BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempe merupakan salah satu makanan tradisional di Indonesia yang terbuat dari kedelai yang melalui proses fermentasi. Berdasarkan data dari BPS, produksi kedelai di Indonesia telah mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir. Meskipun telah mengalami penigkatan hampir dari tahun ke tahun, Indonesia masih belum mampu mencukupi kebutuhan kedelai lokalnya, sehingga perlu mengimpor dari negara lain. Berikut ini disajikan grafik yang dapat dilihat pada Gambar 1.1 yang menunjukkan peningkatan produksi kedelai di Indonesia selama 5 tahun terakhir. Produksi Kedelai di Indonesia (ton) Selama 5 Tahun Terakhir
Produksi kedelai (ton)
1200000 954997 843153
1000000
963099
800000 600000
851286
779992
400000 200000 0 2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Tahun Produksi Kedelai (ton)
Gambar 1.1 Grafik peningkatan produksi kedelai di Indonesia selama 5 tahun terakhir (Sumber : BPS, 2016)
1
2
Negara yang paling banyak mengekspor kedelai ke Indonesia yaitu, Amerika Serikat (AS), Kanada, Malaysia, China, dan Uruguay. Berikut ini disajikan daftar negara pengekspor kedelai ke Indonesia selama periode Januari hingga Agustus 2015. Tabel 1.1 Daftar negara pengekspor kedelai ke Indonesia periode JanuariAgustus 2015 Negara Pengekspor Amerika Serikat Kanada
Jumlah (ton) 1.481.969 25.573
Malaysia
9.924
China
1.684
Uruguay
2.318
Lainnya
4.278
(Sumber : Dhani, 2015) Diketahui bahwa konsumsi masyarakat mancapai 2,54 juta ton biji kering kedelai yang terdiri dari konsumsi langsung penduduk sebesar 2 juta ton biji kering kedelai, pakan ternak sebesar 3.000 ton biji kering kedelai, benih sebesar 39.000 ton biji kering kedelai, industri non makanan sebesar 446.000 ton biji kering kedelai, dan susu sebesar 49.000 ton biji kering kedelai. Meskipun produksi kedelai lokal dari tahun ke tahun terus meningkat, namun kebutuhan tersebut masih belum dapat dipenuhi terutama bagi industri tahu dan tempe. Kebutuhan untuk bahan baku tahu dan tempe adalah 62% - 70% (dari 2,5 juta ton), dan lainnya untuk makanan dan minuman (Aditiasari, 2015).
3
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dijadikan untuk memproduksi tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain) (BSN, 2012). Berdasarkan data BPS dengan update terakhir pada 22 September 2015, konsumsi tempe rata-rata per kapita per minggu di Indonesia tahun 2014 diperkirakan mencapai 0,133 kg. Umumnya, masyarakat Indonesia mengkonsumsi tempe sebagai makanan pendamping nasi. Dalam perkembangannya, tempe diolah dan disajikan sebagai aneka panganan siap saji yang diproses dan dijual dalam kemasan. Keripik tempe, misalnya, adalah salah satu contoh panganan populer dari tempe yang banyak dijual di pasar (BSN, 2012). Keripik tempe merupakan makanan kering yang terbuat dari tempe yang diiris tipis dan diberi tepung yang telah dibumbui. Keripik tempe memiliki karakteristik kering dan renyah. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan terhadap air, udara, dan benturan agar makanan tersebut tetap terjamin kualitasnya hingga ke tangan konsumen. Salah satu jenis keripik tempe adalah keripik tempe sagu yang merupakan keripik tempe yang dibuat dengan bahan dasar kedelai dan tepung sagu yang dicampur sebelum proses fermentasi tempe berlangsung. Keripik tempe sagu tersebut merupakan pengembangan dari keripik tempe yang sebelumnya tidak menggunakan tepung sagu, dan dapat diperoleh di pasaran dengan mudah. Artinya, masyarakat sudah dapat menerima keberadaan produksi baru tersebut. Pemasaran merupakan salah satu alat bagi perusahaan untuk menjual produknya. Dengan mengidentifikasi kebutuhan konsumen, perusahaan akan
4
mampu memenuhi kebutuhan tersebut dan memperoleh keuntungan. Perusahaan harus memiliki strategi pemasaran yang baik agar produk yang ditawarkan dapat terjual dengan sendirinya. Salah satu cara untuk menarik konsumen adalah dengan mendesain kemasan produk. Kemasan, selain berfungsi untuk melindungi produk juga berfungsi sebagai silent marketing. Kemasan merupakan sarana terbaik untuk mendorong konsumen membeli produk dan membangun loyalitas konsumen terhadap produk tersebut. Oleh karena itu, kemasan produk harus dibuat semenarik mungkin. Indonesia memiliki keragaman produk makanan tradisional. Produk makanan tradisional yang dihasilkan tersebut harus mampu bersaing dengan produk makanan modern yang diproduksi secara massal oleh industri besar dalam negeri maupun luar negeri. Terlebih jika mengingat akan dilaksanakannya ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2015. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia memiliki peranan cukup penting dalam meningkatkan perekonomian di Indonesia. UMKM berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia dan juga terhadap Produk Domestik Bruto. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, per akhir tahun 2012, jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 56,53 juta unit dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto 59,08 persen. Kontribusi UMKM terhadap penyerapan tenaga kerja adalah sekitar 97,16 persen atau 107 juta orang. Akan tetapi, kebanyakan produk yang dihasilkan oleh industri kecil dan menengah tidak memiliki inovasi terutama dalam hal pengemasannya. Kemasan produk makanan
5
tradisional masih sederhana, sehingga kurang menarik bagi konsumen. Selain itu, kemasan tersebut juga belum menggunakan label standar. Informasi umur simpan suatu produk diperlukan baik bagi produsen maupun konsumen. Dengan mengetahui umur simpan, konsumen dapat mengetahui kapan tenggat waktu produk tersebut aman dikonsumsi. Kewajiban produsen untuk mencantumkan informasi umur simpan ini diatur oleh pemerintah dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, dan PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan juga BPOM Nomor HK 03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (umur simpan) pada setiap kemasan produk pangan. UMKM Keripik Tempe Sagu Kremes milik Bapak Maryono merupakan sebuah industri yang memproduksi keripik tempe dengan bahan dasar kedelai dan tepung sagu. UMKM ini menjual keripik tempe sagu dalam bentuk kemasan 2 kg, 500 gram, dan 250 gram. Kemasan yang ada saat ini berupa plastik PP (polypropylene), baik untuk kemasan 250 gram, kemasan 500 gram, maupun kemasan 2 kg. Gambar kemasan keripik tempe sagu yang saat ini digunakan di UMKM Keripik Tempe Sagu Kremes Pak Maryono diperlihatkan pada Gambar 1.2.
6
Gambar 1.2 Kemasan keripik tempe sagu 250 gram Di dalam kemasan tersebut hanya tercantum nama produk. Oleh karena itu, kemasan ini dapat dikatakan belum memenuhi kriteria dalam hal pelabelan, seperti yang dianjurkan pemerintah. Atribut label kemasan yang dianjurkan pemerintah antara lain tercantum dalam UU RI No. 7 tahun 1996 tentang pangan dan BPOM Nomor HK 03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang pendaftaran pangan olahan. Atribut label kemasan keripik tempe sagu kremes menurut BPOM Nomor HK 03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.2. Berdasarkan hasil wawancara dengan produsen, produk keripik tempe sagu ini pun belum pernah diuji tentang umur simpan sebelumnya, sehingga masa kadaluarsa hanya diperkirakan oleh produsen selama 2 bulan sejak produk tersebut diproduksi.
7
Tabel 1.2 Atribut label kemasan keripik tempe sagu kremes *) No.
Atribut Label Kemasan
Keterangan
1
Nama pangan olahan
Ada
2
Berat bersih atau isi bersih
Tidak ada
3
Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau yang Tidak ada memasukkan pangan ke wilayah Indonesia
4
Daftar bahan yang digunakan
Tidak ada
5
Nomor pendaftaran pangan
Tidak ada
6
Keterangan kadaluarsa
Tidak ada
7
Kode produksi
Tidak ada
*) Menurut BPOM Nomor HK 03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 Jenis pengemas yang dilapisi dengan alumunium foil akan menunjukkan peningkatan sifat barrier-nya. Hal ini disebabkan oleh karena lapisan alumunium memiliki ketahanan yang tinggi terhadap gas dan uap air serta memiliki ketahanan terhadap sinar ultra violet. Alumunium foil biasanya dipakai untuk produk snack. Produk makanan snack mengandung asam lemak tak jenuh yang berasal dari minyak goreng yang dapat mudah mengalami oksidasi. Untuk meminimalkannya biasanya dipilih kemasan berlapis alumunium foil. Biasanya kemasan yang dilapisi dengan alumunium adalah jenis kemasan PET (Polyethyltereptahlene), LLDPE (Linier Low Density- Polyethylene), dan OPP (Coles et al., 2003). Penelitian ini akan berfokus pada pengembangan kemasan keripik tempe sagu. Pengemasan yang baik harus dapat memberi perlindungan terhadap produk
8
yang dikemasnya, serta dapat menjaga kualitas produk tersebut. Menurut Suyitno (1990), pengemas dapat meminimalkan masuknya air, mengendalikan suhu, dan mencegah migrasi komponen volatil. Pada penelitian ini digunakan metode value analysis dalam upaya pengembangan kemasan keripik tempe sagu.
Dalam
Chartered Institute of Management Accountants (CIMA), value analysis didefinisikan sebagai pengujian antar-disiplin yang bersifat sistematis dari berbagai faktor yang mempengaruhi biaya produk atau jasa, dalam rangka merancang cara untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, yaitu yang menghasilkan nilai paling ekonomis, tetapi tetap memenuhi standar kualitas dan keandalan yang diperlukan (Whittle, 2015). Melalui metode ini diharapkan akan dihasilkan desain kemasan keripik tempe sagu terbaik yang sesuai dengan harapan konsumen. Tahapan pada metode ini adalah informasi, kreativitas, analisis dan evaluasi, implementasi. Konsep desain yang akan dipilih merupakan konsep dengan nilai (value) terbaik. Pada tahap analisis dan evaluasi dilakukan pengujian terhadap umur simpan produk tersebut. Menurut Labuza (1979), berbagai pengujian terhadap umur simpan bahan pangan dapat dilakukan sesuai dengan sifat mutu utama yang terpenting dari bahan pangan tersebut, namun membutuhkan waktu yang cukup lama. Pada bahan makanan keripik umur simpannya bila berada di suhu kamar sekitar 4 sampai 6 minggu. Teknik yang paling cepat untuk menera umur simpan bahan pangan memakai teknik ASLT (Accelerated Shelf Life Testing). Teknik ini dapat dilakukan secara cepat dengan memberi stimulasi perlakuan suhu yang ekstrim dan hasilnya dapat dipakai dalam mendeteksi penurunan mutu selama penyimpanan (Labuza,
9
1979). Pada penelitian ini akan digunakan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) dengan pendekatan kadar air kritis. Hal ini dikarenakan sampel yang digunakan dalam penelitian merupakan bahan kering yang rentan terhadap perubahan kadar air apabila lingkungannya tidak stabil atau terlalu lembab. Melalui proses pengemasan yang baik, produk pangan akan terlindungi dari kerusakan serta dapat menarik konsumen untuk membeli. Selain itu, dengan pengemasan yang baik diharapkan dapat memperpanjang umur simpan suatu produk pangan dalam kurun waktu tertentu. 1.2 Pokok Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut : 1. Kemasan keripik tempe sagu kremes saat ini masih sederhana, dan belum memenuhi standar atribut pelabelan menurut anjuran pemerintah. 2. Keripik tempe sagu kremes belum pernah diuji dan diketahui umur simpannya. 1.3 Batasan Penelitian 1. Responden dalam kuesioner merupakan konsumen yang pernah membeli maupun mengkonsumsi keripik tempe. Pengambilan sampel dilakukan secara acak agar sampel yang diperoleh lebih merata. 2. Pelabelan yang dilakukan dalam pengembangan kemasan mengacu pada aturan BPOM Nomor HK 03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang pendaftaran pangan olahan. 3. Pengujian umur simpan produk keripik tempe sagu meliputi pengujian fisik dan kimia.
10
1.4 Tujuan Penelitian 1. Mengembangkan kemasan keripik tempe sagu dengan pelabelan berdasarkan aturan BPOM Nomor HK 03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang pendaftaran pangan olahan dan pendekatan value analysis. 2. Menduga umur simpan produk keripik tempe sagu menggunakan kemasan yang telah dikembangkan. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat bagi industri agar dapat menghasilkan produk keripik tempe sagu dengan kemasan baru yang lebih menarik dan dapat menambah daya tarik konsumen akan produk tersebut. Selain itu, konsumen akan terbantu dengan adanya label yang memuat informasi produk dan umur simpannya.