BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Sistem media merupakan bentuk koloni komunikasi yang terefleksi melalui isi media. Dalam hal ini media merupakan sarana penting bagi publik untuk mendapatkan informasi yang benar, berimbang dan netral. Bentuk koloni itu salah satunya adalah adanya bias yang diduga terjadi pada berita tentang TKI di Arab Saudi yang disiarkan media di Indonesia dan Arab Saudi. Sebagian memandang berita tentang TKI di Arab Saudi yang dilaporkan berbagai media dikedua negara menjadi refleksi yang informatif yang bermanfaat bagi khalayak di Indonesia dan Arab Saudi. Bagi sebagian lain berita tentang TKI tidak lebih dari konstruksi realitas yang cenderung berbeda tergantung pada kepentingan dari setiap media. Penelitian ini akan mengobservasi bias dan tingkat perbedaan bias yang diduga terjadi pada 131 berita tentang TKI di SKE detik.com dan sabq.org dari bulan 1 Maret sampai 30 Juni 2011. Pada level makro perbedaan bias dari isi dan performansi berita muncul akibat sistem sistem media yang berbeda diberbagai negara di dunia. Secara parktis hal ini menyebabkan praktik jurnalisme yang berbeda pula. 1
2
Bila di negara yang demokratis profesionalisme jurnalisme dapat berkembang, sebaliknya profesionalisme jurnalisme tidak berkembang secara pesat di negara dengan paralisme politik dan media yang tinggi (Hallin dan Mancini, 2005:73). Di Indonesia pasca Orde Baru media lebih terbuka dan lebih demokratis. Demikian ini ditandai dengan tidak diberlakukannya lagi SIUPP dan tidak ada lagi pembredelan terhadap media yang mengkritik pemerintah. Hal ini bukan berarti bahwa media di Indonesia berarti bebas dari kepentingan lain, seperti halnya kepentingan ekonomi. Dalam posisinya sebagai lembaga ekonomi media harus bertahan hidup. Datangnya para pemilik modal justru mengarah pada terjadinya konglomerasi media di negara dengan sistem yang sudah terlanjur market based power. Sistem yang demikian ini tentu akan ikut mempengaruhi kebijakan redaksional setiap media di Indonesia. Berbeda halnya dengan media massa di Arab Saudi yang secara ekonomi disubsidi pemerintah Kerajaan (Rugh, 2004: 59). Pemerintah Kerajaan masih masih memberlakukan kontrol ketat terhadap media. Praktik jurnalisme di Arab Saudi juga dibatasi, karena struktur kekuasaan dan budaya yang ada menghendaki pers yang terbatas (Sakr, dalam De Hugo (ed.), 2005: 142).
3
Isi media di Arab Saudi menjadi terbatas, karena kebijakan redaksional yang melayani kepentingan kekuasaan dan budaya. Barubaru ini Radio Nederland (30/04/2011) melaporkan bahwa Raja Abdullah mengancam akan menutup media yang membela kepentingan pihak asing. Adanya berbagai
kepentingan
yang
ini tak
pelak
akan
menghasilkan isi berita yang secara jurnalisme cenderung tidak faktual, tidak berimbang dan tidak netral, atau dalam bahasa jurnalisme disebut bias, sesuai dengan kepentingan media itu sendiri dalam melayani “tuan”nya. Tidak mengherankan jika isi berita selalu menunjukkan kepentingan dari orang yang membiayai pers (Altschull, dalam Severin dan Tankard: 2009: 384). Demikian halnya dengan lingkungan yang melingkupi media. Media yang hidup dalam sistem media yang berbeda cenderung menghasilkan bias yang berbeda pula. Wartawan yang hidup di negara yang demokratis cenderung lebih profesional dalam melakukan tugas meliput sampai dengan melaporkan hasil liputannya. Sementara wartawan yang hidup di negara dengan sistem media yang cenderung otoriter cenderung tidak berkembang dalam profesionalisme.
4
Asumsi adanya bias yang terjadi dalam pemberitaan oleh berbagai media bukanlah tanpa alasan. Sebuah hasil survei melalui telefon yang dilakukan oleh School of Communication University of Miami Amerika Serikat tentang kredibilitas berita, dengan membandingkan suratkabar, televisi, dan koran online pada Februari tahun 2002 atas 536 responden berusia 18 tahun ke atas dari 50 negara menyebutkan bahwa setiap media mengandung bias, meskipun masih dapat menjalankan fungsi utama sebagai media informasi. TABLE 1. 1 Perceived News Credibility by Medium Variables Trustworthy
Newspapers
Television
Online
M
SD
M
SD
M
SD
0.51
0.88
0.51
0.94
0.70
0.74
Current
1.03
0.68
1.08
0.57
1.11
0.68
Biased
-0.60
0.95
-0.44
1.02
0.01
0.89
Fair
0.22
0.91
0.34
0.90
0.52
0.76
Report the whole story
-0.15
1.03
-0.19
1.04
0.18
0.98
Objective
0.25
0.95
0.19
0.97
0.43
0.81
Dishonest
0.44
0.88
0.43
0.87
0.57
0.79
Up-to-date
0.97
0.57
1.03
0.57
1.07
0.62
Believable
0.62
0.72
0.67
0.75
0.75
0.66
Balanced
0.17
0.95
0.20
0.98
0.41
0.89
Accurate
0.34
0.89
0.43
0.85
0.65
0.72
Timely
0.86
0.64
1.00
0.56
1.09
0.61
(Sumber: Abdulla dkk., dalam Salwen dkk. (eds.), 2005: 147-161).
5
Data dalam tabel 1.1 menggambarkan bahwa berita online memiliki bias sebesar 0,01, sementara bias yang terjadi dalam suratkabar sebesar -0.60, sedang televisi memiliki bias sebesar -0.44. Realitas empirik dari aspek real world ini juga memberikan beberapa informasi penting terkait hubungannya dengan media dan audiens, antara lain, pertama, setiap media menghasilkan berita yang bias. Kedua, berita online (online-only newspaper) merupakan media yang paling tinggi dalam menghasilkan bias. Realitas ini tentu semakin mengkhawatirkan bagi keberadaan media sebagai sumber utama informasi bagi masyarakat terkait kredibilitas berita yang dilaporkannya. Jawaban responden bahwa setiap media mengandung bias menunjukkan bahwa masyarakat tidak menaruh kepercayaan
sepenuhnya
kepada
media
atas
informasi
yang
disampaikannya. Asumsi ini diperkuat dengan analisis faktor dari hasil penelitian Abdulla dkk. di muka bahwa bias menjadi faktor terpenting kredibilitas berita online melebihi dua faktor utama lain; trustworthiness dan currency. Kekhawatiran atas bias yang terjadi dalam SKE semakin besar dengan data dari beberapa studi tentang audiens yang menunjukkan bahwa pembaca koran online diberbagai negara semakin meningkat, khususnya di negara maju.
6
Sebagai gambaran di Amerika Serikat pada tahun 2005 (comScore Media Metrik XPC, dalam Garrison, 2005: 4) pembaca koran online mencapai 400.000. Pada tahun 2010 kurang dari 35% pembaca suratkabar cetak berusia di bawah 35 tahun (Baran, 2011: 150). Di sisi lain asumsi bias oleh pembaca, seperti halnya hasil penelitian di muka, merupakan subyektifitas yang seharusnya didukung data empirik hasil penelitian. Khususnya penelitian akademik dengan fokus teks berita. Sehingga asumsi masyarakat atas bias yang terjadi benar-benar akurat. Untuk tujuan besar itulah penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu detikcom dan sabq.org yang merupakan representasi SKE di Indonesia dan Arab Saudi dari sisi jumlah pengunjung dipilih sebagai obyek dalam penelitian ini. Di Indonesia detikcom adalah SKE dengan pengunjung terbanyak. Sedang sabq.org adalah SKE dengan pengunjung nomer wahid (alexa.com. 27/10/2011). Sebagai gambaran di Indonesia terdapat lebih dari 23 portal berita (media.or.id., 12/9/2011). Di Arab Saudi pada tahun 2010, lebih dari 30 koran online terbit, lebih banyak dibanding koran cetak yang hanya 13 buah (Antaranews.com. 25 /10/2011). Bias umumnya didapati di dalam berita yang mengandung konflik (Davenport, 2010: 32). Berita tentang TKI dengan demikian memiliki relevansi yang kuat untuk dijadikan obyek dalam penelitian ini.
7
Sebagai contoh adalah nilai konflik pada peristiwa yang menimpa TKW Sumiati, kasus Darsem dan eksekusi terhadap TKW Ruyati yang baru saja berlalu, dan sempat menjadi salah satu topik hangat berbagai media pada tahun 2011 di kedua negara. Tanggal 1 Maret-30 Juni 2011 ditetapkan sebagai time period, merupakan rentang waktu detikcom dan sabq.org secara kuantitatif lebih banyak memposting berita tentang TKI di Arab Saudi dibanding waktuwaktu sebelum dan sesudahnya pada tahun 2011. Sebanyak 64 berita diposting oleh detikcom, dan sebanyak 67 berita oleh sabq.org pada rentang waktu tersebut.
8
I. 2. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, dengan mempertimbangkan netralitas dalam penelitian ini karena belum ditemuinya data tentang bias pada berita tentang TKI di Arab Saudi, maka pertanyaan penelitian yang dapat diurai dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah ada bias media secara jurnalisme dalam berita tentang TKI di Arab Saudi pada SKE detikcom dan sabq.org periode 1 Maret-30 Juni 2011? 2. Bagaimanakah bias media secara jurnalisme dalam berita tentang TKI di Arab Saudi pada SKE detikcom dan sabq.org periode 1 Maret-30 Juni 2011 jikalau ada? 3. Bagaimanakah tingkat perbedaan bias media secara jurnalisme dalam berita tentang TKI di Arab Saudi pada SKE detikcom dan sabq.org periode 1 Maret-30 Juni 2011 jikalau ada bias?
I. 3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui ada-tidaknya bias media secara jurnalisme dalam berita tentang TKI pada media di Indonesia dan Arab Saudi. 2. Menggambarkan bias media secara jurnalisme dalam berita tentang TKI di Arab Saudi pada media di Indonesia dan Arab Saudi
9
3. Menggambarkan tingkat perbedaan bias media secara jurnalisme dalam berita tentang TKI di Arab Saudi pada SKE media di Indonesia dan Arab Saudi.
I. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademis dan praktis bagi semua fihak yang berkepentingan dengan isu TKI. Bentuk-bentuk manfaat itu antara lain: 1. Menambah referensi studi komparasi sistem media, khususnya perbandingan bias media Indonesia dan Arab Saudi. 2. Memberikan gambaran kepada khalayak mengenai kredibilitas berita online tentang TKI di Arab Saudi. Khususnya pada media online di Indonesia dan Arab Saudi. 3. Menjadi alternatif informasi tentang TKI di Arab Saudi bagi pemerintah, masyarakat dan semua fihak yang berkepentingan dalam permasalahan TKI di luar negeri, khususnya permasalahan yang terjadi pada TKI di Arab Saudi.
10
I. 5. Kerangka Pemikiran Dalam aktifitas penelitian kerangka pemikiran berfungsi memberikan arahan teoritis yang berguna untuk memberikan panduan berfikir yang logis dan
sistematis,
sehingga
hasil
penelitian
ini
nantinya
dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dimulai dengan penjelasan teoritis dan praktis tentang jurnalisme online, berita tentang TKI di Arab Saudi, diakhiri dengan penjelasan dan batasan bias sebagai fokus dalam penelitian ini. Pada akhir tiap pembahasan diakhiri dengan asumsi dan prediksi peneliti atas hasil penelitian berdasarkan studi atas teori dan hasil penelitian tentang bias media.
I. 5.1. Jurnalisme Online Jurnalisme online dapat dikatakan jurnalisme yang masih muda jika dibandingkan dengan jurnalisme konvensional. Jurnalisme online dapat dikatakan
sebagai refleksi atas
perkembangan
teknologi
komunikasi yang selalu berkembang. Di satu sisi secara teoritis diperlukan teori baru dalam kajian jurnalisme online, khususnya proses penyajian fakta. Di sisi lain isi berita tidak akan berubah, yaitu realitas sosial yang dikonstruksi.
11
Dengan demikian secara teoritis tidak terjadi perubahan prinsipil dari sisi isi berita. Sehingga teori dari jurnalisme konvensional masih memadai untuk menjawab perubahan dari jurnalisme konvensional menuju jurnalisme online. Secara umum jurnalisme selama ini lebih difahami sebagai teknik yang mencakup pencarian, pengumpulan, pengolahan dan penyajian fakta. Seperti dinyatakan Rudin dan Ibbotson (2002: 5): Journalism involves the sifting and editing of information, comments and events into a form that is recognizably different from the pure form in which they first occurred. Journalism is about putting events, ideas, information and controversies into context. It is about selection and presentation.
Jurnalisme bukanlan sekedar persoalan teknik semata, namun juga berkait dengan etika. Siregar (2006) menyatakan jurnalisme secara epistemologi terdiri atas aspek metodologi berkaitan dengan proses menghadapi fakta, dan etika menyangkut pertanyaan eksistensial mengenai citra diri (self esteem) dan citra sosial (social image) yang diharapkan diperoleh dari hasil metodologis tersebut. Sehingga secara fungsional jurnalisme dapat diartikan sebagai: 1. Pemasok informasi yang diperlukan bagi individu dan kelompok untuk memantau lingkungan sosial mereka. 2. Sumber daya untuk mendukung publik untuk ikut berperan aktif dalam debat politik dalam masyarakat.
12
3. Media pendidikan, pencerahan dan hiburan; apa yang mungkin dapat dikelompokkan sebagai fungsi rekreasi dan budaya (McNair, dalam De Burgh (ed.), 2005: 25). Konsep online merupakan istilah generik untuk menggambarkan akses, pencarian dan penyebaran informasi digital melalui internet (Ward, 2002: 9). Konsep online diartikan sebagai kelebihan yang dimiliki oleh saluran jurnalisme, karena keberagamannya dan dikendalikan sendiri oleh user (Ward, 2002: 5). Garrison (dalam Salwen dkk. (ed), 2005: 3) memberikan batasan bahwa jurnalisme online merujuk pada jurnalisme yang menyediakan fasilitas bagi pembaca untuk berinteraksi satu sama lain dan mendiskusikan kredibilitas berita dengan editor yang memberikan tautan kepada sumber asli berita. Pendapat ini sesuai dengan yang dikatakan Rogers (1986: 21) bahwa beberapa karakteristik yang dimiliki oleh media baru yang lazim disebut dengan media interaktif. Antara lain, pertama, interaktifitas; yang memberikan kesempatan kepada khalayak untuk melakukan feed back secara langsung. Kedua, demassifikasi khalayak sehingga pesan dapat disampaikan kepada audiens khusus. Ketiga, asinkronitas, artinya mampu mengirim dan menerima pesan pada waktu tertentu yang tepat kepada individu.
13
Dengan demikian jurnalisme online, meliputi pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan fakta, untuk diproduksi menjadi berita digital berdasarkan konteks (selection dan presentation) khusus, mengacu kepada teknik jurnalisme beserta etikanya, dan dipublikasikan (posting), dan dapat diakses melalui koneksi internet dengan ciri memberikan kebebasan kepada audiens untuk mengendalikan informasi. Dalam hal ini konteks jurnalisme akan berbeda di negara dengan sistem media yang berbeda.
1. Pengumpulan dan Pemilahan Fakta Pengumpulan fakta dalam jurnalisme online, seperti dijelaskan Quinn dan Lamble (2008: 50), secara fundamental melalui berbagai proses,
dimulai dari
ide
dari
jurnalis,
dilanjutkan
dengan
pengembangan berita melalui wawancara, online research, dan dokumen dari beberapa sumber berita, selanjutnya cerita itu ditulis menjadi berita. Berita dapat digali dan diperoleh dari sumber berita berupa manusia, tempat dan peristiwa. Sumber berita sendiri merupakan tempat atau orang yang berita dapat digali melalui wawancara karena posisinya atau karena apa yang dia katakan (McKane, 2006: 16). Bahkan internet sendiri merupakan sumber informasi terbesar (Quinn dan Lamble, 2008: 1).
14
Dari jutaan peristiwa yang terjadi setiap hari tidak semuanya bernilai dan layak menjadi berita. Ward (2002: 31) menyatakan bahan baku berita dalam jurnalisme online adalah sama dengan apa yang tersaji dalam media konvensional, yaitu fakta. Perubahan definisi berita dalam jurnalisme online juga tidak merubah konsep nilai berita tradisional yang menjadi ukuran kualitas pemberitaan. Sampai-sampai Rich (2010: 12) menyatakan “definitions of news are changing. But these are some traditional qualities of news stories”. Pada masa lalu berita mungkin dapat didefinisikan sebagai laporan tentang fakta atau ide terkini, yang dipilih staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena luar biasa, pentingnya atau akibatnya, entah pula karena mencakup segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan (Assegaf, 1983: 24). Dalam jurnalisme online berita diartikan dengan lebih luas sebagai
multimedia,
instan,
global
dan
ada
dimana-mana
(Hargreaves, 2005 :131). Sehingga secara definitif memang terjadi perubahan dalam pengertian berita, namun tidak dalam nilai berita.
15
Nilai berita dimaksud adalah: 1. Timelines atau ketepatan waktu pemberitaan. Dalam media online, ketepatan waktu merupakan immediacy (kesegeraan) dan bahkan lebih penting (Rich, 2010: 12). 2. Proximity terkait dengan kedekatan geografis dan kedekatan emosional pembaca (masyarakat). Suatu peristiwa menarik bagi pembaca lokal karena hal itu terjadi atau dekat dengan masyarakat (Rich, 2010: 12). 3. Importance
merujuk pada
ternama
tidaknya
orang
yang
diberitakan. Galtung dan Ruge (dalam McKane, 2006: 8) menyebut kategori nilai berita ini sebagai elite people, atau mereka yang pada hari ini disebut dengan selebritis. 4. Unusual Nature: sifat keluarbiasaan, aneh, ajaib, atau jarang terjadi yang muncul dari peristiwa atau seseorang. 5. Conflict/controvercy yang terlihat dalam berita. Dalam hal ini termasuk di dalamnya konflik aktual, konflik politik, kriminal, bencana alam dan kecelakaan (McKane, 2006: 7). 6. Human Interest merujuk pada relevansi berita dengan pembaca atau terjadi pada orang biasa yang bukan selebriti (McKane, 2006: 11).
16
7. Impact atau dampat yang muncul dari pemberitaan atau sudut pemberitaan dari suatu peristiwa yang besar dan berskala nasional atau internasional. 8. Helpfulness atau tips yang bermanfaat bagi konsumen, seperti tips tentang kesehatan. 9. Entertainment atau berita menghibur bagi khalayak. 10. Issues or Problems in the Community. Nilai berita ini biasanya terkait dengan nilai konflik dan kedekatan. 11. Trend. Berkait dengan isu yang berkembang dan meningkat pada waktu tertentu. Seperti isu meningkatnya kriminalitas (Rich, 2010: 12).
2. Pengolahan Fakta Pengolahan fakta merupakan salah satu proses produksi berita. Transisi dari jurnalisme elektronik dan cetak menuju jurnalisme online tentu membawa berbagai implikasi penting. Termasuk praktik jurnalisme online (Gunter, 2003: 56). Namun ada hal yang penting yang tidak berubah. Ward (2002: 103) menyatakan ketrampilan menulis berita tetap menjadi prinsip utama dalam jurnalisme online. Begitu juga dengan prinsip ekonomis dalam penulisan dengan bahasa lugas, karena space yang terbatas.
17
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Gunter (2003: 56) bahwa perubahan dalam jurnalisme online tidak merubah kepada kebutuhan akan skil dalam pelaporan berita. Penulisan berita pada umumnya menggunakan struktur piramida. Ward (2002: 111) menyatakan bahwa teknik cerita dalam berita online dapat menggunakan stuktur piramida maupun piramida terbalik. Pada struktur piramida menurut Ward didapati dua keuntungan, antara lain, pertama, pembaca dapat membaca inti cerita hanya dengan membaca pendahuluannya saja. Kedua, sub-editor surat kabar online dapat menghemat waktu dan space dengan memotong cerita tanpa merusak pengetahuan pembaca pada cerita di dalam berita itu. Selain kemampuan menulis yang baik, Gunter (2003: 56) menambahkan perlunya perangkat praktis bagi wartawan dalam pelaporan berita dalam jurnalisme online. Mengingat berita dalam jurnalisme online bukan hanya terdiri dari teks berita, namun gabungan dari beberapa media seperti video (audio visual), dan foto dalam format digital yang telah tersedia diberbagai situs (instan) dan bersifat global dan ada dimana-mana. Sehingga informasi berita dalam jurnalisme online termasuk kategori informasi superhighway (Pavlik, 1996: 405).
18
Secara lebih lugas Rich (2010: 61) menjelaskan bahwa basis dasar berita jurnalisme online sama dengan surat kabar cetak, yaitu fakta dengan prinsip immediasi (kesiapan) tetap menjadi maint point penulisan berita (Rich, 2010: 60). Sajian berita dalam jurnalisme online tidak memandang kelengkapan berita sebagai sebuah keharusan. Kate Marymont, executive editor of The News-Press Florida AS (dalam Rich, 2010: 67) di sela-sela waktu istirahat dalam sebuah pelatihan produksi berita online memposting berita tentang suatu isu tanpa harus melengkapinya. Dia menjelaskan pentingnya kecepatan sebagai kelebihan dari jurnalisme online. Tenggat waktu itu digunakan untuk memverifikasi berita yang sedang diposting Dengan demikian dapat diketahui kecepatan menjadi faktor utama sajian berita dalam jurnalisme online.
3. Penyajian berita Secara garis besar berita dalam jurnalisme online dapat disajikan dalam format hardnews dan softnews. Sementara feature merupakan bagian dari softnews (Rich, 2010: 17).
19
Hardnews adalah cerita yang bersifat tepat waktu tentang peristiwa atau konflik yang baru saja terjadi atau akan terjadi, seperti kejahatan, kebakaran, pertemuan, demonstrasi, pidato dan kesaksian dalam kasus-kasus di pengadilan (Rich, 2010: 17). Pendekatan hardnews pada dasarnya adalah penjelasan tentang apa terjadi, mengapa hal itu terjadi dan bagaimana pembaca akan terpengaruh oleh berita itu. Softnews didefinisikan sebagai berita yang menghibur atau informatif dengan penekanan pada kemanusiaan, dengan unsur kebaruan dan kedekatan yang lebih rendah daripada hardnews. Feature merupakan bagian dari softnews yang terfokus pada orang dan tempat tertentu, atau cerita yang mempengaruhi kehidupan pembaca (Rich, 2010: 17). Dalam format hardnews dan softnews dalam jurnalisme online, berita ditulis dengan struktur piramida (Ward, 2002: 111). Khusus untuk format kedua dimungkinkan tidak selalu mengunakan struktur piramida terbalik (Abrar, 2005: 9). Dengan struktur yang sedemikian itu bagian atas menjadi bagian terpenting. Semakin ke bawah berita menjadi semakin tidak penting. Oleh karena itu lead (paragraf pertama) memiliki peranan penting dalam berita.
20
Lead merupakan awal cerita yang dapat menarik perhatian pembaca, dan bagian terpenting dalam berita (Abrar, 2005:7). Begitu pentingnya posisi lead hingga banyak penulis khawatir tentang apa yang harus ditulis pertama dalam sebuah tulisan (Rich, 2010: 131). Sebagai ikhtisar berita lead biasanya memuat jawaban dari salah satu pertanyaan what, who, when, who,where, why, dan how atau dikenal dengan prinsip 5 W+1 H. Namun karena fungsinya sebagai ringkasan berita, dan karena space yang terbatas kelima unsur tidak terpenuhi dalam lead berita online. Selain lead, judul (headline) memiliki peranan penting, karena dalam berita mata adalah “penyantap” pertama hidangan informasi, dan santapan yang paling menarik adalah judul. Berita dalam jurnalisme online dapat disiarkan melalui media baru dengan berbagai variannya. Media baru sering dialamatkan kepada internet. Padahal media baru (new media) menurut Flew, mengutip Miles, Rice dan Barr, adalah media yang merupakan konvergensi dari tiga hal, yaitu, teknologi informasi dan komputer, jaringan komunikasi, media digital dan konten informasi (Flew, 2004: 2). Dengan demikian media baru dengan berbagai variannya lebih tepat dikatakan sebagai media yang membutuhkan internet dalam publikasinya.
21
Varian jurnalisme online sendiri meliputi Blog, yang secara fungsional merupakan jurnalisme personal, media sosial seperti facebook dan MySpace, serta koran online atau online newspaper (Rich, 2010: 7). Dari berbagai varian jurnalisme online hanya surat kabar online yang secara khusus menyiarkan berita. Surat kabar elektronik (SKE/online newspaper) menurut Gunter (2003: 60) adalah surat kabar yang dipublikasikan melalui www. Situs ini menggunakan HiperTex Markup Language (HTML) dan komputer grafis untuk merepresentasikan teks dan grafis yang mengandung informasi berita melalui layar komputer. Dengan kata lain SKE merupakan versi baru dari surat kabar cetak, dengan format digital sebagai basis penyajiannya. Tidak diragukan lagi bahwa perubahan telah terjadi dalam dunia jurnalisme, khususnya dalam produknya; konten berita. Secara umum Pavlik (2001: viii) menyatakan bahwa jurnalisme online membawa beberapa pengaruh pada konten berita. Antara lain: Pertama,
teknik
storytelling
menjadikan
audiens
lebih
terkontekstualisasi dan dinavigasikan oleh laporan berita. Teknik bercerita yang tidak linear atau hypermedia (link) yang menjangkau berbagai moda komunikasi (teks, video, gambar dan grafis), sehingga berita merupakan apa yang disebut Pavlik sebagai fluid (cairan).
22
Kedua, media mengubah cara kerja wartawan. Alat digital portable untuk mengumpulkan mengedit dan memproduksi berita layaknya peralatan kabel yang ada di dalam newsroom. Ketiga, implikasi struktural media baru pada organisasi media yang kaku dengan newsroom tradisional dibawah pengawasan ketat dari penerbit, editor dan jajaran direksi. Newsroom online yang lebih terdesentralisasi dengan memanfaatkan banyak kontributor lepas menjadikan lilitan budaya newsroom tradisional yang sarat dengan nilai-nilai menjadi hilang. Struktur industri berita juga berkembang, persaingan datang dari berbagai sudut. Bila pada masa yang lalu penyedia berita hanya terdiri dari beberapa media konvensional seperti koran cetak, munculnya media baru memberikan alternatif bagi industri media untuk menyiarkan beritanya. Keempat, media baru mengubah hubungan yang ada antara organisasi berita, wartawan dan publiknya, termasuk audiens dan pengiklan. Di masa lalu penyedia berita tradisional melayani publik yang dapat didefinisikan secara geografis dengan lokal dan nasional. Perubahan dalam jurnalisme online membuat jurnalisme online memiliki karakter yang tidak dimiliki oleh jurnalisme konvensional.
23
Rich (2010: 8) menyatakan karakteristik berita online meliputi: continual deadline yang menunjukkan tidak ada deadline berita. Interactive content; pembaca dapat berinteraksi secara langsung dengan jurnalis dan editor. Related linked; link terkait berita yang disajikan, termasuk link sumber berita. Nonlinier struktur; pembaca dapat memilih berita yang disajikan tanpa harus mengikuti struktur linier yang biasa terdapat dalam media konvensional. Database; informasi yang bermanfaat bagi pembaca. Personalized journalism; situs berita online selain Blog yang menyediakan space bagi pembaca untuk berbagi cerita dan gambar. Specialized beats; tawaran berita yang lebih menyeluruh dari berbagai dimensi kehidupan, tidak terbatas pada dimensi khusus, seperti politik atau kesehatan. Secara empiris praktik jurnalisme online dapat dilihat dari berbagai hasil penelitian akademik yang telah dilakukan. Salah satunya adalah penelitian setingkat tesis yang dilakukan Anshori (2010) dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, praktik jurnalisme online pada surat kabar elektronik sebelum ada pedoman dari Dewan Pers dapat dilihat pada temuan penelitian yang dilakukan oleh Anshori (2010) pada kompas.com.
24
Menurut salah seorang wartawan kompas.com, Tri Mulyono (2010) pada dasarnya kompas.com dalam memproduksi berita memiliki alur dan struktur berita yang sama, mulai dari reporter, editor sampai dengan pemimpin redaksi. Perbedaan yang paling menonjol adalah pada faktor kecepatan menyampaikan berita, antara media online yang bersifat “real time” yakni suatu peristiwa dapat dilaporkan seketika. Sifat real time ini bukan berarti fungsi editing dan pertimbangan-pertimbangan editorial lainnya dihilangkan sama sekali. Terkait dengan ciri berita, Tri Mulyono menyatakan bahwa jika media online fokus pada bagaimana dan apa peristiwa yang sedang terjadi. Prioritas kompas.com adalah berita berita yang menarik dan cenderung bombastis, baru kemudian berita penting dan analisis. Sementara pada detikcom bahwa konsepsi berita detikcom cenderung menekankan aspek kecepatan. detikcom hanya melaporkan berita yang didapat dari proses liputan, menginformasikan masyarakat Indonesia tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia dan di dunia. detikcom tidak membuat headline (berita utama) untuk liputan, karena yang menjadi headline adalah yang tercepat masuk ke desk redaksi.
25
Dengan kata lain, headline karena pertimbangan-pertimbangan editorial dikesampingkan dan diserahkan sepenuhnya kepada pembacanya untuk memilih mana yang menjadi berita penting dan tidak. Konsep aktualitas dan kebaruan ini menurut Fajar Widiantoro (dalam Anshori, 2010) dari desk teknologi detikcom tidak ada perbedaan dengan dua media pendahulunya (cetak dan penyiaran). Produksi berita melalui proses gathering - editing - publishing. Proses produksi berita di detikcom menganut prinsip pencarian, editing dan penyajian berita sepertihalnya media-media massa pada umumnya, namun yang dititiktekankan pada” naik saat itu juga”, prinsip kecepatan sebuah berita. Dalam kaitannya dengan interaktifitas yang secara teoritis selama ini dianggap fitur terpenting internet dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Chang (dalam Severin dan Tankard, 2009: 454) pada tahun 1998 pada mahasiswa melalui kuesioner yang dikirim melalui email. Hasil penelitian itu menyatakan bahwa alasan mereka memanfaatkan berita online lebih kepada sifat media baru, yaitu kesiapan (mengetahui sesuatu dengan segera) dan stabilitas (mendapatkan berita kapan saja mereka inginkan) yang dimiliki
26
media baru. Khalayak lebih membutuhkan kecepatan daripada cerita dari berita itu sendiri. Dengan demikian dikaitkan dengan isi berita secara prinsipil tidak ada perubahan dalam praktik jurnalisme online. Isi berita tetaplah realitas sosial atau fakta yang dikonstruksi. Sehingga secara teoritis peneliti berasumsi produk jurnalisme online tetaplah sama dengan jurnalisme konvensional yang dipengaruhi oleh seleksi atas fakta dan sumber. Perbedaan hanya dari sisi tampilan grafis dan perfomansi dalam bentuk digital (HTML) yang tentunya tidak mempengaruhi terhadap isi berita. Kebutuhan teoritis atas jurnalisme online tercukupi dengan teori dasar jurnalisme cetak dan siaran. Di sisi lain perbedaan sistem media sebagai konteks jurnalisme biasanya menghasilkan praktik jurnalisme yang berbeda. Media di negara yang memiliki paralelisme politik tinggi dengan pemerintah atau cenderung otoriter secara ekonomi termarginalkan dan membutuhkan subsidi. Pada saat subsidi datang dari pemerintah penguasa memperalat pers untuk menyampaikan informasi yang menguntungkan penguasa. Hal ini menjadi gambaran umum nasib media di Arab Saudi. Di Arab Saudi kontrol atas pers dimulai pada tahun 1970an (Sakr dalam De Hugo (ed.), 2005: 142).
27
Dengan kata lain penguasa tidak memberi kesempatan kepada pers untuk menyampaikan kehendak masyarakat. Adalah wajar kalau pers menjadi milik penguasa (Siebert, 1986: 11). Sebaliknya dalam sistem pers yang demokratis organisasi dan isi media tidak tunduk pada pengendalian politik dan pemerintah. Warga negara secara individu atau berkelompok minoritas memiliki hak untuk memanfaatkan media dan hak untuk dilayani media sesuai dengan kebutuhan mereka (McQuail, 1994:131). Sistem ini menegaskan bahwa tidak ada pihak yang mendominasi aktifitas, tugas, dan fungsi pers. Semua pihak berhak untuk mendirikan pers sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Mereka tidak perlu mendapatkan izin dari pemerintah. Sistem inilah yang dianut pers Indonesia sejak Indonesia dipimpin oleh K.H. Abdurrahman Wahid hingga sekarang (Abrar, 2011; 51). Dalam praktiknya seleksi atas fakta dan sumber berita akan berbeda dalam sistem media yang demokratis dan sistem yang cenderung otoritarian. Temuan empiris Hallin dan Mancini (2005:73) pada media di Prancis, Yunani, Portugal dan Spanyol yang cenderung otorian menyatakan bahwa tradisi jurnalisme jurnalisme komentar atau advokasi menjadi dominan di negara dengan sistem media authoritarian dibanding jurnalisme laporan.
28
Fakta dan sumber berita yang mendukung atau tidak merugikan pemerintah cenderung menjadi pilihan. Demikian halnya media di Timur-Tengah, khususnya Arab Saudi, temuan empiris Rugh (2004: 59)
dalam
studi
klasiknya
pada
tahun
1970
dengan
membandingkannya dengan media di tahun 1900-1950an. Rugh memasukkan media di Arab Saudi dalam tipologi loyalis kepada pemerintah. Berdasarkan diskusi teoritis dan berbagai temuan di atas sistem media yang berbeda cenderung menghasilkan isi berita yang berbeda. Meskipun secara jurnalisme isi berita tetaplah konstruksi dari realitas sosial.
I. 5. 2. Berita tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi Berita merupakan fakta terkini dan bernilai informatif. Menjadi pengetahuan yang jamak bahwa basis berita adalah realitas sosial. Termasuk di dalamnya adalah fakta tentang TKI di Arab Saudi. Fakta tentang TKI umumnya merujuk pada berbagai persoalan menyangkut TKI di tempat kerja atau luar negeri. Karena permasalahan lebih sering terjadi di tempat kerja/di luar negeri (Sahayu dalam Sastriani (ed.), 2008: 688). Meskipun 85% permasalahan yang terjadi pada TKI adalah limbah dari persoalan yang terjadi di dalam negeri (Sutedi, 2009: 247).
29
Secara
umum
menurut
laporan
BN2PTKI
terdapat
15
permasalahan (kasus) yang menimpa TKI pada periode Januari hingga April 2008. Antara lain: i. Gaji tidak dibayar ii. Penganiayaan iii. Pelecehan seksual iv. Majikan meninggal v. Pekerjaaan tidak sesuai PK vi. PT bermasalah vii. Putus komunikasi viii. PHK ix. Pemutusan sepihak x. Kecelakaan kerja xi. Sakit akibat Kecelakaan kerja xii. Sakit biasa xiii. Meninggal xiv. Kriminal xv. Gagal berangkat (Sumber: bnp2tki go.id) Di sisi lain tidak semua permasalahan yang terjadi mendapat porsi pemberitaan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat tidak semua fakta memenuhi standar newsworthiness dan layak berita.
30
Peran gate keeper dalam organisasi media sangat menentukan dalam seleksi berita dan penyajian berita. Berita yang sesuai dengan nilai yang dianut oleh suatu organisasi media sepanjang tidak merugikan media itu sendiri tentu akan dirilis. Dari sekian banyak persoalan yang terjadi, besar dugaan kekerasan dan kriminalitas menjadi isu besar yang secara teknis bernilai berita tinggi. Asumsi itu diperkuat dengan adanya data yang menyebutkan bahwa TKI di Arab Saudi menjadi impotir persoalan kekerasan terbesar bagi negara dibanding TKI di negara tujuan TKI lainnya. Menurut data Migrant Care, kekerasan terhadap TKW di Arab Saudi menempati tempat teratas dibanding kekerasan negara tujuan TKW lainnya, yakni 48 persen (metronews.fajar.co.id. 25/10/2011). Data tersebut diperkuat lagi oleh berbagai hasil penelitian yang relevan dengan isu kekerasan terhadap TKI. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dari Pusat Studi Wanita UGM pada tahun 2008. Hasil temuan terkait kekerasan yang dialami oleh para TKW sektor domestik atau PRT adalah kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang (dalam Sastriani( ed.), 2008: 685).
31
Penelitian serupa dilakukan oleh Sutaat pada tahun 2006. Kekerasan yang sering menimpa TKW menurut penelitian yang termuat dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial, Vol 11, No. 03, -66 (2006 : 55) adalah tekanan mental dan fisik. Di antaranya adalah perlakuan sebagian majikan yang kurang manusiawi, tindak kekerasan, dan pelecehan seks/ perkosaan. Di samping itu nilai berita bernilai konflik nampak pada dampak sosial-politik permasalahan TKI. Penelitian IOM pada tahun 2010 terkait buruh migran dibeberapa negara. Salah satunya di Singapura. Kasus-kasus yang berdampak sosio-politis yang signifikan bagi hubungan Indonesia dan Singapura adalah pembunuhan, perlakuan kejam, perkosaan yang diikuti oleh penyiksaan dan kematian. Dengan demikian nilai konflik dan kontroversi diduga menghiasi berita tentang TKI di Arab Saudi. Konflik sendiri merupakan informasi yang menggambarkan pertentangan antar manusia, bangsa dan negara yang perlu dilaporkan kepada khalayak agar mereka dapat mengambil sikap (Abrar, 2005:4). Mayers dkk menggambarkan konflik dalam komunikasi adalah sesuatu yang natural dalam hubungan komunikasi dan tidak selalu berdampak negatif.
32
Conflict is inevitable, often determined by structural factors in the organization or group, and an integral part of process of change. In fact, some degree of conflict is helpful. Conflict is natural part of any communication relationship. Not all conflicts have the some outcomes. Generally, the outcomes of conflict can be perceived of destructive or constructive (Mayers dkk, 1980: 227-229).
Oleh karena itu seleksi berita berdasar nilai konflik adalah sesuatu yang sah. Di sisi lain faktor kepemilikan media sebagai satu-satunya lembaga yang sah dalam menyiarkan konflik menjadi persoalan tersendiri. McQuail (1994: 162) menjelaskan bahwa seleksi atas berita (isi dan proses penyajian) merupakan subyektifitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, faktor manusia, lokasi, dan waktu. Biasanya faktor-faktor tersebut membentuk kombinasi. Faktor manusia dapat diidentifikasi dari sumber berita, sehingga seringkali berita merupakan apa yang dikatakan oleh tokoh tertentu, bukan peristiwa laporan itu sendiri. Faktor lokasi mempengaruhi seleksi setelah terlebih dahulu dilakukan observasi oleh wartawan atas suatu isu. Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan tempat penyebaran berita seperti pengadilan, kantor polisi, parlemen, bandara, rumah sakit dan lain sebagainya menjadi pilihan lokasi berita. Faktor waktu terkait determinasi atas nilai terkini berita dalam format hardnews. Faktor lainnya adalah kedekatan dengan sasaran berita (audiens), isi berdasar pada prioritas dan memiliki resiko kecil pada organisasi media.
33
Secara empiris Prajarto dkk dalam penelitiannya mengenai berita pembangunan di kabupaten Sleman tahun 2006, dengan mengutip dari berbagai sumber, menyatakan sumber berita yang digunakan suratkabar saat meliput suatu peristiwa bisa jadi bermacam-macam. Empat tipe dasar sumber berita biasanya dipakai untuk mengidentifikasi sumber berita, meskipun sumber berita yang paling sering diterapkan oleh institusi suratkabar merupakan gabungan atau kombinasi keempat bentuk dasar itu. Keempat bentuk sumber berita itu adalah sumber berita formal (dari unsur Pemerintah), laporan tangan pertama (wartawan dan saksi peristiwa), sumber berita dari pihak nonformal (perusahaan atau pihak bukan unsur Pemerintah dan leak atau bocoran. Terkait dengan tipe koverasi dari sumber berita suatu item berita bisa ditampilkan dengan koverasi satu sisi (one-sided coverage) dan dua atau banyak sisi (two-sided or multi-sided coverage) (McQuail, 1992: 224-234). Prajarto dkk dalam penelitian yang sama menyatakan tipe koverasi ini biasanya dikaitkan dengan masalah keberimbangan berita serta masalah fairness. One-sided coverage biasanya melaporkan peristiwa yang tidak mengandung konflik. Dalam hal ini semua sumber berita berasal dari satu kelompok atau satu pandangan tertentu.
34
Two or multi-sided coverage biasanya diterapkan pada sumber berita yang mewakili dua pandangan yang berbeda. Hanya saja koverasi satu sisi masih dimungkinkan bila peristiwa yang diliput memang tidak mengandung suatu konflik. Sementara penyajian isi berita biasanya bercirikan tujuan, arah, atau kecenderungan tertentu (McQuail, 1994: 175). Hal ini biasanya terkait dengan kebijakan redaksional masing-masing organisasi media. Sehingga pada titik ini berita berita dipandang memiliki tujuan. Dari performansi atau penggambaran ini penilaian terhadap media dan organisasi media dapat dilacak. Penelitian akademik setingkat tesis yang dilakukan oleh Mulyono (2011) dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tentang berita kekerasan terhadap anak dalam suratkabar elektronik (SKE) dengan membandingkan mendapati menunjukkan bahwa format berita straight news (hardnews) dan soft news banyak digunakan oleh SKE detikcom dan okezone dalam menyiarkan berita kekerasan terhadap anak dalam suratkabar elektronik (SKE). Sementara nilai berita yang ditonjolkan terdapat perbedaan nilai berita dominan dalam nilai berita kombinasi yang ditonjolkan oleh SKE detikcom dan SKE Okezone.com.
35
SKE detikcom, menonjolkan nilai berita timelines, importance dan prominence, sedangkan SKE Okezone.com lebih ditonjolkan nilai berita human interest, conflict/controversy, dan prominence. LSM menjadi sumber berita yang dominan dalam pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh SKE detikcom, sedangkan SKE Okezone.com lebih mengandalkan aparat pemerintah sebagai sumber berita utama dalam pemberitaan kasus kekerasan terhadap anak. Tipe peliputan dua sisi sama-sama lebih banyak digunakan oleh dalam mem SKE detikcom maupun SKE Okezone.com buat berita tentang kekerasan terhadap anak. Berdasarkan diskusi diatas liputan berita di SKE kemungkinan terdapat kesamaan antara media di Indonesia dan Arab Saudi dalam dominasi format hardnews. Seperti diketahui hardnews menjadi format pilihan untuk berita yang secepatnya harus diketahui khalayak. Hal ini karena khalayak yang selalu menunggu perkembangan berita terkait permasalahan TKI di Arab Saudi setiap saat. Kelebihan rapid updating SKE menjadi solusi bagi khalayak untuk dapat selalu mengikuti pemberitaan setiap saat. Sementara sumber berita yang digunakan akan lebih banyak menggunakan sumber berita formal, seperti pejabat Pemerintah.
36
Pada berita yang mengandung konflik, liputan dimungkinkan menggunakan tipe dua atau tiga sisi. Namun demikian diduga terjadi perbedaan dalam nilai berita, tipe liputan karena perbedaan sistem media yang berlaku di Indonesia dan Arab Saudi.
I. 5. 3. Bias Media Hadirnya jurnalisme online dengan SKE sebagai media berita menyiratkan harapan akan teranulirnya persoalan yang terjadi dalam sajian berita. Karena tanggung jawab sosial berita dalam SKE adalah memberitakan fakta yang obyektif, menjelaskan fakta itu dan meliput semua sisi secara berimbang (Gunter, 2003: 156). Dalam praktiknya menurut Keith Windschuttle (1998) -dalam artikelnya berjudul Journalism versus Cultural Studies- jurnalis sangat teguh dalam memperhatikan audiensnya. Faktualitas dan obyektifitas berita tetap merupakan tujuan sebagai misi suci para jurnalis. Pendapat itu diperkuat dengan pernyataan Pavlik (2001: 25) bahwa obyektifitas dan kebenaran terbaik atas suatu peristiwa dapat saja diperoleh dengan fitur multimedia dan lingkungan yang interaktif. Di
sisi
lain
tidak
semua
sajian
tanggungjawab sosial dalam penyajiannya.
berita
mencerminkan
37
Secara teoritis keberadaan berita merupakan konstruksi jurnalis atas suatu peristiwa yang tergantung pada lingkungan di mana berita dibuat (Fenton dalam Fenton (ed.), 2010: 3). Lingkungan yang dimaksud Fenton adalah lingkungan ekonomi, sosial politik dan teknologi yang terbentuk dari gabungan komersial, etnik, regulasi, dan berbagai komponen budaya. Sehingga rekonstruksi fakta tidak dapat benar-benar mencerdaskan pembaca, atau bahkan menyesatkan khalayak. Tidak berlebihan bila Pavlik (2001: 25) menyatakan bahwa mustahil bagi seorang manusia dalam mempertimbangkan fakta terbaik yang bebas dari bias keyakinan dan budayanya sendiri. Secara seksama Hall (2001: 4) menandaskan bahwa karakter berita itu ditentukan oleh tuntutan sosial, budaya, teknologi dan institusi yang dilayani. Di Indonesia sendiri media dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi, sehingga konten media yang menghibur acapkali menjadi pilihan demi mengeruk keuntungan dari iklan. Posisi yang demikian strategis ini dimanfaatkan oleh pemilik modal besar yang lebih dikenal dengan konglomerat. Maka terjadilah konglomerasi pers. Akibatnya para pemilik modal dapat mengatur redaksi agar memuat berita ini dan menolak berita itu, serta memaksa agar memuat iklan tertentu untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya (Abrar, 2011: 17)
38
Rugh (2004: 7-10) menyimpulkan dalam penelitiannya di berbagai media di Timur-Tengah (dunia Arab) bahwa pengaruh ekonomi, politik, dan budaya pada isi media karena beberapa hal, antara lain, pertama, patronisasi politik. Hal ini karena media di Arab disubsidi oleh pemerintah atau partai politik. Kedua, fragmentasi. Hal ini disebabkan perkembangan pers pada periode konflik politik dan kompetisi politik melebihi kebutuhan dan jaminan melek media di Dunia Arab. Ketiga, konsentrasi geografis. Hal ini disebabkan kecenderungan media di Dunia Arab untuk berkonsentrasi pada pusatpusat masyarakat urban yang memadati berbagai tempat. Adanya pengaruh lingkungan dengan berbagai kepentingan dibalik media, khususnya kepentingan ekonomi, dalam hal ini di Indonesia dan Dunia Arab pada umumnya, menimbulkan isi berita yang tidak obyektif dan faktual, atau bias. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Davenport (2010: 32) bahwa berita tentang konflik seperti kekerasan dan kriminalitas rawan terjadinya bias berita. Menurutnya bias itu terjadi karena tiga hal, antara lain: Pertama, organizational capacity to identify event, seperti jumlah wartawan peliput peristiwa konflik. Jumlah wartawan yang sedikit cenderung tidak dapat mengcover semua peristiwa yang terjadi.
39
Kedua, intrinsic news characteristics, seperti jumlah pelaku dan tingkat penting peristiwa. Jumlah pelaku yang banyak cenderung menimbulkan terjadinya bias dibanding pelaku yang sedikit. Di samping itu tingkat penting peristiwa juga memberi pengaruh. Terlebih jika peristiwa itu melibatkan dua negara. Ketiga, spatial distance, kedekatan (afiliasi) wartawan pada institusi peliput peristiwa konflik. Bias sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 195) secara etimologis bermakna “simpangan”. Mc Quail (1992: 191) menyebut istilah bias sebagai “A consistent tendency to depart from the straight path of objective truth by deviating either to left or right”. Gunter (1997: 11) menyebut bias sebagai kecenderungan sistematis untuk mendukung (melalui isi berita) satu sisi atau satu posisi atas yang lain. Dalam perkembangannya bias dapat terjadi karena isi berita cenderung dipengaruhi kepentingan organisasi media, atau bias media. Sehingga bias media dapat diartikan sebagai isi berita yang meskipun disusun berdasar fakta namun secara sengaja atau tidak sengaja terpengaruh oleh nilai-nilai dan kepentingan institusi dan pekerja media (Prajarto, 2010: 51). Dalam bahasa yang hampir sama Rivolta (2011: 8) mendefinisikan bias media sebagai pemilihan atas
40
cerita untuk dilaporkan oleh salah satu media dan bagaimana cerita itu dipublikasikan. Secara mendasar bias media menyiratkan pelanggaran terhadap standar etika jurnalisme, lebih dari sekedar berdasar perspektif seorang jurnalis atau artikel yang ditulisnya (Rivolta 2011: 8). Dalam bahasa yang lebih praktis bias dari sisi jurnalisme adalah tidak mengandung unsur benar (akurat), relevan (fokus berita terkait dengan dimensi lain), netral (tidak memihak), dan seimbang (Abrar, 2011: 103). Dengan demikian bias dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pelanggaran etika jurnalisme dalam bentuk kecenderungan isi berita pada kepentingan institusi media, atau bias media. Terkait dengan etika jurnalisme sudah menjadi pengetahuan yang jamak bahwa setiap negara memiliki standar etika jurnalisme yang berbeda-beda, meskipun jurnalisme sendiri bersifat universal. Untuk itu diperlukan standar etika jurnalisme yang bersifat universal yang menaungi semua standar etika diberbagai negara. Dalam penelitian ini standar etika yang menjadi acuan adalah standar etika jurnalisme di negara maju yang dikenal demokratis. Dalam hal ini standar etika jurnalisme di Amerika Serikat menjadi acuan dalam penelitian ini.
41
John Vernon Pavlik (2001: 93) dalam bukunya Journalism and New Media menyatakan: American journalism has held tightly to the notion that three standards are central to a responsible press: (1) objectivity, defined by Columbia University emeritus journalism professor Melvin Mencher in his popular text Basic Media Writing as avoiding bias and sensationalism or presenting impartial information, a notion based on the work of Walter Lippmann, noted philosopher of journalism; (2) fairness, that is, providing balanced coverage reflecting all sides of an issue; and (3) accuracy, that is, getting the facts right and representing a story completely. These three standards define how an ethical press, online or off, should operate in its pursuit of the truth.
Standar etika jurnalisme yang disampaikan Pavlik merupakan standar etika jurnalisme di negara maju, khususnya di Amerika Serikat yang secara internasional telah diakui, akan dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Dengan kata lain dalam penelitian ini, akan dinyatakan bias bila media mempublikasikan berita yang tidak obyektif, tidak berimbang, dan tidak akurat. Mengingat bahwa standar etika jurnalisme di setiap negara berbeda, standar (truth) kebenaran dalam berita juga berbeda di setiap negara. Oleh karena itu dalam hal pengejaran kebenaran (akurasi), penelitian ini berpijak pada pedoman Kovack dan Rosentiel (2006: 86) dengan disiplin verivikasi.
42
Kedisiplinan dalam hal verivikasi ini dapat dikenali dengan adanya verivikasi dengan sumber berita atau kesempatan bagi khalayak untuk melakukan recek. Terkait dengan kebenaran, salah satu tujuan utama jurnalisme, adalah kekayaan intelektual. Tujuan ini hanya dapat diwujudkan dengan informasi yang mendalam, berita yang terbaca (readable) oleh audiens, dan keragaman topik berita, yang salah satunya tergambar dari sumber berita yang dikutip. Keberagaman sumber berita bukan berarti tidak berimbang. artinya tipe dua/tiga liputan tetap menjadi prinsip tersendiri yang harus dinilai. Lain pula dengan prinsip netral dalam presentasi yang lebih merujuk pada hal-hal melibatkan perasaan berlebihan atau sensasional. Oleh karena itu Rivolta (2011: 9) membagi bias media menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Gate keeping bias, atau bias yang terfokus pada pertimbangan atas suatu berita untuk dipublikasikan atau ditiadakan sebelum disiarkan kepada publik. 2. Coverage bias, atau bias yang terjadi setelah proses pemilihan berita untuk dipublikasikan. 3. Statement bias, atau bias dengan seruan opini suatu media atas suatu isu dalam laporan berita
43
Jenis bias lain yang biasanya terjadi dalam media adalah: 1. Advertising bias, atau bias dengan cara melaporkan berita yang hanya ditujukan untuk menyenangkan pengiklan. 2. Corporate bias, atau bias dengan cara melaporkan berita yang hanya ditujukan untuk menyenangkan perusahaan media itu sendiri. 3. Mainstream bias, atau bias dengan kecenderungan untuk melaporkan apa yang dilaporkan oleh media lain untuk menghindari berita yang dapat menyinggung siapapun. 4. Sensationalism bias, atau bias dengan melebih-lebihkan sebagai dukungan atas suatu peristiwa. Dari semua jenis bias media di muka, hanya coverage bias, statement bias, sensationalism bias yang sesuai dengan standar jurnalisme. Dengan demikian ukuran benar, berimbang dan tidak sensasional secara jurnalisme dapat dikenali dengan tiga macam bias media tersebut. Sementara bias lainnya lebih pada bias ideologis dan tidak terkait dengan prinsip jurnalisme. Secara empiris penelitian tentang bias media sudah banyak dilakukan. Sepanjang penelusuran yang telah dilakukan oleh peneliti, bias politik mendominasi sebagai pilihan para peneliti.
44
Salah satunya adalah penelitian di tingkat disertasi yang dilakukan oleh Stefano Mario Rivolta pada tahun 2011 dari Unversiteit Van Amsterdam tentang manuver strategi dan bias media dalam artikel opini pada majalah berita politik di Amerika Serikat dengan pendekatan pragma-dialektical perspektif. Secara linguistik temuan dari penelitian ini adalah bias politik yang terjadi. Penelitian lainnya yang lebih relevan secara jurnalisme adalah bias berita Pemilu pada tahun 1994 yang dilakukan oleh Ana Nadhya Abrar terhadap beberapa suratkabar. Hasil penelitian itu menyebut terjadi beragam bias. Ditingkat skripsi penelitian bias berita politik pada SKH Republika pernah dilakukan oleh Punjul Setya Nugraha, mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisipol UGM pada tahun 2000. Temuan dari penelitian itu adalah terjadi bias pada tingkat yang ringan. Kedua contoh penelitian itu menunjukkan bahwa penelitian tentang bias lebih fokus pada berita politik. Topic area lain belum mendapat perhatian oleh para peneliti. Sejauh ini penelitian yang fokus pada bias jurnalisme pada suratkabar online sepanjang penelusuran peneliti belum ditemukan.
45
Terbaik yang pernah peneliti temukan dan cukup relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Abdalla dkk pada awal tahun 2002 di Amerika Serikat tentang kredibilitas berita online, bias menjadi salah satu faktor kredibilitas berita. Penelitian dengan membandingkan kredibilitas media cetak, suratkabar dan majalah, televisi serta berita online itu memilih representative national sample dengan survei sebagai metode. Temuan dari penelitian ini didapati bahwa kebanyakan responden menjawab, bias menjadi faktor penting pada kredibilitas dari media yang diperbandingkan. Hasil penelitian itu kemudian dilakukan analisis faktor oleh Tim Peneliti. Hasil analisis faktor itu menyebut bias menjadi faktor terpenting kredibilitas berita online melebihi dua faktor utama lain; trustworthiness dan currency.
I. 6. Kerangka Konsep Berdasarkan studi peneliti atas berbagai teori, konsep dan hasil penelitian tentang bias yang ada, arah dari penelitian ini dapat dispesifikkan pada kriteria tertentu. Sehingga dapat ditentukan alat ukur yang tepat dan akurat untuk mengukur bias secara jurnalisme yang diduga terdapat dalam berita di SKE.
46
I. 6. 1 Identifikasi dan Pengukuran Bias Sebelum ditentukan alat ukur dalam penelitian ini, akan terlebih dahulu diidentifikasi bias yang diduga terjadi dalam berita. Identifikasi bias dalam pemberitaan, seperti dinyatakan Ortiz dkk (dalam Davenport, 2010: 31) dilakukan melalui dari dua hal. Pertama, selection, yaitu apakah peristiwa-peristiwa yang terjadi berasal dari dalam atau luar sumber berita. Kedua, description, yaitu bagaimana peristiwa itu dilaporkan. Dengan kata lain melalui performansi berita. Dalam sejarah penelitian studi tentang berita, seperti dicatat Gunter (1997: 13) memiliki tiga tradisi, antara lain, pertama, objectivity tradition oleh Westerstahl, 1970, 1972. Kedua, international flow tradition (Galtung dan Ruge, 1995; Gerbner dan Marvanyi, 1977). Ketiga, credibility tradition (Carter dan Greenberg, 1965; Edelstein dan Teft, 1974; Arvidson, 1977). Ketiga tradisi masing-masing memiliki klasifikasi tersendiri untuk mengukur obyektifitas, aliran berita internasional dan kredibilitas berita. Ketiganya memiliki kesamaan konsekuensi dari ketidakterpenuhan dan ketidakberimbangan aliran, obyektifitas dan kredibilitas berita, yaitu, bias. Menurut Gunter (1997: 22) terdapat empat kriteria mengukur dan menganalisis bias: 1. Output criteria relating to programme making and presentation format 2. Eksternal, real world criteria
47
3. Professional journalistic criteria 4. Audience criteria which rever to viewers subjective reaction and the objectively assessed impact to television and awareness, comprehension and knowledge Seperti dikatakan Gunter, empat kriteria itu merupakan adopsi dari model obyektifitas Westerhahl (1983) dan dimensi penilaian berita Rosengren (1977). Model itu merupakan framework penelitian Westershahl ketika meneliti obyektifitas public broadcasting di Swedia pada tahun 1983 dalam meliput perang Vietnam (dalam Gunter, 1997: 14). Menurutnya
obyektifitas
terdiri
dari
aspek
faktualitas
dan
imparsialitas. Aspek faktualitas diukur dari truth dan relevance. Sementara aspek impartiality diukur dari balance dan neutral. Framework Westerstahl digambarkan dalam Bagan 1.1 Bagan 1.1 Framework Westershahl (1983)
48
OBJECTIVITY
FACTUALITY
Relevance
Truth
IMPARTIALITY
Balance
Neutral
Informativeness (Sumber: Gunter, 1997: 14 dan Mc Quail, 1992:196) Tambahan satu kriteria informativeness yang ditandai dengan jenis kotak yang berbeda dalam bagan 1.1 merupakan pengembangan dimensi factuality dari Framework Westershahl oleh Asp (1981) (dalam Mc Quail, 1992:196). Apa yang dilakukan oleh Westershahl dikembangkan lagi oleh Rosengren, dengan cara menggabungkan model Westertahl dengan model kredibilitas miliknya untuk menilai performansi berita. Sehingga penilaian terhadap bias media dapat diperoleh melalui gabungan model itu (Gunter, 1997: 15 dan McQuail, 1992: 202). Model Rosengren memilik dua kriteria penilaian, antara lain, cognitive (kualitas) dan evaluative (imparsialitas) (Gunter, 1997: 15 dan McQuail, 1992: 202).
49
Kriteria kognitif terkait dengan truth (kebenaran) dan relevance, sementara kriteria evaluatif terkait dengan neutrality dan balance. Secara lebih jelas dimensi penilaian berita dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 DIMENSION OF NEWS ASSESSEMENT Criteria For Assessement
TO BE ASSESSED
Cognitive
Evaluative
PRESENTATION
Truth
Neutrality
SELECTION
Relevance
Balance
(Sumber: Gunter, 1997: 15 dan McQuail, 1992: 202)
Pada tahap selanjutnya dimensi penilaian itu diadopsi oleh Gunter dengan cara mengembangkannya model analisis bias berita untuk melihat imparsialitas televisi di Inggris. Model analisis bias berita Gunter termaktub dalam Tabel 3.1
50
Tabel 3.1 Modes of Analysis of News Bias Presentation Truth Information depth
Output Criteria
External Criteria
Relevance
Presentation format
Eyewitness comparison Event records Source perseptions
Source bias Semantic /discourse bias Frames of meaning (discourse & format analysis) Institusional agendas Divergent audience realities (influentials’ opinion) Normative approaches Use of experts Need democracy Selection criteria News values
Audience perceptions of news media, news programmes and news content Memory/comprehension
(Sumber: Gunter, 1997: 24)
Balance Content Analysis
Readability Checkability Range/diversity on topic covered
Professional Criteria
Audience Criteria
Selection Neutrality
51
Tabel 3.1 menggambarkan bahwa masing-masing dari keempat kriteria itu memiliki dimensi tersendiri untuk mengukur bias. Untuk tujuan mendapatkan ukuran imparsialitas yang akurat dari bias berita di televisi, akan menjadi ideal dengan mengadopsi sepenuhnya model analisis bias Gunter. Di sisi lain penelitian ini ditujukan untuk menilai kualitas berita tentang TKI yang diposting SKE di Indonesia dan Arab Saudi. Untuk kepentingan itu output criteria menjadi kriteria paling tepat, karena kriteria bertalian langsung dengan teks berita.
I. 6. 1. 1 Output Criteria. Output
Criteria
memusatkan
perhatian pada isi dan
bagaimana berita dipresentasikan (Gunter, 1997: 25). Identifikasi atas isi dan presentasi biasanya melalui bagaimana berita disajikan dalam
format
tertentu.
Sementara
untuk
mengidentifikasi
ketidakberpihakan, identifikasi dapat dilakukan dengan seleksi atas pilihan berita dan sumber berita. Seperti termaktub dalam tabel 3.1 Output Criteria memiliki tiga dimensi, antara lain, dimensi truth, dimensi balance dan dimensi neutrality.
52
Dimensi truth memiliki beberapa indikator, antara lain: Information depth, Readability, Checkability, dan Range/diversity on topic covered. Dimensi balance memiliki dua indikator, yaitu, keseimbangan berita (content analysis), dan source bias. Sementara dimensi neutrality memiliki satu indikator, yaitu, presentation format. Truth diartikan sebagai kebenaran berita. Kriteria truth dalam berita merupakan bagian dari factuality. McQuail ( 1992: 197) menyatakan: Factualness, in the sense of clearly distighuising fact from opinion, interpretation or comment, backing reports by reference to named source, avoiding vagueness and redundancy. Accuracy, a matter of correspondence of report to reality, or to other reliable versions of reality, espisially on matters of fact and quantity (numbers, names, places, attribution, times, etc.) Completeness, or fullness of account, on the assumption that a minimum amount of relevant information is required for understanding
Secara praktis konsep dimensi truth milik McQuail itu diadopsi oleh Gunter (1997: 24) menjadi empat kategori, antara lain: 1. Information depth diartikan sebagai kedalaman informasi. 2. Readability
atau
keterbacaan
diartikan
sebagai
faktualitas berita berdasarkan kekayaan informasi.
mengukur
53
3. Checkability atau adanya sumber dan bukti pendukung fakta yang checkable 4. Range/diversity on topic covered atau kelengkapan/keragaman topik liputan atas satu isu. Dalam penelitian ini khusus untuk kategori keempat peneliti terlebih akan fokus pada keragaman sumber berita. Sebab menurut McQuail (1992:211) kepastian informasi salah satunya bisa didapat melalui keragaman sumber berita yang diliput. Balance diartikan sebagai keseimbangan dalam pemberitaan atau ketidakberpihakan. Westerhahl (dalam Gunter, 1997: 19) menyatakan: Balance is concerned mainly with an evaluation of news selection, while neutrality focuses on the form and manner of news presentation.
Menurut Gunter kriteria balance dekat dengan keberimbangan penggunaan sumber berita, atau source bias. Source bias diukur dengan frekuensi kemunculan yang diberikan oleh suatu media dalam menyajikan pendapat atau kepentingan salah satu pihak dalam pemberitaan (Gunter, 1997:26).
54
Neutrality dalam penyajian berita acapkali disebut sebagai ketidakberfihakan dalam sajian berita. Seperti dikatakan Gunter kriteria netral merujuk pada bentuk berita dan bagaimana itu dipresentasikan. Menurut McQuail
(1992: 202) netralitas dalam format
penyajian diukur berdasarkan empat hal, yaitu, sensasionalism, stereotype, juxtaposition, linkage. Sensasionalism pemberitaan
sendiri berarti
dengan
tujuan
membuat sensasi
menarik
perhatian
dalam
pembaca.
Sensasionalisme diukur dari personalisasi, emosionalisasi dan dramatisasi isi berita (McQuail, 1992: 233). Personalisasi adalah kehadiran seorang tokoh atau aktor yang menggantikan sebuah kejadian atau peristiwa. Emosionalisme adalah penggunaan emosi atau perasaan berlebihan di dalam berita. Dramatisasi adalah penilaian atau penyimpulan yang berlebihan atas suatu peristiwa (Prajarto, 2010: 96). Stereotype adalah pemberian atribut kepada orang atau bangsa tertentu yang dapat ditafsirkan positif atau negatif namun tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam bahasa Arab istilah ini lebih sering disebut dengan “ “( "ﻟﻘﺐlaqab ), yang berarti: gelar atau julukan (Munawwir, 1997:1279).
55
Juxtaposition berarti menyandingkan dua hal yang berbeda untuk menimbulkan efek kontras dengan tujuan menambah kesan dramatis pada berita yang disajikan. Tujuan utama juxtaposition adalah mengubah atau mengeser pemaknaan
dua
fakta
yang
sebenarnya
berbeda,
menjadi
berhubungan secara kontras. Akibatnya terjadi penyimpulan yang salah. Linkages berarti menyandingkan dua fakta yang berbeda dengan maksud untuk memberikan efek asosiatif, sehingga dapat membentuk hubungan sebab-akibat. Akibatnya terjadi pengaitan yang tidak relevan.
I. 7. Kategori dan Klasifikasi Unit kategori dan klasifikasi yang ditetapkan dalam penelitian ini seperti termaktub dalam Tabel 4.1.
56
Tabel 4.1 Kategori dan Klasifikasi No.
Kategori
Kelas OUTPUT CRITERIA
Truth 1. 2. 3. 4.
Information depth Readability Chekability Range/diversity on topic covered
1. Bias 1. Bias 1. Bias 1. Bias
Balance 1. Source bias 1. Bias Neutrality Personalisasi 1. 1. Bias Emosionalisme 2. 1. Bias Dramatisasi 3. 1. Bias 4. Stereotype 1. Bias 5. Juxtaposition 1. Bias 6. Linkage 1. Bias Diadopsi dari Model Analisis Bias Gunter (1997: 24)
2. Tidak Bias 2. Tidak Bias 2. Tidak Bias 2. Tidak Bias
2. Tidak Bias 2. Tidak Bias 2. Tidak Bias 2. Tidak Bias 2. Tidak Bias 2. Tidak Bias 2. Tidak Bias
I. 8. Definisi Operasional Definisi operasional dalam aktifitas penelitian diperlukan. Di samping untuk memperjelas konsep dan variabel yang akan diteliti, juga berguna untuk menghindari kesalahan tafsir pada konsep-konsep dalam penelitian ini. Mengingat persoalan bias dalam penelitian akan diidentifikasi melalui seleksi dan deskripsi berita, dalam penelitian ini konteks seleksi meliputi pemilihan sumber berita, sedangkan deskripsi akan dididentifikasi dengan kebenaran dan netralitas.
57
I. 8. 1. TRUTH Kebenaran dalam berita sebagai informasi dalm penelitian akan diukur dengan beberapa kriteria di bawah ini: 1. Information depth diartikan sebagai kedalaman informasi. Dalam hal ini akan diukur berdasar kelengkapan unsur 5 W+1 H. Item Berita yang tidak mencapai satu tingkat di atas unsur 5 W+1 H dinyatakan “bias”. Dinyatakan “tidak bias” bila didapati kelengkapan unsur 5 W+1 H ditambah satu tingkat di atasnya. 2. Readability
diartikan
sebagai
mengukur
faktualitas
berita
berdasarkan kekayaan informasi. Item berita yang di dalamnya terdapat pengulangan topik yang tidak membantu pemahaman pembaca atas maksud dalam berita yang dilaporkan dinyatakan “bias”. Dinyatakan “tidak bias” bila tidak didapati pengulangan itu. 3. Checkability menjadi alat ukur kebenaran berita diartikan dengan adanya sumber dan bukti pendukung fakta yang checkable. Item berita yang di dalamnya terdapat kutipan dari sumber berita yang tidak dapat di recek langsung oleh pembaca di luar sumber redaksi dinyatakan “bias”. Misalnya penggunaan sumber berita anonim. Dinyatakan “tidak bias” didapati sumber berita yang dapat direcek langsung oleh pembaca. 4. Range/diversity on topic covered atau kelengkapan/keragaman topik pemakaian sumber berita dalam liputan atas satu isu. Item berita yang
58
di dalamnya tidak terdapat kutipan sumber berita yang beragam dinyatakan “bias”. Dinyatakan “tidak bias” bila didapati keragaman liputan sumber berita.
I. 8. 2. BALANCE Balance diartikan sebagai keseimbangan dalam pemilihan sumber berita. Balance diukur dengan indikator source bias. Source bias diukur dengan berapa banyak ruang yang diberikan oleh media kepada salah satu sumber berita yang dikutip. Bila dalam satu item berita didapati kutipan salah satu sumber berita, sementa pihak lain tidak dikutip komentarnya maka dinyakan “bias”. Begitu juga jika salah satu sumber berita mendapat kutipan lebih banyak dibanding sumber berita yang lain, atau salah satu sumber berita diletakkan di awal berita, sementara sumber berita yang lain diletakkan di bagian akhir berita maka sumber berita dinyatakan “bias”. Dinyatakan “tidak bias” bila di dalam item berita tidak terdapat seperti ketentuan dimuka.
I.
8. 3. NEUTRALITY Ketidakberpihakan dalam bentuk dan sajian berita sebagai informasi akan diukur menggunakan unit kategori dan klasifikasi di bawah ini:
59
1. Personalisasi adalah kehadiran seorang tokoh atau aktor yang menggantikan sebuah kejadian atau peristiwa. Bila terdapat unsur personalisasi dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “bias”. Bila tidak didapati unsur personalisasi dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “tidak bias”. 2. Emosionalisme adalah penggunaan emosi atau perasaan berlebihan di dalam berita. Bila terdapat unsur emosionalisme dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “bias”. Bila tidak didapati unsur emosionalisme dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “tidak bias”. 3. Dramatisasi adalah penilaian atau penyimpulan yang berlebihan atas suatu peristiwa. Bila terdapat unsur dramatisasi dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “bias”. Bila tidak didapati unsur dramatisasi dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “tidak bias”. 4. Stereotype adalah pemberian sebutan kepada orang atau bangsa tertentu yang dapat ditafsirkan positif atau negatif. Bila terdapat unsur stereotype dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “bias”. Bila tidak didapati unsur stereotype dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “tidak bias”. 5. Juxtaposition berarti penarikan kesimpulan berdasar dua fakta yang berbeda sama sekali.
60
Bila terdapat unsur juxtaposition dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “bias”. Bila tidak didapati unsur juxtaposition dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “tidak bias”. 6. Linkages berarti penarikan kesimpulan berdasar dua fakta yang tidak relevan. Bila terdapat unsur linkages dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “bias”. Bila tidak didapati unsur linkages dalam satu item berita maka berita itu dinyatakan “tidak bias”.
I. 9. Metodologi Penelitian I. 9. 1. Pendekatan Penelitian Menurut para pakar komunikasi pendekatan terhadap obyek penelitian dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan positivistik (empirisisme/sosial) dan pendekatan rasionalisme (budaya). Pendekatan terhadap obyek berita tentang TKI di Arab Saudi akan lebih mengena pada sasaran jika menggunakan pendekatan sosial (empirisisme/positivistik). Karena teks berada di luar manusia, dan menurut faham empirisme kebenaran tentang obyek berada di luar peneliti. Pendekatan empirisme termasuk dalam positivistik yang bertujuan untuk mengeneralisasikan obyek. Dalam penelitian ini obyek yang digeneralisasikan berupa berita tentang TKI di Arab Saudi pada tahun 2011.
61
I. 9. 2. Obyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini adalah berita tentang TKI di Arab Saudi yang disiarkan detikcom dan sabq.org. mulai 1 Maret 2011 hingga 30 Juni 2011. Sedang item berita tentang TKI di Arab Saudi yang akan menjadi unit recording dalam penelitian ini adalah berita yang diposting oleh detikcom dan sabq.org pada 1 Maret 2011 hingga 30 Juni 2011. Dalam penelitian ini unit analisis difokuskan pada setiap item berita. Karena item berita dapat menggambarkan secara utuh obyek penelitian. Berita-berita terkait akan didownload langsung dari kedua situs berita detikcom dan sabq.org dengan cara memasukkan keyword yang relevan dengan obyek pada search engine yang tersedia di dalam kedua situs berita itu. Untuk detikcom akan digunakan kata kunci “TKI, TKW, dan Arab Saudi”, sedang untuk sabq.org digunakan kata kunci “ “ﺧﺎدﻣﺔdan kata ““ إﻧدوﻧ ﺳ ﺔ
I. 9. 3. Metode Penelitian Untuk membedah obyek penelitian berupa teks media, sesuai dengan persoalan penelitian, yaitu bias berita dan perbandingan bias berita tentang TKI di Arab Saudi antara detikcom dan sabq.org, peneliti akan menggunakan metode analisis isi (content analysis) kuantitatif.
62
Metode ini seperti dikatakan McQuail (1994: 177), cukup untuk menjawab permasalahan bias dalam pemberitaan melalui identifikasi item berita yang telah terdokumentasi. Analisis isi (content analysis) adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan valid (sahih data) dari teks atau hal lain yang memiliki makna penuh dengan memperhatikan konteks (Krippendorff, 2004: 18). Dalam hal ini replicable terkait realibilitas alat ukur. Kerlinger (dalam Wimmer dan Dominick, 2006: 150) mendefinisikan analisis isi sebagai metode studi dan analisis komunikasi secara sistematis, obyektif, dan kuantitatif. Sistematis berarti prosedur yang sama pada semua isi (content) yang dianalisis dengan penggunaan kategori dan kelas. Obyektif berarti mampu memberikan hasil yang sama bila dilakukan oleh peneliti yang berbeda. Kuantitatif dikaitkan dengan dasar analisis dengan hasil bilangan atau perhitungan (Prajarto, 2010:10). Sementara definisi content analysis menurut Berelson (dalam Krippendorff, 2004: 19) adalah: A research technique for the objective, systematic and quantitative description of the manifest content of communication.
63
Dengan demikian dari berbagai definisi content analysis di atas dapat disimpulkan bahwa analisis isi secara teknis memfokuskan dan membatasi diri pada arti dari kata manifes dalam pesan atau makna denotatif dengan prosedur yang sistematis, obyektif, dan kuantitatif. Operasionalisasi analisis isi dalam penelitian ini adalah dengan cara mencermati setiap makna manifes kata yang terdapat dalam setiap unit analisis, yang dalam penelitian ini unit analisis adalah item berita, sesuai dengan unit kategori dan unit kelas yang telah dirumuskan secara obyektif dan sistematis pada setiap item berita sebagai unit analisis. Kelemahan ketidakmampuannya
dari untuk
metode
ini
salah
satunya
adalah
menjangkau
makna
konotatif.
Untuk
menyiasatinya peneliti akan memberi perspektif yang sesuai dengan topik penelitian. Penjelasan mengenai perspektif yang akan dipakai akan dipaparkan dalam sub-bab teknik analisis data.
I. 9. 4. Universe dan Sample Universe atau populasi adalah satuan yang diteliti secara keseluruhan (Prajarto, 2010: 39). Dalam penelitian ini universe atau populasi adalah seluruh berita tentang TKI di Arab Saudi yang disiarkan oleh detikcom dan sabq.org pada tahun 2011.
64
Dalam aktifitas penelitian akademik, penelitian atas seluruh populasi atau sensus dianjurkan, akan tetapi pengambilan sampling diperbolehkan selama tidak menyalahi metodologi, dengan kata lain sample yang diambil representatif disertai berbagai alasan yang dapat diterima secara akademis. Dengan demikian dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang akan digunakan adalah seperti lazimnya penelitian dengan metode analisis isi, yaitu multistage sampling (Prajarto, 2010: 43). Operasionalisasinya dengan cara menentukan media yang akan diteliti terlebih dahulu, lalu institusi media yang dipilih, disusul isu yang diangkat (topic area), yang terakhir time period obyek penelitian. Penjabaran dari multistage sampling dalam penelitian ini adalah media yang dipilih dalam penelitian ini adalah suratkabar elektronik (SKE), karena audiens SKE yang umumnya terdiri dari khalayak terpelajar dan melek teknologi sehingga dapat menjadi sampel yang representatif. Di samping itu SKE memiliki bias yang paling tinggi dibanding televisi dan suratkabar cetak. Institusi media yang dipilih adalah detikcom dan sabq.org. karena keduanya menjadi representasi SKE di Indonesia dan Arab Saudi, mengingat keduanya menurut alexa.com adalah suratkabar elektronik (SKE) terpopuler di negara masing-masing.
65
Isu bias dipilih karena bias adalah faktor terpenting kredibilitas berita. Sementara dalam berita tentang TKI di Arab Saudi pada tahun 2011 dipilih sebagai topic area karena nilai konflik dalam berita tentang TKI. Permasalahan TKI pernah menjadi isu yang bernas di Indonesia dan Arab Saudi pada tahun 2011, terutama dengan dihukum qishasnya Ruyati, kasus Darsem dan kekerasan yang menimpa Sumiati. Pengambilan sample 1 Maret sampai dengan 30 Juni 2011 sebagai time period, didasarkan pada kuantitas berita TKI di Arab Saudi pada tahun 2011 yang banyak diposting antara bulan Maret-Juni. Berdasarkan perhitungan peneliti, dalam rentang waktu tersebut tercatat 64 berita disiarkan detikcom. Padahal dua bulan sebelumnya hanya 13 berita tentang TKI. Demikian juga 3 bulan setelah Juni, yaitu Juli-September, tercatat hanya 18 berita yang disiarkan detikcom. Jumlah liputan tersebut akan dicobabandingkan dengan liputan yang diberitakan sabq.org pada edisi yang sama; 1 Maret-30 Juni. Sabq.org menyiarkan 68 berita. Dua bulan sebelumnya sabq.org bahkan sama sekali tidak menyiarkan berita yang berhubungan dengan TKI. JuliSeptember sabq.org hanya memposting 6 berita tentang TKI.
66
I. 9. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan codingsheet berisi unit kategori sejumlah 11 dan unit klasifikasi berjumlah 22 yang telah ditetapkan terdahulu. Setiap item berita akan dicoding dengan menggunakan codingsheet itu berdasar unit kategori dan unit klasifikasi yang terdapat di dalam codingsheet. Coding sendiri adalah proses konversi dari jawaban responden dalam bentuk angka (Vaus, 1991: 233). Dalam analisis isi pengertian coding, seperti diungkapkan Wimmer dan Dominck (2004: 162) adalah menempatkan unit analisis ke dalam kategori. Data hasil coding tersebut akan diolah dengan bantuan program SPSS for Windows 16 dengan menggunakan uji beda chi-square. Sehingga didapati simpulan sebagai jawaban deskriptif kuantitif ada tidaknya bias bias, gambaran kuantitatif bias dan tingkat perbedaan bias detikcom dan sabq.org dalam memberitakan permasalahan TKI di Arab Saudi.
I. 9. 6. Teknis Penyajian Data Hasil olah data berdasar 11 kategori 22 klasifikasi tersebut akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan tabulasi silang disertai sajian deskriptif contoh berita dari detikcom dan sabq.org.
67
Penyajian dalam bentuk tabel distribusi frekuensi merupakan bentuk penyederhanaan data yang berguna untuk menggambarkan berita dari sisi ada-tidaknya bias yang terjadi pada berita tentang TKI di Arab Saudi oleh detikcom dan sabq.org dengan kategori yang dapat mendeskripsikan berita. Sajian ini akan juga menggambarkan presentase yang juga akan secara kuantitatif mendeskripsikan bagaimana bias yang terjadi pada berita tentang TKI yang dilaporkan oleh detikcom dan sabq.org. Sajian tabulasi silang menjadi pilihan kedua teknik penyajian. Tabulasi silang berguna untuk menggambarkan perbedaan bias yang terjadi pada berita tentang TKI di arab Saudi oleh detikcom dan sabq.org. Hanya saja untuk kepentingan efisiensi penulisan, sajian krostabulasi yang akan dimunculkan merupakan kategori yang mempunyai perbedaan signifikansi < 0.05. Sementara untuk kategori yang berada pada > 0.05 hanya akan diberikan keterangan saja. Sementara sajian contoh item berita sebagai unit analisis berguna untuk memberikan gambaran secara praktis atas bias dan perbedaan bias berita tentang TKI di Arab Saudi dari detikcom dan sabq.org. Sajian analisis kualitatif berita dalam penelitian ini menggunakan perspektif yang akan peneliti pilih sebagai teknis analisis data. Dengan demikian sajian data dalam penelitian ini diperkirakan berjumlah 22 tabel disertai contoh analisis kualitatif berita pada setiap
68
kategori, dengan perincian 11 distribusi frekuensi dan sisanya dalam bentuk krostabulasi jika didapati perbedaan yang signifikan dari hasil uji statistik yang dilakukan beserta contoh analisis berita pada tiap kategori, masing-masing satu item berita dari detikcom dan satu item berita dari sabq.org.
I. 9. 7. Reliabilitas dan Validitas Reliabilitas alat ukur dalam penelitian menduduki posisi penting dalam kegiatan penelitian. Vaus (1991: 54) menyatakan reliabilitas adalah kepastian bahwa hasil penelitian yang sama dari peneliti lain dan dari peneliti yang lain. Sementara Forcese dan Richer (dalam Rakhmat 2004: 17) menyatakan bahwa suatu alat ukur dikatakan memiliki reliabilitas apabila digunakan berkali-kali oleh peneliti yang sama atau peneliti lain tetap memberikan hasil yang sama. Dengan demikian reliabilitas merupakan keajegan alat ukur (instrument). Alat ukur dapat dikatakan reliabel jika menghasilkan data yang sama pada obyek yang sama pula, walaupun dilakukan oleh peneliti yang berbeda.
69
Dalam penelitian ini, peneliti akan menunjuk dua orang koder guna melakukan tes reliabilitas terhadap 10 berita tentang TKI dengan unit kategori yang telah dibuat peneliti. Karena penelitian ini melibatkan bahasa asing, yaitu, bahasa Arab, maka diperlukan koder dengan standar kualifikasi tertentu terkait kemampuan bahasa Arab dari kedua koder. Dua orang koder dalam penelitian ini akan dipilih berdasarkan kualifikasi kemampuan bahasa Arab dan pengetahuan tentang jurnalisme yang berimbang di antara keduanya. Untuk itu peneliti akan mengambil dua orang mahasiswa S1 dari Jurusan Komunikasi Fisipol UGM yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren yang kuat sebagai koder. Untuk menjaga keseimbangan dalam kemampuan bahasa Arab peneliti mengambil dua orang koder mahasiswa S1 Jurusan Komunikasi Fisipol UGM yang merupakan alumni dari pesantren yang sama. Sementara untuk menghindari bias dari peneliti dan dua orang koder diperlukan standar acuan dalam bahasa Arab. Untuk itu diperlukan kamus Arab-Indonesia yang representatif. Dalam penelitian ini buku kamus sebagai standar acuan adalah Kamus Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia Terlengkap) yang disusun oleh K.H A. Warson Munawwir dan ditashih (koreksi) oleh Alm. K.H Ali Ma’shum dan K.H Zainal Abidin Munawwir.
70
Dengan demikian khusus untuk berita berbahasa Arab penentuan reliabilitas yang melibatkan dua orang koder melalui dua level. Level pertama, dengan mencermati berita dari teks Arab itu sendiri. Level kedua dengan mencermati terjemah berdasarkan kamus yang telah ditentukan sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu, Kamus Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia Terlengkap). Perlakuan demikian ini diperlukan sebagai salah satu langkah penyetaraan sesuai dengan tuntutan metodologis analisis isi berupa penyetaraan teks dalam aksara latin. Hasil pengkodingan akan dimasukkan dalam rumus Holsty di bawah ini. 2m
CR = N1 + N2
Keterangan : CR = Coeficient Reliability M = Jumlah pernyataan yang disetujui oleh pengkoding (hakim) dan periset N1, N2 = Jumlah pernyataan yang diberi kode pengkoding (hakim) dan periset
Hasil yang diperoleh dari perhitungan memakai rumus Holsty disebut Observed Agreement.
71
Observed
agreement
adalah
persentase
persetujuan
yang
ditemukan dari pernyataan yang disetujui antar pengkode. Sementara untuk mengetahui nilai keterhandalan akan dipakai rumus Scott di bawah ini: % observed agreement - % expected agreement pi =-------------------------------------------1 - % expected agreement Keterangan : Pi Observed agreement Expected agreement
= nilai keterhandalan = jumlah pernyataan yang disetujui oleh antar pengkode, yaitu nilai C.R = persetujuan yang diharapkan atas banyaknya tema dalam suatu kategorisasi yang sama nilai matematisnya, dinyatakan dalam jumlah hasil pengukuran dari proporsi seluruh tema.
Uji realiabilitas dalam penelitian ini menggunakan alpha Krippendorff (2004: 230), yaitu, unit akan memiliki nilai keterhandalan yang tinggi bila nilai reliabilitasnya di atas 0,734. Validitas menjadi hal penting lain dalam penelitian seperti reliabilitas. Wimmer dan Dominick (2004: 170) menyebut validitas umumnya disebut sebagai langkah mengukur instrumen yang akan diukur. Validitas dalam analisis isi mengarah kepada kesesuaian antara kategori dan kesimpulan serta kemampuan menggeneralisasi temuan penelitian pada suatu teori (Prajarto, 2010: 67).
72
Content validity dan construct validity dalam penelitian ini menyangkut unit kategori dan unit kelas yang telah ditetapkan. Untuk menjamin validitas alat ukur, unit kategori dan unit kelas dalam penelitian ini akan dikonsultasikasn terlebih dahulu dengan ahli yang berkompeten (expert judgment) dalam bidang jurnalisme dan teknologi komunikasi.
I. 9. 8. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian secara praktis dilakukan dengan cara mencermati nilai presentase terbesar dan terkecil dalam tabel. Presentase bias ini berguna untuk menjawab tingkat bias dalam berita tentang TKI di Arab Saudi. Adapun presentase yang ditentukan dalam penelitian ini meliputi enam kategori, antara lain: 1.
< 1%
dikategorikan ke dalam tingkat tidak ada bias
2.
1 % - 20%
dikategorikan ke dalam tingkat sangat rendah
3.
20%-40%
dikategorikan ke dalam tingkat rendah
4.
40%-60%
dikategorikan ke dalam tingkat sedang
5.
60%-80%
dikategorikan ke dalam tingkat tinggi
6.
80%-100%
dikategorikan ke dalam tingkat sangat tinggi
73
Pengkategorian ini di samping berguna untuk menjawab gambaran bias dan perbedaan bias yang diduga terjadi pada berita tentang TKI di Arab
Saudi
oleh
detikcom
dan
sabq.org,
juga
berguna
untuk
menggambarkan bagaimana bias itu. Penetapan kategori minimal 1% persen ke dalam tingkat tidak ada bias berdasarkan pada temuan Abdulla dkk. di muka dan berbagai pendapat para ahli bahwa tidak ada media yang terbebas dari bias personal dan institusional. Pencermatan terhadap bias akan dianalisis dengan tiga langkah, antara lain: Pertama: mencari penyebab terjadinya bias dan penyebab terjadinya perbedaan bias. Kedua: mengkaitkan temuan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Ketiga: memberi makna temuan data dengan perspektif kritis sistem media dengan perpektif Koloni Komunikasi (Rietzer, 2004: 539) dan perspektif wacana Universal Pragmatics dari Jurgen Habermas (Littlejohn, 2011: 475). Fokus kritik Habermas adalah kekuasan di balik sistem, dalam hal ini sistem media. Dalam pandangan Habermas adanya sistem merupakan bentuk penjajahan atas kehidupan komunikasi masyarakat ( Rietzer, 2004: 539).
74
Sistem media juga tidak memberikan kesempatan yang sama bagi masyarakat dalam kehidupan komunikasinya. Bentuk koloni itu menjelma pada media yang pada level mikro secara tegas dinyatakan oleh Altschull (dalam Severin dan Tankard, 2009: 384) bahwa isi berita selalu menunjukkan kepentingan
dari
orang
yang
membiayai
pers.
Bentuk
kepentingan itulah yang cenderung melahirkan berita yang bias atau berat sebelah. Bias salah satunya dapat dikenali dengan wacana. Wacana dalam perspektif Habermas (dalam Littlejohn, 2011: 474-475) adalah sebuah argumen sistematik yang membuat beberapa pertimbangan untuk menunjukkan validitas sebuah klaim. Wacana dimaksud tergantung pada speech act yang sedang dipertahankan. Dalam suatu kondisi bahwa komunikator harus mengatakan
kebenaran
suatu
klaim,
komunikator
dapat
meningkatkan argumennya dengan theoretic discourse. Wacana ini menekankan bukti bahwa klaim yang diberitakan itu sahih. Terhadap adanya sanggahan dari pihak penentang, practical discourse atau norma ketepatan dari klaim itu menjadi kelanjutan wacana terdahulu.
75
Pada
tahap
paling
tinggi
komunikator
(media)
mengaplikasikan metaetical discourse yang mendasari bukti dari klaim wacana sebelumnya.
BAB II JURNALISME ONLINE : SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PRAKTIK JURNALISME
Dalam bab ini akan dipaparkan sejarah singkat jurnalisme online, dilanjutkan dengan praktik jurnalisme online di Indonesia dan di Arab Saudi. Kedua penjelasan ini menjadi penting sebagai konteks data dalam penelitian ini dan karena beberapa hal, antara lain: 1. Jurnalisme online tergolong model jurnalisme baru, sehingga penjelasan dari sisi aspek kognitif kesejarahan dan perkembangannya masih diperlukan. 2. Secara normatif prinsip jurnalisme bersifat universal, namun praktik jurnalisme bisa jadi berbeda disetiap negara.
II. 1. Sejarah dan Perkembangan Jurnalisme Online Pada hakekatnya munculnya jurnalisme disebabkan karena dua hal: pertama, keinginan untuk mengubah masyarakat agar sesuai dengan standar kehidupan yang diakui oleh komunikator. Dorongan ini bisa berdalih agama, pembangunan, atau hal-hal yang dianggap sebagai sesuatu hal yang luhur dalam kehidupan. Jurnalisme ini mengutamakan gagasan, doktrin, atau ideologi. 76