BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi di bidang hukum yang terjadi mendorong terbentuknya suatu struktur ketatanegaraan yang demokratis melalui perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali perubahan UUD 1945, yaitu: Perubahan Pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001, dan Perubahan Keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.1 Hasil dari perubahan UUD 1945 sebagai landasan hukum tertinggi (the supreme law of the land) sekaligus merupakan landasan utama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadikan struktur lembaga negara berada pada posisi yang setara dengan saling melakukan kontrol (checks and balances), guna mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Perubahan UUD 1945 selain mengubah struktur kelembagaan negara menjadi lebih demokratis juga mempertegas prinsip negara hukum (rechtsstaat) yang semula hanya ada di dalam penjelasan UUD 1945, menjadi bagian dari batang tubuh UUD 1945. Hal ini tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) 1
Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen, Kencana, Jakarta, hlm. 1.
2
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.2 Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi manusia dan setiap tindakan dan kebijakan pemerintah harus berdasarkan atas ketentuan hukum (due process of law). Dalam kajian hukum tata negara, dikenal ada dua prosedur perubahan UUD. Pertama, perubahan melalui prosedur yang telah diatur dalam UUD itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah ”verfassung anderung”. Kedua, perubahan melalui prosedur di luar yang sudah ditentukan dalam UUD tersebut atau yang dikenal dengan istilah “verfassung wandelung”.3 Menurut K. C. Wheare ada empat macam cara perubahan konstitusi atau Undang Undang Dasar, yaitu melalui:4 (1) beberapa kekuatan yang bersifat primer atau utama (some primary forces); (2) perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal amandment); (3) perubahan melalui penafsiran hukum (judicial interpretation); (4) kebiasaan dan konvensi yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (usage and convention). Perubahan UUD 1945 telah melahirkan lembaga-lembaga negara baru dalam rangka menguatkan prinsip checks and balances. Salah satu lembaga 2
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps.1 ayat (3). Lihat Taufiqurrahman Syahuri, 2004, Hukum Konstitusi: Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 48. 4 K. C. Wheare, 2014, Konstitusi-Konstitusi Modern, Terjemahan: Imam Baehaqie, Nusa Media, Bandung, hlm. 104-207. Terjemahan dari karya K. C. Wheare, Modern Constitutions (Oxford University Press, 1996). Dalam bukunya K. C. Wheare menjelaskan secara panjang lebar mengenai keempat cara perubahan konstitusi tersebut. 3
3
negara yang patut dicermati adalah Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan sebagai perwujudan prinsip checks and balances melalui amandemen ketiga UUD 1945 Pasal 24C ayat (1), Mahkamah Konstitusi ditentukan memiliki 4 (empat) kewenangan, yaitu: (1) menguji Undang-Undang terhadap UUD; (2) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (3) memutus pembubaran partai politik; (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan terakhir dan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upaya hukum lain untuk mengubahnya.5 Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, Mahkamah Konstitusi disebut sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), dimana konsekuensi dari hal itu adalah Mahkamah Konstitusi dapat melakukan penafsiran terhadap konstitusi (sole interpreter of constitution). Artinya, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk menjaga konstitusi akan melakukan interpretasi terhadap UUD untuk melihat apakah Suatu undang-undang bertentangan dengan UUD atau tidak.
5
Ni’matul Huda dan R. Nazriyahah, 2011, Teori & Pengujian Peraturan PerundangUndangan, Nusa Media, Bandung, hlm. 144.
4
Sebagaimana yang dikemukakan oleh K. C. Wheare bahwa konstitusi dapat berubah secara informal melalui penafsiran hakim.6 Penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUD selama ini telah menyebabkan terjadinya perubahan UUD secara informal. Pernyataan K. C. Wheare tersebut dapat dilihat dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang secara tidak langsung telah mengubah UUD NRI 1945, seperti pada perkara nomor: 008/PUU-II/2004 mengenai uji konstitusional Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD NRI 1945 yang dikenal dengan kasus Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945 sebagai batu uji dari Pasal 6 (d) UU No. 23 Tahun 2003 dikeluarkan, secara umum ketentuan Pasal tersebut diartikan sebagaimana bunyi teksnya sebagai berikut:7 “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.” Kemudian dengan alasan constitutional intent, Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran (interpretation) terhadap Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945, khususnya pada kalimat “mampu secara rohani dan jasmani”. Menurut penafsiran Mahkamah Konstitusi semestinya dipahami “harus dalam kondisi 6
Feri Amsari, 2013, Perubahan UUD 1945: Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 179. 7 Ibid, hlm. 200
5
sehat secara rohani dan jasmani”. Sehingga Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945 berganti makna seperti berikut:8 “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta harus dalam kondisi sehat secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.” Perubahan terhadap makna UUD tersebut sungguh memiliki implikasi yang besar. Seseorang yang memiliki kekurangan fisik (dalam hal ini dikatakan sebagai kondisi tidak sehat) tidak dapat mengajukan diri untuk mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana dalam kasus Gus Dur tersebut, padahal Gus Dur sendiri pernah menjabat sebagai Presiden Negara Republik Indonesia. Selain dalam kasus di atas, perubahan UUD NRI 1945 juga terjadi dalam kasus Mahkamah Agung melawan Komisi Yudisial. Dalam putusan perkara nomor 005/PUU-IV/2006 tersebut, telah memberikan perubahan terhadap makna terhadap Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 UUD NRI 1945. Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 UUD NRI 1945 bermakna sebagaimana teksnya yaitu: Pasal 24B ayat (1) “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”
8
Ibid.
6
Pasal 25 “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemudian sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 UUD NRI 1945, maka sesuai dengan penafsiran dari Mahkamah Konstitusi makna dari Pasal tersebut telah berubah menjadi: Pasal 24B ayat (1) “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim selain Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim Ad-Hoc.” Pasal 25 “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-undang kecuali dalam penghentian hakim selain Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim Ad-Hoc diatur dalam undang-undang tersendiri..” Saat ini, kata “hakim” tidak lagi dipahami secara general akan tetapi di luar Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Hakim Ad-Hoc. Perubahan terhadap makna dari UUD NRI 1945 ini (perubahan UUD NRI 1945 melalui putusan Mahkamah Konstitusi), haruslah mendapat perhatian yang serius untuk memberikan kejelasan dan kepastian terhadap UUD itu sendiri. Selain dari dua putusan Mahkamah Konstitusi di atas, masih terdapat beberapa ketentuan-ketentuan UUD NRI 1945 yang maknanya telah berubah melalui interpretasi yang dilakukan oleh hakim Mahkamah Konstitusi dalam
7
beberapa putusannya, sehingga perlu untuk dilakukan pengkajian secara lebih mendalam. Walaupun amandemen UUD NRI 1945 melalui interpretasi Mahkamah Konstitusi bukanlah amandemen yang sebenarnya sebagaimana yang menjadi kewenangan badan pembentuk UUD dalam hal ini MPR, akan tetapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat menjadi salah satu cara yang sah dalam melakukan amandemen UUD NRI 1945.9 Menurut Satjipto Rahardjo, selama ini kita telah mengabaikan perilaku orang-orang yang menjalankan UUD. Kita telah melewatkan perhatian terhadap kultur konstitusi (constitutional culture). “Apabila semangat para penyelenggara Negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek”. Demikian kata-kata yang tertera dalam penjelasan UUD. Ini adalah merupakan isyarat untuk memberi perhatian terhadap aspek perilaku dan kultur konstitusi (constitutional culture).10 Oleh karena itu, perubahan UUD NRI 1945 tidak bisa dilepaksan dari masalah budaya konstitusi yang merupakan asumsi-asumsi (pemikiran) yang mendasari sebuah konstitusi dan perilaku yang mempengaruhi pelaksanaan dari UUD NRI 1945 tersebut dalam praktik.11 Perubahan UUD NRI 1945 secara informal melalui penafsiran hakim Mahkamah Konstitusi tidak terlepas 9
Lihat dalam Titon Slamet Kurnia, 2013, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Sang Penjaga HAM (The Guardian of Human Rights), P.T. Alumni, Bandung, hlm. 204 10 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm. 5. 11 Cheryl Saunders mengatakan bahwa “constitutional culture may be defined to include the assumptions that underlie a constitution and attitudes that affect its operation in practice”. Saunders, Cheryl, A Constitutional Culture in Tradition”, dalam Wyrzykowski, Miroslow (ed), Constitutional Culture, 2000, Institute of Public Affairs, Warsaw, hlm. 37.
8
dari budaya konstitusi hakim yang melatar belakangi munculnya penafsiran yang merubah makna teks (textual meaning) dari UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan dan sekaligus bertugas menjaga dan mengawal UUD NRI 1945 akan menentukan ke arah manakah UUD NRI 1945 akan dijalankan. Setiap putusan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan memberikan implikasi yang besar terhadap perkembangan dan penegakan hukum di Indonesia, terutama yang terkait dengan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD NRI 1945, karena UUD NRI 1945 adalah merupakan hukum tertinggi (the supreme law of the land) sekaligus merupakan landasan utama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian perlu dilakukan elabolrasi yang mendalam mengenai proses perubahan UUD NRI 1945 secara informal melalui putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut
yaitu
dengan
bertolak
pada
budaya
konstitusi
(constitutional culture) bangsa Indonesia. Sebab, perubahan konstitusi atau UUD tidak hanya disebabkan oleh ketentuan perubahan yang ada dalam suatu konstitusi saja, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan tidak hanya hukum tetapi juga politik, sosial dan ekonomi yang dominan pada saat-saat tertentu.12 Lalu bagaimana implikasi yang timbul akibat dari perubahan UUD NRI 1945 secara informal melalui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap perkembangan dan penegakan hukum di Indonesia.
12
K. C. Wheare, 2014, Konstitusi-Konstitusi Modern, op.cit., hlm. 104.
9
Dari uraian latar belakang di atas, alasan
penelitian tentang
permasalahan ini adalah untuk mengetahui dasar pemikiran (constitutional culture) sehingga UUD NRI 1945 yang sejatinya bersifat rigid13 dapat terjadi perubahan UUD NRI 1945 secara informal melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Karena hasil putusan-putusan Mahkamah Konstitusi khususnya yang mengakibatkan perubahan terhadap makna teks UUD NRI 1945 akan memiliki berbagai implikasi yuridis terhadap perkembangan dan penegakan hukum di Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan kajian mendalam tentang permasalahan tersebut, sehingga Mahkamah Konstitusi mampu menghadirkan kepastian hukum dan menjaga kesahihan dari UUD NRI 1945 sebagai landasan hukum tertinggi (the supreme law of the land).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah proses perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara informal melalui putusan Mahkamah
Konstitusi
dalam
perspektif
budaya
konstitusi
(constitutional culture) ? 2. Apa implikasi yuridis yang timbul dari hasil perubahan
Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara 13
Konstitusi yang rigid atau kaku memerlukan proses khusus untuk melakukan perubahan, sedangkan konstitusi yang luwes atau fleksibel tidak memerukan proses khusus untuk melakukan perubahan. Konstitusi yang rigid biasaya mengatur cara-cara perubahan konstitusi dalam rumusan pasal-pasal secara jelas.
10
informal melalui putusan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif budaya konstitusi (constitutional culture) terhadap perkembangan dan penegakan hukum di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimanakah proses perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara informal melalui putusan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif budaya konstitusi (constitutional culture). 2. Untuk mengetahui apa implikasi yuridis yang timbul dari hasil perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara informal melalui putusan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif budaya konstitusi (constitutional culture) terhadap perkembangan dan penegakan hukum di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu: 1. Manfaat Teoritis Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan dan perkembangan di bidang hukum khususnya Hukum Tata Negara, serta untuk menambah literatur dan bahan-bahan hukum yang dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti yang akan datang terutama yang
11
terkait dengan perubahan UUD NRI 1945 secara informal melalui putusan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif budaya konstitusi (constitutional culture). 2. Manfaat Praktis Dengan
adanya
hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi pihakpihak lain yang berkepentingan dalam amandemen UUD NRI 1945.
E. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran penulis, cukup banyak penelitian yang mengkaji mengenai perubahan UUD 1945,14 baik itu dalam bentuk disertasi, tesis, buku, maupun laporan hasil penelitian dosen dan sebagainya. Fokus penelitian dari masing-masing peneliti tentu berbeda-beda. Sri Soemantri misalnya, dalam disertasinya menekankan pada bagaimana prosedur dan sistem perubahan UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 37 seharusnya dijalankan, kemudian apakah mengubah UUD merupakan masalah hukum atau politik, serta 14
Ada banyak penelitian yang mengkaji perubahan UUD baik sebelum maupun setelah UUD NRI 1945 diubah secara adendum sejak 1999-2002. Antara lain: Ni’matul Huda, 2008, “UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang”, Rajawali Press, Jakarta. Bagir Manan, 2012, “Membedah UUD 1945”, UB Press, Malang. Harjono, 2009, “Legitimasi Perubahan Konstitusi, Kajian Terhadap Perubahan UUD 1945”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, dan beberapa karya dari Jimly Asshiddiqie, 2006, “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara”, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Jimly Asshiddiqie, 2010, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga negara Pasca Reformasi”, Ed. 2, Cet.1, Sinar Grafika, Jakarta. Jimly Asshiddiqie, 2011, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet. 2, Ed. 1, Sinar Grafika, Jakarta. Ada pula kajian perubahan UUD yang dikaitkan dengan Hukum Islam, Irfan Idris, 2009, “ Islam dan Konstitusionalisme: Kontribusi Islam dalam Penyusunan Undang-Undang Dasar Indonesia Modern”, antinyLib-Indonesia, Yogyakarta.
12
seberapa jauhkah kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melaksanakan ketentuan Pasal 37 tersebut. adapun Taufiqurrahman Syahuri, mengkaji proses dan prosedur perubahan UUD di Indonesia tahun 1999-2002 serta perbandingannya dengan negara lain dalam konteks perubahan UUD secara formal. Beberapa penelitian yang juga terkait tentang perubahan UUD 1945, namun dengan prosedur perubahan yang berbeda (verfassung wandlung)15, yaitu perubahan UUD 1945 secara Informal/nonformal. Saldi Isra dan Feri Amsari melakukan penelitian mengenai perubahan konstitusi melalui tafsir16 MK yang menurut penulis sangat dekat kaitannya dengan penelitian ini. Namun, tentu saja fokus kajian dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Saldi Isra dan Feri Amsari.17 Muhammad Fajrul Falaakh, guru sekaligus inspirator penulis, dalam bukunya Pertumbuhan dan Model Konstitusi serta Perubahan UUD 1945 Oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Konstitusi Penelitian memutuskan penelitiannya pada hasil perubahan
15
Dalam kajian hukum tata negara, dikenal ada dua prosedur perubahan UUD yaitu: Pertama, perubahan melalui prosedur yang telah diatur dalam UUD itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah ”verfassung anderung”. Kedua, perubahan melalui prosedur di luar yang sudah ditentukan dalam UUD tersebut atau yang dikenal dengan istilah “verfassung wandelung”. 16 Salah satu literatur yang memberikan teori konseptual terhadap cara perubahan konstitusi adalah K. C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions, (Oxford University Press, 1966). Yang belakangan diterjemahkan oleh Imam Baehaqie, 2014, Konstitusi-Konstitusi Modern, Nusa Media, Bandung. Adapun penelitian yang kaitannya dengan tafsir konstitusi dibahas oleh Taufiqurrahman Syahuri, 2012, “Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum”, Kencana, Jakarta. 17 Saldi Isra dan Feri Amsari memfokuskan penelitiannya untuk mengkaji putusanputusan MK yang menimbulkan perubahan terhadap teks UUD 1945. Sementara itu, penelitian yang penulis lakukan fokus mengkaji mengenai proses terjadinya perubahan konstitusi secara informal melalui putusan-putusan MK, serta implikasi yuridis putusan-putusan MK tersebut terhadap perkembangan dan penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah lanjutan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Saldi Isra dan Feri Amsari.
13
nonformal konstitusi oleh tindakan lembaga-lembaga negara (institutional interplay).18 Adapun penelitian yang terkait dengan budaya konstitusi19 (constitutional culture) dalam perubahan UUD NRI 1945, dilakukan oleh Indra Perwira, dkk yang fokus kajiannya adalah budaya konstitusi dalam perubahan UUD NRI 1945. Selain itu, ada pula penelitian yang dilakukan oleh Esmi Warassih yang mengkaji
budaya
hukum
sebagai
sebuah
subsistem
hukum
yang
mempengaruhi ketaatan dalam berhukum. Penelitian ini sendiri, fokus mengkaji mengenai masalah proses, dan implikasi dari perubahan UUD NRI 1945 secara informal melalui putusan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif budaya konstitusi (constitutional culture). Perubahan UUD NRI 1945 secara informal yang penulis maksud adalah perubahan melalui penafsiran hakim (judicial interpretation). Adapun budaya konstitusi yang penulis maksudkan adalah terkait dengan budaya hukum dalam arti yang khusus yaitu terkait dengan nilai-nilai, pandangan-pandangan yang ada dalam konstitusi dan dalam diri hakim yang akan menafsirkan konstitusi.
18
Baca Mohammad Fajrul Falaahk, 2014, Pertumbuhan dan Model Konstitusi Serta Pertumbuhan UUD 1945 Oleh Presiden, DPR dan Mahkamah Konstitusi (The Growth, Model and Informal Changes of an Indonesian Constitution), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 19 Beberapa penelitian tentang budaya konstitusi (constitusional culture) lebih banyak dilakukan oleh peneliti dari luar Indonesia, diantaranya: Matthew S R Palmer, 2005, “New Zealand Constitutional Culture”, International Research Fellow, New Zealand Law Foundation (2006-2008) and Fulbright Senior Scholar, Yale Law School. Gagik Harutyunian, 2009, ”Constitutional Culture:The Lessons Of History And The Challenges Of Time”, Yerevan.