BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah Demokrasi merupakan sebuah bentuk sistem politik yang merupakan respon terhadap sistem monarki-diktator pada Abad ke-5 SM. Namun pada perkembangannya demokrasi lebih jauh dianggap sebagai jawaban (antitesa) atas teokrasi dan monarki yang semakin jauh dari kesejahteraan rakyat. Konsep mengenai demokrasi berasal dari gagasan-gagasan beberapa tokoh yang sampai hari ini masih berpengaruh dalam dunia ilmu politik. Gagasan-gagasan seperti gagasan Nicolo Machievelli tentang sekularisme, Thomas Hobes tentang kontrak sosial, gagasan tentang negara dan pemisahan kekuasaan oleh John Locke yang selanjutnya dikembangkan oleh Montesqiue serta gagasan tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial oleh J.J Rousseau. 1 Dalam perjalanannya, demokrasi dianggap sebagai sistem politik yang paling sempurna. Hal itu dikarenakan demokrasi merupakan sistem yang dapat diterima secara luas baik sebagai teori maupun sebagai model bagi masyarakat. 2 Penelitian UNESCO pada tahun 1994 menyatakan bahwa demokrasi merupakan
1
Anthonius Sitepu, Sistem Politik Indonesia, Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2004, hal.5-6 2 Din Syamsudin, Kekuasaan dan Rakyat: Refleksi Pemikiran dan Praktek Politik Islam, Jakarta: Forum Indonesia Bersatu, 2001, hal. 132
Universitas Sumatera Utara
suatu sistem yang paling proporsional untuk semua sistem organisasi politik, sosial dan pemerintahan. 3 Demokrasi sebagai sistem politik Indonesia telah digunakan sejak negara ini didirikan oleh para founding fathers hingga saat ini. Demokrasi sebagai sistem politik Indonesia termaktub dalam undang-undang sebagai landasan konstitusi Indonesia. Dalam perjalanannya, demokrasi Indonesia cukup dinamis. Indonesia pernah menggunakan demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila serta juga demokrasi langsung yang diinterprestasikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat terhadap anggota legislatif dan eksekutif.
Oleh karena
dipilih langsung, setiap orang yang akan mewakili atau memimpin bangsa ini haruslah orang yang didukung oleh masyarakat atau setidaknya mayoritas masyarakat. Perkembangan demokrasi berbanding lurus dengan perkembangan kehidupan (budaya) sosial politik masyarakatnya. Oleh karena itu, perkembangan budaya pada masyarakat akan juga diikuti oleh perkembangan demokrasi itu sendiri. 4 Budaya Indonesia hari ini dihadapkan pada dinamika yang luar biasa. Proses akulturasi tak terbendung dari budaya-budaya asing serta kemajuan teknologi menyebabkan gradasi terhadap batas-batas khas, baik itu batas-batas primordial maupun batas-batas geographis, sehingga budaya tinggi Indonesia tidak memiliki pilihan selain berasimilasi dengan budaya asing yang cenderung
3
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal.50 4 Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal.17
Universitas Sumatera Utara
diterima secara universal dan berlaku sebagai budaya semua orang atau budaya populer. Budaya populer sendiri adalah konsep yang “populer”. Kebanyakan orang membicarakan budaya populer bila berkaitan dengan sesuatu yang negatif, misalnya selera masyarakat kebanyakan yang rendah dan murahan, produk budaya yang didistribusikan hanya untuk kesenangan, juga efek budaya populer yang buruk pada anak muda (hedonitas). Sejarah konsep budaya populer memang demikian, karena pada awalnya “budaya populer” adalah konsep yang digunakan sebagai lawan kata dari “budaya elite”. Konsep budaya populer digunakan untuk mengejek dan menyudutkan budaya
masyarakat
kebanyakan.
Kemudian
secara
perlahan
dalam
perkembangannya, budaya populer tidak lagi bermakna negatif tetapi berubah menjadi sebuah konsep netral. Budaya populer kemudian diartikan sebagai budaya yang dimiliki dan disukai oleh sebagian besar orang dalam suatu masyarakat. 5 Pada titik inilah, budaya populer mempunyai makna yang demokratis bagi masyarakat. Budaya populer mengkritik dominasi kelompok elite dan budayanya. Budaya populer berusaha melakukan perlawanan pada kelompok masyarakat minoritas yang berstatus elit, yang dianggap memiliki budaya yang “tinggi”, adiluhung, dan memberikan pencerahan. Konsep budaya populer meruntuhkan itu semua, tidak penting sebuah budaya itu rendah atau tinggi, yang penting budaya bisa dinikmati dan disukai oleh banyak orang. Dirasakan dan disukai banyak 5
Wisnu Martha Adiputra, Jurnal Polysemia: Budaya Populer dan Demokrasi, Jakarta: Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP), 2006, hal.17
Universitas Sumatera Utara
orang inilah yang menunjukkan bahwa secara inheren budaya populer memiliki nilai demokrasi. Dalam mekanisme demokrasi langsung, popularitas adalah satu hal yang utama dan penting. Orang yang populer tentu saja merupakan orang yang disukai banyak orang yang cenderung mayoritas. Oleh karena itu upaya untuk menjadi populer berbondong-bondong dilakukan oleh para elit politik dengan tujuan mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat. Para elit dituntut tidak hanya menguasai literatur-literatur ilmu politik dan penguasaan basis massa di masyarakat baik secara primordial maupun secara ideologis, namun para elit juga dituntut untuk bisa menjadi “icon populer” dimata publik. Untuk menjadi populer para elit politik mau tidak mau harus menjadi icon dari budaya yang populer itu atau setidaknya menjadi atau seolah-olah menjadi pengusung budaya yang populer tadi. Dalam wacana populer, tampilan-tampilan secara audio dan visual di era kedigdayaan media informasi dan komunikasi dipercaya sebagai strategi yang ampuh untuk menjadi populer yaitu dengan memenangkan hati rakyat dan mendapatkan legitimasi dari rakyat, khususnya terhadap pemilih pemula dan pemilih yang rasional (swing voter) yang cenderung tak terikat pada aliran-aliran tertentu secara politis. 6 Cerita-cerita tentang ketokohan, simbol-simbol, jargon-jargon hingga singkatan nama menjadi penting dalam proses pembentukan popularitas politik. Dalam wacana politik, kegiatan tersebut dinamakan sebagai politik pencitraan 6
Titi Nur Vidyarini, Politik dan Budaya Populer Dalam Kemasan Program Televisi, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol.2, No. 1, Pusat Penelitian Universitas Kristen Petra, Januari 2008, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
(imagologi politik). Strategi politik Pencitraan merupakan salah satu strategi untuk memenangi kontes politik disamping strategi yang lebih klasik yaitu dengan strategi penggalangan suara melalui jejaring politik khususnya partai politik. Strategi politik pencitraan digunakan sebagai medium untuk publikasi akuntabilitas politik para kontestan politik. Karena merupakan medium publikasi, secara ideal politik pencitraan menjadi strategi lanjutan dalam sebuah proses marketing politik. Pendekatanpendekatan konvensional seperti kultural dan ideologis harus dikedepankan. Namun sering kali pendekatan-pendekatan konvensional tersbuet dinafikan dan dijadikan sebagai strategi yang usang dan kurang efisien karena membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu Politik Pencitraan sering tidak berjalan secara ideal dan cenderung praktis. Hal tersebut sebenarnya bukan hal yang terlalu mengejutkan juga, karena pada masa-masa jauh sebelumnya sudah pernah diperkirakan. Plato dalam “Parabale of The Cave” seperti pernah dikutip Susan Bordo mengatakan bahwa politik demokratis modern adalah politik pencitraan, dimana persoalan penampilan lebih penting dari substansi serta kepribadian lebih penting daripada kebijakan. 7 Pemilihan Umum (PEMILU) 2004 dan 2009 dapat dikatakan sebagai era keemasan dari Politik Pencitraan. Pemilu Presiden 2004 yang dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelaskan hal tersebut. SBY yang berasal dari partai kecil dan dicalonkan oleh beberapa partai kecil waktu itu berhasil 7
Lihat Jon Simons, The Power Of Political Images, Bloomington: American Political Science Association, 2006, hal.1
Universitas Sumatera Utara
mengalahkan 2 calon kuat dari partai yang memiliki basis masa kultural di tingkat akar rumput yaitu Wiranto yang merupakan calon dari partai Golkar yang merupakan partai pemenang pemilu 2004 dan calon dari partai besar lainnya yaitu Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memenangi pemilu pada 1999 dan memiliki suara cukup signifikan pada pemilu 2004 sebagai urutan kedua. . Proses pencitraan dengan menggunakan simbol-simbol, jargon-jargon dan lain sebagainya dilakukan untuk menciptakan citra tersendiri bagi masyarakat terhadap sosok elit. Masih hangat mungkin di telinga kita jargon-jargon seperti “Bersama Kita Bisa” yang pernah dilemparkan SBY pada pemilu 2004 yang pada akhirnya mengantarkan SBY ke kursi RI-1. Lalu di waktu yang belum lama juga ini ada jargon “Hidup adalah Perbuatan” yang dilempar oleh Sutrisno Bahir yang merupakan salah satu elit Partai Amanat Nasional, “Lebih Cepat Lebih Baik” yang dilemparkan oleh Muhammad Jusuf Kalla yang merupakan politisi Partai Golkar sekaligus juga menjadi Calon Presiden Partai Golkar Pada Pemilihan Presiden 2009, maupun jargon-jargon yang dilemparkan oleh tokoh-tokoh personal seperti “When There is a While There is Way” yang dilemparkan oleh Rizal Malarangeng dan “Indonesia Tanpa Hutang” yang dilemparkan oleh Rizal Ramli yang mengagas blok perubahan, belum lagi beratus-ratus photo ukuran berbagai jenis dari pada calon legislatif yang dipadukan dengan tulisan-tulisan dan jargon-jargon kecil pada pemilu legislatif yang lalu. Disamping jargon-jargon tersebut, beberapa waktu yang lalu kita juga dihadapkan pada tindakan-tindakan simbolis para elit yang dipertontonkan lewat
Universitas Sumatera Utara
media. Jendral TNI (Purn) Wiranto misalnya, yang merupakan politisi Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) yang pada pemilu presiden kali ini maju mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden mendampingi Jusuf Kalla dari Partai Golkar, Wiranto mempertontonkan
kepada
masyarakat
adegan
“dramatis”,
“menyentuh”,
“menggugah” ketika dia memakan nasi aking di tengah kerumunan orang di keluarga miskin di Serang, Banten. Ia merasakan sendiri betapa nasi aking tidak enak dan tak layak untuk dimakan. SBY juga pernah meneteskan air mata ketika berkunjung ke Aceh untuk melihat kondisi masyarakat Aceh pasca terjadinya bencana tsunami di Aceh, begitu juga dengan gempa di Jogja dan tsunami Pangandaran. Disamping itu, tindakan SBY membentak para walikota dan bupati yang tertidur saat pertemuan bupati dan walikota se-Indonesia maupun juga para menteri kabinetnya yang tidak konsentrasi saat rapat kabinet yang lalu dipertontonkan oleh media. Terlepas dari tujuannya, namun apa yang dilakukan Wiranto dan SBY bisa dikatakan sebagai proses pencitraan kepada publik tentang sosok keduanya dalam rangka kontestasi politik yang akan mereka jalani. Wiranto dan SBY secara tidak langsung membangun simulasi politik akan sosok masing-masing untuk menciptakan citra atau gambaran tersendiri di mata publik. Masing-masing ingin menunjukkan kepada publik bahwa mereka adalah calon pemimpin yang dekat dengan rakyat dan mengerti dengan apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang dirasakan oleh rakyat. Dalam kajian antropologi politik, apa yang dilakukan oleh Wiranto dan SBY itu merupakan salah satu bentuk dari politik simbolisme (politics of
Universitas Sumatera Utara
symbolism). Politik simbolisme adalah suatu tindakan untuk merepresentasikan sebuah gejala sosial di masyarakat, yang diwujudkan dalam simbol yang merefleksikan makna politik tertentu (Geertz 1973; Gupta & Ferguson 1992). 8 Saat ini masyarakat sedikit banyak telah belajar untuk menerjemahkan proses simbolisme dan pencitraan yang dilakukan para elit politik. Lima tahun masa kepemimpinan SBY dengan kabinet Indonesia Bersatu bisa dikatakan sebagai perang pencitraan antara elit politik, ditambah lagi dengan sentimen negatif yang diakomodasi dalam setiap pencitraan itu baik oleh oposisi maupun oleh penguasa. Seperti sentimen neoliberal, penjualan aset-aset nasional, pemberantasan korupsi yang tebang pilih, korupsi di DPR, pembalakan liar, krisis energi, hingga bantuan langsung tunai (BLT). Meski memang masyarakat awam belum dapat menerjemahkan esensi dari perang pencitraan itu namun setidaknya masyarakat memiliki penilaian tersendiri terhadap pencitraan yang dilakukan oleh masing-masing elit. Pemilu legislatif 2009 telah berlalu, masing-masing partai politik kini telah mengantongi legitimasi politik dari masyarakat dalam wujud kursi di parlemen. Partai demokrat telah ditetapkan sebagai pemenang pemilu legislatif dengan suara yang cukup signifikan. Pemilihan presiden pun sudah dilakukan, dan SBY kembali mendapatkan dukungan rakyat secara dominan untuk menduduki kursi presiden 5 tahun berikutnya. Terlepas dari indikasi kecurangan yang dilakukan, banyak praktisi yang beranggapan bahwa SBY dan Partai Demokrat memenangi
8
Lihat Amich Alhumami, Politik Simbolisme, http://forumpolitisi.org, diakses pada 5 Mei 2009
Universitas Sumatera Utara
kontes
politik
5
tahunan
tersebut
dengan
pencitraan
sebagai
senjata
pamungkasnya. Namun persoalan pemilu presiden berbeda dengan persoalan dalam pemilu legislatif. Ada perbedaan mendasar dalam masyarakat ketika melihat sosok anggota legislatif dan calon presiden. Sentimen personal akan lebih besar dalam upaya menentukan pilihan pada pemilihan presiden dibandingkan dalam pemilu legislatif. Dan ranah sentimen personal adalah ranah politik pencitraan. Masyarakat akan lebih menggunakan sentimen personal (persepsi politik) dalam menilai para kandidat sebelum menjatuhkan pilihan. Oleh karena itu upaya pembentukan citra pada masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam rangka menggugah sentimen para calon pemilih. Tanpa menafikan kekuatan penggalangan suara secara konvensional lewat mekanisme kultural maupun ideologis, penelitian akan respon masyarakat terhadap politik pencitraan dalam hubungannya dengan tingkat elektabilitas politik menjadi sangat menarik untuk dilakukan. Di kota Medan yang sangat heterogen ini misalnya, strategi politik yang dilakukan oleh SBY sebagai pemenang pemilihan presiden terbukti berjalan dengan baik. SBY secara umum menang di seluruh kecamatan di kota ini dengan tingkat suara yang cukup signifikan dengan persentase yang tidak terlalu jauh perbedaannya dengan suara nasional. Meskipun secara infrastruktur politik di tingkat masyarakat, partai pendukung SBY tidak lebih mapan daripada partai pendukung Megawati dan Jusuf Kalla yang merupakan dua calon presiden lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa media nasional merilis pendapat beberapa praktisi dan pengamat politik tentang kondisi tersebut. Antara misalnya, merilis pendapat Fadjroel Rachman, Direktur Eksekutif Pedoman Indonesia yang juga salah seorang yang digadang-gadangkan menjadi Capres Independen. Fadjroel mengatakan bahwa “SBY itu sudah lama dan lebih dahulu mencitrakan diri sebagai sosok yang gagah, berwibawa, baik hati,” 9 Disamping itu masih banyak rilis-rilis lainnya baik dalam bentuk survey maupun opini yang menyatakan pencitraan SBY merupakan yang terbaik selama periode kampanye berlangsung. Namun apakah kondisi nasional tersebut juga identik dengan preferensi politik masyarakat ditingkat akar rumput, khususnya wilayah-wilayah di kota Medan? Penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjawab hal tersebut.
I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Bagaimana opini publik masyarakat Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan terhadap politik pencitraan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kerangka menjatuhkan preferensi politik pada Pemilu Presiden 2009?”
9
Lihat PemiluIndonesia.com, Mega dan JK Terkepung Politik Pencitraan http://www.pemiluindonesia.com/opini-pemilu/mega-dan-jk-terkepung-politik-pencitraansby.html, diakses pada 9 November 2009
SBY.,
Universitas Sumatera Utara
I.2.1. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah ini dibuat dengan tujuan untuk memperjelas ruang lingkup penelitian dan untuk menghasilkan uraian yang sistematis. Adapun batasan-batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bentuk pencitraan dibatasi kepada pencitraan yang dilakukan oleh SBY lewat kanal-kanal budaya pop seperti media massa, baik itu iklan politik, pidato politik maupun berita-berita politik. 2. Bentuk Opini dibatasi pada persepsi, kognisi, motivasi dan sikap publik yang diteliti. 3. Penelitian hanya akan dilakukan terhadap masyarakat Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan yang memberikan suaranya dalam pemilu presiden 2009.
I.2.2. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana efisiensi politik pencitraan sebagai strategi politik SBY dalam memenangkan kontestasi politik pada pemilu presiden 2009 di kelurahan Sidorame Timur.
I.2.3. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Bagi institusi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi dibidang komunikasi politik khususnya dalam kajian politik pencitraan dan dapat memberikan informasi mengenai
Universitas Sumatera Utara
respon masyarakat terhadap Politik Pencitraan yang dilakukan oleh kontestan politik 2. Bagi
masyarakat,
hasil penelitian
ini diharapkan
mampu
memberikan pendidikan politik pada masyarakat agar dapat memahami makna komunikasi politik yang disampaikan oleh kontestan politik. 3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan
dibidang
ilmu
politik,
khususnya
mengenai
komunikasi politik sebagai sarana marketing politik dan perilaku politik masyarakat.
I.3. Kerangka Teori Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. 10 Untuk itu diperlukan kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran atas penelitian yang akan dilakukan. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara menghubungkan antar konsep. 11 Sedangkan menurut F.N Karlinger, teori adalah suatu konsep atau konstruksi yang berhubungan satu dengan lainnya, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan yang sistematis dari fenomena. 12
10
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2001, hal.39 11 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37 12 Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Reineka Cipta, 1997, hal.20
Universitas Sumatera Utara
I.3.1. Citra I.3.1.1. Pengertian Citra Citra (image) memiliki banyak arti, yang mungkin merupakan penyebab ia menjadi satu dari sekian banyak kata yang digunakan secara berlebihan. Banyak orang menganggap bahwa citra sebagai lawan dari kenyataan, persepsi dari realitas atau kenyataan juga bisa berbeda-beda, sehingga tak dapat diandalkan sepenuhnya. Pengertian citra itu sendiri abstrak (intangible), tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk, seperti penerimaan dan tanggapan baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran) dan masyarakat luas pada umumnya. Menurut Webster, citra adalah gambaran mental atau konsep tentang sesuatu. Menurut Kotler secara lebih luas mendefinisikan citra sebagai jumlah dari keyakinan-keyakinan, gambaran-gambaran, dan kesan-kesan yang dimiliki seseorang pada suatu objek. Objek yang dimaksud bisa berupa orang, organisasi, kelompok atau yang lainnya yang dia ketahui. 13 Sementara menurut Newsome, Citra adalah persepsi kolektif tentang sebuah organisasi atau individu dari semua publik yang didasarkan pada apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat. 14 Dalam bukunya yang berjudul Kuliah Komunikasi, Dr. H. Sam Abede Pareno, MM menyatakan bahwa citra adalah abstrak tentang suatu pandangan, persepsi, opini, penilaian secara umum. 15 Terakhir, Bill Sukatendel menjabarkan citra
13
Sutisna, Perilaku Konsumen & Komunikasi Pemasaran, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2003, hal.331 14 Doug Newsom, Turk, Judy, Vanslyke & Dean Kruckeber, This is PR, USA:Wadsworth/Thomson Learing, 2004, hal.63 15 Sam Abde Pareno, Kuliah Komunikasi : Pengantar dan Praktek, Jakarta: Papyrus, 2002, hal.73
Universitas Sumatera Utara
sebagai kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap suatu objek. Atau kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau organisasi. 16 Citra untuk tujuan organisasional, bisa dijelaskan sebagai campuran persepsi dari suatu objek baik itu perorangan atau lembaga. Citra adalah hasil gabungan dari semua kesan yang didapat, baik itu dengan melihat simbol, mengamati perilaku, mendengar atau membaca aktifitas atau melalui bukti material lainnya. Citra terkinilah yang penting bagi kebanyakan organisasi, namun citra lain juga cukup penting, yaitu bagaimana objek ingin dilihat. Hal ini sama dengan citra diri individu, yang terbagi atas tiga kompenen yaitu, realitas, yang ideal dan harapan atau keinginan. Citra yang paling memuaskan muncul jika didasarkan pada kenyataan. 17 Dengan demikian, citra dapat didefinisikan sebagai arti yang dimiliki seseorang bagi orang lain, suatu integrasi mental yang halus dan berbagai sifat yang diproyeksikan atau dicerminkan oleh seseorang dan yang dipersepsi yang diinterprestasikan orang lain menurut kepercayaan, nilai dan pengharapan mereka.
I.3.1.2. Jenis Citra Menurut Anggoro ada lima jenis citra, yaitu : 18 a. Citra Bayangan / Cermin (Mirror Image) Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi mengenai anggapan pihak luar terhadap organisasinya. Dengan kata lain, citra
16
Soleh Soemirat & Elvinaro Ardianto, Dasar-Dasar Public Relation, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003, hal.111 17 Anthony Davis, OpCit, hal.11 18 M. Linggar Anggoro, Teori dan Profesi Kehumasan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001 hal.74
Universitas Sumatera Utara
bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam mengenai pandangan luar terhadap organisasinya. Citra ini sering kali tidak tepat, bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi, pengetahuan maupun pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam organisasi mengenai pendapat atau pandangan pihak luar. Citra ini cenderung positif, bahkan terlalu positif, karena kita bisa membayangkan hal yang serba hebat mengenai diri kita sendiri shingga kita pun percaya orang lain juga memiliki pemikiran yang serupa dengan kita b. Citra Yang Berlaku / Kekinian (Current Image) Citra ini adalah suatu citra atau pandangan yang melekat pada pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Namun sama halnya dengan citra bayangan, citra ini berlaku tidak selamanya, bahkan jarang, sesuai dengan kenyataan karena semata-mata terbentuk dari pengalaman atau pengetahuan orang-orang luar yang bersangkutan yang biasanya tidak memadai. Biasanya pula citra ini cenderung negatif. Citra ini amat ditentukan oleh banyak sedikitnya informasi yang dimiliki oleh penganut atau mereka yang mempercayainya. c. Citra Harapan (Wish Image) Citra harapan adalah suatu citra yang diharapkan oleh pihak pencitra. Citra ini juga tidak sama dengan citra yang sebenarnya. Biasanya citra harapan lebih baik atau lebih menyenangkan daripada citra yang ada, walaupun dalam kondisi tertentu, citra yang terlalu baik juga bisa merepotkan. Namun secara umum yang disebut sebagai citra harapan itu memang merupakan sesuatu yang berkonotasi lebih baik. Citra harapan ini biasanya dirumuskan dan diperjuangkan untuk
Universitas Sumatera Utara
menyambut sesuatu yang relatif baru, yakni ketika khalayak belum mempunyai informasi yang memadai. d. Citra Perusahaan / Kelembagaan (Corporate Image) Citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan citra atas produk dan pelayanan saja. Citra perusahaan terbentuk oleh banyak hal.
Hal-hal positif yang dapat meningkatkan citra suatu perusahaan
antara lain adalah sejarah atau riwayat hidup perusahaan yang gemilang, keberhasilan-keberhasilan di bidang keuangan yang pernah diraih, sukses ekspor, hubungan industri yang baik, reputasi yang baik sebagai pencipta lapangan kerja dalam jumlah besar, kesediaan turut memikul tanggungjawab sosial, komitmen mengadakan riset dan sebagainya. Marks and Spencer memiliki suatu citra perusahaan yang cemerlang dan sudah mendapat pengakuan internasional. e. Citra Majemuk (Multiple Image) Setiap perusahaan atau organisasi pasti memiliki banyak unit dan pegawai (anggota). Masing-masing unit dan individu tersebut memiliki perilaku tersendiri, sehingga secara sengaja ataupun tidak mereka pasti memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan jumlah pegawai yang dimilikinya. Untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan, variasi citra itu harus ditegakkan. Banyak cara yang dapat ditempuh. Antara lain dengan mewajibkan semua karyawan untuk mengenakan seragam, menyamakan jenis dan warna mobil dinas, bentuk toko yang khas dan simbol-simbol tertentu serta hal-hal lainnya. Contoh perusahaan yang sering memakai metode ini misalnya adalah maskapai penerbangan.
Universitas Sumatera Utara
I.3.1.3. Citra Positif dan Citra Negatif Anggoro menyatakan bahwa citra yang positif dan ideal adalah kesan yang benar,
yakni
sepenuhnya
berdasarkan
pengalaman,
pengetahuan,
serta
pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Itu berarti citra tidak seyogyanya "dipoles agar lebih indah dari warna aslinya", karena hal itu justru dapat mengacaukan. Suatu citra yang sesungguhnya bisa dimunculkan kapan saja, termasuk di tengah terjadinya musibah atau sesuatu yang buruk. Caranya adalah dengan menjelaskan secara jujur apa yang menjadi penyebabnya, baik itu informasi yang salah atau suatu perilaku yang keliru. 19
I.3.1.4. Citra dan Identitas Banyak orang mencampur adukkan citra dengan identitas. Padahal walaupun memiliki kaitan erat, citra tidaklah sama dengan identitas. Hal ini dikarenakan citra adalah hasil persepsi. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Jallaludin Rahkmat dalam bukunya, Psikologi Komunikasi bahwa citra adalah penggambaran tentang realitas yang tidak harus sesuai dengan realitas sebenarnya. Identitas adalah apa yang sebenarnya ada pada atau ditampilkan.
Identitas
menempatkan jati diri, sedangkan citra adalah persepsi masyarakat terhadap jadi diri itu.
Identitas bukan citra. Tetapi identitas dapat membantu untuk
mengingatkan masyarakat tentang citra mereka. Dalam kerangka lebih kompleks, Jean Baudrillard mengatakan bahwa citra dipersepsikan untuk 4 hal, yaitu; sebagai refleksi dari realitas dasar, citra sebagai
19
Ibid, hal. 83
Universitas Sumatera Utara
alat untuk menutupi dan menyesatkan realitas dasar, citra sebagai alat untuk menutupi ketidakhadiran realitas dasar dan citra sebagai hasil dari realitas yang tidak memiliki relasi dengan realitas manapun (hyperealitas).
I.3.1.5. Proses Pembentukan Citra / Pencitraan (Imagology) Citra adalah kesan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengetahuan dan pengertian tentang
fakta-fakta atau kenyataan. 20 Pencitraan (imagology)
merupakan satu upaya untuk menciptakan karya kreatif yang dibalut dengan berbagai teknik persuasi baik itu dalam bentuk audio, visual maupun narasi yang hasilnya menampilkan sesuatu gambaran (realitas) yang lebih menarik dan meyakinkan. 21 Kata imagologi (imagology) pertama kali diungkapkan oleh Milan Kundera dalam salah satu novelnya yang berjudul “Immortality”. Imagologi merupakan penggabungan kata imago dan logos yang berarti logika imajinasi. Imagologi merupakan manifestasi dari imaginasi yang berisi kata, tanda dan citra atau gambar. Imagologi tidak membedakan mana yang realitas aktual dan mana yang merupakan realitas hasil representasi (virtual). Hal tersebut karena imagologi berada sekaligus dalam dunia yang bergerak maju secara dialektis dimana terdapat aktualisasi dan virtualisasi. Virtualisasi yang dimaksud dalam proses imagologi dapat dijelaskan dalam permainan, keindahan dan normatifitas yang dilogiskan menjadi citra atau gambaran (imagi). Dalam proses selanjutnya,
20
Soleh Sumirat & Elvinaro Ardianto, OpCit, hal.115 Lihat Bachtiar Aly, Kompetisi Pencitraan, http://news.okezone.com/SKS/index.php/ReadStory/2009/06/01/274/224900/kompetisipencitraan, diakses pada 1 juli 2009 21
Universitas Sumatera Utara
virtualisasi menjadi bagian dari aktualisasi yang terimitasi dimana imagi-imagi dalam proses virtualiasi menjadi rujukan dalam memahami suatu realitas. 22 Untuk mengetahui citra seseorang terhadap suatu objek dapat diketahui dari sikapnya terhadap objek tersebut. Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, pada informasi dan pengetahuan yang kita miliki. Tidak akan ada teori sikap atau aksi sosial yang tidak didasarkan pada penyeledikan tentang dasardasar kognitif.
Efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses
pembentukan citra seseorang.
Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan
informasi-informasi yang diterima seseorang Proses pembentukan citra dalam struktur kognitif yang sesuai dengan pengertian sistem komunikasi dijelaskan oleh ohn S. Nimpoeno dalam laporan penelitian tentang tingkah laku konsumen, seperti yang dikutip, sebagai berikut :
Kognisi Stimulus Rangsangan
Persepsi
Sikap
Respon Perilaku
Motivasi
Gambar 1. Model Pembentukan Citra23
Hubungan digambarkan sebagai input-output, proses intern dalam model ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan 22
Lihat Budi Hartanto, Virtual Revolution, http://www.bloxster.net/buzzart/, diakses pada 19 Maret 2009 23 Soleh Sumirat & Elvinaro Ardianto, OpCit, hal.115
Universitas Sumatera Utara
output adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Citra itu sendiri digambarkan melalui persepsi-kognisi-motivasi-sikap. Model pembentukan citra ini menunjukkan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respons. Stimulus (rangsangan) yang diberikan pada individu diterima atau ditolak. Jika rangsangan ditolak proses selanjutnya tidak dapat berjalan, hal ini menunjukkan bahwa rangsangan tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu karena tidak ada perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya, jika rangsangan itu diterima oleh individu, berarti terdapat komunikasi dan terdapat perhatian organisme, dengan demikian proses selanjutnya dapat berjalan. Empat komponen persepsi-kognisi-motivasi-sikap diartikan sebagai citra individu terhadap rangsangan. Jika stimulus mendapat perhatian, individu akan berusaha untuk mengerti tentang rangsangan tersebut. a. Persepsi Diartikan sebagai hasil pengamatan unsur lingkungan yang dikaitkan dengan suatu proses pemaknaan. Dengan kata lain, individu akan memberikan makna terhadap rangsangan berdasarkan pengalaman mengenai rangsangan. Kemampuan mempersepsi itulah yang dapat melanjutkan proses pembentukan citra. Persepsi pandangan individu akan positif bila informasi yang diberikan oleh rangsangan dapat memenuhi kognisi individu. b. Kognisi Yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus. Keyakinan akan timbul apabila individu telah mengerti rangsangan tersebut, sehingga
Universitas Sumatera Utara
individu
harus
diberikan
informasi-informasi
yang
cukup
yang
dapat
mempengaruhi perkembangan kognisinya. c. Motivasi Motif adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. d. Sikap Adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi ataupun nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi.
Sikap menentukan apakah orang
harus pro atau kontra terhadap sesuatu, menentukan apa yang disukai, diharapkan dan diinginkan. Sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan (like) atau tidak menyenangkan (dislike). Sikap ini juga dapat diperteguh atau diubah. 24
I.3.2. Politik Asal
mula politik itu sendiri menurut Robert Dahl, berasal dari kata
“polis” yang berarti “negara kota”, dengan demikian politik memiliki hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan ini timbul aturan, kewenangan, dan pada akhirnya kekuasaan. Tetapi menurut Hoogerwerf, politik
24
Ibid, hal.116
Universitas Sumatera Utara
bisa saja dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan, pemerintahan, konflik dan pembagian atau kata-kata serumpun. 25 Secara esensial politik merupakan aspek kehidupan manusia yang mempunyai nilai luhur dan fundamental. Hal ini karena politik adalah ruang publik. ia merupakan pola managemen kolektif, lokus bertemunya beragam kepentingan dan aspirasi manusia. Pada prinsipnya, karakter manusia adalah keinginan untuk hidup bersama. Manusia manapun tidak mungkin hidup sendiri tanpa bersinggungan dan ditopang oleh manusia lain. Seseorang bisa eksis karena terkait dengan teman, saudara, sanak famili, ketua RT, tukang becak, penjual sayur, guru, mahasiswa, supir bus, tukang sapu, petugas pom bensin, tukang bakso dan sebagainya. Dan inilah sebenarnya esensi dan fungsi substantif entitas politik yakni berbagi kerja untuk kemaslahatan bersama. Dari masing-masing komponen itu, tidak ada yang tidak penting, semuanya penting. Karena apabila salah satunya macet, maka akan memacetkan komponen yang lain Politik merupakan suatu fungsi hubungan antara penguasa dan yang dikuasai. Pemerintahan mungkin dijalankan oleh satu orang (raja, diktator, otokrat, tiran), beberapa orang (oligarki, yunta, elit), atau banyak orang (electorates). Tetapi dalam kehidupan nyata, penguasa-penguasa bijak tidak mesti selalu bersikap bijak. Artinya, negara dari hakim atau raja yang bajik tidaklah permanent. Stabilitas terjadi bila semua kelas rakyat
25
berlainan dapat
Drs. Inu Kencana Syafi`ie, Ilmu Politik, Jakarta:Rineka Cipta, 1997, hal.8
Universitas Sumatera Utara
berpartisipasi; tetapi, demokrasi absolute menimbulkan anarki. Kompromi terbaik adalah Negara yang mencerminkan kekuasaan kelas. 26 Politik berkaitan dengan kekuasaan, begitulah yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau dalam tulisannya yang berjudul Politics Among Nation yang mendominasi kegiatan terisolasi realis sesudah Perang Dunia II, menegaskan proposisi bahwa kekuasaan adalah fokus utama studi dan praktek hubungan internasional. Pemikirannya tentang realisme politik dan tentang kekuasaan tercermin dalam kutipan berikut ini. 27 Politik internasional, seperti halnya semua politik, adalah perjuangan memperoleh kekuasaan. Adapun tujuan akhir dari politik internasional, tujuan menengahnya adalah kekuasaan. Negarawan-negarawan dan bangsa-bangsa mungkin mengejar tujuan akhir berupa kebebasan, keamanan, kemakmuran atau kekuasaan itu sendiri. Mereka mungkin mendefinisikan tujuan-tujuan merka itu dalam pengertian tujuan yang religius, filosofis, ekonomis atau sosial. Mereka mungkin berharap bahwa tujuan ini akan terwujud melalui perkembangan alamiah urusan kemanusiaan. Tetapi begitu mereka berusaha mencapai tujuan-tujuan mereka dengan menggunakan politik internasional, mereka melakukannya dengan berupaya memperoleh kekuasaan. Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu 26
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta : LP3ES, hal.68 Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional (Disiplin dan Metodologi), Jakarta: LP3ES, 1990, hal 20 27
Universitas Sumatera Utara
menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai-berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang (individu). 28
I.3.3. Politik Pencitraan Politik Pencitraan (imagology politic) dapat didefinisikan sebagai representasi visual dan naratif yang mengedepankan citra atau gambaran dengan menggunakan medium tertentu yang sifatnya umum (masiv) dengan beberapa proses yang melibatkan simbol-simbol dan entitas-entitas sosial dan politik dengan tujuan kekuasaan.. Politik pencitraan pada dasarnya adalah merupakan simbiosis antara strategi politik dengan teknik pencitraan yang di dalamnya ada pengemasan terhadap sesuatu objek pelaku politik baik itu perorangan (tokoh politik) maupun kelompok
(partai politik).
Politik
Pencitraan digunakan dalam rangka
mempengaruhi persepsi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga mereka dapat digiring ke suatu preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.29 Menurut RW Pollay pendekatan pencitraan dalam politik memiliki fungsi komunikasi, yaitu informasional dan transformasional seperti upaya meyakinkan
28
Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 2000 hal.8 Lihat Yasraf Amir Piliag, Simulakra Politik, http://www.unisosdem.org, diakses pada 14 Maret 2009
29
Universitas Sumatera Utara
khalayak agar memperkuat dan mengukuhkan sikap atas sesuatu objek dan entitas yang selama ini masih menjadi tanda tanya atau diperlukan perubahan sikap. 30 Pendekatan
politik
pencitraan
secara
esensial
digunakan
untuk
menciptakan ketersambungan atau kontinuitas antara realitas dan citra politik. Namun dalam imagologi politik, pendekatan pencitraan juga bisa digunakan untuk hal sebaliknya, dimana bila terjadi diskontiunitas antara citra politik dan realitas politik. Dalam hal ini pencitraan digunakan untuk menciptakan realitas kedua (second reality) yang didalamnya terdapat kebenaran yang dimanipulasi. Sehingga realitas yang digambarkan lewat pencitraan (realitas virtual) seolah-olah merupakan realitas sebenarnya (realitas aktual). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Politik Pencitraan merupakan interprestasi dari simulasi realitas (simulakra). Jean Baudrillard dalam Simulations (1981) mengatakan bahwa simulakra adalah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan
tanda
yang
menciptakan
kekacauan,
turbulensi,
dan
indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan. Ia semacam mesin (simulacra machine) yang memproduksi segala yang palsu (false), menyimpang dari rujukan (referent) dengan menciptakan tanda sebagai topeng (mask), tabir, kamuflase, atau fatamorgana. Simulakra politik adalah penggunaan tanda dan citra dalam politik, sedemikian rupa, yang di dalamnya citra telah terputus dari realitas yang direpresentasikan sehingga di dalamnya bercampur aduk antara yang asli/palsu,
30
Bachtiar Aly, OpCit
Universitas Sumatera Utara
realitas/fantasi, kenyataan/fatamorgana, citra/realitas yang menggiring dunia politik ke arah penopengan realitas (masquerade of reality). 31
I.3.4. Opini Publik I.3.4.1. Definisi Opini Publik Opini publik terdiri dari dua kata yaitu Publik dan Opini. Menurut Gabriel Tarde, Publik adalah satuan individu orang banyak yang terwujud karena masingmasing orang berkeinginan untuk menjadi salah satu di antara orang-orang yang mempunyai obyek perhatian yang sama dan sama pula dalam cita dan tujuannya. Soerjono Soekanto mendefinisikan publik sebagai kelompok yang tidak merupakan kesatuan, yang berinteraksi secara tidak langsung melalui media komunikasi pribadi dan massa. Mayor Polak mendefinisikan publik sebagai sejumlah orang yang berminat dan merasa tertarik terhadap suatu masalah dan berhasrat mencari jalan keluar dan dengan mewujudkan tindakan konkret. Menurut Herbert Blumer, Opini Publik adalah suatu produk kolektif yang merupakan pendapat anonim yang disetujui oleh setiap orang dari publik, dan juga tidah harus selalu pendapat mayoritas. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa opini publik adalah sikap yang dinyatakan secara verbal oleh sejumlah orang yang tidak tergantung kepada tempat, yang mempunyai reaksi psikis terhadap suatu isu yang dapat menimbulkan kesatuan jiwa 32 Publik sederhananya adalah sejumlah individu yang tidak harus saling mengenal secara pribadi namun terikat kepada satu isu atau masalah yang sama, 31 32
Yasraf Amir Pilinag, OpCit Matulada, Demokrasi Dalam Tradisi Masyarakat Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1986, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
berkeinginan untuk menjadi bagian dari pemecahan masalah tersebut, secara rasional, dimana dalam proses tersebut terjadi diskusi publik yang rasional melalui media komunikasi massa dan pribadi. Publik adalah sejumlah orang banyak yang terikat pada satu keharusan mengambil bagian dalam kelompok-kelompok orang yang mempunyai sasaran perhatian dan tujuan yang sama. Opini adalah pendapat, yaitu suatu keputusan yang diungkapkan melalui kata-kata, baik lisan maupun yang tertulis, pendapat adalah sikap yang dinaytakan secara verbal. Di dalam publik kurang ada sugesti dan mengekor tanpa berpikir. Tetapi sebaliknya ada diskusi sosial secara rasional atau sekurang-kurangnya ada kecenderungan berfikir rasional. Herbert Blumer mendefinisikan pulik sebagai sekelompok manusia yang berkumpul secara spontan dengan syarat-syarat dihadapkan
oleh
sebuah
masalah,
terdapat
perbedaan pendapat
dalam
menyelesaikan masalah, adanya diskusi untuk mencari jalan keluar. Emory S Bogardus mendefinisikan publik sebagai sejumlah orang yang tidak saling mengenal namun mempunyai pandangan yang sama mengenai suatu masalah, atau setidak-tidaknya mempunyai kepentingan bersama dalam suatu hal. Hugo Samkalden mendefinisikan publik sebagai kelompok orang yang terikat pada tempat, namun yang lebih pen ting adalah terjadinya reaksi psikis yang mewujudkan kesatuan jiwa.
Universitas Sumatera Utara
I.3.4.2. Sifat Opini Kompetensi opini publik mempunyai dua sifat yang paradoksal; tidak terbatas dan terbatas. Yang pertama kali menjadi keterbasan opini publik adalah masalah waktu. Opini publik mempunyai batas waktu untuk bertahan sebagai opini sebelum kemudian opini tersebut dilupakan dari agenda publik yang sering kali individu maupun kelompok menciptakan berbagai isu politiik dengan tujuan untuk mematikan suatu opini publik yang ada agar segera berganti dengan opini publik yang baru yang disebut dengan Counter Opinion. Yang menjadi keterbatasan kedua opini publik adalah opini publik berada pada tataran moral dan etika. Dengan demikian opini publik jarang mampu untuk memberikan opini yang bersifat teknis. Individu maupun kelompok yang diserang oleh opini publik yang menentang sering kali berkilah dengan membawa opini publik tersebut ke ranah teknis sehingga opini publik kehilangan kekuatannya. Paradoks kedua adalah bahwa opini publik mempunyai ketidakterbatasan. Pertama, ketidakterbatasan dalam jumlah anggota. Jika di masa lalu kita hanya memahami bahwa opini publik hanya dapat terbentuk pada individu dari berbagai negara, baik dalam konteks menanggapi isu pada satu negara atau isu dari beberapa negara. Sebagai contoh adalah isu lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang menciptakan gerakan dari masyarakat dunia bahwa setiap negara harus melaksanakan pembangunan yang berkesinambungan atau melindungi alam, dan juga harus tidak melanggar hak-hak asasi manusia. 33
33
Ibid, hal. 131
Universitas Sumatera Utara
Opini publik juga mengalami ketidakterbatasan dalam hal ruang. Opini publik terbentuk dalam ruang lokal, nasional, regional maupun global. Ini sekaligus menunjukkan bahwa globalisasi meniadakan batas-batas pembentukan opini. Tidak ada satu negara totalitarian pun yang hari ini dapat mengabaikan opini publik, karena opini publik yang ada tidak saja berasal dari dalam, yang dengan mudah dapat dibungkam namun juga dari dunia internasional yang dapat menghasilkan kebijakan baru baik antar negara global mulai pengucilan maupun perang. Ada juga kekhasan opini publik, bahwa dalam opini publik selalu terjadi polarisasi opini antara opini yang mendukung (pro) dan opini yang melawan (kontra). Dapat dikatakan, tidak ada “pendapat antara” di antara keduanya. Dalam konteks ini, kita melihat bahwa sebenarnya opini piblik adalah bentuk kompetisi paling terbuka dan frontal akan suatu isu dan pemecahannya. 34
I.3.4.3. Proses Terbentuknya Opini Proses pembentukan opini publik dilakukan melalui berbagai cara, misalnya melalui media massa baik itu elektronik atau cetak. Opini publik yang dibangun di tengah masyarakat misalnya dalam permasalahan Politik Pencitraan adalah dalam proses pembentukan akuntabilitas politik seorang kontestan politik. Akuntabilitas seorang kontestan politik menentukan tingkat popularitas kontestan politik tersebut dan juga tingkat elektabilitasnya. Oleh karena itu ada upaya penggiringan opini untuk menciptakan citra yang baik di masyarakat tentang 34
Riant.N.Dwijiwijoto, Komunikasi Pemerintahan : Sebuah Agenda Bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2004, hal. 123
Universitas Sumatera Utara
sosok kontestan politik agar kiranya kontestan politik tersebut bisa mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaanya. Sedangkan di sisi lain, adanya pembangunan opini publik bahwa ada hal yang lebih penting dari sekedar pencitraan saja. Tetapi lebih kepada pendekatanpendekatan lain yang lebih nyata daripada pendekatan pencitraan yang rentan dengan manipulasi dan klaim. Apalagi menurut pelempar opini tersebut, pencitraan yang dilakukan sangat kental dengan aroma manipulasi dan modifikasi isu, sehingga tidak benar-bernar dirasakan oleh masyakat sebagai obyek dari opini tersebut. Pembentukan opini publik di tengah masyarakat ini adalah salah satu proses pendidikan politik dan pendewasaan politik di tengah masyarakat. Inilah yang disebut sebagai pembentukan opini secara kognitif. Selain proses pembentukan opini secara kognitif, ada juga satu proses lagi dalam pembentukan opini publik, yakni proses pembentukan opini publik secara afektif. Yang dimaksud dengan pembentukan opini publik secara afektif adalah selama proses pembentukan opini, masyarakat ataupun konstituen tidak diposisikan sebagai obyek, akan tetapi ditempatkan atau diposisikan sebagai subyek. Proses pembentukan opini publik dalam hal ini melibatkan masyarakat secara langsung sehingga masyarakat bukan hanya mendengat tetapi juga sekaligus menjadi pelaku. Proses ini dalam orientasi politik pencitraan diharapkan akan membuat tingkat partisipasi masyarakat menjadi tinggi. Misalnya dalam masalah aspirasi masyarakat tentang program-program politik para kontestan politik. Diharapkan
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya pembangunan opini publik seperti tersebut masyarakat menjadi lebih peka terhadap isu-isu politik yang menyangkut kehidupan orang banyak. Apabila nantinya masyarakat menjatuhkan pilihan terhadap kontestan politik, pilihan tersebut disertai dengan kesadaran dan pengetahuan yang luas tentang
Politik Pencitraan yang dilakukan oleh kontestan politik yang pada
akhirnya akan membawa kesadaran politik dan pengawasan politik terhadap kontestan politik terpilih berdasarkan Politik Pencitraan yang dilakukannya.
I.4. Definisi Konsep I.4.1. Opini Opini adalah suatu produk kolektif yang bukan merupakan pendapat anonim yang disetujui oleh setiap orang dari publik, dan juga tidak harus selalu merupakan pendapat mayoritas. Sederhananya pendapat publik adalah sikap yang dinyatakan secara verbal oleh sejumlah orang yang tidak tergantung kepada tempat, yang mempunyai reaksi psikis terhadap suatu isu yang menimbulkan kesatuan jiwa. Dalam Penelitian ini, opini yang akan diteliti adalah bagaimana pendapat masyarakat kota Medan, khususnya masyarakat Kecamatan Medan Perjuangan Kelurahan Sidorame Timur dalam melihat politik pencitraan yang dilakukan SBY dalam menjatuhkan preferensi politik pada pemilu presiden 2009.
Universitas Sumatera Utara
I.4.2. Politik Pencitraan Politik Pencitraan adalah serangkaian kegiatan dan upaya yang dilakukan oleh kontestan politik dan kelompoknya untuk menciptakan opini di masyarakat tentang gambaran sosok kontestan politik dalam rangka mempengaruhi popularitas politiknya yang merupakan cikal bakal elektabilitas politik kontestan tersebut dalam pemilihan umum. Dalam penelitian ini, pencitraan yang dimaksud adalah pencitraaan positif SBY lewat media masa sebagai kanal budaya populer baik berbentuk iklan politik, pidato politik maupun berita-berita politik yang menciptakan persepsi baik terhadap sosok SBY.
I.5. Definisi Operasional Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, definisi operasional adalah penjelasan tentang bagaimana suatu variabel-variabel akan diukur. Konkritnya definisi operasional merupakan rincian dari indikator-indikator pengukur
suatu
variabel.
Definisi
operasional
mempermudah
peneliti
mengoperasionalkan dengan cara memberikan parameter atau indikator-indikator dari variabel yang akan diteliti.
35
Adapun indikator-indikator penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Indikator Politik Pencitraan -
Publikasi-publikasi positif yang dilakukan dan dikeluarkan oleh SBY dan team pemenangan serta pihak diluar dalam kerangka
35
Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta : LP3ES, 1995, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan tingkat elektabilitas politik SBY dalam pemilihan presiden 2009 baik berupa iklan politik, pidato politik maupun pemberitaan-pemberitaan politik. 2. Indikator Opini -
Tanggapan publik mengenai Politik Pencitraan SBY yang meliputi persepsi, kognisi, motivasi dan sikap publik dalam rangka menjatuhkan pilihan politik pada pemilu 2009
I.6. Metodologi Penelitian I.6.1. Bentuk Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif yang dapat diartikan sebagai pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek yang diteliti baik itu perorangan, lembaga atau masyarakat berdasarkan fakta-fakta yang didapat. Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah penelitian sikap atau pendapat individu, organisasi, keadaan maupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dalam survey, wawancara atau observasi. 36
I.6.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan, kota Medan, Sumatera Utara. Pemilihan lokasi ini didasari atas pertimbangan bahwa daerah penelitian ini merupakan salah satu daerah di
36
Mudrajad Kuncoro, Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta : Erlangga, 2003.hal.8
Universitas Sumatera Utara
Kota Medan yang didominasi dan dikembangkan oleh kelompok pendatang dan memiliki keberagaman yang ada pada masyarakat, baik keragaman agama, suku, pandangan politik dan sebagainya. Kelurahan ini juga merupakan salah satu kelurahan dengan jumlah penduduk terpadat di Kecamatan Medan Perjuangan yang juga merupakan kecamatan terpadat di Kota Medan, sehingga kemajemukan yang ada akan berasimilasi dengan sangat cepat termasuk di dalamnya asimilasi politik. Disamping itu, keberadaan calon legislatif baik untuk tingkat kabupaten/kota, propinsi dan pusat yang bertempat tinggal di daerah ini yang secara tidak langsung akan membuat pertarungan antara calon dan partai semakin menarik.
I.6.3. Hipotesa H0 =
dalam penelitian ini, preferensi politik masyarakat pemilih berhubungan dengan pencitraan politik SBY, sehingga pencitraan dinilai efisien.
H1 =
dalam penelitian ini, preferensi politik masyarakat pemilih tidak berhubungan dengan pencitraan politik SBY, sehingga pencitraan dinilai tidak efisien.
I.6.4. Populasi dan Sample I.6.4.1. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditetapkan kesimpulannya. Populasi mempunyai lambang
Universitas Sumatera Utara
(N).37 Dalam penelitian ini, yang dimaksud sebagai populasi adalah seluruh masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi penelitian (Kelurahan Sidorame Timur Kecamatan Medan Perjuangan) sesuai data terakhir yang tercatat (2009). Dari data pra penelitian yang di dapat, pendudukan kelurahan Sidorame Timur pada tahun 2009 berjumlah 9535 jiwa. Gambaran tentang komposisi penduduk akan digambarkan pada bab berikutnya.
I.6.4.2. Sampel Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Bila populasi besar, maka peneliti tidak mungkin meneliti semua anggota populasi, sehingga dalam hal ini peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Untuk itu sample yang diambil dari populasi harus benar-benar menjadi representasi dari populasi tersebut. 38 Oleh karena populasi yang akan diteliti memiliki sifat yang heterogen, maka pada teknik penarikan sample teknik yang digunakan adalah teknik proporsional stratifikasi yakni populasi yang mempunya anggota atau unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Beberapa peneliti menyatakan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari 10%. 39 Adapun rumus yang digunakan dalam menentukan jumlah dalam pengambilan sample adalah rumus yang dikemukakan oleh Taro Yamane, yaitu :
37
Husein Umar, Metode Riset Bisnis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003,hal.65 Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV Alfabeta, 2006, hal. 56 39 Masri Singarimbun, Op.Cit, hal.106 38
Universitas Sumatera Utara
n=
N Nd 2 + 1
dimana ; n
= Jumlah besarnya sampel
N = Jumlah populasi d
= Presisi
Dari rumus yang dikemukakan oleh Taro Yamane tersebut, maka dalam penelitian ini sampel yang diambil dari populasi berjumlah 8721 jiwa adalah ;
n=
=
N Nd 2 + 1
9535
9535(0.1) + 1 2
=
9535 95.35 + 1
=
9535 96.35
n = 98.96 = 99
maka jumlah sampel penelitian ini adalah 99 orang. Agar penelitian ini benar-benar dapat menggambarkan kondisi pencitraan yang terjadi pada pemilu presiden 2009 yang lalu, maka sampel penelitian diproporsikan sesuai dengan jumlah suara pilpres 2009 yang lalu di Kelurahan Sidorame Timur. Adapun hasil suara pada pilpres 2009 yang lalu adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel. 1 Proporsi Sample Berdasarkan Proporsi Suara Pilpres 2009 No 1 2 3 4
Pasangan Calon Suara Persentase Megawati – Prabowo 1619 23.42 SBY – Budiono 3857 55.80 JK – Wiranto 1158 16.76 Golput 278 4.02 JUMLAH 6912 100 Sumber : PPK Kecamatan Medan Perjuangan 2009
Jlh Sampel 23 55 17 4 99
I.6.4.2.1. Teknik Sampling Langkah-langkah sampling yang digunakan dalam melakukan penelitian adalah : 1. Proporsional Stratified Random Sampling (sampling acak distratifikasi secara proporsional). Dimana masyarakat yang dipilih secara acak sesuai dengan proporsi suara pada pemilu legislatif 2009. 2. Sampling Purposive, dimana dari jumlah masyarakat yang ditemui, misalnya sebanyak 4 orang harus memenuhi beberapa kriteria yang menyangkut permasalahan yang menjadi topik penelitian. 3. Accidental Sampling, adalah teknik penarikan sample yang didasarkan atas sifat kebetulan. Dimana anggota sample dalam teknik ini ditentukan dengan sederhana, yaitu dengan memilih responden terdekat yang ditemui pada saat itu juga. Tanpa kriteria-kriteria dan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
I.6.5. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, akan digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut ;
Universitas Sumatera Utara
I.6.5.1. Penelitian Lapangan (Field Research) Pengumpulan data secara primer dilakukan melalui penyebaran angket (kuesioner) dengan pengajuan daftar pertanyaan karena sifatnya jauh lebih praktis dan mudah digunakan. Metode ini dapat disusun dengan tenang dan teliti sehingga penyusunan dan perumusan pertanyaan dapat dilakukan secara sistematik dan sesuai dengan masalah yang diteliti. Metode ini juga memungkinkan banyak orang yang dapat dihubungi namun dengan waktu yang relatif singkat. 40 Dalam penelitian ini angket yang digunakan adalah angket tertutup yang dalam artian telah tersedia jawaban yang dapat dipilih oleh responden yang termasuk dalam kategori sampel seperti telah dijelaskan sebelumnya.
I.6.5.2. Penelitian Pustaka Pengumpulan data secara sekunder dilakukan dengan melakukan studi pustaka terhadap literatur-literatur maupun dokumen ilmiah lainnya, serta dengan mempelajari data-data atau dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini.
I.6.6. Teknik Analisa Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi. Data-data yang dikumpulkan dalam proses penelitian, baik itu data primer maupun data sekunder
40
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hal.173
Universitas Sumatera Utara
akan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.
I.6.7. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan bukan hanya menggambarkan susunan dari penulisan tetapi juga menjabarkan rencana penulisan atau bentuk fisik penelitian. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci serta untuk mempermudah pemahaman isi dari isi skripsi ini, maka skripsi ini dibagi dalam 4 bab dimana setiap bab akan dibagi ke dalam beberapa sub-bab. Bab I. PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, definisi konsep, definisi operasional, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini akan menggambarkan segala sesuatu mengenai lokasi tempat dilakukannya penelitian seperti keadaan geografis, demografi, struktur organisasi dan lain sebagainya. Bab III. PENYAJIAN DAN ANALISA DATA Bab ini berisikan penyajian dan analisa data yang diperoleh selama proses penelitian berlangsung. Data tersebut disajikan dan dianalisa sesuai dengan karakteristik responden dan bagaimana responden melihat politik pencitraan dalam rangka menentukan pilihan politik dalam pemilu 2009.
Universitas Sumatera Utara
Bab IV. PENUTUP Bab ini menjadi bagian terakhir dari semua proses penelitian yang mana dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan serta saran-saran dan kritik yang membangun sebagai bahan pertimbangan untuk kesempurnaan penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara