BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Industri perbankan telah mengalami perubahan yang mendasar, terutama dalam struktur pasar dan tingkat persaingan atau kompetisinya. Perubahan tersebut dimulai dari trend deregulasi perbankan pada tahun 80an. Sementara itu di Indonesia, kebijakan deregulasi dimulai pada tahun 1983 sampai dengan 1990. Sebelumnya, pembatasan atas operasional perbankan diatur oleh pemerintah. Bank-bank pemerintah menurut McLeod (1996) saat itu bukanlah bank yang bersifat profit oriented melainkan hanya menjadi kepanjangan tangan rezim pemerintah. Pasca Kebijakan deregulasi atau liberalisasi diterapkan, sebagian besar kontrol bank sentral terhadap suku bunga dan pemberian kredit mulai dihapuskan, serta memberi kemudahan dalam pendirian kantor cabang, dan mengurangi hambatan masuk pasar. Kebijakan ini selanjutnya meningkatkan persaingan di sektor perbankan. Pengalaman industri perbankan Indonesia menunjukkan paket deregulasi selain membawa dampak positif berupa peningkatkan akses jasa bank pada masyarakat juga membawa dampak negatif. Bertambahnya jumlah bank mendorong sektor perbankan lebih agresif dalam pemberian dan penghimpunan dana. Aktivitas perbankan yang meningkat ini menurut Abdullah dan Santoso (2004) tidak disertai dengan penegakan dan pelakasanaan prinsip kehati-hatian,
1
sehingga seringkali pemberian pinjaman tanpa melalui analisis kredit yang baik dan membawa pada NPL (Non-Performing Loan) yang tinggi. Tidak hanya kebijakan deregulasi yang juga mengubah bentuk struktur industri perbankan. Menurut Rajan (2005) adanya inovasi dalam teknologi juga memberikan andil dalam perubahan tersebut. Sebelumnya deregulasi didasarkan pada kurangnya insentif bagi perbankan untuk melakukan inovasi. Setelah adanya inovasi, perbankan mulai berorientasi kepada produknya. Orientasi terhadap produk perbankan ini disertai dengan insentif promosi seperti pemberian hadiah dan potongan harga menurut Afiliani (2012) makin meningkatkan persaingan di sektor perbankan. Pengenalan teknologi baru serta adanya pergeseran teknik pemasaran perbankan yang cenderung menjadi lebih berorientasi kepada pelanggan (nasabah) seperti pengenalan ATM (Automated Teller Machine) dan kerjasama dalam pembayaran dengan beberapa instansi pemerintah membuat industri perbankan menjadi tersegmentasi. Kotler (2001) membagi segmentasi pasar ke dalam empat tingkatan (level), yaitu: 1. Pemasaran Segmen (Segment Marketing) Dikatakan sebuah pemasaran dengan segmen pasar jika dalam sebuah pasar mengandung banyak kelompok dengan kesamaan kebutuhan, daya beli, lokasi geografis, dan perilaku membeli. 2. Pemasaran Lubang (Niche Marketing)
2
Pemasaran pada segmen ini adalah pemasaran dengan segmen kelompok kecil tertentu (typical) yang kebutuhannya tidak terpenuhi dengan baik. 3. Pemasaran Lokal (Local Marketing) Pemasaran produk ditujukan untuk kelompok masyarakat lokal tertentu. Dengan demikian dimana perusahaan menjual maka segmen pasarnya adalah warga setempat. 4. Pemasaran Individual (Individual Marketing) Target utama dari pemasaran indivudal ini adalah individu seorang. Pengelompokkan pasar ke dalam satu individu dapat ditemui dengan hadirnya internet, dimana produk-produk dapat disesuaikan dengan keinginan individu (customize). Dari keempat tingkatan segementasi pasar tersebut, industri perbankan di Indonesia hampir memenuhi kesemuanya. Ada bank yang memfokuskan kepada kelompok atau sektor tertentu, kelompok yang susah dijangkau dan tidak bankable, serta kelompok daerah atau regional (provinsi, kecamatan), Segmentasi berdasarkan sektor misalanya dapat dilihat pada Tabel 1.1. Pemberian kredit bank komersial (bank umum) sebagian besar disalurkan kepada sektor perindustrian (manufaktur) dan perdagangan. Pemberian kredit bank komersial kepada sektor perindustrian dan perdagangan lebih dari 40 persen dari total kredit pada tahun 2005 dan 2008. Meski pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 35 persen namun kedua sektor tersebut masih menjadi pilihan utama kredit bank umum.
3
Tabel 1.1 Pangsa Kredit Bank Umum Berdasarkan Sektor Ekonomi Sektor Ekonomi
2005
2008
2010
Pertanian, perburuan, dan sarana pertanian Pertambangan Perindustrian
0.05 0.01 0.25
0.05 0.02 0.21
0.05 0.03 0.16
Listrik, gas, dan air Konstruksi
0.01 0.04
0.01 0.04
0.02 0.04
Perdagangan, restoran dan hotel
0.20
0.20
0.19
Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi
0.03
0.05
0.04
Jasa dunia usaha
0.10
0.12
0.10
0.01 0.30
0.01 0.28
0.03 0.34
Jasa sosial/masyarakat Lain-lain Sumber: Bank Indonesia (2005-2008).
Sementara itu Tabel 1.2 menunjukkan pangsa kredit di tiap sektor atas dasar kelompok bank pemberi kredit. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa penyumbang terbesar pemberian kredit kepada kedua sektor (perindustrian dan perdagangan) adalah kelompok Bank Persero dan BUSN Devisa. Pemberian kredit dari kedua bank tersebut kepada sektor industri dan perdagangan mencapai lebih dari 70 persen dari total kredit bank umum di sektor itu. Tabel 1.2 juga menunjukkan kelompok Bank Persero dan BUSN Devisa dapat dikatakan menguasai pemberian kredit di setiap sektor ekonomi. Dengan demikian tidak hanya pemberian kredit perbankan itu tersegmentasi (berdasarkan sektor) namun juga pangsa pasar kreditnya dikuasai oleh kedua kelompok bank yaitu sebesar 77 persen dari semua pemberian kredit.
4
Tabel 1.2 Pangsa Kredit di Tiap Sektor berdasar Kelompok Bank (Tahun 2010) Bank Persero
BUSN Devisa
BUSN Non Devisa
BPD
Bank Campuran
Bank Asing
Total
Pertanian, perburuan, dan sarana pertanian Pertambangan Perindustrian
0.54 0.43 0.34
0.32 0.34 0.40
0.005 0.006 0.009
0.05 0.02 0.01
0.06 0.07 0.12
0.03 0.14 0.12
1.00 1.00 1.00
Listrik, gas, dan air Konstruksi
0.52 0.32
0.31 0.45
0.002 0.018
0.04 0.14
0.02 0.03
0.11 0.03
1.00 1.00
Perdagangan, restoran dan hotel
0.34
0.51
0.023
0.05
0.05
0.03
1.00
Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi
0.36
0.45
0.018
0.02
0.09
0.06
1.00
Jasa dunia usaha
0.14
0.54
0.043
0.02
0.11
0.15
1.00
Jasa sosial/masyarakat 0.21 0.59 Lain-lain 0.43 0.32 Total 0.36 0.41 Sumber: Bank Indonesia, 2010.
0.033 0.043 0.028
0.12 0.16 0.08
0.02 0.02 0.06
0.03 0.03 0.06
1.00 1.00 1.00
Sektor Ekonomi
Sedangkan dari Tabel 1.3 menunjukkan bahwa pangsa Dana Pihak Ketiga (DPK) juga didominasi oleh kelompok Bank Persero dan Bank Umum Swasta Nasional Devisa. Pada tahun 2008, Kelompok BUSN Devisa mulai mengambil dominansi dari Bank Persero (pemerintah). Sedangkan jika dilihat dari segmen usahanya terdapat dua jenis segmen yaitu bank dengan usaha konvensional dan usaha syariah. Bank (Umum) Komersial Konvensional berfungsi sebagai penghimpun dana dan menyalurkan kredit. 5
Sedangkan Bank (Umum) Komersial Syariah menurut UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mendefinisikan bank berdasarkan prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung riba, maisir, gharar, objek haram dan menimbulkan kezaliman. Tabel 1.3 Pangsa Dana Pihak Ketiga (DPK) Berdasar Kelompok Bank tahun 2002, 2008, dan 2012.
Kelompok Bank
Bank Persero Bank Umum Swasta Nasional Devisa Bank Umum Swasta Nasional non-devisa Bank Pemerinta h Daerah (BPD) Bank Campuran Bank Asing
2002 DPK (dalam Pangs miliar a rupiah) 370,542.0 0
0.44
321,111.0 0
0.38
17,050.00
45,758.00
21,418.00 59,900.00
0.02
0.05
0.03 0.07
2008 DPK (dalam miliar rupiah)
669,827.00
701,710.00
33,213.00
143,262.00
76,902.00 128,377.00
Total
835,779.0 1.00 1,753,291.0 0 0 Sumber: Bank Indonesia, 2002-2012.
2012 Pangs a
0.38
0.40
0.02
0.08
0.04 0.07 1
DPK (dalam miliar rupiah)
960,609.00
1,187,610.0 0
83,662.00
263,103.00
118,505.00 150,454.00 2,763,943.0 0
Pangs a
0.35
0.43
0.03
0.10
0.04 0.05 1
Bank yang memiliki segmen usaha syariah dapat dilihat pada Tabel 1.4. Tabel tersebut menunjukkan beberapa indikator terkait dengan bank berprinsip syariah seperti indikator sumber dan penyaluran dana serta pangsa asset. 6
Tabel 1.4 Indikator Aset, Sumber dan Penyaluran Dana, serta Pangsa tiap Indikator Bank Umum dan Unit Usaha Syariah serta Bank Konvensional.
Indikator
Bank Umum dan Unit Usaha Syariah
Bank Persero
Bank Umum Swasta Nasional Devisa
49,555
847,653
883,470
0.02 40,591
0.36 669,827
0.37 701,710
0.02
0.37
0.39
48,264
470,665
524,295
0.04
0.35
0.39
Asset (dalam miliar rupiah) Pangsa Asset Sumber Dana (DPK) Tahun 2008 Pangsa Sumber Dana (DPK) Penyaluran Dana (Kredit) Pangsa Penyaluran Dana (Kredit) Sumber: Bank Indonesia, 2008.
Tabel 1.4 menunjukkan bahwa segmen usaha bank umum masih didominasi oleh bank konvensional dibandingkan dengan usaha syariah. Dari total penyaluran dana, bank dengan prinsip syariah memiliki pangsa 4 persen jika dibandingkan dengan total penyaluran bank umum konvensional dalam bentuk kredit. Hal ini menunjukkan bahwa usaha bank umum yang konvensional lebih mendominasi dari usaha berdasarkan prinsip syariah. Jika melihat dari jumlah bank yang memiliki aset terbesar dalam industri perbankan, kepemilikan aset terbesar juga masih terkelompok pada bank-bank swasta dan pemerintah. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.5. Tabel 1.5 menunjukkan perkembangan total asset bank umum. Tabel tersebut menunjukkan bahwa bank yang memilki aset kurang dari 1 triliun rupiah didominasi oleh Bank Umum Swasta Nasional Non-Devisa, sementara untuk bank umum dengan aset antara 10 sampai dengan 50 triliun dan di atas 50 triliun 7
didominasi oleh Bank Umum Swasta Nasional Devisa dan Bank Persero. Kedua kelompok bank ini memiliki aset terbesar dalam industri perbankan nasional pada tahun 2012 dengan jumlah 14 bank. Tabel 1.5 Jumlah Bank Umum Berdasarkan Total Asset Pada Desember 20022012
Kelompok Bank
Kurang dari triliun rupiah
1
Antara 1 sampai 10 triliun rupiah
Antara 10 sampai 50 triliun rupiah
Lebih dari 50 triliun rupiah
2002
2008
2012
2002
2008
2012
2002
2008
2012
2002
2008
2012
Bank Persero
0
0
0
1
2
0
1
2
0
3
3
4
Bank Umum Swasta Nasional Devisa
10
3
1
15
16
18
10
10
7
1
6
10
Bank Umum Swasta Nasional non-devisa
33
24
13
7
8
14
0
1
3
0
0
0
Bank Pemerintah Daerah (BPD)
11
0
0
15
19
14
0
7
11
0
0
1
Bank Campuran
11
1
0
13
8
6
0
6
8
0
0
0
Bank Asing
2
0
0
4
4
3
4
4
3
4
2
4
Total
67
28
14
55
57
55
15
30
32
8
11
19
Sumber: Bank Indonesia , 2002-2012.
8
Dengan demikian dari uraian di atas dapat diketahui bahwa industri perbankan Indonesia memiliki karaktersitik sebagai berikut: 1. Tersegmentasi di tiap sektor dan usaha, terutama dalam hal pemberian kredit. Sedangkan dari sisi usahanya, bank umum (komersial) konvensional lebih mendominasi dibandingkan dengan bank umum dan unit usaha dengan prinsip syariah. 2. Pangsa terbesar dari pemberian kredit dan sumber dana (DPK) dimiliki oleh kelompok Bank Persero (pemerintah) dan Bank Swasta (BUSN Devisa). 3. Jika dilihat dari kepemilikan asetnya, pangsa terbesar dimiliki oleh sebagian kecil bank dari total bank yang beroperasi di Indonesia dan berasal dari kelompok bank pemerintah dan BUSN Devisa. Sehingga dapat dikatakan bahwa sektor perbankan nasional terkonsentrasi. Dari uraian tersebut, penelitian ini bermaksud mengambil objek penelitian industri perbankan di Indonesia terutama pada kelompok bank umum yang memiliki kegiatan konvensional yaitu Bank (Persero) Pemerintah dan Bank Swasta Nasional (BUSN) Devisa. Penelitian ini tertarik untuk meneliti topik yang berhubungan dengan stuktur dan tingkat persaingan dalam kelompok bank tersebut di Indonesia. Topik yang menjadi pembahasan adalah dampak dari program Aristerkur Perbankan Indonesia (API) terhadap struktur dan tingkat persaingan perbankan di Indonesia terutama pada Bank Komersial (Umum) Konvensional dengan kelompok Bank Persero dan Bank Swasta Nasional (BUSN Devisa). 9
Sejalan dengan perkembangan industri perbankan di Indonesia, kebijakan deregulasi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia mulai mengalami kebalikan arus (reverted), yaitu menuju kepada kebijakan yang cenderung re-regulation dengan perhatian lebih besar pada prudential regulation perbankan (McLeod, 1996). Trend menuju re-regulation Bank Indonesia (BI) ini selanjutnya sejalan dengan program restrukturisasi perbankan yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia pasca krisis keuangan 97/98. Dalam rangka penyehatan perbankan pasca krisis keuangan 97/98, Bank Indonesia membuat program yang diharapkan menjadi arah kebijakan perbankan nasional. Program ini kemudian disebut sebagai Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Pada dasarnya program ini berisi kerangka dasar perbankan nasional yang dapat dijadikan arah, bentuk dan tatanan industri perbankan nasional lima sampai sepuluh tahun mendatang (Bank Indonesia, 2004). Program API yang mulai diimplementasikan pada tahun 2004 oleh Bank Indonesia memilki pandangan terhadap struktur perbankan nasional. Harapan yang ingin dicapai oleh API sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.1 adalah struktur perbankan nasional yang terdiri dari bank berskala internasional, nasional, fokus (daerah, korporasi, dan ritel), serta bank perkreditan rakyat (BPR). Struktur perbankan nasional versi API ini diklasifikasikan menurut permodalan bank. Bank yang memiliki modal inti di atas 50 triliun masuk masuk ke dalam kategori bank internasional, 10-50 triliun masuk ke dalam kategori bank nasional, 100 miliar sampai 10 triliun masuk dalam kategori Bank dengan fokus, dan sampai dengan 100 miliar masuk ke dalam kategori BPR. 10
Gambar 1.1 Piramida Arsitektur Perbankan Indonesia (Booklet Perbankan Indonesia, 2005).
Selanjutnya isu yang juga melatarbelakangi dibentuknya API adalah isu mengenai jumlah bank yang dinilai terlalu banyak. Pada bulan Desember tahun 2003 total bank yang beroperasi di Indonesia ada sebanyak 141 bank. Hal ini menurut pendapat banyak kalangan masih terlalu banyak. Banyaknya jumlah bank ini dikhawatirkan akan meningkatkan persaingan perbankan yang lebih tinggi dan menghilangkan prinsip kehatian-hatian di dalam tata kelola bank. Permasalahan juga muncul terkait dengan terkonsentrasinya industri perbankan nasional, dimana pada tahun 2003 kurang lebih 60 persen pangsa asset perbankan dikuasi oleh 7 bank 1. Pada tahun 2004 industri perbankan nasional diwarnai dengan penutupan,
1
CR7: Bank Mandiri, Bank Central Asia, Bank Nasional Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia, Bank Permata..
11
likuidasi, serta merger. 2 Kebijakan ini sejalan dengan agenda BI untuk mendorong konsolidasi bank guna mengantisipasi persaingan di sektor perbankan yang semakin ketat (Bank Indonesia, 2004). Peraturan atau regulasi untuk membatasi tingkat persaingan dalam industri perbankan mendapat perhatian khusus dalam analisis regulasi di sektor keuangan. Alasannya adalah perbedaan karaktersitik yang dimiliki bank dengan industri lain, yaitu adanya maturity miss-match dan systemic risk (Carletti dan Hartman, 2001). Dalam teori kebijakan publik, regulasi pemerintah dibenarkan atas adanya kegagalan pasar (market failure) yang dapat muncul dari faktor kekuatan monopoli, eksternalitas, dan informasi yang tidak simetris di pasar yang pada akhirnya membuat pasar tidak efisien. Oleh karena permasalahan tersebut maka intervensi dari pemerintah (dalam bentuk regulasi) dibutuhkan (Vessala, 1995). Bank Indonesia sebagai otoritas moneter diberi kewenangan untuk melakukan intervensi di sektor keuangan. Intervensi tersebut bisa dalam bentuk kebijakan ataupun program yang berisi kebijakan dan aturan bagi perbankan. Salah satu program BI adalah API. Sebagaimana diurai sebelumnya, pelaksanaan program API mentitikberatkan pada penguatan struktur permodalan bank. Dalam hal ini BI dapat memberikan insentif bagi bank untuk merger dan konsolidasi untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam API (misalnya kebijakan kepemilikan tunggal atau single presence policy). Konsolidasi ini selanjutnya
2
Penutupan Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic, Self-liquidation ING Bank, dan merger tiga bank (Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC) menjadi Bank Century.
12
akan berdampak pada penuruanan jumlah bank yang ada yang selanjutnya mempengaruhi struktur dan tingkat persaingan industri perbankan. Analisis struktur dan tingkat persaingan industri masuk ke dalam lingkup teori Organisasi Industri (Industrial Organization atau IO). Faktor pembentuk struktur pasar dalam teori IO dapat dilihat melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan struktural. Pendekatan ini memiliki dua teori yang memberikan prediksi mengenai struktur industri. Teori tersebut yaitu, Structure Conduct Performance (SCP) dan Efficient-Structure (ES). Selanjutnya pendekatan kedua adalah pendekatan non-struktural atau New Empirical Industrial Organization (NEIO). Teori pertama dari pendekatan struktural adalah teori Structure Conduct Performance (SCP). Teori ini menyatakan bahwa struktur pasar terjadi karena adanya kebijakan (by design) yang diaplikasikan kepada sektor atau industri tertentu (Kunt et al., 2003). Kebijakan yang membatasi tingkat persaingan dalam industri seperti kebijakan merger dan akuisisi ataupun kebijakan yang terkait dengan hambatan masuk pasar (barriers to entry) dapat membentuk struktur pasar terkonsentrasi. Pasar yang terkonsentrasi ini selanjutnya membentuk kolusi antar pelaku di dalamnya, dan pada akhirnya hanya terbentuk beberapa pelaku pasar yang akan menikmati keuntungan besar (abnormal profit). Kolusi antar pelaku pasar membuat mereka mampu untuk menetapkan harga lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang berlaku jika dibandingkan ketika pasar berada dalam tingkat persaingan yang tinggi. Implikasi terhadap pasar pada akhirnya adalah inefisiensi. 13
Teori kedua dari pendekatan struktural adalah teori Efficient-Structure atau dalam beberapa literature ada yang menyebutnya Efficient Structure Hypothesis (ESH). Teori ini menyatakan bahwa struktur pasar atau industri terbentuk oleh karena faktor efisiensi para pelaku pasar di dalamnya. Lingkungan pasar dengan tingkat persaingan yang tinggi akan membentuk pelaku pasar yang beroperasi secara efisien. Pelaku pasar yang beroperasi secara efisien lebih mampu bertahan dan akan memiliki pangsa pasar yang lebih besar dibanding pelaku pasar lain yang kurang efisien, dan pada akhirnya menciptakan struktur perbankan yang terkonsentrasi. Dengan kata lain, pasar akan melakukan seleksi atas para pelakunya dan menyisakan para pelaku yang memiliki kinerja terbaik. Implikasi terhadap pasar adalah terciptanya lingkungan industri yang efisien. Pendekatan stuktural memiliki beberapa kelemahan, baik dari segi teori dan hasil penelitian ilmiah. Pada tatanan teori terdapat permasalahan endogenitas (terutama pada pendekatan SCP). Kelemahan lainnya adalah kedua teori (SCP dan ESH) memiliki prediksi yang berbeda mengenai faktor pembentuk struktur pasar. Menurut Kunt et al. (2003) struktur pasar dalam teori SCP dibentuk oleh regulasiregulasi yang membatasi persaingan (regulatory impediment of competition) sementara dalam ESH dibentuk oleh perilaku pelaku di dalam pasar. Hasil penelitian ilmiah juga menunjukkan beberapa kelemahan dari pendekatan struktural. Temuan ilmiah menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi pasar tidak berhubungan terbalik dengan tingkat persaingan sebagaimana dalam teori SCP (lihat dalam Classens dan Laeven, 2004). Selain itu, beberapa peneliti juga menilai pendekatan struktural lemah dalam analisis tingkat persaingan indsutri perbankan. Selain disebabkan oleh ketidaktersediaan data yang memadai, 14
juga dikarenakan susahnya menentukan harga yang sesuai di pasar perbankan. Misalnya harga di pasar kredit, suku bunga kredit, tingkat harganya beragam antar bank yang satu dengan bank yang lain. Oleh sebab itu dalam analisis SCP seringkali tingkat konsentrasi sebuah industri menjadi tolak ukur atau parameter tingkat persaingan dalam sebuah industri (Adams et al., 2002). Pendekatan yang kedua adalah pendekatan non-struktural atau New Empirical Industrial Organization (NEIO). Pendekatan ini merupakan respon dari beberapa kelemahan pendekatan struktural. Pendekatan ini lebih menekankan kepada perilaku bersaing (competitive conduct) pelaku di dalam industri (Bikker, 2003). Pendekatan non-struktural lebih mengedepankan pengukuran kekuatan pasar atau market power sebagai sinyal tingkat persaingan. Terkait dengan identifikasi struktur pasar dan pengukuran tingkat persaingan, pendekatan NEIO memberikan tiga model. Model tersebut adalah Bresnahan-Lau Test (BL-Test), Iwata Model, dan Panzar-Rosse (Model PR). Dari ketiga pendekatan model tersebut penelitian ini menggunakan pendekatan non-struktural Model PR, untuk mengidentifikasi struktur pasar dan mengukur tingkat persaingan dalam industri perbankan di Indonesia. Pendekatan dengan Model PR menjelaskan hubungan antara perubahan harga input dengan pendapatan yang diperoleh perusahaan (Yudaruddin, 2013). Hubungan tersebut ditunjukkan dalam bentuk elastisitas faktor harga (factor price elasticity) (Panzar dan Rosse, 1987). Perkembangan selanjutnya dari model PR ini adalah diperkenalkannya Statistik-H oleh Juka Vessala pada tahun 1995. Statistik-
15
H merupakan penjumlahan dari elastisitas faktor harga dalam Model PR. Dari hasil Statistik-H inilah identifikasi struktur dan tingkat persaingan diperoleh. Beberapa penelitian terdahulu telah mencoba menelaah isu di atas dalam industri perbankan Indonesia, diantaranya Pradiptyo et al. (2012) yang berpendapat bahwa struktur perbankan di Indonesia adalah oligopoli. Sementara Soedarmono (2010) meneliti mengenai tingkat persaingan dalam industri perbankan di Indonesia pasca krisis dengan menggunakan indeks lerner. Hasil yang diperoleh adalah tingkat persaingan yang cenderung menurun pasca krisis. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penelitian ini tertarik untuk meneliti topik berupa dampak dari program API terhadap struktur dan tingkat persaingan perbankan di Indonesia terutama pada Bank Umum Konvensional dengan kelompok Bank Persero dan Bank Swasta Nasional (BUSN Devisa). Sementara itu terkait dengan pelaksanaan program API oleh Bank Indonesia, program ini cenderung membentuk struktur perbankan yang membatasi tingkat persaingan dengan jumlah bank yang lebih sedikit. Jika dilihat selama sepuluh tahun terakhir, jumlah bank mengalami penurunan (141 bank pada tahun 2003 menjadi 120 bank pada tahun 2012). Sementara rasio konsentrasi (Concentration Ratio atau CR) perbankan Indonesia menunjukkan trend yang menurun (tabel 1.6). Maka sebagaimana diurai oleh kedua pendekatan dalam teori IO sebelumnya, perubahan dalam struktur pasar juga mempengaruhi perilaku bersaing industri, dalam hal ini perbankan. Dengan demikian, pasca penerapan program API juga akan memiliki dampak pada struktur dan perilaku bersaing perbankan di Indonesia. 16
Tabel 1.6. Rasio Konsentrasi (CR) Perbankan Indonesia Tahun 2003-2011 Jumlah Bank CR 4 CR 5 CR 7
2003 54.15 58.5 63.75
2008 44.93 49.47 55.22
2011 44.34 48.84 55.58
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2003-2011).
Saat ini program API sudah berjalan hampir sepuluh tahun. Evaluasi mengenai capaian program API perlu untuk dibahas. Terutama yang terkait dengan pilar pertama dalam API berupa menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat. Penelitian ini mengajukan sebuah telaah mengenai struktur perbankan nasional dengan melihat kepada aspek tingkat persaingan industri perbankan pasca implementasi program API oleh Bank Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah Industri perbankan, sebagaimana industri lain memiliki isu yang terkait dengan struktur dan tingkat persaingan. Menurut teori SCP sebelumnya, struktur pasar dibentuk salah satunya dari adanya regulasi-regulasi yang membatasi tingkat persaingan (regulatory impediment to competition). Pengetatan permodalan yang diinginkan oleh API dapat dikatakan sebagai hambatan masuk pasar (barriers to entry) bagi pelaku yang tidak memenuhi persyaratan permodalan tersebut. Dampaknya berupa praktik merger dan konsolidasi bank sehingga membuat industri perbankan Indonesia terkonsentrasi dan menurunkan tingkat persaingan.
17
Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.7. Sektor industri perbankan terkonsentrasi pada kelompok bank persero (pemerintah) dan bank swasta nasional (BUSN Devisa). Sementara itu jika dilihat dalam data pemberian kredit pada bagian pendahaluan sebelumnya, sektor perbankan Indonesia tersegmentasi pada sektorsektor tertentu. Sebagian besar pemberian kredit disalurkan kepada sektor industri dan perdagangan dimana pemberian kredit di kedua sektor tersebut dikuasai oleh kelompok bank persero (pemerintah) dan bank swasta (BUSN Devisa) sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 1.8 berikut. Tabel 1.7 Kelompok Bank dalam Aset, Pangsa Kredit, dan Pangsa DPK Kelompok Bank
Aset Lebih triliun
dari
Bank Persero (Pemerintah) 4 bank BUSN Devisa 10 bank BUSN Non-Devisa BPD 1 bank Bank Campuran Bank Asing 4 bank Sumber: Bank Indonesia, 2010-2012.
50 Pangsa Kredit
Pasar Pangsa Pasar DPK 36% 41% 2.80% 8% 6% 6%
35% 43% 3% 10% 4% 5%
Tabel 1.8 Kelompok Bank Penyumbang Terbesar dalam Sektor Perindustrian dan Perdagangan
Sektor Ekonomi
Porsi Pemberian Kredit terhadap Total Kredit 2005 2008 2010
Bank dengan Penyumbang Terbesar
BUSN Devisa dan Bank 25% 21% 16% Persero Perdagangan, BUSN Devisa dan Bank restoran dan hotel 20% 20% 19% Persero Total 45% 42% 35% Sumber: Bank Indonesia, 2005-2010. Perindustrian
18
Pangsa Bank Penyumbang terbesar 74% 85%
Sementara itu terkait dengan hubungan antara jumlah bank dengan tingkat konsentrasinya, makin menurun tingkat bank cenderung membuat struktur perbankan menjadi terkonsentrasi. Jika melihat pada data yang ada jumlah bank memang mengalami penurunan dari 141 bank pada tahun 2003 menjadi 120 pada tahun 2012. Namun sebaliknya dengan rasio tingkat konsentrasi industri (CR4) justru mengalami penurunan (sebesar 54% tahun 2004 menjadi 44% pada tahun 2012). Tingkat kosnsentrasi industri dalam beberapa penelitian sebelumnya (yang menggunakan pendekatan SCP) merupakan parameter tingkat persaingan. Temuan sebelumnya menunjukkan bahwa hubungan terbalik antara struktur (yang dicerminkan dari jumlah bank) dengan tingkat persaingan (yang dicerminkan dari rasio tingkat konsentrasi) tidak terjadi. Dengan demikian penggunaan tingkat konsentrasi sebagai parameter tingkat persaingan dirasa kurang tepat. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan pendekatan NEIO dengan pemikiran bahwa rasio tingkat konsentrasi tidak selalu menceminkan tingkat persaingan. Daru uraian tersebut penelitian ini bermaksud untuk melihat struktur dan tingkat persaingan bank. Terutama pada bank komersial (umum) konvensional dalam kelompok Bank Persero (pemerintah) dan bank swasta (BUSN Devisa). Kedua kelompok bank ini menjadi objek penerlitaian karena sebagaimana disebutkan sebelumnya, kelompok bank ini mendominasi baik pemberian kredit dan sumber dana di sektor perbankan secara keseluruhan. Sehingga telaah mengenai struktur dan tingkat persaingan di kedua kelompok bank ini dianggap sesuai. 19
Selanjutnya terkait dengan program API, visi yang ingin dicapai adalah membuat lingkungan perbankan menjadi lebih efisien (Bank Indonesia, 2004). Visi ini dicapai dengan membentuk struktur perbankan yang sehat (Pilar I) dalam bentuk penguatan permodalan perbankan. Hal ini berdampak pada praktik merger dan akuisisi. Di Indonesia sendiri sepanjang tahun 2000-2010 terjadi sekitar 11 merger. Merger ini memunculkan bank-bank baru dengan pangsa besar (seperti Bank OCBC NISP dan Bank CIMB Niaga). Munculnya bank-bank baru ini ditambah dengan pangsa yang besar akan berpengaruh kepada struktur dan tingkat persaingan perbankan terutama di kelompok bank pangsa besar yang dalam hal ini adalah Bank Persero dan BUSN Devisa. Oleh karena itu perlu telaah lebih lanjut mengenai struktur pasar dan pengukuran tingkat persaingan industri perbankan di Indonesia terutama pada kelompok bank persero (pemerintah) dan bank swasta (BUSN Devisa) pasca penerapan program API oleh Bank Indonesia. Dari perumusan masalah tersebut dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah struktur industri bank komersial konvensional di Indonesia? 2. Adakah perbedaan tingkat persaingan dalam industri bank komersial konvensional sebelum dan setelah pelaksanaan program API oleh Bank Indonesia?
20
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3. 1 Tujuan Penelitian Mengacu kepada pertanyaan penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengatahui struktur industri bank komersial konvensional di Indonesia. 2. Mengetahui perbedaan tingkat persaingan industri bank komersial konvensional di Indonesia sebelum dan sesudah dilaksanakannya program API. 1.3. 2 Manfaat Penelitian Secara praktis manfaat penelitian yang akan dilakukan ini adalah dapat sebagai informasi guna memantau apakah kebijakan API (Arsitektur Perbankan Indonesia) yang diterapkan oleh Bank Indonesia sudah sejalan dengan yang diharapkan. Penelitian yang akan dilakukan ini juga diharapkan memberi kontribusi empiris terhadap penelitian terkait dengan tingkat persaingan dalam industri, khususnya industri perbankan.
21