacana Van Dijk dan teori semiotik Saussure. Penelitian ini merumuskan beberapa simpulan. Pertama, dilihat dari segi bentuknya, kontola terdiri atas beberapa lirik/bait. Setiap lirik/bait terdiri atas
15
beberapa baris yang jumlahnya tidak tentu. Lirik yang panjang terdiri atas empat belas baris, sementara yang pendek terdiri atas tiga baris. Setiap baris terdiri atas tiga sampai sepuluh kata. Dari segi intonasi, setiap baris selalu diakhiri dengan nada naik kemudian turun. Dari struktur skematik, penelitian ini menyimpulkan bahwa wacana Kontola di Kabupaten Muna (WKM) terdiri atas prapendahuluan, pendahuluan, isi, pra-penutup, dan penutup. Prapendahuluan ditandai dengan menyuarakan bunyi vokal [a, e, o] yang dipanjangkan selama kurang lebih lima belas menit. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana. Selanjutnya, tema yang terdapat dalam WKM, yakni kritik sosial, kritik moral, pelipur lara, nasihat, cinta, kekecewaan, dan kebencian, dan dendam. Dari segi makna lingual-kultural terkandung nilai-nilai budaya, seperti solidaritas, keadilan, pendidikan, etika, kewaspadaan, kearifan, keagamaan, kesabaran, kesetaraan, dan ketangguhan. Penelitian Bardia (2006) memang menerapkan analisis wacana yang disampaikan van Dijk, tetapi pada pelaksanaannya tidak terlalu terperinci menerapkan analisis terhadap kognisi sosial. Padahal, kognisi sosial justru menjadi fokus analisis wacana ini, sebagaimana disampaikan van Dijk (1988a: 20) “….our cognitive approach focus on social cognition”. Kognisi ini dibutuhkan untuk menghubungkan situasi sosial dengan wacana (van Dijk, 2005: 75). Analisis wacana lisan lain dilakukan terhadap ritual Sua Songga masyarakat Ende oleh Antonius Kato (2007) dengan judul “ Wacana Ritual Songga Masyaraat Ende di Kecamatan Ende: Kajian Linguistik Kebudayaan”.
16
Dengan teori analisis wacana van Dijk, Fairclough, dan teori semiotik sosial M.A.K. Halliday, penelitian ini mengungkapkan struktur tematik, struktur skematik, serta makna dan nilai yang terkandung dalam wacana ritual Sua Songga masyarakat Ende. Penelitian ini merumuskan beberapa simpulan sebagai berikut. Pertama, dari segi fonologis, semua bunyi vokal dapat direalisasikan sebagai bunyi rendah, kecuali vokal /θ/. Dari aspek morfologi, terdapat empat bentuk kata yang didayagunakan, yakni nomina, verba, adjektiva, dan adverbia seperti pada bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah lainnya. Dari aspek sintaksis, terdapat nilai eksperiensial yang ditunjukkan proses dan partisipan. Partisipan yang berperan sebagai aktor atau agen hanya muncul pada bagian awal dan akhir, sedangkan pada bagian tengah (isi permohonan), peran partisipan sebagai aktor dan agen selalu dilesapkan. Aspek leksikalisasi dalam teks wacana ritual sua songga ‘doa adat’ tergolong unik karena memanfaatkan bentuk-bentuk yang bersinonim, berantonim, dan berhiponim. Dari aspek gaya bahasa, pararelisme dan repetisi merupakan gaya yang paling menonjol dan unik dengan ungkapan-ungkapan yang mengandung makna hiperbola, aliterasi, asonansi, metafora, persamaan atau simile dan personifikasi. Pada struktur makro, teks wacana ritual sua songga ‘doa adat’ memiliki struktur tematik yang menunjukkan hal, antara lain kepercayaan/keyakinan kepada wujud tertinggi, kebersamaan dan kekeluargaan, sejarah, kesehatan dan keselamatan, dan kesuksesan/keberhasilan dalam usaha dan kehidupan keluarga.
17
Strutur skematik terdiri atas tiga bagian. Ketiga bagian tersebut adalah (a) pendahuluan/pembukaan, dengan langkah-langkah: salam/sapaan; pemberitahuan; dan transisi; (b) batang tubuh/isi permohonan-permohonan; dan (c) penutup, yaitu pemberitahuan/pamitan. Teks wacana ritual sua songga ‘doa adat’ memiliki makna yang terdiri atas (a) makna religius yaitu makna yang menyatakan hubungan dengan kekuasaan Wujud Tertinggi; (b) makna sosiologis yaitu makna kebersamaan dan kekeluargaan, penghargaan akan kesehatan dan keselamatan, penghargaan akan keberhasilan dalam keluarga; dan (c) makna sejarah (historis). Sementara, nilai sosiokultural, yakni (a) nilai religi, kesadaran diri, keyakinan akan peran leluhur, dan kebenaran sejarah; (b) nilai sosiologis, persaudaraan, kesadaran akan adanya herarki sosial, kesadaran akan peran pelayanan dan perjuangan. Penelitian Kato (2007) menerapkan analisis wacana yang disampaikan van Dijk untuk menganalisis wacana dalam ritual kebudayaan. Hal ini tentu berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan yang menganalisis teks berita pada harian Bali Post. Selain itu, penelitian ini juga berbeda dengan yang peneliti lakukan karena penelitian Kato (2007) hanya menerapkan teori yang disampaikan van Dijk pada level analisis teks, yakni pada level struktur mikro, superstruktur, dan struktur makro. Sementara, dua dimensi analisis, yakni kognisi dan konteks sosial tidak dianalisis. Dalam penelitian ini, dianalisis ketiga dimensi wacana tersebut yaitu analisis teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Ketiga dimensi analisis meliputi analisis teks/wacana, kognisi sosial, dan konteks sosial merupakan satu kesatuan yang seharusnya diterapkan secara bersama-sama untuk menganalisis
18
sebuah wacana. van Dijk (2001) menyampaikan “I thus limit my own endeavours to the domain, defined by the theoritical discourse-cognition-society triangle.” Dengan demikian, ketiga dimensi analisis ini tidak terpisahkan. Mengabaikan analisis terhadap kognisi, justru mengabaikan bagian terpenting dalam analisis wacana kritis, khususnya yang disampaikan van Dijk. Meyer (2001) menyebutkan “CDA (Critical Discourse Analysis) does not take this relationship - between language and society - to be simply deterministic involves an idea of mediation.” Jadi, karakteristik utama analisis wacana kritis yang dikemukakan van Dijk justru pada kognisi yang merupakan penghubung antara wacana dan masyarakat. Haryanto (1999) dalam tesisnya menganalisis kolom “Pojok” dalam surat kabar Republika periode Januari sampai dengan April 1999 dengan menggunakan kajian gramatikal dan pragmatik. Judul penelitian Haryanto adalah “Wacana Kolom Pojok Rehat Dalam Surat Kabar Republika: Kajian Gramatikal dan Pragmatik”. Dalam penelitian itu, Haryanto mengkaji aspek gramatikal dan pragmatik kolom tersebut untuk (1) mengetahui bentuk-bentuk kebahasaan yang digunakan, (2) menjelaskan variasi bahasa yang digunakan, (3) memerikan caracara menemukan maksud, dan (4) menganalisis maksud penulis kolom tersebut. Kajian ini merumuskan simpulan sebagai berikut. Pertama, bentuk kebahasaan yang digunakan dalam Wacana Kolom Pojok Rehat (WKPR) untuk menyampaikan maksudnya meliputi (1) kalimat berklausa dan tak berklausa, (2) kalimat tunggal dan kalimat majemuk, (3) kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif. Kedua, variasi bahasa yang digunakan oleh penulis WKPR untuk menjadikan wacana ini menarik dan mengena sasaran, antara lain (1) pemakaian
19
campur kode (campur kode ke dalam dan campur kode ke luar), (2) pemakaian bahasa ringkas (tingkat kata, frasa, dan klausa), (3) pemakaian bahasa sebagai hasil kreativitas penulis, dan (4) pemakaian ungkapan-ungkapan. Ketiga, maksud penulis yang diungkapkan dalam WKPR ini dapat dipahami dengan mudah berkat hadirnya alat-alat analisis wacana, antara lain (1) kohesi (referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal, (2) koherensi, (3) konteks situasi, (4) prinsip analogi, dan (5) latar belakang pengetahuan. Keempat,
munculnya
berbagai bentuk kebahasan dan berbagai macam variasi bahasa dalam KPR ini dimaksudkan oleh penulis WKPR dapat menjadi sarana untuk mengomunikasikan maksud hatinya. Maksud yang disampaikan antara lain: sindiran, kritikan, saran, keluhan, dan perintah. Meskipun sama-sama merupakan kajian wacana, kajian Haryanto berbeda dengan dengan penelitian ini, baik dari segi subjek, objek analisis maupun teori yang digunakan dalam menganalisis. Perbedaan ini menciptakaan keunikan pada tiap-tiap penelitian. Dalam penelitian itu, Haryanto menganalisis wacana “Kolom Pojok” dengan menggunakan analisis gramatikal dan pragmatik, sedangkan peneliti menganalisis wacana berita dengan menggunakan teori analisis wacana yang disampaikan van Dijk. Jadi, meskipun sama-sama merupakan analisis wacana, kedua penelitian ini sangat berbeda. Penelitian-penelitian sejenis tersebut dapat digolongkan, yaitu (1) analisis terhadap wacana tertulis berupa “kolom pojok” berjumlah satu buah penelitian (2) analisis terhadap wacana tertulis berupa iklan yang berjumlah dua buah penelitian, (3) analisis wacana tertulis berupa berita berjumlah satu buah penelitian, dan (4)
20
analisis wacana lisan tradisi masyarakat berjumlah dua buah penelitian. Setelah dilakukan tinjauan terhadap penelitian-penelitian tersebut, diketahui bahwa penelitian ini paling menyerupai penelitian yang tergolong pada jenis ketiga, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ema Khotimah (2004). Penelitian ini sama dengan penelitian tersebut dalam hal jenis wacana yang dianalisis, yakni berita dan dari segi teori analisis wacana yang digunakan, yaitu analisis wacana van Dijk. Perbedaannya adalah pada sumber data penelitian. Sumber data penelitian Ema Khotimah adalah majalah Sabili yang sudah jelas menganut ideologi tertentu, yaitu ideologi Islam. Hal ini tampak pada latar belakang penelitiannya yang mengutip pandangan Agus Sudibyo (2004: 9) tentang Sabili sebagai media partisan karena keberpihakannya yang transparan dan tegas membela umat Islam, sedangkan sumber data penelitian ini adalah koran harian Bali Post yang memegang semboyan “Pengemban, Pengamal Pancasila”. Semboyan ini merepresentasikan ideologi yang idealnya dianut dan diterapkan oleh media Bali Post. Wibowo (2009: 196) menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila dalam kode etik jurnalistik, yakni (1) wartawan Indonesia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) menghormati kebebasan orang lain; (3) tidak bekerja untuk kepentingan sendiri atau kelompok, tidak memfitnah, tidak sadis, tidak cabul, tidak memutarbalikkan fakta; (4) demokrasi substantif, menghargai off the record, mengakui kesalahan, menghargai ketentuan embargo, memberi informasi yang benar; (5) berita selaras-seimbang, check and recheck, hak jawab, dan hak koreksi. Dengan demikian, secara ideal Bali Post
tidak memihak kepada
21
golongan atau pihak tertentu dalam produksi berita-beritanya karena menganut ideologi Pancasila, yang menjunjung tinggi kepentingan umum di atas kepentingan golongan. Hal ini membuktikan bahwa sumber data yang digunakan oleh Ema Khotimah dan peneliti memang memiliki perbedaan yang mendasar. Jadi, penelitian ini memiliki originalitas.
2.2 Konsep 2.2.1 Wacana dan Teks Pada awalnya, kata wacana dalam bahasa Indonesia digunakan untuk mengacu pada bahan bacaan, percakapan, dan tuturan. Dalam konteks ini, wacana yang digunakan merupakan kata wacana sebagai padanan dari istilah discourse dalam bahasa Inggris. Kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti ’lari ke sana kemari’, ’lari bolak-balik’. Tarigan (1993: 27) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Wacana didefinisikan oleh Zaimar dan Harahap (2009: 12) wacana didefinisikan sebagai bahasa yang komunikatif, yaitu yang sedang menjalankan fungsinya. Gee membedakan ”discourse” dengan ”Discourse”. Such language-inuse I will call ”discourse” with a ”little d” (Gee, 2005: 7). Jadi, ”discourse” didefinisikan sebagai bahasa dalam penggunaannya. Sementara ”Discourse”
22
digunakan untuk mengacu kepada bahasa dalam pengunaannya dengan melibatkan pula atribut yang bersifat nonbahasa. Pandangan selanjutnya disampaikan oleh van Dijk (1985c: 108): ”Discourse is not just a set of sentence but an ordered sequence, with conventional constraints on the possible orderings if it is to be meaningful and if it is to represent certain fact structures, for example, episode”. Wacana bukan hanya kumpulan kalimat, melainkan rangkaian pesan dengan ketentuan konvensional dalam susunan yang mungkin jika itu menjadikannya bermakna dan jika itu merepresentasikan struktur fakta tertentu, seperti peristiwa. van Dijk (1992: 3) juga menyebutkan bahwa wacana secara sistematis berhubungan dengan tindakan komunikatif. van Dijk (1984: 53) menggambarkan kehadiran wacana sebagai salah satu media terpenting yang menghubungkan individu dengan masyarakat, pengetahuan dengan dimensi interaksional. Wacana menjadi sarana untuk menyampaikan kognisi sosial. Pandangan mengenai kognisi sosial merupakan fokus perhatian van Dijk karena kognisi memiliki peran penting dalam produksi dan pemahaman wacana. Kognisi menjadi penghubung antara situasi sosial dan wacana. Fairclough (1994: 43) mengemukakan ”Discourse as a place where relations of power are actually exercised an enacted”. Fairclough (1994: 22) juga mengemukakan bahwa wacana merupakan penggunaan bahasa yang ditentukan secara sosial. Lebih lanjut, Fairclough (1995: 63) menyampaikan ”In using the term ’discourse’ I’am proposing to regard language use as a form of social practice, rather than a purely individual activity or a reflex of situasional
23
varieables.” Pandangan ini menyiratkan bahwa dalam pandangan Fairclough, wacana merupakan bentuk tindakan yang bersifat sosial dan melibatkan kekuasaan. Kedua, wacana menunjukkan hubungan dialektik antara wacana dan struktur sosial. Wacana berfungsi mengonstruksi struktur sosial tertentu. Sebaliknya, struktur sosial akan memengaruhi produksi wacana. Brown dan Yule (1996: 1) menggunakan istilah wacana untuk mengacu pada bahasa yang sedang digunakan. Sejalan dengan itu, Zaimar dan Harahap (2009: 12) menggunakan istilah wacana untuk mengacu pada satuan bahasa yang komunikatif, yaitu yang sedang menjalankan fungsinya. Dengan demikian, wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan otonom, dapat berdiri sendiri. Pemahaman terhadap wacana hendaknya memerhatikan konteks situasinya karena hal tersebut memengaruhi makna wacana. Bentuk wacana tidak dapat dipastikan karena bisa berupa kata saja, kalimat, paragraf, artikel, bahkan buku. Wacana bisa juga dipahami sebagai rangkaian kalimat yang serasi, yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi lain, kalimat satu dengan kalimat lain yang membentuk satu kesatuan (Eriyanto, 2006: 3). Selanjutnya, Jorgensen dan Phillips (2007: 2) mendefinisikan wacana dengan agak berbeda, yakni sebagai cara tertentu untuk membicarakan dan memahami dunia (atau aspek dunia) ini. Halliday dan Hasan (1976: 1) menyatakan bahwa ”a text is a unit of language in use”. Teks yang dimaksud dalam hal ini meliputi bentuk lisan maupun tulis penggunaan bahasa. Selanjutnya, Halliday dan hasan (1976: 2) menjelas bahwa teks merupakan unit semantik; bukan sekadar bentuk melainkan makna. Teks menurut Halliday (1988: i) adalah sebagai segala sesuatu yang
24
diucapkan atau ditulis dalam konteks. Halliday (1988: xi) menjelaskan “A Text can be highly complex phenomenon, the product of a highly ideational and interpersonal environment”.” Beaugrande (dalam van Dijk (ed), 1985b: 48-49) menjelaskan bahwa memahami teks sebagai susunan frasa dan klausa yang kohesif dan secara konseptual umumnya koheren tidaklah cukup. Sebuah teks tidak hanya detentukan berdasarkan kohesi dan koherensi, melainkan juga intensionalitas, keberterimaan, situasi, intertekstualitas, dan keinformatifannya. Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut, wacana dan teks agak sulit untuk dibedakan. Wacana secara umum didefinisikan sebagai bahasa baik lisan maupun tulis yang sedang digunakan, menjalankan fungsi, serta berada dalam konteks tertentu. Teks juga digambarkan sebagai bentuk penggunaan bahasa yang tidak hanya cukup dipahami berdasarkan kohesi dan koherensi saja, melainkan melibatkan juga intensionalitas, keberterimaan, situasi, intertekstualitas, dan muatan infirmasinya yang terdapat di dalamnya. van Dijk (1988a: 24) tidak membedakan istilah wacana dengan teks, dan menggunakan istilah teks dan wacana sebagai istilah yang dapat dipertukarkan. Dalam penelitian ini, istilah teks dan wacana akan digunakan dengan mengikuti pandan van Dijk,
yakni sebagai istilah yang tidak dibedakan dan dapat
dipertukarkan. Kress (dalam van Dijk (ed), 1985e: 27) mengemukakan juga bahwa istilah “wacana” dan “teks” cenderung digunakan tanpa perbedaan yang tajam. Jika pembahasan didasarkan atau bertujuan sosiologis, maka istilah “wacana” yang digunakan, namun jika pembahasan didasarkan pada linguistik, maka istilah “teks” yang digunakan.
25
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa wacana atau teks dapat didefinisikan sebagai bahasa dalam penggunaannya yang memiliki struktur gramatikal tertentu yang kohesif serta koheren. Dengan menekankan wacana atau teks sebagai bahasa dalam penggunaan, wacana atau teks menjadi bentuk bahasa yang kompleks karena tidak saja berhubungan dengan bentuk kebahasaan, tetapi juga berhubungan dengan konteks, baik yang bersifat sosial maupun kognitif.
2.2.2 Berita Berita lebih mudah dikenali daripada didefinisikan. Meskipun demikian, terdapat beberapa definisi berita yang dapat memperkuat pemahaman mengenai berita. Berita adalah laporan atau pemberitahuan tentang segala peristiwa aktual yang menarik perhatian orang banyak (Suhandang, 2004: 103). Sejalan dengan konsep tersebut, Kusumaningrat dan Kusumaningrat (2007: 40) merumuskan berita sebagai informasi aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik perhatian orang. Iswa (2005) memaparkan pandangan mengenai berita yang bersifat objektif sekaligus subjektif. Berita bersifat objektif karena terkait dengan objek tertentu dan bersifat subjektif karena disampaikan oleh subjek. Iswara tidak menyampaikan definisi berita secara eksplisit, tetapi menggambarkan berita dengan menguraikan sifat berita bahwa objektivitas tidak cukup dalam menyampaikan berita. Selain objektif, berita juga harus adil. Berdasarkan standar sikap adil Washington Post, Iswara memaparkan bahwa berita yang adil harus mengandung fakta yang lengkap, mengandung informasi yang relevan, membimbing pembaca ke arah yang benar dan bersikap jujur; wartawan berterus
26
terang dan tidak menyembunyikan prasangka atau emosi di balik kata-kata halus yang merendahkan. Pan dan Kosicki (1993: 58) menyebutkan “News text as consisting of organized symbolic devices that will interact with individual agents memory for meaning construction.” Pandangan ini merupakan bentuk ketidaksetujuan terhadap anggapan yang meyakini berita sebagai bentuk wacana yang bersifat objektif. van Dijk (1988a: 4) menyebutkan tiga makna berita pada media massa yang umum digunakan. Pertama, informasi baru tentang peristiwa, sesuatu atau seseorang. Kedua, tipe program (TV atau radio) di mana berita disajikan. Ketiga, berita atau laporan peristiwa, teks atau wacana di radio, TV atau surat kabar, yang menyajikan informasi baru mengenai peristiwa terbaru. Berdasarkan beberapa difinisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa berita merupakan laporan mengenai peristiwa aktual yang berhubungan dengan kepentingan khalayak yang disampaikan melalui media massa. Kepentingan khalayak, bukanlah konsep yang bisa digambarkan secara sederhana. Kepentingan khalayak ini ditentukan berdasarkan nilai berita yang dimiliki oleh suatu peristiwa atau hal yang akan diinformasikan. Konsep yang diacu dalam penelitian ini adalah nilai berita yang dikemukakan oleh van Dijk (1988a: 121). Pertama, novelty (kebaruan). Kebaruan menyangkut perihal kebaruan informasi dalam berita. Berita yang diterima oleh pembaca hendaknya merupakan berita yang belum pernah dibaca atau diketahui sebelumnya. Kedua, recency (kekinian). Recency (kekinian) tidak jauh berbeda
27
dengan novelty. Jika novelty menyangkut kebaruan berita, recency menyangkut keaktualan atau kekinian berita (berhubungan dengan waktu terjadinya peristiwa dengan waktu diterimanya berita tersebut oleh pembaca). Ketiga, presupposition (pengetahuan awal, skemata). Wartawan harus memiliki asumsi bahwa pembaca mungkin belum membaca atau sudah lupa terhadap informasi sebelumnya. Dengan demikian, dibutuhkan informasi awal sebagai latar belakang atau konteks peristiwa aktual yang sedang diberitakan. Informasi ini bertujuan untuk memperbarui model dan skemata pembaca. Tanpa model dan skemata sebelumnya, pembaca tidak mampu memahami teks berita tersebut. Keempat, consonance (kecocokan). Sebuah berita hendaknya cocok secara sosial dengan norma-norma dan sikap yang berlaku di masyarakat, seperti skemata, kepercayaan, opini yang sudah ada di tengah masyarakat, dan sikapsikap sosial. Pembaca akan lebih mudah memahami dan menerima sebuah berita jika norma-norma jurnalis juga sama dengan pembaca. Kelima, relevance atau hubungan atau keterkaitan. Secara umum, berita tentang peristiwa atau tindakan yang berhubungan atau memiliki keterkaitan dengan pembaca lebih disukai pembaca. Hal ini terjadi sebab informasi ini menyediakan model yang dapat digunakan sebagai interpretasi terhadap wacana lain atau untuk merencanakan dan mengeksekusi tindakan dan interaksi sosial. Keenam, deviance and negativity (penyimpangan dan kenegatifan). Secara umum, wacana berita adalah tentang peristiwa-peristiwa negatif, seperti masalah, skandal, konflik, kriminalitas, perang, dan bencana. Secara psikoanalitis, berbagai bentuk kenegatifan dalam berita merupakan ekspresi ketakutan kita sendiri.
28
Selanjutnya, model kenegatifan tersebut secara langsung dihubungkan dengan sistem emosi pertahanan diri yaitu daya tarik terhadap sesuatu yang berjalan dengan tidak semestinya menjadi sebuah persiapan yang efektif untuk tindakan penghindaran. Ketujuh, proximity atau kedekatan. Pesan yang disampaikan media tentang peristiwa yang dekat dengan masyarakat akan dipahami dengan lebih baik karena berdasarkan model yang lebih utuh dan tersedia. Selain itu, berita juga menjadi lebih relevan untuk interaksi langsung atau aktivitas kognitif dan sosial.
2.2.3 Ideologi Ideologi merupakan konsep yang tidak mudah dijelaskan. Fiske (2006: 228) menguraikan konsep ideologi yang dikemukakan oleh Raymond Williams tentang tiga penggunaan utama konsep ideologi. Pertama, suatu sistem keyakinan yang menandai kelompok atau kelas tertentu. Kedua, suatu sistem keyakinan ilusioner – gagasan palsu atau kesadaran palsu – yang bisa dikontraskan dengan pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah. Ketiga, proses umum produksi makna dan gagasan. Wodak (2001) mengemukakan ideologi sebagai aspek penting dalam menciptakan dan mempertahankan hubungan kekuasaan yang tidak setara. Hal ini sejalan dengan konsep yang disampaikan Fairclough (1994: 2) bahwa ideologi berhubungan sangat erat dengan kekuasaan dan bahasa. Hal ini juga sejalan dengan konsep yang disampaikan Kress (2010) bahwa sistem ideologis eksis dalam dan diartikulasikan melalui bahasa. Dengan demikian, sistem ideologis itu sendiri bisa dijangkau melalui analisis bahasa. Hamad (2010: 60) menjelaskan
29
ideologi dalam konteks semiotika sebagai titik tolak orang (term of refence) untuk melakukan
produksi
dan
interpretasi
pesan.
Thompson
(2007:
18)
menggambarkan ideologi dalam konteks ilmu sosial sebagai perekat hubungan sosial yang mengikat anggota masyarakat secara bersama dengan menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati secara kolektif. van Dijk (2001a: 115) menjelaskan ideologi sebagai representasi sosial dasar kelompok sosial. Ideologi juga dijelaskan sebagai kerangka dasar untuk mengorganisasi kognisi sosial yang disebarkan oleh anggota kelompok sosial, organisasi, atau institusi (van Dijk. 1995a: 18). Ideologi digambarkan bersifat kognitif sekaligus sosial. Ideologi secara keseluruhan merupakan sistem mental yang abstrak yang mengorganisasi sikap-sikap yang disebarkan secara sosial. Ideologi diperoleh secara bertahap oleh anggota kelompok atau kebudayaan (van Dijk. 1995a: 18). Selanjutnya, van Dijk (1998a) menggambarkan ideologi sebagai representasi sosial yang lain bersifat kognitif seperti halnya konstruksi sosial yang tidak hanya disebarkan secara mental dengan orang lain sebagai bentuk kognisi sosial, tetapi juga diproduksi secara sosial dengan orang lain sebagai anggota kelompok. van Dijk (2006b: 117) menguraikan fungsi kognitif dan sosial ideologi. Pertama, mengorganisasi dan dasar representasi sosial yang disebarkan oleh anggota (ideologis) kelompok. Kedua, ideologi merupakan dasar wacana dan tindakan sosial yang lain anggota kelompok sosial sebagai bagian dari kelompok tersebut.
Ketiga,
ideologi
memungkinkan
anggota
kelompok
untuk
mengorganisasi dan menyelaraskan tindakan dan interaksi mengenai pandangan,
30
tujuan, dan minat kelompok secara keseluruhan. Keempat, ideologi berfungsi sebagai penghubung sosiokognitif struktur sosial kelompok dengan wacana dan tindakan sosial lainnya. Beberapa ideologi berfungsi untuk mengesahkan dominasi, tetapi juga untuk melakukan perlawanan dalam hubungannya dengan kekuasaan. Fungsi ideologi yang lain adalah dasar pedoman dalam bertindak bagi bidang pekerjaan atau keahlian tertentu. Teori tentang ideologi bersifat multidispliner. Teori ini diartikulasikan dalam sebuah segi tiga konseptual yang berhubungan dengan masyarakat, wacana, dan kognisi sosial dalam kerangka kerja analisis wacana kritis (van Dijk, 1995a: 17). Dalam pendekatan ini, ideologi merupakan kerangka kerja dasar untuk mengorganisasi kognisi sosial yang dimiliki oleh anggota sebuah kelompok sosial. Dengan demikian, ideologi bersifat kognitif dan sosial. Secara mendasar, keduanya berfungsi sebagai penghubung antara representasi kognitif dan proses yang mendasari wacana dan tindakan di satu sisi, posisi kemasyarakatan dan minat kelompok sosial di sisi lain. Konsep ideologi ini juga memungkinkan kita menetapkan hubungan yang penting antara analisis makro terhadap kelompok sosial, formasi sosial, dan struktur sosial dengan bidang mikro, yaitu situasi, interaksi individu, dan wacana. Ideologi merupakan sistem mental yang abstrak dan mengorganisasi sikap secara sosial. Sikap-sikap feminis, misalnya, secara internal telah terstruktur dan berhubungan dengan prinsip-prinsip umum yang telah dipahami bersama sebagai sebuah ideologi “feminis”. Contoh lain adalah
rasis, antirasis, sikap-sikap
ekologis prolingkungan dengan sistem ideologis yang dimiliki.
31
Melalui proses panjang dan kompleks terhadap proses pembentukan informasi sosial, ideologi secara berangsur-angsur diperoleh oleh anggota sebuah kelompok atau budaya. Sebagai sistem prinsip yang mengorganisasi kognisi sosial, ideologi diasumsikan mengontrol sikap anggota kelompok melalui pikiran dan reproduksi sosial anggota. Ideologi secara mental merepresentasikan karakteristik sosial yang mendasar yang dimiliki oleh sebuah kelompok, seperti identitas, tujuan-tujuan, norma-norma, dan nilai-nilai. Ideologi diorganisasikan oleh skemata kelompok (group-schemata). Rasis kulit putih, misalnya, merepresentasikan masyarakat secara mendasar dalam hal konflik antara kulit putih dan nonkulit putih, yaitu identitas, tujuan, nilai, posisi, dan sumber penghasilan orang kulit putih diancam oleh yang lain. Mereka merepresentasikan hubungan ini sebagai ‘kami’ versus ‘mereka’, yaitu ‘kami’ diasosiasikan dengan perangkat positif dan ‘mereka’ diasiosiasikan dengan perangkat negatif. Ideologi ada di antara struktur sosial dan struktur pikiran anggota sosial. Kedua struktur ini memungkinkan aktor sosial ‘menerjemahkan’ perangkat sosial (identitas, tujuan, dan posisi) ke dalam pengetahuan dan kepercayaan yang melatarbelakangi model konkret pengalaman hidup mereka sehari-hari. Secara tidak langsung, ideologi mengontrol bagaimana merencanakan dan memahami praktik sosial, termasuk di dalamnya struktur teks dan percakapan mereka seharihari. van Dijk (1998b: 21-22) menggambarkan bahwa opini dan ideologi melibatkan keyakinan dan representasi mental, dan karena itu dibutuhakn perspektif yang bersifat kognitif. Pada sisi lain, ideologi dan opini di media massa
32
pada umumnya tidak bersifat personal, namun sosial, institusional, atau politis. Dengan demikin, hubungan antara ideologi, media massa atau surat kabar, serta opini yang terepresentasi dalam pemberitaan bersifat kompleks. Dalam konteks pers Indonesia, Sudibyo (1999: 55-57) mengemukakan tiga pandangan mengenai ideologi pers. Pertama, pers perjuangan. Ideologi pers perjuangan ini berkembang pada masa kolonial. Tujuan utama pers saat itu adalah untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Berseberangan dengan pers perjuangan, terdapat pers kolonial, yang tentu saja memperjuangkan kepentingan kolonial. Pers perjuangan mengusung ideologi kemerdekaan dan nasionalisme kebangsaan. Pada masa perjuangan berkembang pandangan bahwa pers dianggap lebih memiliki kekuatan daripada perang bersenjata (Triharyanto, 2009: 13). Orientasi pers perjuangan tersebut membuat paradigma yang dikembangkan lebih bersifat kritis terhadap negara (state) dan afirmatif terhadap masyarakat (society). Kedua, ideologi industrial. Ideologi ini lahir ketika pers menjadi industri yang melibatkan modal dan berkembang berdasarkan standar-standar profesional. Kekritisan terhadap negara dan keberpihakan kepada masyarakat semakin berkurang dengan masuknya, bahkan mendominasinya modal ke dalam institusi pers. Akibat yang lebih jauh dari kondisi ini adalah kecenderungan pers yang berpihak kepada pasar. Dengan kata lain, pers lebih berorientasi kepada keuntungan daripada kepentingan masyarakat. Ketiga, ideologi Pancasila atau pers pembangunan. Pers Pancasila adalah pers yang orientasi sikap dan perilakunya bersumber pada ajaran dan doktrin Pancasila. Pers dengan ideologi ini cenderung kondusif dan partisipatoris terhadap
33
gerak langkah pembangunan. Dalam konteks ini pers nasional harus pers yang sehat, bebas, bertanggung jawab, dan berfungsi sebagai penyebar informasi yang konstruktif dan edukatif. Pers boleh melakukan kontrol sosial asalkan tetap dalam term konstruktif dan bertanggung jawab.
2.2.4 Surat Kabar Bali Post Bali Post dirintis oleh seorang wartawan Bali bernama K. Nadha. Sejarah pers di Bali berhubungan erat dengan perjalanan K. Nadha muda yang baru tamat Taman Dewasa di Denpasar pada sekitar 1942 - 1943. Ketika itu, usianya sekitar 17 tahun dan mulai bekerja sebagai wartawan Bali Shimbun yang dipimpin oleh orang Jepang. Jepang memang melakukan pendudukan militer di Indonesia sejak 1942. Pada saat itu, undang-undang pemerintah no 16 tentang ”Pengawasan Badan-badan Pengumuman dan Penerangan” dikendalikan oleh Jepang. Oleh karena itu, koran-koran pergerakan yang ada sebelum Jepang diubah namanya. Di Bali sendiri, saat itu belum muncul koran pergerakan. Barulah ketika Jepang secara serentak di daerah mendirikan penerbitan, di Bali muncul Bali Shimbun, di Sumatera bernama Kita Sumatera Shimbun, di Palembang terbit Palembang Shimbun, di Kota Tanjung Karang terbit Lampung Shimbun, di Ambon terbit Sinar Matahari, dan kantor berita Antara diubah menjadi Yashima dan kemudian menjadi kantor berita Domei. Selanjutnya diganti menjadi Domei Bagian Indonesia oleh Adam Malik. Bali Shimbun tidak berlangsung lama. Pada 1945, ketika Jepang kalah melawan Sekutu, Bali Shimbun mulai dipersiapkan untuk tidak terbit. K. Nadha
34
sebelumnya secara diam-diam telah mencetuskan gagasan untuk meneruskan perjuangan menerbitkan koran pergerakan. Rencana ini kemudian didukung oleh kawan-kawannya, seperti I Gusti Putu Arka yang pulang ke Bali dari Yogyakarta dan bekerja di Bali Shimbun pada 1944 karena sekolah Taman Siswa ditutup oleh Jepang. Cita-cita ini ternyata memerlukan persiapan dua tahun (1946 - 1947). K. Nadha mendirikan perpustakaan merangkap penjualan buku yang bergabung dengan usaha tukang jahit milik saudaranya di Jl. Gajah Mada, Denpasar. Baru pada 1948 K. Nadha berhasil menerbitkan penerbitan dengan cetak handset. Namanya Suara Indonesia (yang kemudian menjadi Bali Post) dan diterbitkan pertama kali dalam bentuk majalah. Menurut I Gusti Putu Arka, yang kemudian memilih berjuang sebagai guru di Perguruan Rakyat Saraswati, Suara Indonesia terbitnya tidak tentu, sesuai dengan situasi keamanan saat itu. Namun, K. Nadha secara konsisten berjuang di bidang pers dan melahirkan wartawanwartawan muda lainnya. Harian Bali Post yang berkembang pesat seperti sekarang serta melahirkan ”anak-anak” seperti mingguan Prima, tabloid Tokoh, harian Denpost, Bali Travel News (tabloid pariwisata berbahasa Inggris), tabloid dwi mingguan Wiyata Mandala. Di samping itu juga ”lahir” Radio Global FM Bali, Radio Singaraja FM dan Radio Swara Widya Besakih, memang berkat kerja keras dan pandangan jauh K. Nadha. Bali Post yang kini berkantor pusat di Jalan Kepundung No. 67 A, Denpasar semula bernama ”Suara Indoneia” dan terbit perdana pada 16 Agustus 1948. Koran ini diterbitkan oleh Penerbit Suara Indonesia dengan perintis K.
35
Nadha dibantu Made Surya Udaya dan I Gusti Putu Arka – keduanya teman seperjuangan K. Nadha. Pada 2 Mei 1965, Badan Penerbitan Suara Indonesia diubah menjadi Yayasan Genta Suara Revolusi Indonesia disingkat Gesuri berkedudukan di Denpasar dengan akta No. 104, notaris Ida Bagus Ketut Rurus. Sejarah mencatat pada 1966, berdasarkan ketentuan pemerintah bahwa semua penerbitan harus berafiliasi kepada organisasi parpol dan instansi yang ada. Sehubungan dengan itu, nama Suara Indonesia diubah menjadi Suluh Indonesia edisi Bali. Pada Juni 1966 sampai dengan Mei 1971, nama tersebut diganti kembali menjadi Suluh Marhaen edisi Bali. Pada tahun 1972, setelah terbentuk demokrasi terpimpin terjadi perubahan iklim politik yang juga berpengaruh terhadap iklim penerbitan (pers). Sejak itu, penerbitan pers dibebaskan dari keharusan berafiliasi sehingga dipakai kembali nama Suara Indonesia. Namun, Departemen Penerangan tidak menyetujui karena di Malang sudah ada surat kabar dengan nama yang sama. Dengan demikian, dipakai nama Bali Post sampai sekarang. Sebagai media yang terbit di Bali, Bali Post secara khusus memiliki perhatian terhadap budaya dan kepentingan Bali. Pascabom yang meledak di Legian, Kuta pada Oktober 2002 muncul slogan ajeg Bali. Ajeg Bali terasa simpang siur yaitu mulai dari pencalonan gubernur, penguatan kebudayaan manusia Bali versus globalisasi, agenda setting Bali ke depan, dan penguatan basis ekonomi manusia Bali. Hal itu terjadi hingga 16 Agustus 2003 setelah
36
harian Bali Post menerbitkan edisi khusus ulang tahun yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Ajeg Bali Sebuah Cita-cita (Atmadja, 2010: ix) Dalam buku Ajeg Bali, Sebuah Cita-cita (Bali Post, 2004), Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran. Pertama, tataran individu, yakni sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural. Kepercayaan diri tersebut bersifat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisik semata. Kedua, tataran lingkungan kultural. Ajeg Bali dimaknai sebagai terciptanya ruang hidup budaya Bali yang bersifat inklusif, multikultural dan selektif terhadap pengaruh-pengaruh luar. Ketiga, tataran proses kultural. Ajeg Bali adalah interaksi manusia Bali dengan ruang hidup budaya Bali untuk melahirkan produk-produk atau penandapenanda budaya baru melalui proses yang berdasarkan nilai-nilai moderat, nondikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural dan kearifan lokal, serta memiliki kesadaran ruang (spasial) dan waktu yang mendalam. Dwipayana (2005: 46-49) menguraikan pertarungan wacana dalam gagasan ajeg Bali yang melibatkan tiga aktor utama. Pertama, kelompok dengan perspektif konservatisme romantik. Dalam pandangan kelompok ini, satu-satunya jalan dalam menghadapi transformasi sosial adalah dengan kembali pada pengaturan tertib sosial yang sudah ada (tradisi-dresta). Kedua, kelompok yang memperjuangkan tafsir ketertiban terhadap ajeg Bali yang merupakan turunan dari mazhab fungsionalisme-struktural. Mazhab ini memandang masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem yang seluruh bagiannya saling bergantung dan bekerja sama untuk menciptakan keseimbangan. Konsekuensi logis dari tafsir ketertiban adalah penekanan yang berlebihan pada harmoni sosial. Ketiga,
37
kelompok invensi kapitalisme pasar. Bagi kelompok ini, ajeg Bali dimaknai sebagai invensi dari modernitas dalam memanfaatkan tradisi. Sebagai invensi modernitas, makna ajeg Bali muncul sebagai kreativitas dari aktor-aktor modern, baik industri media, maupun biro perjalanan untuk menggunakan simbol ajeg Bali dalam kerangka kepentingan akumulasi kapital.
2.3 Landasan Teori Metode analisis wacana yang dikemukakan van Dijk meliputi tiga level analisis, yaitu analisis wacana atau teks, analisis kognisi sosial, dan analisis konteks sosial. Analisis terhadap wacana atau teks dipilah lagi menjadi tiga level analisis yang meliputi analisis struktur makro, analisis superstruktur dan analisis struktur mikro. Tiap-tiap level analisis tersebut akan peneliti paparkan sebagai berikut. 2.3.1 Analisis Struktur Teks 2.3.1.1 Struktur Makro (Thematic Structure) Struktur makro merupakan makna global sebuah teks yang dapat dipahami melalui topiknya. Topik direpresentasikan ke dalam satu atau beberapa kalimat yang merupakan gagasan utama/ide pokok wacana. Tema atau topik merupakan perangkat untuk memahami makna atau isi suatu teks. Sehingga, tema dan topik memiliki peran yang penting dalam sebuah wacana, termasuk berita. Tema dan topik secara sederhana dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan tentang apa wacana tersebut. Sebagai level analisis yang mengkaji makna teks secara keseluruhan, analisis struktur makro ini tergolong dalam analisis semantik.
38
van Dijk (1988: 31) menyatakan “Topics belong to the global, macrolevel of discourse description”. Analisis terhadap makna teks secara keseluruhan melalui deskripsi
tema
atau
topik
ini
disebut
analisis
struktur
makro
teks
(macrostructure). van Dijk (1980) mengemukakan bahwa “Macrostructures are higher-level semantic or conceptual structures that organize the ‘local’ microstructures of discourse, interaction, and their cognitive processing.” Analisis pada level makro memberikan gambaran tentang makna teks secara keseluruhan. van Dijk (1983b: 149) menyebutkan bahwa analisis pada tataran struktur makro berfungsi untuk menggambarkan koherensi global wacana yang meliputi topik, tema, intisari, dan maksud. Tema atau topik dalam teks memiliki peran yang penting karena memengaruhi dan mempermudah pemahaman terhadap pesan yang disampaikan dalam teks. Dengan mengetahui tema atau topik, pemroduksi teks akan mudah mengarahkan pesan selanjutnya yang akan disampaikan. Bagi penerima teks, tema dan topik akan mempermudah dalam memahami teks secara keseluruhan hingga bagian-bagian yang lebih khusus. Tema atau topik pada umumnya ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan makna informasi yang akan disajikan. van Dijk (1988: 34) menyatakan seperti di bawah seperti di bawah ini. “A topic of a text is a strategically derived subjective macroproposition, which is assigned to sequences of propositions by macroprocesses (rules, strategies) on the basis of general world knowledge and personal beliefs and interests.”
39
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pemilihan tema dan topik dalam suatu teks melibatkan proses yang kompleks. Proses tersebut ditentukan oleh pengetahuan, persepsi, keyakinan, tujuan, sikap, nilai, dan minat pemroduksi teks mengenai hal yang disampaikan. Pada berita media massa, topik dapat dikenali melalui judul berita. Hal ini disampaikan van Dijk (1988: 35) bahwa “Topics may be expressed and signaled by headlines, which apparently act as summaries of the news text.” Proposisi yang mengandung tema atau topik dibuat dengan mengurangi detail dan menggunakan pengetahuan umum tertentu. Sebuah teks memiliki proposisi-proposisi yang mengandung tema atau topik, tetapi dalam level yang berbeda-beda. Suatu proposisi memayungi proposisi yang lain sehingga membentuk kesatuan tema atau topik. Pola penataan gagasan ini disebut sebagai macrorule. Meskipun terdiri atas beberapa proposisi dan beberapa tema serta topik, sebuah wacana tetap memiliki kesatuan makna yang dengan kata lain disebut koherensi global (global coherence). Koherensi global mengacu pada kesalingterkaitan gagasan dan proposisi dalam suatu wacana di samping mendukung suatu gagasan utama yang menjadi tema atau topik utama dalam wacana. Topik utama dalam kalimat didukung oleh topik dan subtopik sehingga membentuk makna yang utuh dan koheren. Hubungan antartema, topik, kalimat, dan proposisi yang disajikan dalam wacana yang saling berkaitan dan membentuk kesatuan makna yang disebut juga sebagai semantic macrostructures (struktur makro semantik).
40
Pengorganisasian tema, topik, dan proposisi dalam berita ditentukan oleh pandangan dan pengetahuan wartawan tentang hal yang diberitakan. van Dijk (1983: 29) mengatakan “The organization of news discourse is both a result of and a condition for the cognitive operations of journalists and readers, respectively, in the production, reproduction, or understanding of the news ‘data’.” Dengan demikian, upaya wartawan dalam menginterpretasi dan memproduksi wacana tidak akan lepas dari pengaruh kognisi yang dimiliki wartawan. Analisis wacana van Dijk, tidak menganalisis struktur wacana saja, tetapi juga melibatkan analisis kognitif. Pemilihan topik yang akan ditonjolkan diletakkan pada bagian awal berita, yang disamarkan, bahkan yang dihilangkan dari wacana berita didasari oleh peran kognisi wartawan. Pemilihan topik awal dalam wacana akan membantu dan mengarahkan penerima wacana dalam memaknai dan memahami wacana. van Dijk (1988a: 34) menyatakan “The topic acts as major control instance on the further interpretation of the rest of the text.” Dengan kata lain, pemilihan topik tertentu oleh wartawan atau pemroduksi wacana juga mencerminkan pandangan subjektif, pengetahuan, keyakinan, dan ketertarikan pribadinya. Analisis struktur makro dalam wacana berita dilakukan dengan mengamati bagian judul (headline) dan teras berita (lead). Berikut adalah bagan struktur makro berita.
41
Tabel 2.1 Level Analisis Struktur Makro Wacana Berita Level Analisis Struktur makro Tematik
Hal yang Diamati
Elemen Analisis Tema Topik Subtopik
(Dirumuskan berdasarkan van Dijk, 1988a) 2.3.1.2 Superstruktur (Superstructure) Superstruktur
(superstructure)
merupakan
struktur
wacana
secara
keseluruhan. Struktur wacana ini terhubung secara semantik melalui tema atau topik. Struktur wacana secara keseluruhan disebut skema (schema). Skema wacana ditentukan oleh jenis wacana dan maksud yang hendak disampaikan melalui wacana tersebut. van Dijk ( 1988b: 14) menyatakan bahwa “Such a schema can be defined by a set of characteristic categories and by a set of rules or strategies that specify the ordering of these categories.” Lebih lanjut, van Dijk (1988a: 51) menyatakan “This also means that the schema determines how the topics of a text could or should be ordered and, hence, how sequences and sentences should appear in the text.”
Jadi,
superstruktur berhubungan dengan cara penyusunan tema, topik, proposisi, dan kalimat dalam wacana sehingga membentuk struktur global wacana yang mencerminkan pengetahuan, tujuan, nilai, keyakinan, dan minat pemroduksi wacana. Skema wacana juga menunjukkan jenis wacana, yang kemudian membedakannya dengan jenis wacana yang lain. Superstruktur atau skema wacana berita pada media massa tidak memiliki bentuk yang baku dan pasti. Namun, dapat digambarkan secara umum berdasarkan unsur-unsur pembentuk dan struktur yang umum digunakan dalam penyajian berita.
42
Bell (1998: 67) mengutip pemaparan Labov mengenai unsur berita yang pada umumnya terdiri atas enam elemen, yaitu abstrak, orientasi, tindakan, evaluasi, resolusi, dan coda. Bell (1998: 68) sendiri mengajukan skema umum berita yang terdiri atas tiga unsur utama, yaitu : attribution (pembuka atau pengenalan), abstract (abstrak), dan story (cerita). Attribution dikhususkan menjadi elemen-elemen sumber, tempat, dan waktu. Selanjutnya, abstrak di bagi menjadi dua elemen lagi, yakni judul dan teras berita. Yang terakhir adalah story (cerita) yang dapat dikhususkan menjadi episode-episode tertentu, yang masingmasing memiliki elemen pembentuk, antara lain sumber, pelaku, tindakan, waktu, tempat, dampak, reaksi, konteks, evaluasi, ekspektasi, episode sebelumnya, dan sejarah atau peristiwa sebelumnya. Pada penelitian ini, diterapkan skema berita yang diajukan oleh van Dijk (1983a, 1985a, 1988a, 1988b, 1993a, 1995, 2006). Untuk mempermudah penyajian, peneliti akan sajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut. Tabel 2.2 Level Analisis Superstruktur Wacana Berita Level Analisis Yang Diamati Struktursuper/ Summary (ringkasan) Skema Story (kisah) situasi episode latar komentar
Kesimpulan
Elemen Analisis Judul Teras berita Peristiwa utama Konsekwensi Konteks Historis Harapan Evaluasi Reaksi verbal
Reaksi verbal (Dirumuskan berdasarkan van Dijk, 1983a; 1985a; 1988a; 1988b; 1993a; 1995; 2006)
43
van Dijk merumuskan skema berita menjadi dua elemen utama, yaitu summary (ringkasan) dan story (kisah). Tiap-tiap elemen kemudian dijabarkan menjadi emelen-elemen yang lebih khusus. (1)
Summary (Ringkasan) Summary (ringkasan) terdiri atas judul (headline) dan teras berita (lead)
(van Dijk, 1988b: 15).
Suatu ringkasan harus mengandung struktur makro
wacana (van Dijk, 1988a: 49). Struktur makro yang mengandung tema atau topik ini pertama-tama dapat diidentifikasi dalam judul berita. Judul berita secara sederhana dapat dikenali dari posisinya dalam berita dan bentuk tulisan yang lebih besar daripada bagian lain dan warna yang lebih tebal. Sementara itu, teras berita (lead) pada umumnya ditulis secara terpisah dari bagian berita lain dan ditulis dengan huruf yang lebih tebal atau lebih besar daripada bagian berita, tetapi lebih kecil daripada judul. Teras berita juga mengandung topik utama wacana berita. Artinya, teras berita juga mengandung kalimat yang mengandung tema atau topik. (2)
Story Story merupakan bagian berita yang memaparkan secara lebih terperinci
rangkaian peristiwa atau hal yang diberitakan. Penyusunan rangkaian peristiwa atau hal yang diberitakan di dalam wacana berita tentu berbeda dengan rangkaian peristiwa yang sebenarnya. Pada wacana berita, misalnya, wacana tersebut dapat dimulai dengan ringkasan atas peristiwa. Namun, pada peristiwa yang sebenarnya ringkasan tersebut tidak mungkin ada. Oleh karena itu, story penting diamati sebagai salah satu bentuk strategi wacana yang menunjukkan pandangan, nilai,
44
tujuan, dan sikap pemroduksi wacana. Selain itu, story juga memengaruhi cara pembaca memahami wacana tersebut. Secara umum, story dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, situasi. Menurut van Dijk (1988b: 22), situasi sebagai “…situation is represented in terms of a subjective model.” Situasi yang merupakan pemaparan peristiwa dan bersifat subjektif dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu episode dan latar. Episode secara lebih terperinci lagi dapat diklasifikasi menjadi peristiwa utama dan konsekuensi. Peristiwa utama merupakan kejadian atau hal yang menjadi fokus pemberitaan. Sementara konsekuensi berhubungan dengan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh suatu peristiwa utama yang diberitakan. Nilai berita suatu peristiwa sering kali ditentukan juga oleh konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh suatu peristiwa. Konsekuensi bisa memiliki posisi yang sejajar dengan peristiwa utama, bahkan bisa menduduki posisi yang lebih tinggi daripada peristiwa utama. Hal tersebut tampak pada berita yang menjadikan konsekuensi sebagai judul atau teras berita. Selanjutnya adalah latar. Latar merupakan bagian dari situasi yang dapat dibedakan menjadi konteks dan historis. Konteks dalam hal ini
merupakan
peristiwa lain yang dihubungkan dengan peristiwa utama yang sedang diberitakan. van Dijk (1992: 192) menyatakan bahwa
“A context is a course of events.”
Konteks (van Dijk, 2006: 163) tidak bersifat objektif atau pasti, tetapi bersifat interpretasi subjektif yang merupakan konstruksi lingkungan sosial. Peristiwa yang menjadi konteks sering kali merupakan peristiwa utama pada berita sebelumnya. Secara eksplisit, konteks bisa ditandai dengan penanda “saat”,
45
“selama”, “pada waktu”, dan kata lain sejenis dengan itu. Dalam memilih konteks, pemroduksi wacana, khususnya wartawan melibatkan pengetahuan, opini, nilai, maksud, dan tujuan subjektif untuk menyampaikan pesan dan akhirnya memengaruhi pembaca. Berikutnya adalah historis. van Dijk (1988a: 54) menyebutkan historis sebagai situasi pada peristiwa yang telah diberitakan atau terjadi sebelumnya. Berbeda dengan konteks yang dapat menjadi peristiwa utama atau judul dan teras berita, historis tidak dapat menjadi peristiwa utama pada berita. Historis merupakan peristiwa yang telah terjadi dalam waktu yang cukup lama, seperti beberapa minggu, bulan, bahkan beberapa tahun sebelumnya. Yang kedua adalah komentar. Komentar dapat dibedakan menjadi dua bagian lagi, yakni kesimpulan dan reaksi verbal. Simpulan mengacu pada pandangan, opini, dan evaluasi jurnalis di samping media mengenai peristiwa atau hal yang diberitakan. Kesimpulan dapat dikhususkan lagi menjadi dua bagian, yakni harapan dan evaluasi. van Dijk (1988a: 56) menjelaskan harapan sebagai hal yang mungkin ditimbulkan atau menjadi akibat dari peristiwa yang diberitakan. Dengan kata lain, harapan mengandung prediksi atau hal yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Evaluasi merupakan pandangan atau pendapat wartawan mengenai peristiwa yang sedang diberitakan. Komentar dalam berita pada umumnya disampaikan secara samar atau implisit sehingga pembaca tidak selalu menyadarinya. Sementara itu, reaksi verbal merupakan pernyataan narasumber terkait dengan topik dan menjadi bagian berita. Penyataan narasumber di dalam berita bisa disampaikan baik dalam kalimat langsung maupun tidak langsung.
46
2.1.1.3 Struktur Mikro (Microstructures) Struktur mikro merupakan analisis wacana pada level yang paling konkret dan spesifik karena pada level ini yang dianalisis adalah kata dan kalimat. Pada dua level sebelumnya, analisis terhadap wacana bersifat global. Struktur makro mengkaji makna secara global, sementara superstruktur mengkaji skema wacana. Struktur mikro wacana dapat diklasifikasi menjadi beberapa elemen, yaitu sintaksis, leksikon, koherensi lokal, dan retorik. Tiap-tiap elemen memiliki bagian-bagian yang lebih khusus. Untuk mempermudah pemahaman terhadap struktur mikro, disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
Tabel 2.3 Level Analisis Struktur Mikro Wacana Berita Level Analisis Strukturmikro
Yang Diamati
Kalimat aktif/pasif; Nominalisasi Leksikon Kata positif/negatif Koherensi Distribusi informasi Topik/penjelas lokal Susunan dan koherensi Koherensi Kondisional/temporal Koherensi fungsional Praanggapan Praanggapan Retorik Deskripsi langsung dan laporan saksi mata Sumber dan kutipan Nomor Gaya bahasa (Dirumuskan berdasarkan van Dijk 1983; 1985; 1988a; 1988b; 1993; 1995; 2006, 2008)
Sintaksis
Elemen Analisis
47
(1)
Struktur Sintaksis Sintaksis digunakan oleh van Dijk dengan makna yang agak luas.
Mengacu pada kalimat dan pembentuknya sekaligus mengacu kepada struktur wacana secara umum atau secara makro. van Dijk menjelaskan sebagai berikut. “In general, syntax describes which syntactic categories (such as noun or noun phrase) may occur in sentences and in which possible combinations. Thus, syntactic rules specify which sentence forms, consisting of syntactic categories, are well-formed. We also use this notion of syntax in a wider, non grammatical sense, for instance when we want to describe the overall forms of discourse” (van Dijk, 1988a: 25). Struktur sintaksis yang bersifat makro mengacu kepada struktur wacana secara keseluruhan yang disebut sebagai superstruktur atau skema. Karena struktur sintaksis makro telah dianalisis pada level skema atau superstruktur, analisis sintaksis pada tahap ini lebih difokuskan pada sintaksis mikro yang menganalisis kata, frasa, klausa, proposisi, dan struktur kalimat. Struktur sintaksis merupakan struktur permukaan wacana yang dapat diamati secara jelas melalui susunan kata, hubungan fungsi yang membentuknya (subjek-objek), dan penggunaan bentuk aktif dan pasif pada kalimat (van Dijk, 1988b: 11). Pandangan, nilai, opini, ideologi, maksud, dan tujuan yang ingin disampaikan oleh pemroduksi teks akan terealisasi dan dapat diamati melalui analisis struktur sintaksis. Penempatan subjek dan objek, misalnya, tidak hanya dipandang sebagai sebuah struktur dan fungsi kalimat. Penentuan subjek juga menunjukkan hal yang ingin ditonjolkan, ditekankan, dan dijadikan fokus oleh pemroduksi teks atau wartawan. van Dijk (1985a: 73) menyatakan seperti berikut. “That news bias can even be expressed in syntactic structures of sentences, such as the use of active or passive constructions,
48
which allow the journalist to express or suppress the agent of news acts from subject positions.” Dalam menyampaikan pesan, wartawan memiliki kebebasan untuk menyampaikan dalam bentuk kalimat aktif ataupun kalimat pasif. Tiap-tiap bentuk kalimat mengimplikasikan hal lain selain struktur dan pesan leksikal yang dibawanya. Bentuk penyampaian dalam struktur kalimat aktif, mensyaratkan adanya subjek dan objek yang jelas. Subjek ditempatkan sebelum predikat dan objek setelah predikat. Penempatan suatu kata sebagai subjek akan berimplikasi pada penonjolan, penekanan, dan perhatian lebih kepadanya. Sebaliknya, bentuk kalimat pasif akan menyamarkan, bahkan meniadakan pelaku tindakan. Bentuk kalimat pasif memungkinkan wartawan untuk tidak menyebut pelaku atau memberikan peluang menyebut di bagian lain atau akhir berita sehingga menimbulkan kesan tidak terlalu mendapatkan perhatian dari pembaca. Analisis mengenai subjek, predikat, objek, pelengekap, dan keterangan pada kalimat merupakan analisis berdasarkan fungsi sintaksis unsur-unsur kalimat. Pada analisis kalimat, predikat merupakan konstituen pokok yang disertai konstituen subjek di sebelah kiri dan, jika ada, konstituen objek, pelengkap, dan/atau keterangan wajib di sebelah kanan (Alwi, dkk., 1999: 326). Predikat pada kalimat menjadi penentu konstituen lain dalam kalimat. Selain berdasarkan fungsi, kalimat jiga dapat dianalisis berdasarkan peran. Verhaar (2004: 167) menyebutkan bahwa peran sintaksis adalah segi semantis dari peserta-peserta verba. Dengan kata lain, kalimat yang menyampaikan peristiwa atau suatu keadaan selalu melibatkan satu atau lebih peserta dengan peran semantis yang berbeda-beda. Lebih lanjut, Alwi, dkk. (1999: 34-36)
49
menyebutkan beberapa peran semantis, antara lain pelaku, sasaran, pengalam, peruntung, dan atribut. Pelaku merupakan peserta yang melakukan perbuatan yang dinyatakan oleh verba predikat. Peran pelaku merupakan peran semantis utama subjek kalimat aktif dan pelengkap kalimat pasif. Sasaran adalah peserta yang dikenai perbuatan yang dinyatakan oleh verba predikat. Peran sasaran adalah peran utama objek atau pelengkap dalam kalimat. Peruntung adalah perserta yang beruntung dan memperoleh manfaat dari keadaan, peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan oleh predikat. Peserta peruntung pada umumnya berfungsi sebagai objek atau pelengkap, atau subjek verba jenis menerima atau mempunyai. Yang terakhir adalah atribut yang merupakan peran yang mengisi predikat berupa nomina. Selain peran-peran tersebut, Alwi, dkk. (1999: 335) juga menambahkan bahwa terdapat semantis lain yang terdapat pada fungsi keterangan, seperti keterangan waktu, keterangan tempat, keterangan alat, dan keterangan sumber. Peran semantis tersebut pada dasarnya sesuai dengan sifat kodrati nomina yang terdapat pada keterangan tersebut. Struktur sintaksis juga melibatkan aspek nominalisasi. Nominalisasi merupakan pembentukan nomina dari kelas kata lain dengan menggunakan afiks tertentu. Nominalisasi berimplikasi pada tidak wajibnya pelaku hadir dalam peristiwa. Andai pelaku ingin dihadirkan dalam peristiwa, hal tersebut bisa dilakukan dengan menghadirkannya pada proposisi yang lain, sehingga kehadiran pelaku dalam wacana tidak terlalu menonjol.
50
(2)
Koherensi Lokal Koherensi
merupakan
aspek
penting
dalam
wacana.
Koherensi
berhubungan dengan kesatuan makna dalam wacana, termasuk kesatuan makna unsur-unsur pembentuk wacana tersebut yang meliputi antarparagraf, kalimat, proposisi, klausa, frasa, hingga kata. Meskipun menganalisis bentuk penggunaan bahasa, yang menjadi fokus perhatian koherensi adalah makna yang merupakan inti dari penggunaan bahasa atau teks. Hal ini disampaikan Halliday (1976: 2) bahwa teks merupakan unit semantik. Unit ini bukanlah bentuk, melainkan makna. van Dijk (1988a: 26) menyatakan koherensi sebagai “….not only how meanings of subsequent sentences are related but also how the
facts these
sentences refer to are related.” Jadi, menurut van Dijk, koherensi tidak saja berhubungan dengan hubungan makna antarparagraf, kalimat, atau proposisi, tetapi juga berhubungan dengan fakta yang diacunya. Untuk dapat menganalisis koherensi dengan baik, penganalisis membutuhkan berbagai pengetahuan atau wawasan yang direpresentasikan dalam wacana. “Many aspects of discourse meaning, such as macrostructures and coherence, can be fully understood only if we know which cognitive representations of discourse and knowledge are involved dining interpretation” (van Dijk, 1988a: 30). Pada koherensi lokal, analisis koherensi akan lebih berfokus pada struktur mikro,
yaitu
hubungan
antarparagraf,
kalimat,
proposisi,
dan
unsur
pembentuknya. Koherensi lokal mengacu pada hubungan makna antarkalimat secara terperinci (van Dijk, 1988a: 51).
51
Koherensi lokal wacana dikhususkan lagi menjadi tiga elemen analisis, yaitu distribusi informasi, susunan dan koherensi, serta pranggapan. Elemen pertama, yaitu distribusi informasi merupakan strategi wartawan dalam menyampaikan informasi dalam wacana. Dalam struktur makro terdapat tema dan topik yang menjadikan keseluruhan wacana koheren. Topik akan menjadi topik apabila dijabarkan menjadi bagian-bagian yang lebih terperinci dalam bentuk paragraf, kalimat, proposisi yang mengandung informasi yang lebih detail. Berita, khususnya berita langsung, pada umumnya menggunakan pola pengembangan umum-khusus. Informasi yang bersifat umum disajikan terlebih dahulu, kemudian diikuti informasi yang lebih detail dengan semakin terperinci hingga akhir berita. Topik dalam berita sering memiliki subtopik untuk membuat berita lebih detail. Pilihan topik, subtopik, dan akhirnya informasi yang akan disampaikan dengan terperinci dan kurang terperinci menjadi strategi wacana yang penting untuk diamati dalam melakukan analisis wacana. Informasi yang terperinci tentang hal positif diri dan kelompok akan menimbulkan kesan positif atas kelompok tertentu. Sebaliknya, informasi terperinci mengenai hal buruk mengenai pihak tertentu akan menimbulkan kesan negatif atas kelompok tersebut. Penjabaran atau perincian topik ini disebut sebagai specification rules. van Dijk (1988a: 44) menyatakan “In formal terms, the realization of topics in news discourse takes place by the application of inverse macrorules, which we may call specification rules”.
52
Elemen kedua adalah koherensi. Sebagai penjabaran atas koherensi yang sebelumnya telah dibahas, pada tahap ini koherensi secara umum dibedakan menjadi dua bagian, yakni koherensi kondisional yang juga meliputi temporal dan koherensi fungsional. Koherensi kondisional dimaksudkan sebagai bentuk koherensi yang menunjukkan hubungan kondisional, yaitu proposisi satu menjadi kondisi, penyebab atau akibat atas kondisi lain. Penanda koherensi ini yang secara eksplisit bisa diamati adalah kata “akibat”, “sebab”, “maka”, “oleh karena itu”, “karena”, “untuk”, dan “jadi” (van Dijk, 1988a: 61; 1985b; 1988b: 274). Koherensi temporal tergolong dalam koherensi kondisi dan ditandai secara eksplisit dengan “sebelum” atau “setelah”. Selanjutnya, koherensi fungsional mengacu pada koherensi yang memiliki hubungan semantik dengan proposisi yang lain. Jika dibandingkan dengan koherensi kondisional, koherensi fungsional memiliki bentuk yang lebih beragam, yaitu meliputi penjelasan, perincian, penjumlahan, koreksi, pertentangan, perbandingan, alternatif kalimat pertama atau topik, contoh, dan generalisasi (van Dijk, 1985b: 110; 1988a: 61; 1988b: 104). Elemen ketiga adalah praanggapan. Pranggapan merupakan informasi yang tidak disampaikan dalam wacana, tetapi dibutuhkan untuk dapat memahami wacana dengan baik. Pranggapan tidak disampaikan secara eksplisit karena pada umumnya dianggap sudah diketahui oleh penerima wacana. Dengan cara lain, praanggapan dapat digambarkan sebagai berikut. “In cognitive terms, the definition of presupposition the set of propositions assumed by the speaker to be known to the listener—is easier but more general—this may include all relevant knowledge (scripts, etc.) necessary to understand a text but also, more
53
specifically, the few propositions necessary to interpret one sentence or to establish one coherence relation”. (van Dijk, 1988a: 63). Dengan mengikuti uraian tersebut, dapat diketahui bahwa praanggapan merupakan salah satu fungsi kognitif yang diperlukan dalam memahami wacana. Pranggapan merupakan seperangkat proposisi atau pengetahuan yang oleh pembuat teks diasumsikan telah diketahui oleh penerima teks sehingga proposisi tersebut tidak perlu disampaikan di dalam teks. Fungsi kognitif ini sekaligus memiliki peran penting dalam memengaruhi penerima wacana sehingga tujuan wacana dapat diraih dan berpengaruh bagi penerimanya. (3)
Leksikon Leksikon merupakan unsur mikro wacana yang memiliki penanda kohesi
sekaligus koherensi wacana. van Dijk (1988a: 81) menjelaskan “Lexical stylistics is not only central to a stylistic inquiry, but it also forms the link with semantic content analysis”. Yang dimaksud leksikon pada konteks ini, bukan hanya kata, pilihan kata atau frasa, melainkan juga kata ganti atau pronomina. Leksikon ini oleh van Dijk disebut juga “….lexical choice as a component of style.” (1985a: 71). Pemilihan leksikon atau kata ganti pada wacana tidak sekadar untuk menyampaikan makna leksikal, makna yang sebenarnya kepada pembaca. Akan tetapi, pemilihan leksikon dalam wacana juga mengandung maksud dan kepentingan tertentu yang merepresentasikan pemosisian pembaca dan subjek yang diberitakan, nilai, tujuan, dan ideologi pihak yang memproduksi wacana. van Dijk menggambarkan leksikon sebagai berikut.
54
“The essential constraints on lexical selection involve stylistic factors, which depend on both cognitive and social criteria: state of mind of speaker and the characteristics of the social frame of the speech act” (1980: 283) van Dijk dan Kintsch (1983a: 132) menyatakan bahwa objek, orang, benda, peristiwa mungkin digambarkan melalui leksikon (stilistik) dengan cara berbeda berdasarkan pengetahuan dan sikapnya. Dengan kata lain, leksikon dapat difungsikan untuk membentuk kesan positif pihak tertentu dan kesan negatif pihak lain. Leksikon juga dapat menggambarkan, bahkan membentuk kelompok tertentu, seperti dalam penggunaan kata ganti “kita”, dan “mereka”. Dengan demikan, leksikon memiliki peran yang penting dalam membentuk dan mengarahkan persepsi pembaca atau penerima wacana. (4)
Retorik Retorik berhubungan dengan cara penyajian informasi tertentu sehingga
menjadi lebih efektif. Retorik digunakan dalam upaya memengaruhi atau mempersuasi pembaca atau penerima wacana. van Dijk (1998a: 208) menyatakan bahwa berbeda dengan struktur wacana yang lain, struktur wacana ini bersifat opsional dan disajikan terutama dalam konteks upaya mempersuasi dan secara umum untuk menarik atau mengatur perhatian penerima. Penentuan bentuk struktur retorik ini dilakukan dengan memperhatikan cara penerima menerima dan memahami wacana yang disajikan. Dengan kata lain, penentuan struktur retorik bersifat subjektif dan mengandung muatan ideologi tertentu. van Dijk menyatakan bahwa struktur retorik memiliki peran yang penting dalam manipulasi secara ideologis (1998a: 208).
55
van Dijk membagi level retorik menjadi beberapa elemen yang lebih khusus, yaitu deskripsi langsung dan laporan saksi mata, sumber dan kutipan, nomor, serta gaya bahasa. Elemen pertama adalah pengamatan langsung. Kebenaran informasi yang disajikan dalam wacana akan meyakinkan jika informasinya disajikan berdasarkan pengamatan secara langsung. van Dijk (1988a: 86) menyatakan “The immediacy of the description and the closeness of the reporter to the events is a rhetorical guarantee for the truthfulness of the description and, hence, the plausibility of the news”. Saksi mata memiliki sifat yang sejenis dengan pengamatan langsung karena melibatkan narasumber yang menyaksikan secara langsung hal atau peristiwa yang diberitakan. “Eyewitness reports given in interviews may be used as necessary substitutes of the reproter’s own observations (van Dijk, 1988a: 86)”. Deskripsi mengenai saksi mata peristiwa dan konsekuensinya merupakan strategi retorik jurnalistik yang umum untuk menunjukkan kebenaran (van Dijk, 1988b: 130). Jadi, penggunaan stategi pengungkapan informasi, baik dengan pengamatan langsung maupun dengan menggunakan saksi mata, merupakan upaya wartawan untuk menyampaikan pesan dengan lebih efektif dan mengupayakannya lebih berpengaruh bagi pembaca. Strategi wacana ini merupakan salah satu unsur retorik. Elemen kedua adalah sumber dan kutipan. Dalam situasi tertentu, wartawan tidak dimungkinkan untuk memaparkan peristiwa dengan menggunakan observasi langsung atau saksi mata. Dalam kondisi ini, wartawan mendapatkan informasi tersebut dari media yang lain, misalnya agen berita atau sumber berita
56
yang lain. Untuk menguji kebenaran sumber berita tersebut, perlu dilakukan dengan cara lain, yakni penajaman informasi dan kutipan sumber. Sumber utama adalah partisipan yang dekat dengan peristiwa yang diberitakan untuk mendeskripsikan fakta (seperti saksi mata) dan menyampaikan opini. Terdapat tingkatan terkait dengan sumber dan tingkatan keterpercayaannya. Narasumber yang memiliki kedudukan atau jabatan tidak saja memiliki nilai berita (seperti pelaku dalam berita), tetapi juga lebih dapat dipercaya sebagai pengamat atau pencipta opini. van Dijk (1988a: 87) menyatakan “The social hierarchy seems to be reproduced in the rhetorical hierarchy of credibility and reliability”. Elemen ketiga adalah nomor. Dengan menggunakan nomor pada berita, wartawan menciptakan kebenaran yang lebih meyakinkan, lebih dapat dipercaya, dan akhirnya lebih memengaruhi pembaca (van Dijk, 1988a: 87). Oleh karena itu, berita sering mengandung nomor, seperti jumlah peserta, usia, tanggal atau waktu peristiwa, deskripsi lokasi, berat, ukuran, dan yang lain. Elemen keempat adalah gaya bahasa. Gaya bahasa digunakan untuk menyampaikan pesan tertentu dengan tidak menggunakan makna denotatif, tetapi memakai makna konotatif. Dengan menggunakan gaya bahasa, pesan akan lebih efektif dan lebih mewadahi pesan yang ingin disampaikan. Secara umum terdapat berbagai gaya bahasa. Beberapa di antaranya yang paling umum dikenal adalah repetisi, paralelisme, metafora, ironi, litotes, dan, personifikasi.
57
2.3.2 Kognisi Sosial Kognisi sosial merupakan gagasan utama dalam analisis wacana yang dikemukakan van Dijk. Sehubungan dengan itu, analisis wacana ini sering disebut sebagai analisis wacana model kognisi sosial. Gagasan ini menekankan pada analisis wacana yang meliputi tiga tahap analisis yang meliputi analisis wacana atau teks, analisis kognisi, dan analisis situasi masyarakat. van Dijk (1993b: 107) menjelaskan bahwa hubungan antara wacana dan masyarakat tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara yang disebut kognisi sosial. Hal ini sekaligus menyempurnakan analisis wacana yang diterapkan linguis yang berfokus pada gramatikal dan struktur teks berita. Di samping itu, juga melengkapi kajian dari perspektif psikologis yang menegaskan bahwa produksi dan pemahaman wacana ditentukan oleh representasi kognitif. Oleh karena itu, lebih lanjut van Dijk (1993b: 122) menyatakan ”Analysis, therefore, must always be that of discourse-cognition-society. In such a triangle of
relations, both
discourse and cognition are not merely linguistic or psychological objects, but also inherently social.” Condor dan Antaki (1991: 320) menguraikan kognisi sosial sebagai cara memahami dan mendeskripsikan dunia sosial oleh seseorang sebagai anggota budaya atau kelompok tertentu dan dunia sosial berpikir mengenai atau deskripsi tentang interaksi sosial. van Dijk (1995: 18) menyebutkan ”Social cognition is, here, defined as the system of mental representations and processes of group members.”
58
Gagasan mengenai kognisi sosial ini juga yang membuat analisis wacana van Dijk tergolong dalam analisis wacana kritis. Sebagai pengembangan dari metode analisis sebelumnya, analisis wacana kritis mengajukan penghubung di antara wacana atau teks dan masyarakat berupa kognisi sosial. ”Within the sociocognitive framework presented here, no such direct relation exists” (van Dijk, 1998: 212). Bardasarkan pemahaman ini, wacana bersifat subjektif sekaligus sosial. Kondisi sosial memengaruhi wacana melalui kognisi sosial. Sebaliknya, wacana memengaruhi kondisi sosial melalui kognisi. Pandangan mengenai kognisi sosial (social coognition) dilandasi oleh tiga alasan teoretis yang penting, yaitu (1) wacana sesungguhnya diproduksi atau diinterpretasikan
oleh
individu dengan
memanfaatkan
pengetahuan
dan
kepercayaan yang diperoleh melalui kehidupan sosial, (2) wacana hanya akan memengaruhi struktur sosial melalui kesadaran sosial para anggota kelompok sosial, dan (3) struktur sosial hanya akan memengaruhi struktur wacana melalui kognisi sosial atau kesadaran mental para pemroduksi wacana tersebut (van Djik, 1993b: 110). Semua persepsi dan tindakan serta pada akhirnya produksi dan interpretasi wacana didasarkan pada representasi mental atas setiap peristiwa, yang oleh van Dijk disebut sebagai model. Model merupakan representasi mental yang bersifat personal atas peristiwa, tindakan, atau situasi (van Dijk, 1995a: 19). van Dijk (1995b:14) menyebutkan ”A model is a mental representation of an experience that is, an event people witness, participate in, or read about”. Jadi, model merupakan representasi mental atas pengalaman yang bisa diperoleh melalui menyaksikan secara langsung, berpastisipasi, atau membaca.
59
Sebuah model adalah sesuatu yang subjektif dan unik sebagaimana dikemukakan van Dijk (1993b: 111): ”These event or situation models are subjective and unique; they represent the current knowledge and opinions of social actors or individual language users about an episode”. Di samping pengalaman dan opini pribadi, model juga bersifat sosial karena berhubungan dengan pengetahuan, sikap, dan ideologi yang diperoleh secara sosial. Sikap dan pengetahuan sosial memungkinkan adanya kesepahaman dan komunikasi. Dalam konteks ini, model menjadi kognisi penting yang menghubungkan antara dimensi personal dan dimensi sosial dari sebuah wacana. Model termasuk pengetahuan, sikap, dan ideologi tersimpan dalam memori jangka panjang. Selanjutnya, upaya mempersepsi, memproduksi, dan memahami wacana berlangsung dalam memori jangka pendek. Hubungan antara wacana, kognisi sosial, dan masyarakat sangat lekat. “Social cognition is acquired, used and changed in social situations, and discourse is one of the major sources of its development and change” (van Dijk, 1993b: 122). Lebih lanjut, van Dijk (1988a: 111) menyatakan bahwa kerangka kognitif memengaruhi cara informasi teks atau peristiwa dianalisis, diinterpretasi, dan diwujudkan dalam memori. Dengan kata lain, hubungan wacana dan kognisi sosial bersifat resiprokal, yaitu pada satu sisi kognisi sosial memengaruhi produksi wacana, tetapi di sisi lain wacana membentuk kognisi sosial. Selain kognisi sosial atau model mental (mental models), van Dijk (1993b: 111) juga memperkenalkan konsep context models. Konsep ini merupakan bagian dari mental models, khususnya mengacu kepada mental model yang relevan
60
dengan situasi peristiwa komunikasi. Context models sering juga disebut sebagai context (konteks) saja. “Context models monitor discourse, telling language users what relevant information in their event models should be expressed in their discourse, and how such discourse should be tailored to the properties of the communicative context”. Analisis wacana kritis menganalisis bentuk-bentuk kognisi sosial yang tersebar secara sosial, antara lain pengetahuan, sikap, ideologi, norma, dan nilai (van Dijk, 2001b: 113). Salah satu kategori yang penting dalam konteks model adalah pengetahuan (knowledge). Karena merupakan komponen penting context models, pengetahuan memiliki kedudukan yang khusus dalam kognisi. Context model disebut sebagai K-device. van Dijk (2005: 76) menggambarkan K-device sebagai “The K-device of their context model tells participants which of such event knowledge must be asserted, which knowledge should be reminded and which knowledge can be presupposed because it is irrelevant or can be inferred by the recipients themselves”.
K-device merupakan strategi pengelolaan
pengetahuan dalam interaksi (van Dijk, 2008: 255). Jadi, penggunaan istilah “konteks” oleh Van Dijk tidak sepenuhnya sama dengan yang digunakan secara umum
sebagai
situasi,
partisipan,
tujuan,
saluran,
atau
suasana
saat
berlangsungnya peristiwa komunikasi. Istilah konteks yang disampaikan Van Dijk mengacu pada konteks yang tidak saja bersifat bisa diamati sebagaimana disebutkan sebelumnya, tetapi juga konteks yang bersifat mental. Dalam produksi wacana, pengguna bahasa tidak hanya membutuhkan pengetahuan umum tentang dunia dan pengetahuan mengenai situasi komunikasi
61
saat itu, tetapi juga membutuhkan pengetahuan mengenai pengetahuan bersama yang sama dengan penerima (van Dijk, 2005: 72). Pengetahuan tersebut diperoleh, dibagi, dan digunakan dalam interaksi yakni dalam kelompok, institusi, dan organisasi. Penggunaan pengetahuan tersebut memungkinkan dipahaminya wacana tanpa menyampaikan semua hal secara eksplisit dalam wacana (van Dijk, 2003: 86). Istilah “pengetahuan tentang dunia” masih bersifat umum. Terkait dengan itu, van Dijk (2004: 12) membagi pengetahuan menjadi beberapa jenis yang lebih khusus. Hal ini perlu dilakukan karena jenis pengetahuan yang berbeda memiliki pengaruh yang berbeda pada proses pembentukan, pemahaman, dan struktur wacana. van Dijk (2004: 13) membagi pengetahuan menjadi beberapa jenis. Pertama, kind (jenis): mengetahui itu (representasi) dan mengetahui “bagaimana” (prosedur). Kedua, (social scope) jangkauan sosial: personal, interpersonal, sosial (kelompok), kultural. Ketiga, level: spesifik/khusus, peristiwa umum/besar. Keempat, ontology (ontologi): nyata, konkret, abstrak, khayalan, sejarah, masa depan. Kelima, strength (kekuatan) : yakin sekali atau agak yakin. Secara lebih terperinci, K-device atau pengetahuan dapat dikhususkan menjadi jenis-jenis berikut (van Dijk, 2005: 77-81). Pertama, personal knowledge (pengetahuan personal). Pengetahuan personal adalah pengetahuan yang bersifat pribadi sehingga tidak dimiliki oleh pihak yang tidak terlibat dalam pengalaman yang relevan, kecuali dikomunikasikan. Oleh karena itu, pemroduksi wacana perlu mempertimbangkan pengetahuan penerima mengenai hal yang akan disampaikan agar komunikasi berlangsung dengan baik. Kedua, interpersonal
62
knowledge (pengetahuan interpersonal). Pengetahuan interpersonal merupakan pengetahuan personal yang telah dibagikan dan diketahui oleh dua individu atau lebih pada komunikasi interpersonal sebelumnya atau hal tersebut merupakan pengalaman yang biasa.
Ketiga, group knowledge (pengetahuan kelompok).
Pengetahuan kelompok dapat dipahami sebagai pengetahuan yang dimiliki bersama, salah satu dari pengalaman bersama kelompok, atau umum, pengetahuan abstrak yang diperoleh anggota kelompok, seperti kelompok profesional, pergerakan sosial, atau aliran tertentu. Keempat,
institutional
or
organization
knowledge
(pengetahuan
intitusional atau organisasional). Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh anggota suatu institusi atau organisasi dan secara umum memenuhi kriteria pengetahuan kelompok dan wacana. Kelima, national knowledge (pengetahuan nasional). Pengetahuan nasional diketahui oleh masyarakat suatu negara. Pengetahuan ini diperoleh melalui sekolah, media massa, dan digunakan secara luas oleh masyarakat dalam komunikasi. Keenam, cultural knowledge (pengetahuan kebudayaan). Pengetahuan ini dimiliki anggota suatu kebudayaan. Istilah “kebudayaan” dalam konteks ini dipahami secara sederhana sebagai bahasa, agama, sejarah, kebiasaan, asal-usul, atau penampilan karena dengan mengindentifikasi itu kebudayaan pada umumnya diidentifikasi.
Pengetahuan
kultural merupakan dasar yang sangat penting bagi wacana yang lain dan bagi seluruh jenis pengetahuan. Oleh karena itu, disyaratkan oleh seluruh bentuk wacana kebudayaan, kecuali wacana pendidikan.
63
2.3.3 Konteks Sosial Wacana sering didefinisikan sebagai peristiwa komunikatif, dan terjadi dalam situasi sosial, menggambarkan setting, pelibat dengan peran yang berbedabeda, tindakan, dan sebagainya. Namun, gambaran mengenai situasi komunikasi tertentu hanya relevan dan bermakna apabila terdapat secara mental
dalam
context models (van Dijk, 2001b: 116). ”Such context models feature representations of the participants themselves, their ongoing actions and speech acts, their goals, plans, the setting (time, place, circumstances) or other relative properties of the context” (van Dijk, 1993b: 111). Jadi, meskipun wacana bersifat sosial, kognisi tetap dibutuhkan untuk membuat kondisi sosial tersebut relevan dengan pemahaman yang telah ada atau disebut sebagai konteks yang bersifat mental. Sama halnya dengan pengetahuan, ideologi yang menjadi unsur kognisi sosial juga bersifat sosial. van Dijk (2001c: 12) menjelaskan ideologi sebagai “….not personal beliefs, but beliefs shared by groups, as is also the case for grammars, socioculturally shared knowledge, group attitudes or norms and values”. Pengetahuan dan ideologi bersama-sama membentuk kognisi sosial yang akan direpresentasikan dalam berbagai bentuk wacana dan menjadi dasar bagi pemahaman terhadap wacana. Untuk melakukan analisis wacana secara komprehensif, konteks sosial juga tidak boleh diabaikan. Konteks sosial memengaruhi bentuk wacana yang ada dan memengaruhi kognisi sosial pemroduksi wacana. Untuk menganalisis situasi
64
sosial, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. van Dijk (2006a: 362) menyatakan seperti di bawah ini. “Social conditions of manipulative control hence need to be formulated – at least at the macro level of analysis – in terms of group membership, institutional position, profession, material or symbolic resources and other factors that define the power of groups and their members”. Analisis wacana kritis tidak menyediakan pendekatan yang bisa langsung diterapkan, tetapi menekankan bahwa analisis isu sosial yang bersifat teoretis harus diciptakan. Dengan demikian, dapat dipilih struktur wacana dan sosial yang akan dianalisis dan yang akan dihubungkan (van Dijk, 2001b: 95). Pada kesempatan ini, analisis konteks sosial dibatasi hanya pada kelompok sosial yang meliputi beberapa hal yang merupakan dasar pembentukan ideologi dan kognisi sosial (van Dijk, 1995a; 2001b: 115; 2001c: 14, 2006c: 163). Pertama, struktur masyarakat secara keseluruhan. Yang menjadi fokus bagian ini adalah sistem keyakinan, prinsip, norma yang berlaku di masyarakat seperti demokrasi, kapitalisme, pancasila, atau bentuk-bentuk keyakinan yang lebih lokal. Kedua, struktur institusi atau organisasi. Prinsip ini menganalisis struktur kelembagaan yang terdapat dalam masyakarat meliputi lembaga keagamaan, adat, pemerintahan, termasuk lembaga pers. Ketiga, hubungan antarkelompok. Hubungan antarkelompok menarik dan penting dianalisis dalam analisis wacana karena berhubungan dengan keyakinan, nilai, dan tujuan yang diperjuangkan kelompok yang mungkin sejalan dan mungkin bertentangan. Hal ini akan memengaruhi kognisi sosial dan akhirnya juga produksi wacana. Keempat, struktur kelompok. Pada bagian ini, terdapat
65
beberapa hal yang lebih khusus yang dianalisis meliputi identitas kelompok, tugas, tujuan, norma, posisi, dan sumber daya yang dimiliki. Identitas kelompok meliputi penanda keanggotaan, seperti gender, etnik, penampilan, asal, dan lainlain. Tugas adalah deskripsi mengenai tindakan berhubungan dengan hal yang dilakukan. Tujuan mengandung informasi mengenai alasan melakukan suatu tindakan atau mengandung informasi mengenai apa yang hendak diraih. Norma berhubungan dengan apa yang dianggap sebagai hal baik atau sebaliknya, yaitu hal buruk. Posisi menggambarkan posisi dalam masyarakat dan hubungan dengan kelompok lain. Sumber daya merupakan hal yang menggambarkan kepemilikan atas sesuatu, baik berupa materi maupun nonmateri dan yang ingin dimiliki atau dipertahankan. Gambaran mengenai konteks sosial ini akan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai produksi wacana dan pemahaman wacana yang terdapat dalam masyarakat. Wacana merupakan hasil produksi kognisi sosial atau mental models. Kognisi sosial dipengaruhi oleh pengalaman dan nilai yang dianut pemroduksi wacana yang diperolehnya dalam kehidupan sosial secara bertahap dan tidak selalu disadari (van Dijk, 1995a: 19).
66
2.4 Model Penelitian Model analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. Bagan 2.1 Model Penelitian
Berita-berita RTRWP Bali di Harian Bali Post
Wacana
Analisis Wacana Kognisi Sosial (Teun A. van Dijk) Analisis Teks: Struktur Mikro, Superstruktur, Struktur Makro
Kognisi sosial wartawan
Temuan Penelitian
Keterangan :
merupakan dianalisis dengan saling memengaruhi
Konteks sosial
67
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan deskriptif dengan metode kualitatif. Sebagaimana disampaikan Arikunto (1998: 310) bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan ”apa adanya” tentang suatu variabel, gejala atau keadaan. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena masalah-masalah yang disajikan dianalisis secara induktif. Selain itu, metode kualitatif juga digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk memahami makna di balik yang tampak dan memahami interaksi sosial (Sugiyono, 2013: 46).
3.2 Jenis dan Sumber Data Berdasarkan rancangan penelitian tersebut, jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa teks berita mengenai RTRWP Bali yang dimuat pada harian Bali Post. Sumber data dalam penelitian ini adalah harian Bali Post periode pertengahan April hingga Juni 2009. Subjek dalam penelitian ini adalah beritaberita tentang RTRWP Bali dalam harian Bali Post sejak pertengahan April hingga Juni 2009 yang berjumlah 84 buah berita. Sugiyono (2013:298) menyatakan bahwa penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi karena kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke
67
68
populasi. Pada penelitian ini digunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2013: 301; Arikunto, 1989: 113). Secara lebih terperinci, Arikunto (1989) menguraikan bahwa penentuan sampel berdasarkan tujuan tertentu yang harus memenuhi beberapa syarat yaitu pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat, atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri pokok populasi; subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi; dan penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan. Pada penelitian ini, data yang akan dianalisis ditentukan berdasarkan beberapa kriteria. Adapun kriteria yang dimaksud, yaitu merupakan berita utama yang terletak pada halaman pertama; berhubungan langsung dengan tema yang dibahas (RTRWP Bali); bukan berita iklan; dan mengandung strategi wacana yang menyiratkan keberpihakan. Objek dalam penelitian ini adalah struktur teks berita tentang RTRWP Bali dalam harian Bali Post, kognisi sosial wartawan, dan konteks sosial berita tentang RTRWP Bali dalam harian Bali Post. Objek penelitian ini akan dijabarkan lebih rinci pada bagian selanjutnya.
69
3.3 Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, digunakan tiga jenis instrumen penelitian. Tiap-tiap instrumen penelitian digunakan untuk mengumpulkan data sesuai dengan masalah yang berbeda. Pengumpulan data yang dilakukan untuk menjawab masalah pertama menggunakan instrumen berupa tabel. Tabel tersebut dibuat berdasarkan komponen analisis wacana van Dijk sebagaimana yang tersaji pada tabel berikut. Tabel 3.1 Struktur dan Elemen Analisis Teks Judul berita : Tanggal berita : Nomor berita : Level Yang Diamati Analisis Strukturmakro Tematik Struktursuper Summary
Elemen Analisis
Tema/topik Judul Teras berita Story situasi episode Peristiwa utama Konsekuensi latar Konteks Historis komentar Kesimpulan Harapan Evaluasi Reaksi verbal Reaksi verbal Strukturmikro Sintaksis Kalimat aktif/pasif; Nominalisasi Leksikon Kata positif/negatif Koherensi Distribusi informasi Topik/penjelas lokal Susunan dan koherensi Koherensi Kondisional/temporal Koherensi fungsional Praanggapan Praanggapan Retorik Deskripsi langsung dan laporan saksi mata Sumber dan kutipan Nomor Gaya bahasa (Sumber : van Dijk, 2006a; 1995a; 1993; 1988a; 1988b; 1985b; 1983)
Keterangan
70
Pengumpulan data untuk menjawab masalah kedua menggunakan instrumen berupa tabel yang dibuat berdasarkan kriteria pengetahuan yang digunakan sebagai dasar produksi dan pemahaan wacana. Pengumpulan data untuk menjawab masalah kedua menggunakan instrumen berupa tabel sebagai berikut.
Tabel 3.2. Kognisi dalam Wacana Judul berita : Tanggal berita : Nomor berita : No Kriteria Pengetahuan 1
Pengetahuan personal
2
Pengetahuan interpersonal
3
Pengetahuan kelompok
4
Pengetahuan
Proposisi
Keterangan
institusional
atau organisasional 5
Pengetahuan nasional
6
Pengetahuan kebudayaan
(Sumber: van Dijk, 2005; van Dijk, 2003: 90)
Rumusan masalah yang ketiga dijawab dengan pedoman pengumpulan data berupa tabel. Tabel tersebut mengandung elemen-elemen analisis konteks sosial sebagai berikut.
71
Tabel 3.3 Konteks Sosial Judul berita : Tanggal berita : Nomor berita : No Konteks Sosial 1
Struktur
masyarakat
Keterangan (sistem
keyakinan, prinsip, norma) 2
Struktur institusi dan organisasi
3
Hubungan antarkelompok
4
Struktur kelompok
(Dirumuskan berdasarkan van Dijk 1995a; 2001b: 115; 2001c: 14)
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini digunakan dua jenis metode pengumpulan data. Pertama, metode pencatatan dokumen atau metode dokumentasi untuk mengumpulkan data dan menjawab masalah pertama, yakni struktur teks berita tentang RTRWP dalam harian Bali Post. Dalam penelitian ini, diteliti berita-berita tentang RTRWP yang dimuat surat kabar Bali Post. Berita-berita tersebut dibaca dan dikaji secara cermat untuk memperoleh data yang diperlukan. Data-data tersebut kemudian dicatat untuk dianalisis. Metode dokumentasi juga digunakan untuk mengumpulkan data dan menjawab masalah kedua, yaitu kognisi sosial wartawan Bali Post dalam memproduksi berita-berita tentang RTRWP. Masalah ketiga, yaitu konteks sosial dijawab dengan teknik dokumentasi dan studi pustaka. Menurut Arikunto (Arikunto, 2002:135), di dalam melakukan pengumpulan data melalui metode ini, diselidiki benda-benda tertulis, seperti
72
buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya. Dalam penelitian ini diselidiki konteks sosial yang terkait dengan berita-berita RTRWP yang dimuat di surat kabar Bali Post.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Analisis data menggambarkan suatu keadaan dengan kata-kata sesuai dengan kategori. Hasil analisis data kemudian disimpulkan. Prosedur yang ditempuh dalam analisis data adalah sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasi dan mendeskripsikan data, yaitu menetapkan data. Pada tahap ini dikumpulkan berita-berita terkait dengan RTRWP di harian Bali Post. Kedua, mengklasifikasi data, yaitu mengelompokkan data menurut permasalahan atau sesuai dengan batas kajian. Berita-berita yang ditemukan dibedakan atas berita yang menjadi berita utama (halaman pertama), bukan berita utama, dan berita iklan. Berita yang dianalisis adalah berita yang merupakan berita utama yang terletak di halaman pertama. Ketiga, menganalisis data berdasarkan teori yang telah dirumuskan. Di sini, diterapkan teknik analisis yang dikemukakan oleh Van Dijk, yaitu terfokus pada analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Keempat, ditarik simpulan sesuai dengan yang disarankan oleh seluruh data.
3.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Cara penyajian analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif khususnya dengan metode penyajian informal. Sudaryanto
73
(1993: 145) menyebutkan bahwa metode penyajian informal merupakan metode analisis dengan menggunakan kata-kata biasa – walau dengan terminologi yang teknis sifatnya tanpa menggunakan kaidah formal berupa rumus, tanda, dan lambang, atau diagram. Dengan demikian, hasil analisis terhadap berita tentang RTRWP Bali dalam harian Bali Post adalah pemaparan mengenai struktur teks berita, kognisi sosial, serta konteks sosial yang terdapat dalam berita tersebut.
74
BAB IV STRUKTUR TEKS BERITA RTRWP BALI
Analisis berita mengenai RTRWP yang dimuat di harian Bali Post dilakukan dengan menganalisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Pada bab ini, kajian difokuskan untuk memaparkan struktur teks berita RTRWP Bali. Analisis teks merupakan analisis terhadap berita-berita mengenai RTRWP yang meliputi analisis terhadap struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro teks yang keseluruhannya meliputi dua puluh elemen strategi wacana. Analisis teks secara detail diuraikan berikut ini.
4.1
Struktur Makro Berita RTRWP Bali Tema/topik merupakan gagasan utama yang ditonjolkan dalam sebuah
berita. Tema atau topik berita dapat diketahui melalui judul berita. Selain menyampaikan informasi utama yang hendak dipaparkan dalam berita, judul juga menjadi landasan awal pembaca dalam memahami keseluruhan wacana. Judul berita “Terkait Pasal ‘Bisnis’ dalam Ranperda RTRWP, Krama Bali Harus Bersikap” mengandung tema RTRWP Bali dan topik yang merupakan pengkhususan tema, yakni terkait pasal bisnis dalam Ranperda RTRWP, krama Bali harus bersikap. Kalimat pada judul menjadikan frasa Terkait Pasal ‘Bisnis’ RTRWP sebagai keterangan yang diletakkan sebelum subjek, Krama Bali sebagai subjek, dan harus bersikap sebagai predikat. Struktur kalimat demikian memungkinkan
74
75
pesan yang terkandung pada frasa keterangan mendapatkan penekanan dalam pemahaman pembaca. Dengan demikian, yang memperoleh penekanan pada judul adalah frasa
pasal bisnis mengandung strategi wacana yang menggiring
pemahaman pembaca untuk memahami RTRWP sebagai bentuk kebijakan yang memiliki kepentingan bisnis atau motif finansial yang menguntungkan kelompok tertentu. Klausa Krama Bali Harus Bersikap menggiring pemahaman pembaca mengenai hal yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi atau menyikapi RTRWP tersebut. Dalam berita tidak dijabarkan mengenai bentuk sikap terhadap RTRWP yang mesti dilakukan oleh masyarakat. Namun, berita ini mengandung beberapa subtopik yang mendukung topik RTRWP mengandung pasal ‘bisnis’ dan Krama Bali harus bersikap. Subtopik yang mendukung tema tersebut, antara lain (1) aspek ekonomi dan penyelamatan alam Bali harus balance (par.1, kal.4), (2) RTRWP Bali mestinya juga mengatur sanksi secara khusus bagi pemimpin daerah yang salah merekomendasikan perizinan (par.2, kal.1), (3) krama Bali harus berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main (par.2, kal.3), (4) ada kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali (par.4, kal.2), (5) perlu adanya evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasinya di lapangan (par.5, kal.1). Pada berita kedua (2) yang berjudul
“Revisi terhadap Perda RTRW
Inisiatif Eksekutif”, tema RTRWP Bali dikhususkan pada topik revisi terhadap
76
RTRW inisiatif eksekutif. Judul yang mengandung tema dan topik berita berfungsi untuk mengarahkan dan memengaruhi pemahaman pembaca terhadap berita. Pada berita ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa eksekutif atau pemerintah Provinsi Bali merupakan pihak yang memiliki inisiatif untuk merevisi RTRW yang telah ada. Pemunculan topik ini menimbulkan kesan yang tidak baik kepada eksekutif. Meskipun revisi RTRW diawali dengan alasan perbaikan agar RTRW lebih kuat mangatur penataan wilayah dan sanksi kepada para pelanggar, dalam berita disampaikan bahwa kenyataannya justru sebaliknya. RTRW dipandang lebih lemah daripada yang telah ada sebelumnya. Hal ini dapat diketahui dengan melihat subtopik yang terdapat dalam berita, antara lain (1) RTRWP banyak disorot karena banyak “pasal bisnis” di dalamnya (parg.1), (2) tata cara penyusunan RTRWP (parg.3 dan parg.4), (3) latar belakang yang membuat munculnya gagasan revisi RTRWP (parg.5), (4) RTRWP yang sedang dibahas tidak lebih baik daripada perda sebelumnya (parg.6 dan parg.7). Judul berita ketiga (3) yang dianalisis adalah “Ranperda RTRWP Bali, ODTWK Ciptakan Peluang Langgar Tata Ruang”.
Judul ini sekaligus
menunjukkan tema dan topik berita ini. Dengan kata lain, yang menjadi fokus atau topik pemberitaan pada berita ini adalah OTDWK menciptakan peluang pelanggaran terhadap tata ruang. Tema ini dijabarkan lagi ke dalam subtopik yang lebih khusus, antara lain (1) pembangunan akomodasi pariwisata di dua wilayah OTDWK Buleleng (Air Sanih, Kubutambahan dan Kawasan Buyan – Tamblingan) terkesan tidak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah
77
disiasati (par.1,kal.2); (2) syarat pembangunan di daerah OTDWK (par.3); (3) pelanggaran ketentuan pembangunan di daerah OTDWK di Air Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok Tejakula (par.5); (4) pelanggaran ketentuan pembangunan di daerah OTDWK di Pancasari (par.6). Judul berita keempat (4) yang dianalisis adalah “Ranperda RTRWP: Sedikitnya Ada 133 Kata ‘arahan’, 100 Poin Diatur Gubernur.” Judul tersebut mengandung tema dan topik yng disampaikan dengan jelas. Tema berita tersebut adalah RTRWP (Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi) Bali. Tema tersebut dijabarkan ke dalam topik adanya 133 kata “Arahan” dan 10 poin diatur gubernur. Topik ini menonjolkan informasi mengenai besarnya kewenangan yang dimiliki oleh gubernur terkait dengan penataan tata ruang wilayah Bali. Topik tersebut, dikhususnya lagi menjadi subtopik, yaitu (1) Makin banyak saja terkuak kelemahan ranpeda RTRWP Bali 2009, dan (2) banyak hal menarik yang terungkap yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat. Dalam bentuk tabel, tataran makro berita dengan tema RTRWP Bali adalah sebagai berikut. Tabel 4.1 Tema, Topik, dan Subtopik Wacana Berita Mengenai RTRWP Bali Tema : RTRWP (Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi) Bali No Topik Subtopik Keterangan Terkait Pasal ‘Bisnis’ 1) Aspek ekonomi dan par.1, kal.4 1 dalam Ranperda penyelamatan alam Bali RTRWP, Krama Bali harus balance Harus Bersikap 2) RTRWP Bali mestinya par.2, kal.1 juga mengatur sanksi secara khusus bagi pemimpin daerah yang salah merekomendasikan perizinan 3) Krama Bali harus berani par.2, kal.3
78
2
3
mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main 4) Ada kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali (5) Perlu adanya evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasinya di lapangan Revisi terhadap Perda 1) RTRWP banyak disorot RTRW Inisiatif karena banyak “pasal Eksekutif bisnis” di dalamnya 2) Tata cara atau alur penyusunan RTRWP 3) Latar belakang yang membuat munculnya gagasan revisi RTRWP 4) RTRWP yang sedang dibahas tidak lebih baik daripada perda sebelumnya OTDWK menciptakan peluang pelanggaran terhadap tata ruang
1) Pembangunan akomodasi pariwisata di dua wilayah OTDWK Buleleng (Air Sanih, Kubutambahan dan Kawasan Buyan – Tamblingan) terkesan tidak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati 2) Syarat pembangunan di daerah OTDWK 3) Pelanggaran ketentuan pembangunan di daerah OTDWK di Air Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok Tejakula 4) Pelanggaran ketentuan pembangunan di daerah OTDWK di Pancasari
par.4, kal.2
par.5, kal.1
par.1 par.3 dan par.4 par.5 par.6 dan par.7
par.1,kal.2
par.3 par.5
par.6
79
4
4.2
Ranperda RTRWP, Sedikitnya ada 133 kata arahan, 10 poin diatur Gubernur
1) Makin banyak saja terkuak kelemahan ranpeda RTRWP Bali 2009. 2) Banyak hal menarik yang terungkap yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat.
par. 1 par.4
Superstruktur Berita RTRWP Bali
4.2.1 Judul Judul berita pertama adalah “Terkait Pasal Bisnis, Krama Bali Harus Bersikap” (17 April 2009 – 044). Judul berita ini menggunakan struktur keterangan – subjek – predikat. Frasa keterangan diletakkan mendahului subjek sehingga memperoleh penekanan atau ditonjolkan. Ungkapan “pasal bisnis” menggiring pemahaman pembaca untuk memahami bahwa beberapa pasal dalam RTRWP mengandung kepentingan yang bertujuan untuk menguntungkan pihakpihak tertentu secara finansial. Judul berita kedua adalah “Revisi Perda RTRW Inisiatif Eksekutif”. Judul berita ini menggunakan struktur kalimat subjek – predikat. Yang menjadi frasa subjek adalah revisi perda RTRW, sedangkan yang menjadi frasa predikat adalah inisiatif eksekutif. Melalui judul ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa eksekutif yang dalam hal ini adalah pemerintah Provinsi Bali merupakan pihak yang memiliki gagasan awal untuk merevisi perda RTRWP. Judul yang sekaligus menjadi tema berita mencitrakan eksekutif secara negatif karena topik-topik yang muncul dalam tubuh berita adalah hal-hal yang negatif terkait dengan ranperda RTRW, antara lain (1) adanya “pasal bisnis”, pasal pesanan dalam perda yang
80
tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali, (2) gagasan Gubernur Mangku Pastika untuk merevisi perda karena sanksi dalam perda dianggap lemah, (3) ranperda RTRWP yang sedang dibahas lebih lemah dari yang telah ada sebelumnya. Dengan judul dan topik-topik yang dimunculkan dalam tubuh berita, berita ini dikonstruksi oleh wartawan atau media untuk mencitrakan eksekutif, khususnya Gubernur Mangku Pastika secara negatif. Gubernur Mangku Pastika digambarkan sebagai pihak yang memiliki inisiatif untuk merevisi perda karena dianggap tidak memiliki sanksi yang memadai untuk menindak pelanggaran. Kenyataannya, pada berita disebutkan bahwa sanksi pada ranperda yang sedang dibahas malah lebih lemah dibandingkan dengan sebelumnya. Hal lain yang tidak kalah penting adalah ranperda RTRWP yang sedang dibahas memunculkan pasalpasal yang mengandung muatan “bisnis” yang memberikan peluang kepada investor untuk merambah kawasan yang selama ini disakralkan. Jadi, hal yang menjadi alasan Gubenur Mangku Pastika untuk merevisi perda sama sekali tidak terwujud dalam ranperda yang baru. Sebaliknya, yang muncul dalam ranperda adalah pasal yang berpotensi merusak Bali dan sanksi yang lebih lemah. Judul berita ketiga adalah “Ranperda RTRWP Bali, OTDWK Ciptakan Peluang Langgar Tata Ruang”. Frasa ranperda RTRWP Bali ditulis pada baris teratas, dengan huruf berwarna merah, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan bagian lain judul. Frasa itu menjadi semacam tema berita. Topik berita yang menjadi inti berita ketiga adalah ODTWK Ciptakan Peluang Langgar Tata Ruang.
81
Judul berita ketiga mengarahkan persepsi pembaca untuk memahami bahwa OTDWK menciptakan peluang pelanggaran terhadap tata ruang. Judul berita keempat adalah “Ranperda RTRWP; Sedikitnya ada 133 kata arahan, 10 poin diatur Gubernur.” Judul berita keempat ini mengarahkan persepsi pembaca untuk memahami bahwa ranperda RTRWP 2009 memberikan kekuasaan atau wewenang yang cukup besar kepada gubernur untuk membuat keputusan serta kebijakan terkait dengan pengelolaan tata ruang wilayah Provinsi Bali.
4.2.2 Teras berita Yang menjadi teras berita dalam berita pertama adalah “Munculnya pasalpasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M. Dihubungi Kamis, (16/4) kemarin, ia mengaku sudah mendengar paparan masalah RTRWP di Gedung DPRD Bali. “Saya berharap jangan sampai perda ini disusun hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi yang pada akhirnya merugikan kepentingan penyelamatan alam. “Antara aspek ekonomi dan penyelamatan alam Bali harus balance,” tegasnya. Teras berita pada berita pertama merupakan kutipan pernyataan Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra. Kutipan tersebut mengandung imbauan agar ranperda ini disusun dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan penyelamatan alam Bali secara berimbang. Namun, oleh wartawan, imbauan itu diawali dengan kalimat “Munculnya pasal-pasal ‘bisnis’ pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir.
82
R. Sudirman, M.M.” Kata “dikritisi” menimbulkan kesan bahwa imbauan itu sebagai kritik atas RTRWP. Dengan demikian, hal tersebut juga menggiring pemahaman pembaca bahwa RTRWP memang mengandung hal-hal yang menyimpang dari kepentingan penyelamatan alam Bali karena mengandung kepentingan bisnis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Teras pada berita kedua adalah “Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot sebab dinilai banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan, dan ranperda yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali. Sorotan ini tak hanya datang dari pemerhati. Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila revisi Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW No.3/2005 maupun Bhisama PHDI.” Teras berita pada berita kedua didominasi oleh evaluasi wartawan terhadap topik yang diberitakan. Meskipun terdapat pernyataan yang berhubungan dengan pandangan anggota DPRD Bali, namun pada berita sama sekali tidak tertulis nama atau narasumber yang mengemukakan pandangan tersebut. Dengan demikian, pernyataan yang terkesan disampaikan oleh anggota DPRD tersebut hanya memperkuat evaluasi yang disampaikan oleh wartawan. Teras berita pada berita kedua menggiring pandangan pembaca untuk memahami bahwa banyak pihak yang memperhatikan revisi perda RTRWP karena terdapat hal yang keliru, seperti adanya pasal bisnis, pasal pesanan, dan ranperda
tersebut
tidak
mengakomodasi
kearifan
lokal.
Pihak
yang
memperhatikan masalah Perda RTRWP ini bukan hanya pemerhati, melainkan
83
juga anggota DPRD Bali. Dengan proposisi ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa masalah ini sangat serius. Bukan hanya pemerhati yang pada umumnya fokus hanya pada bidang tertentu yang memperhatikan dan mempermasalahkan hal ini, melainkan pihak yang merupakan wakil rakyat dan memiliki kapasitas sebagai anggota DPRD Provinsi Bali juga memperhatikan penyusunan perda RTRWP ini. Perhatian tersebut diberikan karena jika revisi ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang saat ini memang telah mulai rusak. Teras berita pada berita ketiga adalah “Dua objek wisata di Kabupaten Buleleng, yakni sepanjang Pantai Air Sanih, Kubutambahan hingga Tejakula dan kawasan Buyan-Tamblingan Desa Pancasari tampaknya sedang laris-larisnya didatangi investor. Akibatnya, pembangunan akomodasi pariwisata di dua wilayah itu seakan tak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati.” Teras berita dibuat berdasarkan evaluasi wartawan terhadap topik. Subtopik yang dibahas dalam teras berita, yakni pembangunan akomodasi parawisata di dua objek wisata (Air Sanih dan Buyan-Tamblingan) tidak terkontrol secara langsung mendukung atau menunjang topik pada judul. Teras berita keempat adalah “Makin banyak saja terkuak kelemahan Ranperda RTRWP Bali 2009. Selain tak tercantumnya falsafah tri hita karana, Bhisama PHDI, dicantumkannya kewenangan gubernur mengatur status pura dan menetapkan ODTW di luar perda, kini para ahli Unud mengkritisi bahwa Ranperda RTRWP sebagian masih menggunakan data kedaluwarsa”. Teras berita ketiga merupakan evaluasi wartawan terhadap topik yang sedang diberitakan,
84
sehingga frasa makin banyak saja pada teras mengandung maksud menggiring pemahaman pembaca bahwa kelemahan RTRWP Bali sebenarnya sudah banyak, dan menjadi semakin banyak. Pada bagian selanjutnya, sebagai pengembangan teras berita ini, wartawan menyampaikan secara lebih datail hal-hal yang menjadi kelemahan RTRWP Bali.
4.2.3 Peristiwa utama Peristiwa utama dalam berita pertama adalah kritik terhadap RTRWP. Terdapat dua orang yang menjadi narasumber yang pernyataannya dikutip dalam berita dan menjadi peristiwa utama dalam berita. Narasumber yang pernyataannya dikutip sebagai teras berita adalah Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra Ir. R. Sudirman, M.M. yang menyatakan bahwa aspek ekonomi dan penyelamatan alam Bali harus balance. Narasumber yang kedua adalah ahli geomorfologi Unud R. Suyarto mengemukakan beberapa pandangan, antara lain: komponen masyarakat Bali harus diberikan ruang yang terbuka untuk memberikan sumbang saran dalam membuat aturan, ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam penentuan kelayakan sebuah investasi, dan perlu adanya evaluasi yang utuh atas pengelolaan alam Bali dari sisi aturan dan implementasinya. Pada berita kedua, peristiwa atau hal yang menjadi peristiwa utama adalah revisi Ranperda RTRWP merupakan inisiatif eksekutif. Hal ini dapat diketahui dari judul berita kedua yakni “Revisi Perda RTRW Inisiatif Eksekutif”. Meskipun teras berita tidak berhubungan langsung dengan judul, teras sebagai paragraf pertama berita hingga paragraf keempat menyajikan informasi yang negatif
85
tentang Ranperda RTRWP. Paragraf pertama mengenai banyak pihak yang menyoroti revisi ranperda karena dianggap bermasalah dan merugikan keselamatan Bali. Paragraf yang kedua mengenai bantahan Ketua Bappeda Bali Nengah Suarca mengenai adanya pasal “bisnis” dalam Ranperda. Paragraf ketiga mengenai alur teknis penyusunan Ranperda RTRWP. Paragraf kelima mengenai tidak adanya keterangan terperinci saat Kepala Bappeda ditanya mengenai alasan adanya pasal-pasal “bisnis”. Bagian yang berhubungan langsung atau menerangkan judul muncul pada paragraf kelima hingga ketujuh atau akhir berita. Paragraf itu secara umum mengandung informasi mengenai latar belakang munculnya gagasan revisi Ranperda RTRWP dan pandangan mengenai hasil revisi ranperda tersebut. Peristiwa utama dalam berita ketiga adalah pembangunan akomodasi pariwisata di dua wilayah objek wisata (Air Sanih dan Buyan-Tamblingan) seakan tak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati. Hal ini terdapat pada teras berita atau paragraf pertama berita. Peristiwa utama berita keempat adalah ranperda dengan XVIII bab itu memunculkan banyak hal menarik yang terungkap yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat. Informasi ini terdapat pada judul berita dan lebih khusus lagi pada paragraf keempat.
4.2.4 Konsekuensi Konsekuensi dalam berita pertama terdapat pada paragraf ke-2, kalimat ke-3 yaitu “Krama Bali harus berani mengambil sikap jika pemimpin
86
mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main. Proposisi ini merupakan konsekuensi atas adanya “pasal bisnis” dalam RTRWP.
Proposisi ini juga
menjadi judul berita. Kata krama merupakan bahasa Bali yang berpadanan dengan kata warga dalam bahasa Indonesia. Istilah krama sering digunakan untuk mengacu kepada warga adat (krama adat), warga banjar (krama banjar), dan warga desa (krama desa).
Penggunaan kata krama
menimbulkan kesan bahwa masalah ini
merupakan masalah masyarakat lokal Bali yang kepentingannya untuk menjadi dan menyelamatkan alam Bali terganggu karena pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan melalui pasal-pasal tertentu dalam RTRWP. Meskipun konsekuensi dinyatakan pada judul dengan proposisi “Krama Bali harus Bersikap”, pada bagian isi berita hingga penutup tidak terdapat pemaparan secara eksplisit mengenai sikap yang harus dilakukan oleh masyarakat Bali. Dalam berita kedua juga terdapat elemen konsekuensi yaitu sebagaimana yang termuat dalam paragraf 1, kalimat 3 “Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan mendesak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW tahun 2005 dan Bhisama PHDI”. Konsekuensi dalam proposisi tersebut adalah diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas. Bali yang saat ini telah “bopeng” sebagai akibat dari investasi yang mengeksploitasi alam Bali diyakini akan semakin “sesak napas” apabila Ranperda RTRWP ini lolos.
87
Konsekuensi ini muncul berhubungan dengan berita pertama yang menggambarkan bahwa Ranperda RTRWP sarat dengan pasal-pasal “bisnis” yang dianggap lebih mengakomodasi kepentingan investor dibandingkan dengan mengakomodasi kepentingan penyelamatan alam Bali. Dengan demikian, alam Bali yang sudah tidak indah lagi (diwakili dengan kata “bopeng”) akan lebih parah kondisinya, seperti semakin tidak indah karena proses pembangunan di sana-sini yang kurang mengindahkan keseimbangan alam Bali (diwakili dengan kata “sesak napas”). Pada berita ketiga, terdapat gambaran mengenai konsekuensi. Pertama, terdapat pada paragraf 4 yakni “Namun, dalam kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tak memiliki alat kontrol yang tegas. Sehubungan dengan itu, ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau vila” (par.4) Paragraf ini menggambarkan bahwa konsekuensi dari tidak tertatanya OTDWK akan berdampak pada berkurangnya daya tarik objek tersebut bagi wisatawan karena dipenuhi vila. Penikmat objek tersebut pun akhirnya hanya terbatas pada pihak-pihak yang mengelola vila. Konsekuensi yang kedua adalah “Akibat ODTWK yang mudah disiasati, maka pembangunan hotel melati dan pondok wisata di kawasan pesisir Air Sanih, Desa Bukti hingga sepanjang pantai di Kecamatan Tejakula mulai dijamuri pondok wisata” (par.5, kal.5). Dengan proposisi ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa siasat investor dalam pengelola akomodasi pariwisata di daerah
88
ODTWK berdampak pada tidak terkendalinya jumlah pondok wisata. Secara tidak langsung, hal tersebut juga akan mengurangi daya tarik objek wisata. Pada bagian lain, konsekuensi yang ketiga tidak disampaikan secara ekplisit, tetapi melalui pertanyaan retoris “Jika itu yang terjadi, apakah ODTWK masih bisa dikatakan sebagai objek daya tarik wisata khusus?” Kata itu mengacu kepada pada kalimat sebelumnya, yakni “Belakangan, daerah itu terus didatangi investor sehingga dikhawatirkan lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan dipenuhi vila.” Jawab atas pertanyaan retoris tersebut tentu sudah pasti bahwa jika lereng bukit dipenuhi vila, objek wisata tak akan menjadi objek wisata yang baik lagi. Pertanyaan retoris tersebut sekaligus memberikan gambaran atas konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh pembangunan vasilitas pariwisata yang tidak terkontrol. Jawaban atas pertanyaan retoris tersebut dapat dijawab dengan mangacu paragraf 4 sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Konsekuensi yang keempat adalah “Akibatnya, pembangunan akomodasi pariwisata di dua wilayah itu seakan tak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati” (par. 1). Proposisi ini menyampaikan bahwa konsekuensi atas penetapan OTDWK yang tidak diimbangi dengan penerapan atau pengawasan terhadap penerapan aturan. Pada dua kawasan yang dimaksud (Air Sanih dan Buyan-Tamblingan) akhirnya terdapat jumlah akomodasi pariwisata yang tidak terkendali sehingga dapat merugikan lingkungan dan daya tarik pariwisata lokasi ODTWK tersebut. Konsekuensi yang kelima adalah “Belakangan, daerah itu terus didatangi investor sehingga dikhawatirkan lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan
89
dipenuhi vila” (par. 6, kal. 2). Proposisi ini menyajikan informasi mengenai kemungkinan konsekuensi yang terjadi apabila kawasan Danau Buyan tidak segera ditata dan penerapan aturan ODTWK perlu mendapatkan pengawasan yang baik dari pemerintah. Berita keempat yang dianalisis memiliki strategi wacana berupa konsekuensi, yaitu dua pasal ini, 161 dan 162 akan membuat kerancuan dalam penentuan ODTW tersebut. Mereka akan berlomba-lomba menentukan ODTW (berita 4, par. 12, kal. 1-2). Strategi wacana ini mengarahkan pemahaman pembaca mengenai konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh adanya kewenangan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, untuk menentukan ODTW. Pada strategi wacana ini, Bali Post menggambarkan bahwa penentuan ODTW akan menjadi rancu karena terdistribusinya kewenangan penentuannya pada gubernur, bupati/walikota. Konsekuensi selanjutnya adalah para kepala daerah digambarkan akan berlomba-lomba dalam menetapkan ODTW untuk memenuhi kepentingan pemodal.
Dengan penggambaran seperti ini,
pemimpin daerah yang memiliki kewenangan dalam menetapkan ODTW dicitrakan secara negatif karena kewenangan yang dimiliki akan digunakan untuk memenuhi kepentingan pemodal yang belum tentu, bahkan sering bertentangan dengan kepentingan masyarakat pada umumnya.
90
4.2.5 Konteks Pada berita pertama terdapat konteks yang disampaikan melalui kutipan pernyataan seorang narasumber. Kutipan yang memberikan konteks atas topik yang sedang diberitakan terdapat pada paragraf ketiga, sebagai berikut. “Selama ini ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan
sebuah
investasi.
Ada
kecenderungan
kepentingan
ekonomi
mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali,” ujarnya (par.4, kal.1). Konteks pada berita ini dapat diketahui melalui frasa selama ini. Frasa tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu sebelumnya, tetapi tidak dijelaskan secara eksplisit kurun waktu tersebut, telah terjadi kekeliruan dalam pengelolaan investasi dan alam Bali. Kekeliruan tersebut disebabkan oleh terlalu diutamakannya kepentingan ekonomi, sementara kepentingan penyelamatan Bali diabaikan. Pemberian konteks ini mengarahkan persepsi pembaca untuk memahami bahwa RTRWP juga dibuat dengan motivasi yang tidak jauh dengan yang terjadi selama ini, yaitu menciptakan peluang diperolehnya keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya dan mengabaikan kepentingan penyelamatan Bali. Konteks dalam hal ini dipahami sebagai peristiwa lain yang berhubungan dengan peristiwa utama yang sedang diberitakan. Dalam berita kedua terdapat konteks yang memberikan gambaran mengenai tanggapan dan pandangan terhadap revisi Perda RTRWP, yakni pada paragraf 6, kalimat 2. Dalam kalimat tersebut dinyatakan Namun, dari dua kali sosialisasi, sebagaian besar yang diundang menyatakan revisi ini tidak lebih baik dari perda sebelumnya. Bahkan, ada yang menyebutkan sebuah kemunduran. Sebab, sejumlah pasal yang sering
91
disebut pasal “bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk merambah kawasan yang selama ini disakralkan. Konteks yang diberikan pada berita kedua menggiring pemahaman pembaca bahwa revisi Perda RTRWP memang tidak lebih baik daripada Perda RTRWP yang telah ada sebelumnya. Dengan konteks ini, pembaca juga digiring bahwa munculnya pasal-pasal bisnis dan diabaikan kepentingan penyelamatan Bali pada Ranperda RTRWP berhubungan dengan inisiatif Gubernur Mangku Pastika. Pada berita ketiga, konteks dapat ditemukan pada paragraf 5, yakni “Pada kawasan pantai dari Air Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok di Tejakula terdapat ratusan vila atau pondok wisata. Anehnya di dalamnya terdapat sejumlah hotel yang memiliki kamar lebih dari ketentuan maksimal 25 kamar. Namun investornya tak bisa disalahkan karena hotel tersebut dipayungi dua perusahaan, padahal manajemennya berada dalam satu atap. Akibat ODTWK yang mudah disiasati, maka pembangunan hotel melati dan pondok wisata di kawasan pesisir Air Sanih, Desa Bukti hingga sepanjang pantai di Kecamatan Tejakula mulai dijamuri pondok wisata.” Pada berita, konteks tidak disajikan dengan penanda eksplisit, tetapi dipaparkan dalam bentuk sebuah paragraf yang pada intinya menyampaikan cara investor menyiasati aturan agar bisa membangun kamar lebih dari ketentuan, yakni 25 kamar. Investor yang membangun akomodasi pariwisata lebih dari 25 kamar menggunakan dua perusahaan, padahal sejatinya berada dalam satu atap.
92
Konteks yang lain terdapat pada paragraf 6 yakni “Di Desa Pancasari juga terjadi hal yang mirip. Di lereng sebelah selatan Danau Buyan juga terdapat hotel dengan kapasitas lebih dari 25 kamar. Belakangan daerah itu terus didatangi investor sehingga dikhawatirkan lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan dipenuhi vila. Jika itu yang terjadi, apakah ODTWK masih bisa dikatakan sebagai objek daya tarik wisata khusus?” Pemaparan konteks ini menggiring pemahaman pambaca bahwa pelanggaran atau siasat investor dalam menyikapi aturan pembangunan akomodasi di daerah ODTWK akan berdampak tidak baik bagi daerah ODTWK. Penetapan suatu kawasan menjadi ODTWK akhirnya hanya akan berdampak negatif karena hanya akan mempermudah investor untuk membangun vasilitas pariwisata tanpa disertai dengan pengawasan oleh pemerintah. Akibat selanjutnya dari kondisi ini adalah rusaknya atau berkurangnya daya tarik kawasan tersebut sebagai ODTWK. Strategi wacana berupa konteks pada berita keempat ditemukan pada paragraf kedua, yakni “Tim perumus kajian akademis Unud (BP, 10/5) menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa karena memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par.2). Informasi atau proposisi ini meruapakan bagian dari berita yang sebelumnya telah dipublikasikan Bali Post oleh karena itu, proposisi ini menjadi konteks dalam berita ini.
4.2.6 Historis Berita pertama tidak mengandung historis yang memberikan gambaran mengenai peristiwa atau kejadian yang telah terjadi jauh hari sebelumnya. Pada
93
berita pertama, berita dibuat hanya berdasarkan kutipan wawancara terhadap dua orang narasumber dan beberapa bagian yang merupakan komentar wartawan terhadap topik. Elemen historis muncul dalam berita kedua, yaitu “Revisi Perda RTRW ini mencuat ke permukaan ketika muncul kasus panggung terapung di Danau Buyan. Ketika itu, Gubernur Mangku Pastika menyatakan sanksi yang diatur dalam perda itu sangat lemah sehingga tak mampu menjangkau kasus pelanggaran di Uluwatu maupun Bukit Mimba, Karangasem” (par. 4). Dalam kutipan tersebut, jelas tersurat bahwa Gubernur Mangku Pastika memunculkan gagasan revisi terhadap Perda RTRWP setelah kasus panggung terapung di Danau Buyan yang terjadi akibat sanksi yang diatur dalam perda tersebut sangat lemah sehingga tidak mampu menjangkau kasus pelanggaran di beberapa tempat, seperti Uluwatu dan Bukit Mimba Karangasem. Proposisi tersebut juga menyiratkan adanya keyakinan terhadap Perda RTRWP yang telah direvisi akan mampu mengatasi masalahmasalah pelanggaran wilayah. Hal ini menjadi paradoks dengan proposisiproposisi sebelumnya, yang mengkhawatirkan lolosnya Ranperda RTRWP ini menjadi perda justru akan membuat Bali “sesak napas”. Dikuatkan lagi dengan proposisi berikutnya “Namun, dari dua kali sosialisasi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini tidak lebih baik dari perda sebelumnya. Bahkan, ada yang menyebutkan kemunduran, sebab sejumlah pasal yang sering disebut “pasal bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk merambah kawasan yang selama ini disakralkan” (par. 6). Dengan demikian, wartawan ingin mengarahkan pandangan publik bahwa latar belakang munculnya gagasan revisi
94
terhadap RTRW ini masih kurang pengkajian atau hanya karena gagasan pihak tertentu (Gubernur Bali sebagai eksekutif), padahal pihak lain, seperti para ahli, para tokoh masyarakat, justru memiliki pandangan yang sebaliknya, yaitu revisi terhadap RTRW merupakan suatu kemunduran. Pada berita ketiga dan keempat, tidak terdapat adanya historis dalam berita.
4.2.7 Harapan Harapan merupakan hal yang mungkin ditimbulkan atau menjadi akibat peristiwa yang diberitakan. Pada berita pertama, terdapat harapan pada paragraf 1, kalimat ke-3. “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan” (par. 1, kal. 3). Sumber proposisi yang mengandung harapan ini tidak secara jelas ditampilkan dalam berita. Selain itu, proposisi ini terletak terpisah dari kalimat dan paragraf yang mengandung kutipan pernyataan narasumber. Oleh karena itu, dianggap bahwa proposisi ini merupakan pandangan wartawan mengenai peristiwa yang sedang diberitakan. Artinya, tergolong sebagai harapan dalam analisis wacana ini. Harapan yang disajikan dalam berita mengandung ajakan bagi masyarakat Bali untuk terlibat secara aktif menolak tindakan pemimpin Bali yang melanggar aturan demi keuntungan finansial. Penggunaan kata krama dalam proposisi ini menegaskan bahwa yang dimaksud bukanlah seluruh masyarakat yang tinggal di Bali, melainkan warga Bali yang tergabung dalam masyarakat adat yang beragama Hindu yang merupakan anggota perkumpulan masyarakat Bali yakni
95
banjar dan desa adat. Jika dihubungkan dengan proposisi lain dalam judul “Tekait Pasal “Bisnis” RTRWP, Krama Bali Harus Bertindak”, proposisi yang mengandung harapan ini berisi ajakan wartawan atau media Bali Post kepada masyarakat Bali untuk bersama-sama menolak “pasal-pasal bisnis” dalam RTRWP. Pada berita kedua ditemukan harapan yang menjadi bagian berita. Pada berita ketiga, juga tidak ditemukan adanya harapan dalam berita. Pada berita keempat ditemukan penggunaan strategi wacana berupa harapan pada paragraf ketiga belas “Semestinya, Perda yang dibuat mengatur atau membuat secara detail ruang yang boleh dimanfaatkan. Sehingga pejabat yang ada tidak bisa main-main lagi di luar ketentuan perda tersebut.” Harapan pada proposisi ini mengisyaratkan pandangan wartawan mengenai topik yang disampaikan, sekaligus menggiring pemahaman pembaca untuk memahami hal tersebut dengan cara yang sama seperti yang disampaikan oleh wartawan. Pada proposisi harapan ini, wartawan menyampaikan pandangannya bahwa semestinya perda telah mengatur secara detail wilayah yang bisa digunakan sebagai ODTW, tidak memberikan kewenangan kepada kepala daerah. Pada proposisi selanjutnya wartawan menyampaikan bahwa dengan adanya ketentuan pasti mengenai wilayah ODTW, pemerintah tidak akan bisa melakukan penyimpangan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu saja. Dengan kata lagi, ada kesan yang secara implisit disampaikan bahwa penyimpangan merupakan suatu hal yang telah biasa terjadi. Demikian melalui strategi wacana berupa harapan, wartawan menyampaikan pandangan subjektifnya mengenai topik kepada khalayak.
96
4.2.8 Evaluasi Evaluasi merupakan pandangan atau pendapat wartawan mengenai peristiwa yang sedang diberitakan. Pada berita pertama terdapat beberapa evaluasi yang disampaikan dalam beberapa proposisi. Pertama, proposisi “Untuk mencegah praktik membijaksanai aturan, RTRWP Bali mestinya juga mengatur sanksi secara khusus bagi pimpinan daerah yang salah merekomendasikan perizinan” (par. 2, kal. 1). Proposisi ini mengandung pandangan mengenai perlunya aturan mengenai sanksi kepada pemimpin daerah yang keliru dalam merekomendasikan izin. Pandangan ini, ditulis dalam kalimat yang tidak menyampaikan sumber sehingga dapat disimpulkan bahwa proposisi ini merupakan evaluasi. Kedua, proposisi “Hal ini jarang kita dengar karena kerap kali keputusan pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu didasari kebijakan menyimpang” (par. 2, kal. 2). Yang dimaksud “hal ini” dalam proposisi tersebut
adalah
perlunya
sanksi
bagi
pemimpin
daerah
yang
salah
merekomendasikan perizinan. Proposisi ini secara implisit menyampaikan kepada pembaca bahwa sangat kecil kemungkinan seorang pemimpin mendapatkan sanksi atas keputusannya yang keliru karena keputusan tersebut didasari oleh kebijakan atau aturan tertentu. Padahal, anturan tersebut mungkin saja sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu yang menguntungkan kepentingan pemimpin sehingga keputusan yang dibuat berdasarkan aturan tersebut terkesan benar. Ketiga, proposisi “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan” (par.
97
2, kal. 3). Proposisi ini menunjukkan sikap wartawan yang mengajak krama Bali untuk terlibat aktif dan mengambil sikap dalam penyusunan RTRWP. Yang dimaksud mengambil sikap dalam konteks ini adalah menolak “pasal bisnis” dalam RTRWP karena pasal-pasal tersebut sengaja dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, termasuk pemimpin dan mengabaikan kepentingan penyelamatan alam Bali. Wartawan menyampaikan beberapa proposisi evaluasi dalam berita kedua, yaitu (1) Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot (par.1, kal.1). Dengan proposisi ini, wartawan menyampaikan kepada pambaca bahwa Ranperda RTRWP banyak disorot dan wartawan mengajak pembaca untuk ikut menyoroti revisi perda RTRWP Bali. Hal yang disoroti tentu saja masalah-masalah yang terungkap dalam proses revisi Perda RTRWP Bali sebab dalam berita-berita tentang Perda RTRWP ini yang lebih banyak diberitakan adalah tanggapan negatif terhadap revisi perda RTRWP Bali atau pandangan yang bertentangan dengan pihak eksekutif sebagai penggagas revisi terhadap Perda RTRWP Bali. Masalah pada ranperda RTRWP muncul dalam proposisi evaluasi (2) Sebab, di dalamnya banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan, dan ranperda yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali (par.1, kal.2). Proposisi ini paling dominan dimunculkan sebagai alasan penolakan banyak pihak terhadap RTRWP. Semakin banyak pembaca atau pihak yang menyoroti masalah ini menyebabkan
wartawan
memiliki
semakin
banyak
kesempatan
untuk
mengarahkan pikiran lebih banyak pembaca. Terlebih lagi, pihak-pihak yang menyoroti masalah ini adalah para ahli dan tokoh masyarakat yang merupakan
98
anggota DPRD Bali, sebagimana yang tampak dalam proposisi evaluasi (3) Sorotan ini tak hanya datang dari pemerhati (Par.1,kal.3) dan proposisi evaluasi (4) Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan mendesak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW tahun 2005 maupun Bhisama PHDI (par.1, kal.4). Berdasarkan evaluasi yang disampaikan tersebut, pembaca diarahkan untuk menanggapi revisi terhadap Perda RTRWP secara negatif karena mengandung “pasal bisnis”, pasal pesanan, dan tidak mengakomodasi kearifan lokal sehingga berdampak tidak baik bagi Bali. Berita ketiga, mengandung evaluasi sebagai berikut. Pertama, terdapat pada frasa “….tampaknya sedang laris-larisnya didatangi investor” (par.1, kal.1). Frasa pada kalimat ini mengandung evaluasi atau pandangan wartawan mengenai topik yang sedang diberitakan. Pada berita tidak terdapat jumlah investor yang telah atau akan menanamkan modal di lokasi ODTWK yang sedang diberitakan. Dengan menyampaikan tampaknya, pemahaman pembaca digiring untuk memahami bahwa memang benar ada banyak investor yang berminat untuk menanamkan modal dan melakukan usaha di kawasan tersebut. Padahal, tampaknya merupakan kata modalitas yang mengandung makna ketidakpastian, kesan, atau pandangan yang belum cukup kuat kebenarannya. Evaluasi yang kedua adalah “Sebagai ODTWK, pemegang kebijakan dengan mudah menyatakan welcome kepada investor yang ingin membangun di daerah itu” (par.2, kal.2). Proposisi ini merupakan pandangan wartawan yang disampaikan secara tersamar. Hal ini dapat diperhatikan dengan ada atau tidaknya
99
narasumber yang menyampaikan hal tersebut. Pada berita ketiga, tidak terdapat narasumber yang menyampaikan proposisi tersebut sehingga wartawanlah yang membuat simpulan itu. Dengan proposisi tersebut, penguasa dianggap bisa dengan mudah memberikan izin karena memang boleh membuat akomodasi pariwisata di daerah ODTWK. Lebih lanjut, penguasa terkesan tidak cukup selektif atau mengkaji dengan baik sebelum memberikan izin kepada investor. Evaluasi yang ketiga adalah “Memang, membangun di daerah ODTWK ada syaratnya, antara lain tidak boleh dibangun hotel berbintang dan hanya diizinkan untuk pondok wisata dengan jumlah kamar maksimal 25 kamar. Namun dalam kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tak memiliki alat kontrol yang tegas sehingga ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau vila” (par. 3, kal.4). Pada paragraf ini evaluasi tampak jelas pada kalimat terakhir “Sehingga ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau vila”. Pandangan ini bukan hasil pengamatan atau hasil wawancara dengan narasumber tertentu. Dengan demikian, proposisi ini merupakan pandangan wartawan untuk menggiring pandangan pembaca bahwa yang akhirnya diuntungkan dengan penetapan status ODTWK suatu kawasan adalah investor apabila pengawasan dan penataan yang memadai tidak dilakukan. Pada berita keempat
ditemukan strategi wacana berupa evaluasi pada
proposisi “Makin banyak saja terkuak kelemahan Ranperda RTRWP Bali 2009. Selain tak tercantumnya falsafah tri hita karana, bhisama PHDI, dicantumkannya
100
kewenangan gubernur mengatur status pura dan menetapkan ODTW di luar perda, kini para ahli Unud mengkritisi bahwa Ranperda RTRWP sebagian masing menggunakan data kadaluwarsa (berita 4, par.1)”. Proposisi makin banyak saja terkuak kelemahan ranperda bukan hasil wawancara atau kutipan pernyataan narasumber, melainkan merupakan evaluasi atau pandangan wartawan mengenai topik yang sedang diberitakan. Dengan proposisi tersebut, pembaca diarahkan memahami bahwa ranperda bukanlah rancangan peraturan daerah yang baik. Ketidakbaikan atau kelemahan ranperda tersebut bertambah lagi dengan hal yang akan dipaparkan pada bagian selanjutnya, yakni terlalu besarnya kewenangan kepala daerah, gubernur dan bupati/wali kota dalam menentukan wilayah yang menjadi ODTW. Evaluasi yang dilakukan wartawan dalam berita ini menggiring agar pembaca memiliki persepsi yang kurang baik terhadap ranperda. Di samping itu, memiliki pemahaman yang sama dengan wartawan untuk menolak adanya RTRWP tersebut.
4.2.9 Reaksi verbal Reaksi verbal merupakan pernyataan narasumber terkait dengan topik dan menjadi bagian berita. Dalam berita pertama, terdapat beberapa reaksi verbal yang disajikan dalam berita. Pertama “Saya berharap jangan sampai perda ini disusun hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi yang pada akhirnya merugikan kepentingan penyelamatan alam. Antara aspek ekonomi dan penyelamatan alam Bali harus balance,” tegasnya (par.1, kal.2). Kutipan pernyataan ini menjadi teras
101
dalam berita 1. Hal ini berarti bahwa kutipan ini dianggap penting oleh wartawan dan media serta akan memengaruhi keseluruhan arah dan isi berita. Pada dasarnya kutipan pernyataan tersebut bersifat netral dan tidak menyalahkan pihak tertentu karena hanya mengandung harapan dan saran agar penyusunan perda tidak hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan penyelamatan alam Bali. Namun, kalimat yang ditulis sebelum kutipan ini membuat pemaknaan atas kutipan mungkin berbeda. Kalimat yang terletak sebelum kutipan ini adalah “Munculnya pasal-pasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra Ir. R. Sudirman, M.M.” Penyebutan frasa “pasal bisnis yang dikritisi” membentuk persepsi pembaca bahwa memang benar terdapat pasal bisnis dalam ranperda tersebut dan Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra tidak menyetujui hal tersebut. Kemungkinan pemaknaan seperti ini tentu berbeda dengan makna kutipan tersebut. Kedua, kutipan tak langsung dari pernyataan ahli geomorfologi Unud R. Suyarto dalam kalimat “Ahli Geomorfologi Unud R. Suyarto juga mengingatkan agar komponen masyarakat di Bali diberi ruang yang terbuka untuk memberikan sumbang saran dalam membuat aturan terhadap wilayahnya. Bali sebagai pulau kecil memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis sehingga pemetaan fungsi tanah di Bali harus jelas” (par.3). Pernyataan ini menyarankan kepada pihak yang memiliki peluang untuk membuat kebijakan agar melibatkan komponen masyarakat Bali dalam membuat kebijakan. Secara implisit, persepsi yang dapat dibentuk oleh pernyataan ini adalah anggapan bahwa selama ini
102
memang belum ada upaya pembuat kebijakan untuk melibatkan atau menerima saran komponen masyarakat. Ketiga, kutipan langsung dari narasumber yang sama dengan kutipan yang kedua, ahli geomorfologi Unud R. Suyarto “Selama ini ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan sebuah investasi. Ada kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali,” ujarnya (par.4). Kutipan pernyataan ini berhubungan dengan judul berita dan menjadi semacam argumen atas proposi pada judul berita sehingga pembaca lebih teryakinkan bahwa RTRWP memang mengandung pasal-pasal yang dibuat untuk kepentingan pihak tertentu dan mengabaikan penyelamatan alam Bali. Dalam berita kedua, wartawan mencantumkan sejumlah reaksi verbal dalam bentuk kalimat langsung pernyataan narasumber dan kalimat tak langsung yang disimpulkan wartawan dari pendapat para narasumber. Reaksi verbal dalam bentuk kalimat langsung yang pertama adalah sebagai berikut. Ketua Bappeda Bali, Nengah Suarca, Kamis (16/4) menampik adanya pasal pesanan dalam ranperda tersebut. “Tidak ada pasal pesanan,” katanya ditemui di sela-sela rapat evaluasi APBD Bali 2009 di Ruang Wiswa Sabha. (par. 2, kal. 1). Kutipan langsung ini hanya mengandung informasi mengenai bantahan Ketua Bappeda bahwa ada pasal pesanan dalam revisi Ranperda RTRWP. Kutipan langsung yang kedua adalah “Segala rumusan berkaitan dengan pasal-pasal tersebut digodok di Biro Hukum dan HAM Provinsi Bali,” katanya tergesa-gesa (par.4, kal.2). Kutipan langsung ini mengandung informasi mengenai alur teknis penyusunan revisi Perda RTRWP.
103
Dalam berita kedua juga terdapat beberapa kutipan tak langsung. Pertama, terdapat pada kalimat Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila revisi Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kahadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW No.3/2005 maupun Bhisama PHDI (par.1, kal.3). Dalam pernyataan tak langsung ini, narasumber tidak disampaikan dengan jelas, tetapi hanya dengan menggunakan frasa anggota DPRD Bali. Kutipan tak langsung ini mengarahkan persepsi pembaca untuk memahami bahwa Ranperda RTRWP yang sedang dibahas hanya akan semakin merusak Bali apabila berhasil disahkan. Kutipan tidak langsung yang kedua juga tidak menyampaikan narasumber secara jelas tetapi hanya menyebut narasumber dengan ada yang menyebut sebagai pengganti nama atau identitas subjek. Kalimat yang mengandung pernyataan tidak langsung itu adalah Bahkan, ada yang menyebut sebuah kemunduran. Sebab, sejumlah pasal yang sering disebut “pasal bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk merambah yang selama ini disakralkan. Kutipan kalimat tak langsung ini mengarahkan pandangan pembaca bahwa Ranperda RTRWP yang sedang dibahas tidak lebih baik daripada yang telah ada sebelumnya. Bahkan, Rapeda ini cenderung tidak lebih baik karena mengandung pasal-pasal yang menguntungkan pihak tertentu dari segi ekonomi tetapi akan merugikan keselamatan alam Bali. Pada berita ketiga, ditemukan beberapa reaksi verbal. Reaksi verbal yang pertama adalah kalimat tak langsung sebagai berikut. “Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Buleleng I Putu Tastra Wijaya didampingi Kabid
104
Pengembangan Pariwisata Nyoman Dodi Irianto membenarkan adanya hotel berbintang atau hotel yang memiliki kamar lebih dari 25 buah dalam ODTWK di Tejakula dan Pancasari” (par. 7). Melalui kutipan tak langsung ini, wartawan menyampaikan bahwa memang benar terdapat pelanggaran atau upaya investor menyiasati aturan sebagaimana yang sebelumnya telah dipaparkan dalam berita. Kedua, kutipan tak langsung dari narasumber yang sama, yakni “Tastra mengatakan pihaknya kini sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata atau vila di daerah yang masuk ODTWK. Karena, diakui memang terdapat investor yang mencoba menyiasati peraturan agar bisa membangun sesuai dengan keinginannya” (par. 8, kal. 1, 2). Pernyataan yang dikutip pada kalimat ini, juga membenarkan apa yang telah dipaparkan wartawan pada bagian sebelumnya pada berita ini. Dengan demikian, kutipan dari narasumber bersifat memperkuat atau membenarkan adanya upaya menyiasati atau melanggar aturan oleh investor. Ketiga, reaksi verbal dalam bentuk kalimat langsung sebagai berikut. “Kami sedang melakukan kontrol sekaligus penataan, khususnya di daerah ODTWK,” katanya. (par. 8, kal. 3). Kalimat ini mengandung informasi bahwa pemerintah melalui pihak terkait sedang melakukan kontrol sekaligus penataan kawasan ODTWK. Berita atau wawancara tidak menampilkan lebih jauh, misalnya tindakan yang akan dilakukan kepada para investor yang bermaksud atau telah melanggar aturan. Namun, pada dasarnya, reaksi verbal baik disampaikan dalam kalimat langsung maupun tak langsung, dimuat sesuai dengan topik utama berita, yakni ODTWK menciptakan peluang pelanggaran tata ruang.
105
Berita keempat mengandung sebuah reaksi verbal yang ditulis dalam bentuk kalimat tidak langsung. Namun, dengan narasumber yang tidak spesifik karena menyebut narasumber dengan frasa Tim perumus kajian akademis Unud. Akan tetapi, siapa yang mengatakan hal tersebut dalam kapasitas sebagai bagian dari tim akademis tidak disebutkan oleh wartawan pada kalimat: “Tim perumus kajian akademis Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kadaluwarsa karena masih memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par.2, kal. 1).
4.3 Struktur Mikro Berita RTRWP Bali 4.3.1 Sintaksis Pada tataran sintaksis, ditemukan beberapa strategi wacana yang digunakan dalam berita 1. Pertama, nominalisasi pada kalimat “Munculnya pasalpasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M.” (Par.1, kal.1). Pada kalimat tersebut, frasa Munculnya pasal-pasal ‘bisnis’ pada Reperda RTRWP Bali menjadi
nomina dan menjadi subjek dalam berita. Perubahan verba muncul
menjadi nomina munculnya memungkinkan frasa tersebut menjadi subjek dalam kalimat dan diletakkan di bagian awal kalimat sehingga memperoleh perhatian lebih dari pembaca. Kedua, penggunaan bentuk aktif pada kalimat “Ahli geomorfologi Unud, R. Suyarto juga mengingatkan agar komponen masyarakat di Bali diberikan ruang yang terbuka untuk memberikan sumbang saran dalam membuat aturan terhadap
106
wilayahnya (par. 2, kal. 1). Bentuk aktif pada kalimat ini memungkinkan ditonjolkannya subjek. Dalam konteks ini, subjek kalimat Ahli geomorfologi Unud, R. Suyarto mendapatkan penonjolan dalam kalimat karena diletakkan pada awal kalimat. Hal tersebut bukan tanpa tujuan, melainkan untuk mengemukakan bahwa yang menyampaikan pandangan adalah pihak yang memiliki kompetensi di bidang tersebut sehingga kebenaran pandangannya dapat dipercaya dan bersifat netral. Ketiga, kalimat aktif “R. Suyarto juga mengatakan perlu adanya sebuah evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasinya di lapangan” (par. 4, kal. 1). Dengan menggunakan kalimat aktif, subjek, R. Suyarto mendapatkan penonjolan. Sama halnya dengan kalimat sebelumnya, disampaikan bahwa subjek merupakan orang yang memiliki kompetensi pada bidangnya sehingga pandangannya dapat dipercaya. Dengan demikian, pandangan bahwa perlu ada evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasi di lapangan memang benar. Secara implisit, pandangan ini juga menyiratkan bahwa selama ini ada masalah dalam pengelolaan alam Bali karena aturan dan implementasinya tidak sesuai. Dalam berita kedua juga ditemukan beberapa strategi wacana pada tataran sintaksis yang terdapat dalam berita 2. Pertama, Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot (par. 1, kal. 1). Kalimat ini merupakan kalimat pasif dengan pola subjek – keterangan – predikat. Subjek kalimat tersebut Revisi Perda RTRWP Bali. Keterangan kalimat tersebut adalah kini. Predikat kalimat tersebut adalah banyak disorot. Dengan kontruksi kalimat tersebut, frasa Revisi Perda RTRWP
107
Bali menjadi topik kalimat. Dengan menggunakan bentuk kalimat pasif, objek yang dalam hal ini pihak-pihak yang menyoroti Revisi Perda RTRWP tidak harus dihadirkan. Namun, dengan menyatakan banyak, dapat menimbulkan persepsi pembaca
mengenai jumlah yang bisa saja lebih banyak daripada yang
sebenarnya. Jadi, dengan konstruksi kalimat tersebut, wartawan atau media berupaya untuk menimbulkan kesan bahwa banyak pihak yang menyoroti masalah tersebut. Selain itu, konstruksi kalimat tersebut kesan yang ditimbulkan dapat lebih banyak daripada yang sebenarnya. Kedua, kalimat Ketua Bappeda Bali, Nengah Suarca, Kamis (16/4) kemarin menampik adanya pasal pesanan dalam ranperda tersebut. (par. 2, kal. 1). Struktur kalimat ini adalah subjek – keterangan – predikat – objek. Subjek dalam kalimat adalah Ketua Bappeda Bali, Nengah Suarca. Keterangan dalam kalimat adalah Kamis (16/4) kemarin. Predikat adalam kalimat adalah menampik. Objek dalam kalimat adalah adanya pasal pesanan dalam ranperda tersebut. Dengan struktur kalimat ini, yang mendapat penekanan dalam kalimat adalah subjek yang menyampaikan bantahan mengenai pasal pesanan dalam ranperda. Ketiga, kalimat Ketika ditanya kenapa muncul pasal-pasal berbau bisnis dalam RTRWP Bali, Suarca tak memberikan keterangan terperinci. (par. 3, kal. 1). Struktur kalimat ini adalah keterangan – subjek – predikat – objek. Keterangan pada kalimat tersebut adalah Ketika ditanya kenapa muncul pasal-pasal berbau bisnis dalam RTRWP Bali. Subjek dalam kalimat adalah Suarca. Predikat dalam kalimat adalah tak memberikan. Objek dalam kalimat adalah keterangan terperinci. Dengan meletakkan keterangan sebelum subjek, keterangan menjadi
108
menonjol dalam kalimat dan lebih diperhatikan oleh pembaca. Pembaca akan lebih fokus pada informasi yang disampaikan dalam frasa keterangan. Setelah membaca bagian berikutnya yang mengandung tanggapan subjek atas keterangan, yakni Suarca tak memberikan keterangan terperinci, subjek digambarkan secara negatif karena tidak memberikan keterangan secara terperinci mengesankan ketertutupan informasi terhadap khalayak atau ada yang hendak disembunyikan. Pada berita ketiga ditemukan beberapa strategi wacana pada tataran sintaksis yang digunakan pada berita. Pertama, pada kalimat judul “ODTWK Ciptakan Peluang Langgar Tata Ruang.” Struktur kalimat judul tersebut adalah subjek – predikat – objek. Dengan struktur semacam ini, subjek yaitu ODTWK memperoleh perhatian lebih bagi pembaca karena mendapat penonjolan sebagai subjek dan di awal kalimat. Dengan penonjolan ini, pembaca akan fokus pada ODTWK. Predikat kalimat tersebut adalah ciptakan. Bentuk lengkap kata ciptakan adalah menciptakan, tetapi karena pada judul, previks dihilangkan. Objek kalimat tersebut adalah peluang langgar tata ruang. Kedua, bentuk kalimat aktif “Sebagai ODTWK, pemegang kebijakan dengan mudah menyatakan welcome kepada investor yang ingin membangun di daerah itu” (par.2, kal.2). Struktur kalimat tersebut adalah keterangan – subjek – keterangan – predikat – objek – keterangan. Dengan struktur tersebut, keterangan sebagai ODTWK ditonjolkan dalam kalimat. Selain itu, subjek pemegang kebijakan juga diposisikan pada bagian awal kalimat sehingga mendapat penekanan juga sebagai pelaku yang melaksanaan tindakan menyatakan selamat datang kepada investor. Jadi, dengan konstruksi kalimat ini, ODTWK seolah
109
dimanfaatkan pihak penguasa untuk mendapatkan investor sebanyak mungkin tanpa terlalu memedulikan, baik kelestarian ODTWK, lingkungan, maupun masyarakat secara umum. Pada berita keempat dianalisis empat strategi wacana pada tataran sintaksis. Pertama, kalimat aktif “Tim perumus kajian akademis Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa karena masih memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par. 2, kal. 1). Penggunakaan bentuk kalimat aktif pada proposisi ini memungkinkan diletakkannya subjek Tim perumus akademis Unud sebagai subjek dan diletakkan di awal kalimat sehingga menjadi bagian yang ditonjolkan dalam kalimat. Penonjolan frasa subjek tersebut memiliki tujuan untuk menekankan bahwa pernyataan yang disampaikan memiliki tingkat kebenaran tinggi, netralitas, sekaligus objektif. Dengan demikian, masyarakat digiring untuk memercayai hal yang disampaikan dalam proposisi tersebut dan proposisi selanjutnya. Kedua, “Mereka (akedemisi) mencontohkan data dan peta yang sudah tidak akurat lagi, baik nominal serta tahunnya” (berita 4, par. 3, kal.1). Kata ganti mereka pada kalimat ini mengacu pada tim perumus kajian akademis Unud. Sama halnya dengan kalimat pertama yang dianalisis, penggunaan kalimat aktif pada kalimat ini berpotensi untuk membuat subjek mendapatkan perhatian lebih dari pembaca sehingga pembaca lebih memercayai kebenaran pernyataan dan penilaian yang disampaikan. Ketiga, strategi sintaksis pada kalimat “Dari isi, Ranperda dengan XVIII bab itu banyak hal yang menarik yang terungkap yang selama ini belum banyak
110
diketahui masyarakat” (berita 4, par. 4, kal.1). Kalimat ini merupakan kalimat pasif yang predikatnya menggunakan prefiks ter-. Dengan menggunakan struktur kalimat ini, wartawan dimungkinkan untuk tidak mencantumkan subjek atau pelaku dalam kalimat. Dengan kata lain, penggunaan kalimat ini bukan tanpa tujuan, melainkan untuk mengaburkan subjek atau pihak mengungkap hal menarik yang terdapat pada ranperda. Dengan penghilangan subjek ini dan tidak terdapatnya informasi mengenai pihak yang telah mengungkap hal menarik yang terdapat pada ranperda diasumsikan bahwa yang mengungkapkan itu adalah wartawan. Dengan penggunaan kalimat pasif ini, pihak yang menyampaikan pandangannya dapat dikaburkan, bahkan dihilangkan dari wacana berita. Keempat, pada kalimat “Bila dicermati, dalam RTRWP ini banyak kata “arahan” yang muncul dari bab VII” (berita 4, par. 5, kal. 1).
Kalimat ini
merupakan bentuk kalimat pasif yang menggunakan prefiks di-. Sifat dan fungsi penggunaan struktur ini sama dengan yang sebelumnya telah dipaparkan pada kalimat ketiga di atas. Struktur kalimat pasif ini memungkinkan wartawan untuk mengaburkan keberadaan subjek, bahkan menghilangkannya sama sekali dari berita.
4.3.2 Koherensi Analisis pada tataran koherensi lokal
merupakan analisis hubungan
antarparagraf, kalimat, proposisi, dan unsur pembentuknya. Pada tataran koherensi lokal, ditemukan beberapa strategi wacana yang tergolong dalam koherensi kondisional, koherensi fungsional, dan praanggapan.
111
Pada berita pertama
ditemukan beberapa
strategi
wacana
yang
menggunakan koherensi kondisional, koherensi fungsional dan praanggapan. Pertama, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat “Untuk mencegah praktik membijaksanai aturan, RTRWP Bali mestinya juga mengatur sanksi secara khusus bagi pimpinan daerah yang salah merekomendasikan perizinan.” Koherensi kondisional pada kalimat tersebut dapat diketahui dari penggunaan kata untuk yang menandakan hubungan kondisional dengan proposisi berikutnya. Dalam kalimat tersebut frasa untuk mencegah praktik membijaksanai aturan disusun mendahului subjek sehingga tujuan atau alasan memperoleh penekanan dalam kalimat. Dalam konteks ini, membijaksanai aturan bermakna negatif sebagai upaya akal-akalan yang bermaksud negatif untuk keuntungan pihak tertentu saja. Hal ini tentu akan berakibat buruk bagi keselamatan alam Bali. Oleh karena itu, proposisi selanjutnya RTRWP Bali mestinya juga mengatur sanksi secara khusus bagi pimpinan daerah yang salah merekomendasikan perizinan sulit untuk ditolak kebenarannya oleh khalayak pembaca. Dengan kata lain, pembaca dikondisikan untuk memiliki pemahaman yang sama bahwa RTRWP Bali memang perlu mengatur sanksi bagi pimpinan daerah. Jika tidak ada aturan, seolah praktik menyiasati aturan untuk kepentingan pihak tertentu oleh pimpinan daerah akan terus terjadi. Kedua, koherensi kondisional pada kalimat “Hal ini jarang kita dengar, karena kerap kali keputusan pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu didasari kebijakan menyimpang.” Frasa hal ini pada kalimat di atas mengacu pada sanksi secara khusus bagi pemimpin daerah yang salah
112
merekomendasikan perizinan. Koherensi penghubung kondisional pada kalimat tersebut ditunjukkan dengan kata karena. Frasa karena kerap kali keputusan pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu didasari kebijakan menyimpang mengemukakan alasan yang membuat pemimpin daerah tampak selalu benar dalam membuat keputusan. Padahal, keputusan tersebut didasari
oleh
aturan
yang
keliru
yang
dalam
penyusunannya
telah
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan terutama ekonomi yang merugikan penyelamatan alam Bali. Kalimat ini mengondisikan pembaca untuk memahami bahwa meskipun pimpinan daerah telah membuat kebijakan yang sesuai dengan aturan, hal tersebut belum tentu baik dan benar karena aturan tersebut memang telah dibuat untuk kepentingan pihak tertentu. Untuk menghindari hal tersebut, aturan yang mendasari setiap kebijakan harus dipastikan bebas dari kepentingan yang merugikan Bali. Ketiga, koherensi kondisional pada kalimat “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main” (par.2, kal.3). Koherensi kondisional pada kalimat tersebut ditandai dengan frasa oleh karena itu. Kata itu mengacu pada proposisi sebelumnya, yaitu karena kerap kali keputusan pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu didasari kebijakan menyimpang. Hal ini menjadi sebab atas gagasan pada proposisi selanjutnya yakni krama Bali harus berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main. Kata krama menunjukkan bahwa yang dimaksud bukanlah seluruh masyarakat Bali dalam pengertian masyarakat yang tinggal di Bali,
113
melainkan secara khusus masyarakat Bali yang menjadi bagian dari organisasi adat Bali yang bersifat homogen yakni beragama Hindu. Meskipun tidak digambarkan secara lebih terperinci tindakan yang seharusnya dilaksanakan masyarakat, dapat disimpulkan bahwa tindakan tersebut tentu menolak adanya pasal-pasal yang dianggap memiliki kepentingan ekonomi tertentu dan menguntungkan pihak tertentu. Keempat, koherensi kondisional pada kalimat “Bali sebagai pulau kecil memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis sehingga pemetaan fungsi tanah di Bali haruslah jelas” (par. 3, kal. 2). Kalimat tersebut memiliki koherensi kondisional ditandai dengan adanya kata hubung sehingga yang menunjukkan bahwa proposisi satu merupakan penyebab, sementara proposisi yang lain adalah akibat. Dalam kalimat ini proposisi sebab adalah Bali sebagai pulau kecil memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis. Proposisi akibat dalam kalimat tersebut adalah sehingga pemetaan fungsi tanah di Bali haruslah jelas. Dengan proposisi sebab tersebut pembaca dituntun untuk memahami bahwa Bali adalah pulau yang kecil sehingga kekeliruan dalam pengelolaan wilayah akan sangat mudah berdampak bagi kondisi alam Bali. Untuk itu, dalam proposisi akibat dinyatakan bahwa pemetaan fungsi tanah di Bali harus jelas. Dengan proposisi ini, secara implisit, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa selama ini pemetaan tanah di Bali belum jelas. Dalam RTRWP yang sedang menjadi pembahasan, pemetaan tanah tersebut juga belum jelas sehingga sangat mungkin disalahgunakan berdasarkan kebijakan pimpinan daerah.
114
Jadi, penyimpangan penggunaan fungsi tanah Bali untuk kepentingan pihak-pihak tertentu sangat mungkin terjadi. Kelima, koherensi fungsional yang terdapat pada kalimat
“Sangat
mungkin terjadi aturan main sudah ideal, namun konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tak terbangun” (par. 4, kal. 2). Koherensi fungsional tersebut dapat diketahui dari penggunaan kata hubung namun dalam kalimat. Kata hubung namun menunjukkan adanya hubungan pertentangan antara proposisi dalam kalimat. Pada kalimat ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa, aturan yang telah ditetapkan, baik dalam peraturan daerah maupun aturan lainnya, sebanarnya sangat mungkin sudah memadai dan telah mengatur dengan baik penggunaan wilayah daerah. Namun, yang menjadi penekanan dalam kalimat ini adalah bahwa konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tidak terbangun. Dengan kata lain, pejabat publik atau pimpinan daerah memiliki kecenderungan untuk mengingkari aturan yang telah ada atau dengan menciptakan celah bagi penafsiran lain terhadap aturan yang hanya akan menguntungkan kepentingan pihak tertentu, tetapi mengabaikan penyelamatan alam Bali. Praanggapan merupakan informasi yang tidak disampaikan dalam wacana karena pemroduksi wacana beranggapan bahwa penerima wacana telah mengetahui hal tersebut. Informasi yang tidak disampaikan ini memiliki peran penting agar penerima wacana dapat memahami wacana dengan baik. Pada berita pertama ditemukan penggunaan pranggapan. Pertama, pada judul berita Terkait Pasal “Bisnis” RTRWP, Krama Bali Harus Bersikap. Dengan proposisi terkait pasal bisnis, pembaca diasumsikan telah mengetahui bahwa di dalam RTRWP
115
terdapat pasal yang bermotif bisnis atau keuntungan pihak tertentu dan berpotensi merugikan Bali. Praanggapan atas judul tersebut adalah bahwa di dalam RTRWP memang terdapat pasal “bisnis” yang merupakan cara pemerintah membantu pihak tertentu untuk mendapat keuntungan ekonomi, tetapi akan merugikan alam Bali. Oleh karena itu, krama Bali diharapkan menyikapi hal tersebut. Praanggapan kedua yang terdapat dalam berita tersebut adalah penggunaan istilah “krama” dalam berita. Kata krama bukanlah kata bahasa Indonesia. Dalam berita, kata ini ditulis dengan huruf miring untuk menunjukkan bahwa kata ini tidak berasal dari bahasa Indonesia. Istilah krama mengacu kepada anggota komunitas adat lokal di Bali yang beranggotakan masyarakat di wilayah tertentu dan bersifat homogen dari segi agama, yakni agama Hindu.
Dengan
menggunakan kata krama dalam berita, yang diacu tentu saja bukan seluruh masyarakat yang tinggal di Bali, melainkan secara khusus masyarakat yang bisa disebuat sebagai krama yang merupakan penduduk asli Bali dan bukan pendatang. Dengan penggunaan istilah ini, secara implisit pembaca diajak untuk memahami bahwa yang harus peduli terhadap keselamatan Bali adalah krama Bali. Lebih jauh, terdapat kemungkinan masyarakat pembaca dikondisikan untuk memahamai bahwa selain krama Bali tidak akan ada yang memiliki kepedulian atas keselamatan alam Bali. Praanggapan yang ketiga terletak pada paragraf 4, khususnya pada kalimat “Selama ini ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan sebuah investasi”. Kutipan pernyataan yang disampaikan narasumber ahli geomorfologi Unud R. Suyarto ini mengandung praanggapan khususnya pada
116
bagian “pertimbangan ilmiah”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal yang dimaksud dengan “pertimbangan ilmiah”, tetapi pembaca dipersepsikan oleh wartawan telah mengetahui maksud frasa tersebut. “Pertimbangan ilmiah” dalam konteks ini dapat berupa hasil pengakajian secara ilmiah atau penelitian, sehingga tingkat kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan dan terbebas dari kepentingan apa pun. Dengan tidak melibatkan pertimbangan ilmiah, secara implisit, pembaca digiring untuk memahami bahwa kelayakan investasi selama ini cenderung tidak benar
dan
didasarkan
pada
pertimbangan-pertimbangan
ekonomi
tanpa
memperhatikan keselamatan alam Bali. Pada berita kedua, terdapat beberapa koherensi lokal. Pertama, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot. Sebab, di dalamnya banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan dan ranperda yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali (par. 1, kal. 1, 2). Kata sebab menjadi penanda bahwa kalimat tersebut mengandung koherensi kondisional. Proposisi Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot menjadi akibat atas proposisi Sebab, di dalamnya banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan dan ranperda yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali. Dengan proposisi ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa banyaknya perhatian yang tertuju pada Ranperda RTRWP yang sedang dibahas karena dalam ranperda tersebut terkandung banyak “pasal bisnis”, pasal pesanan, dan tidak mengakomodasi kearifan lokal. Dengan menggunakan kata hubung sebab, proposisi yang berbeda menjadi berhubungan dan memiliki hubungan sebab-akibat sehingga akhirnya juga mengarahkan pembaca untuk memahami proposisi dengan cara tersebut.
117
Kedua, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW tahun 2005 maupun Bhisama PHDI (par.1, kal.3). Koherensi kondisional pada kalimat tersebut ditunjukkan dengan adanya kata karena pada kalimat tersebut. Proposisi Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” menjadi situasi, sementara proposisi selanjutnya karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW tahun 2005 maupun Bhisama PHDI menjadi proposisi penyebab. Yang ditonjolkan dalam proposisi tersebut adalah subjek yakni Anggota DPRD Bali. Penekanan Anggota DPRD Bali sebagai subjek menunjukkan bahwa yang tidak setuju dengan pengesahan RTRWP merupakan pihak yang memiliki kapasitas dan legitimasi mewakili masyarakat Bali. Dengan kata lain, suara anggota DPRD Bali manjadi representasi suara masyarakat Bali. Proposisi penyebab menunjukkan alasan kekhawatiran anggota DPRD Bali, yakni karena ranperda yang sedang dibahas memungkinkan masuknya investasi yang tidak mengindahkan, baik Perda RTRWP tahun 2005, maupun Bhisama PHDI. Kalau ranperda yang sedang dibahas disetujui dan disahkan, Perda RTRWP Tahun 2005 secara otomatis telah digantikan dengan perda yang baru. Sementara, yang dimaksud Bhisama PHDI adalah keputusan bersama yang memiliki kekuatan mengikat yang mengacu kepada hukum-hukum agama dalam ajaran Hindu. Proposisi ini mengarahkan pandangan pembaca untuk memahami
118
bahwa ranperda RTRWP yang sedang dibahas tidak saja mengandung pasal yang menguntungkan pihak tertentu saja, tetapi juga bertentangan dengan ajaran agama Hindu dan Bhisama yang telah diputuskan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Sebagai provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan memiliki budaya yang dijiwai oleh nilai Hindu, proposisi yang menyatakan ranperda bertentangan dengan bhisama akan memiliki dampak yang kuat bagi pembentukan persepsi pembaca bahwa ranperda RTRWP yang sedang dibahas memang seharusnya tidak disahkan. Ketiga, koherensi kondisional pada kalimat Bahkan, ada yang menyebut sebuah kemunduran. Sebab, sejumlah pasal yang sering disebut “pasal bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk merambah kawasan yang selama ini disakralkan (par.6, kal.3). Penanda koherensi kondisional pada proposisi tersebut adalah kata hubung sebab. Dengan kata hubung sebab pembaca diarahkan untuk memahami alasan pandangan bahwa ranperda yang sedang dibahas tidak lebih baik daripada perda sebelumnya atau merupakan kemunduran. Dengan proposisi yang mengandung alasan, yakni Sebab, sejumlah pasal yang sering disebut “pasal bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk merambah kawasan yang selama ini disakralkan pembaca diarahkan untuk memahami bahwa pasal-pasal tertentu pada ranperda memang merupakan pasal bisnis yang menguntungkan investor pada satu sisi, tetapi akan merugikan penyelamatan alam Bali pada sisi lain. Keempat, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat Selain itu, sanksi yang sebelumnya dinyatakan lemah, malah dalam ranperda ini makin
119
lemah karena ada kompromi-kompromi dengan pelanggar (par.7). Koherensi kondisional pada kalimat ini dapat diketahui dengan adanya kata penghubung karena. Dengan kalimat-kalimat tersebut, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa sanksi yang sebelumnya dinyatakan lemah oleh Gubernur Bali, kemudian direvisi menjadi ranperda yang sedang dibahas malah lebih lemah dibandingkan dengan sebelum perda yang direvisi. Alasan anggapan melemahnya sanksi terdapat pada proposisi karena ada kompromi-kompromi dengan pelanggar. Dengan proposisi kompromi pembaca digiring bahwa tidak akan ada sanksi tegas kepada pelanggar karena masih ada peluang kompromi. Dalam hal ini adalah kompromi antara investor yang melanggar dengan pihak penguasa atau pemerintah. Sebagaimana umumnya kompromi, tentu harus ada keuntungan atau pengurangan kerugian pada tiap-tiap pihak. Oleh karena itu, kompromi terhadap aturan cenderung akan menguntungkan pihak yang berkompromi, tetapi merugikan kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan alam Bali. Kelima, koherensi fungsional khususnya pertentangan yang terdapat pada kalimat atas dasar itu, ada inisiatif dari eksekutif untuk merevisinya. Namun, dari dua kali sosialisasi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini tidak lebih baik dari perda sebelumnya (par.6, kal. 1 dan 2). Pada proposisi pertama itu mengacu pada pandangan Gubernur Bali Mangku Pastika yang menyatakan sanksi yang diatur pada perda sangat lemah. Pandangan inilah yang menjadi dasar pengajuan revisi perda RTRWP. Dengan kata hubung namun, wartawan atau media Bali Post menyanggah pandangan tersebut dengan proposisi kedua namun dari dua kali sosialisasi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini
120
tidak lebih baik dari perda sebelumnya. Dengan demikian, maksud Gubernur Bali untuk merevisi perda dan memperkuat aturan dengan sanksi yang lebih kuat dianggap tidak terwujud. Lebih lanjut, tidak hanya tidak ada sanksi yang lebih, juga muncul “pasal bisnis”. “Pasal bisnis” itu menguntungkan investor, tetapi merugikan kepentingan Bali. Keenam, koherensi fungsional khususnya penjumlahan pada kalimat Selain itu, sanksi yang sebelumnya dinyatakan lemah, malah dalam ranperda ini makin lemah karena ada kompromi-kompromi dengan pelanggar (par.7). Penanda koherensi fungsional penjumlahan adalah frasa selain itu. Koherensi fungsional penjumlahan ini berfungsi untuk memperkuat alasan menolak atau tidak menyetujui ranperda yang sedang dibahas. Proposisi ini mengandung informasi bahwa sanksi yang pada perda sebelumnya dinyatakan lemah oleh Gubernur Bali, malah menjadi lebih lemah pada ranperda revisi yang sedang dibahas. Praanggapan adalah pengetahuan bersama yang dimiliki, baik oleh penyampai pesan maupun penerima agar wacana dapat dipahami dengan baik. Dalam berita, praanggapan tidak disampaikan karena wartawan berasumsi bahwa pembaca telah mengetahui hal tersebut. Dalam berita kedua, ditemukan beberapa praanggapan. Pertama, praanggapan yang terdapat pada judul berita, yakni Revisi Perda RTRW Inisiatif Eksekutif. Pranggapan yang ada dalam proposisi judul adalah bahwa perda merupakan kependekan dari peraturan daerah dan RTRW merupakan kependekan dari rancangan tata ruang wilayah. Pranggapan kedua dalam judul adalah ada rencana merevisi Perda RTRW yang telah ada. Revisi dapat dipahami sebagai kegiatan meninjau kembali atau
121
memeriksa kembali untuk perbaikan. Oleh karena itu, ketika judul berita menyatakan revisi secara tidak langsung ada praanggapan bahwa sebelumnya telah terdapat perda. Praanggapan ketiga adalah mengenai hal yang dimaksud eksekutif pada judul merupakan Pemerintah Provinsi Bali. Oleh karena itu, perda yang dimaksud juga merupakan perda Provinsi Bali. Keempat, praanggapan mengenai kearifan lokal Bali. Dengan frasa tersebut, pembaca dipersepsi tentang mengetahui bahwa Bali adalah wilayah provinsi yang terletak di satu pulau, bernama Pulau Bali yang sebagian masyarakatnya beragama Hindu dan memiliki sistem kebudayaan lokal tertentu yang berlandaskan nilai-nilai agama. Kelima, praanggapan mengenai bhisama PHDI. Pembaca dipersepsi oleh wartawan dan media Bali Post mengetahui bahwa bhisama merupakan keputusan bersama yang memiliki kekuatan mengikat yang mengacu kepada hukum-hukum agama Hindu yang diputuskan oleh anggota Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Keenam, pranggapan mengenai bappeda yang terdapat pada paragraf 2 berita 2. Bappeda merupakan singkatan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. Praanggapan yang ketujuh adalah mengenai ranperda yang merupakan singkatan dari rancangan peraturan daerah. Apabila telah disahkan akan menjadi perda atau peraturan daerah.
122
Kedelapan, praanggapan mengenai pasal bisnis. Pembaca dipersepsikan oleh wartawan telah mengetahui bahwa di dalam peraturan daerah terdapat bagian bab berupa pasal-pasal yang mengandung penjelasan atau ketentuan yang khusus. “Pasal bisnis” merupakan pasal-pasal yang mengandung kepentingan ekonomi tertentu untuk kepentingan piha-pihak tertentu. Idealnya, hal semacam itu tidak terjadi karena aturan yang dibuat semestinya untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Pada tataran koherensi lokal ditemukan beberapa strategi wacana pada berita ketiga. Pertama, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat “Akibatnya pembangunan akomodasi di dua wilayah itu seakan tak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati” (par.1, kal.2). Kalimat ini berhubungan dengan kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa dua objek wisata di Kabupaten Buleleng tampaknya sedang laris-larisnya didatangi investor. Dengan menggunakan kata akibatnya pada awal kalimat, hubungan tersebut menjadi sangat jelas dan mengandung koherensi kondisional. Di dalam kalimat juga terdapat hubungan kondisional antara proposisi satu dan yang kedua. Proposisi pembangunan akomodasi pariwisata di dua wilayah itu seakan tak terkontrol sebagai akibat atas proposisi (aturan) terkesan bisa disiasati. Kedua, koherensi kondisional pada kalimat “Karena sesuai ketentuan, akomodasi pariwisata seperti hotel dan restoran memang dibolehkan dibangun dalam radius OTDWK.” Kata hubung karena menjadi penanda koherensi kondisional pada kalimat ini. Kalimat ini berhubungan dengan kalimat sebelumnya, yakni
“Sebagai ODTWK pemegang kebijakan dengan mudah
123
menyatakan welcome kepada investor yang ingin membangun di daerah itu.” Jadi, dengan koherensi kondisional wartawan memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa pemegang kebijakan bisa terbuka terhadap investor karena aturan ODTWK memang memungkinkan hal tersebut. Ketiga,
koherensi
kondisional
sebagai
berikut.
“Namun
dalam
kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tak memiliki alat kontrol yang tegas. Sehingga ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau vila (par. 4). Penanda adanya hubungan kondisional di antara kalimat tersebut adalah kata hubung sehingga. Dengan kata hubung tersebut, proposisi yang menyatakan aturan bisa disiasati dan tak adanya alat kontrol yang tegas menjadi penyebab atas besarnya jumlah vila di kawasan ODTWK. Keempat, koherensi kondisional pada kalimat “Mudahnya investor masuk kedua daerah wisata itu karena memang Desa Pancasari dan Tejakula ditetapkan sebagai objek daya tarik wisata khusus (ODTWK)” (par. 2, kal. 1). Penanda koherensi kondisional pada kalimat tersebut adalah kata hubung karena. Dengan kata hubung karena kedua proposisi tersebut menjadi memiliki hubungan sebabakibat. Penetapan Desa Pancasari dan Tejakula sebagai ODTWK menimbulkan akibat mudahnya investor menanamkan modal di tempat tersebut dan akhirnya mendapatkan keuntungan dari usaha itu. Kelima, koherensi kondisional pada kalimat “Tastra mengatakan pihaknya kini sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata atau vila di daerah yang masuk ODTWK. Karena, diakui memang terdapat investor yang mencoba
124
menyiasati peraturan agar bisa membangun sesuai dengan keinginannya” (par. 8, kal 1, 2). Penanda koherensi kondisional pada kalimat tersebut adalah kata hubung karena. Dengan kata hubung karena kalimat “Tastra mengatakan pihaknya kini sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata atau vila di daerah yang masuk ODTWK” merupakan akibat atas situasi yang digambarkan pada kalimat “diakui memang terdapat investor yang mencoba menyiasati peraturan agar bisa membangun sesuai dengan keinginannya”. Dengan kata lain, penggunaan kata hubung karena membuat kedua kalimat tersebut memiliki hubungan sebab-akibat. Keenam, koherensi fungsional. Koherensi fungsional terdapat pada kalimat “Memang, membangun di daerah ODTWK ada syaratnya. Antara lain, tidak boleh dibangun hotel berbintang dan hanya diizinkan untuk pondok wisata dengan jumlah kamar maksimal 25 kamar. Namun, dalam kenyataannya, ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tak memiliki alat kontrol yang tegas . Sehingga ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau vila” (par.3, kal.4). Kalimat-kalimat tersebut memiliki koherensi fungsional dan ditandai dengan adanya kata hubung namun. Kata hubung namun menunjukkan pertentangan. Dalam konteks ini, yang dipertentangkan adalah aturan yang melarang dibangunnya hotel berbintang dan jumlah kamar yang melebihi 25 kamar dengan kenyataan adanya pelanggaran terhadap aturan dan tidak adanya alat kontrol yang tegas. Ketujuh, koherensi fungsional yang terdapat pada kalimat “Terdapat juga hotel yang memiliki kamar lebih dari ketentuan maksimal 25 kamar. Namun,
125
investornya tak bisa disalahkan karena hotel tersebut dipayungi dua perusahaan, padahal manajemennya berada dalam satu atap” (par.5, kal.3 – 4 ). Koherensi fungsional pada kalimat tersebut ditunjukkan dengan kata hubung namun yang menunjukkan
adanya
pertentangan.
Dalam
kalimat-kalimat
ini,
yang
dipertentangkan adalah adanya pelanggaran hotel yang memiliki kamar lebih dari 25. Namun, hal itu tidak bisa disalahkan karena perusahaan tersebut berada di bawah dua berusahaan yang berbeda sehingga secara prosedur tidak melanggar aturan. Kedelapan, koherensi fungsional khususnya perbandingan yang dapat dilihat pada kalimat “Di Desa Pancasari juga terjadi hal yang mirip” (par. 6, kal. 1). Kalimat ini berhubungan dengan paragraf sebelumnya yang membahas kawasan wisata Air Sanih hingga Tejakula yang dipadati vila yang melanggar ketentuan.
Dengan
kalimat
ini,
wartawan
mengajak
pembaca
untuk
membandingkan kondisi Air Sanih dan Pancasari yang mengalami masalah yang sama. Dengan perbandingan semacam ini, pembaca digiring untuk memahami bahwa masalah ini merupakan masalah yang serius karena tidak saja terjadi di satu tempat, tetapi terjadi beberapa tempat. Pada berita keempat, ditemukan tiga buah proposisi yang mengandung koherensi kondisional. Ketiga proposisi tersebut, yaitu “Tim perumus kajian akademis Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kadaluwarsa karena masih memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par.2, kal. 1); “Dua pasal ini, 161 dan 162 akan membuat kerancuan dalam penentuan ODTW
126
tersebut. Mereka (bupati/wali kota) akan berlomba-lomba menentukan ODTW” (berita 4, par.12, kal. 1 dan 2). Keherensi kondisional pertama menggunakan penanda keherensi karena untuk menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antar proposisi.
Klausa
“karena masih memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” menjadi sebab, sementara klausa “tim perumus kajian akademis Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kadaluwarsa” menjadi klausa yang menggambarkan situasi yang menjadi akibatnya. Dengan proposisi ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa RTRWP Bali tidak cukup baik karena pembuatannya didasarkan pada data yang kedaluwarsa dan tidak relevan lagi. Dengan data yang keliru, tentu rancangan tata ruang yang dihasilkan pun keliru. Koherensi kondisional yang kedua terdapat pada kalimat “Dua pasal ini, 161 dan 162 akan membuat kerancuan dalam penentuan ODTW tersebut” (berita 4, par.12, kal. 1). Proposisi ini menggambarkan hal yang diakibatkan oleh adanya pasal tertentu dalam RTRWP yakni kerancuan dalam pelaksanaan perda tersebut. Di samping itu, dampak ikutannya adalah penetapan ODTW oleh pemerintah daerah, baik gubernur, maupun bupati/wali kota. Penetapan itu digambarkan untuk mewadahi kepentingan pemodal. Dengan kata lain, pemimpin daerah hanya akan memanfaatkan pasal tersebut untuk kepentingan pemodal dan kepentingan kelompok tertentu yang sering kali bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Dalam berita keempat ditemukan beberapa kalimat yang mengandung koherensi fungsional. Pertama, “Makin banyak saja terkuak kelemahan Ranperda
127
RTRWP Bali 2009. Selain tak tercantumnya falsafah tri hita karana, Bhisama PHDI, dicantumkannya kewenangan gubernur mengatur status pura dan menetapkan ODTW di luar perda, kini para ahli Unud mengkritisi bahwa Ranperda RTRWP sebagian masih menggunakan data kedaluwarsa” (berita 4, Par.1). Paragraf ini, mengandung koherensi fungsional khususnya peterperincian. Gagasan utama praragraf ini adalah makin banyak saja terkuak kelemahan Ranperda RTRWP Bali 2009. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk perincian dan penjabaran yang lebih terperinci mengenai kelemahankelemahan Ranperda RTRWP tersebut, antara lain tak tercantumnya falsafah tri hita karana,
tak sesuai dengan Bhisama PHDI, kewenangan gubernur
menetapkan ODTW, dan yang terbaru adalah digunakannya data kedaluwarsa dalam perancangan ranperda tersebut. Koherensi fungsional kedua pada berita keempat terdapat pada paragraf 3, “Mereka mencontohkan data dan peta yang tidak akurat lagi, baik nominal serta tahunnya. Luas wilayah Kota Denpasar disebut 12.398 ha, seharusnya saat ini 12.778 ha karena sejak 1998 Pulau Serangan sudah direklamasi sehingga luas wilayahnya
bertambah.
Jumlah
penduduk
Kota
Denpasar
tahun
2028
diproyeksikan 570.339 jiwa. Sedangkan Denpasar dalam angka tahun 2008 saja sudah mencapai 608.595 juga. Begitu pula peta-peta yang disajikan tak jelas sumber dan tahun pembuatannya. Banyak yang kedaluwarsa terutama peta penggunaan tanah eksisting dan peta-peta lahan. Karena itu, perlu menggunakan data satelit untuk akurasi dan pemutakhiran data” (berita 4, par. 3). Paragraf ini mengandung koherensi fungsional khususnya berupa pengembangan contoh.
128
Kalimat topik paragraf ini mengandung gagasan data dan peta yang tida akurat yang dijadikan dasar dalam penyusunan RTRWP. Pada bagian selanjutnya, disajikan contoh data-data yang tidak akurat tersebut hingga bagian akhir paragraf. Dengan strategi wacana ini, pembaca diarahkan untuk meyakini bahwa data-data yang dijadikan dasar dalam penyusunan RTRWP memang tidak akurat atau keliru sehingga RTRWP tidak benar-benar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Bali dan masyarakatnya. Data-data yang tidak akurat tersebut juga mengimplikasikan bahwa penyusun RTRWP tidak bersungguh-sungguh dalam menyusun RTRWP atau sengaja melakukan hal tersebut untuk kepentingan kelompok tertentu. Kehorensi fungsional ketiga yang terdapat pada berita keempat ditemukan pada paragraf kelima, “Bila dicermati, dalam RTRWP ini banyak kata “arahan” yang muncul dalam bab VII – arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan bab VIII tentang arahan pengendalian pemanfaatan ruang. Kata-kata ini terkesan mendominasi dimana tercatat ada 133 kata “arahan”. Makna kata arahan ada beberapa penafsiran
di
antaranya cenderung maksudnya arah
bahasan
permasalahan. Di sisi lain maknanya berupa arahan yang mengarahkan dan atau mengatur hal-hal yang dilakukan orang/lembaga.” Paragraf ini mengandung gagasan utama yang terdapat pada kalimat pertama, yakni RTRWP mengandung banyak kata “arahan” yang terdapat pada bab VII dan bab VIII. Pada bagian selanjutnya wartawan menguraikan kemungkinan pemaknaan atas kata árahan ”tersebut”.
129
4.3.3 Leksikon Leksikon meliputi penggunaan kata, frasa dan kata ganti yang berfungsi tidak saja untuk menyampaikan makna leksikal, tetapi juga mengandung maksud dan kepentingan tertentu yang merepresentasikan kepentingan tertentu. Pada berita pertama ditemukan beberapa penggunaan leksikon sebagai sebuah strategi wacana untuk mencapai tujuan wacana yang dapat dipaparkan sebagai berikut. Penggunaan leksikon yang pertama terdapat pada kalimat “Munculnya pasal-pasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M.” (par.1, kal.1). Frasa “pasal-pasal bisnis” terdapat pada judul berita dan teras berita. Pasal merupakan istilah yang mengacu pada bagian dari bab atau bagian di dalam undang-undang. Sementara bisnis merupakan usaha komersial dalam dunia perdagangan. Kedua kata ini digabung menjadi sebuah frasa dengan maksud bahwa peraturan yang dibuat dalam peraturan daerah, dalam hal ini RTRWP, dibuat dengan maksud untuk memudahkan atau memberikan jalan kepada pihakpihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan alam Bali. Namun akan menimbulkan akibat yang merugikan keselamatan alam Bali. Penggunaan kata ulang “pasal-pasal” menunjukkan bahwa peraturan yang dirumuskan dalam butir-butir aturan dalam RTRWP tersebut berjumlah lebih dari satu. Bahkan, dengan menggunakan kata ulang pasal-pasal, kesan jumlah yang ditimbulkan bisa jadi melebihi jumlah sebenarnya. Jadi, dengan menggunakan leksikon tersebut, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa terdapat cukup banyak pasal yang dibuat untuk kepentingan bisnis sebagai upaya pihak tertentu
130
mendapatkan keuntungan, sementara itu di sisi lain kepentingan penyelamatan alam Bali terabaikan. Kedua, terdapat pada kalimat “Hal ini jarang kita dengar, karena kerap kali keputusan pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu didasari kebijakan menyimpang” (par. 2, kal. 2). Penggunaan frasa kerap kali merupakan strategi wacana pada tataran leksikon yang berfungsi untuk membentuk pemahaman pembaca bahwa keputusan pimpinan dianggap benar karena dibuat berdasarkan kebijakan atau aturan yang menyimpang merupakan hal yang sering terjadi atau berkali-kali terjadi. Dengan menggunakan frasa kerap kali, jumlah penyimpangan yang sebenarnya tidak dapat diketahui oleh pembaca. Frasa ini sangat mungkin menimbulkan kesan mengenai jumlah penyimpangan yang lebih besar daripada yang sebenarnya. Ketiga, terdapat pada kalimat “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main” (par. 2, kal. 3). Penggunaan kata krama merupakan strategi wacana wartawan untuk membentuk kelompok tertentu dan menjadikan pihak lain sebagai lawan kelompok tersebut. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kata krama bukanlah kata bahasa Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan huruf miring dalam penulisan kata ini. Istilah krama mengacu kepada anggota komunitas adat lokal Bali yang beranggotakan masyarakat di wilayah desa tertentu dan bersifat homogen dari segi agama, yakni agama Hindu. Dengan menggunakan kata krama dalam berita yang diacu tentu saja bukan seluruh masyarakat yang tinggal di Bali, melainkan secara khusus masyarakat yang bisa
131
disebuat sebagai krama yang merupakan penduduk asli Bali, bukan pendatang. Dengan penggunaan istilah ini, secara implisit pembaca diajak untuk memahami bahwa yang harus peduli terhadap keselamatan Bali adalah krama Bali. Artinya, masyarakat pembaca dikondisikan untuk memahami bahwa pendatang yang bukan merupakan krama Bali bisa jadi tidak memiliki kepedulian terhadap keselamatan Bali. Oleh karena itu, dengan penggunaan kata krama, media atau wartawan membentuk kelompok tertentu yang seharusnya mengambil sikap dengan menolak pasal-pasal “bisnis” dalam RTRWP. Keempat, penggunaan kata melabrak pada kalimat yang sama dengan sebelumnya, yakni “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main” (par. 2, kal. 3). Kata melabrak memiliki makna yang negatif karena merupakan tindakan memukuli, mengata-ngatai (mencelai dan sebagainya) yang dilakukan dengan kekerasan atau menyerang. Dengan menggunakan kata melabrak, pemimpin yang mengakomodasi investasi di Bali dicitrakan secara negatif oleh media karena dianggap sebagai tindakan yang melanggar aturan, bahkan dengan cara kekerasan dan cara tidak baik. Kelima,
kata
mengalahkan
yang
terdapat
pada
kalimat
“Ada kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali” (par. 4, kal. 2). Dengan kata mengalahan, wartawan menggambarkan bahwa
terdapat
pertarungan
antara
kepentingan
ekonomi
dan
agenda
penyelamatan bumi Bali. Pertarungan tentu bukan hal yang baik, apalagi jika ternyata yang kalah dalam pertarungan tersebut adalah hal yang semestinya
132
diutamakan
atau
dimenangkan.
Dalam
konteks
ini,
proposisi
tersebut
mengemukakan bahwa kepentingan ekonomi telah mengalahkan agenda penyelamatan alam Bali. Keenam, kata modalitas yang berfungsi untuk memberikan nuansa tertentu pada wacana seperti yang tampak pada kalimat “Selama ini ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam penentuan kelayakan sebuah investasi” (par.4, kal.1). Hal serupa juga terdapat pada kalimat selanjutnya “Ada kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali” (par.4, kal.2). Selanjutnya juga terdapat penggunaan kata modalitas pada paragraf terakhir, khususnya pada kalimat terakhir “Sangat mungkin terjadi aturan main sudah ideal, namun konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tak terbangun”. Ketiga kata tersebut, yaitu “ada kesan”, “ada kecederungan” dan “sangat mungkin” menunjukkan sesuatu yang pada dasarnya tidak pasti, tetapi mengarahkan pemahaman pembaca bahwa hal tersebut mungkin benar. Dengan mengetahui pihak yang menyampaikan pandangan, khalayak pembaca digiring untuk
menerima
penyataan
tersebut
sebagai
kebenaran
karena
yang
menyampaikannya merupakan orang yang memiliki keahlian pada bidangnya dan memiliki kapasitas untuk menyampaikan penilaiannya. Beberapa penggunaan strategi wacana pada tataran leksikal ditemukan pada berita kedua. Pertama, pasal bisnis. Pasal bisnis dalam konteks ini merupakan pasal-pasal yang dianggap dibuat berdasaran kepentingan ekonomi tertentu sehingga akhirnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Pihak yang diuntungkan adalah investor yang telah atau akan menanamkan modal dan
133
usahanya di Bali. Namun, pasal-pasal tersebut berpotensi untuk merugikan masyarakat Bali dan alam Bali. Kedua, pasal pesanan. Dengan frasa pasal pesanan ini pembaca diarahkan untuk memahami bahwa penyusunan aturan yang tertuang dalam-pasal-pasal tersebut tidak sepenuhnya dibuat secara netral dan berdasarkan maksud untuk mengatur wilayah Bali demi kepentingan dan kebaikan bersama, tetapi telah dipesan oleh pihak tertentu agar memenuhi kehendaknya. Pihak yang menyampaikan permintaan agar pasal-pasal dalam perda diatur sesuai dengan keinginnannya tentu merupakan pihak yang memiliki kekuasaan atau akses kepada kekuasaan. Jika aturan yang tertuang dalam pasal-pasal dibuat berdasarkan keinginan pihak tertentu, dapat dipastikan bahwa aturan tersebut tidak akan berdampak baik bagi kepentingan alam Bali, tetapi hanya baik bagi pihak tertentu saja. Ketiga, frasa sebagian besar yang diundang pada kalimat Namun, dari dua kali sosialisasi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini tidak lebih baik dari perda sebelumnya. Frasa sebagian besar yang diundang merupakan upaya abstraksi atau pengaburan subjek yang dilakukan oleh wartawan sehingga tidak perlu menyebutkan jumlah pihak yang berpandangan bahwa revisi perda tidak lebih baik daripada sebelumnya. Dengan menggunakan frasa sebagian besar yang diundang sebagai pengganti subjek, kesan jumlah yang ditimbulkan akan lebih banyak daripada jumlah yang semestinya. Hal itu akhirnya menggiring pembaca untuk memiliki pandangan yang sama, yakni beranggapan bahwa revisi perda tidak lebih baik daripada perda yang telah ada.
134
Keempat, ada yang menyebut pada kalimat bahkan ada yang menyebut sebuah kemunduran. Sama halnya dengan frasa sebagian besar yang diundang, frasa ini juga merupakan bentuk pengaburan subjek oleh wartawan. Pembaca tidak diinformasikan tentang subjek yang sebenarnya menyampaikan pernyataan tersebut. Dengan bentuk frasa ini pembaca hanya diarahkan untuk memahami bahwa perda yang merupakan hasil revisi merupakan sebuah kemunduran dibandingkan dengan perda sebelumnya. Dalam berita ketiga ditemukan beberapa strategi wacana pada tataran leksikon. Pertama, tampaknya pada kalimat “Dua objek wisata di Kabupaten Buleleng, yakni sepanjang pantai Air Sanih Kubutambahan hingga Tejakula dan Kawasan Buyan – Tamblingan Desa Pancasari tampaknya sedang laris-larisnya didatangi investor” (par.1, kal.1). Kata tampaknya merupakan adverbia yang memberikan keterangan pada kata setelahnya. Penggunaan kata tampaknya, pada berita ini menandakan bahwa informasi yang disampaikan setelahnya tidak bersifat objektif atau kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara pasti. Kedua, laris-larisnya pada kalimat yang sama dengan sebelumnya (par.1, kal.1). Kata ulang ini menunjukkan bahwa wartawan menganalogikan objek wisaja khususnya dua objek wisata di Kabupaten Buleleng (Air Saning dan kawasan Buyan – Tamblingan) sebagai hal yang dijualbelikan atau barang yang diperdagangkan karena kata laris merupakan istilah perdagangan yang mengacu pada cepat laku atau sangat laku. Dengan leksikon ini, wartawan menggiring pandangan pembaca untuk memahami bahwa pemerintah atau pihak yang
135
membiarkan investor masuk dan menanam modal di objek wisata tersebut menganggap alam dan objek wisata hanya sebagai barang dagangan. Ketiga, disiasati pada kalimat “Namun kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tidak memiliki alat kontrol yang tegas” (par.4, kal.1). Kata itu dalam kalimat ini mengacu kepada aturan bahwa pada kawasan ODTWK tidak diizinkan dibangun hotel berbintang dan hanya diizinkan untuk pondok wisata dengan jumlah kamar maksimal 25 kamar. Leksikon disiasati dalam konteks ini mengacu kepada mengadakan muslihat atau taktik yang negatif. Dengan menggunakan leksikon disiasati, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa aturan sering dilanggar oleh pihak pengelola penginapan atau investor dengan cara-cara tertentu yang dengan sengaja memanfaatkan kelemahan aturan yang berlaku. Keempat, sejumlah pada kalimat “Anehnya di dalamnya terdapat sejumlah hotel dengan kategori berbintang” (par.5, kal.2). Kata sejumlah dalam konteks ini menggambarkan jumlah atau kuantitas yang tidak pasti. Kata sejumlah dapat berarti hanya dua atau lebih hingga jumlah yang tak terbatas. Dengan demikian, penggunaan kata sejumlah dapat menimbulkan kesan jumlah yang lebih banyak daripada yang semestinya selain untuk menyamarkan bahwa wartawan tidak memiliki data atau informasi yang memadai dan pasti mengenai hal tersebut. Kelima, leksikon ratusan pada kalimat “Pada kawasan pantai dari Air Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok di Tejakula terdapat ratusan vila atau pondok wisata.” Kata ratusan merupakan strategi wacana yang bertujuan untuk mengabstraksi atau menyamarkan jumlah yang pasti dan menimbulkan kesan
136
jumlah yang melebihi jumlah yang sebenarnya. Ratusan bisa bermakna seratus atau sembilan ratus, bahkan lebih. Dengan menggunakan kata ratusan pada kalimat ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa sangat banyak vila dan pondok wisata yang terdapat di kawasan tersebut. Pada berita keempat ditemukan beberapa leksikon menarik yang belum ditemukan pada berita sebelumnya. Pertama, kedaluarsa. Kata kedaluwarsa digunakan untuk menggambarkan data yang digunakan sebagai dasar penyusunan ranperda RTRWP. Kedaluwarsa secara leksikal bermakna sudah lewat (habis) jangka waktu; habis tempo; atau terlewat dari batas waktu berlakunya sebagaimana ditetapkan. Dalam konteks ini, kata kedaluwarsa
mengarahkan
pandangan pembaca untuk memahami bahwa data-data yang digunakan sebagai dasar penyusunan RTRWP tidak layak dan tidak relevan sehingga RTRWP tersebut pun diragukan kualitasnya. Interpretasi selanjutnya, penyusun RTRWP memang sengaja menggunakan data yang kedaluwarsa agar RTRWP tersebut sesuai dengan yang diharapkan kelompok tertentu dan untuk kepentingan kelompok tertentu. Strategi wacana selanjutnya adalah berupa frasa Tim yang terdiri atas guru besar Unud. Frasa ini tidak sekadar berfungsi sebagai subjek, tetapi menggambarkan siapa subjek dan kapasitas subjek sehingga meningkatkan kepercayaan publik terhadap pernyataan atau hal yang disampaikan. Frasa ini terdapat pada kalimat “Tim perumus kajian akademik Unud (BP, 10/5) menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa arena masih memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008).” Guru besar diketahui sebagai jabatan
137
akademik tertinggi di universitas. Dengan jenjang tersebut, guru besar memiliki kapasitas akademi yang tinggi dan netralitas yang dapat dipercaya. Jika tim yang beranggotakan guru besar tersebut menyampaikan suatu penilaian, tentu masyarakat digiring untuk meyakini dan memercayai kebenaran penilaian tersebut.
4.3.4 Retorik Retorik berhubungan dengan cara penyajian informasi tertentu sehingga menjadi lebih efektif dalam memengaruhi atau mempersuasi persepsi pembaca. Strategi wacana pada tataran retorik dibagi menjadi empat bagian yang lebih khusus, yaitu deskripsi langsung dan laporan saksi mata, sumber dan kutipan, nomor, dan gaya bahasa. Pada berita pertama, tidak ditemukan adanya strategi wacana dengan menggunakan deskripsi langsung dan laporan saksi mata serta nomor. Berita pertama menggunakan strategi wacana pada tataran retorik berupa kutipan langsung sumber seperti yang terpada paragraf 1, kalimat 2, atau pada teras berita yang merupakan kutipan pernyataan Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra Ir. R. Sudirman, M.M. Kalimat yang dimaksud adalah “Saya berharap jangan sampai perda ini disusun hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi yang pada akhirnya merugikan kepentingan penyelamatan alam. Antara aspek ekonomi dan penyelamatan alam Bali harus balance,” tegasnya. Selain itu, juga terdapat kutipan langsung pada paragraf 4 berita pertama yang merupakan kutipan pernyataan ahli geomorfologi Unud R. Suryanto, yakni “Selama ini ada kesan tak
138
ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan sebuah investasi. Ada kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali,” ujarnya. Kedua kutipan langsung tersebut merupakan petikan pernyataan pihak yang memiliki kapasitas dan kualifikasi untuk menyampaikan pandangan. Dengan kapasitas tersebut, wartawan atau media berupaya menyampaikan bahwa kebenaran pandangan yang disampaikan dapat dipercaya. Selain itu, pandangan tersebut juga bersifat netral. Dengan strategi wacana ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa penyusunan ranperda RTRWP hanya didominasi oleh kepentingan ekonomi dan mengabaikan aspek penyelamatan alam Bali. Di samping itu, pembaca juga diarahkan untuk berpersepsi bahwa selama ini tidak ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kebijakan atau khususnya kelayakan investasi. Pertimbangan ilmiah merupakan hal yang dianggap memiliki tingkat kebenaran yang tinggi dan bersifat netral. Dengan tidak adanya pertimbangan ilmiah, besar kemungkinan kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang keliru dan hanya memperjuangkan kepentingan tertentu yang dalam hal ini adalah kepentingan ekonomi pihak tertentu dan mengabaikan keselamatan Bali. Selain kutipan langsung, juga terdapat kutipan tidak langsung di dalam berita pertama, yakni “Ahli geomorfologi Unud, R. Suyarto juga mengingatkan agar komponen masyarakat di Bali diberi ruang yang terbuka untuk memberikan sumbang saran dalam membuat aturan terhadap wilayahnya. Bali sebagai pulau kecil memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis sehingga pemetaan fungsi tanah di Bali haruslah jelas” (par. 3). Kutipan tak langsung juga
139
terdapat pada paragraf terakhir berita pertama yang juga berasal dari narasumber yang sama, yakni “R. Suyarto juga mengatakan perlu adanya sebuah evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasinya di lapangan. Sangat mungkin terjadi aturan main sudah ideal, namun konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tak terbangun” (par.5). Berdasarkan dua kutipan tidak langsung ini, wartawan atau media menyampaikan bahwa pandangan yang disampaikan melalui kutipan tidak langsung merupakan pandangan yang kebenarannya dapat dipercaya. Dikatakan demikian karena disampaikan oleh orang yang memiliki keahlian dalam bidang geomorfologi dan berasal dari perguruan tinggi yang ternama di Bali. Isi pernyataan yang dikutip juga mengandung beberapa pesan yang mengarahkan pandangan masyarakat tentang masalah tersebut. Pertama, dimunculkan kesan bahwa selama ini masyarakat Bali tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan atau pendapatnya dalam pembuatan aturan tentang pemanfaatan wilayah di Bali. Padahal, Bali merupakan pulai kecil yang rawan terhadap permasalahan lingkungan jika lingkungan tidak dikelola dengan baik. Kecilnya pelibatan masyarakat dalam membuat aturan penataan lingkungan membuat peluang terciptanya aturan yang tidak berpihak kepada penyelamat alam Bali menjadi besar. Selain memuat kritik terhadap kurangnya pelibatan masyarakat, kutipan tak langsung tersebut juga menggiring pemahaman pembaca bahwa selama ini, sangat besar kemungkin terjadinya ketidakkonsistenan pejabat publik dalam menegakkan aturan, padahal bisa saja aturan tersebut sebenarnya sudah baik. Dengan pandangan ini, masyarakat pembaca digiring untuk cenderung
140
menyalahkan pimpinan daerah sebagai pihak yang menjalankan aturan dan mengeluarkan kebijakan. Dalam berita pertama ditemukan beberapa gaya bahasa yang digunakan. Pertama, gaya bahasa ironi, yaitu dalam penyebutan “pasal bisnis” pada judul dan teras berita. Gaya bahasa ini tergolong dalam gaya bahasa ironi karena istilah pasal mengacu pada bagian dari undang-undang atau peraturan yang idealnya mengatur kepentingan bersama dan kebaikan seluruh pihak. Namun, frasa “pasal bisnis” bermakna sebaliknya, yakni aturan yang dibuat untuk kepentingan bisnis yang menguntungkan pihak tertentu semata dan mengabaikan kepentingan lain termasuk penyelamatan alam Bali. Gaya bahasa lain adalah “aturan main” yang tergolong dalam gaya bahasa metafora dan terdapat pada kalimat “Sangat mungkin aturan main sudah ideal, namun konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tak terbangun”. “Aturan main” yang dimaksud dalam konteks ini adalah peraturan pemerintah, khususnya peraturan daerah yang mengatur pengelolaan alam dan lingkungan Bali. Untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan, aturan tersebut yang semestinya dijadikan dasar dalam membuat keputusan. Pelanggaran terhadap aturan akan membuat “permainan” (pelaksanaan kebijakan) tidak dapat berjalan dengan baik sehingga dampaknya bagi Bali pun tidak akan baik. Pada berita kedua ditemukan beberapa strategi wacana pada level retorik. Berita kedua menggunakan strategi wacana pada tataran retorik berupa sumber dan kutipan langsung yang dapat ditemukan pada paragraf kedua, kalimat kedua, yaitu “Tidak ada pasal pesanan”, katanya ditemui di sela-sela rapat penutupan
141
evaluasi APBD Bali 2009 di Ruang Wisma Sabha. Yang dimaksud –nya pada kalimat itu adalah Ketua Bappeda Bali Nengah Suarca. Kutipan langsung itu ditulis untuk menyampaikan kepada pembaca bahwa telah ada wawancara langsung dengan narasumber yang memiliki kapasitas untuk berbicara mengenai topik yang sedang dibicarakan. Narasumber membantah anggapan bahwa dalam ranperda RTRWP terdapat pasal pesanan. Strategi wacana yang kedua adalah dengan kutipan langsung juga yang terdapat pada paragraf keempat, kalimat kedua, yakni “Segala rumusan berkaitan dengan pasal-pasal tersebut digodok di Biro Hukum dan HAM Provinsi Bali, katanya tergesa-gesa. Pada kutipan langsung ini, narasumber Ketua Bappeda Bali Nengah Suarca menjelaskan proses penyusunan ranperda RTRWP yang sedang dibahas. Penjelasan yang dibuat wartawan setelah mengutip secara langsung pernyataan narasumber dengan proposisi katanya tergesa-gesa menggiring pemahaman pembaca bahwa narasumber terburu-buru, bahkan terkesan menghindar dari wartawan. Strategi wacana yang ketiga adalah kutipan tak langsung yang terdapat pada paragraf ketiga, yakni Suarca menyatakan Ranperda RTRWP Bali merujuk UU 26/2007 tentang penataan ruang. Rujukan itu dijadikan pedoman dalam merevisi Perda 2/2005 tentang RTRWP Bali. Selanjutnya perumusannya diserahkan ke Badan Koordinasi Penataan Ruang Provinsi Bali. Hasil perumusannya digodok oleh sebuah tim bersama kelompok ahli. Kutipan tak langsung ini memaparkan dasar dan tata cara perumusan ranperda RTRWP yang sedang dibahas. Namun, penjelasan yang cukup terperinci dan prosedural ini
142
terkesan menjadi pernyataan normatif setelah wartawan menyampaikan kutipan langsung yang diikuti proposisi katanya tergesa-gesa pada paragraf setelahnya, yaitu paragraf empat kalimat terakhir. Dengan proposisi katanya tergesa-gesa, wartawan menggiring pemahaman pembaca bahwa narasumber tidak bersedia merespon lebih terperinci pertanyaan-pertanyaan terkait dengan pasal pesanan dan yang sejenis dengan itu. Strategi wacana yang keempat adalah strategi pada tataran retorik dengan menggunakan gaya bahasa yang dapat ditemukan pada teras berita pada kalimat Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot (par.1, kal.1). Kata disorot merupakan metafora yang makna sebenarnya adalah disinari atau diberikan cahaya. Dalam konteks ini, disorot dimaksudkan sebagai pusat perhatian atau menjadi fokus pembicaraan. Strategi wacana retorik yang kelima adalah penggunaan gaya bahasa pada kalimat Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila revisi Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan ‘sesak napas’ karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW No. 3/2005 maupun Bhisama PHDI (par.1, kal.3). Kata bopeng merupakan metafora yang digunakan untuk memberikan gambaran kepada pembaca bahwa saat ini Bali telah mengalami masalah. Bopeng secara leksikal berarti cacat yang berupa lubang-lubang (lekuk-lekuk) kecil pada kulit atau burik. Dengan menyebut bahwa Bali bopeng, wartawan mengarahkan pemahaman pembaca bahwa Bali telah cacat dan memiliki masalah. Dengan adanya revisi perda RTRWP, masalah alam Bali tersebut akan bertambah lagi karena aturan yang baik dan keputusan bersama
143
umat Hindu melalui PHDI yang didasari oleh ajaran nilai-nilai Hindu juga tidak dilaksanakan. Strategi wacana yang keenam juga merupakan gaya bahasa yang terdapat pada kalimat yang sama dengan sebelumnya, yakni Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila revisi Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan ‘sesak napas’ karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW No. 3/2005 maupun Bhisama PHDI (Par.1,kal.3). Pada kalimat tersebut, ungkapan sesak napas merupakan metafora. Frasa sesak napas secara harfiah bermaksa sulit bernapas. Pada konteks ini, sesak napas mengacu pada masalah yang sedang dialami Bali yang membuat Bali berada dalam kesulitan. Retorik berhubungan dengan cara penyajian informasi tertentu sehingga menjadi lebih efektif. Retorik digunakan dalam upaya memengaruhi pembaca atau penerima wacana. Dalam berita ketiga ditemukan beberapa strategi wacana pada tataran retorik sebagai berikut. Pada berita ketiga, wartawan menggunakan deskripsi langsung untuk menyampaikan kondisi kawasan ODTWK, khususnya akomodasi pada kawasan tersebut. Deskripsi langsung terdapat pada paragraf kelima dan keenam yang memaparkan adanya ratusan vila dan pondok wisata di kawasan tersebut khususnya kawasan Air Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok. Wartawan juga menggambarkan adanya sejumlah hotel yang menyediakan kamar melebihi ketentuan maksimal yakni 25 kamar.
144
Dalam berita ketiga terdapat dua buah kutipan tidak langsung pada dua paragraf terakhir berita, yakni paragraf tujuh dan delapan. Kutipan tidak langsung yang pertama adalah “Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Buleleng I Putu Tastra Wijaya didampingi Kabid Pengembangan Pariwisata Nyoman Dodi Irianto membenarkan adanya hotel berbintang atau hotel yang memiliki kamar lebih dari 25 buah dalam ODTWK di Tejakula dan Pancasari” (par.7). Kutipan ini menunjukkan bahwa paparan wartawan mengenai kondisi akomodasi dan upaya menyiasati aturan oleh investor memang benar. Pernyataan ini ditulis pada bagian akhir berita sebagai upaya wartawan meyakinkan bahwa berita yang ditulis memang benar dan objektif karena mengutip narasumber yang memiliki kapasitas untuk menyampaikan hal tersebut. Namun, pengutipan narasumber di bagian akhir berita sekaligus menunjukkan bahwa bagian awal hingga pertengahan berita dikonstruksi dengan pengetahuan dan pandangan wartawan. Kutipan tidak langsung yang kedua adalah “Tastra mengatakan pihaknya kini sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata atau vila di daerah yang masuk ODTWK. Karena diakui memang terdapat investor yang mencoba menyiasati peraturan agar bisa membangun sesuai dengan keinginannya.” Kutipan tak langsung ini juga memperkuat informasi yang sebelumnya telah disajikan dalam berita mengenai adanya upaya investor untuk menyiasati aturan demi keuntungan usahanya. Ketiga, kutipan langsung yang terdapat pada bagian paling akhir berita, yakni “Kami sedang melakukan kontrol sekaligus penataan, khususnya di daerah
145
ODTWK”, katanya. Kutipan langsung ini memiliki fungsi yang sama dengan dua kutipan tidak langsung sebelumnya yakni memperkuat keyakinan pembaca bahwa berita ini disusun dengan objektif dan dengan melakukan wawancara kepada narasumber yang memiliki kapasitas dalam topik tersebut. Dengan akan dilakukannya penataan sekaligus kontrol, secara implisit terdapat informasi bahwa saat ini ada pelanggaran dan tidak tertatanya kawasan ODTWK. Penggunaan nomor sebagai strategi wacana pada tataran retorik juga terdapat pada berita ketiga. Penggunaan nomor muncul sebanyak tiga kali di dalam berita, yakni pada paragraf 5, paragraf 6, dan paragraf 7. Nomor yang muncul pada paragraf tersebut sama, yakni nomor 25 yang disampaikan untuk menginformasikan jumlah kamar maksimal yang semestinya boleh dimiliki investor atau pengusaha akomodasi pariwisata. Pada berita empat ditemukan strategi wacana pada tataran retorik yang menggunakan kutipan tidak langsung, yakni “Tim perumusan kajian akademis Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa karena masih memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008.” Pada kalimat ini, tidak disebutkan subjek secara spesifik, tetapi yang disebutkan hanyalah tim perumusan kajian akademis Unud. Dengan penyebutan subjek seperti itu, pihak yang menyatakan pernyataan tersebut juga tidak terlalu jelas. Bentuk penyampaikan dalam kutipan tidak langsung juga memungkinkan adanya perubahan struktur dan makna pesan.
Dengan kalimat tersebut, pembaca digiring untuk memahami
bahwa dokumen RTRWP memang kedaluwarsa dan tidak relevan lagi.
146
Pada tataran gaya bahasa, ditemukan gaya bahasa yang mengandung maksud tertentu, yakni menggambarkan secara negatif kepala daerah jiga RTRWP ini diterapkan. Gaya bahasa tersebut terdapat pada kalimat “Mereka akan berlomba-lomba menentukan ODTW.” Yang dimaksud mereka dalam konteks ini adalah para kepala daerah di Bali. Berlomba-lomba menggambarkan bahwa para kepala daerah akan berkompetisi dalam hal jumlah untuk menentukan ODTW di wilayahnya masing-masing. Dengan demikian, semakin banyak investor yang masuk ke wilayah tersebut.
147
BAB V KOGNISI SOSIAL WARTAWAN DALAM BERITA TENTANG RTRWP BALI DALAM HARIAN BALI POST
Analisis kognisi sosial merupakan analisis penggunaan pengetahuan yang dimiliki pemroduksi wacana, dalam konteks ini wartawan dalam memproduksi berita. Analisis kognisi sosial merupakan gagasan utama dalam analisis wacana yang dikemukanan van Dijk. van Dijk (1993b) mengemukakan bahwa hubungan antara wacana dan masyarakat tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara yang disebut kognisi sosial. Dalam analisis kognisi sosial, analisis difokuskan kepada analisis terhadap enam jenis pengetahuan yang mungkin dilibatkan dalam pemroduksian wacana berita. Keenam jenis pengetahuan tersebut, yaitu pengetahuan personal, pengetahuan interpersonal, pengetahuan kelompok, pengetahuan institusional atau organisasional, pengetahuan nasional, dan pengetahuan kebudayaan. Dalam penelitian ini, tidak ditemukan keseluruhan bentuk penggunaan pengetahuan. Jenis-jenis pengetahuan yang digunakan dalam berita-berita tentang rancangan tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Bali meliputi pengetahuan nasional, pengetahuan kebudayaan, dan pengetahuan kelompok. Selanjutnya akan dibahas jenis-jenis pengetahuan yang ditemukan dalam berita RTRWP Bali dalam harian Bali Post.
147
148
5.1 Pengetahuan Nasional Dalam berita pertama, ditemukan penggunaan pengetahuan sebagai berikut. Pertama, pengetahuan nasional yang merupakan pengetahuan yang diketahui oleh masyarakat suatu negara dan diperoleh melalui sekolah, media massa, dan digunakan secara luas dalam komunikasi oleh masyarakat. Bagian wacana yang pemahamannya membutuhkan pengetahuan nasional adalah sebagai berikut. (1) Pasal. Pasal merupakan istilah yang digunakan dalam undang-undang atau peraturan resmi pemerintah. Setiap undang-undang atau aturan pemerintah mengandung sejumlah pasal. Setiap pasal mengandung suatu aturan atau informasi khusus yang terkait dengan aturan. Penyusunan undang-undang atau peraturan yang mengandung pasal-pasal dibuat dengan mekanisme tertentu. Undang-undang diputuskan pada tingkat
nasional. Sementara peraturan
pemerintah untuk tingkat daerah disusun berdasarkan aturan pada tingkat nasional. Penyusunan aturan pada umumnya melibatkan lembaga negara, baik eksekutif maupun legislatif. (2) RTRWP. RTRWP merupakan singkatan dari Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi. RTRWP merupakan produk aturan yang dibuat pada level provinsi dan disusun berdasarkan aturan yang berada pada tingkat nasional. Selanjutnya, (3) Bali. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang secara geografis berada di satu pulau bernama Pulau Bali. (4) Ranperda. Ranperda merupakan singkatan dari Rancangan Peraturan Daerah. Disebut sebagai rancangan karena peraturan ini masih dalam proses penyusunan dan pembahasan. Ranperda akan menjadi perda (peraturan daerah) apabila telah
149
selesai dibahas dan disahkan. (5) DPRD Bali. DPRD Bali perupakan singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali. DPRD Bali merupakan DPR pada tingkat provinsi. Terdapat DPR pada tingkat nasional yang disebut dengan DPR RI, dan terdapat DPRD pada tingkat kabupaten yang disebut DPRD kabupaten. (7) Sanksi. Pada berita yang dimaksud sanksi adalah bagian dari peraturan daerah tentang RTRWP yang mengatur hukuman atas pelanggaran aturan yang telah ditetapkan. Pada berita kedua, ditemukan beberapa jenis pengetahuan nasional yang digunakan wartawan atau media dalam menyampaikan informasi dalam topik dan sekaligus menggiring pemahaman pembaca agar memahami informasi seperti yang diharapkan media yang akan disajikan sebagai berikut. (1) Perda. Perda merupakan singkatan dari peraturan daerah.
Perda merupakan peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah, baik gubernur maupun bupati atau wali kota. Ranperda merupakan rancangan peraturan daerah yang dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubenur, bupati, wali kota). (2) RTRW. RTRW merupakan singkatan dari Rancangan Tata Ruang Wilayah. RTRW mengandung tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah, rencana struktur ruang wilayah, rencana pola ruang wilayah, penetapan kawasan strategis, arahan pemanfaatan ruang wilayah, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah. RTRWP merupakan RTRW Provinsi yang mengatur tata ruang wilayah provinsi tertentu.
150
Selanjutnya, (3) Bali. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang secara geografis berada di suatu pulau bernama Pulau Bali. (4) Pasal. Pasal merupakan istilah yang digunakan dalam perundang-undangan dan peraturan resmi pemerintah. Setiap perundang-undangan atau peraturan resmi pemerintah mengandung pasal-pasal yang menjadi bagian bab tertentu dan mangandung penjelasan atau aturan khusus. (5) Eksekutif. Eksekutif dapat dipahami sebagai salah satu pemerintah yang memiliki kekuasaan dan bertanggung jawab untuk menerapkan hukum dan menjalankan sistem pemerintah. Dalam konteks berita 2, yang dimaksud eksekutif adalah pemerintah Provinsi Bali, khususnya Gubernur Bali, Mangku Pastika. Selanjutnya, (6) UU. UU merupakan singkatan dari undang-undang yang merupakan hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur pemerintahan yang lainnya. Undang-undang berfungsi sebagai otoritas untuk mengatur, menganjurkan, menyediakan (dana), menghukum, memberikan, mendeklarasikan, atau membatasi sesuatu. Karena terdapat banyak undangundang, penyebutan undang-undang pada umumnya disertai dengan nomor dan tahun seperti yang terdapat pada berita, yakni UU 26/2007. Hal yang sama juga terjadi pada perda. (7) Biro. Istilah biro yang terdapat pada frasa Biro Hukum dan HAM Provinsi Bali mengacu kepada bagian dari instansi yang mengurusi urusan atau bidang tertentu. (8) HAM. HAM merupakan kependekan dari hak asasi manusia yang merupakan hak yang dimiliki seseorang sejak dalam kandungan dan berlaku secara universal. (9) Sanksi. Sanksi merupakan tindakan atau hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjiaan atau menaati ketentuan tertentu.
151
Pada berita ketiga (3), ditemukan beberapa penggunaan pengetahuan nasional. (1) ODTWK. ODTWK merupakan singkatan dari objek daya tarik wisata khusus. ODTWK merupakan segala sesuatu yang memiliki daya tarik tertentu yang lokasinya berada pada kawasan yang memerlukan pertimbangan dan perlakuan khusus dari sudut pelestarian lingkungan dan sangat potensial menjadi tujuan wisata.
(2) Ketentuan pembangunan di kawasan ODTWK. Ketentuan
pembangunan fasilitas atau akomodasi pariwisata di kawasan ODTWK semestinya mengikuti ketentuan tertentu. Meskipun tidak disebut secara jelas ketentuan yang dimaksud, pembaca diberikan informasi bahwa terdapat ketentuan tertentu dalam pembangunan akomodasi pariwisata di kawasan ODTWK. (3) Ranperda. Kata ranperda terdapat pada judul berita. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, ranperda merupakan rancangan peraturan daerah yang dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubenur, bupati, wali kota) yang setelah disahkan akan menjadi perda. Pada berita keempat (4) terkandung pengetahuan nasional, seperti RTRWP, pasal, ODTWK, RTRW, dan Bali sebagaimana yang juga digunakan pada beberapa berita lain. Namun, terdapat satu buah pengetahuan nasioanl yang belum terdapat pada berita lain, yakni gubernur, bupati/walikota. Pada berita empat gubernur, bupati/wali kota digambarkan akan memiliki wewenang untuk menentukan ODTW di wilayah masing-masing sehingga tiap kepala daerah tersebut akan menetapkan ODTW secara leluasa untuk mempermudah investor. Gubernur merupakan kepala daerah wilayah provinsi. Gubernur bersama wakilnya dipilih secara langsung oleh masyarakat di provinsi tersebut. Masa jabatan
152
Gubernur adalah lima tahun. Sementara itu, bupati adalah kepala daerah tingkat kabupaten. Jabatan bupati sejajar dengan wali kota yang merupakan kepala daerah untuk daerah kota. Bupati memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD kabupaten. Bupati dipilih dengan cara yang sama dengan gubernur, yakni dipilih bersama dengan wakilnya serta oleh rakyat di wilayah tersebut. Gubernur, bupati/wali kota merupakan jabatan politis, dan bukan pegawai negeri sipil.
5.2 Pengetahuan Kebudayaan Pengetahuan kebudayaan merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh anggota suatu kebudayaan. Dalam konteks ini istilah kebudayaan dipahami secara sederhana sebagai bahasa, agama, sejarah, kebiasaan, asal usul, atau penampilan karena melalui hal tersebut kebudayaan pada umumnya diidentifikasi. Dalam penelitian ini, ditemukan beberapa pengetahuan kebudayaan. Pengetahuan kebudayaan yang terdapat dalam berita pertama dapat disampaikan sebagai berikut. (1) Praktik membijaksanai aturan. Khalayak pembaca diasumsikan telah mengetahui bahwa sering terjadi aturan tidak dilaksanakan dengan dalih-dalih tertentu yang terkesan rasional dan benar, padahal sebenarnya hanya untuk kepentingan tertentu yang bersifat sempit. (2) Pertimbangan ilmiah. Pertimbangan ilmiah pada umumnya digunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan publik. Pertimbangan ilmiah tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh badan atau pihak tertentu yang memiliki kualifikasi dan kapasitas pada bidang tersebut.
153
Pengetahuan kebudayaan yang terdapat dalam berita kedua dapat dilihat pada beberapa bagian. (1) Pengetahuan kebudayaan terdapat pada frasa kearifan lokal Bali. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai kebudayaan lokal yang menjadi pandangan hidup yang dianut oleh komunitas masyarakat atau etnik tertentu. Meskipun bersifat lokal, tidak tertutup kemungkinan terdapat kearifan lokal yang sejalan dengan komunitas masyarakat lain di Indonesia sehingga nilai tersebut menjadi nilai budaya yang bersifat nasional. Di Bali, kearifan lokal Bali dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu dan kebudayaan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat Bali. (2) Danau Buyan. Pada konteks ini, danau Buyan bukan sematamata sebuah danau, namun bagi masyarakat Bali, danau merupakan tempat yang harus dijaga kelestarian dan kesuciannya. Danau sering menjadi salah satu tempat umat Hindu untuk melaksanakan ritual keagamaan khususnya yang berhubungan dengan kesuburan selain berfungsi sebagai sumber air dalam irigasi pertanian. Selain danau, gunung, hutan, dan laut juga memiliki nilai religius dan budaya bagi masyarakat Hindu di Bali sehingga kelestarian dan kesuciannya harus dijaga. Pengetahuan kebudayaan dan kelompok yang terdapat dalam berita 3 adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah pada paragraf 6, khususnya pada kalimat “Belakangan, daerah itu terus didatangi investor sehingga dikhawatirkan lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan dipenuhi vila” (par.6, kal.2). Frasa lereng-lereng bukit akan menjadi bermakna apabila pembaca memiliki seperangkat pemahaman kebudayaan sekaligus kelompok. Bukit bagi masyarakat Hindu dan Bali merupakan kawasan yang disucikan atau disakralkan. Terlebih lagi bukit di kawasan Danau Buyan yang di areal tersebut terdapat tempat suci dan
154
danaunya merupakan danau yang disucikan. Selain itu, juga menjadi sumber air bagi masyarakat khususnya untuk irigasi pertanian. Dengan menggunakan frasa lereng-lereng bukit wartawan membangun kesadaran orang Bali mengenai hal yang mungkin ditimbulkan apabila tidak dilakukan upaya pencegahan pembangunan akomodasi pariwisata oleh investor secara bebas tanpa pengawasan dan ketaatan terhadap aturan yang berlaku. Pengetahuan kebudayaan yang lain adalah mengenai adanya kebiasaan perilaku menyiasati aturan atau ketentuan agar terhindar dari beban yang lebih berat atau sanksi tertentu. Hal ini terdapat pada paragraf 4 “Namun dalam kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tidak memiliki alat kontrol yang tegas” (par.4, kal.1). Adanya kebiasaan menyiasati aturan ini telah menjadi perilaku atau pengetahuan bersama masyarakat. Dengan demikian, oleh van Dijk, kebiasaan ini pun digolongkan ke dalam pengetahuan kebudayaan.
5.3 Pengetahuan Kelompok Pengetahuan kelompok dapat dipahami sebagai pengetahuan yang dimiliki bersama antaranggota kelompok, pengetahuan abstrak yang diperoleh anggota kelompok, seperti kelompok profesional, pergerakan sosial, atau aliran tertentu. Pengetahuan kelompok yang terdapat dalam berita satu dapat disampaikan sebagai berikut. (1) Krama merupakan istilah bahasa Bali yang mengacu pada anggota komunitas atau organisasi adat lokal Bali yang keanggotaannya pada umumnya didasarkan pada wilayah. Organisasi adat ini bersifat homogen dari segi
155
agama, yakni Hindu. (2). Keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keselamatan alam merupakan hal yang harus dilakukan. Hal ini sesuai dengan konsep tri hita karana yang menjadi pegangan hidup masyarakat Bali yang beragama Hindu, yakni menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan sesamanya. Pengetahuan kelompok juga terdapat dalam berita 2 yang berjudul Revisi Perda RTRW Inisiatif Eksekutif antara lain sebagai berikut. (1) Bhisama. Bhisama merupakan istilah yang dikenal dalam komunitas masyarakat yang beragama Hindu. Bhisama mengacu pada keputusan bersama yang memiliki kekuatan mengikat yang dibuat berdasarkan nilai dan ajaran agama Hindu. (2) PHDI. PHDI merupakan singkatan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia. PHDI merupakan organisasi umat Hindu Indonesia yang menangani, baik kepentingan keagamaan maupun sosial umat Hindu. Kepengurusan PHDI berjenjang, yaitu mulai dari kepengurusan nasional, provinsi, hingga kabupaten. Pengetahuan kelompok juga terdapat pada berita keempat, yakni pura khayangan jagat. Secara umum, pura dikenal sebagai tempat suci umat Hindu. Namun, jenis pura khayangan jagat belum banyak dikenal, kecuali oleh kelompok umat Hindu. Pura khayangan jagat merupakan pura yang bersifat universal atau umum. Dengan kata lain, siapa pun boleh bersembahyang ke pura tersebut.
156
BAB VI KONTEKS SOSIAL BERITA TENTANG RTRWP BALI DALAM HARIAN BALI POST
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai konteks sosial wacana berita tentang rancangan tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Bali. Dalam analisis konteks sosial ini, dipaparkan beberapa aspek konteks sosial yang meliputi struktur sosial, struktur institusi atau organisasi, hubungan antar kelompok, dan struktur kelompok.
6.1 Struktur Masyarakat Pada bagian ini yang dimaksud struktur masyarakat adalah sistem keyakinan, prinsip, norma yang berlaku di masyarakat, seperti demokrasi, kapitalisme, pancasila, atau bentuk-bentuk keyakinan yang lebih lokal. Pada penelitian ini peneliti, pemaparan mengenai struktur masyarakat dibatasi hanya pada aspek yang memiliki hubungan langsung dengan penelitian ini yang meliputi nilai masyarakat secara nasional yang didasari oleh nilai-nilai Pancasila. Di samping itu, juga keyakinan masyarakat yang bersifat lokal, khususnya nilai-nilai lokal masyarakat Bali.
6.1.1 Pancasila Kata pancasila berasal dari bahasa Sanskerta yaitu panca yang berarti lima dan sila yang berarti prinsip atau asas. Pancasila berkedudukan sebagai ideologi
156
157
bangsa dan negara Indonesia dan sekaligus sebagai asas persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia (Kaelan, 2004: 96). Secara historis, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia (Kaelan, 2014: 3). Terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Pancasila dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia dengan menggali nilainilai yang dimiliki bangsa Indonesia dan disintesiskan dengan pemikiranpemikiran besar dunia. Nilai-nilai yang dirumuskan menjadi Pancasila merupakan nilai-nilai yang memang telah ada dalam budaya bangsa Indonesia sebelum negara terbentuk. Kebudayaan yang dimaksud dalam konteks ini dalam wujud kompleksitas gagasan, ide, dan pemikiran manusia, yang dalam hal ini bersifat abstrak. Dari berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebenarnya dapat dikembalikan pada dua macam kedudukan dan fungsi Pancasila yang pokok. Kedua kedudukan dan fungsi itu adalah sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia dan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia (Kaelan, 2014: 102). Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai dasar filsafat negara, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup, yaitu berupa nilai-nilai adat istiadat dan kebudayaan serta sebagai causa materialis Pancasila. Pancasila disahkan sebagai dasar negara Republik Indonesia setelah bangsa Indonesia mendirikan negara. Kaelan (2014:108) menyebutkan bahwa dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik
158
Indonesia dapat ditemukan pada pembukaan UUD 1945 alenia IV yang berbunyi “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undangundang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan utama dirumuskannya Pancasila adalah sebagai dasar negara. Pancasila sebagai pandangan hidup berfungsi sebagi kerangka, baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam interaksi antarmanusia dalam masyarakat serta alam sekitar (Kaelan, 2014 103). Sebelum Pancasila dirumuskan sebagai dasar negara serta ideologi negara, nilai-nilainya telah terdapat pada bangsa Indonesia dalam adat istiadat, budaya, dan agama-agama sebagai pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pandangan-pandangan yang telah ada dalam masyarakat Indonesia tersebut kemudian menjelma menjadi pandangan hidup bangsa. Pancasila sebagai pendangan hidup bangsa mengandung konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Selain itu, juga terkandung dasar pikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Dengan kata lain, Pancasila merupakan cita-cita moral yang memberikan pedoman dan kekuatan bagi bangsa untuk berperilaku luhur dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
159
6.1.2 Nilai-nilai Lokal Masyarakat Bali Bali merupakan sebuah nama wilayah yang juga mengacu kepada komunitas masyarakat dengan budaya tertentu. Putu Wijaya (1999: 64) menyatakan bahwa Bali atau kebalian bukanlah kesukuan, melainkan konsep hidup, sesuatu yang sangat khas Bali. Sujana (dalam Pitana (ed.), 1994: 48) menyampaikan bahwa masyarakat Bali memiliki kesadaran yang kuat mengenai (1) adanya kesatuan budaya Bali, (2) bahasa Bali, dan (3) kesatuan agama Hindu. Di samping itu, masyarakat Bali juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran mengenai sejarah, memiliki ikatan sosial dan solidaritas yang kuat yang berpusat pada pura, organisasi sosial, dan sistem komunal. Perkembangan industri pariwisata kemudian menimbulkan perubahan pada beberapa aspek kehidupan masyarakat Bali. Bali yang semula dikenal sebagai komunitas masyarakat yang homogen, agraris, tradisional, dan memegang teguh tradisi dihadapkan pada godaan perubahan. Namun, apa pun bentuk perubahan tersebut, masyarakat Bali memiliki nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman dan pandangan hidup masyarakat. Dharmayuna (1995:12) mengutip pandangan Redfield menyatakan bahwa tradisi dapat dipilah menjadi tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi besar bersumber dari pemikiran reflektif yang diperoleh di sekolah-sekolah, tempat ibadah. Sementara, tradisi kecil merupakan tradisi yang bersumber dari pemikiran yang tidak reflektif dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Redfield juga membedakan antara peradaban kelas satu dan peradaban kelas dua. Suatu kebudayaan disebut peradaban kelas satu apabila terjadi proses kesinambungan
160
peradabannya sendiri meskipun telah terjadi kontak dengan peradaban lain. Peradaban kelas dua mengacu pada peradaban pribumi atau lokal yang digantikan oleh peradaban lain (asing) atau saat tradisi besar tertanam secara tidak lengkap. Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali merupakan peradaban kelas satu. Kebudayaan Hindu sebagai tradisi besar tidak menekan atau menghilangkan peradaban pribumi atau kebudayaan petani. Budaya asli masyarakat Bali saling mendukung dengan budaya Hindu sehingga memunculkan budaya baru yang tidak saling mendominasi satu sama lain. Berdasarkan perpaduan tradisi besar dan tradisi kecil, Dharmayuda (1995:12) menyebutkan bahwa peradaban Bali dapat dibagi menjadi tradisi pertanian (tradisi kecil), tradisi Hindu (tradisi besar), dan tradisi global (tradisi besar). Tiap-tiap peradaban memiliki karakteristik tertentu. Tradisi kecil (petani) memiliki ciri-ciri, antara lain ada ikatan pribadi dengan tanah, keterikatan pada desa dan komunitas lokal, pentingnya keluarga secara sentral, perkawinan sebagai persiapan bagi kemakmuran ekonomis, keharusan untuk menghasilkan tanaman penghasil uang, dan sebagainya. Tradisi besar (Hindu) secara prinsip tidak bertentangan dengan ciri budaya petani karena tradisi Hindu lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat petani (India). Secara umum, ciri-ciri tradisi Hindu tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, mengupayakan keharmonisan dengan alam. Kedua, keturunan murupakan pusat dan tujuan keluarga. Ketiga, menekankan pentingnya persembahan (yadnya) yang ditujukan kepada Tuhan, Dewa, leluhur, orang suci, dan bhutakala dengan perantara para pendeta yang mempunyai kedudukan
161
terhormat. Keempat, tujuan kehidupan manusia adalah mencapai kesejahteraan di dunia dan bersatu dengan Tuhan (Brahman) melalui konsepsi dharma (kebajikan), artha (materi), kama (kesenangan), dan moksa (kebebasan tertinggi/menyatu dengan Tuhan). Kelima, membagi tingkat kehidupan dalam masyarakat menjadi empat asrama (tingkat), yakni kehidupan berguru (brahmacari), hidup berkeluarga (grihasta), hidup mengasingkan diri (vanaprastha), dan hidup berkelana (samnyasa). Keenam, menyelenggarakan upacara kematian merupakan satu hal yang sangat sakral dan ini merupakan proses penyucian roh manusia. Dalam konteks penjaga keharmonisan, Hindu menganal tri hita karana. Tri hita karana berasal dari kata tri yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana
yang berarti penyebab. Tri hita karana dapat dipahami sebagai tiga
penyebab kebahagiaan. Ketiga penyebab kebahagiaan atau kesejahteraan tersebut terletak pada keharmonisan hubungan manusia dengan tiga aspek, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan alam dan lingkungan, serta hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Tri hita karana menjadi filosofi dalam menata Bali ke depan dan harus di implementasikan (Bali Post, 2004: 17). Tradisi besar global dalam konteks ini dipahami sebagai peradaban dunia modern yang telah merambah kehidupan masyarakat di seluruh dunia termasuk Indonesia dan khususnya masyarakat Bali. Kehadiran teknologi dan media massa memungkinkan arus pertukaran informasi terjadi dalam waktu cepat dan mencapai jumlah massa yang tidak terbatas, sehingga interaksi kebudayaan pun menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Selain itu, sebagai destinasi pariwisata, Bali akan
162
berinteraksi dengan wisatawan yang berasal dari berbagai latar budaya yang berbeda. Perkenalan masyarakat Bali dengan budaya luar, baik melalui media massa maupun interaksi dengan wisatawan, akan mendorong terjadinya perubahan kebudayaan pada masyarakat Bali. Dhamayuda (1995: 15) menyebutkan bahwa unsur-unsur yang menjadi karakter peradaban global adalah teknologi, sistem pendidikan
formal,
sains
(ilmu
pengetahuan),
pranata-pranata
ekonomi
antarbangsa, sistem administrasi dan organisasi dengan birokrasi, dan media massa.
Keseluruhan
unsur
peradaban
global
tersebut
mendorong
dan
mempercepat terjadinya perubahan pada tatanan kebudayaan masyarakat Bali. Sujana (dalam Pitana (ed.), 1994: 49) menggambarkan beberapa sifat dan karakter masyarakat Bali yang dianggap dominan selama ini dalam perspektif manusia yang bermakna individual atau kolektif. Pertama, terbuka. Seiring dengan perkembangan sejarah, masyarakat Bali terbiasa menghadapi pergaulan dan interaksi dengan suku bangsa, bahkan bangsa lain. Hal inilah yang menumbuhkan sikap keterbukaan orang Bali dalam menghadapi masyarakat luar termasuk budaya luar. Hal yang sama juga dikemukakan Mantra (1990: 11) bahwa kebudayaan Bali, sejak masa lampau hingga kini, senantiasa menunjukkan dirinya sebagai kebudayaan yang terbuka. Kedua, ramah dan luwes. Masyarakat Bali digambarkan telah terbiasa menghadapi perbedaan, baik antar kelompok masyarakat Bali maupun dengan kelompok masyarakat lain. Hal inilah yang menumbuhkan sifat luwes dan fleksibel masyarakat Bali. Ketiga, jujur. Kejujuran masyarakat Bali berhubungan erat dengan nilai keyakinan terhadap salah satu nilai agama Hindu, yakni hukum karma. Meskipun
163
saat ini nilai kejujuran ini tengah memudar seiring dengan timbuhnya penyimpangan yang dilakukan masyarakat Bali, nilai-nilai tersebut masih berlaku dan diyakini oleh masyarakt Bali. Keempat, kreatif dan estetis. Masyarakat Bali memiliki sifat kreatif dalam penciptaan budaya dan seni. Hasil kreasi berkesenian masyarakat Bali yang menjadi daya tarik wisatawan sekaligus menjadikan Bali semakin dikenal. Kelima, kolektif. Masyarakat Bali memiliki sifat kolektif yang kuat karena dilahirkan dan tumbuh dalam sistem sosial yang menekankan kebersamaan dan sistem interaksi primer dalam adat, kekerabatan, dan sistem kelompok (kasta). Keenam, kosmologis. Masyarakat Bali sangat memperhatikan keseimbangan, meliputi keseimbangan antara material dan spiritual, manusia dengan Tuhan, alam, dan masyarakat sebagaimana tercermin dalam konsep tri hita karana. Ketujuh, masyarakat Bali digambarkan sebagai masyarakat yang berbudaya dan religius. Masyarakat Bali sering disibukkan dengan ritual agama (panca yadnya) yang sangat kompleks. Kedelapan, manusia Bali dianggap memiliki sifat moderat, yakni sifat yang tidak radikal, tetapi tidak lembek. Yang paling menonjol di antara beberapa karakteristik masyarakat Bali adalah kebudayaannya. Selain menjadi sifat dan perilaku hidup masyarakt Bali, kebudayaan juga menjadi daya tarik wisata yang menjadikan Bali berbeda dengan destinasi wisata lainnya. Sehubungan dengan itu, sejak 1974, pemerintah daerah Bali melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 3 memperkenalkan konsep pariwisata budaya. Dengan konsep pariwisata budaya diharapkan perkembangan pariwisata Bali akan mengutamakan pengembangan objek wisata yang sebesar-besarnya
164
mendukung
nilai-nilai
budaya
masyarakat
(Parimartha,
2013:
103).
Pengembangan pariwisata budaya tersebut memiliki tujuan, yakni menciptakan iklim dan kondisi yang sehat bagi pembangunan kepariwisataan Bali. Di samping itu, mempertahankan nilai-nilai dan ciri khas kebudayaan, kesucian agama, dan keindahan alam Bali, mencegah pengaruh-pengaruh buruk yang mungkin ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan kepariwisataan. Selain nilai-nilai yang telah dipaparkan, akhir-akhir ini terdapat ungkapan yang sangat dikenal di Bali, yakni “Ajeg Bali”. Ungkapan ini digunakan secara luas dalam berbagai pemaknaan. Namun, secara umum, “Ajeg Bali” merupakan strategi wacana dan strategi kebudayaan yang digunakan masyarakat Bali untuk menghadapi berbagai tantangan yang merupakan akibat ikutan dari interaksi dengan budaya luar melalui pariwisata, media massa, termasuk arus manusia. Atmaja (2010) menyebutkan bahwa slogan ajeg Bali mulai riak-riak terdengar setelah bom Bali Oktober 2002 yang berdentum di Kuta. Pemahaman mengenai konsep ajeg Bali pada awalnya tidak begitu jelas, bahkan cenderung dipahami dengan berbeda-beda. Bali Post kemudian menerbitkan edisi khusus yang terkait dengan ini pada 16 Agustus 2003 yang sekaligus dikaitkan dengan edisi khusus ulang tahunnya. Edisi khusus ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul Ajeg Bali Sebuah Cita-cita (2004). Ajeg Bali dapat dipamahi dalam tiga tataran. Pertama, tataran individu, yakni kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural. Kedua, pada tataran lingkungan kultural. Konsep ajeg Bali diharapkan mampu mendorong terciptanya lingkungan budaya Bali yang bersifat inklusif,
165
multikultural, dan selektif terhadap pengaruh luar. Ketiga, pada tataran proses kultural. Ajeg Bali dipahami sebagai interaksi manusia Bali dengan lingkungan budaya Bali untuk menciptakan produk-produk atau penanda budaya baru melalui suatu proses tertentu dengan mempertimbangkan kearifan lokal, nilai budaya, serta ruang dan waktu (Atmaja, 2012: ix – x). Dwipayana (2005: 47 – 48) menguraikan bahwa konsep ajeg Bali didukung dan diperkuat oleh tiga aktor utama yang masing-masing memiliki silsilah pengetahuan dan basis sosial ekonomi yang berbeda-beda. Pertama adalah kelompok dengan perspektif konservatisme-romantik. Ciri terpenting pandangan ini adalah konservatisme dan romantik. Konservatisme mengacu kepada adanya harapan Bali yang tidak berubah (statis). Perubahan, dalam konteks ini akan dianggap sebagai gangguan. Di pihak lain, romantik dapat dilihat dari solusi yang diutamakan dalam menghadapi perubahan, yakni dengan kembali pada pengaturan tertib sosial yang sudah ada (tradisi-dresta). Sebagai implikasi dari pandangan ini, ajeg Bali diarahkan untuk menumbuhkan kembali politik kebangsawanan yang ahir-akhir ini mulai memudar. Kedua, tafsir ketertiban yang merupakan turunan gagasan fungsionalismestruktural. Dalam hubungan ini, masyarakat dan pranata sosial dipandang sebagai sistem yang seluruh bagiannya saling bergantung dan bekerja sama untuk menciptakan keseimbangan.
Dengan demikian, ketegangan, perbedaan, dan
konflik yang dapat menimbulkan gangguan atas keseimbangan harus dihindari. Ketiga, kelompok invensi kapitalisme pasar. Dalam konteks ini, konsep ajeg Bali dianggap sebagai penciptaan pihak tertentu untuk kepentingan ekonomi.
166
Ajeg Bali dipandangan sebagai kreativitas aktor modern, baik industri media, maupun biro perjalanan menggunakan simbol ajeg Bali untuk meraih keuntungan. Beberapa pandangan mengenai ajeg Bali tersebut hidup dalam masyarakat Bali dan dimaknai sesuai dengan kapasitas dan kepentingannya. Namun, yang tidak kalah penting dari konsep tersebut adalah munculnya kesadaran kolektif masyarakat Bali untuk menghadapi tantangan budaya luar. Naradha (dalam Bali Post, 2004) mengemukakan: “Konsep ajeg Bali Kami terus wacanakan. Sasarannya, agar tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat Bali untuk senantiasa menjaga Bali dan membangunnya dalam konteks negara kesatuan republik Indonesia.” Naradha (dalam Bali Post, 204: iii) juga menyampaikan bahwa untuk mencapai ajeg Bali pemerintah daerah Bali, legislatif, yudikatif, pemerintah daerah kabupaten dan kota harus memiliki kebijakan yang memihak kepada budaya, lingkungan, dan masyarakat Bali. Selain itu, masyarakat dan pengusaha bersinergi untuk mendukung hal tersebut.
6.2 Struktur Institusi atau Organisasi 6.2.1 Struktur Organisasi Pers Bali Post Institusi atau organisasi dapat dipahami sebagai sekumpulan orang yang memiliki suatu cita-cita atau tujuan usaha bersama, dan upaya pencapaiannya dilakukan melalui kerja sama struktural (Suhandang, 2004: 43). Organisasi juga dapat dipahami sebagai hal pembentukan manusia dalam upaya melaksanakan
167
atau mencapai hal-hal tertentu yang tidak mungkin dilaksanakan secara individual (Winardi, 2003: 1). Dalam rangka mencapai tujuan organisasi diperlukan adanya pengelolaan atau manajemen organisasi. Berdasarkan beberapa pandangan, Suhandang (2004: 44 – 45) menyampaikan bahwa fungsi-fungsi manajemen yang menjadi aktivitas organisasiu. Pertama, perencanaan. Perencanaan merupakan pemikiran dan pertimbangan yang dilakukan berdasarkan fakta dalam merangka mencapai tujuan organisasi. Kedua, pengorganisasian. Pengorganisasian merupakan penyusunan struktur, pembangunan fungsi dan posisi bagi orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan pencapaian tujuan, serta pembagian tugas dan jabatan sesuai dengan formasi yang tersusun dalam strukturnya.
Ketiga, penggerakan. Penggerakan
merupakan kegiatan yang menggerakkan orang beserta fasilitas penunjang agar penyelenggaraan pencapaian tujuan itu berjalan dengan lancar sesuai dengan yang telah direncanakan. Keempat, pengawasan atau pengendalian. Pengawasan merupakan kegiatan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, pengawasan juga berfungsi untuk menjaga kelancaran kerja dari penyimpangan yang mungkin terjadi. Organisasi termasuk pers akan membentuk struktur organisasi tertentu untuk mencapai tujuannya. Struktur dalam organisasi tersebut ditandai dengan adanya beberapa hal. Satu, herarki yang merupakan susunan tingkatan kewajiban dan wewenang. Dua, posisi, yakni tempat atau kedudukan untuk melaksanakan kewajiban dan wewenang. Tiga, fungsi. Fungsi merupakan tugas yang berhubungan dengan pelaksanaan kewajiban terkait dengan tugas pada bidang
168
tertentu. Keempat, peran sosial. Peran sosial merupakan kegiatan yang didasarkan pada tugas-tugas tertentu. Kelima, norma atau budaya yang merupakaan aturan pelaksanaan tugas-tugas (Suhandang, 2004: 47). Pers merupakan organisasi yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Jurnalistik dalam konteks ini dipahami sebagai kegiatan pelaporan peristiwa atau hal kepada khalayak dengan menggunakan media massa sebagai salurannya. Untuk mencapai tujuan ini, pers, khususnya dalam hal ini surat kabar Bali Post juga memanfaatkan sistem organisasi. Bali Post juga memiliki struktur organisasi tertentu yang disertai pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang dalam pelaksanaan tugas masing-masing. Keseluruhan bagian organisasi ini menjalankan fungsi dan perannya masing-masing dalam upaya mencapai tujuan bersama organisasi. Selaku produsen, layaknya pers umumnya, Bali Post juga melakukan kegiatan industri berupa pencarian, pengumpulan, pengolahan, dan penyajian informasi dalam bentuk produk jurnalistik yang terdiri atas berita, komentar atau pandangan, dan iklan (Suhandang, 2004: 51). Berdasarkan sifat dan bentuk produk jurnalistik, terdapat tiga macam informasi, yaitu bersifat visual, seperti yang terdapat pada surat kabar dan media cetak lain; auditif, seperti informasi yang disampaikan melalui radio; dan audio visual, seperti yang ditayangkan melalui televisi. Berdasarkan jenis sifat dan produk jurnalistik ini, Bali Post merupakan media yang bersifat visual. Bali Post merupakan surat kabar harian ibu kota Provinsi Bali. Harian Bali Post merupakan harian terbesar di Kota Denpasar dan merupakan salah satu
169
harian terbesar di Bali. Slogan yang diusung oleh Bali Post adalah “Pengemban Pengamal Pancasila”. Pemilik surat kabar Bali Post adalah Kelompok Media Bali Post. Koran ini didirikan oleh Ketut Nadha pada 16 Agustus 1948. Namun, saat itu, nama harian ini adalah Suara Indonesia yang merupakan cikal bakal adanya Bali Post. Media ini sempat harus berganti nama menjadi Suluh Indonesia pada tahun 1966 dan menjadi Suluh Marhaen pada 1 Juni 1966 sampai dengan 1 Mei 1971. Kemudian, sejak 1 September 1971, Ketut Nadha mendirikan PT Bali Press dan menerbitkan harian umum Bali Post. Sejak diterbitkan pertama kali, Bali Post menggunakan slogan dan motto tagline “Pengemban Pengamal Pancasila”. Sepeninggal Ketut Nadha, kepemimpinan Kelompok Media Bali Post ditangani oleh putranya, yakni Satria Naradha yang mengembangkan Kelompok Media Bali Post (KMB) menjadi lebih luas mencapai berbagai segmen, yaitu mulai dari anak hingga dewasa. Monopoli kepemilikan sebuah media, seperti yang terjadi pada Bali Post bukan hal yang asing di Indonesia. Beberapa media nasional, misalnya, kepemilikannya juga didominasi oleh pihak tertentu. Monopoli kepemilikan ini tidak selalu berimplikasi negatif bagi pemberitaan media tersebut. Kusumaningrat (2007: 96 – 97) menyatakan bahwa surat kabar yang kepemilikannya dimonopoli oleh pihak tertentu hampir selalu kuat secara finansial. Dengan demikian, media tersebut memiliki sarana untuk mengembangkan dan memelihara standar pemberitaan dan redaksional secara ideal.
170
Di sisi lain, terdapat juga kesadaran bahwa modal akan sangat kuat memengaruhi arah dan cara pemberitaan. Pada bagian yang berbeda, khususnya berbicara
mengenai
pengaruh
pemasang
iklan
terhadap
pemberitaan,
Kusumaningrat (2007: 98) menyebutkan bahwa pemasang iklan memiliki peluang untuk memengaruhi arah pemberitaan. berdasarkan hal tersebut, disarankan agar media lebih kuat menghadapi pengaruh tersebut karena dengan semakin baiknya sebuah media massa akhirnya bukan media massa yang membutuhkan iklan, melainkan iklan yang membutuhkan media massa. Pandangan mengenai monopoli kepemilikan modal media massa juga disampaikan oleh Sudibyo (2009: 53). Sudibyo menyatakan bahwa sulit menjadikan ranah penyiaran sebagai arena pembentukan public civility ketika pemerintah kembali menjadi penjamin establishment kepentingan modal, ketika hampir tidak ada kekuatan yang mampu menghambat transformasi ranah penyiaran sebagai sepenuhnya ranah komersial.
Piliang (2009: 133) juga
menyatakan bahwa terdapat dua kepentingan utama di balik media massa, yaitu kepentingan ekonomi dan kepentingan kekuasaan. Kepentingan ekonomi dan kekuasaan ini yang akan menjadikan sulit untuk menjalankan fungsinya sebagai ruang publik yang netral, jujur, dan berimbang. Ketika media dimonopoli oleh pihak tertentu, wartawan juga akan mengalami dilema tertentu saat idealisme sebagai wartawan bertentangan dengan kepentingan pemilik modal. Wibowo (2009: 4) menyebutkan bahwa selalu terjadi dialektika yang dikotomis antara idealisme wartawan dan institusionalsme pers, yang sering kali justru mengabaikan idealisme wartawan. Dengan demikian,
171
sebagai media yang kepemilikannya didominasi oleh pihak tertentu, Bali Post cukup potensial untuk dimonopoli oleh pihak tertentu dalam menyampaikan pandangan dan kepentingannya. Monopoli ini akan berimplikasi pada topik, cara, serta arah pemberitaan dan isi media secara keseluruhan.
6.2.2 Struktur Pemerintahan Daerah Indonesia merupakan negara yang terbagi menjadi beberapa provinsi. Dalam sebuah provinsi terdapat beberapa daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki pemerintahan daerah yang diatur berdasarkan undang-undang. Pemerintah daerah merupakan penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi. Sementara pemerintah daerah kabupaten terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Pemerintah daerah, sebagai bagian dari pemerintah pusat, memiliki kewenangan tertentu yang diatur dalam undang-undang. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala yang meliputi (1) perencanaan dan pengendalian pembangunan; (2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; (4) penyediaan sarana dan prasarana umum; (5)
172
penanganan bidang kesehatan; (6) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (7) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; (8) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (9) fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; (10) pengendalian lingkungan hidup; (11) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (12) pelayanan kependudukan dan catatan sipil; (13) pelayanan administrasi umum pemerintah; (14) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (15) penyelenggaraan layanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan (16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Selain hal wajib tersebut terdapat pula urusan yang bersifat pilihan. Urusan pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi kekhasan dan potensi keunggulan daerah yang bersangkutan. Sementara itu, pasal 22 Undang-Undang Nomor 32, Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan dalam penyelenggaraan otonomi, daerah mempunyai sejumlah kewajiban. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah (1) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan negara Republik Indonesia; (2) meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat; (3) mengembangkan kehidupan demokrasi; (4) mewujudkan keadilan dan pemerataan; (5) meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; (6) menyediakan fasilitas layanan kesehatan; (7) menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum
173
yang layak; (8) mengembangkan sistem jaminan sosial; (9) menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; (10) mengembangkan sumber daya produkktif daerah; (11) melestarikan lingkungan hidup; (12) mengelola administrasi kependudukan; (13) melestarikan nilai sosial budaya; (14) membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan (15) kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
6.2.3 Struktur Desa Adat Parimartha (2013:24) menyatakan bahwa ada dua klasifikasi pokok yang menjadikan munculnya kelompok masyaraat desa, yakni (1) prinsip hubungan kekerabatan atau genealogis dan (2) prinsip hubungan tinggal dekat atau terirotial. Namun, ahli antropologi Koentjaraningrat menambahkan bahwa masih ada dua prinsip hubungan yang lain, yakni (3) prinsip tujuan khusus, yang tidak disebabkan oleh hubungan kekerabatan atau tinggal dekat, tetapi karena kebutuhan lain dan (4) adalah prinsip hubungan yang datang dari atas (pemerintah) atau raja. Prinsip hubungan yang keempat merupakan prinsip hubungan yang menyebabkan adanya desa dinas di Bali. Desa dinas merupakan bagian terkecil pemerintah negara Indonesia yang dibentuk untuk kepentingan pemerintah. Sementara itu, desa adat yang dikenal di Bali didasari oleh prinsip hubungan kekerabatan dan prinsip hubungan tinggal dekat. Di Bali terdapat dua organisasi desa yang berbeda secara substansial dan fungsional, yaitu desa adat dan desa dinas. Masing-masing mempunyai struktur
174
dan fungsi sendiri, sehingga sifat keterikatan anggota masyarakat terhadap organisasi itu berbeda pula. Gorda (1999: 2) menyatakan bahwa fungsi utama desa adat adalah mengonsepsikan dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Pura khayangan tiga merupakan salah satu unsur yang mengikat rasa kesatuan warga desa adat. Orang Bali yang tidak beragama Hindu meskipun bertempat tinggal di wilayah teritorial sebuah desa adat, tidak bisa menjadi anggota desa adat. Warga tersebut hanya dapat menjadi anggota dari desa dinas. Setiap desa adat memiliki awig-awig desa adat
yang merupakan
peraturan dan ketentuan dasar yang menjadi pedoman perilaku seluruh krama desa adat di dalam kehidupan bersama (Gorda, 1999: 2). Dalam penyusunan awig-awig desa adat,
sangkep krama desa adat harus berpedoman pada catur
dresta (empat ketentuan). Pertama, sastra dresta yang merupakan ketentuanketentuan yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Kedua, purwa dresta, yaitu ketentuan-ketentuan yang bersumber dari tradisi atau kebiasaan yang masih berlaku; Ketiga, loka dresta merupakan ketentuan-ketentuan yang bersumber dari pandangan-pandangan atau saran-saran krama desa adat. Keempat, desa dresta merupakan ketentuan-ketentuan yang bersumber dari pandangan yang berlaku khusus di lingkungan desa adat yang bersangkutan. Gorda (1999: 3) menyampaikan bahwa tugas desa adat meliputi hal-hal berikut. Pertama, mengatur hubungan antara krama desa adat
dan pura
khayangan tiga milik desa adat. Kedua, mengatur pelaksanaan upacara keagamaan (panca yadnya) termasuk mengatur pernggunaan kuburan. Ketiga,
175
menanamkan nilai-nilai agama Hindu dan budaya melalui sangkep desa adat. Keempat, mengorganisasikan krama desa adat dalam pembangunan desa adat termasuk pemeliharaan tempat suci milik desa adat, dan mendamaikan perselisihan di antara sesama krama desa adat. Kelima, mengurus tanah dan memelihara barang milik desa adat. Keenam sekaligus yang terakhir adalah menetapkan hukuman bagi krama desa adat yang melanggar awig-awig desa adat beserta pasuaran (peraturan pelaksanaannya). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa desa adat khususnya di Bali memiliki wewenang yang cukup besar di wilayahnya dan atas wilayah yang menjadi bagiannya. Dengan demikian, pemanfaat kawasan desa untuk hal tertentu oleh pemerintah, baik tingkat kabupaten maupuan provinsi memerlukan koordinasi dengan pihak desa adat.
6.3 Hubungan Antarkelompok Pada bagian ini, diuraikan hubungan antarkelompok yang menjadi subjek atau terlibat dalam berita RTRWP dianalisis. Kelompok-kelompok diuraikan adalah Bali Post, pemerintah provinsi Bali yang dikepalai oleh Gubernur Mangku Pastika, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali, dan akademisi. Bali Post merupakan salah satu lembaga pers terbesar di Bali. Bali Post memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk persepsi masyarakat Bali dalam memahami sesuatu, termasuk RTRWP Bali. Sebagai surat kabar yang lahir dan tumbuh di Bali, Bali Post sangat fokus memberitakan hal yang menyangkut kepentingan Bali dan masyarakatnya dengan perspektif menjaga Bali dengan
176
slogan yang dikenal sebagai ajeg Bali. Sebagai bentuk nyata perhatian Bali Post terhadap prinsip ini, diterbitkan buku yang berjudul Ajeg Bali oleh Bali Post pada 2004. Buku lain yang juga diterbitkan Bali Post adalah Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif pada tahun yang sama, yaitu 2004. Dalam pengantar buku yang mengatasnamakan penerbit Pustaka Bali Post disebutkan sebagai berikut. “Hal dominan yang dominan kami (Bali Post) sejak dua tahun terakhir adalah memperkenalkan strategi kultural Ájeg Bali untuk memancing kesadaran masyarakat untuk membawa Bali menuju gerak harmonis ke depan tanpa kehilangan jati diri berdasarkan nilai agama, adat, dan budaya” (Putra (ed), 2004: v – vi). Melalui pengantar ini, Bali Post secara terbuka menyampaikan tujuan atau prinsip dalam melaksanakan kegiatan pers. Tujuannya adalah Bali yang jagadhita. Jagadhitha merupakan bagian dari tujuan agama Hindu, yakni Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah yang berarti tujuan agama adalah untuk mencapai jagadhita dan moksa. Moksa merupakan kebebasan jiwatman atau disebut juga mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng setelah meninggal. Sementara, jagadhita merupakan kemakmuran dan kebahagiaan, baik setiap orang, masyarakat, maupun negara. Dengan pandangan seperti itu, Bali Post mendasarkan perspektif pemberitaannya pada pandangan ajeg Bali, agama Hindu, tetapi tetap dalam bingkai Pancasila yang menjadi motonya, Pengemban Pengamal Pancasila. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Bali Post memberitakan dan mencitrakan secara negatif pihak yang dianggap akan mengancam keajegan Bali, termasuk pemerintah, khususnya pemerintah Provinsi Bali.
177
Berdasarkan empat berita yang dianalisis dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa Bali Post memiliki posisi yang berseberangan dengan Gubernur Bali, Mangku Pastika. Dalam empat berita tersebut, Gubernur Bali atau hal yang terkait dengan Gubernur Bali hanya muncul sekali dalam pemberitaan, yakni hanya pada berita kedua, paragraf 5. Dalam berita yang berjudul “Revisi Perda RTRW Inisiatif Eksekutif” tersebut, gubernur dicitrakan secara negatif. Pencitraan negatif gubernur pada berita kedua dilakukan dengan menggambarkan gubernur sebagai inisiator RTRW dengan dalih sanksi yang diatur dalam perda sangat lemah. Namun, pada bagian berikutnya diberitakan bahwa berdasarkan dua kali sosialisasi yang dilakukan pemerintah provinsi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini tidak lebih baik daripada perda sebelumnya. Ada pula yang menyebutkan bahwa revisi yang diajukan eksekutif merupakan suatu kemunduran karena mengandung “pasal bisnis” yang memberikan peluang kepada investor untuk merambah kawasan yang selama ini disakralkan. Selain itu, pemerintah juga digambarkan secara negatif, khususnya terhadap Ketua Bappeda Bali Nengah Suarca yang memberikan jawaban normatif mengenai prosedur penyusunan RTRWP. Namun, ketika ditanya mengenai adanya “pasal bisnis” dalam RTRWP tidak menjawab secara terperinci. Pada berita ketiga juga terdapat penggambaran secara negatif terhadap pemerintah, khususnya Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Buleleng, I Putu Tastra Wijaya, yang membenarkan adanya penyimpangan penerapan perda RTRW di wilayah Air Sanih, Tejakula, Buleleng. Dengan demikian, masyarakat digiring untuk memahami bahwa RTRWP yang ada
178
memang tidak baik untuk kepentingan Bali dan pemerintah belum mampu merealisasikannya dengan baik. Secara konsisten dalam setiap berita, Bali Post menggambarkan RTRW yang diajukan eksekutif secara negatif. Selain menggunakan strategi bahasa, dapat juga diamati berdasarkan pihak yang dihadirkan dalam teks berita. Pihak yang dihadirkan secara positif dan ditonjolkan adalah pihak-pihak yang menentang atau tidak setuju dengan RTRW yang diajukan eksekutif serta paparan mengenai penerapan RTRW yang tidak maksimal. Pihak-pihak yang dihadirkan dalam berita dan dicitrakan secara positif adalah Kepala Pusat Lingkungan Hidup Bali Nusra, DPRD Provinsi Bali, dan akademisi. Kepala Pusat Lingkungan Hidup Bali Nusra hadir pada berita pertama, bahkan dalam teras berita, yakni “Munculnya pasal-pasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M. Dihubungi Kamis (16/4) kemarin, ia mengaku sudah mendengar paparan masalah RTRWP di Gedung DPRD Bali. ‘Saya berharap jangan sampai perda ini disusun hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi yang pada akhirnya merugikan kepentingan penyelamatan alam. Antara aspek ekonomi dan penyelamatan alam Bali harus balance,’ tegasnya.” Penyataan ini dikutip, bahkan digunakan sebagai teras berita karena menentang kebijakan yang diajukan oleh pemerintah Provinsi Bali. DPRD dihadirkan secara positif di dalam berita juga karena mendukung opini bahwa RTRW bukanlah perda yang baik untuk kepentingan Bali. DPRD muncul pada berita kedua, bahkan dalam teras berita, yakni “Revisi Perda
179
RTRWP Bali kini banyak disorot, sebab, dinilai banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan, dan ranperda yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali. Sorotan ini tak hanya datang dari pemerhati. Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan. Bila revisi Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan, baik Perda RTRW No.3/2005 maupun Bhisama PHDI.” Dengan kutipan tersebut, DPRD dicitrakan secara positif karena menentang RTRWP dengan alasan RTRWP mengandung pasal-pasal yang sengaja dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu, tidak mengakomodasi kearifan lokal, dan bisa merusak Bali. Pihak yang juga dihadirkan secara positif dalam berita adalah akademisi. Akademisi hadir pada berita pertama dan keempat. Pada berita pertama akademisi yang dihadirkan adalah ahli geomorfologi Unud, R. Suyarto, yang menyarankan agar masyarakat dilibatkan dalam membuat aturan terhadap wilayah. Terdapat dua kutipan pernyataan Suyarto yang menunjukkan bahwa tidak ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan investasi. Ada kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali. Di samping itu, perlu adanya sebuah evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasi.
180
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, pada bab ini disampaikan simpulan yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dan saran yang berhubungan dengan penelitian ini. Adapun simpulan dan saran yang dimaksud adalah sebagai berikut. 7.1 Simpulan Pertama, berita-berita tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali dalam harian Bali Post dibuat dengan struktur yang mencitrakan secara negatif RTRWP dan yang mengusulkannya, yakni pemerintah Provinsi Bali, khususnya Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Sebaliknya, yang menentang RTRWP dihadirkan secara positif di dalam berita, bahkan menjadi fokus pemberitaan dengan dijadikan teras berita atau mendapat porsi besar dalam berita. Struktur teks yang mengandung keberpihakan tersebut berada pada tatara struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Pada sruktur makro, pemilihan tema dan topik yang menggiring pemahaman pembaca untuk memahami informasi dengan cara tertentu sudah tampak pada judul berita. Subtopik yang tersaji pada bagian story atau tubuh berita mengandung informasi yang menjadi rincian serta argumen atas informasi yang disampaikan dalam judul yang menjadi topik.
180
181
Superstruktur
berita-berita
RTRWP
Bali
merepresentasikan
arah
pemberitaan yang telah tersirat pada struktur makro. Pemilihan summary yang meliputi judul dan teras berita, serta story yang meliputi penyampaian peristiwa utama, konsekuensi, konteks, historis, harapan, evaluasi, dan evaluasi verbal disesuaikan dengan pilihan struktur makro atau makna global berita tersebut. Dengan demikian, berita-berita tentang RTRWP Bali pada harian Bali Post memiliki supertruktur yang mencitrakan RTRWP Bali serta pemerintah provinsi Bali secara negatif. Struktur mikro yang meliputi sintaksis, leksikon, koherensi, dan retorik juga merepresentasikan makna global berita. Pemilihan bentuk sintaksis merupakan cara wartawan dalam menonjolkan serta menyembunyikan pelaku, atau merupakan strategi untuk menekankan dan menyamarkan informasi tertentu. Pemilihan leksikon, bentuk koherensi, dan praanggapan juga merupakan strategi wartawan untuk membentuk dan mengarahkan persepsi pembaca sehingga pembaca memiliki persepsi negatif tentang RTRWP Bali dan pemerintah provinsi Bali. Kedua, kognisi sosial yang dicerminkan dalam berita RTRWP dalam harian Bali Post meliputi pengetahuan kelompok, pengetahuan nasional, dan pengetahuan kebudayaan. Yang tergolong pengetahuan kelompok, seperti krama, keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keselamatan alam Bali, bhisama, PHDI, dan Pura khayangan jagat. Yang tergolong pengetahuan nasional, antara lain pasal, RTRWP, Bali, ranperda, DPRD Bali, sanksi, perda, RTRW, Bali, eksekutif, UU, biro, HAM,
182
ODTWK, ketentuan pembangunan di kawasan ODTWK, gubernur, bupati/wali kota. Sementara itu, pengetahuan kebudayaan yang terdapat dalam berita-berita tentang RTRWP di harian Bali Post, antara lain praktik membijaksanai aturan, pertimbangan ilmiah, kearifan lokal Bali, Danau Buyan, bukit/lereng bukit, menyiasati aturan dan ketentuan. Penggunaan jenis-jenis pengetahuan dalam berita mengenai RTRWP Bali pada harian Bali Post menggambarakan kognisi sosial yang tersirat dalam berita. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa harian Bali Post merupakan surat kabar yang menganut ideologi Pancasila dalam pemberitaannya, namun tidak terlepas dari ideologi kelompok tempat surat kabar tersebut diproduksi dan dikonsumsi, yakni budaya Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu. Ketiga, konteks sosial yang digambarkan berita-berita tentang RTRWP Bali di harian Bali Post, meliputi Pancasila, nilai lokal masyakarat Bali, struktur organisasi Bali Post, struktur organisasi pemerintah daerah Provinsi Bali, struktur desa adat, serta hubungan antara Bali Post, gubernur, DPRD Provinsi Bali, dan akademisi. Pancasila relevan sebagai konteks sosial mengingat negara Indonesia menganut ideologi Pancasila dan dasar negara. Di samping itu, Bali Post juga menggunakan Pancasila sebagai moto “Pengemban Pengamal Pancasila”. Hal ini dapat diamati dengan adanya argumen-argumen berdasarkan undang-undang, perda, gubernur, bupati/wali kota yang menjadi ciri nilai-nilai Pancasila dan nilai demokrasi yang menjadi bagiannya. Nilai lokal masyarakat Bali sangat tampak dalam pemberitaan, yaitu dengan munculnya berita tentang konsep tri hita karana, ajeg Bali, krama, PHDI, desa adat, bhisama, dan kearifan lokal Bali.
183
Berdasarkan pengamatan terhadap berita-berita tersebut, diketahui hubungan antara Bali Post, Gubernur Bali, DPRD, dan akademisi yang tampak melalui strategi wacana yang terdapat dalam berita. Bali Post sebagai media yang independen dan mengusung ideologi Pancasila pada satu sisi, dan prinsip ajeg Bali pada sisi lain menggunakan kedua hal tersebut untuk mencitrakan secara negatif pemerintah Provinsi Bali, khususnya Gubernur Bali, baik dari sisi hukum yang berdasarkan Pancasila dan undang-undang maupun dari segi nilai lokal dan keyakinan masyarakat Bali. Dalam berita dihadirkan pula pernyataan yang dikutip secara langsung ataupun tidak langsung anggota DPRD dan akademisi mengenai topik yang diberitakan. Keseluruhan pernyataan DPRD dan akademisi tersebut mendukung pandangan bahwa RTRWP yang diajukan Gubernur Bali tidak baik untuk kepentingan Bali.
7.2 Saran Analisis wacana kritis dengan menggunakan teori analisis wacana kognisi sosial yang dikemukakan van Dijk
yang dilaksanakan masih perlu
disempurnakan. Pada kesempatan ini, ada beberapa saran yang dapat dikemukakan. Pertama, pengetahuan yang utuh mengenai teori yang diterapkan menjadi hal yang mendasar. Upaya memisahkan atau menerapkan sebagian saja dari teori ini akan mengurangi esensi teori ini. Selain itu, pengetahuan mengenai konteks sosial tempat teks itu dibuat dan dibaca juga penting untuk dianalisis dengan lebih baik.
184
Kedua, untuk melakukan analisis secara lebih komprehensif, jumlah teks yang dianalisis perlu ditingkatkan lagi. Tujuannya adalah agar
simpulan
penelitian lebih reliabel dan valid. Ketiga, jika dimungkinkan akan baik juga dilakukan metode pengumpulan data melalui wawancara dengan pemroduksi teks. Tujuannya adalah untuk mengetahui kognisi sosial yang terdapat pada kesadaran pemroduksi teks meskipun hal ini tidak mutlak dilakukan. Hasil wawancara tersebut dapat menjadi informasi tambahan mengenai kognisi sosial pemroduksi teks selain yang diperoleh dari analisis terhadap teks.