BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan, individu dihadapkan dengan berbagai tugas dalam aktivitas sehari-harinya. Tugas yang dimiliki individu beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dimilikinya. Ada individu yang hanya menjalani satu tugas saja, akan tetapi ada pula individu yang menjalani banyak tugas dalam kehidupannya, seperti menjalani tugas dalam menuntut ilmu, pekerjaan ataupun dalam keluarga seiring dengan perkembangan usia yang dimiliki. Individu yang memiliki kondisi normal baik dari segi jasmani maupun rohaninya, mungkin akan lebih mudah menjalani berbagai tugas kehidupan dibandingkan dengan individu yang memiliki keterbatasan atau penyandang cacat (cacat penglihatan, komunikasi, mental dan tubuh). Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Begitu pula dengan kemampuan yang dimiliki oleh para difabel yang memiliki keunikan dalam menjalani aktivitasnya. Difabel merupakan istilah untuk mengganti istilah penyandang cacat. Difabel yang merupakan kepanjangan dari “differently abled” yaitu perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh individu yang memiliki keterbatasan baik pada indera maupun fisik yang dimilikinya (Ro’fah, 2010a). Adanya keterbatasan yang dimiliki, tidak menutup kemungkinan seorang difabel untuk menjalani aktivitas dan memenuhi harapan hidup yang dijalaninya. Para difabel pun dapat menjalani aktivitas yang dilakukan sebagaimana orang pada
1
umumnya, seperti menuntut ilmu hingga mencapai pendidikan yang tinggi di tingkat perguruan tinggi, bekerja dan melakukan aktivitas apa saja yang digemarinya dan ingin ditekuninya sesuai dengan kemampuan dan impian yang diharapkannya. Difabel
perlu memperoleh pendidikan tinggi telah tercantum dalam
Undang-undang penyandang kecacatan Tahun 2007 dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Adanya dua di antara sekian banyak dasar hukum yang dipaparkan tersebut, Mangunsong (2009) memberikan jaminan sepenuhnya kepada difabel dalam memperoleh pendidikan sebagaimana orang lain pada umumnya yang tanpa difabilitas.
Difabel
dengan
keterbatasan
indera
penglihatan,
indera
pendengaran, kecacatan organ tubuh (fisik) dan lain sebagainya dapat memperoleh pendidikan di perguruan tinggi dan dapat menjalani proses pembelajaran serta dapat menjadi seorang mahasiswa. Lifshitz, Hen, dan Weisse (2007) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa di israel terdapat banyak individu yang mengalami kerusakan penglihatan bahkan ketunanetraan yaitu sebanyak 80 % individu yang bersekolah umum, 74 % dengan penglihatan rendah dan 26% dengan ketunanetraan dan 20% bersekolah di tempat tinggal mereka. Dapat diketahui dari penelitian tersebut bahwa prevalensi jumlah individu yang mengalami ketunanteraan lebih banyak bersekolah di sekolah umum dibandingkan di tempat tinggal mereka sendiri.
2
Penyebab ketunanetraan salah satunya dapat berasal dari penyakit yang dialami oleh mata. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Kareemsab, Rachaiah dan Balasubramanya (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa penyakit yang dapat merusak sistem penglihatan dapat mengarahkan pada ketunanetraan dan penglihatan yang rendah. Singabele, Sokolo dan Adio (2010)
dalam
penelitiannya
juga
menemukan
bahwa
katarak
dapat
mengarahkan pada penyebab ketunanetraan termasuk yang terjadi di salah satu Rumah Sakit di Nigeria tersebut. Sehingga penting untuk memperhatikan kondisi mata dan penanganan yang tepat untuk menangani penyakit katarak tersebut. Pihak Rumah Sakit yang memiliki wewenang dalam penanganan penyakit
katarak
sebaiknya
senantiasa
memberikan
pengarahan
pada
masyarakat apabila terjadi permasalahan pada mata segera memberikan penanganan yang tepat seperti melakukan pembedahan katarak sehingga tidak mengakibatkan pada ketunanetraan. Lebih lanjut Rahi dan Cable (2003) mengungkapkan bahwa kerusakan penglihatan dan ketunanetraan pada anak-anak di Inggris merupakan hal yang umum yang terjadi lebih banyak dikarenakan kerusakan non-ophthalmic yang kompleks. 10.000 anak-anak di Inggris mengalami kerusakan penglihatan dan ketunanetraan kebanyakan pada saat kelahiran pertama dan meningkat hingga usia 16 tahun. Peningkatan berat kelahiran anak yang rendah juga dapat menyebabkan adanya kerusakan penglihatan dan ketunanetraan pada anakanak di Inggris tersebut.
3
Dupe,
Mosunmola
dan
Tanimola
(2010)
dalam
penelitiannya
mengungkapkan bahwa demografi dan masalah psikososial berpengaruh pada peningkatan individu yang mengalami buta total. Individu dengan kebutaan total dapat dipengaruhi dari adanya riwayat keluarga yang telah mengalami kebutaan total pula atau tidak pernah menjalani penanganan mata, sehingga keluarga merasa ketakutan jika ada anak mereka yang juga mengalami kerusakan penglihatan sebagaimana yang mereka alami. Mosunmola (2011) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa individu dengan kerusakan penglihatan mayoritas sulit dalam hal penyesuaian dengan pendidikan,
latihan vokasional, pekerjaan, dan mobilitas. Faktor yang
kemungkinan menyebabkan gangguan psikologis adalah rendahnya latar belakang pendidikan dan adanya gangguan medis lainnya. Banyak dari individu dengan kerusakan penglihatan tidak memiliki akses pada pendidikan formal dan sistem rehabilitasi yang dikontribusikan dengan adanya ketidakmampuan dalam penyesuaian lingkungan yang dihadapinya. Dalam penelitian tersebut pula diketahui bahwa individu dengan kerusakan penglihatan yang memiliki pendidikan formal dan latihan vokasional tidak memiliki permasalahan dalam hal perkawinan dan keluarga serta lebih dapat melakukan penyesuaian sosial dan psikologis dari adanya ketunanetraan yang dimilikinya dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki pendidikan dan latihan vokasional. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa pentingnya pendidikan dan latihan vokasional bagi difabel netra agar mampu melakukan penyesuaian sosial dan psikologis walaupun dengan keterbatasan penglihatan
4
yang dimilikinya. Sebagaimana dalam penelitian ini, difabel netra yang menjadi mahasiswa pun memiliki keunikan tersendiri. Tingkat pendidikan yang dimilikinya dapat menentukan bagaimana karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik dan kepribadian yang dimilikinya yang pada akhirnya dapat membantu dalam hal penyesuaian sosial dan psikologis. Sebagaimana Somantri (2007) mengungkapkan bahwa difabel netra memiliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik, dan kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini tergantung pada sejak kapan difabel netra tersebut mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman
penglihatannya,
berapa
usianya
serta
bagaimana
tingkat
pendidikannya. Keterbatasan kemampuan penglihatan yang dimiliki difabel netra tidak menghambat beragam aktivitas dalam kesehariannya. Padahal dapat diketahui bahwa adanya ketunanetraan yang dialami difabel netra, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya
perkembangan
kognitif
difabel
netra
cenderung
terhambat
dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan atau kemampuan
intelegensinya,
tetapi
juga
dengan
kemampuan
indera
penglihatannya. Indera penglihatan merupakan salah satu indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar diri individu. melalui indera penglihatan, individu mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar, tidak saja pada bentuknya tetapi juga pengamatan dalam, warna, dan dinamikanya (Somantri, 2007).
5
Penerimaan rangsang yang dialami difabel netra hanya dapat dilakukan melalui pemanfaatan indera-indera lain di luar indera penglihatannya. Difabel netra biasanya menggantikannya dengan indera pendengaran sebagai saluran utama penerima informasi. Indera pendengaran yang dimilikinya hanya mampu menerima informasi dari luar yang berupa suara. Difabel netra juga akan mengenal bentuk, posisi, ukuran, dan perbedaan permukaan melalui perabaan. Melalui indera penciumannya pula, difabel netra dapat mengenal seseorang, lokasi objek, serta membedakan jenis benda. Indera pengecapan juga dapat digunakannya untuk mengenal objek melalui rasanya walaupun terbatas. Adanya indera yang masih berfungsi tersebut memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan kognitifnya (Soemantri, 2007). Dapat dipahami bahwa betapa pentingnya indera penglihatan bagi individu yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi
perkembangan
kognitif
individu
sehingga
mampu
berkembang secara optimal. Efikasi diri sebagai suatu elemen kognitif penting dalam kehidupan difabel netra. Bagaimana efikasi diri yang dimiliki difabel netra dapat menggambarkan seberapa besar keyakinan dan semangat yang dimiliki oleh difabel netra dalam menjalani kehidupannya, sehingga difabel netra mampu mengatasi kesulitan dalam hal penyesuaian sosial dan psikologis diakibatkan dari adanya keterbatasan penglihatan yang dimilikinya. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Macchiagodena, Dubuc, Wittich, Robbilard, dan Overbury (2008) bahwa adanya efikasi diri yang tinggi dapat membantu individu dalam mengatasi depresi yang diakibatkan dari adanya
6
kerusakan penglihatan yang dialaminya. Hal tersebut dikarenakan efikasi diri merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri yang berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari (Bandura, 1986). Hal ini diperkuat pula oleh pendapat
Robbins
(2001)
bahwa
efikasi diri
merupakan faktor
yang
mempengaruhi kinerja individu dalam mencapai tujuan tertentu. Efikasi diri merupakan bagian dari kepribadian. Pervin dan John (2001) mengungkapkan bahwa struktur kepribadian didasarkan pada kompetensiketrampilan, tujuan dan diri (Self). Kepribadian merupakan karakteristik personal individu yang meliputi diri (Self) dan identitas (identity) (Santrock, 2012). Berkaitan dengan diri (Self), efikasi diri merupakan salah satu aspek penting dalam upaya mempersepsikan diri agar dapat mengatasi situasi tertentu dalam kehidupan individu (Pervin & John, 2001). Dalam perkembangannya, kepribadian individu dipengaruhi oleh faktor internal dan ekternal yang biasa dikenal dengan istilah nature dan nurture. Nature mengacu pada dampak inheritens genetik individu atau disebut faktor hereditas
(Bawaan),
sedangkan
Nurture
mengacu
pada
dampak
dari
pembelajaran, pelatihan, pendidikan atau secara lebih umum yaitu faktor lingkungan individu (Berndt, 1992). Istilah kepribadian digunakan untuk menggambarkan perbedaan individu pada usia remaja dan dewasa seperti kemampuan emosional, aktivitas dan sosial, sedangkan pada bayi dan anak-anak digunakan istilah temperamen untuk mendeskripsikan perbedaan individu (Hetherington & Parke, 2003). Difabel netra dalam penelitian ini merupakan individu yang berada pada usia dewasa
7
sehingga digunakan istilah kepribadian untuk mendeskripsikan perbedaan di antara difabel netra tersebut. Hal-hal yang merupakan bagian dari nature (hereditas) antara lain yaitu maturation dan kondisi fisik. Maturation adalah pola perubahan secara genetik pada karakteristik fisik seperti ukuran dan bentuk tubuh, pola hormon atau koordinasi (Bee, 1981). Faktor pribadi yang terdalam (Inner personal factors) meliputi kognisi,emosi dan peristiwa biologis merupakan bentuk faktor internal (nature) yang dapat menjadi faktor penentu terbentuknya efikasi diri. Adanya kemampuan kognitif yang kuat atau kemampuan mensimbolisasi menjadikan individu dapat mengembangkan ide-ide yang kompleks dan pengalaman pada orang lain serta dapat berlatih mengendalikan perilaku yang kemudian berpengaruh tidak hanya pada lingkungan akan tetapi juga pada kognitif, afektif dan kondisi biologis individu (Snyder & Lopez, 2002). Galotti (2011) mengungkapkan bahwa perkembangan kognitif pada usia dewasa antara lain yaitu penalaran (reasoning), pembelajaran (learning) dan pemecahan masalah (problem solving), serta pengambilan keputusan (decision making). Mahasiswa difabel netra dalam penelitian ini berada pada usia dewasa sehingga mereka dapat melatih dan mengontrol proses kognitifnya dengan cara melakukan penalaran, pembelajaran dari lingkungan sekitarnya, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi
dalam
kehidupannya
khususnya
kondisi
ketunanetraan
yang
dihadapinya. Sebagaimana Most, Chun, Widders, dan Zald (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kontrol kognitif dapat membantu individu
8
dengan kerusakan penglihatan dalam melakukan seleksi terhadap stimulus yang ada dihadapannya. Kondisi fisiologis dan afeksi yang merupakan faktor internal (nature) juga dapat menjadi faktor penentu terbentuknya efikasi diri (Bandura, 1997). Feldman (2005) memaparkan bahwa nature sebagai faktor hereditas yang merupakan faktor genetik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sepanjang kehidupan individu. Hal-hal yang merupakan faktor genetik yaitu pertama, karakteristik fisik antara lain seperti tinggi badan, berat badan, intonasi suara, tekanan darah dan lain sebagainya. Kedua yaitu karakteristik intelektual antara lain seperti memori, kecerdasan, kemampuan membaca, dan lain sebagainya. Ketiga yaitu karakteristik emosional dan gangguan antara lain seperti pemalu, terbuka (ekstrovert), neurotis, kecemasan dan lain sebagainya. Adapun nurture yaitu faktor yang bersumber dari lingkungan yang berpengaruh pada perilaku individu antara lain pengaruh dari orang tua, saudara sekandung, keluarga, teman, sekolah, nutrisi, dan segala pengalaman lainnya yang dapat mempengaruhi individu. . Sebagaimana ungkapan Feldman (2005) bahwa tipe kepribadian termasuk dalam faktor nature seperti ekstrovert, neurotis dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi perkembangan individu. Sebagaimana dapat diketahui bahwa tipe kepribadian terdiri dari tiga dimensi tipe yaitu ektraversiintraversi, neurotisisme, dan psikotisisme (Alwisol, 2009). Tipe kepribadian juga dapat berpengaruh pada kondisi emosi yang dialami oleh individu yang mengalami kerusakan penglihatan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh
9
Macchiagodena, dkk (2008) bahwa individu dengan kerusakan penglihatan yang memiliki kepribadian neurotisisme akan mudah mengarah pada emosi-emosi negatif. Nevid dan Rathus (2010) mengungkapkan bahwa pengaruh dari faktor genetik juga dapat berkontribusi pada sebagian besar penyesuaian diri individu dalam hal menghadapi tuntutan stress seperti masalah emosional yang melibatkan kecemasan dan depresi, serta gangguan psikologis yang lebih berat. Adapun faktor eksternal (nurture) dapat berkaitan dengan proses pembelajaran, transaksi dan interaksi pada lingkungan sekitarnya (Bee, 1981). Proses pembelajaran, transaksi dan interaksi antara lain dapat dilakukan dengan cara belajar dari pengalaman keberhasilan sebelumnya, pengalaman orang lain, persuasi verbal, dan pola asuh orang tua. Individu yang sebelumnya pernah mencapai pengalaman sukses atau berhasil dalam suatu tugas akan memiliki keyakinan yang tinggi terhadap kemampuannya sehingga akan meningkatkan keyakinan saat menghadapi tugas berikutnya (Bandura, 1997). Individu juga dapat meningkatkan efikasi dirinya dengan cara melihat atau mencontoh keberhasilan orang lain dalam suatu tugas ataupun kondisi yang sama. Hal ini dapat diperkuat dari adanya penelitian yang dilakukan oleh Schunk (1986) bahwa dengan adanya pengalaman melihat dan mencontoh orang lain maka dapat berpengaruh pada efikasi diri yang dimiliki siswa selama proses pembelajaran. Dalam penelitian tersebut, siswa melakukan beberapa hal yaitu kesamaan atribusi, kemampuan yang dirasakan, jumlah model yang menjadi contoh, strategi yang dilakukan oleh model, informasi tentang beban
10
tugas, dan hasil dari tindakan model. Pada aktivitas imitasi (meniru) pada individu normal dilakukan dengan imitasi visual, maka pada difabel netra harus dirangsang melalui stimuli pendengaran dan indera-indera lainnya yang masih berfungsi secara optimal (Somantri, 2007). Persuasi verbal memiliki peranan penting dalam meningkatkan efikasi diri individu. Persuasi verbal dapat berupa saran, nasehat atau bimbingan yang positif dari orang lain dapat meningkatkan keyakinan tentang ketrampilan dan kemampuan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Hagen, Gutkin, Caryll, dan Oats (1998) diketahui bahwa pengalaman orang lain dan persuasi verbal dapat meningkatkan efikasi diri guru dalam mengatasi kesulitan dalam proses belajar dan mengajar pada siswa di kelas. Bentuk interaksi antara anak dengan orang tua pun dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian antara lain yaitu pola asuh yang mendukung dari orang tua pada anak yang mengalami kerusakan penglihatan dapat membantu anak dalam hal beradaptasi pada kondisi ketunanetraan yang dialaminya. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Ulster dan Antle (2005) bahwa terdapat suatu temuan yang positif bahwa reaksi emosional orang tua dan respon yang positif dalam mengarahkan anak dengan keterbatasan penglihatan dapat meningkatkan perkembangan diri anak dalam segala waktu. Adanya kepedulian dari lingkungan khususnya dari orang tua merupakan bagian yang terpenting dalam lingkungan anak berada (Snyder & Lopez, 2002).
11
Kemampuan regulasi diri dapat bersumber dari proses pembelajaran dari pengetahuan yang telah lalu dan pengalaman dari adanya kepercayaan akan kejadian di masa depan yang berkaitan dengan kemampuan dan perilaku yang dimiiliki individu. Kemampuan regulasi diri ini dapat mengarahkan individu pada terbentuknya efikasi diri (Snyder & Lopez, 2002). Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Eniola (2007) bahwa pelatihan strategi regulasi diri dan kecerdasan emosional dapat mengatasi perilaku agresif remaja dengan kerusakan penglihatan yang disebabkan karena ketidakmampuannya dalam mengontrol emosi dan menyesuaikan diri dengan masalah ketunanetraannya. Berdasarkan adanya faktor-faktor penentu terbentuknya efikasi diri tersebut, maka dapat membantu individu demi terwujudnya efikasi diri yang positif dalam diri individu tersebut. Adanya hal-hal yang mempengaruhi efikasi diri tersebut juga dapat membantu dan mengarahkan individu dalam mengatasi permasalahan yang penuh tekanan (stress) ataupun kejadian negatif dalam pengalaman kehidupannya. Adanya efikasi diri yang positif dapat mengarahkan mahasiswa difabel netra dalam upaya menentukan koping yang tepat demi tercapainya tujuan dan harapan dalam kehidupannya. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Rokke, Ficek, Siemens dan Hegstad (2004) diketahui bahwa efikasi diri dan pemilihan strategi koping yang tinggi dapat mentoleransi rasa sakit akut. Lebih lanjut Rokke, dkk (2004) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pemilihan strategi koping dan efikasi diri memiliki hubungan yang signifikan dalam peningkatan kontrol diri dalam mentoleransi rasa sakit. Yang, Yang, Liu, Tian,
12
Zhu dan Miao (2010) juga mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa efikasi diri sebagai mediator antara masalah psikologis dan dukungan sosial dan strategi koping. Difabel netra dengan keterbatasan penglihatan yang dimilikinya pada umumnya cenderung memiliki berbagai masalah baik yang berhubungan dengan masalah pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian waktu luang maupun pekerjaan (Somantri, 2007). Kondisi ketunanetraan yang dialami difabel netra dapat menjadi stressor dalam aktivitas sehari-hari dalam kehidupannya. Hal ini dapat diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Lee dan Brennan (2006) bahwa adanya kerusakan penglihatan dapat mengarahkan pada minimnya kebermaknaan psikososial, meningkatnya gejala depresi, menurunnya kepuasaan hidup dan minimnya adaptasi akan hilangnya penglihatan. Adanya permasalahan yang dialami oleh difabel netra tersebut dapat mengarahkan pada kondisi stress. Stress dapat berawal dari sumber internal dan eksternal seperti konflik, kerugian, kehilangan ataupun frustrasi (Davis & Buskist, 2008). Difabel netra dapat mengalami kondisi stress dikarenakan menurunnya atau bahkan hilangnya penglihatan sehingga difabel netra mengalami permasalahan terutama yang bersumber dari lingkungan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Lifshitz, dkk (2007) mengungkapkan bahwa beberapa remaja mengalami terisolasi secara sosial, memiliki jaringan sosial yang sedikit, dan cenderung memiliki aktifitas yang pasif. Remaja dengan kerusakan penglihatan menjadi merasa tidak berdaya dan merasa rendah dikarenakan adanya
13
penolakan dari penerimaan sosial, pencapaian akademik yang rendah, dan keterbatasan secara fisik. Kondisi stress dapat diatasi dengan pemilihan strategi koping yang sesuai. Lee dan Brennan (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kondisi stress yang dialami individu yang mengalami kerusakan penglihatan dapat diatasi dengan melakukan strategi koping antara lain yaitu behavioral coping, psychological coping dan social coping. Behavioral coping didefinisikan sebagai suatu yang jelas, tindakan yang dapat diamati seperti menggunakan alat bantu optik atau adaptasi. Psychological coping didefinisikan sebagai hal yang
melibatkan
kognisi
dan
emosi
seperti
menerima
kerusakan
penglihatannya. Social Coping didefinisikan sebagai hal yang melibatkan bagian jaringan sosial yang informal dan penyedia layanan umum seperti mengaktifkan dukungan emosional dan dukungan yang membantu. Lebih lanjut Asim, Zafar, Batool dan Jamal (2012) dalam penelitiannya juga menyatakan terdapat enam pendekatan yang dapat dilakukan sebagai strategi positif bagi individu yang mengalami kerusakan penglihatan antara lain yaitu penerimaan, kepercayaan, penghindaran yang positif, minimalisasi, ketidakbergantungan dan kontrol. Pemaparan tersebut dapat diperkuat dengan hasil wawancara peneliti pada tanggal 1 - 4 - 2013 dengan salah seorang mahasiswa difabel netra yang berinisial (F) berusia 22 tahun. Berbagai hambatan yang dialaminya yaitu hambatan sosial, pendidikan dan sebagainya. Permasalahan lingkungan sosial merupakan hambatan utama yang dialaminya. Ketunanetraan telah dialaminya
14
sejak lahir, akan tetapi ia baru mengetahui kondisinya tersebut ketika ia tamat dari bangku Taman Kanak-kanak (TK). Di TK, ia sering mengalami ejekan dan perlakuan negatif dari lingkungannya terutama dari teman sebaya. Ia merasa tertekan dan tidak nyaman dengan adanya perlakuan tersebut. Adanya perlakuan negatif tersebut, tidak jarang memicu emosinya bahkan ia pun berkelahi dengan teman sebayanya. Perlakuan serupa pun juga ia alami ketika ia duduk di bangku SD, SMP dan SMU. Ia merasa bahwa masih ada individu yang belum dapat menerima dirinya sepenuhnya, begitu pula selama ia menjalani studi di Universitas. Walaupun demikian, ia merasa lebih nyaman berada di lingkungan Universitas. Adanya semangat dan penerimaan diri serta dukungan khususnya dari orang tua menjadikan dirinya dapat mengatasi tekanan dalam kehidupannya. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, diketahui bahwa lingkungan sosial yang mendukung dan tidak diskriminatif serta sarana fisik yang mendukung jelas sangat penting dan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan lingkungan yang ramah bagi difabel. Hal ini dapat diperkuat dari adanya penelitian yang dilakukan oleh Cimarolli dan Boerner (2005) bahwa dukungan sosial yang positif dapat berpengaruh pada kebermaknaan hidup dan kepuasan hidup individu yang mengalami kerusakan penglihatan. Adanya dukungan sosial dapat membantu individu dalam mengatasi stress dalam kehidupannya (Feldman, 2010). Menurut Mangunsong (2009), perkembangan sosial manusia sangat dipengaruhi oleh kemampuan individu
untuk berkomunikasi. Individu yang
15
mengalami ketunanetraan sering mengalami kesulitan komunikasi dan interaksi karena masyarakat memberikan respons yang tidak sesuai kepada mereka. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Correa (2008) diketahui bahwa siswa yang mengalami ketunanetraan sering untuk lebih dekat dan lebih tergantung dengan guru untuk berkomunikasi dan tidak memiliki inisiatif untuk berinteraksi dengan teman sebayanya yang tanpa disabilitas. Segala permasalahan yang dialami difabel netra perlu diantisipasi dengan memberikan layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan dan kesempatan yang luas bagi difabel netra sehingga permasalahan yang mungkin timbul dalam berbagai aspek tersebut dapat ditanggulangi sedini mungkin. Artinya, perlu dilakukan upaya-upaya khusus secara terpadu dan multidisipliner untuk mencegah agar permasalahan tersebut tidak meluas, dan mendalam yang akhirnya dapat merugikan perkembangan difabel netra (Somantri, 2007). Keterbatasannya
dalam
melihat,
justru
memicu
mereka
untuk
memaksimalkan indera lain yang masih berfungsi dengan baik seperti, indera pendengaran, indera peraba dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk koping yang dilakukan oleh individu yang mengalami kerusakan penglihatan. Difabel netra tetap dapat menjalani aktivitasnya seharihari dan tidak
menjadikan keterbatasan penglihatan tersebut sebagai
penghalang dalam mencapai harapan dan impian yang diinginkannya. Adanya semangat dan keyakinan yang kuat dari dalam diri sehingga difabel netra dapat menjalani kehidupan dengan baik.
16
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Studi Layanan Difabel (PSLD) di Universitas yang menjadi lokasi penelitian dapat diketahui pula gambaran kehidupan salah satu mahasiswa difabel netra yang berinisial P (25 tahun). P mengalami ketunanetraan sejak masih duduk di kelas 6 SD. Pada awal mengalami ketunanetraan, ia sempat merasa putus asa dan berfikir bahwa masa depannya akan suram. Bermodal semangat untuk meraih impiannya menjadi seorang guru, ia pun mampu mengatasi kekurangan fisiknya. Ia berusaha mengoptimalkan fungsi indera lainnya yang masih berfungsi dan pada tahun 2006 ia dapat masuk ke universitas. Ia pun aktif di beberapa organisasi seperti di PSLD, Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) serta Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI). Berdasarkan gambaran tersebut dapat diketahui adanya efikasi diri yang kuat yang dimiliki oleh seorang difabel netra demi tercapainya harapan walaupun dengan keterbatasan penglihatannya. Setiap individu memiliki efikasi diri yang berbeda sesuai dengan dimensi yang berhubungan dengan performa yang dimiliki oleh individu tersebut antara lain yaitu tingkat kesulitan tugas, luas bidang tugas atau perilaku dan kemantapan keyakinan yang dimiliki oleh individu tersebut (Bandura, 1997). Individu yang memiliki keyakinan dan kemampuan akan menghadapi tugas yang sukar sebagai suatu tantangan dan tidak menghindarinya. Jika efikasi diri rendah maka akan membuat individu mengurangi upayanya dalam menghadapi tantangan tersebut atau mendapatkan umpan balik yang negatif (Robbins, 2001). Dapat dipahami bahwa efikasi diri yang tinggi sangat berperan penting dalam mendukung kinerja dan performansi seorang difabel netra dalam
17
mencapai tujuan dalam kehidupannya tersebut, baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan maupun dalam keluarga. Dapat diperkuat pula dari penelitian yang dilakukan oleh Macchiagodena, dkk (2008) bahwa efikasi diri yang tinggi dapat menurunkan kondisi depresi yang dialami individu dengan kerusakan penglihatan dan sebaliknya efikasi diri yang rendah dapat meningkatkan kondisi depresi yang dialaminya. Individu dengan kerusakan penglihatan yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih dapat mengontrol kondisi emosinya baik sehingga terhindar dari perasaan tertekan baik yang bersumber dari internal maupun eksternal terutama dari lingkungan. Adapun individu dengan kerusakan penglihatan yang memiliki efikasi diri yang rendah tidak dapat mengontrol kondisi emosinya dan terus menerus berada dalam kondisi yang penuh tekanan dalam kehidupannya. Adanya efikasi diri yang positif dapat membantu individu agar dapat terus tumbuh berkembang walaupun mengalami kejadian yang penuh tekanan (stress) dalam pengalaman kehidupannya atau dapat dikenal dengan istilah Stress Related Growth yang merupakan perubahan positif yang mengikuti pengalaman dari kejadian kehidupan yang penuh tekanan (Tedeschi & Calhoun, 1996).
Efikasi diri dapat dikaitkan dengan konsep Stress Related Growth
(SRG). Hal tersebut diperkuat sebagaimana ungkapan Santrock (2006) bahwa efikasi diri merupakan suatu keyakinan bahwa individu dapat menghadapi suatu kejadian dan menghasilkan suatu hasil (outcome) yang positif. Efikasi diri berkaitan dengan banyaknya perkembangan yang positif dalam kehidupan
18
individu termasuk pemecahan masalah (problem solving), menjadi lebih mudah bergaul, dan memiliki inisiatif melakukan sesuatu. Stress Related Growth adalah suatu perubahan positif dari akhir pengalaman kehidupan yang penuh tekanan (stress) (Park, Cohen & Murch, 1996). Stress related Growth terkadang disebut pula dengan perceived benefits atau posttraumatic growth yang biasanya diketahui dengan menanyakan pada individu yang telah mengalami suatu kondisi yang penuh tekanan dengan perubahan positif yang mereka alami sebagai hasi dari proses koping atas kejadian yang dihadapi (Park & Fenster, 2004). Terbentuknya Stress Related Growth dapat dicapai dengan melakukan beberapa proses yaitu merubah pandangan dunia (Worldview Change), memproses kognitif (Cognitive Processing) dan menilai dan melakukan prosesproses koping (Coping Processes). Proses pertama yaitu merubah pandangan dunia merupakan suatu model
yang memiliki tujuan bahwa proses tumbuh
dengan cara mengeluarkan permasalahan dalam memandang dunia yang dibentuk dari adanya trauma atau stres (Park & Fenster, 2004). Proses kedua yaitu dengan memproses kognitif. Stress Related Growth dapat terjadi sebagai hasil dari usaha-usaha ketidaksadan bahwa individu menggabungkan kejadiankejadian yang penuh tekanan ke dalam proses kognitif yang ada sebelumnya. Proses ketiga yaitu proses koping (Coping Processes). Keaslian dari Stress Related Growth yaitu berdasarkan pada proses koping. Dalam proses koping ini memiliki tujuan bahwa sumber daya individu (Personal Resources), penilaian kognitif (Cognitive Appraisals), dan aktivitas koping (Coping Activities)
19
dapat mempengaruhi hasil dari kejadian yang penuh tekanan (stress) tersebut. Dapat dipahami bahwa Stress Related Growth merupakan hasil yang positif dari adanya perubahan yang positif dalam kehidupan individu setelah mengalami pengalaman traumatis atau penuh tekanan dalam kehidupannya. Berkaitan dengan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa efikasi diri dapat menunjukkan seberapa besar keyakinan dan motivasi pada difabel netra tersebut dalam menjalani beragam tugas dalam kehidupannya dan tetap dapat tumbuh dan berkembang walaupun adanya pengalaman kehidupan yang penuh tekanan dan adanya keterbatasan dalam hal penglihatan. Dukungan dari lingkungan sekitar atau lingkungan sosial khususnya lingkungan akademik dan keluarga pun juga diperlukan agar senantiasa dapat menunjang keberhasilan difabel netra demi terbentuknya efikasi diri yang positif pada diri mereka yang dapat menjadi dasar penentu terbentuknya performansi yang positif dan tercapainya harapan dalam kehidupannya secara lebih positif. Sebagaimana adanya pemaparan di atas, maka dalam penelitian ini, peneliti akan menelaah mengenai gambaran dinamika psikologis efikasi diri pada mahasiswa difabel netra dalam menjalani aktivitas sehari-harinya selama perjalanan kehidupannya.
20
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang tersebut di atas, maka dapat difokuskan pertanyaan penelitian dalam hal ini yaitu: 1. Bagaimana pandangan mahasiswa difabel netra tentang kemampuan dirinya? 2. Faktor – faktor apa saja yang menjadi dasar terbentuknya efikasi diri pada mahasiswa difabel netra sehingga merasa mampu menjalani kehidupannya? 3. Bagaimana persepsi lingkungan sosial terhadap mahasiswa difabel netra tersebut dalam kesehariannya? 4. Bagaimana hasil yang dicapai dari adanya efikasi diri yang dimiliki mahasiswa difabel netra dalam menjalani kehidupannya?
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dinamika efikasi diri pada mahasiswa difabel netra. Berdasarkan adanya tujuan penelitian tersebut maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak terkait. Manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan memperkaya khasanah keilmuan bidang psikologi klinis pada khususnya, juga kajian tentang perkembangan difabel netra aspek efikasi diri pada khususnya serta
sebagai
rujukan
bagi
penelitian-penelitian
berikutnya
tentang
permasalahan klinis dan kesehatan lainnya.
21
2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan bagi para konselor, terapis, psikolog, pendidik ataupun instansi yang berkompeten dalam menangani penyandang cacat baik instansi kesehatan, dinas sosial dan dinas pendidikan dalam mengembangkan praktek keilmuannya pada umumnya dan praktisi psikologi klinis dan kesehatan pada khususnya.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang efikasi diri pada mahasiswa difabel netra ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian sebelumnya tentang difabel adalah penelitian yang dilakukan Perwitasari (2012) tentang pengaruh konseling kebermaknaan hidup terhadap kesejahteraan psikologis difabel. Metode yang digunakan adalah eksperimen. Partisipan penelitian ini adalah dua kelompok difabel pada dua lokasi panti yang berbeda. Hasil penelitian ini adalah konseling kebermaknaan hidup signifikan mempengaruhi kesejahteraan psikologis difabel. Penelitian yang dilakukan Kinasih (2010) tentang pelatihan mindfulness untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja difabel fisik. Metode yang digunakan adalah berupa pemberian pelatihan pada remaja difabel fisik. Hasil penelitian ini adalah pelatihan mindfulness secara signifikan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja difabel fisik. Penelitian yang dilakukan Halida (2007) tentang pelatihan berfikir positif untuk meningkatkan penerimaan diri pada remaja difabel. Metode yang digunakan adalah berupa desain randomized pre test-post test control group.
22
Partisipan merupakan klien Pusat Rehabilitasi Yakkum (PRY) Yogyakarta usia remaja, berpendidikan minimal SMP, dan memperoleh skor rendah pada Skala Penerimaan Diri. Hasil penelitian ini yaitu pelatihan berpikir positif secara signifikan meningkatkan penerimaan diri pada remaja difabel. Penelitian yang dilakukan oleh Lifshitz, dkk (2007) tentang Self Concept, Adjustment to Blindness, and Quality of Friendship Among Adolescent with Visual Impairment. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian tersebut adalah terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri, penyesuaian terhadap ketunanetraan, dan kualitas persahabatan pada remaja dengan kerusakan penglihatan. Penelitian yang dilakukan oleh Mosunmola (2011) tentang psychological and Social Adjustment to Blindness. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan membandingkan dua kelompok tuna netra di Nigeria. Hasil penelitian tersebut adalah individu dengan kerusakan penglihatan sulit dalam hal penyesuaian dengan pendidikan, latihan vokasional, pekerjaan, dan mobilitas. Adapun penelitian sebelumnya tentang efikasi diri adalah penelitian yang dilakukan Gultom (2012) tentang efikasi diri penyandang tuna daksa dewasa awal yang dibina dalam panti ditinjau dari dukungan sosial dan persepsi terhadap rehabilitasi vokasional. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yang melibatkan responden yang bertempat tinggal di pusat rehabilitasi di Solo. Hasil penelitian ini adalah dukungan sosial lebih berkontribusi daripada rehabilitasi vokasional terhadap efikasi diri penyandang tuna daksa dewasa awal tersebut.
23
Penelitian yang dilakukan Raihana (2012) tentang kesejahteraan psikologis ditinjau dari efikasi diri dan kecerdasan emosi remaja awal. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Subyek dalam penelitian ini adalah 90 remaja awal pada SMP N X RSBI di Surakarta. Hasil penelitian ini adalah adanya korelasi positif antara efikasi diri dan kecerdasan emosi terhadap kesejahteraan psikologis pada remaja awal. Penelitian yang dilakukan Sholichah (2012) tentang pelatihan efikasi diri untuk mengurangi stress kerja perawat rumah sakit jiwa. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen. Partisipan penelitian ini adalah perawat salah satu rumah sakit jiwa di Yogyakarta. Hasil penelitian ini adalah pelatihan efikasi diri secara signifikan mengurangi stress kerja perawat rumah sakit jiwa. Penelitian yang dilakukan oleh Rokke, dkk (2004) tentang Self Efficacy and Choice of Coping Strategies for Tolerating Acute Pain. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian tersebut adalah efikasi diri dan pemilihan strategi koping yang tinggi dapat mentoleransi rasa sakit akut. Penelitian yang dilakukan oleh Macchiagodena, dkk (2008) tentang Self Efficacy and Depression Among Low Vision Seniors. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian tersebut adalah efikasi diri yang tinggi dapat menurunkan kondisi depresi pada individu dengan kerusakan penglihatan dan efikasi diri yang rendah dapat meningkatkan kondisi depresi yang dialami inidividu dengan kerusakan penglihatan.
24
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui terdapat perbedaan dengan penelitian sebelumnya yang dapat ditinjau dari beberapa hal yaitu: 1.
Keaslian Topik Pada penelitian sebelumnya belum pernah mengkaji tentang mahasiswa
difabel netra secara khusus dan efikasi diri pada difabel netra. Pada penelitian kali ini peneliti berfokus mengkaji tentang efikasi diri pada mahasiswa difabel netra sehingga menunjukkan bahwa topik penelitian kali ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya. 2 . Keaslian Metode Penelitian Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian kali ini untuk mengkaji efikasi diri pada mahasiswa difabel netra adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun penelitian sebelumnya tentang difabel dan efikasi diri menggunakan pendekatan kuantitatif dan eksperimen, sehingga penelitian kali ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. 3. Keaslian informan penelitian Informan dalam penelitian ini adalah mahasiswa difabel netra yang sedang menjalani studi di salah satu universitas di Yogyakarta. Peneliti berasumsi bahwa difabel netra memiliki keunikan tersendiri dalam menjalani kesehariannya dengan keterbatasan penglihatan yang dimilikinya, terutama ketika menjalankan perannya sebagai mahasiswa. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana dinamika efikasi diri yang dimiliki oleh mahasiswa difabel netra tersebut.
25