BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Dalam lembaga pendidikan (sekolah) bantuan bagi peserta didik (klien) sering disebut bimbingan. Bimbingan mempunyai fungsi yang efektif karena bimbingan tidak hanya berfungsi sebagai penunjang, tetapi merupakan proses pengiring yang berkaitan dengan seluruh kaidah pendidikan dari proses belajar mengajar. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen penting dari pendidikan kita, mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntutan yang diberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah dalam rangka meningkatkan mutunya (Sukardi, 2002). Agar dalam pelaksanan layanan bimbingan dan konseling di sekolah dapat berjalan dengan baik maka dibutuhkan seorang figure personil sekolah yang berkompeten di bidang tersebut sehingga dapat membantu siswa dalam mengenali pribadinya sendiri secara optimal. Guru pembimbing atau konselor sekolah adalah figure personil sekolah yang profesional di bidangnya. Artinya mereka disiapkan dan didik secara khusus untuk menguasai seperangkat kompetensi yang diperlukan bagi pekerjaan bimbingan dan konseling. Konselor pada hakikatnya seorang psikologis pendidikan, keberadaan konselor dalam system pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pomong pelajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 6). Oleh karena itu konselor harus memiliki kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompotensi profesional dan kompetensi sosial.
Kompetensi yang harus menjadi pegangan oleh konselor adalah Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) dalam konteks PP No. 19 Tahun 2005, dalam penjabaranya antara lain: Di dalam penjabaran kompetensi kepribadian terdapat sub kompetensi pertama yaitu menampilkan keutuhan kepribadian konselor, indikator keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, indikator kedua yaitu mengkomunikasikan secara verbal dan atau nonverbal minat yang tulus dalam membantu orang lain, indikator keenam yaitu mendemonstrasikan sikap empati dan atribusi secara tepat. Sub kompetensi yang kedua yaitu berprilaku etik dan professional, indikator keenam yaitu berkerjasama secara produktif dengan teman sejawat dan anggota profesi. Sosok utuh seorang konselor terdiri atas dua komponen yang berbeda namun terintegrasi dalam praksis sehingga tidak bisa dipisahkan yaitu kompetensi akademik dan kompetensi professional, perinciannya antara lain: Rincian kompetensi konselor yang ke empat yaitu mengembangkan pribadi dan profesionalitas secara berkelanjutan, kompetensi konselor menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat, di dalamnya terdapat sub kompetansi menampilkan kepribadian dan berprilaku terpuji seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah ( konsisten); peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan perubahan (Rambu- rambu penyelenggaran Bimbingan dan Konseling Dalam jalur Pendidikan Formal, 2007). Dari uraian rincian kompetensi konselor terdapat sub kompetensi yang menyebutkan konselor bisa bersikap empati, konselor menampilkan prilaku mampu untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, mampu membaca pesan non verbal klien, mampu mendalami pikiran dan menghayati perasaan klien, mampu memiliki sikap melihat relita dari sudut pandang orang lain tanpa dirinya lebur di dalamnya, pengertian terhadap perasaan, kebutuhan, dan penderitaan orang lain. Perilaku tersebut diatas menunjukkan ciri-ciri yang mengambarkan kemampuan empati. Dalam psikologi dan psikiatri yang berorientasi humanik, empati merupakan bagian penting dari tehnik konseling. Carl Rogers (1975, dalam Cotton, 2001) merupakan salah satu tokoh awal yang menunjukkan pentingnya empati dalam proses konseling.
Menurutnya, berempati berarti mempersepsi kerangka berpikir internal orang lain secara tepat mencangkup unsur-unsur emosional dan cara-cara bertingkah laku, disertai dengan kepedulian seolah-olah diri sendiri adalah orang lain yang sedang dipersepsi tetapi tanpa kehilangan kesadaran sedang mengendalikan orang lain. Dengan kata lain, berempati adalah mengendalikan diri kita sebagai orang lain tanpa larut secara emosional dalam kondisi orang yang diandaikan. Seorang konselor memerlukan empati untuk mamahami kondisi psikis klien yang sedang dibantunya. Seorang konselor yang baik, salah satunya adalah memiliki kemampuan empati yang baik ketika melakukan proses konseling dengan siswa, maka ada kencendrungan akan
memberi persepsi yang positif pada siswa, dan secara tidak
langsung hal ini akan berhubungan dengan tumbuhnya sikap siswa terhadap layanan bimbingan dan konseling terutama layanan konseling individu. Seorang siswa akan mempersepsi tentang konselornya melalui hal-hal yang nampak dari konselornya ketika konselor tersebut memberikan layanan. Konselor yang tidak bersikap apatis atau peduli dengan orang lain terutama siswa maka akan membuat siswa menjadi nyaman ketika mereka melakukan proses konseling dengan konselor mereka. Selain itu juga akan menimbulkan persepsi yang positif dari siswa terhadap kemampuan empati konselor tersebut. Namun akan menjadi sebaliknya apabila seorang konselor bersikap apatis dalam memberikan proses layanan. Hal ini menunjukkan bahwa konselor tersebut berarti tidak memiliki kamampuan empati yang baik terhadap siswa dalam memberikan layanan. Kerjasama antara konselor dan siswa sangat diperlukan untuk mengadakan konseling yang professional. Kecenderungan layanan konseling individu di lapangan (antara lain di sekolah) hanya semata-mata sebagai proses pemberian bantuan nasehat, mencari kesalahan dan mengintrogasi siswa. Secara tidak langsung siswa sebagai klien dalam proses konseling
akan menilai bagaimana hasil dan kualitas dari layanan tersebut. Siswa dapat mempersepsi kemampuan empati konselor dalam melaksanakan layanan konseling individu. Persepsi itu merupakan pengorganisasian, penginterprestasian, terhadap stimulus yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang integrated dalam diri individu. Karena itu penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam pesepsi orang akan mengaitkan dengan objek (Branca, dalam Walgito, 2003). Stimulus diperoleh siswa dari berbagai indera yang dimiliki siswa jika stimulus yang diterima positif maka persepsi yang dilahirkan juga akan positif, begitu pula sebaliknya jika stimulus yang diterima negatif maka akan melahirkan persepsi negatif. Alasan penulis meneliti judul tentang “Hubungan antara persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor dengan sikap siswa terhadap layanan konseling individu di SMP Negeri 3 Doplang”. Karena sebagian besar konselor di sekolah belum memahami tentang cara melakukan empati yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan hanya sebagai pendengar yang baik bukan hanya itu konselor sekolah memberikan hasehat pada siswa yang mempunyai masalah. Dalam penelitian ini peneliti mengambil sempel kelas VIII karena kelas VIII merupakan kelas terbesar yang pernah melakukan layanan konseling individu. Berdasarkan hasil observasi peneliti di SMP Negeri 3 Doplang menemukan hasil layanan konseling individu sudah berjalan cukup baik, namun belum optimal. Hal ini terlihat bahwa masih ada beberapa siswa yang masih belum berminat untuk mengikuti layanan yang diberikan konselor disekolah khususnya layanan konseling individu. Berbagai alasan yang mereka kemukakan mengapa mereka kurang berminat untuk mengikuti layanan tersebut. Ada yang mengungkapkan bahwa mereka tidak tahu mengenai layanan bimbingan dan konseling di sekolah ada juga yang mengungkapkan
bahwa mereka “takut” dengan guru BK.Tak hanya itu, untuk masuk keruang BK saja mereka enggan. Biasanya mereka datang ke ruang BK dan mengikuti proses konseling apabila mereka mendapatka panggilan, karena masalah yang muncul belum terselesaikan. Namun, meskipun mereka telah mendapatkan surat panggilan, tak sedikit mereka yang tidak memenuhi panggilan tersebut. Bahkan siswa yang sudah pernah mengalami konseling individu enggan untuk kembali datang ke ruang BK dan mengikuti konseling berikutnya. Siswa merasa bahwa mereka takut untuk mengungkapkan permasalahan terhadap konselor dikarenakan sikap konselor yang kurang hangat terhadap siswanya. Adanya perhatian, ketertarikan, keyakinan akan tujuan mengikuti konseling individu, maka akan berpengaruh pada pengambilan keputusan untuk mengikuti layanan konseling individu dan ada kecenderungan untuk datang ke ruang BK secara sukarela merupakan gambaran mengenai sikap yang akan mempengaruhi seseorang dalam melakukan sesuatu. Berdasarkan penelitian yang berjudul hubungan antara persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor dengan minat siswa terhadap layanan konseling individu pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 7 Semarang oleh Riana Fitria (2010). Hasil dari penelitian tersebut adalah persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor termasuk dalam kategori yang cukup baik, dan minat siswa terhadap layanan konseling individu dalam kategori tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil perhitungan korelasi product moment yang menghasilkan r hitung =0,575 karena r hitung > dari r tabel pada N=49 sebesar0,281, maka korelasi ini signifikan. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan konselor di sekolah tersebut, menyebutkan bahwa tingkat antusias siswa untuk mengikuti layanan konseling individu masih cukup rendah. Rata-rata siswa yang datang untuk mengikuti layanan konseling individu setiap hari dalam seminggu ada tiga anak. Sedangkan dalam jangka waktu satu bulan, siswa yang mengikuti layanan konseling individu berkisar dua belas saja. Itu
semua melalui proses panggilan dari konselor yang bersangkutan. Namun ada juga siswa yang datang ke ruang BK karena memang siswa tersebut membutuhkan konselor untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Akan tetapi siswa yang sudah pernah mengikuti konseling individu sebelumnya, mereka enggan untuk mengikuti konseling dikemudian hari. Mengapa hal itu bisa terjadi jika kita kembali kepada asas-asas dalam bimbingan dan konseling yang berkaitan dengan hal ini adalah asas kesukarelaan. Menurut Prayitno, 2004 asas kesukarelaan adalah dimana proses bimbingan dan konseling harus berlangsung tanpa adanya paksaan baik dari pihak klien ataupun guru pembimbing. Siswa masih enggan untuk melakukan konseling dengan guru pembimbing karena ada sebagian besar guru pembimbing mereka bersikap kurang memperhatikan jika mereka mau melakukan konseling jadi mereka lebih nyaman jika menceritakan masalah mereka dengan teman dan masih terdapat konseling yang hanya sekedar curhat dan ngobrol semata tanpa adanya unsur-unsur yang tidak sesuai dengan tujuan, asas dan komponen yang ada dalam konseling individu itu sendiri. Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis ingin mengadakan penelitian
tentang “Hubungan antara persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor dengan sikap siswa terhadap layanan konseling individu di SMP Negeri 3 Doplang”. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: Adakah hubungan yang signifikan antara persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor dengan sikap siswa terhadap layanan konseling individu pada Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 3 Doplang?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian, maka tujuan yang ingin dicapai adalah: Untuk menguji signifikansi hubungan antara persepsi siswa tentang kemampuan empati konselor dengan sikap siswa terhadap layanan konseling individu pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 3 Doplang? 1.4 Manfaat penelitian a. Manfaat teoritik Manfaat teoritis pada penelitian ini untuk menjadi bahan kajian bersama dan informaasi baru mengenai hubungan persepsi siswa tantang kemampuan empati konselor dengan sikap siswa terhadap layanan konseling individu dalam usaha meningkatkan mutu layanan konseling individu. b. Manfaat praktis Manfaat praktis pada penelitian ini adalah 1. Bagi konselor sekolah memberi makna pentingnya empati konselor terhadap layanan konseling individu. 2. Bagi konselor untuk memberi makna tentang pentingnya penanaman persepsi positif pada siswa tentang sikap empati konselor, dengan melaksanakan profesinya secara nyata sehingga mampu menumbuhkan sikap siswa terhadap layanan konseling individu.
1.5 Sistimatika Penulisan Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis, penulis menyusun tulisan ini ke dalam beberapa bab antara lain: Bab 1. Memaparkan tentang Pendahuluan. Pada bab ini berisi tentang
Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penenlitian, serta Sistematika Penelitian. Bab 2. Memaparkan tentang Landasan Teori. Pada bab ini berisi tentang Pengertian Sikap, Komponen sikap, karakteristik sikap, Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap, Pengertian layanan konseling individu, Tujuan layanan konseling individu, Komponen layanan konseling individu, Asas dalam layanan konseling individu, Sikap siswa terhadap layanan konseling individu, Pengertian persepsi, Aspek-aspek persepsi, Faktor-Faktor yang mempengaruhi persepsi, Proses Terjadinya Persepsi, Pengertian Empati, Unsur-unsur Empati, Dampak Negatif Kurangnya Empati Konselor, Peran dan Fungsi Empati bagi Konselor, Ciri-ciri yang Menggambarkan kemampuan Empati, Persepsi Siswa Tentang Kemampuan Empati Konselor, Hubungan Persepsi Siswa tentang Kemampuan Empati Konselor dengan Sikap Siswa terhadap Layanan Konseling Individu, dan Hipotesis. Bab 3. Memaparkan tentang Metode Penelitian. Pada bab ini berisi tentang Jenis Penelitian, Variabel Penelitian, Populasi dan Sampel, Definisi Operasional, Penyusunan Instrumen Penelitian, Uji Coba Instrumen, Pengukuran Konsep Diri dan Pengukuran Intensi Kedisiplinan Siswa, Pengukuran Konsep Diri, Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Analisis Data. Bab 4. Memaparkan tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan. Pada bab ini berisi tentang Gambaran Objek Penenlitian, Deskripsi Variabel, analisis data, uji hipotesis dan pembahasan.
Bab 5. Memaparkan tentang Penutup. Pada bab ini berisi tentang Kesimpulan dan Saran berdasarkan Hasil Penelitian.