BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam konteks sastra Indonesia istilah baru seringkali dikonotasikan dengan kata aneh, absurd, tidak konvensional dan seterusnya. Dalam cipta-karya kebaruan dari sebuah karya justru dianggap sebagai gejala yang janggal, melenceng, tidak masuk akal dan lain-lain. Untuk menyebutkan beberapa saja, Chairil Anwar, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, Arifin C. Noer dan Afrizal Malna merupakan contoh di mana kebaruan-kebaruan dalam karya-karya mereka justru dianggap tidak lazim, gelap, disintegrasi dan seterusnya.1 Baru. Dapat diartikan sesuatu yang dimaksudkan tersebut belum pernah ada, belum pernah ditemukan atau belum pernah diciptakan. Dengan demikian, baru dalam karya sastra berarti dalam karya tersebut terdapat sesuatu yang belum (pernah) ada/ditemukan/diciptakan oleh/dalam karya-karya sebelumnya. Dalam dunia sastra ihwal kebaruan dapat dikatakan lumrah. Niscaya. Dalam hukum penciptaan tak tertulis kebaruan dapat disejajarkan dengan kekhasan dan orisinalitas karya. Secara ekstrem dapat dikatakan, sebuah karya tanpa tawaran kebaruan di dalam dirinya disebut melanggar kode-etik penciptaan. Sebuah karya yang tidak memiliki kebaruan tidak berbeda dengan karya-karya
1
Sebagai gambaran, sebelum Dami N. Toda melansir Novel Baru Iwan Simatupang (1980), terdapat banyak tanggapan-penilaian mengenai karya-karya Iwan Simatupang. Kebaruankebaruan seperti tokoh yang anonim atau alur yang tidak jelas dalam Merahnya-merah (1968), Ziarah (1969) dan Kering (1972) seringkali diartikan sebagai sesuatu yang aneh, tidak logis, atau gampangnya disebut absurd atau surealis. Karya-karya Chairil, Danarto dan Afrizal juga mengalami hal yang sama.
1
medioker yang tidak orisinil dan tidak khas. Karya-karya tersebut tidak memiliki identitas, seragam, tidak berkesan dan gampang dilupakan sejarah, sejarah sastranya sendiri. Sehubungan dengan kebaruan karya sastra, prosa-prosa Budi Darma (BD) kiranya berada dalam kecenderungan di atas. Karya-karya BD disebut-sebut sebagai prosa absurd (Teeuw), perilaku tokoh-tokohnya aneh (Aveling), sudut pandang ceritanya membingungkan (Hellwig dan Klokke), alur ceritanya kusut (Dewanto), novel yang disintegrasi (Faruk) atau cerita yang fragmentaris (Kayam) dan lain-lain. Dalam Sastra Indonesia Modern II Teeuw menyebut BD sebagai pengarang yang istimewa. Dia dikelompokkan dengan pengarang-pengarang seperti Iwan Simatupang, Putu Wijaya dan Danarto. Bahkan Teeuw membuatkan sebuah bab tersendiri untuk membahas karya-karya mereka. Karya-karya mereka memiliki kekhasan yang menonjol (untuk tidak dikatakan tak lazim) dibandingkan pengarang-pengarang lain. Selain itu, keempat pengarang tersebut merupakan para pembaharu dalam prosa Indonesia. Pandangan umum tentang BD, pengarang ini dikenal sebagai pencerita yang kerapkali menggambarkan dunia yang jungkir-balik. Dalam Dunia yang Jungkir Balik Budi Darma, Aveling menyatakan perilaku jungkir-balik tersebut tampak, misalnya: (pertama) dalam penampilan BD yang kontras dengan karyakaryanya dan (kedua) dalam pandangan-pandangannya yang kerapkali melawan arus. Semua gambaran tentang jungkir-balik berkelebat dalam karya-karyanya.2
2
Dalam tulisannya tersebut Aveling menyebut penampilan Budi Darma biasa-biasa. Secara tersirat, Aveling hendak mengatakan bahwa penampilannya tidak merefleksikan karyakaryanya yang dia sebut gerai, kejam, tanpa kemanusiaan dan tidak logis. Bagi peneliti, penyataan Aveling tersebut juga menggarisbawahi pendapat Budi Darma mengenai perilaku inertia yang
2
Mengapa karya-karya BD disebut jungkir-balik? Karena kebaruan yang terdapat dalam karya-karyanya. Mengapa unsur kebaruan dari sebuah karya justru dianggap jungkir-balik, sungsang atau kewalik? Hal tersebut yang belum tuntas dijelaskan. Masih sebuah misteri. Tentu saja bagi pengarang sekaliber BD sorotan-soratan terhadap karya-karyanya telah banyak dilakukan. Para pakar sastra baik luar maupun dalam negeri secara bergantian telah memeriksa karyakaryanya, baik dalam bentuk artikel, resensi bahkan tulisan-tulisan ilmiah. Pelbagai aspek pun telah disorot, misalnya teknik dan bentuk cerita, tokoh dan penokohan, tema dan isi cerita berupa aspek filsafat di dalamnya. Aveling (1974) menyebut cerita-cerita BD termasuk ke dalam jenis cerita surealis. Kesimpulannya didasarkan pada gambaran jungkir-balik perilaku dan pandangan tokoh-tokoh dalam cerita. Namun yang dimaksudkan sebagai cerita surealis—mengapa jungkir-balik(?)—belum sepenuhnya terjelaskan. Aveling sekedar menunjukkan letak kejungkirbalikan cerita sembari membandingkannya dengan karya-karya yang tak kalah aneh.3 Dengan kata lain, yang baru dari karya diartikan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal atau gejala ketidakwajaran. Teeuw (1979) menyoroti kecenderungan pengarang ini dalam bercerita. BD, menurut Teeuw, seringkali menceritakan peristiwa-peristiwa ganjil namun secara mewabah dalam sastra Indonesia. Dalam Mula-mula Adalah Otak atau Pemberontak dan Pandai Mendadak, misalnya, Budi Darma mengkritik perilaku kebanyakan sastrawan kita yang tampil acak-acakan, gondrong, tidak mandi, celana sobek dll. agar disebut sastrawan. Terkait pandangan seorang Budi Darma, Aveling menulis, ”Mungkin tidak ada orang lain kecuali Budi Darma yang mempertahankan Shadwell selama tiga ratus tahun terakhir ini. Betul-betul jungkir balik.” Mungkin juga perlu ditambahkan, bahwa dalam esai-esai sastra Budi Darma dapat dikatakan unik. Dalam deskripsi analitiknya terhadap satu soal kesusastraan, penulis ini seperti enggan menggunakan gaya penulisan ilmiah. Dia cenderung bercerita, mungkin mendongeng. Bahkan tak jarang dalam esai-esai tersebut muncul seorang tokoh atau lebih. 3 Dia menyebut jungkir balik itu gambaran ”dunia yang gerai, sangat kejam, tanpa kemanusiaan dan samasekali tidak mementingkan logika.” Lih. Dunia yang Jungkir Balik Budi Darma; dalam Cerpen Indonesia Mutakhir, Pamusuk Eneste (ed.), (1983: 204).
3
paradoks cerita itu digambarkan dengan gaya naturalistik (baca: biasa). Selain teknik ini baru dalam khazanah prosa Indonesia, Teeuw juga mengatakan bahwa paradoks antara citra imaji dengan gaya bahasa tersebut bertalian erat dengan kedalaman cerita yang ganjil itu. Pendek kata, semakin ganjil. Berbekal petunjuk dari kedua kritikus di atas, Jedamski (1983) membandingkan BD dengan Franz Kafka. Dia ingin membuktikan pernyataan Aveling dan Teeuw, bahwa BD memiliki banyak kesamaan dengan Kafka. Dengan membandingkan cerpen Kritikus Adinan dengan novel Der Prozess, Jedamski berkesimpulan bahwa kedua pengarang ini memang identik. Meskipun dalam tulisan tersebut Jedamski tidak mempersoalkan jungkir-balik dunia cerita, namun secara tidak langsung dia ikut meneguhkan status kejungkirbalikan ceritacerita BD.4 Sedangkan Hellwig dan Klokke (1985) menyatakan bahwa karyakarya BD termasuk ke dalam jenis cerita-cerita yang sukar dinikmati, juga aneh dari segi cerita. Mereka berpendapat keanehan cerita BD terletak pada teknik (naratologi) cerita. 5 Jalan ceritanya sukar dipahami dan dinikmati. Teknik yang
4
Seperti dimahhumi bersama, Kafka dikenal sebagai pengarang absurd yang menghasilkan cerita-cerita aneh (absurd). Novelet Metamorfosis (telah diterjemahkan penerbit Bentang, sekarang oleh Penerbit Promotheus Yogyakarta) adalah contoh paling lumrah berkenaan dengan Kafka dan dunia dalam karya-karyanya. Dalam novelet tersebut, Gregor Samsa, protagonist cerita, pada sebuah pagi menemukan dirinya telah menjadi kecoa di atas kasurnya. Mengapa dia menjadi kecoa? Tidak dijelaskan. Namun dari kilas-balik cerita samar-samar Kafka menceritaka kehidupan rutin GS sebagai pekerja. Diceritakan juga bagaimana perannya di keluarga sebagai tulang-punggung bagi bapak-ibu dan saudari-saudarinya, perannya di perusahaan tempat ia bekerja sebagai sales keliling yang vital bagi kelangsungan perusahaan. Keanehkeanehan karyanya telah banyak diulas. Salah satu yang paling unggul mungkin tulisan Aibert Camus (dalam kumpulan esai Mite Sisifus, Grasindo 1999). 5 Dalam cerita-cerita BD, papar mereka berdua, pengarang ini memiliki kecenderungan untuk menggunakan nama tokoh (utama) sebagai judul ceritanya. Namun demikian, selalu ada tokoh lain [aku] yang menceritakan tokoh utama. Tokoh utama sebagai pusat cerita justru menjadi objek cerita. Fokalisasi ini selalu dipakai oleh BD terutama dalam karya-karyanya yang dianggap kanon. Kecenderungan ini dapat dilihat dalam cerpen-cerpen BD yang terkumpul dalam Orangorang Blomington atau juga novel-novelnya seperti Olenka, Rafilus dan Ny. Thalis.
4
dipakai BD rentan menimbulkan masalah keberterimaan cerita. 6 Hellwig dan Klokke berpendapat, teknik itu justru mempertegas tema cerita, yaitu keterasingan total—keterasingan manusia dengan lingkungannya, manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan dirinya sendiri. Selain keempat penanggap asing di atas, terdapat tanggapan-tanggapan lain dari para kritikus, pemerhati serta akademisi sastra dalam negeri. Untuk menyebut beberapa, antara lain Korrie Layun Rampan (1982), Umar Junus (1981), Faruk (1987), Wahyudi Siswanto (1991), Setiawan (2004), Umar Kayam (2010?), Sony Karsono (2013) dan Imam Muhtarom (2013).7 Tidak berbeda dengan penanggap asing di atas, kebanyakan dari mereka menyoroti kejungkirbalikan cerita-cerita BD. Namun demikian, yang dimaksudkan sebagai jungkirbalik dalam cerita-cerita BD masih kabur. Dari penelusuran peneliti, perihal jungkir-balik dunia cerita BD belum dipahami sepenuhnya. Dengan kata lain, sampai saat ini belum ada sebuah tulisan yang benar-benar mampu menjelaskan junkir-balik cerita BD secara terperinci dan bersistem. Dalam hal ini peneliti berasumsi jika pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh para peneliti sebelumnya kurang relavan atau tidak aplikatif
6
Pendapat serupa juga pernah dinyatakan oleh Imam Muhtarom dalam Budi Darma dan Kota; dalam Kulminasi: Teks, Konteks, dan Kota (2013: 165-169). Bagi Muhtarom hadirnya tokoh [aku] sebagai pencerita tokoh utama ini merupakan tema lain (sisipan) yang senantiasa muncul dalam karya-karya BD, yaitu kegagalan dalam berkomunikasi yang tak lain bagian dari masalah sosial khususnya masyarakat kota. 7 Korrie Layun Rampan dalam Cerita pendek Indonesia Mutakhir; Wahyudi Siswanto dalam Kajian Novel Rafilus: Sebuah Tinjauan sosio-psiko-struktual; Setiawan dalam Biofili dan Nikrofili dalam Sastra: Studi Kasus pada Ny. Talis dan Rafilus karya Budi Darma; Imam Muhtarom dalam Kulminasi: Teks, Konteks dan Kota; Sony Karsono dalam Membaca Sastra Jawa Timur: Revitalisasi, Representasi dan Regenerasi.
5
dengan unsur baru dalam karya. 8 Baru—yang jungkir-balik itu—berarti karya tersebut adalah baru, baik itu teknik cerita, bentuk, gaya, tokoh, sudut pandang dan lain-lain. Sebuah karya yang memiliki ciri-ciri baru seyogyanya didekati dengan cara yang baru. Pendekatan baru berarti ia memiliki sudut pandang yang baru dan teori tak kalah baru. Baru dalam karya berarti belum ada konvensi atau payung hukum mengenai diri yang baru. Konvensi atau hukum baru bagi sesuatu yang baru bisa jadi tidak benar-benar baru atau sama sekali baru. Namun sebagai sesuatu yang baru ia tentu berbeda dari yang lama. Oleh sebab itu, penyikapannya haruslah berbeda. Dalam hal ini yang telah dilakukan H.B. Jassin terhadap Chairil Anwar atau Dami N. Toda kepada Iwan Simaptupang merupakan tauladan yang baik dalam menyikapi kebaruan dalam sebuah cipta-karya sastra. Kembali pada kebaruan dalam karya-karya BD, jika dicermati hasil-hasil penelitian sebelumnya yang kerapkali dianggap jungkir-balik, absurd atau tidak masuk akal dalam karya-karya BD terletak pada dimensi temporal cerita. Bentuk, gaya, tokoh, alur, tema bersatu membentuk keutuhan sebagai cerita. Salah satu cara memahami cerita adalah menyoroti alur cerita. Standarnya suatu alur dipahami sebagai pembuka-klimaks-antiklimaks-penutup. Struktur alur demikian disusun menurut hukum temporalitas (time dimension) dengan pola yang teratur. Suatu adegan akan disusul adegan lain dan seterusnya. Di lain pihak, alur cerita dalam karya-karya BD cenderung menampakkan pola acak atau simultan. Tidak
8
Maksudnya, ketidakwajaran dan ketidaklogisan itu muncul diakibatkan standar lama (baik hukum/konvensi/kriterium lama) yang dipaksakan dalam kerja analisa mereka. Seandainya yang jungkir-balik itu benar-benar ditanggapi sebagai suatu kebaruan dalam prosa, apakah yang baru tersebut tetap merupakan sesuatu yang aneh, absurd, tidak logis dan seterusnya?
6
teratur. Dengan demikian bisa diduga cerita-cerita BD dapat dikatakan memiliki logika sendiri dalam membangun suatu dunia cerita. Jika karya BD tidak taat pada hukum temporalitas/keteraturan, pertanyaannya: lantas hukum apa yang dianut oleh cerita-cerita tersebut? Jika mengamati penelitian-penelitian sebelumnya, sorotan pada karyakarya BD tertuju pada temporalitas cerita. Artinya, ihwal jungkir-balik cerita dipahami sebagai dimensi temporalitas (kewaktuan/keteraturan/keurutan). Jika dipahami dengan seksama, jungkir-balik mengisyaratkan sesuatu dalam cerita itu terbalik, sungsang. Terbalik, dapat diasumsikan yang terbalik adalah ruang cerita dan bukan temporalitas cerita. Pendek kata, jungkir-balik berurusan dengan dimensi spasial (keruangan) cerita. Dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa persoalan jungkir-balik dalam karya-karya BD belum benar-benar dipahami. Dalam hal ini kiranya bisa diduga bahwa pendekatan mereka cenderung tidak sinergis dengan corak dalam karya-karya BD. Atau, dapat dikatakan terdapat ketidaksalinghubungan antara suatu pendekatan dengan objek yang didekati. Konsekuensinya, identifikasi terhadap persoalan jungkir-balik tersebut sekedar mendeskripsikan seperti apa rupa kejungkirbalikan, di mana letaknya. Oleh alasan seperti itu, maka dalam penelitian ini jungkir-balik dipahami sebagai spasial (ruang) cerita. Sehingga jungkir-balik—yang disebut absurd, aneh, tidak logis— dari cerita berkenaan dengan ruang cerita (space dimension). Berbicara mengenai dimensi ruang dalam cerita, sebuah cerita berkenaan dengan aspek, misalnya, persepsi narator novel. Persepsi narator yang absurd otomatis menghasilkan persepsi (cerita) objek yang tampak jungkir-balik,
7
semrawut atau tidak masuk akal. Sorotan utama terhadap cerita BD dalam penelitian ini difokuskan pada dunia jungkir-balik. Sedangkan yang dianggap jungkir balik adalah ruang cerita novel. Dengan menyoroti ruang cerita, penelitian ini tidak sekedar mendeskripsikan dan menujukkan letak kejungkirbalikan cerita. Lebih jauh, penelitian ini mampu menjelaskan perihal dunia jungkir-balik, dan landas tumpu yang membuat dunia cerita BD menjadi jungkir-balik. Jungkir-balik sebagai persoalan utama dan mendasar dalam dunia cerita BD dapat dikatakan sebagai representasi dari dimensi spasial (keruangan) cerita. Jungkir-balik (dunia cerita) dianggap sebagai wujud persepsional pengarang atau narator dalam cerita. Persepsi adalah wilayah ruang, bukan temporal. Dalam dunia ruang, persepsi adalah faktor penting dominan. Suatu dunia selalu diukur oleh/dari bagaimana (persepsi) seseorang memandang dunia. Aneh atau normal, absurd atau logis dan sebagainya, bergantung pada persepsi dari yang bersangkutan. Aneh bagi seseorang, belum tentu aneh bagi seseorang yang lain dan sebaliknya. Perihal ruang dalam prosa-prosa BD merupakan sesuatu yang vital dan signifikan. Bagi peneliti label aneh, absurd, tidak masuk akal dan sebagainya berpangkal pada kesalahpahaman dalam mengartikan ”dunia jungkir-balik”. Kekeliruan tersebut akhirnya berimbas pada pengggunaan pendekatan (sekaligus teori) penelitian yang diaplikasikan. Akhirnya, penelitian-penelitian tersebut gagal dalam memahami logika cerita (the logic of the novel). Oleh sebab itu, cerita yang aneh tetap menjadi aneh, yang absurd tetaplah absurd dan yang tidak logis tak perlu susah-payah dipahami. Jika ditarik dalam konteks yang lebih jauh, kecenderungan ini bertolak-belakang dengan anggapan setiap karya sastra
8
memiliki estetika sendiri-sendiri. Seperti pernah dinyatakan Allain Robbe-Grillet, ”Tiap sastra membentuk aturan masing-masing yang sesuai dengan diri sendiri. Tiap sastra memiliki denyutnya sendiri, yang mau tak mau menjadikan ia lain dari yang lain.” Dami N. Toda (1984) dalam Catatan Teoritik Sekitar Penciptaan Novel 1970-an memberikan penjelasan yang apik terkait hukum estetika ciptakarya, gejala kebaruan dalam karya sastra. Dia mengatakan, ”…para kritikus harus berhati-hati berhadapan dengan realitas (macam ”apa” yang disajikan), karena ia memiliki logika lain dan dasar filsafat lain, di mana yang penting adalah kesadaran manusia dalam mencari gambaran tentang manusia”. 9 Dalam Sastra: Merupakan Dunia Jungkir-balik? BD mengungkapkan bahwa jungkir-balik merupakan keniscayaan dalam (karya) sastra. ”Sastra banyak mengungkapkan dunia yang aneh,” tulisnya. Dengan menunjuk Don Quixote, Hamlet, Oedipus Rex BD menyatakan banyak karya besar dan abadi justru mengungkapkan dunia yang tidak beres, aneh, absurd dan sebagainya. Jungkirbalik dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kecenderungan cerita dalam karya sastra yang menggambarkan sebuah dunia yang berlawanan dengan gambaran jamak. Bahkan keindahan dalam karya sastra, sebut BD, tidak jarang bertentangan dengan kehendak umum. Pernyataan tersebut kiranya penting disimak dengan seksama. Dalam kaitannya dengan jungkir-balik cerita, pernyataan tersebut merintis jalan bagi pembaca untuk mengetahui seluk-beluk dunia cerita dalam karya-karya BD. Aveling pernah menyatakan, ”Dunia (cerita BD, pen.) lebih banyak ditentukan 9
Dekade 70-an dapat dikatakan penting, Bakri Siregar, Arif Budiman dan Imam Muhtarom pernah memberikan ulasan yang menarik seputar situasi cipta-karya masa itu.
9
oleh bagaimana orang memandang dunia, bukan sebaliknya”. Dengan kata lain, pada hakikatnya karya sastra terletak pada persepsi pengarang mengenai dunia. Persepsi pengarang akan tampak dengan sendirinya melalui wajah-wajah tokoh ceritanya. Sehubungan dengan persepsi dunia cerita, sebuah dunia cerita terletak pada bagaimana ruang itu direpresentasikan. Jika demikian, persoalan mendasar dalam karya-karya BD sebenarnya terletak pada persoalan ruang cerita, bukan temporalitas cerita. Sehingga bila cerita tersebut didekati dengan dimensi selain ruang (misalnya temporal cerita), hasil analisanya tidak akan selaras dengan the logic of the novel. Dewanto (1981) pernah menyatakan bahwa dalam sebuah novel BD (Rafilus) terdapat banyak suara-suara. Disebutkannya suara-suara tersebut tampak kacau (chaos). Kekacauan dalam novel lantaran alur dalam cerita novel memiliki pola yang melingkar sehingga cenderung kisahannya menjadi tidak jelas. Bagi peneliti, paparan tersebut tidak berhasil (baca: belum lengkap) dalam mempertalikan pola cerita yang semrawut dengan alur cerita yang melingkar. Dalam hal ini peneliti berasumsi, bahwa Dewanto salah dalam mengambil suatu pendekatan terhadap cerita. Dikatakan demikian, menyoroti pola chaos dalam cerita tersebut berarti Dewanto membaca cerita (Rafilus) tersebut dalam dimensi temporalitasnya. Dalam dimensi temporal suara-suaru harus urut dan teratur datangnya. Akhirnya berhadapan dengan novel yang semrawut seperti Rafilus, pendekatan Dewanto mengalami jalan buntu untuk memahami wajah cerita. Seandainya Dewanto menggunakan perspektif spasial (keruangan) maka suara-
10
suara yang berebutan dan konstan itu bukan suatu persoalan (wajar dan tidak aneh) dalam sebuah karya sastra (novel).10 Dalam perspektif spasial suara-suara telah terputus hubungannya dengan kewaktuan (keteraturan/keberurutan). Dalam dimensi ruang suara-suara tidak berurutan datangnya namun simultan. Istilah-istilah seperti kontestasi (Bourdieu), karnival (Bakhtin), dan festival (Lefebvre) merupakan konsepsi cerita dalam perspektif keruangan. Istilah-istilah tersebut melihat temporalitas dalam cerita sebagai konsep momen. Momen sendiri adalah konsepsi kewaktuan yang meruang (Lefebvre).11 Dari penggambaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan terhadap cerita-cerita BD selama ini tidak menggunakan kategori ruang berisiko mengalami kegagalan untuk menjawab ihwal jungkir-balik atau absurd dalam karya-karya tersebut.12 Oleh sebab itu penting kiranya melihat kedudukan karyakarya BD dalam dimensi ruang (space) cerita. Penelitian ini akan mengkaji sebuah karya BD, yaitu novel Rafilus. Rafilus sebagai objek penelitian akan didekati dalam perspektif keruangan model lefebvrean, yaitu teori produksi ruang yang digagas oleh Henry Lefebvre. Mengenai Rafilus, gambaran novel ini tidak berbeda dengan pandangan umum karya-karya BD yang lain, yaitu aneh, absurd, tidak jelas, tidak logis, membingungkan—singkat kata, jungkir-balik. Namun berbeda dengan penelitian-
10
Lih. penyataan Budi Darma dalam Jurnal Prosa edisi ketiga hal. 149-198. Lih. Merrifield (2006). 12 Menunggu Godot karya Samuel Beckett, misalnya, lakon tersebut dianggap absurd (tidak masuk akal). Cerita dalam lakon tersebut menjadi absurd/tidak masuk akal karena ceritanya bermain dalam waktu. Kata ”menunggu”… tapi kalau yang ditunggu tidak datang-datang, artinya suasana dalam lakon tersebut terhenti. Waktu berhenti. Tidak bergerak. Membeku. Dalam konteks itu waktu menjadi diam (silent). Waktu yang beku adalah space. Berhenti. 11
11
penelitian sebelumnya, dalam tulisan ini perihal jungkir-balik novel dianggap sebagai kebaruan cerita novel. Jungkir-balik juga merupakan dimensi spasial dan bukan temporal cerita. Jungkir-balik sebagai unsur baru novel dianggap sebagai gejala yang wajar dalam fenomena cipta-karya. Penyikapan demikian yang tidak ditemukan oleh peneliti dalam kajian-kajian sebelumnya. Dalam pengamatan peneliti kelemahan dalam kajian-kajian sebelumnya terkait novel-novel BD terletak pada metode serta teori yang digunakan. Konsekuensinya unsur baru atau jungkir-balik dalam novel tidak pernah terjawab secara tuntas—mengapa atau kenapa disebut jungkir-balik? Sedangkan dalam penelitian ini ihwal jungkir-balik tersebut akan coba dibalik-jungkirkan. Sehingga cerita yang aneh, absurd, tidak logis tersebut dapat terjelaskan. Dengan pendekatan spasial yang dipakai oleh penelitian ini, diharapkan mampu menghasilkan perspektif baru serta tawaran alternatif dalam pembacaan karyakarya BD. Untuk membalik-jungkirkan anggapan jungkir-balik sebelumnya, perspektif keruangan Lefebvrean akan dimanfaatkan sebagai alat bantu penelitian. Penelitian ini memiliki kesadaran jika jungkir-balik cerita merupakan identitas dari novel (the logic of the novel) BD. Terminologi ruang memiliki banyak varian dalam keilmuan sosial maupun eksakta. Namun dalam pengetian Lefebvre ihwal ruang senantiasa bersifat sosial. Terma ruang (space) berbeda dengan pengertian locus (tempat) atau topografi. Selama ini kedua terma tersebut, utamanya dalam penelitian sastra yang bersifat sosiologis, seringkali dipahami sebagai latar (setting) cerita. Sedangkan ruang dalam model Lefebvrean dimensi suatu ruang lebih kompleks. Ruang tidak hanya
12
dibayangkan sebagai suatu (ruang) fisik yang wadak atau suatu gagasan (ruang) yang abstrak. Ruang Lefebvrean memiliki dimensi yang disebut pengalaman (lived-experienced). Dimensi ini seringkali dipahami sebagai dimensi pemaknaan atas ruang. Selain itu, spasial Lefebvrean yang bersifat sosial ini diyakini selalu mengalami suatu proses yang disebut produksi ruang. Produksi ruang sosial terdiri atas tiga elemen, yaitu persepsi (perceived space), konsepsi (conceived space) dan pemaknaan (atau pengalaman, lived-experience). Ketiga elemen produksi tersebut kerapkali disebut sebagai konsep triadik (triadic conceptual). Dalam ketiga konsep tersebut telah terjelma ideologi, filsafat, sosiologi, politik dan lain sebagainya. Keruangan Lefebvrean di sini bersifat sosial, sehingga proses produksi ruang secara otomatis bersifat sosial pula. Penelitian ini bersifat sosiologis. Dimensi sosiologik dalam penelitian ini berkenaan dengan terma ruang tersebut. Dalam ruang sosial, suatu ruang tidak pernah diproduksi secara individual (perorangan) melainkan secara sosial. Rafilus sebagai objek penelitian memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan karya-karya BD yang lain. Seperti dinyatakan oleh Karsono (2003), bahwa novel ini menandai pergeseran kriterium kepengarangan BD, yaitu pembauran antara absraksi (kelebat pikiran) dan peristiwa (akrobat tindakan). Berbeda dengan Olenka (novel) atau Orang-orang Blomington (antologi cerpen), pengarangnya menekankan eksplorasinya pada aspek abstraksi cerita (pikiran tokoh). Seperti dapat disimak dalam kedua karya tersebut minim aksi konkrit
13
(peristiwa), yang dominan justru kecamuk pikiran tokoh-tokohnya.13 Dari gambaran-gambaran di atas, Rafilus menjadi relevan bila dikaji dalam perspektif sosiologis (dalam hal ini dimensi ruang cerita) dengan meneladani teori produksi ruang Lafebvre. 14 Sebagai tambahan, terkait karya-karya BD dalam kancah penelitian sastra. Peneliti menemukan fakta bahwa karya-karya BD ternyata jarang—untuk dikatakan tidak ada—dikaji dengan pendekatan sosiologis. Dalam hal ini BD dikenal sebagai pengarang kondang yang menghasilkan karya-karya kanonik. Mirisnya apresiasi terhadap buah tangannya tidak diimbangi dengan jamaknya perspektif sebagaimana lazimnya pada pengarang selevelnya. Sebagai sastrawan generasi Horison BD digolongkan sebagai prosais angkatan 70-an. Tentang situasi dekade tersebut, Dami N. Toda pernah mengatakan bahwa pada 1970-an adalah masa peralihan dari realisme formal ke realisme imajiner. Perubahan standar estetika tersebut berpengaruh pada bentuk novel-novel yang diciptakan. Novel arus baru disebut oleh Toda sebagai novel yang anti terhadap sosiologi, psikologi dan antropomorfisme (misalnya karya-karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto atau bahkan dalam teater seperti tampak dalam karya-karya Arifin C. 13
Jurnal Prosa hal. 179. Pada suatu kesempatan BD pernah berujar kepada editor Balai Pustaka, ”Karya yang baik pada hakikatnya adalah kisah berkecamuknya pikiran dan pandangan orang-orang yang tidak malu-malu mengakui siapa mereka sebenarnya” (lih. Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999, Kompas, 1999). 14 Dalam sebuah wawancara BD pernah ditanya, ”Apakah menurut Anda latar bukan unsur yang esensial dalam fiksi? Kalau begitu, latar Surabaya dalam Rafilus dan Ny. Talis sebetulnya bisa saja diganti dengan latar antah-berantah…?” Seperti kebiasaan BD yang tidak pernah mau berterus terang mengenai proses kreatifnya, dia justru menjawab: Saya justru kaget ketika suatu hari, Wahyudi Siswanto, memberikan tesisn S2-nya dari Universitas Negeri Malang (waktu itu masih IKIP Malang) mengenai latar dalam Rafilus setebal lima ratus halaman. Diamdiam, ternyata dia sering datang ke Surabaya untuk mencari titik-temu antara latar dan realitas. Dia ukur jarak kadang-kadang dengan jalan kaki dan kadang-kadang dengan naik sepeda motor, mewancarai satpam gedung, mengamat-amati baik dari jarak dekat maupun jarak jauh bangunanbangunan tertentu, dan lain-lain” (Jurnal Prosa edisi 3, 2003:185).
14
Noer). Bila pandangan Toda tersebut benar, bahwa BD yang temasuk ke dalam angkatan pengarang ‘70-an serta karya-karya cenderung anti-sosiologis, apakah alibi demikian menjadi relevan untuk menghindari suatu penelitian sosiologis terhadap karya-karya absurd (aneh)? Kiranya tidak. Peneliti berpendapat bahwa sebuah karya sastra, seabsurd dan seaneh apapun eksplorasi dari karya tersebut tetaplah produk sosialnya. Artinya, dia membiaskan ekspresi sosial baik secara langsung ataupun tidak langsung. Kajian sosiologis terkait karya(-karya) BD) sangat terbatas jumlahnya. Peneliti menemukan sebuah tesis yang ditulis oleh Wahyudi Siswanto15 (WS), Kajian Novel Rafilus: Sebuah Tinjauan Sosio-psiko-struktural (1991). Namun demikian, tulisan tersebut memiliki masalah pada epistemologi teoritiknya. Dalam penelitiannya tersebut WS memahami aspek teks (Surabaya dalam novel) sebagai representasi dari aspek konteksnya (Surabaya dalam realitas sosial). Lalu hubungan referensial tersebut dianggapnya sebagai dimensi sosiologis dalam penelitian (sastra). WS menganggap unsur teks (latar Surabaya) itu sebagai metafora dari konteks sosial yang riil, yaitu Surabaya yang nyata (pemerian tentang tesis WS akan dijabarkan lebih lanjut pada bagian tinjauan pustaka). Pendekatan sosiologis dalam penelitian tersebut bukan (sosiologi) sebagai pendekatan model pembacaan ke dalam elemen semesta dari situasi total karya. Namun seperti kerja mencocok-cocokkan fakta tekstual dengan sosial. Padahal
15
Wahyu Siswanto, dosen di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur. Sehubungan dengan Budi Darma dan karya-karyanya, WS dapat dikatakan sebagai peneliti utama Budi Darma dan karya-karyanya. Hal ini dibuktikan dari tesis dan disertasinya tentang Budi Darma. Bahkan disertasinya yang berjudul Memahami Budi Darma dan Karya Sastranya (2003) telah diterbitkan oleh penerbit Grasindo dengan judul, Budi Darma: Karya dan Dunianya (2005). Selain itu, kumpulan cerpen yang berjudul Fofo dan Senggring (Grasindo, 2005) juga dieditori oleh WS.
15
Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977: 82-84; dalam Faruk, 1999: 8-9) menyatakan, bahwa sosiologisme lebih cenderung melihat determinasi materi atas pikiran, mencari genesis atau sebab-sebab yang melahirkan pikiran subjek.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, tampak sebagai berikut: 1. Bagaimana tata-ruang dalam Rafilus karya BD? 2. Bagaimana ruang dalam Rafilus diproduksi dengan menggunakan konsep triadik produksi ruang Lefebvre, yang meliputi persepsi ruang, konsepsi ruang, dan pemaknaan ruang?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini secara ilmiah bertujuan mengaplikasikan teori produksi ruang Lefebvre. Teori tersebut digunakan untuk menganalisis dimensi keruangan cerita novel Rafilus. Tujuan praktis penelitian ini adalah menghasilkan sebuah karya tulis yang bisa memberikan perspektif berbeda berkenaan dengan karyakarya BD umumnya dan Rafilus khususnya. Harapan peneliti dari hasil penelitian ini agar para pemerhati, penggiat, kritikus serta akademisi sastra, mendapatkan gambaran yang lebih jamak mengenai karya-karya BD. Lebih lanjut, hasil dari penelitian yang menggunakan perspektif sosiologis menjadi batu loncatan bagi para peneliti lain berkenaan dengan perspektif sosiologi dalam kajian tentang karya-karya BD.
16
1.4 Tinjauan Pustaka Pada bagian latar belakang telah disebutkan beberapa tulisan terkait BD dan karya-karyanya. Pemerian tersebut bukan sebagai tinjauan kepustakaan penelitian. Sumber-sumbar pustaka tersebut lebih sebagai landasan berkenaan dengan alasan peneliti memilih topik ruang dalam menganalisis Rafilus. Ruang dalam novel BD terikat dengan unsur kebaruan di dalam karya(-karya) tersebut. Kebaruan karya-karya BD tampak pada istilah dunia jungkir-balik. Jungkir-balik dapat dikatakan representasi paling umum terkait BD dan karya-karyanya. Oleh sebab itu, penyebutan sumber-sumber tersebut signifikan sebagai latar belakang penelitian. Sedangkan pada bagian tinjauan pustaka berikut, peneliti hanya menyertakan hasil kajian-kajian yang khusus membahasa Rafilus sebagai objek analisis kajiannya. Terdapat beberapa akademisi serta kritikus sastra yang telah melakukan pembahasan terhadap novel Rafilus karya BD. Untuk menyebutkan beberapa saja, antara lain Wahyudi Siswanto, Indraningsih, Sutini, Arif Rahman Hakim, Soni Karsono, Umar Kayam, Nirwan Dewanto, Utjen Djusen Ranabata dan Setiawan. Pemeriksaan sumber-sumber kepustakaan berikut bukan sebatas menunjukkan orisinalitas dari tulisan ini. Tinjauan ini juga berfungsi sebagai gambaran tentang objek material dalam kancah penelitian. Dalam pelacakan sumber-sumber tersebut, maka penelitian ini akan memperoleh gambaran spesifik terkait posisi objeknya. Sehingga peneliti dapat menentukan skema penelitian yang sekiranya relevan dilakukan.
17
Penelitian Wahyu Siswanto (WS) yang berjudul Kajian Novel Rafilus: Sebuah Tinjauan Sosio-psiko-struktural (tesis, 1991) mungkin dapat dikatakan satu-satunya karya ilmiah yang menggunakan pendekatan sosiologis terhadap novel Rafilus. Namun seperti telah disinggung di atas, penelitian ini memiliki kelemahan dari aspek epistemologi teorinya. Dalam kajiannya tersebut peneliti menyatakan bahwa dalam proses penelitian dia langsung terjun ke lapangan (Surabaya). Usaha tersebut sengaja dilakukan oleh peneliti untuk mempertalikan antara realitas dalam novel dan realitas kongkrit (sosial). Bagi WS riset lapangan tersebut penting dilakukan untuk membuktikan keotientikan latar Surabaya yang diacu oleh novel. Dari hasil riset didapatkan bukti jika di dalam Rafilus terdapat (1) realitas yang benar-benar ada dan (2) realitas yang dimanipulasi. Pada fakta pertama, realitas fiksi berterima dengan realitas konkritnya. WS menyebutkan topografi Margorejo, misalnya, sebagai locus yang memiliki banyak jaringan jalan yang rumit, rumah yang letak dan ukurannya semrawut dst. Gampangnya, gambaran Margorejo dalam novel tidak berbeda dengan Margorejo yang asli. Fakta kedua, rumah dan pabrik kaos Jumarup serta tempat kerja Pawestri merupakan realitas novel yang dimanipulasi sebab dalam kenyataannya tidak demikian. WS memberi catatan bahwa dalam karya sastra hal demikian adalah lumrah dan tidak dapat dipermasalahkan. Selanjutnya, WS menunjukan data-data lapangan yang didapatkannya tersebut tidak sekedar fakta-fakta yang berserakan. Dia menjabarkan jika realitas yang digambarkan oleh pengarang di dalam novel adalah alat atau bagian untuk
18
menyampaikan sesuatu yang lebih bersifat universal, dan bukan semata gambaran realitas mentah Surabaya. Dalam hal ini penggambaran Margorejo lebih berfungsi sebagai citra dari (daerah/pemukiman) yang notabene dihuni oleh masyarakat kelas bawah Surabaya. Jalan simpang, jalan samping, gang, jalan buntu, jalan tembus, jalan pintas, dan jalan setapak menimbulkan tautan pikiran akan jalan hidup yang ditempuh masyarakat bawah. Untuk memenuhi kebutuhannya, masyarakat bawah sering mengalami jalan bantu, sering di persimpangan antara halal dan haram, sesuai dengan dan melanggar hukum. Meskipun demikian masyarakat bawah sering menempuh jalan pintas, seperti yang dijelaskan di dalam novel menjadi pencuri, tukang tadah, garong, dan pelacur… Jika dihubungkan dengan pendapat Budi Darma, ternyata apa yang telah diperbuat Budi Darma dalam novel Rafilus, khususnya berkaitan dengan realitas yang telah di bahas di atas, merupakan perwujudan dari keinginan dan cita-citanya dalam dunia sastra yang mampu diwujudkan dengan baik.16
Dari gambaran sekilas penelitian WS di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan sosiologis dalam penelitian itu dipahami sebagai (1) sebuah metode untuk menelusuri hubungan kesalingketerikatan antara realitas fiktif dan realitas konkritnya, lalu (2) dari hubungan keterikatan antara latar dalam novel diandaikan sebagai aspek refersensial yang terhubung langsung dengan latar sosial yang konkrit. Selanjutnya, WS menyatakan latar-latar cerita seperti jalan simpang, gang, jalan buntu, jalan pintas dst. memiliki makna sosiologis, yaitu representasi 16
Lihat Menelusuri Jejak Rafilus Novel ”Rafilus”, Wahyudi Siswanto (Basis, 1992: 354,
58).
19
sosial masyarakat bawah Surabaya. 17 Namun pertanyaannya: apakah prosedur demikian (pembacaan model referensial tanda bahasa dalam karya) yang dimaksud sebagai model pembacaan sosiologis? Sosiologi sebagai teori tak lain sebuah paradigma. Prinsip sosiologi ialah mempelajari kehidupan nyata manusia sebagai suatu kolektifitas. Sebagai sebuah metode dalam mendekati karya sosiologi tidak pernah berpretensi untuk membuktikan keberterimaan antara realitas fiksional dan realitas sosial yang kemudian melahirkan karya bersangkutan. Artinya, metode sosiologis dalam penelitian sastra bukanlah kerja mencocok-cocokan fakta literal dengan fakta sosial (realitas konkret). Ricoer (1981; dalam Faruk, 2013: 45-46) menyatakan bahwa sebuah karya secara tidak terelakan keluar dari situasi dan kondisi nyata produksinya. Karya sastra menjadi wacana yang tidak bertuan, tidak lagi mengacu kepada intense penulis sebagai produsennya, tidak diarahkan pada orang atau kelompok orang tertentu yang ada dalam situasi dan kondisi produksinya, dan tidak pula mengacu kepada kenyataan atau objek-objek yang ada di sekitar waktu produksi karya sastra tersebut. 18
17
Dalam kata pengantar antologi cerpen Fofo dan Senggring, BD penah menulis demikian: ”Setelah melanjutkan ke S-2, entah dengan pertimbangan apa, dia memilih untuk menulis tesis S-2 mengenai novel Rafilus (1988). Tanpa sepengetahuan saya, Wahyudi Siswanto sering datang ke Surabaya, untuk menengok sendiri berbagai lokasi dalam rafilus. Sebagai misal, Wahyudi Siswanto datang ke sebuah kampong, Bendul Merisi namanya, untuk mencocokkan lokasi yang sebenarnya dengan setting dalam novel. Lalu, dia pergi pula ke sebuah rumah di Jalan Raya Darmo, dan mengadakan wawancara dengan penjaga rumah itu, tak lain, karena rumah itu juga menjadi salah satu setting Rafilus” (Grasindo, 2005: xiv). Di kesempatan lain, dalam sebuah wawancara di Jurnal Prosa Edisi 3, BD juga menyingung cerita tersebut ketika redaksi bertanya mengenai esensi latar Surabay dalam Rafilus dan Ny. Talis (Jurnal Prosa edisi 3, 2003:185). 18 Lebih lanjut, Faruk (2013: 46) menuliskan, ”Sebagai tulisan karya sastra menjadi sesuatu yang mengambang bebas, yang dapat terarah kepada siapa saja dan mengacu pada apa saja yang ada dalam berbagai kemungkinan ruang dan waktu”.
20
Sosiologi sebagai sebuah paradigma seperti dinyatakan Ritzer (1975; dalam Faruk, 2013: 2) seharusnya dipahami sebagai citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma tersebut yang akan menentukan jalan cerita penelitian. Ia berperan sebagai penentu pokok permasalahan yang akan dikaji, pertanyaan-pertanyaan apa yang kelak harus diajukan, bagaimana cara mengajukannya, dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam interpretasi jawaban-jawaban yang diperoleh. ”Paradigma,” tulis Faruk (2013), ”adalah unit konsensus terluas dalam suatu pengetahuan dan berfungsi untuk membedakan satu komunitas ilmiah dari komunitas lainnya”. Ia menggolongkan, mendefinisikan, menginterrelasikan teladan-teladan, teori-teori, metode-metode,
dan
instrumen-instrumen
yang
terdapat
di
dalamnya. 19
Sedangkan penelitian WS dapat dikatakan tidak bekerja demikian. Penelitian WS tersebut lebih tepat disebut sebagai model semiotik dengan pendekatan model mimesis (referensial ala Riffaterre). Untuk mendapatkan perbandingan, baiknya penelitian WS ini dibandingkan dengan tesis Indraningsih di bawah ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik, dan teori yang diacu adalah teori semiotika Umberto Eco. Indraningsih (1996) dalam Eksistensi Manusia dalam Rafilus dan Olenka karya Budi Darma: Sebuah Kajian Semiotik menyatakan novel ini sebagai novel yang mengangkat persoalan eksistensialisme. Tesis ini bertujuan untuk mengungkapkan makna eksistensi manusia melalui penggambaran peristiwa tokoh-tokoh di dalam cerita. Untuk sampai pada tujuan tersebut, pertama-tama
19
Ibid, (2013: 4).
21
Indraningsih memetakan formasi tekstual novel. Dalam hal ini Indraningsih beranggapan bahwa sebuah teks sastra dianggap sebagai penanda—sebagai gejala semiotik—yang dapat dihubungkan dengan penanda yang berada di luar struktur karya. Pendekatan semiotik struktural dipilih karena novel adalah suatu struktur yang memiliki kesatuan antar unsur yang utuh. Kemudian, dari hasil pemetaannya terhadap struktur novel seperti tema, alur, tokoh-tokoh dan seterunya, Indraningsih menghubungkannya dengan wacana eksistensial Jean Paul Sartre. Dalam kesimpulannya Indraningsih menyatakan bahwa tokoh Rafilus dalam Rafilus merepresentasikan pribadi eksistensial sebagaimana dinyatakan Sartre. Tokoh protagonis ini terlibat dalam pencarian makna eksistensi diri yang cenderung untuk menunjukkan dirinya tampak asosial. Sebagai diri yang eksistensial, Rafilus tampak sebagai sosok dari manusia kota yang merayakan kebebasannya, bertaruh dengan rasa cemas dan keterasingan yang senantiasa menjadi problem manusia eksistensial. Penelitian ini tidak berbeda dengan kecenderungan umum penelitian karya-karya BD, yaitu melihat potensi teks sembari menyoroti isi cerita. Kajian Indraningsih di atas adalah pembacaan model mimetik Riffaterre. Faruk (1999) menyebutkan pembacaan mimetik ala Riffaterre sebagai pembacaan heuristik. Pembacaan ini merupakan tahap pertama sebagai kompetensi linguistik pembaca yang meliputi asumsi bahasa bersifat referensial. Jadi tulisan Indraningsih tersebut tidak berpretensi untuk melihat kemungkinankemungkinan lain di luar teks. Terkait pembacaan model referensial, tesis WS yang dijabarkan di atas kiranya tidak berbeda dengan pendekatan Indraningsih tersebut. Penelitian WS yang diklaim sebagai penelitian sosiologis tersebut salah
22
kaprah dalam memahami epistemologi teori sosiologi sastra. Kesalahan tersebut tentunya berpengaruh secara signifikan pada hipotesis, variable serta hasil analisanya. Bagi peneliti, penelitian WS Tersebut menggunakan pendekatan semiotik struktural, yaitu kerja analisis terhadap aspek referensial tanda dalam teks yang berkolerasi dengan konteks novel. Sutini (1992) dalam Pencerita dan Penyajian Cerita pada Novel Rafilus dan Arif Rohman Hakim (2014) dalam Bentuk Teks dan Arus Komunikasi novel Rafilus Karya Budi Darma sama-sama menyoroti sudut pandang penceritaan Rafilus. Dalam skripsinya Sutini mengemukakan bukti bahwa dalam novel tersebut terdapat dua pencerita; pertama, tokoh Tiwar yang dapat dibuktikan dengan tarikh [Surabaya, Juli 1981] di bagian akhir cerita; kedua, pengarang novel (BD) yang juga dapat dibuktikan dengan penulisan [Surabaya, Juni 1987] dalam bab Abstraksi, serta sejumlah catatan kaki dalam novel. Sedangkan penelitian Hakim secara prinsip tidak berbeda dengan penelitian Sutini. Dalam penelitian tersebut Hakim menyatakan Rafilus sebagai cerita berbingkai. Dia juga menyebutkan ada dua pencerita dalam Rafilus. Penelitian ini dapat dikatakan selangkah lebih maju dibandingkan penelitian Sutini. Dalam deskripsinya Hakim tidak berhenti pada penyimpulan sudut pandang cerita. Lebih jauh, dia melihat bahwa peran Tiwar sebagai satu-satunya pencerita menyiratkan problem komunikasi sebagai ihwal yang signifikan bagi cerita novel. Dalam Rafilus semua tokoh nyaris tidak melakukan dialog yang aktual. Semua dialog serta jalan cerita dikendalikan oleh Tiwar [aku]. Bagi Hakim hal tersebut merupakan faktor penting untuk memahami novel. Untuk membuktikan hipotesisnya Hakim menggunakan
23
teori naratologi Seymour Chatman yang menekankan karakterisasi-karakterisasi cerita. Selanjutnya, dia menjabarkan kerancuan posisi komunikasi teks naratif novel. Hakim menduga kerancuan dalam Rafilus disebabkan penyatuan suara pengarang ke dalam satu bagian isi novel. Skripsi Hakim sejatinya memiliki dasar teoritik yang kuat, namun mengandung kelemahan dalam pengaplikasian teoritiknya. Dalam teori Chatman latar cerita (tempat) diyakini sebagai bagian kedua dari existence cerita setelah event cerita. Chatman memahami latar cerita tidak terbatas dipahami sebagai tempat (locus). Dalam memahami latar Chatman mengikuti teladan Liddel yang membedakan latar cerita menjadi lima jenis. 20 Bagi Chatman, latar cerita itu berhubungan dengan cultural codes novel. Namun ihwal latar cerita ini kemudian menimbulkan persoalan manakala Hakim, seperti halnya WS, menyoroti latar Surabaya dalam Rafilus dalam kaitannya dengan Surabaya yang konkret, bukan sebagai persepsi pengarangnya (BD) terhadap keruangan Kota Surabaya yang telah terbentuk. Artikel Soni Karsono (2013), On Some Themes in Budi Darma’s Rafilus, memberikan gambaran yang menarik terkait Rafilus. Sayangnya tulisan ini terlalu pendek untuk bisa menggambarkan secara lebik jamak dimensi cerita Rafilus. Tulisan ini memiliki kerangka teori yang kuat, juga dapat meggambarkan hubungan yang skematis sekaligus integral antara unsur-unsur seperti plot cerita, 20
Robert Liddel (Chatman, 1980: 143; dalam Hakim, 2014: 15) membedakan latar tempat cerita menjadi lima jenis: (1) ulitarian, sebagai jenis latar yang paling sederhana, tidak berkaitan dengan aksi, dan penggambaran latar tanpa adanya aspek emosi; (2) simbolyc, menggambarkan tentang sesuatu atau dapat dikaitkan dengan kondisi mental maupun kejadi yang tengah terjadi; (3) irrelevant, berlawanan dengan kondisi mental tokoh; (4) countries in the mind, berkaitan dengan kondisi mental namun berbeda dengan latar simbolyc yang mengaitkan antara struktur relaitas teks dengan kejadian mauoun kondisi mental, atau dalam latar ini sebuah latar murni berada dalam ranah imajinasi karakter; dan (5) kaleidoskop, latar ini memiliki ciri khas keluar masuk antara sisi imajinasi atau pikiran dengan realitas yang dialami oleh sebuah karakter.
24
penokohan, serta setting cerita untuk memahami tema utama novel. Karsono juga menjabarkan latar tempat cerita dengan menggunakan kriterium Culler. Dalam hal ini, Karsono menyadari bahwa dimensi latar tempat cerita bukan sekedar kriteria geografis (ketempatan). Latar cerita bagi Karsono memiliki hubungan integral dengan wacana keruangan. Latar sebagai suatu keruangan dalam kasus Rafilus sangat ditentukan oleh experience of space dari tokoh Tiwar sebagai pencerita utama. Dengan pemetaan dari persepsi tokoh Tiwar pembaca bisa menebak modus cerita novel. Sayangnya tulisan ini memahami ruang masih sebagai suatu yang fisikal sehingga pemahaman ruang dalam tulisan ini tidak berbeda dengan kriterium WS di atas. Selain nama-nama yang disebutkan di atas, terdapat beberapa pembahas lain yang mengeksplorasi Rafilus, misalnya Nirwan Diwanto, Umar Kayam, Utjen Djusen Ranabrata, dan Setiawan. Dewanto menampilkan pembahasan yang sama sekali tidak bersistem, tidak mempunyai dasar teoritik. Dia menyatakan Rafilus sebuah novel yang menceritakan eksistensi manusia. Alur ceritanya melingkar— awal cerita sekaligus menjadi akhir dari ceritanya. Kayam berpendapat tokoh-tokoh dalam Rafilus aneh. Ada Rafilus yang awalnya mengesankan Tiwar sebagai sosok tak terbentuk dari daging, tapi besi. Kulitnya hitam mengkilat, seperti permukaan besi yang dipoles. Dan pada waktu berjabatan tangan dengannya, tangan Tiwar terasa akan berantakan. Ada Pawestri, kekasih Tiwar, yang menurut Kayam neurotic dan punya kelainan perilaku seks. Hobinya jatuh cinta pada lelaki pincang dan gigi mrongos, bermata juling, atau kepala botak. Lebih gila, di malam hari Pawestri sering membayangkan dirinya
25
bergiliran digarap banyak lelaki. Menghadapi serentetan keanehan, baik tokoh maupun alur ceritanya, Kayam berasumsi narator novel (Tiwar) sebagai BD serta mempertanyakan novel kedua Budi Darma ini sekadar deretan biografi. Bila biografi, pastilah biografi-biografi yang aneh strukturnya. Menurut Kayam, biografi punya alur dan struktur jelas. Tapi Rafilus lantas berkembang menjadi novel “antiplot”, bahkan mungkin “antistruktur” atau “anticerita”. Karena itu, ia menyimpulkan unsur-unsur inilah yang menyebabkan novel Budi Darma dikategorikan “absurd”. Kayam lantas memaparkan lahirnya kesenian absurd di Eropa sejak Frans Kafka —sebelum Perang Dunia I — dan teater absurd Beckett, Ionesco dan Genet, yang menetas usai Perang Dunia II. Ia mengacu pula pada absurditas menurut yang didefinisikan Martin Esslin. Malah, Albert Camus dalam berbagai esei dan novelnya disebutnya sebagai pelopor sastra absurd. Lebih jauh, Kayam mempertanyakan karya absurd BD, apakah didukung kondisi absurd di Eropa Barat. Khusus Rafilus, apakah tokoh ini didukung pandangan dunia yang pesimistis tentang kondisi kemanusiaan di negeri kita atau dunia umumnya. Akhirnya, Kayam menutup makalahnya: “Sudah sampaikah karya sastra absurd di negeri kita pada kesimpulan absurditas kondisi yang kontemporer?” Atau, mungkinkah karya sastra absurd di negeri kita baru exercise di permukaan kehidupan kontemporer kita? Ranabrata menganggap jika Rafilus adalah novel yang unik dibandingkan dengan novel-novel lain yang pernah ada di Indonesia, terutama dalam teknik penceritaannya. Dalam kesimpulannya, Ranabrata menyebutkan jika tema novel ini adalah tentang takdir yang dimanifestasikan, terutama, pada masalah anak.
26
Penceritaannya menggunakan cara ragaan dengan teknik stream of conciousness. Oleh sebab itu, novel ini disebut novel arus kesadaran. 21 Untuk melihat kejamakan dimensi novel, tulisan Setiawan (2004) yang berjudul Biofili dan Nikrofili dalam Sastra: Studi Kasus pada Ny. Talis dan Rafilus karya Budi Darma dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan tinjauan-tinjauan yang telah disebutkan di awal. Ihwal biofili (terobsesi kepada kematian) dan nikrofili (terobsesi kepada kehidupan) merupakan teori dari Erich Fromm, dapat dikatakan tidak memiliki signifikasi dalam kaitannya dengan perluasan perspektif pembacaan Rafilus. Kriterianya tetap berfokus pada tokoh serta tema cerita. Dalam hal ini peneliti tidak bermaksud menyepelekan usaha Setiawan, namun seperti disebutkan di awal bahwa apresiasi-apresiasi semodel demikian elah banyak lumrah dalam kajian tentang karya-karya BD. Berdasarkan penjabaran di atas, di satu pihak orisinalitas dari penelitian ini kiranya bisa dipertanggungjawabkan. Di pihak lain, penelitian ini menggunakan teori spasial Lafebvrean. Fokus penelitian berkenaan dengan ruang dalam cerita Rafilus. Penelitian ini memiliki tujuan akhir menemukan proses produksi ruang dalam narasi novel. Teori ini memiliki dasar epistemogi yang kuat serta tawarantawaran operasional yang menarik dalam mengkaji ruang, dalam hal ini ruang cerita Rafilus.
21
Novel arus baru…
27
1.5 Hipotesis dan Varibel Dari pemerian tinjauan pustaka di atas ihwal kejungkirbalikan novel Rafilus telah memiliki gambaran awal. Sedangkan penelitian ini bertujuan memberikan penggambaran ruang yang jungkir-balik dalam novel yang bersifat simbolik. Terkait dua pertanyaan penelitian di atas penelitian ini mengasumsikan, bahwa (1) tata ruang dalam novel memperlihatkan kecenderungan acak. Pola yang acak dilatarbelakangi persepsi subjektif narator Tiwar dalam dalam menarasikan cerita. Sebuah ruang imajiner dalam pandangan seseorang tentunya akan dipersepsi secara subjektif. Sehingga representasi tata ruang dalam narasi novel cenderung acak, semrawut, simultan dan chaos. Atau dengan kata lain, tidak teratur, rapid an linier. Dalam dimensi ruang, suatu representasi ruang sangat dipengaruhi oleh siapa, bagaimana, dan untuk apa ruang tersebut dipersepsi?; (2) representasi ruang dalam Rafilus merupakan representasi dari tokoh Tiwar. Dalam hal ini, Tiwar merupakan narator utama dan tunggal novel. Dalam klasifikasi keruangan, representasi Tiwar terkait ruang dalam novel adalah persepsi pengarang (BD) atas pengalaman konkrit ruang Surabaya. Dalam hal ini, proses produksi ruang sosial Surabaya ke dalam narasi novel merupakan proses reproduksi ruang yang simbolik. Novel sendiri merupakan ruang produksi imajiner pengarang yang amat bergantung pada persepsi personal atas ruang yang sudah terbentuk. Novel juga praktik keruangan yang konkret pengaranganya. Sedangkan narasi cerita novel adalah praktik-praktik para tokoh yang bersifat imajiner. Rafilus menggunakan ruang Surabaya sebagai latar novel. Penulisan cerita dapat dikatakan sebagai aktifitas reproduksi ruang (respon spasial) BD
28
dalam hubungannya dengan keruangan Surabaya. Sedangkan aktifitas reproduksi ruang sosial Surabaya dalam Rafilus dapat dikatakan sebagai bentuk dekonstruksi ruang berdasarkan persepsi serta praktis keruangan BD. Dari dua hipotesis yang ditetapkan di atas penelitian ini menentukan variabelnya menjadi dua, yaitu tata ruang di dalam novel dan produksi ruang imajiner dalam novel. Ruang di sini adalah ruang imajiner Lafebvrean. Ruang imajiner dalam hal ini tidak sekedar fisik (tempat) atau gagasan (ide ruang) namun ruang juga memanifestsikan sebuah dimensi pengalaman (pemaknaan). Dalam kriterium Lefebvre, dalam ruang imajiner terdapat suatu proses yang disebut produksi ruang (imajiner). Produksi ruang ini memiliki tiga elemen, yaitu persepsi (praktik
ruang), konsepsi (representasi
ruang),
dan
pemkanaan
(ruang
representasi). Sedangkan fokus dari penelitian ini adalah ruang simbolik dalam narasi novel. Produksi ruang dalam penelitian ini adalah produksi ruang imajiner. Tentunya produksi ruang sosial Lefebvre yang konkrit dalam penelitian ini disesuaikan dengan dimensi keruangan novel yang bersifat simbolik. Aktifitas penulisan novel dapat disebut sebagai praktik keruangan pengarang, sedangkan deskripsi dalam narasi novel merupakan praktik ruang simbolik tokoh-tokohnya.
1.6 Metode Penelitian Dalam sebuah penelitian terdapat teknik untuk memeroleh pengetahuan objektif sejalan dengan teori yang dipakai penelitian. Teknik ini dikenal sebagai metode penelitian. Faruk (2012: 58) menyebutkan bahwa metode penelitian sebagai teknik untuk memeroleh pengetahuan mengenai objek tertentu yang
29
kodrat keberadaannya dinyatakan oleh teori. Metode penelitian ini meliputi dua tahapan guna tujuan penelitian, yaitu pengumpulan data dan analisis data. Tahapan pertama ialah mengumpulkan data-data penelitian. Metode pengumpulan data ini berhubungan dengan indera manusia dengan kelebihan dan keterbatasannya. Faruk (2012) menyebutkan bahwa tujuan dari metode pengumpulan data ini untuk mengumpulkan fakta-fakta yang bersifat empirik terkait yang relevan dengan masalah penelitian. Data dalam penelitian ini meliputi dua sumber, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah bagianbagian tekstual novel Rafilus yang koleratif dengan pokok masalah yang akan dibahas serta sinkron dengan teori produksi ruang Lefebvre. Dalam suatu penelitian sastra yang sifatnya deskriftif dan berbasis analisi teks, Faruk menyarakan teknik simak sebagai cara terbaik untuk memperoleh data verbal. Teknik simak dapat disetarakan dengan observasi lapangan. 22 Sedangkan data sekunder penelitian berasal dari teks-teks yang berada di luar novel Rafilus yang memiliki keterkaitan rumusan masalah dan hipotesis penelitian yang diajukan di atas, misalnya tentang konteks sosial, budaya atau ideologi novel tersebut. Teksteks tersebut dapat berupa hasil-hasil penelitian ilmiah seperti jurnal, artikel dan buku yang koleratif dan signifikan untuk menjelaskan kondisi dan situasi sosial dan budaya ataupun ideologi yang dikandung novel sebagai manifestiasi dari konteks tektualitasnya. Dalam paradigma ilmu humaniora, sebuah penelitian terhadap novel berkutat pada aspek pemaknaan, interpretasi serta studi kepustakaan. Data-data
22
Ibid, (2012: 24).
30
penelitian ini bersifat kualitatif dan dikumpulkan dengan mengklasifikasi, mengorganisasi serta mendeskripsikan data-data penelitian yang dikumpulkan. Pada tahapan berikutnya, data-data penelitian yang sudah diorganasasi dalam tahapan sebelumnya dianalis secara deskrifitif. Analisis data ini merupakan jawaban deskriptif terkait dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan dalam dalam rumusan masalah. Dalam penelitian ini analisis data meliputi dua bagian. Pertama, membuat klasifikasi data berdasarkan konsep Lefebvre berkenaan dengan kategori ruang serta produksi ruang dalam narasi novel. Kedua, mencari pola dalam produksi ruang untuk melihat melihat representasi ruang, ruang representasi serta praktik ruang terkait ruang sosial Surabaya yang konkrit.
1.7 Sistematika Penyajian Penelitian tentang produksi ruang simbolik dalam Rafilus disajikan menjadi lima bagian, meliputi; Bab I pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, hipotesis dan variabel, metode penelitian, serta sistematika laporan penelitian; lalu Bab II menjabarkan landasan teori penelitian; Bab III memetakan tata ruang dalam Rafilus; Bab IV mengulas ihwal produksi ruang dalam Rafilus yang meliputi konsep tiga konsep, yaitu praktik ruang, representasi ruang dan ruang representasi; dan terakhir adalah Bab V mengenai kesimpulan penelitian.
31