BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah salah satu identitas sebuah bangsa demikian juga halnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti bahasa Indonesia terdiri dari latar belakang etnis, budaya, dan bahasa yang berbedabeda, seperti bahasa Indonesia, Batak, Jawa, dan lain- lain. Bahasa sebagai alat komunikasi yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Kokasih (2003:18) menyebutkan bahasa sebagai rangkaian bunyi yang mempunyai makna tertentu yang dikenal sebagai kata, melambangkan suatu konsep. Setiap bahasa sebenarnya mempunyai ketetapan atau kesamaan dalam hal tata bunyi, tata bentuk, tata kata, tata kalimat, dan tata makna, tetapi karena berbagai faktor yang terdapat di dalam masyarakat penggunaan bahasa itu, seperti usia, pendidikan, agama, bidang kegiatan dan profesi, dan latar belakang budaya daerah, maka bahasa itu menjadi tidak seragam. Bahasa dapat dikaji secara internal dan eksternal. Kajian internal berkaitan dengan struktur internal bahasa yaitu yang berhubungan dengan aspek- aspek linguistik dan teori linguistik semata, sedangkan kajian eksternal berkaitan dengan faktor yang di luar bahasa yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut oleh penuturnya dalam kelompok sosial dan kemasyarakatan. Pengkajian eksternal ini
melibatkan lebih dari satu disiplin ilmu, misalnya sosiolinguistik yang merupakan gabungan sosiologi dan linguistik. Sosiolinguistik menurut Chaer dan Agustina (2004:4) menyebutkan sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur. Sedangkan Fishman, (1972 dalam Chaer dan Agustina 2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas ragam bahasa, fungsi ragam bahasa, dan penggunaan bahasa karena ketiga unsur ini berinteraksi dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur, identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan ragam dan ragam linguistik. Jelas bahwa sosiolinguistik adalah pengkajian bahasa eksternal yaitu antara masyarakat dengan bahasa, mengkaji tentang ciri khas ragam bahasa, fungsi ragam bahasa, dan pengunaan bahasa serta hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur. Maka dengan demikian jika ditinjau dari segi sosiolinguistik alat bedah atau teori yang digunakan dalam menganalisis data cenderung menggunakan teori Chaer dan Agustina (2004). Hal ini disebabkan dimensi kemasyarakatan bukan hanya memberi makna kepada bahasa tatapi juga menyebabkan terjadinya ragam-ragam bahasa. Ragam bahasa bukan hanya menunjukkan adanya perbedaan sosial dalam
masyarakat, tetapi juga memberi indikasi mengenai situasi berbahasa yang mencerminkan tujuan, topik, kaidah dan modus- modus pengguna bahasa. Menurut George (1964 dalam Peteda 1996:7) semantik adalah bahasa yang terdiri dari struktur yang merupakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Semantik sebagai kajian makna, yaitu makna yang tersirat dalam kalimat juga menjadi objek pembahasan dalam semantik, dan setiap kata yang diucapkan oleh manusia, maupun kelompok sosial lainnya pasti mempunyai makna. Semantik sebagai studi tentang makna, yaitu berpikir kognisi yang berkaitan dengan mengklasifikasikan dan menggambarkan pengalaman manusia tentang bahasa. Maka setiap makna kata yang digambarkan dari pengalaman manusia mempunyai arti yang terdapat dalam kamus sering disebut dengan semantik leksikal. Pateda (1996:74) mengatakan Semantik leksikal adalah kajian semantik yang lebih memusatkan pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata, sedangkan Saeed (1997:55) mengatakan makna semantik adalah kata yang mengandung atau arti yang sebenarnya. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa semantik leksikal adalah cabang semantik yang mengkaji sistem makna yang terdapat dalam kata yang memiliki arti berdasarkan kamus. Jadi teori yang digunakan menurut Pateda (1996), karena bahasa yang digunakan para waria berkaitan dengan makna leksikal. Kata yang terdapat pada komunitas para waria dalam pembentukan makna memiliki pola yang berkaitan dengan leksikal. Leksikal yang digunakan oleh para waria itu
berhungan erat dengan ragam bahasa dalam masyarakat yang menjadi ciri atau identitas kelompok mereka dalam pergaulan mereka sehari- hari. Istilah “Gaul”, yang terdapat pada golongan selebritis, remaja hingga waria ini dianggap sebagai suatu identitas kemajuan zaman dalam pergaulan sehari- hari dan dunia yang lahir untuk mereka, dengan sebutan modern dalam segala hal, tidak terkecuali alat kornunikasi verbal yaitu bahasa yang sering mereka sebut dengan “Bahasa Gaul”. Menurut Sehertian (2002:97) bahasa gaul mulai muncul pada akhir tahun 1980-an. Awalnya istilah dalam bahasa gaul itu adalah untuk merahasiakan isi obrolan atau pembicaraan dalam komunitas tertentu, namun karena sering juga digunakan di luar komunitas mereka, lama-lama istilah tersebut menjadi bahasa sehari-hari. Bahasa gaul awalnya digunakan oleh para preman yang kehidupanya dekat dengan kekerasan, narkoba, dan minuman keras. Istilah- istilah baru, mereka ciptakan agar orang- orang di luar komunitas mereka tidak mengerti. Salah satu kata yang terkenal pada zaman itu ialah kata “Nich yee”. Kemudian bahasa gaul mulai berkembang hingga sekarang. Waria adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme.
Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan biologisnya (hermafroditisme), orientasi seksual (homoseksualitas), maupun akibat kondisi lingkungan pergaulan. Sebutan bencong juga dikenakan terhadap waria dan bersifat negatif. Waria yang ada di jalan Gajah Mada merupakan kumpulan dari berbagai daerah yang berlatar belakang berbeda, menurut penelitian penyebab utama seseorang menjadi waria adalah faktor lingkungan. Sejak lahir, waria memang penuh dengan konflik. Pada mulanya mereka dihadapkan pada dua pilihan, menjadi laki- laki atau perempuan. Kedua pilihan ini tentu membawa konsekuensi masing- masing. Konflik lain muncul ketika mereka bereda ditengah- tengah masyarakat di sekitarnya yang penuh dengan norma- norma dan aturannya sendiri. Kehadiran mereka ditengah masyarakat dianggap sebagai sampah masyarakat yang tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai mana layaknya manusia lainnya. Faktor ekonomi juga sebagai pemicu, jadi para lelaki banyak yang berperan sebagai waria, hal ini terjadi karena sulitnya mencari lapangan pekerjaan, demi mendapatkan penghidupan yang layak mereka berani menyatakan diri sebagai waria dan penampilan mereka dengan berpakaian menggunakan rok yang mencerminkan seorang wanita yang seutuhnya. Dengan adanya latar belakang yang berbeda tersebut para waria yang ada di jalan Gajah Mada Medan cenderung bekerja di salon, maupun memiliki salon. Maka dengan adanya latar belakang di atas dapat di perjelas bahwa para waria yang berada
di lokasi Gajah Mada Medan setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda dan mendominasi bekerja di salon. Waria merupakan sekelompok bagian dari masyarakat yang mempunyai komunitas tersendiri bagian dari masyarakat. Sesama waria dalam menggunakan bahasa tertentu dilihat dari situasi tertentu yang disebut ragam bahasa. Perkembangan bahasa pada kalangan Waria dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal. Hal ini berarti sebuah proses pembentukan karakreristik yang dihasilkan dari pergaulan dengan masyarakat di sekitar akan menjadi ciri khusus dalam sebuah perilaku bahasa. Pembicaraan tentang ragam bahasa gaul biasanya dikaitkan dengan masalah dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa yang digunakan oleh siapa, dimana, dan kapan, maka ragam berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa. Dalam kehidupan modern ada kemungkinan adanya seseorang yang hanya mengenal satu dialek, namun, pada umumnya dalam masyarakat modern orang hidup dengan lebih dari satu dialek (regional maupun sosial) dan menggeluti sejumlah ragam, sebab dalam masyarakat modern orang sudah pasti berurusan dengan sejumlah kegiatan yang berbeda. Bahasa gaul biasanya digunakan dalam suasana informal yang sifatnya menghibur, dan untuk menjalin keakraban, karena apabila kita mengunakan bahasa baku dalam suasana akrab atau hiburan akan terkesan kaku dan membuat suasana menjadi formal yang cenderung melahirkan kejenuhan penyimak. Dalam kehidupan bermasyarakat bahasa gaul juga sangat baik
digunakan selain praktis juga mudah dipahami. Khususnya remaja yang lebih sering menggunakan bahasa gaul misalnya kalimat “ya iyalah, masa iya dong”, “masa sich” dan kalimat “secara gituloh”. Pada kalimat tersebut terdapat penggunaan kata yang khas, yaitu iyalah,. masa, secara, dong dan sebagainya. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk meneliti bahasa gaul pada kalangan waria di Medan.
1.2 Batasan Masalah Mengingat luasnya masalah perlu adanya pembatasan masalah. Penelitian ini dibatasi di jalan Gajah Mada Medan kecamatan Medan Baru. Adapun pertimbangan serta alasan penelitian pada lokasi tersebut karena pertama; jalan Gajah Mada termasuk juga pusat komunitas para waria di tempat tersebut para waria dalam berkomunikasi cenderung mengunakan bahasa gaul terhadap komunitas tertentu pada kelompok mereka maupun pada orang lain, kedua; lokasi tersebut sangat strategis untuk dijadikan sebagai tempat penelitian serta bahasa yang digunakan kelompok mereka mendominasi bahasa waria. Ketiga; pemilik serta pekerja salon yang ada di lokasi Gajah Mada mendominasi para
kalangan waria. Masalah dalam kajian
penelitian ini berkaitan dengan sosiolinguistik ragam bahasa, yaitu tempat, waktu, pengguna, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan penggunaan ragam bahasa yang digunakan para waria. konteks dan situasi bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalurnya, dan alatnya serta bagaimana situasi keformalannya di jalan Gajah Mada Medan. Kajian linguistik yaitu fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Semantik juga terbagi menjadi dua yaitu leksikal dan gramatikal. Dengan demikian dengan adanya pembatasan masalah ini penelitian dapat lebih terpusat pada tujuan yang ingin dicapai.Makan masalah dalam penelitian dibatasi pada bahasa gaul tentang aspek semantik leksikal dan karekteristik bahasa gaul pada kalangan waria di jalan Gajah Mada Medan.
1.3 Rumusan Masalah Setelah melakukan pembatasan masalah, maka selanjutnya perlu dilakukan rumusan masalah. Berdasarkan batasan masalah di atas maka dalam penelitian ini masalah dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah deskripsi semantik bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah Mada Medan? 2. Bagaimanakah struktur leksikal bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah Mada Medan? 3. Bagaimanakah karekteristik bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah Mada Medan?
1.4 Tujuan Penelitian Waria adalah manusia biasa yang juga menggunakan bahasa dalam kehidupannya sehari- hari. Kemampuan para waria dalam hal menciptakan bahasa baru dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah fenomena yang cukup unik, karena setiap kata- kata yang mereka ciptakan menjadi sebuah ragam bahasa yang unik untuk diteliti. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan semantik bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah Mada Medan 2. Mendeskripsikan struktur leksikal bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah Mada Medan
3. Mendeskripsikan karekteristik bahasa gaul di kalangan waria di jalan Gajah Mada Medan
1.5 Manfaat penelitian
1.5.1
Manfaat Teoretis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian teoretis yang mendukung penelitian terdahulu dan bermanfaat bagi ilmu sosiolinguistik, khususnya tentang penggunaan bahasa gaul pada kalangan waria. 2. Menambah khasanah kajian linguistik, khususnya aspek semantik leksikal.
1.5.2 Manfaat Praktis 1. Penelitian ini diharapkan dapat lebih mengenal kelompok para waria yang hingga dewasa ini belum dapat diterima keberadaannya oleh masyarakat secara umum. 2. Memperkaya khasanah penemuan tentang perkembangan bahasa gaul khususnya di kalangan waria.